• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN IKLIM YANG EKSTREM DAN ANCAMAN TERHADAP PRODUKSI BERAS DI PROPINSI SUMATERA UTARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN IKLIM YANG EKSTREM DAN ANCAMAN TERHADAP PRODUKSI BERAS DI PROPINSI SUMATERA UTARA"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN IKLIM YANG EKSTREM DAN ANCAMAN TERHADAP PRODUKSI BERAS DI PROPINSI SUMATERA UTARA

Zahari Zen (zahari.zein@gmail.com) Dosen STIE-Harapan Medan

ABSTRACT

The aims of this study is to understand the substance of decreasing areal of rice field and the threat to food security particularly rice in North Sumatera due to climate variability and climate change. It is expected that the Government of North Sumatera could develop strategies to anticipate extreme climate events and to mainstreaming farmers’ adaptation to climate change in the form of necessary steps to secure the rice production in North Sumatera. North Sumatera Government should also refer to the Presidential Decree No. 5 year 2011 concerning safeguarding the national rice production facing extreme climate conditions.

The result of the study shows that rice planting area in North Sumatra was 1,619,792 ha in 2011 with cropping index were still low at only 1.6 or less than 2 harvests per year. Climate change particularly erratic rainfall in many districts in North Sumatra, have caused area of rice declined since 2002 to 2009, although rice production increased notably from 2006 to 2010 due to the intensification programs and expanding rice field. Poorly, there is only 23% of technical irrigated rice field in North Sumatra. Decreasing in rice field is not only attributed to the lack of irrigation water, but also due to bad irrigation infrastructure conditions in some districts. The impact of climate change along with poor irrigation infrastructure plus government price policy (HPP) that below the village market price led to the increasing conversion of paddy fields into plantations. It threatens food security in North Sumatra. North Sumatra rice imports have increased since 2005 -2007. Of particular concern is the condition of the small farmers whose acreage is less than ½ ha of rice fields were not able to do the conversion because of the initial investment costs is high and long immature period of the trees. Many strange sights which have small area of rice fields surrounded by palm oil plantations in North Sumatra and some rice farmers have sold their rice field to wealthy farmers to grow oil palm.

Recommendations for adaptation action plans in North Sumatra is to extend the use of the new high yielding varieties that more resistant to climate change, the need for expanding rice fields programs and the need to rehabilitate damaged irrigation infrastructure. Very important program supports are the development of Integrated Crop Management Field School (SL-PTT), Field School for Pest and Disease Control (SLPHT); Climate Field School (SLI), Integrated Planting Calendar (Katam); and Sapta Usaha Tani program. It has been proposed to coordinate the development of new integrated strategies in empowering agriculture extension officers; meeting coordination and socialization between related institution; post coordination center at Sub-District level, District/ City and Provincial level. The expected output is increasing cropping index (IP); increased planted and harvested area; increased rice production, and improve food self-sufficiency. The impact of these programs and activities are expected to increase the adaptability of rice farmers on extreme climate change.

Keywords : Extreme Climate Events, Climate Change, Rice Production, Cropping Index and Vulnerability

LATAR BELAKANG

Kondisi penyediaan beras dalam rangka pengamanan pangan di Sumatera

Utara dipengaruhi oleh keadaan usaha tani cuaca dan iklim dan kebijakan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan petani dan masyarakat konsumen beras. Luas tanam

(2)

padi di Sumatera Utara adalah 754.679 ha pada tahun 2011 dengan indeks pertanaman masih rendah yaitu hanya 1,6 atau kurang dari 2 kali panen setahun. Dari data statistic sejak tahun 2002 hingga tahun 2011 terus terjadi penurunan areal padi walaupun usaha pemerintah dalam pencetakan sawah telah mulai dilakukan sejak 2009 namun masih kalah dibandingkan laju konversi lahan sawah ke tanaman perkebunan.

Adanya perubahan iklim khususnya curah hujan yang tidak menentu diberbagai Kabupaten di Sumatera Utara, telah menyebabkan luas areal padi menurun sejak periode tersebut diatas, meskipun demikian produksi padi meningkat khususnya sejak 2006 hingga 2010 karena adanya program dan kegiatan intensifikasi. Sebagai gambaran hanya 23 % lahan sawah beririgasi tehnis artinya yang dapat menjamin penanaman padi bisa dilakukan 2 kali setahun atau bahkan dengan usha yang terkoordinir bersama petani bisa dilakukan 5 kali dalam 2 tahun. Sedang sisanya sebanyak 77 % sangat terancam tidak saja karena kekurangan air karena kemarau yang sangat kering, tetapi juga terlalu banyak air karena banjir. Penurunan luas areal padi selain disebabkan oleh debit air irigasi menurun, juga disebabkan kondisi infrstruktur irigasi yang semakin rusak dibeberapa Kabupaten. Dampak perubahan iklim dan infrastruktur irigasi yang buruk ditambah kebijakan harga patokan pemerintah (HPP) beras dibawah harga pasar menyebabkan semakin meningkatnya konversi lahan sawah ke areal perkebunan (JICA, 2012). Impor beras Sumatera Utara telah meningkat sejak tahun 2005 -2007.

Kondisi yang memprihatinkan adalah petani kecil yang areal sawahnya kurang dari ½ ha tidak mampu melakukan konversi karena biaya investasi awal perkebunan yang tinggi. Banyak pemandangan aneh dimana areal sawah yang sempit telah dikelilingi oleh perkebunan-perkebunan sawit di Sumatera Utara dan sebagian sawah petani kecil telah dijual kepada petani kaya untuk perkebunan kelapa sawit . Dengan gambaran diatas penelitian ini akan mengeksplorasi keterkaitan berbagai faktor yang saling berkaitan satu dengan lainnya dan mengevaluasi kebijakan

khususnya masalah tanaman padi dan menguji seberapa jauh kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah dalam menghadapi masalah ketahanan pangan khususnya masalah beras di Sumatera Utara.

METODE PENELITIAN

Data sekunder yang berkaitan dengan iklim, produksi beras di Sumatera Utara, data indeks pertanaman setiap Kabupaten, data curah hujan sepuluh tahun terakhir merupakan metode utama melihat secara umum fenomena iklim dan produksi beras. Kemudian darta sekunder dilengkapi untuk mengetahui kebijakan pemerintah pusat dalam menetapkan Harga Patotan Pemerintah (HPP) . Pada tahap ke dua dilakukan kunjungan ke daerah sentra produksi padi di Sumatera Utara yaitu Kabupaten Simalungun, Kabupaten Batubara dan Kabupaten Asahan dimana fasilitas irigasi yang sangat memprohatinkan karena kurangnya pemeliharaan dan kerusakan. Interview dengan petani juga dilakukan untuk mengetahui berbagai aspek usahatani termasuk harga gabah, harga pupuk, maslaha konversi lahan dan sebagainya, interview juga dilakukan dengan petugas Dinas Pertanian Kabupaten tersebut dan PU Pengairan atau Dinas Sumberdaya air. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2011- 2012.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertanian memegang peranan yang penting di Sumatera Utara karena hampir separuh tenaga kerja di Sumatera Utara, yaitu sekitar 48%, bekerja di sektor pertanian. Jumlah rumah tangga pertanian tanaman pangan di Sumatera Utara mencapai 1,2 juta kepala keluarga dengan PDRB sektor pertanian mencapai 22,58% pada tahun 2011.

(3)

Gambar 1. Perbandingan Tenaga Kerja Pertanian Dan Non Pertanian Di Sumatera Utara

Tabel 1.

Perkembangan Indikator Utama Perekonomian Sektor Pertanian N o. Uraian 2009 2010 2011* 1 PDRB Sektor Pertanian 23,03 22,92 22,58 2 Nilai Tukar Petani (NTP) Sektor TPH 100,82 102,36 103,44 - NTP Pangan 97,64 98,47 99,67 - NTP Hortikultura 115.03 109,68 113,29 3 Pertumbuhan sektor Pertanian 4,81 5,08 5,61

Ket :(*) S/d Triwulan III Tahun 2011

Sumber : Lusyantini, 2011 bahan Presentansi “Dukungan yang Dibutuhkan Dalam Rangka Memberhasilkan Surplus Beras” (Dinas Pertanian Sumatera Utara)

Sebagian besar lahan pertanian di Sumatera Utara masih memiliki indeks pertanaman di bawah 2, yang berarti pada sebagian besar lahan pertanian terdapat kurang dari 2 kali panen dalam satu tahun seperti terlihat pada Table 2 berikut ini.

Tabel 2.

Indeks Pertanaman Sumatera Utara Indeks Pertanaman 2011 Luas Lahan (Hektar) IP < 1 123.217 1 < IP < 1,5 114.267 1,5 < IP < 2 203.010 IP > 2 42.291 JUMLAH 482.785 Sumber: Lusyantini, 2011

Dari Tabel 2 terlihat hanya sekitar 42 ribu ha yang memiliki IP diatas 2 sedangkan sebagian besar IP dibawah dua atau lebih dari 90% areal dibawah 2. Ini berarti masih adapotensi untuk meningkatkan produksi beras sepanjang infrastruktur irigasi bisa ditingkatkan kapasitasnya dan intensifikasi pertanian.

Siklus produksi padi di Sumatera Utara mencapai puncaknya pada bulan Desember sampai Maret setiap tahunnya dengan periode puncak tanam sekitar bulan September sampai Desember ( Gambar 2).

Gambar 2. Siklus Produksi Beras Sumatera Utara

Dari Gambar 2 terlihat konsumsi beras pada tahun 2010 relatif konstan pada kisaran 150,000 ton tapi produksi pada bulan-bulan tertentu misalnya bulan April, Mai, Juli dan November produksi berada dibawah konsumsi artinya tanpa ada

(4)

cadangan beras Bulog Sumatera Utara akan kekurangan bahan pokok pangan tersebut.

Luas Panen, Produktivitas,Produksi Padi Dan Hubungannya Dengan Curah Hujan di Sumatera Utara

Dari data statistic terlihat bahwa telah terjadi penurunan luas panen di Sumatera Utara pada tahun 2002 hingga 2006. Pada kasus penurunan luas panen tahun 2002, luas panen dapat kembali naik ke angka 800.000 hektar pada tahun berikutnya. Sementara pada kasus penurunan luas panen pada tahun 2006, sampai tahun 2009 luas panen belum dapat pulih kembali untuk mencapai angka 800.000 hektar. Sementara itu produktivitas syukurnya dapat terus bertambah terus karena semakin giatnya intensifikasi, meskipun produksi berkurang pada tahun 2006 namun terus meningkat hingga 2009.

Tabel 3.

Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Padi di Provinsi Sumatera Utara

Tahun Luas Panen Area (Ha) Produktivitas (Kw/Ha) Produksi (Ton) 1999 838,626 41.16 3,451,430 2000 847,610 41.46 3,514,253 2001 801,948 41.04 3,291,515 2002 765,161 41.21 3,153,305 2003 825,188 41.24 3,403,075 2004 826,091 41.39 3,418,782 2005 822,073 41.94 3,447,393 2006 705,023 42.66 3,007,636 2007 750,232 43.53 3,265,834 2008 748,540 44.63 3,340,794 2009 768,407 45.91 3,527,899

Sumber : BPS Pusat “Pertanian dalam Angka 1999-2009”

Apabila dilihat hubungannya dengan produksi padi di sumatera Utara, maka pola curah hujan hamper menyamai pola produksi seperti disajikan pada Gambar 3 berikut ini.

Sumber : Dinas Pertanian 2012

Gambar 3. Curah Hujan Rata-Rata Perbulan 2009/2010 Dan Luas Tanam Padi Sawah 2010

Apabila dikaitkan dengan data seri waktu data curah hujan per Kabupaten, maka pada tahun 2005-2006 di Kabupaten Tapanuli Selatan merupakan masa sulit dalam penanaman padi karena curah hujan yang tidak menentu. Pada bulan Desember 2005 sampai Januari 2006 sangat kering sementara pada bulan Februari 2006 curah hujan meningkat sangat tinggi. Bulan-bulan berikutnya cenderung kering yaitu bulan Maret sanpai Juli 2006 (Gambar 4 ).

Gambar 4. Perbandingan perkembangan luas tanam padi dan komoditas perkebunan untuk Kabupaten Tapanuli Selatan, Padang Lawas Utara dan Padang Lawas

(5)

Gambar 5. Perbandingan Perkembangan Luas Tanam Padi Dan Komoditas Perkebunan Untuk Kabupaten Labuhan Batu

Gambar 6. Perbandingan Perkembangan

Luas Tanam Padi Dan

Komoditas Perkebunan Untuk Kabupaten Simalungun

Apabila diamati data luas tanam karet dan kelapa sawit dibandingkan dengan luas panen padi di Kabupaten Tapanuli Selatan, Padang Lawas Utara, dan Padang Lawas, maka terlihat adanya perkembangan luas tanam kelapa sawit terutama pada tahun 2003 sampai 2004 dan karet pada tahun 2004-2008 tetapi pada periode yang sama sebaliknya telah terjadi p penurunan luas panen padi tahun 2007-2009. Demikian pula di Kabupaten Labuhan Batu, terlihat pola dimana terjadi peningkatan luas tanam kelapa sawit sementara luas panen padi berkurang. Hal yang sama juga terlihat pada

Kabupaten Simalungun dimana terjadi penurunan luas panen padi dan peningkatan luas tanam kelapa sawit. Hal ini mengindikasikan telah terjadinya perubahan fungsi lahan untuk pertanian padi menjadi lahan kelapa sawit dan karet.

Bila dikaitkan dengan ketersediaan infrastruktur irigasi , menunjukan tingkat kerentanan pangan kita sangatlah tinggi karena hanya sekitar 23 % saja lahan sawah yang beririgasi tehnis, sisanya adalah sawah tadah hujan, irigasi desa danirigasi sederhana. Jadi dari sudut indeks pertanaman masih mungkin dilakukan untuk meningkatkan produksi padi dalam mengantisipasi ketidak menentuan iklim.

Gambar 7. Tingkat Kerentanan Pangan Berkaitan dengan harga pupuk juga menjadi beban petani dan sangat menurunkan indeks nilai tukar komoditi padi. Grafik berikut menggambarkan harga pupuk yang terus meningkat dari tahun ke tahun.

Gambar 8. Perkembangan Harga Pupuk

Urea Di Sumatera Utara 2001-2007

(6)

Dari Grafik diatas terlihat bahwa harga pupuk urea cenderung meningkat setiap tahunnya. Kenaikan harga pupuk akan meningkatkan biaya produksi petani, yang mempengaruhi nilai tukar petani padi. Nilai tukar petani padi di Sumatera Utara pada tahun 2009 masih di bawah 100 yaitu sebesar 96,23. Dengan Nilai Tukar yang lebih rendah dari tanaman perkebunan atau petani hortikultura, maka tidak heran terjadi alih fungsi lahan atau konversi dari tanaman padi menjadi tanaman perkebunan dan tanaman lainnya.

Kebijakan Harga Patokan Pemerintah (HPP) dan Perbandingannya dengan Harga Padi di Pedesaan

Grafik berikut menggambarkan perbandingan harga jual beras dan HPP untuk kualitas Gabah Kering Panen (GKP). Sejak tahun 2005, harga yang ditetapkan pemerintah (HPP) lebih rendah dari harga petani di pasaran sehingga BULOG tidak membeli beras dari petani.

Gambar 9. Perbandingan Harga Jual Beras Petani Dan HPP

Dari data diatas terlihat bahwa petani tidak terlindungi oleh kebijakan pemerintah, sehingga petani lebih tergantung pada tengkulak. Hal ini terlihat dari data impor beras yang

dilakukan oleh pemerintah seperti Grafik berikut ini.

Gambar 10. Perkembangan Impor Beras Dan Pengadaan Dalam Negeri

Sebagaimana dijelaskan dimuka bahwa kegiatan intensifikasi telah dapat menghindari impor beras, maka sejak 2008 tidak ada lagi pemasukan beras dari luar Sumatera Utara. Sumatera pada dasarnya juga meng ekspor beras ke propinsi tetangga khususnya provinsi Riau.

Berdasarkan temuan-temuan tersebut maka, dapat dilakukan pemetaan masalah. Perubahan iklim dan variabilitas iklim menyebabkan bencana alam seperti banjir dan kekeringan yang bersamaan dengan kurangnya pengembangan dan pemeliharaan sistem irigasi menyebabkan luas panen berkurang dan penurunan frekuensi panen. Luas panen berkurang menyebabkan tidak ada pertambahan produksi padi yang signifikan. Penurunan frekuensi panen bersamaan dengan harga pupuk yang terus meningkat, biaya produksi, kebijakan harga pemerintah yang menetapkan HPP yang terlau rendah sehingga tidak mampu bersaing dengan tengkulak, dan impor beras mempengaruhi NTP petani padi rendah yang menyebabkan petani melakukan alih fungsi lahan.

(7)

Gambar 11. Berbagai Faktor Yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Yang Mengancam Ketahanan Pangan

Dari gambar diatas juga terlihat bahwa pertumbuhan penduduk dan permintaan minyak kelapa sawit menyebabkan kompetisi dalam penggunaan lahan dan air. Kompetisi tersebut bersamaan dengan deforestasi juga mempengaruhi alih fungsi lahan. Alih fungsi lahan yang terjadi juga akan menyebabkan luas panen padi terus berkurang dan sehingga tidak ada penambahan produksi padi yang signifikan

Proyeksi Iklim Masa Depan (DNPI) Pada laporan DNPI, wilayah Sumatera Utara dibagi ke dalam 4 tipe wilayah berdasarkan kesamaan pola curah hujan. Pada tahun 2025 terdapat beberapa daerah yang mengalami peningkatan curah hujan lebih dari 10 % yaitu daerah tipe 3 pada bulan Maret, April, dan Juni dan daerah tipe 4 pada bulan Desember sampai Mei. Sedangkan pada tahun 2050 daerah yang mengalami kenaikan curah hujan lebih dari 10% adalah daerah tipe 2 pada bulan Juni, Juli, dan Agustus, dan daerah tipe 3 dan 4 pada bulan Desember sampai Mei. Berdasarkan proyeksi Curah Hujan (BMKG) 2015-2039. Berdasarkan proyeksi tersebut maka daerah pesisir Sumatera Utara akan menjadi lebih basah atau mengalami peningkatan curah hujan pada tahun

2015-2039 (JICA 2012). Artinya ancaman gagal panen karena banjir diperkirakan akan semakin besar, karena meningkatnya kerentanan. Kerentanan merupakan dampak faktor-faktor selain iklim. Berdasarkan IPCC, kerentanan suatu daerah merupakan fungsi dari exposure (terpar) karena kerusakan lingkungan, sensitifitas suatu daerah, dan kapasitas adaptasi daerah tersebut.

SIMPULAN dan SARAN

Kesimpulan yang dapat diambil dari temuan-temuan ini adalah perubahan iklim yang tidak menentu berdampak pada sektor pertanian seperti yang terjadi pada tahun 2001-2002 dan 2005-2006. Daerah Sumatera Utara termasuk daerah dengan sensitifitas tinggi terhadap kejadian ekstrim karena lahan pertanian tanpa irigasi masih tinggi (sekitar 40%), dan sebagian besar petani di Sumatera Utara adalah petani kecil dengan kepemilikan lahan yang kecil. Terjadinya konversi lahan justru mempersulit petani padi sawah yang arealnya kurang dari ½ ha karena tidak mungkin melakukan konversi dengan hanya memiliki 60 pohon sawit tidak akan dapat menunjang kehidupan keluarga, ditambah lagi investasi awal yang mahal, masa tanaman belum menghasilkan yang panjang 3,5 th, dan harga sawit yang berflutuasi. Terdapat beberapa faktor ekonomi dan sosial yang mempengaruhi petani mengkonversi lahannya yaitu harga beras dan pupuk, meningkatnya permintaan akan kelapa sawit, dan kompetisi penggunaan lahan dan air.

Dampak perubahan iklim tidak mungkin diatasi dalam waktu dekat, oleh karena itu prioritas pembangunan adalah melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim dengan meningkatkan kapasitas ekonomi masyarakat dan daya tahan lingkungan agar mampu mengantisipasi kejadian-kejadian iklim yang ekstrim. Pemerintah sebaiknya memasukkan rencana aksi adaptasi perubahan iklim dalam RPJMD dan RPJP pembangunan pertanian di Sumatera Utara, khususnya dalam mengamankan produksi beras. Kebijakan pemerintah untuk memberikan subsidi pupuk, meningkatkan harga HPP diatas

(8)

harga tengkulak. Kesadaran semua stakeholder tentang ancaman bencana iklim, khususnya pada petani perlu dilakukan secara terus menerus. Pendidikan sekolah lapangan iklim, sekolah pengendalian hama terpadu, penggunaan bibit yang tahan kekeringan dan banjir segera diperluas keseluruh Kabupaten di Sumatera Utara.

DAFTAR PUSTAKA

Aldrian, E and Djamil, S.D. (2006). Long term rainfall trend of the brantas catchment area, East Java. Indonesian Journal of Geography 38:26-40.

Boer, R., A. Buono, Sumaryanto, E. Surmaini, A. Rakhman, W. Estiningtyas, K. Kartikasari, and Fitriyani. (2009). Agriculture Sector. Technical Report on Vulnerability and Adaptation Assessment to Climate Change for Indonesia’s Second National Communication. Ministry of Environment and United Nations Development Programme, Jakarta. McCarl, Adams, and Hurd (2001). Global

Climate Change and Its Impact on Agriculture.

http://agecon2.tamu.edu/people/fac ulty/mccarl-bruce/papers/879.pdf. Naylor, R.L., D.S. Battisti, D.J. Vimont,

W.P. Falcon, and M.B. Burke. (2007). Assessing risks of climate variability and climate change for Indonesian rice agriculture. Proceeding of the National Academic of Science 114: 7752-7757.

Sudaryanto, T. (2009). Akselerasi Pengentasan Kemiskinan di Pedesaan: Revitalisasi Peran Sektor Pertanian. Naskah Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Sosial ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.

Susandi, A. (2006). Projection of Climate Change over Indonesia using MAGICC/SCENGEN Model.

Gambar

Gambar 2.  Siklus  Produksi  Beras  Sumatera Utara
Gambar 3.  Curah  Hujan  Rata-Rata  Perbulan  2009/2010  Dan  Luas  Tanam  Padi  Sawah 2010
Gambar 6.  Perbandingan  Perkembangan  Luas  Tanam  Padi  Dan  Komoditas  Perkebunan  Untuk  Kabupaten Simalungun
Grafik  berikut  menggambarkan  perbandingan  harga  jual  beras  dan  HPP  untuk  kualitas  Gabah  Kering  Panen  (GKP)
+2

Referensi

Dokumen terkait

7) Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemborosan dan hidup mewah. perilaku siswa dalam pengamalan ini siswa tidak boros dengan menabung

Farmer’s share dapat digunakan dalam menganalisis efisiensi saluran pemasaran dengan membanding- kan seberapa besar bagian yang diterima oleh petani dari harga yang dibayarkan

Although this study is still in the form an opinion paper; I then dream to conduct a related research specially investigating the probability of using ARALISH

Setelah menjadi kerajaan Islam, di Minangkabau kemudian juga dikenal adanya Rajo Nan Tigo Selo yang terdiri dari Raja Adat di Buo, Raja Ibadat di Sumpurkudus, dan

hari. Karena suatu hal, pembangunan gedung tersebut harus selesai dalam rvaktu 30 hari. Tambahan pekerja yang diperlukan agar selesai tepat waktu adalah ......

Pada usia dini terjadi pertumbuhan dan perkembangan yang paling pesat pada otak manusia dalam menerima berbagai masukan dari lingkungan sekitar (Chamidah, 2009).Hasil penelitian di

dengan keadaan dan kemampuan yang dimilikinya sehingga tidak menjadikan beban bagi peserta didik. Penyesuaian beban belajar memberikan peluang bagi peserta didik untuk

Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan kekuatan setiap waktu kepada penulis dalam melaksanakan Kerja Praktek dan menyelesaikan Laporan Tugas Akhir ini.. Bapak Ferdian