• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pandangan Eklesiologi Calvin mengenai Politik Praktis dalam Pelayanan Gereja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pandangan Eklesiologi Calvin mengenai Politik Praktis dalam Pelayanan Gereja"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Pandangan Eklesiologi Calvin mengenai Politik Praktis dalam Pelayanan Gereja

Alfons Renaldo Tampenawas

Sekolah Tinggi Teologi Yerusalem Baru, Manado, Sulawesi Utara alfonsreenz@gmail.com

Abstract: This article discusses the inclusion of Calvin’s exclusion of politics in practical church service of the Calvin Chruch and state (politicos) as two things that the Lord allows for attending to life in the world, but both church and state (politics) both have different duties and responsibilities while also helping one another. There’s basically no supremarcy between the two. But what matters is when politics blends with service in the church, in another sense the church becomes the vehicle for politics. This is what they call a practical political activity. Where both personal and political interests have made the church a tool for sustaining support. This is made the church lose its identity as salt and the light of the world.

Keywords: church; ecclesiology; ecclesiology of Calvin; practical politics

Abstrak: Artikel ini membahas mengenai pandangan Eklesiologi Calvin Mengenai Politik Praktis

dalam pelayanan Gereja. Dalam Eklesiologi Calvin gereja maupun negara (politik) merupakan dua hal yang diijinkan Tuhan untuk hadir dalam kehidupan di dunia, akan tetapi baik gereja maupun negara (politik) keduanya memiliki tugas dan tanggung jawab yang berbeda walaupun juga saling menolong satu dengan yang lain. Pada dasarnya tidak ada supremasi antara keduanya. Namun yang menjadi persoalan ketika politik bercampur aduk dengan pelayanan di dalam gereja, dalam arti yang lain gereja menjadi kendaraan bagi politik. Inilah yang dinamakan dengan kegiatan politik praktis, dimana kepentingan pribadi maupun kelompok partai politik menjadikan gereja sebagai alat untuk mencari dukungan. Hal ini membuat gereja kehilangan jati diri/identitas sebagai garam dan terang dunia.

Kata kunci: eklesiologi; eklesiologi Calvin; gereja; politik praktis

PENDAHULUAN

Idealnya politik itu adalah suatu proses untuk mencapai kebaikkan bersama (kebaikkan masyarakat). Politik juga berfungsi sebagai kegiatan yang berhubungan dengan kendali pembuatan keputusan publik dalam masyarakat tertentu di wilayah tertentu, di mana kendali ini disokong lewat instrumen yang sifatnya otoritatif dan koersif. Namun acapkali bertentangan dengan implementasi dilapangan, politik dimainkan oleh oknum-oknum tertentu demi mendapatkan sebuah kekuasaan. Kekuasaan menjadi pusat daripada dunia politik, sehingga demi kepentingan pribadi maupun kepentingan kelompok, mereka menggunakan berbagai cara untuk mendapatkan sesuatu yang dinginkan secara personal maupun secara kelompok politik. Bahkan demi kepentingan tersebut, para oknum-oknum politik menyeret atau memperalat bidang-bidang keagamaan untuk mencapai tujuan dan keinginan mereka, dengan kata lain agama dipolitisasikan. Sehingga agama menjadi kendaraan politik demi sebuah kepentingan pribadi dan kepentingan kelompok. Berkenaan dengan ini gerejapun menjadi sasaran untuk dipakai sebagai alat/kendaraan politik. Oleh

(2)

sebab itu bagaimana seharusnya sikap gereja menyingkapi hal tersebut? Untuk menjawab pertanyaan ini penulis akan memaparkan dan menganalisa eklesiologi Clavin serta memberikan pemahaman tentang sikap yang harus dilakukan dalam pelayanan di gereja.

METODE PENELITIAN

Artikel ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif-analisis mengenai aktivitas politik praktis dalam pelayanan di dalam gereja. Penelitian ini ditujukkan untuk mendeskripsikan dan menggambarkan fenomena-fenomena yang terjadi dalam pelayanan gereja.1 Penelitian ini juga menganalisis pemahaman eklesiologi menurut Calvin dalam menanggapi hubungan antara gereja dan dunia politik khususnya politik praktis. Itu sebabnya penting untuk terlebih dahulu menguraikan pemahaman yang terkandung dalam variabel penelitian ini, yakni tentang politik praktis dan eklesiologi Calvin.

Politik Praktis

Secara etimologi, kata politik berasal dari bahasa Yunani, yakni polis yang berarti kota yang berstatus Negara Kota (city state).2 Kemudian kata ini menjadi politeia yang berkaitan dengan negara dan pemerintahan.3 Dalam Negara kota di zaman Yunani, orang saling berinteraksi guna mencapai kesejahteraan dalam hidupnya.4 Politik yang berkembang di Yunani kala itu dapat ditafsirkan sebagai suatu proses interaksi antara individu dengan individu lainnya demi mencapai kebaikkan bersama. Politik juga dapat dipahami sebagai seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional5.

Pemikiran mengenai politik pun khususnya di dunia barat banyak dipengaruhi oleh filsuf Yunani Kuno. Filsuf seperti Plato dan Aristoteles menganggap politics sebagai suatu usaha untuk mencapai masyarakat politik yang terbaik.6 Bagi Aristoteles, dimensi politik dalam keberadaan manusia merupakan dimensi terpenting sebab ia mempengaruhi lingkungan lain dalam kehidupan manusia. Aristoteles juga menyatakan bahwa politik berarti mengatur apa yang seyogiyanya dilakukan dan apa yang seyogiyanya tidak dilakukan.7 Namun demikian, definisi politik hasil pemikiran filsuf tersebut belum mampu memberi tekanan terhadap upaya-upaya praksis dalam mencapai polity yang baik. Meskipun harus diakui, pemikiran-pemikiran politik yang berkembang dewasa ini juga tidak lepas dari pengaruh para filsuf tersebut.

Dalam teori politik modern, politik diasumsikan sebagai kekuasaan negara yang diwakili oleh partai politik untuk mewakili asprirasi masyarakat, khususnya dalam konteks negara demokrasi. Dengan demikian dalam konteks negara demokrasi, politik didefinisikan sebagai kekuasaan menduduki parlemen atau pemerintahan. Maka dengan kata lain politik

1 Nana Syaodih Sukmadinata. Metode Penelitian Pendidikan. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

2011), h. 73.

2Hidajat Imam, Teori-Teori Politik, (Malang: Setara, 2009), h. 2.

3 Erman S. Saragih, “Penatalayanan Gereja Dalam Politik Praktis,” Didaskein (2016).: 2 4Basri Seta, Pengantar Ilmu Politik, (Jogjakarta: Indie Book Corner, 2011), h. 2.

5 Adolf Bastian Simamora, “POLITIK MENURUT ALKITAB DAN IMPLIKASINYA BAGI PERAN

GEREJA DALAM PUSARAN POLITIK DI INDONESIA,” Voice of Wesley: Jurnal Ilmiah Musik dan Agama (2019).: 3

6Budiarjo Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2007), h. 14. 7 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1992), h. 1.

(3)

identik dengan kekuasaan.8 Antara abad keenam belas sampai awal abad kedua puluh, politik

diartikan lebih sempit dibandingkan dengan pengertian yang dipahami orang-orang Yunani.

Jean Bodin (1530-1596), seorang filosof politik Prancis, memperkenalkan istilah “ilmu

politik” (science politique). Defenisi tentang politik, juga diungkapkan oleh Montesquieu (1687-1755), yang mengemukakan bahwa semua fungsi pemerintahan dapat dimasukkan ke dalam kategori legislatif, eksekutif, dan yudikatif.9 Pada akhirnya politik dapat dipahami sebagai kegiatan bersama dalam sebuah negara untuk mewujudkan kebaikan bersama melalui proses-poses politik yang dibuat dalam sebuah negara.

Sementara, terkait dengan istilah politik praktis dapat dipahami sebagai sebuah dunia ketika segala itikad, motif, kepentingan, dan ambisi, hadir bersamaan dan saling berhimpit untuk memperebutkan kekuasaan. Secara kasat mata, kekuasaan yang dimaksud tidak lain adalah jabatan, kedudukan atau posisi. Namun secara implisit, yang diperebutkan sesungguhnya adalah otoritas dan wewenang untuk membuat keputusan-keputusan publik. Politik praktis biasa juga dikenal dengan politik uang (money politic). Politik uang sering terjadi ketika suatu oknum ingin meraih kekuasaan atau melanggengkan kekuasaan.10 Bahkan para oknum-oknum politis menggunakan sarana media untuk menjalankan kegiatan politik praktis, seperti penyebaran berita hoax, dan tujuan dari penyebaran hoax ialah untuk mempengaruhi dan mengiring opini publik kepada kepentingan tertentu, semua ini hanya untuk menjatuhkan lawan politiknya.11 Tidak hanya itu penyebaran berita hoax dalam

kerangka politik praktis juga berpotensi untuk memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa12. Melihat hal ini mengindikasikan bahwa siapa yang memiliki kekuatan dialah yang mampu untuk mengendalikan kekuasaan, karena memalui hal itu dapat menjatuhkan rival/lawan politiknya13. Agama pun tidak terlepas dari kegiatan politik praktis yang dilakukan oleh oknum-oknum yang terjun dalam dunia politik, dan dalam hal ini agama acapkali menjadi kendaraan politik untuk mencapai suatu tujuan politik kekuasaan.14

Eklesiologi Calvin

Untuk memahami konsep Calvin mengenai gereja, terlebih dahulu kita harus melihat kaitan-nya dengan doktrin keselamatan dari Calvin, karena konsep Calvin tentang gereja tidak terlepas dari konsepnya tentang keselamatan. Dalam doktrin keselamatan, Calvin menekankan keyakinan bahwa keselamatan diperoleh hanya karena kasih karunia melalui iman (sola gratia dan sola fide). Karena itu Calvin melancarkan protes terhadap Gereja

8 Gunche Lugo, Manifesto Politik Yesus, (Yogyakarta: ANDI, 2009), h. 42. 9 Ibid.

10 MUH. IN’AMUZZAHIDIN, “ETIKA POLITIK DALAM ISLAM,” Wahana Akademika: Jurnal

Studi Islam dan Sosial (2016).: 90

11 Moh. Abu Na’im, “HOAKS Sebagai Konstruksi Sosial Untuk Kepentingan Politik Praktis Dalam

Pilgub DKI Jakarta,” Jurnal Darussalam: Jurnal Pendidikan, Komunikasi dan Pemikiran Hukum Islam (2017).: 364-365

12 Yohanes Krismantyo Susanta, “Orang Kristen Dan Politik: Belajar Dari Kasus Salomo Dan Adonia

Dalam Persaingan Menuju Takhta,” DUNAMIS: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani (2019).: 23

13Ronny Winarno, “ARTI PENTING NILAI-NILAI DAN NORMA HUKUM DALAM BERPOLITIK

PRAKTIS,” Perspektif (2015).: 82

14 Bayu Mitra Adhyatma Kusuma and Theresia Octastefani, “NEGOSIASI DAKWAH DAN POLITIK

PRAKTIS (MEMBACA ORIENTASI ORGANISASI SAYAP KEAGAMAAN ISLAM PADA PARTAI NASIONALIS),” al-Balagh : Jurnal Dakwah dan Komunikasi (2017).: 5-6

(4)

Katolik Roma yang memahami bahwa keselamatan sebagai hasil kerjasama antara karunia Allah dan perbuatan baik manusia. Karena itu Gereja Katolik Roma menolak Calvin. Menurut Calvin, orang-orang yang diselamatkan Allah telah ditetapkan oleh Allah yang berdaulat sebelum dunia diciptakan. Calvin mendefinisikan keselamatan sebagai keputusan Allah yang kekal, yang menurut kehendakNya akan terjadi atas setiap orang. Namun selanjutnya Calvin mengembangkan pemahaman dan ajaran tentang keselamatan ini dalam suatu wawasan yang biasa dikenal dengan istilah Predistinasi.15 Dengan demikian penebusan

Kristus terbatas pada orang-orang yang telah terpilih itu, keselamatan mustahil tersedia bagi semua manusia, itu hanya disediakan bagi mereka yang telah ditetapkan sebelumnya untuk selamat.

Pemahaman Calvin tentang keselamatan itu menentukan pemahamannya tentang gereja. Menurutnya Gereja adalah persekutuan orang-orang yang telah diselamatkan berkat kasih karunia Allah dalam Yesus Kristus, yang telah dibenarkan kendati tetap merupakan manusia berdosa, yang semuanya disambut dan diterima manusia melalui iman.16 Atau dengan arti lain Calvin menyatakan pada dasarnya gereja adalah communion sanctorum (suatu persekutuan orang kudus).17 Calvin juga menyatakan bahwa gereja adalah ibu semua orang percaya. Yang tidak memiliki gereja sebagai ibu tidak dapat memiliki Allah sebagai Bapa dan di luar gereja tidak ada keselamatan.18 Dan dalam hal inilah dapat dilihat bahwa gereja sebagai sarana keselamatan karena firman (jadi ajaran, bukan jabatan rasuli) dan sakramen-sakramen.

Menurut Calvin, gereja adalah alat utama yang diberikan Allah kepada orang-orang yang percaya untuk mewujudkan persekutuan dengan Kristus.19 Menurut Calvin, bahwa pemerintahan gereja merupakan pemerintahan yang letaknya di dalam jiwa atau batin manusia yang menyangkut kehidupan kekal. Ia bersifat Rohani, dan mengajar hati nurani supaya saleh dan mengabdi kepada Allah.20 Sehingga Calvin mengidentifikasikan gereja sebagai suatu lembaga atau badan yang dibangun secara ilahi yang di dalamnya Allah melakukan penyucian umatnya.21 Namun, perlu juga diketahui bahwa bagi Calvin gereja yang benar dapat ditemukan ketika injil secara benar diberitakan dan sakramen-sakramen secara benar dilayakan sama seperti pandangan Luther.22

Calvin juga menyatakan bahwa gereja yang tertinggi adalah gereja yang tidak terlihat, yang terdiri dari semua kaum pilihan, yang masih hidup maupun yang telah mati, tetapi selain gereja yang tidak kelihatan, ini terdapat gereja yang berkaitan secara langsung dengan kita selama kehidupan duniawi kita yaitu gereja yang kelihatan yang terbentuk dengan mengumpulkan orang Kristen bersama dalam satu jemaat.23

15 Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja Edisi yang Diperbaharui, h. 77. 16 Ibid, h. 79.

17 Louis Berkhof, Teologi Sistematika 5 Doktrin Gereja, (Surabaya: Momentum, 2012), h. 15. 18 Jan S. Aritonang dan Chr. De Jonge, Apa dan Bagaimana Gereja, h. 33.

19 Ibid.

20 Yohanes Calvin, Intitutio Pengajaran Agama Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), h. 185. 21 Alister E. Mcgrath, Sejarah Pemikiran Reformasi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), h. 259. 22 Ibid, h. 254.

23 Francois Wendel, CALVIN Asal Usul dan Perkembangan Pemikiran Religiusnya, (Surabaya:

(5)

Gereja tidak kelihatan adalah gereja dalam arti sebenarnya, tubuh Kristus yang terdiri atas orang, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, yang betul-betul dipanggil Allah untuk menjadi anakNya. Dengan kata lain, gereja yang tidak kelihatan adalah persekutuan orang-orang kudus yang terpilih dan keterpilihannya hanya diketahui oleh Allah. Sedangkan Gereja yang kelihatan adalah komunitas orang kristen. Pemahaman Calvin tentang gereja yang kelihatan dan tidak kelihatan ini dipengaruhi oleh Agustinus. Gereja kelihatan dan Gereja tidak kelihatan harus dibedakan tetapi tidak bisa dipisahkan. Gereja yang kelihatan harus berusaha mencerminkan sebaik mungkin terhadap apa yang dipercayai mengenai Gereja sebagai tubuh Kristus yang tidak kelihatan.24

Calvin juga menggunakan unsur Alkitab dalam menentukan Gereja yang sesungguhnya. Gereja akan disebut sebagai Gereja apabila Firman Allah (Alkitab) secara murni diajarkan dan sakramen-sakramen dilaksanakan seturut dengan ketetapan Kristus. (Ins. 4.1.9) Alkitab menjadi ukuran untuk menilai pemberitaan Firman dan pelayanan sakramen. Jadi, selama Firman Allah diberitakan secara murni dan sakramen dilayankan nama “gereja” tetap ada. Dengan demikian, bagi Calvin Pemberitaan Firman Allah (Alkitab) merupakan hal yang pokok dan prioritas dalam kehidupan Gereja

Konteks yang Memengaruhi Eklesiologi Calvin

Dalam perkembangan sejarah gereja, dinamika eklesiologi mengalami perkembangan. Konsep eklesiologi sangat dipengaruhi oleh kepentingan ideologis dan politik kekuasaan pada kurun waktu tertentu. Eklesiologi Calvin pun muncul berada dalam sebuah situasi dan konteks tertentu. Dua konteks yang kuat mempengaruhi eklesiologi Calvin ialah Gereja tradisional dengan eklesiologi papalisme dan gerakan anabaptis sebagai gerekan radikal anti katolik dan anti kemapanan, mempropagandakan pandangan-pandangan yang berbeda dan menentang pandangan-pandangan yang ada.25

Gereja tradisional yang bercorak teologi papalisme muncul sekitar abad pertengahan. Teologi Papalisme adalah sebuah pemahaman yang memiliki dasar terhadap supremasi kepausan26, dengan kata lain menjelaskan bahwa Paus merupakan seorang kepala, dasar, akar, dan sumber segala kuasa otoritas dalam gereja. Kepausan merupakan sentral dari struktur pejabat gerejawi, dengan kata lain system daripada paplisme ini ialah adanya penguasa tunggal dan otoriter.27 Hal inilah yang ditolak oleh John Calvin. Calvin tidak menyetujui adanya pemimpin tunggal yang otoriter di dalam gereja.

Konteks lain yang dihadapi oleh Calvin ialah gerakan anabaptis Radikal. Kelompok-kelompok Anabaptis yang radikal itu merupakan sayap kiri dari reformasi. Gerakan anabaptis radikal mengajarkan bahwa gereja harus dipelihara tanpa noda dan cela. Gereja harus memelihara kemurniannya artinya hidup terpisah dari dunia yang najis. gereja tidak boleh

24 Chr. De Jong, Apa itu Calvinisme?, h. 99.

25 Agustinus M. L. Batlajery, “KONTEKS YANG MEMPENGARUHI EKELESIOGI CALVIN,”

Waskita: Jurnal Studi Agama dan Masyarakat (2014).: 119-120

26 Agustinus Batlajery, Konteks yang mempengaruhi Eklesiologi Calvin. Waskita. (April 2014), hh.

119-120.

(6)

bersatu dengan dunia, karena gereja berada di dunia tapi bukan berasal dari dunia.28 Uraian

tentang eklesiologis Anabaptis di atas menunjukkan perbedaan dengan eklesiologi Calvin walaupun dalam paham dan praktik tertentu Calvin dan Anabaptis berada pada garis yang sama. Terhadap eklesiologi yang menurutnya keliru ia melakukan koreksi berdasarkan kesaksian Alkitab. Dengan demikian kita dapat mengerti bilamana Calvin menegaskan dalam Institutio bahwa tidak mungkin gereja yang kelihatan menjadi benar-benar suci murni dan sempurna pada masa ini. Kristus sebagai kepala gereja tidak mengorganisir gereja secara langsung, melainkan mempercayakannya kepada para pejabatnya. Ia menekankan keesahan gereja untuk menentang gagasan bahwa keesaan berpusat di Roma saja pada satu pihak dan pihak lain menolak kecenderungan separatisme dari gerekan Anabaptis karena meanggap gereja waktu itu tidak suci, murni dan sempurna.

PEMBAHASAN

Pemerintah (Negara) Menurut Calvin

Pemahaman Calvin tentang pemerintah dipengaruhi oleh seorang tokoh bernama Agustinus. Hall mengatakan bahwa pemikiran John Calvin berasal dari para pemikir besar sebelumnya dan salah satunya adalah bapak gereja Agustinus dari Hippo (354-430).29 Berbicara mengenai politik dan pemerintahan Agustinus maka tidak akan pernah terlepas dari pandangan Agustinus yang ditulis dalam bukunya De Civitatis Dei. Buku ini ditulis sebagai apologia untuk orang-orang Roma yang menuduh orang-orang Kristen di kota Roma yang menyebabkan keruntuhan kota Roma karena mereka tidak lagi menyembah dewa-dewa yang melindungi kekaisaran Roma. Agustinus berusaha menjelaskan bahwa kejatuan kota Roma adalah karena kebobrokan moral yang terjadi di kota Roma.

Menurut Agustinus, pemerintah manusia berasal dari akibat kejatuhan dalam dosa dan bukan dalam tatanan ciptaan (creation order).30 Karena itu, Agustinus merasa perlu adanya pemerintah sebagai suatu alat pengendali masyarakat.31 Baik Agustinus maupun Calvin beranggapan bahwa berdirinya kerajaan dan pemerintahan adalah atas dasar provedensia Tuhan. Tidak ada pemerintah yang berasal dari luar kedaulatan Tuhan.32

Abraham Kuyper, di dalam bukunya Ceramah-Ceramah Mengenai Calvinisme menyatakan bahwa, ―Sebab sesungguhnya tanpa dosa pasti tidak akan ada tatanan penguasa dan negara, bahwa Allah telah membentuk orang-orang untuk memerintah, karena alasan dosa33, dan tidak seorang pun mempunyai hak untuk memerintah atas orang lain, dan jika hal ini diizinkan maka hak seperti itu akan segera menjadi hak bagi mereka yang terkuat34.

Kedua pernyataan ini menyatakan bahwa pemerintahan muncul karena akibat dosa dan manusia tidak mempunyai hak untuk memerintah manusia lain. Kuyper juga menyatakan

28 E. Waltner, "The Anabaptist Conception ot the Church", dalam The Mennonite Quarterly Review,

25, 1951, hh. 11-13.

29 David W. Hall, Calvin di Ranah Publik, (Surabaya: Momentum, 2011), h. 4. 30 David W. Hall, Calvin di Ranah Publik, h. 7.

31 Ibid, h. 5.

32 Hall, Calvin di Ranah Publik, h. 8.

33Abraham Kuyper, Ceramah-ceramah Mengenai Calvinisme (Surabaya: Penerbit, Momentum, 2005),

h. 90.

(7)

bahwa institutsi sebagai ‘hamba-Nya’ untuk melindungi manusia dari kehancuran total. Itu sebabnya, warga negara harus menaati pemerintahan bukan karena ketakutan kepada hukuman, tetapi karena kesadaran nurani. Pemerintah adalah hamba Allah bagi kebaikkan masyarakat bukan menjadikan masyarakat hamba bagi kebaikkan dan keuntungan sendiri. Karena pemerintah adalah hamba, maka harus mendedikasikan hidupnya bagi kemaslahatan rakyat dengan mementingkan tanggung jawab bukan fasilitas dan tunjangan.

Bagaimana pandangan Calvinis tentang negara? Apakah sebuah negara atau pemerintah terbentuk akibat dosa?.Bagi orang Calvinis, negara adalah sebuah organisasi yang terbentuk secara alami karena dorongan sosial, sozial-trek, yang ditempatkan Tuhan di dalam diri manusia. Ketika sekelompok manusia berdiam di sebuah wilayah maka untuk mencapai tujuan bersama mereka membutuhkan mekanisme dari pemerintahan.35 Seandainya manusia tidak jatuh dalam dosa, negara tetap ada dan negara itu adalah negara yang sempurna yaitu kerajaan Allah.36

Salah satu contoh yang dapat diberikan untuk membuktikan bahwa pemerintahan tetap ada walaupun dunia tidak berdosa adalah kondisi malaikat yang tidak berdosa. Alkitab mencatat bahwa ada penghulu malaikat (1Tesalonika 4:16) yaitu Mikhael (Yudas 1:9). Penghulu malaikat berasal dari kata ἀρχάγγελος (archangelos) yang terdiri dari dua kata ἀρχή (arche) yang berarti pemimpin atau penguasa dan ἄγγελος (anggelos) yang berarti malaikat. Bauer-Danker-Arndt-Gingrich Greek Lexicon of the New Testament mendefinisikan penghulu malaikat sebagai berikut a member of the higher ranks in the celestial hierarchy,

chief angel, archangel.37 Hal ini berarti malaikat mempunyai pemimpin dan ada struktur

pemerintahan di mana penghulu malaikat memerintah atas malaikat-malaikat lain yang tidak berdosa.

Bukti kedua yang membuktikan bahwa tanpa dosa tetap ada pemerintahan adalah teks Matius 19:28, yaitu perkataan Yesus kepada kedua belas murid-Nya,―Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pada waktu penciptaan kembali, apabila Anak Manusia bersemayam di tahta kemuliaan-Nya, kamu, yang telah mengikut Aku, akan duduk juga di atas dua belas takhta untuk menghakimi kedua belas suku Israel. Ayat ini menyatakan bahwa nanti setelah langit dan bumi baru, setelah dosa dihapus dari dunia ini maka tetap ada pemerintahan di mana kedua belas murid Tuhan Yesus akan menjadi penguasa atas orang-orang lain.

Bukti yang selanjutnya adalah dari Lukas 19:12-27. Di dalam teks ini Tuhan Yesus mengatakan bahwa pada akhirnya yang menghasilkan sepuluh mina akan ―menerima kekuasaan atas sepuluh kota‖ dan yang menghasilkan lima mina akan ―menguasai lima kota‖. Sekali lagi teks ini berpadanan dengan Matius 19:28 di mana pada akhir zaman, di mana tidak ada dosa, ada orang-orang yang ditempatkan Tuhan sebagai penguasa atau pemerintah.

35 H. Henry Meeter, Pandangan-Pandangan Dasar Calvinisme, (Surabaya: Penerbit Momentum,

2012), h. 99.

36 H. Henry Meeter, Pandangan-Pandangan Dasar Calvinisme, h. 100.

37 William Arndt et al., A Greek-English Lexicon of the New Testament and Other Early Christian

(8)

Kalau memang pemerintahan atau negara bukan akibat dosa lalu kira-kira apa fungsi negara dalam dunia tanpa dosa? Ketika semua manusia tanpa dosa maka semua orang akan mengetahui dan melakukan hal-hal yang benar, jadi tidak perlu ada orang yang membuat dan menegakkan hukum, namun manusia memiliki mandat budaya yang Tuhan percayakan kepada manusia. Di dalam menjalankan mandat budaya maka manusia akan mengadakan kegiatan-kegiatan berkelompok yang membutuhkan pemimpin bagi kelompok tersebut. Walaupun manusia sempurna namun kemauan individual harus dipersatukan oleh pemimpin agar menjadi kesatuan kemauan dan tujuan. Tanpa adanya kesatuan kemauan dan tujuan maka tugas kelompok tidak dapat tercapai.38

Sejak manusia berdosa maka fungsi negara dalam dunia yang berdosa adalah fungsi yang telah disebut di atas ditambah dengan fungsi untuk menghukum para pelanggar hukum. Sekarang dibutuhkan pengadilan dan kepolisian untuk menerapkan hukum. Roma 13:1-4 menegaskan bahwa pemerintah diberikan otoritas dari Tuhan ―untuk membalaskan murka Allah atas mereka yang berbuat jahat. Pemerintah adalah anugerah umum Tuhan untuk membatasi kejahatan.39

Apakah bentuk negara terbaik? Calvinisme tidak mendukung baik itu monarki, aristokrasi, demokrasi, atau bentuk pemerintah apa pun. John Calvin juga tidak menghendaki theokrasi karena theokrasi Musa hanya diperuntukan bagi bangsa Israel dan bukan bangsa lain. Tuhan sanggup memakai bentuk pemerintah apa pun untuk memerintah manusia. Di satu daerah mungkin cocok demokrasi, di negara bagian lain mungkin monarki. Pemerintahan yang baik bukan ditentukan dari bentuknya (monarki, aristokrasi, atau demokrasi) tetapi pada karakter moral dan spiritual dari rakyatnya karena setiap bentuk pemerintahan ada sisi positif dan negatifnya.40

Ada lima hal yang merupakan ciri khas pemerintahan Calvinistik41, yaitu:

Pertama, Calvinisme menentang adanya satu negara yang mencakup seluruh dunia atau negara-negara yang terlalu besar, alasannya karena Tuhan menggagalkan usaha manusia mendirikan satu kekaisaran dunia di menara Babel dan untuk menghindari pemusatan kekuatan diktatorial ke dalam tangan sedikit orang. Kedua, Calvinisme tidak menyetujui adanya pemusatan kekuasaan negara pada satu orang atau beberapa orang saja. Rakyat mempunyai hak untuk setuju atau tidak setuju atas kebijakan pemerintah melalui pemungutan suara atau pengungkapan opini publik. Ketiga, hak-hak rakyat tidak boleh diabaikan oleh penguasa. Keempat, agar tidak terjadi pemusatan kekuasaan pada beberapa orang maka harus ada lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif, yang tidak dikuasai oleh orang-orang yang sama. Kelima, setiap lembaga sosial punya kedaulatan wilayahnya sendiri, misalnya rumah tangga, sekolah, gereja, atau organisasi sosial lainnya. Masing-masing organisasi-organisasi mempunyai tugas dari Tuhan dan eksistensinya tidak tergantung pada negara. Masing-masing organisasi berdaulat atas wilayahnya sendiri. Konsep ini dikenal dengan nama sphere

sovereignity.

38 Meeter, Pandangan-Pandangan Dasar Calvinisme, hh. 100-101. 39 Ibid, hh. 101-102.

40 Ibid, hh. 106-108.

(9)

Kaum Calvinis mengatakan ada dua tugas utama dari pemerintah, yaitu untuk melaksanakan atau menegakkan keadilan dan yang kedua adalah untuk meningkatkan kesejahteraan umum negara dan warganya. Penegakkan keadilan adalah pelaksanaan dari Roma 13:1-4. Pemerintah juga berkewajiban membangun kesejahteraan material, kultural, dan kemanusiaan warganya. Pemerintah wajib memberikan bantuan kepada organisasi-organisasi industrial, sosial, atau intelektual masyarakat di saat-saat kritis atau bencana melalui subsidi atau menerbitkan peraturan.42

John Calvin mengatakan bahwa rakyat harus setia kepada pemerintah dan harus menghormati jabatan tersebut. Perintah-perintah dari penguasa tidak boleh dilawan sebab perlawanan terhadap pemerintah sama dengan perlawanan terhadap Allah. Walaupun pemerintah tidak baik, rakyat tetap harus setia karena pejabat pemerintah yang tidak adil dan sewenang-wenang dibangkitkan oleh Tuhan untuk menghukum dosa umat-Nya. Orang Kristen harus menaati penguasa walaupun mereka adalah orang tidak beriman dan memusuhi Allah.43

Apakah orang Kristen boleh memberontak terhadap pemerintah? John Calvin sangat berhati-hati dalam hal ini. John Calvin mengatakan, pertama, tidak boleh sembarangan orang mengadakan perlawanan terhadap pemerintah. Yang berhak untuk melawan keputusan penguasa adalah para bawahan mereka atau penguasa yang lebih rendah. Menurut Calvin, seorang penguasa yang melanggar batas-batas wewenangnya maka ia bukan lagi penguasa yang sah. Calvin memberikan contoh tokoh Daniel, di mana menurutnya Daniel tidak berdosa terhadap raja ketika Ia berdoa kepada Tuhan walau melanggar perintah Raja Darius (Daniel 6). Kedua, John Calvin menolak pemberontakan bersenjata. Walaupun orang Protestan Perancis dianiaya oleh pihak Gereja Katolik dan pemerintah Perancis namun Calvin menasehati orang Protestan Perancis untuk tidak mengangkat senjata untuk menghentikan penganiayaan.44

Di dalam tafsiran John Calvin tentang ucapan Petrus dalam Kisah Para Rasul 4:19, John Calvin menulis sebagai berikut, “Therefore, by what title soever men be called, yet must

we hear them only upon this condition, if they lead us not away from obeying God.”45 Calvin

mengatakan bahwa kita harus mematuhi pemerintah dengan syarat selama pemerintah tidak membuat kita menyimpang dari ketaatan kepada Allah. Hal yang sama juga dikemukakan dalam tafsiran Kisah Para Rasul 5:29,

This is the sum of their answer, It is lawful for them, nay, they oughtto prefer God before men. God commandeth us to bear witness of Christ; therefore, it is in vain for you to command us to keep silence. But I have declared before, in the third chapter, when this sentence taketh place, that we ought rather to obey God than men. God doth set men over us in such sort with power, that he keepeth still his own authority safe and sound. Therefore, we must obey rulers so far, that the commandment of God

be not broken.46

42 Meeter, Pandangan-Pandangan Dasar Calvinisme, hh. 127-135. 43 Balke, Pandangan Calvin Mengenai Gereja dan Negara, hh. 172-173. 44 Balke, Pandangan Calvin Mengenai Gereja dan Negara, h. 174.

45 John Calvin dan Henry Beveridge, Commentary Upon the Acts of the Apostles, vol. 1 (Bellingham,

WA: Logos Bible Software, 2010), h. 178.

(10)

Di dalam tafsiran Kisah Para Rasul 17:7, John Calvin menulis:

but if at any time religion enforce us to resist tyrannical edicts and commandments which forbid us to give due honour to Christ, and due worship to God; we may then justly say for ourselves, that we are not rebellious against kings, for they be not so

exalted, that they may go about like giants to pull God out of his seat and throne.47

Calvin mengatakan bahwa kita tidak melawan raja, tetapi kita melawan perintah raja yang melarang kita untuk memuliakan Kristus dan menyembah Tuhan. Itulah sebabnya di dalam tafsiran Kitab Daniel 6:10, John Calvin mengatakan,

Daniel‟s open profession of his faith in God has been censured as too bold and ill judged for our imitation, but it has also been ably vindicated as an example of perseverance in religious duty when our conscience justifies us in maintaining God‟s

truth before man.48

Hubungan Gereja dan Negara Menurut Calvin

Membahas bahkan mendeskripsikan ajaran Calvin mengenai hubungan gereja dan negara itu tidaklah dapat dipisahkan dengan pemahaman Calvin tentang politik, walaupun Calvin tidak menulis secara spesifik mengenai Politik.49 Menurut Christiaan de Jonge, bahwa pemahaman

Calvin mengenai negara dan hubungan antara gereja dan pemerintah pertama-tama menjadi tampak dari penolakkannya terhadap penganut reformasi radikal yang menganggap pemerintahan itu jahat.50

Menurut Calvin pemerintah dunia tidak berhak dalam urusan perkara-perkara yang semata-mata mengenai hidup Gereja sendiri. Namun meskipun demikian, Calvin juga tidak menyetujui pendapat para reformasi radikal yang mengatakan bahwa orang-orang Kristen tidak memerlukan lagi negara, yang adalah bagian dari dunia.51 Karena dunia lama belum berlalu, pemerintah perlu, bahkan merupakan anugerah Allah untuk menjamin kesejahteraan masyarakat. Sehingga menurut Calvin, orang yang meniadakan pemerintah dan negara tidak memahami keadaan dunia, yang masih dikuasai oleh dosa. Mereka juga tidak menghargai apa yang dibuat Allah untuk melindungi orang baik terhadap yang jahat.52

Walaupun Calvin menganggap negara perlu selama gereja masih berada di dunia ini, itu tidak berarti bahwa ia menyerahkan segala-galanya kepada pemerintah. Dengan tegas ia menetapkan batas antara gereja dan negara atau, untuk memakai peristilahan yang lazim dipergunakan pada waktu itu, antara pemerintahan rohani dan duniawi atau politik (dalam arti “yang menyangkut polis”, yaitu kota atau lebih umum masyarakat). Berkaitan dengan itu, Calvin menekankan bahwa gereja dan negara menerima dari Allah tugas yang berbeda. Pembagian tugas ini seharusnya menjegah bahaya konflik antara gereja dan negara mengenai

47John Calvin dan Henry Beveridge, Commentary Upon the Acts of the Apostles, vol. 2 (Bellingham,

WA: Logos Bible Software, 2010), 138.

48John Calvin, Commentary on the Book of The Prophet Daniel, vol. 1 (Grand Rapids, Michigan, Baker

Book House: 2005), 462.

49Yakub Tri Handoko, “RELASI GEREJA DAN NEGARA MENURUT JOHN CALVIN:

HUKUMAN MATI ATAS MICHAEL SERVETUS SEBAGAI SEBUAH CONTOH KASUS,” Jurnal

Theologia Aletheia (2019): 96

50Christian de Jonge, Apa itu Calvinisme? (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 265. 51Ibid., 268.

(11)

agama. Biarapun kemajuan agama adalah kepentingan negara, kepada negara tidak diberi tugas untuk mengatur apa yang terjadi di dalam gereja. Hak bahkan kewajiban pemerintah untuk menentukan undang-undang terbatas pada bidang kehidupan lahiriah.53

Hubungan gereja dan negara dalam teologi Calvin sangat erat dan dapat disimpulkan bahwa kedua lembaga ini saling berdampingan, sama-sama bertugas melaksanakan kehendak Allah dan mempertahankan kehormatannya.54 Namun bukan dalam arti Negara boleh saja mengambil alih semua apa yang menjadi bagian gereja, dan juga sebaliknya. Hal ini disebabkan oleh karena Calvin yang mencita-citakan suatu pemerintahan yang teokrasi. Sehingga dalam mewujud nyatakan cita-cita teokrasi tidak cukup kalau hanya melalui pemberitaan firman yang dilakukan oleh Gereja, tetapi seluruh kehidupan, baik hidup perorangan, maupun hidup masyarakat, harus diatur sesuai dengan kehendak Allah. Dan dalam hal inilah pun pemerintah mempunyai tugas untuk mendukung gereja. Ini disebabkan karena Johannes Calvin memiliki pandangan positif kepada Negara. Ia menolak gereja sebagai subordinasi (di bawah) Negara, atau dengan subordinasi gereja, tetapi iuxtaposisi (kesetaraan yang berdampingan) dan kooperatif (mitra kerjasama).

KESIMPULAN

Pada dasarnya Teologi Calvin tidak memandang negara sebagai sesuatu yang harus dijahui maupun dibenci, akan tetapi sebaliknya dalam pengajaran Teologi Calvin gereja dan negara merupakan lembaga yang dijinkan Tuhan untuk hadir di dunia dengan maksud melaksanakan tugasnya masing-masing, artinya negara tidak bia berkuasa atas gereja demikian sebaliknya gereja juga tidak bisa berkuasa atas negara. Gereja dan negara seharusnya saling mendukung dalam melaksanakan kesejahteraan bersama bagi kehidupan bermasyarakat. Maka sebagai gereja hal yang paling prinsip ialah menjadikan pelayanan sebagai bagian untuk menyatakan kebenaran Firman Tuhan sehingga bisa menjadi terang dan garam, dan bukan meleburkan pelayanan dengan politik praktis sehingga terjadi penyimpangan dalam pelayanan. Gereja harus memiliki sikap yang tegas terhadap kegiatan politik praktis yang terjadi dalam ranah pelayanan gereja, terutama para aktivis pelayanan gereja, dengan melarang bahkan tidak turut melaksanakan politik praktis dengan menggunakan mimbar sebagai tempat untuk berkampanye.

REFERENSI

AMUZZAHIDIN, MUH. IN’. “ETIKA POLITIK DALAM ISLAM,” Wahana Akademika:

Jurnal Studi Islam dan Sosial (2016).: 90

Aritonang, Jan S. Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja Edisi yang Diperbaharui, h. 77.

Arndt et al, William. A Greek-English Lexicon of the New Testament and Other Early

Christian Literature, (Chicago: University of Chicago Press, 2000), h. 137.

Basri, Seta. Pengantar Ilmu Politik, (Jogjakarta: Indie Book Corner, 2011), h. 2. Batlajery, Agustinus M. L. “KONTEKS YANG MEMPENGARUHI EKELESIOGI

CALVIN,” Waskita: Jurnal Studi Agama dan Masyarakat (2014).: 119-120

53 Ibid, h. 270.

(12)

Batlajery, Agustinus. Konteks yang mempengaruhi Eklesiologi Calvin. Waskita. (April 2014), shh. 119-120.

Bayu Mitra Adhyatma Kusuma and Theresia Octastefani. “NEGOSIASI DAKWAH DAN POLITIK PRAKTIS (MEMBACA ORIENTASI ORGANISASI SAYAP

KEAGAMAAN ISLAM PADA PARTAI NASIONALIS),” al-Balagh : Jurnal

Dakwah dan Komunikasi (2017).: 5-6

Berkhof, Louis. Teologi Sistematika 5 Doktrin Gereja, (Surabaya: Momentum, 2012), h. 15. Calvin, John. Commentary on the Book of The Prophet Daniel, vol. 1 (Grand Rapids,

Michigan, Baker Book House: 2005), h. 462.

Calvin, Yohanes. Intitutio Pengajaran Agama Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), h. 185.

End, Th. Van den. Harta dalam Bejana, (Jakarta: BPK-GM; 2000), h. 188. Hall, David W. Calvin di Ranah Publik, (Surabaya: Momentum, 2011), h. 4.

Handoko, Yakub Tri. “RELASI GEREJA DAN NEGARA MENURUT JOHN CALVIN: HUKUMAN MATI ATAS MICHAEL SERVETUS SEBAGAI SEBUAH CONTOH KASUS,” Jurnal Theologia Aletheia (2019): 96

Imam, Hidajat. Teori-Teori Politik, (Malang: Setara, 2009), h. 2.

John Calvin dan Henry Beveridge. Commentary Upon the Acts of the Apostles, vol. 1 (Bellingham, WA: Logos Bible Software, 2010), h. 178.

John Calvin dan Henry Beveridge. Commentary Upon the Acts of the Apostles, vol. 2 (Bellingham, WA: Logos Bible Software, 2010), h. 138.

Jonge, Christian de. Apa itu Calvinisme?, (Jakarta:BPK-GM; 2001), h. 265. Kuyper, A braham. Ceramah-ceramah Mengenai Calvinisme (Surabaya: Penerbit,

Momentum, 2005), h. 90.

Lugo, Gunche. Manifesto Politik Yesus, (Yogyakarta: ANDI, 2009), h. 42.

Mardiatmadja, B.S. Eklesiologi Makna dan Sejarahnya, (Yogyakarta: Kanisius, 1986), h. 11. Mcgrath, Alister E. Sejarah Pemikiran Reformasi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), h.

259.

Meeter, H. Henry. Pandangan-Pandangan Dasar Calvinisme, (Surabaya: Penerbit Momentum, 2012), h. 99.

Miriam, Budiarjo. Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2007), h. 14.

Na’im, Moh. Abu. “HOAKS Sebagai Konstruksi Sosial Untuk Kepentingan Politik Praktis Dalam Pilgub DKI Jakarta,” Jurnal Darussalam: Jurnal Pendidikan, Komunikasi dan

Pemikiran Hukum Islam (2017).: 364-365

Saragih, Erman S. “Penatalayanan Gereja Dalam Politik Praktis,” Didaskein (2016).: 2 Simamora, Adolf Bastian. “POLITIK MENURUT ALKITAB DAN IMPLIKASINYA BAGI

PERAN GEREJA DALAM PUSARAN POLITIK DI INDONESIA,” Voice of

Wesley: Jurnal Ilmiah Musik dan Agama (2019).: 3

Sukmadinata, Nana Syaodih. Metode Penelitian Pendidikan. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), h. 73.

Susanta, Yohanes Krismantyo. “Orang Kristen Dan Politik: Belajar Dari Kasus Salomo Dan Adonia Dalam Persaingan Menuju Takhta,” DUNAMIS: Jurnal Teologi dan

Pendidikan Kristiani (2019).: 23

Waltner E. "The Anabaptist Conception ot the Church", dalam The Mennonite Quarterly Review, 25, 1951, hh. 11-13.

Wendel, Francois. CALVIN Asal Usul dan Perkembangan Pemikiran Religiusnya, (Surabaya: Momentum, 2010), h. 337.

Winarno, Ronny. “ARTI PENTING NILAI-NILAI DAN NORMA HUKUM DALAM BERPOLITIK PRAKTIS,” Perspektif (2015).: 82

(13)

Referensi

Dokumen terkait

Siti Muthoharoh juga pelajar Wahid Hasyim mengemukakan pendapatnya bahwa ”isi rubrik majalah Tebuireng sudah sangat bagus dan sesuai dikonsumsi oleh siapa saja, karena pesan

Selat Sunda berbatasan dengan propinsi Lampung dimana merupakan wilayah ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) dengan kondisi perairan yang sangat menarik dimana

Skenario kedua merupakan skenario jangka menen� gah yang dapat dilakukan terintegrasi oleh pemerintah dan ITPT dari hulu sampai ke hilir dengan peningkatan kapasitas

bila serat ditambahkan kedalam adukan kuat tekan Peningkatan kuat tekan beton akibat penambahan gaya yang diterima oleh beton sebagian disalurkan kedalam serat yang

Berdasarkan informasi yang dijelaskan pada metodologi penelitian, dapat diketahui bahwa terdapat beberapa data yang akan digunakan pada proses pengolahan data,

Mengidentifikasi cara memanfaatkan sumber daya yang langka untuk memenuhi kebutuhan dengan didasari pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek penggunaan kombinasi ekstrak etanolik kulit buah jeruk Mandarin (EJM) atau Citrus reticulata yang diduga bersifat

DATA MATAKULIAH YANG DITAWARKAN DATA CALON PESERTA UJIAN DATA SET SOAL DESAIN LJU MESIN-3 (Jam-3) MESIN-1 (Jam -1) MESIN-2 (Jam-2) MESIN-4 (Jam-4) MESIN-5 (Jam-5) SERVER PLANET