• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEKTIFITAS RUJUKAN BIDAN ERA JKN PADA PRE EKLAMSIA DAN EKLAMSIA DI RS dr. SAIFUL ANWAR MALANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EFEKTIFITAS RUJUKAN BIDAN ERA JKN PADA PRE EKLAMSIA DAN EKLAMSIA DI RS dr. SAIFUL ANWAR MALANG"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIFITAS RUJUKAN BIDAN ERA JKN PADA PRE EKLAMSIA DAN

EKLAMSIA DI RS dr. SAIFUL ANWAR MALANG

Dian Hanifah1), Annisa Fithri2)

1)Program Studi Diploma III Kebidanan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendedes Malang email : dianhanifah@gmail.com

2) Program Studi Diploma III Kebidanan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendedes Malang email : tehnisa.1@gmail.com

Abstract

Maternal Mortality Rate (MMR) is an unresolved issue. Three major causes of it are the lateness to decide, to service place, and to get help. The National Healthcare Period implements a tiered referral system that requires midwives to refer to primary health care. Before the validity of the JKN era, midwives can make direct referrals to tertiary health care. The midwife assumes that claims can be made if the referral is tiered as a primary health care network. The purpose of this study was to analyze the effectiveness of midwife referral in the era of JKN on emergency cases (et causa Pre-eclampsia & Eclampsia). The design of this research was qualitative with case study approach. The data were collected by using deep interview method, document study, and observation. Secondary data taken from medical record of dr. Saiful Anwar Malang, primary data was taken from the interview with independent midwives practice. This research gave results regarding midwife referral model in JKN era. Result of this study are 5 pregnant women with PreEclamsia and Eclamsia came with a referral from midwives to Public Hospital dr. Saiful Anwar Malang. Midwives have conducted referrals in accordance with tiered referral guidelines.

Keyword : Referral, Midwife, Tiered, Pre-eclampsia, JKN

1. PENDAHULUAN

Kematian ibu masih merupakan masalah kesehatan yang belum terselesaikan. Berdasarkan Survey Dasar Kesehatan Ibu (SDKI) tahun 2012 Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia mencapai 359/ 100.000 kelahiran hidup (Kemenkes RI, 2014). Secara obstetri, kematian ibu disebabkan langsung oleh 5 (lima) penyebab utama. 5 penyebab tersebut adalah perdarahan, hipertensi dalam kehamilan (HDK), infeksi, partus lama/ macet dan abortus. Berdasarkan hasil analisa Sensus Penduduk tahun 2010, proporsi penyebab angka kematian ibu tertinggi adalah Hipertensi Dalam Kehamilan (HDK) mencapai 30% (Kemenkes RI, 2013).

Di Jawa Timur, capaian AKI cenderung meningkat dilihat dalam rentang waktu tahun 2008 – 2012. Gambaran capaian tersebut adalah sebagai berikut: tahun 2008 sebesar 83/ 100.000 kelahiran hidup (KH) dan tahun 2012 sebesar 97,43/ 100.000 KH. AKI di kota Malang lebih tinggi dari capaian provinsi Jawa Timur yaitu 164.64/ 100.000 KH. Faktor penyebab AKI paling dominan di Jawa Timur adalah pre eklamsi dan eklamsia. Dari tahun

2010 sampai dengan tahun 2012 kematian yang disebabkan oleh pre eklamsia dan eklamsia semakin meningkat. Pada tahun 2010 proporsi Pre eklamsia dan eklamsia sebesar 26,92%, tahun 2011 sebesar 27,27% dan tahun 2012 sebanyak 34,88 %. Proporsi tempat kejadian kematian ibu 78,18 % terjadi di RS Umum. Dari data inilah, perlu adanya kajian lebih lanjut bahwa kematian ibu memang terjadi di rumah sakit atau karena sistem rujukan yang belum berjalan dengan baik (Dinkes Prop Jawa Timur, 2012).

Keterlambatan dalam rujukan berakibat pada morbiditas dan mortalitas ibu. Tiga terlambat yang sering menjadi penyebab kematian ibu adalah terlambat mengambil keputusan, terlambat mencapai tempat pelayanan kesehatan dan terlambat mendapatkan pertolongan di fasilitas pelayanan. Pemerintah berusaha mengatasi masalah keterlambatan tersebut dengan menerapkan beberapa program. Salah satunya adalah program EMAS (Expanding Maternal Neonatal Survival). Tujuan utama program EMAS ini adalah tersedianya jejaring sistem rujukan pelayanan kegawat-daruratan ibu dan

(2)

BBL/ neonatus yang berfungsi secara efektif, efisien dan berkeadilan (USAID, 2010). Jejaring sistem rujukan pada program EMAS sangat berkaitan dengan Sistem Kesehatan Nasional di Indonesia yang memberlakukan sistem rujukan berjenjang.

Rujukan berjenjang dimulai dari tingkat pelayanan kesehatan terendah yaitu bidan desa dan bidan praktek mandiri sebagai jejaring dari pelayanan kesehatan primer atau fasilitas kesehatan (faskes) tingkat pertama. Pelayanan kesehatan di faskes primer yang dapat dirujuk langsung ke faskes tersier hanya untuk kasus yang sudah ditegakkan diagnosis dan rencana terapinya, merupakan pelayanan berulang dan hanya tersedia di faskes tersier. Salah satu kondisi yang dapat dikecualikan dari ketentuan pelayanan rujukan berjenjang adalah apabila terjadi keadaan gawat darurat. Pre Eklamsia dan Eklamsia termasuk dalam kondisi gawat darurat (BPJS, 2014). Agar terwujud sistem rujukan berjenjang yang efektif dan efisien perlu memperhatikan prinsip kolaborasi dan pertukaran informasi yang tepat dan sama.

Bidan sebagai pemberi layanan kebidanan merupakan ujung tombak dalam menurunkan AKI. Pelayanan kebidanan yang berkualitas merupakan salah satu kontribusi bidan dalam menurunkan AKI (Mufdillah dkk, 2012). Pada era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bidan harus mempunyai jejaring dalam melaksanakan proses rujukan. Namun demikan berdasarkan studi pendahuluan, ada keraguan bidan untuk melakukan rujukan langsung terkait dengan klaim biaya pada BPJS. Fenomena tersebut berdampak pada efektifitas layanan rujukan. Kaitannya dengan penyebab tidak langsung kematian ibu adalah keterlambatan dalam proses rujukan.

Dari uraian tersebut diatas, perlu adanya kajian lebih lanjut tentang sistem rujukan berjenjang era JKN terhadap efektifitas rujukan bidan pada kasus kegawatdaruratan (et causa Pre Eklamsia dan Eklamsia) di RSUD dr. Saiful Anwar Malang.

2. KAJIAN LITERATUR

Sistem rujukan pelayanan kesehatan adalah penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan secara timbal balik baik vertikal maupun horizontal yang wajib

dilaksanakan oleh peserta jaminan kesehatan atau asuransi kesehatan sosial, dan seluruh fasilitas kesehatan (BPJS, 2014).

a. Tata cara pelaksanaan sistem rujukan

berjenjang menurut BPJS, 2014

1). Sistem rujukan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang sesuai kebutuhan medis, yaitu:

a). Awal dari pelayanan kesehatan adalah fasilitas kesehatan (faskes) tingkat pertama.

b). Pasien dapat dirujuk ke faskes tingkat kedua, apabila memerlukan pelayanan lanjutan oleh spesialis.

c). Untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di faskes kedua, maka pasien harus mendapatkan rujukan dari faskes tingkat pertama.

d). Pelayanan kesehatan tingkat ketiga di faskes tersier hanya dapat diberikan atas rujukan dari faskes sekunder dan faskes primer.

2). Khusus untuk kasus yang telah didiagnosis dan telah mendapatkan rencana terapi dapat dirujuk secara langsung dan mendapatkan pelayanan ke faskes tingkat tiga (tersier).

Secara umum alur sistem rujukan berjenjang digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1 Sistem Rujukan Berjenjang

Sumber : BPJS, 2017

3). Ketentuan pelayanan rujukan berjenjang dapat dikecualikan dalam kondisi: a). Ada kondisi gawat darurat

(3)

b). Ada penetapan bencana dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

c). Kekhususan permasalahan kesehatan pasien; untuk kasus yang sudah ditegakkan rencana terapinya dan terapi tersebut hanya dapat dilakukan di fasilitas kesehatan lanjutan.

d). Pertimbangan geografis; dan e). Pertimbangan ketersediaan fasilitas 4). Pelayanan oleh bidan dan perawat

a). Dalam keadaan tertentu, bidan atau perawat dapat memberikan pelayanan kesehatan tingkat pertama sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. b). Bidan dan perawat hanya dapat melakukan rujukan ke dokter dan/atau dokter gigi pemberi pelayanan kesehatan tingkat pertama kecuali dalam kondisi gawat darurat dan kekhususan permasalahan kesehatan pasien, yaitu kondisi di luar kompetensi dokter dan/atau dokter gigi pemberi pelayanan kesehatan tingkat pertama

5). Rujukan Parsial

a). Rujukan parsial adalah pengiriman pasien atau spesimen ke pemberi pelayanan kesehatan lain dalam rangka menegakkan diagnosis atau pemberian terapi, yang merupakan satu rangkaian perawatan pasien di Faskes tersebut.

b). Rujukan parsial dapat berupa: (1). Pengiriman pasien untuk

dilakukan pemeriksaan penunjang atau tindakan (2). Pengiriman spesimen

untuk pemeriksaan penunjang

c). Apabila pasien tersebut adalah pasien rujukan parsial, maka penjaminan pasien dilakukan oleh fasilitas kesehatan perujuk.

b. Pembinaan dan Pengawasan Sistem Rujukan Berjenjang

1). Ka Dinkes Kab/Kota dan organisasi profesi bertanggung jawab atas pembinaan dan pengawasan rujukan

pada pelayanan kesehatan tingkat pertama.

2). Ka Dinkes provinsi dan organisasi profesi bertanggung jawab atas pembinaan dan pengawasan rujukan pada pelayanan kesehatan tingkat kedua.

3). Menteri bertanggung jawab atas pembinaan dan pengawasan rujukan pada pelayanan kesehatan tingkat ketiga.

c. Sistem Rujukan Pelayanan Ibu dan

Anak

Sistem rujukan adalah suatu sistem penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang melaksanakan pelimpahan tanggung jawab timbale balik terhadap satu kasus penyakit atau masalah kesehatan secara vertikal atau secara horizontal (Prasetyawati, 2012). Secara operasional definisi sistem rujukan adalah suatu aturan timbal balik yang melibatkan berbagai unsur terkait dalam pelayanan kesehatan reproduksi antara bidan desa, bidan dan dokter puskesmas, dengan para dokter spesialis di RS Kabupaten, untuk memperoleh cara penggunaan sumber daya kesehatan, sebagai upaya menyelamatkan ibu dan bayi baru lahir, melalui penanganan ibu risiko tinggi dan gawat darurat obstetri secara professional, efisien, efektif, rasional dan relevan. Sarana dan prasarana yang berteknologi canggih dipusatkan pada satu tempat, yaitu RS Kabupaten atau RS Provinsi (Rochjati, 2011).

d. Tujuan Sistem Rujukan

Secara umum tujuan rujukan adalah untuk menghindari terjadinya keadaan bahaya yang tidak diinginkan terhadap keselamatan ibu dan bayi melalui program rujukan terencana dalam satu area kabupaten, kotamadya atau propinsi (Rochjati, 2011).

e. Sistem Rujukan Paripurna Terpadu

Sistem rujukan paripurna terpadu dirumuskan sebagai semua bentuk layanan kesehatan reproduksi yang diberikan secara utuh, diawali dari keluarga berencana, kehamilan, persalinan dan nifas baik dalam bentuk Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial

(4)

Dasar (PONED) maupun Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Komprehensif (PONEK). Layanan diberikan lebih aktif melalui Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE). Masyarakat diharapkan tahu akan adanya komplikasi secara dini, tempat dan penolong persalinan yang aman melalui KIE tersebut. Dukungan Strategi Pendekatan Risiko dan Sistem Rujukan Terencana sangat dibutuhkan untuk pelaksanaan keaktifan sikap yang efektif dan efisien.

f. Rujukan Terencana

Rujukan terencana adalah rujukan yang dilakukan untuk mencapai tujuan sistem rujukan secara utuh yaitu untuk menyelamatkan ibu dan bayi secara fisik, mental dan sosial, ditempat yang sesuai, oleh penolong yang terampil, dengan biaya yang terjangkau. Sistem rujukan terencana terdiri dari unsur – unsur berikut :

a). Waktu : rencana dibuat sejak ibu hamil melalui KIE yang selaras. b). Risiko : mengenali tingkat risiko ibu

hamil secara dini sehingga mudah merencanakan waktu, tempat dan cara merujuk.

c). Jalur : rute rujukan mulai dari rumah klien sampai dengan tempat rujukan harus bebas hambatan, terutama dari segi biaya, transportasi dan kesiapan di petugas tempat rujukan.

Rochjati (2011) membagi ibu hamil dalam dua kelompok untuk mewujudkan Strategi Pendekatan Risiko. Kedua kelompok tersebut berdasarkan gambaran klinis dan berdasarkan skoring ibu hamil. Berdasarkan gambaran klinis, terbagi menjadi 2 risiko yaitu Risiko Rendah dan Risiko Tinggi. Ibu hamil dengan risiko rendah adalah ibu hamil tanpa masalah dan risiko tinggi adalah ibu hamil dengan masalah. Masalah yang ada pada ibu hamil risiko tinggi dibagi menjadi tiga kelompok:

a). Ada Potensi Gawat Obstetri (APGO) b). Ada Gawat Obstetri (AGO)

c). Ada Gawat Darurat Obstetri (AGDO)

Berdasarkan skoring, ibu hamil terbagi menjadi tiga kelompok:

a). Kehamilan Risiko Rendah (KRR) b). Kehamilan Risiko Tinggi (KRT) c). Kehamilan Risiko Sangat Tinggi

(KRST)

Rujukan terencana terbagi menjadi dua bagian, yaitu : Rujukan Dini Berencana (RDB) atau Rujukan Dalam Rahim (RDR) dan Rujukan Tepat Waktu (RTW). Pembagian rujukan terencana tersebut sangat berkaitan dengan strategi mewujudkan pendekatan risiko.

g. Kegawatdaruratan Maternal

Preeklamsia dan Eklamsia

Preeklamsia dan eklamsia merupakan dua hal yang termasuk dalam hipertensi dalam kehamilan. Menurut Cunningham (2013), preeklamsiaa adalah hipertensi yang timbul pada usia kehamilan lebih dari 20 minggu yang disertai proteinuria. Penegakan diagnosis preeklamsiaa apabila pada ibu hamil ditemukan hipertensi dengan tekanan sistolik dan diastolik lebih dan sama dengan 140/90 mmHg serta terdapat proteinuria. Sedangkan eklamsia adalah preeklamsiaa yang dipersulit oleh kejang tonik-klonik generalisata.

Pre eklamsia dan eklamsia merupakan komplikasi kehamilan yang berkelanjutan dengan penyebab yang sama. Oleh karena itu, pencegahan atau diagnosis dini dapat mengurangi kejadian dan menurunkan angka kesakitan dan kematian. Untuk mencegah kejadian pre eklamsia ringan dapat dilakukan nasehat tentang dan berkaitan dengan diet makan, cukup istirahat dan pengawasan antenatal (Manuaba, 2010).

Penanganan pre eklamsia bertujuan untuk menghindari kelanjutan menjadi eklamsia, melahirkan janin dalam keadaan optimal dan meminimalkan trauma pertolongan persalinan. Penanganan simptomatis diberikan pada ibu hamil dengan preeklamsia ringan yaitu dengan memberikan nasehat segera melakukan antenatal apabila ada keluhan nyeri kepala bagian depan, pandangan kabur, bengkak pada muka, tangan dan kaki atau berat badan naik, nyeri pada ulu hati, gerak janin berkurang dan pengeluaran urine berkurang. Bidan dapat

(5)

merawat ibu hamil dengan pre eklamsia berat untuk sementara, sampai menunggu kesempatan melakukan rujukan sehingga klien mendapat pertolongan yang sebaik – baiknya (Manuaba, 2010).

3. METODE PENELITIAN

Rancangan penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan case study. Peneliti berusaha menyelidiki pandangan bidan praktik mandiri tentang sistem rujukan berjenjang era JKN terhadap efektifitas rujukan bidan pada kasus kegawatdaruratan obsteri (et causa preeklamsia dan eklamsia).

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Saiful Anwar Malang dan di Bidan Praktek Mandiri di wilayah Kabupaten dan Kota Malang. RSSA dipilih karena merupakan RS rujukan tersier. Subjek penelitian ini adalah bidan praktik mandiri yang melakukan rujukan ibu hamil dengan pre eklamsia dan eklamsia di RSUD dr. Saiful Anwar Malang.

Pengumpulan data dilakukan dengan metode triangulasi yaitu deep interview, studi dokumen dan observasi. Pengumpulan data dengan deep interview dengan menggunakan sampel jenuh, artinya peneliti akan berhenti melakukan pengambilan sampel apabila semua pertanyaan di jawab sama. Analisis data pada penelitian ini dilakukan dengan transkripsi data,

melakukan coding, membuat kategori, menyusun tema dan menginterpretasi data.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

RSU dr. Saiful Anwar Malang berdiri sejak sebelum perang dunia kedua. Saat itu bernama RS Celaket. Pada tanggal 22 Pebruari 1979 melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 51/Menkes/SK/III/1979 ditetapkan RS Celaket sebagai RS rujukan. Rumah Sakit Celaket diresmikan sebagai Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Saiful Anwar oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur pada tanggal 12 Nopember 1979. Pada bulan April 2007 dengan Keputusan

Menteri Kesehatan RI

No.673/MENKES/SK/VI/2007 RSUD Dr. Saiful Anwar ditetapkan sebagai Rumah Sakit kelas A. Sesuai dengan Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 188/359/KPTS/013/2015 tanggal 18 Mei 2015 RSU dr. Saiful Anwar Malang merupakan RS rujukan provinsi Jawa Timur yang mengampu rujukan dari Kabupaten Probolinggo, Kota Probolinggo, Kabupaten Malang, Kota Malang, Kota Batu, Kabupaten Kediri dan Kabupaten Blitar.

Data sekunder yang didapat dari studi melalui rekam medik dengan criteria berdasarkan kunjungan terakhir ibu hami didapatkan sebagai berikut :

Tabel 1. Tabulasi Silang Ibu Hamil dengan Pre Eklamsi dan Eklamsia berdasarkan Cara Masuk dan Status Pembayaran di RSU dr. Saiful Anwar Malang Tahun 2016

Status Pembayaran Cara Masuk

UMUM % JKN % JAMKESDA % ASKES

LAIN TOTAL

Datang Sendiri 48 36,09 73 54,89 12 9,02 0 133

Rujukan Dokter Spesialis 0 0 0 0 0 0 1 1

Rujukan Bidan 4 80 1 20 0 0 0 5

Rujukan Puskesmas 3 30 5 50 2 20 0 10

Rujukan RS Swasta 5 50 5 50 0 0 0 10

Rujukan RS Umum 3 60 1 20 1 20 0 5

Rujukan Faskes Lain 0 0 1 100 0 0 0 1

TOTAL 63 86 15 1 165

Tabel 1 menggambarkan bahwa ada 5 (lima) ibu hamil dengan kegawatdaruratan preeklamsia dan eklamsia yang dirujuk oleh bidan. Hal ini menunjukkan bahwa rujukan bidan pada kasus kegawatdaruratan et causa pre eklamsia dan eklamsia dilaksanakan secara langsung ke Rumah Sakit dr. Saiful Anwar Malang. Dari hasil observasi rekam medis terhadap 5 (lima) ibu hamil tersebut didapatkan

1 (satu) ibu hamil mengalami eklamsia saat perjalanan menuju RSSA dan tidak ada ibu hamil yang meninggal. Hasil tersebut menggambarkan mayoritas ibu hamil preeklamsia dan eklamsia dirujuk dengan jenis rujukan terencana. Rujukan terencana dilakukan secara tepat waktu dan bidan telah mengenali risiko kehamilan secara dini.

(6)

Dari kegiatan wawancara yang telah dilakukan, didapatkan hasil sebagai berikut :

4.1. Pengaruh sistem rujukan berjenjang era JKN terhadap efektifitas rujukan bidan pada kasus kegawatdaruratan obstetri (et causa Pre Eklamsi dan Eklamsi)

Adanya sistem rujukan berjenjang pada era JKN sangat mempengaruhi pola rujukan bidan pada kasus preeklamsi dan eklamsia secara umum. Rujukan bidan menjadi efektif ditinjau dari segi waktu. Semua bidan yang menjadi jejaring JKN telah mendapatkan informasi tentang pedoman rujukan kasus preeklamsia dan eklamsia melalui dinas kesehatan. Untuk semua kasus preeklamsia berat, pusat rujukan berada di RSSA. Ketua Tim Penanganan Obstetri dan Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK) RSSA mengatakan bahwa tidak ada penolakan terhadap semua pasien emergensi obstetri.

Semua responden telah mengetahui adanya alur rujukan berjenjang, hal ini terbukti dengan adanya responden yang merujuk kasus pre eklamsia ringan ke puskesmas atau ke fasilitas kesehatan tingkat pertama lain. Rujukan PER ini, sesuai dengan pedoman pelaksanaan rujukan berjenjang. Dalam pedoman pelaksanaan rujukan berjenjang disebutkan tentang tata cara rujukan berjenjang oleh bidan dan perawat. Bidan dan perawat hanya dapat melakukan rujukan ke dokter dan/atau dokter gigi pemberi pelayanan kesehatan tingkat pertama kecuali dalam kondisi gawat darurat dan kekhususan permasalahan kesehatan pasien, yaitu kondisi di luar kompetensi dokter dan/atau dokter gigi pemberi pelayanan kesehatan tingkat pertama (BPJS, 2014).

Pre eklamsia dan eklamsia merupakan keadaan kegawatdaruratan obstetri, jika tidak dilakukan penanganan lebih lanjut dapat menimbulkan komplikasi, baik kepada ibu maupun janin. Fakta rujukan kasus PER ke Puskesmas merupakan salah satu upaya bidan dalam menurunkan AKI pada penderita preeklamsia dan eklamsia yaitu

menyeleksi kasus yang menjadi kewenangan bidan (Roeshadi, 2007).

Hasil penelitian menunjukkan semua responden merasa puas dengan adanya sistem rujukan berjenjang ini, karena bidan lebih mudah memotivasi keluarga dan ibu hamil, saat akan dilakukan rujukan. Karena keluarga tidak lagi memikirkan tentang biaya persalinan ataupun biaya rumah sakit.

4.2. Keputusan untuk merujuk kasus kegawatdaruratan obstetri (et causa Pre Eklamsi dan Eklamsi)

Ketepatan diagnosa dan ketepatan waktu merujuk sangat penting untuk diperhatikan. Terkadang keadaan pasien yang sesungguhnya tidak sesuai dengan diagnosa. Ketidaksesuaian ini dipengaruhi oleh faktor karakteristik tenaga kesehatan, diantaranya: kompetensi, umur, pengalaman bekerja, tingkat pendidikan, pelatihan yang pernah diikuti dan pengetahuan (Rumita, 2013). Bidan wajib memiliki kompetensi dalam mengenali dan menangani kasus preeklamsia sesuai dengan standar pelayanan kebidanan. Semua responden menyatakan bahwa semua kasus preeklamsia ringan dirujuk ke faskes tingkat I.

Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Primasari (2015) ketepatan dalam merujuk pasien di era JKN sudah lebih sesuai kewenangan klinis daripada sebelum JKN, dikarenakan saat ini (era JKN) terdapat aturan yang lebih jelas tentang kewenangan klinis PPK I, yang mana di luar kewenangan tersebut digolongkan dalam indikasi rujuk. Ada 2 responden yang memberikan Sulfas Magnesium sebelum melakukan rujukan pada kasus preeklamsia berat. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya kejang. 1 responden dengan ibu hamil eklamsia, memberikan SM untuk menstabilkan kondisi ibu sebelum dilakukan rujukan.

Stabilisasi kondisi ibu perlu dilakukan sebelum melakukan rujukan. Stabilisasi dilakukan segera, sesaat setelah timbulnya gejala. Gejala dalam hal ini adalah kejang. Tujuan stabilisasi

(7)

kondisi ibu adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi yang lebih kompleks, sehingga secara tidak langsung dapat menurunkan risiko kematian ibu. Merujuk pasien dengan Preeklamsia dan Eklamsia harus dilaksanakan pada saat yang tepat dan bidan harus dapat memutuskan waktu yang tepat untuk merujuk.

4.3. Pengalaman bidan ketika merujuk kasus kegawatdaruratan obstetri (et

causa Pre Eklamsi dan Eklamsi) Hasil penelitian ini mendeskripsikan bahwa seluruh responden memiliki pengalaman dalam melakukan rujukan kasus preeklamsi dan eklamsia. Dalam melaksanakan rujukan tersebut terdapat faktor yang menghambat dan mempermudah proses rujukan. Faktor yang menghambat adalah ibu hamil, keluarga dan transportasi. Salah satu responden menceritakan pengalamannya dalam merujuk ibu hamil dengan preeklamsia berat. Rujukan telah dilakukan ke fasilitas kesehatan lanjutan, sesampainya di RS, ibu hamil pulang karena antrian panjang. Hal ini terjadi karena pengetahuan ibu tentang risiko kehamilan kurang.

Salah satu faktor yang menguntungkan bidan dalam melakukan rujukan pada era JKN ini adalah adanya jaminan dari BPJS. Semua responden mengatakan dengan adanya jaminan dari BPJS, keluarga lebih mudah dimotivasi untuk segera dirujuk. Keluarga tidak lagi memikirkan tentang biaya perawatan. Namun, dengan adanya BPJS ini, bidan juga mengeluhkan tentang sistem klaim dan pencairan dana. Bidan tidak mendapatkan penjelasan yang rinci tentang klaim yang sudah dan belum dicairkan. Bidan berharap ada sistem atau aplikasi yang dapat diakses oleh bidan, untuk mengetahui administrasi kelengkapan dokumen yang telah diserahkan.

Hal lain yang menjadi keluhan bidan

dalam melakukan rujukan

kegawatdaruratan adalah apabila bidan melakukan tindakan stabilisasi kondisi klien tidak mendapat penggantian biaya

dari BPJS. Misalkan dengan pemasangan infus dan pemberian SM, tidak mendapatkan penggantian obat maupun biaya dari BPJS, sehingga bidan membebankan biaya tersebut kepada pasien. Demikian juga dengan transportasi, apabila bidan mengantar klien menggunakan mobil pribadi, maka bidan membebankan biaya transportasi kepada pasien.

5. KESIMPULAN

Kesimpulan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

Semua responden telah menjalankan sistem rujukan berjenjang dan telah bermitra dengan BPJS.

Beberapa responden merujuk kasus pre eklamsi yang belum mengalami kegawatdaruratan ke fasilitas kesehatan I misalnya Puskesmas. Dan jika sudah ada tanda kegawatdaruratan langsung merujuk ke RSSA. Beberapa responden mendiskripsikan pengalaman merujuk yang berbeda – beda karena ada faktor yang mempermudah dan menghambat proses rujukan.

6. REFERENSI

1. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. 2014. Panduan Praktis Sistem Rujukan Berjenjang. Jakarta : BPJS

2. Creswell, John. 2012. Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed. Yogyakarta : Pustaka Pelajar 3. Cunningham et all. 2013. Obsterti

Williams, ed 23- Vol. 2. Jakarta : EGC 4. Dinas Kesehatan, 2013. Profil Kesehatan

Propinsi Jawa Timur Tahun 2012. Surabaya : Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur

5. Kemenkes RI, 2012. Pedoman Sistem Rujukan Nasional. Jakarta : Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementrian Kesehatan RI

6. Kemenkes RI, 2013. Rencana Aksi Percepatan Penurunan Angka Kematian Ibu di Indonesia. Jakarta : Direktorat Jenderal Bina Gizi dan KIA

7. Kemenkes RI, 2014. Buku Pegangan Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam Sistem Jaminan Sosial

(8)

Nasional. Jakarta : Jaminan Kesehatan Nasional.

8. Kemenkes RI, 2014. Situasi Kesehatan Ibu. Jakarta : Pusat Data dan Informasi. 9. Kemenkes RI, 2015. Profil Kesehatan RI

Tahun 2014. Jakarta : Kementrian Kesehatan Republik Indonesia

10. Manuaba, Ida Ayu Chandranita. 2010. Ilmu Penyakit Kandungan dan KB untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC.

11. Mufdillah, Hidayat. A, Kharimaturrahmah. I, 2012. Konsep Kebidanan. Yogyakarta : Nuha Medika 12. Rochjati, P. 2011. Sistem Rujukan dalam

Pelayanan Kesehatan Reproduksi. Bunga Rampai Obstetri dan Ginekologi Sosial. Edisi 2. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo

13. Rochjati, P. 2011. Skrining Antenatal Pada Ibu hamil Pengenalan Faktor Risiko Deteksi Dini Ibu Hamil Risiko Tinggi. Edisi 2. Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair.

14. Prasetyawati. AE, 2012. Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dalam Millenium Development Goals (MDG’s). YogYakarta : Nuha Medika

15. Rumita. 2013. Analisis Kelayakan Rujukan Oleh bidan Puskesmas PONED di RSUD Pirngadi Kota Medan tahun 2012. Depok: FKM UI.

16. Sujianti, Susanti. 2009. Buku Ajar Konsep Kebidanan Teori dan Aplikasi. Yogyakarta : Nuha Medika

17. USAID. 2010. Panduan Operasional Pelayanan Jejaring Sistim Rujukan Kegawat-daruratan Ibu dan Bayi Baru Lahir (Neonatus) Puskesmas - Rumah Sakit

18. Yonara. S, Wulandari. RD, Penilaian Puskesmas dan Rumah Sakit tentang Efektifitas Sistem Rujukan Maternal di Kota Surabaya. 2015. Jurnal Administrasi Kesehatan Indonesia. 3 (2): 151-160.

Referensi

Dokumen terkait

Toolbar Garis Singg ung memiliki fungsi untuk membuat garis singgung antara lingkaran dengan objek lainnya seperti titik, garis, atau lingkaran lainnya.. Toolbar Garis Polar

Penulisan Ilmiah ini menjelaskan tentang membahas mengenai pemanfaatan CMS dalam pengembangan sebuah situs galeri seni (www.idabagusindra.com), yaitu situs yang berisi informasi

Setelah pengolahan data mentah selesai (dengan output shoreline.xyz dan bathymetry.xyz) hal yang pertama kali harus dilakukan dalam setup model Mike adalah

Mice were peritoneal infected with 10 6 Plasmodium berghei ANKA and divided into 5 treatment groups: negative control; positive control (artemisin of dose 4 mg/kgBW);

Berdasarkan hasil penelitian di atas, yaitu seharusnya nasabah pada saat melakukan pencairan deposito mud{h<arabah sesuai dengan jangka waktu, agar tidak

function under a\specified condition and within the specified time (Sinha, 1986). However, current research rarely provides objective and quantitative judgment on the

Tentukan lebar dan tinggi talang agar dapat menampung air yang sebanyak-banyaknya dengan bahan talang yang terbatas, yaitu lebar seng 90 cm. Kawat sepajang 100cm

Luaran dari metode ini adalah jumlah penempatan sensor untuk state estimation yang memiliki error estimasi tegangan cukup akurat.. Hasil simulasi PSO pada empat