• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemanfaatan bola sebagai alat peraga untuk membantu siswa Sekolah Luar Biasa Tunanetra (SLB A) memahami konsep perkalian : studi kasus pada siswa kelas II SLB A Yaketunis Yogyakarta.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemanfaatan bola sebagai alat peraga untuk membantu siswa Sekolah Luar Biasa Tunanetra (SLB A) memahami konsep perkalian : studi kasus pada siswa kelas II SLB A Yaketunis Yogyakarta."

Copied!
146
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Dennis Meilky La’lang. 2016. Pemanfaatan Bola Sebagai Alat Peraga Untuk Membantu Siswa Sekolah Luar Biasa Tunanetra (SLB A) Memahami Konsep Perkalian. Skripsi. Program Studi Pendidikan Matematika. Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui hasil belajar yang dicapai siswa Kelas II SLB A Yaketunis Yogyakarta dalam pembelajaran matematika dengan menggunakan bola sebagai alat peraga pada materi perkalian, (2) mengetahui pengaruh penggunaan bola sebagai alat peraga dalam pembelajaran matematika terhadap pemahaman siswa SLB A pada materi perkalian.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Subjek penelitian adalah 2 orang siswa kelas II SLB A Yaketunis Yogyakarta. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Agustus dan September 2016. Data diperoleh dari wawancara peneliti dengan siswa dan hasil pre-test dan post-test. Data hasil wawancara dianalisis secara kualitatif, sedangkan data hasil belajar siswa dianalisis secara kuantitatif untuk mendapatkan jawaban dari masalah yang telah dirumuskan.

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa: (1) hasil belajar siswa Kelas II SLB A Yaketunis Yogyakarta dalam pembelajaran yang menggunakan alat peraga berupa bola pada materi perkalian meningkat, dimana secara keseluruhan rata-rata nilai hasil belajar siswa meningkat dari 35% dalam kriteria rendah menjadi 85% dalam kriteria sangat tinggi, (2) pemahaman siswa mengenai konsep perkalian sangat baik, dimana siswa menjadi paham mengenai konsep perkalian sebagai penjumlahan berulang. Alat peraga yang digunakan dalam penelitian ini sangat membantu siswa dalam memahami konsep perkalian karena membuat materi yang abstrak menjadi konkret sehingga mudah dipahami siswa.

(2)

ABSTRACT

Dennis Meilky La’lang. 2016. The utilization of ball as learning media to help the students of Sekolah Luar Biasa Tunanetra (SLB A) in comprehending the concept of multiplication. Undergraduate Thesis. Mathematics Education Study Program. Department of Mathematics Education and Science. Faculty of Teachers Training and Education. Sanata Dharma University, Yogyakarta. This research aims to (1) investigate the learning results of the students in second grade of SLB A Yaketunis Yogyakarta using ball as the learning media in teaching multiplication, (2) investigate the effect of ball utilization as a learning media on teaching multiplication for students of SLB A.

This research is a qualitative descriptive research. The subject of this research is two students of second grade in SLB A Yaketunis Yogyakarta. The data gathering was conducted from August to September 2016. The data were taken from an interview result with the students and from pre-test and post-test results. The data from the interview result was scrutinized qualitatively, while pre-test and post-pre-test results were scrutinized quantitatively in order to solve the problem formulation.

This research shows that (1) the result of students in second grade of SLB A Yaketunis Yogyakarta in learning multiplication using ball as a media increases from 35% as low criterion up to 85% as high criterion, (2) Students’ comprehension of multiplication is excellent, in which the students are able to comprehend that multiplication is repeated addition. This learning media makes the abstract concept of multiplication become more concrete so that the students can comprehend the concept with less difficulty.

(3)

PEMANFAATAN BOLA SEBAGAI ALAT PERAGA UNTUK

MEMBANTU SISWA SEKOLAH LUAR BIASA TUNANETRA (SLB A) MEMAHAMI KONSEP PERKALIAN

(Studi Kasus Pada Siswa Kelas II SLB A Yaketunis Yogyakarta)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Matematika

Disusun Oleh:

Dennis Meilky La’lang NIM : 121414117

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(4)

PEMANFAATAN BOLA SEBAGAI ALAT PERAGA UNTUK

MEMBANTU SISWA SEKOLAH LUAR BIASA TUNANETRA (SLB A) MEMAHAMI KONSEP PERKALIAN

(Studi Kasus Pada Siswa Kelas II SLB A Yaketunis Yogyakarta)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Matematika

Disusun Oleh:

Dennis Meilky La’lang NIM : 121414117

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(5)
(6)
(7)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Hai anakku, dengarkanlah didikan ayahmu,

dan jangan menyia-nyiakan ajaran ibumu (Amsal 1 : 8)

Skripsi ini saya persembahkan untuk:

Tuhan Yesus

Terima kasih untuk anugerahMu yang saya rasakan hingga saya bisa

menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih untuk setia dan

pertolonganMU

Be ja i La’la g, S.E., Alm. Sabina Patandean & Helena, S.Pd.

Terima kasih kepada orang tua saya yang sudah memberi dukungan

kepada saya, terima kasih untuk semua doa yang sudah dipanjatkan

untuk anakmu ini.

Aprya to Mi hael La’la g, S.Pd., De y Novita La’la g, S.Si., da Rei hard Oka P iel La’la g

Terima kasih saudara-saudaraku untuk dukungan dan semangat yang

diberikan.

Teman-Teman Terkasih

Dedy, Anton, Riris, Winda, Grace, Edith, Yopek, Arum, Nita

Terima kasih teman-teman untuk semangat yang selalu kalian

berikan!

(8)
(9)
(10)

ABSTRAK

Dennis Meilky La’lang. 2016. Pemanfaatan Bola Sebagai Alat Peraga Untuk Membantu Siswa Sekolah Luar Biasa Tunanetra (SLB A) Memahami Konsep Perkalian. Skripsi. Program Studi Pendidikan Matematika. Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui hasil belajar yang dicapai siswa Kelas II SLB A Yaketunis Yogyakarta dalam pembelajaran matematika dengan menggunakan bola sebagai alat peraga pada materi perkalian, (2) mengetahui pengaruh penggunaan bola sebagai alat peraga dalam pembelajaran matematika terhadap pemahaman siswa SLB A pada materi perkalian.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Subjek penelitian adalah 2 orang siswa kelas II SLB A Yaketunis Yogyakarta. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Agustus dan September 2016. Data diperoleh dari wawancara peneliti dengan siswa dan hasil pre-test dan post-test. Data hasil wawancara dianalisis secara kualitatif, sedangkan data hasil belajar siswa dianalisis secara kuantitatif untuk mendapatkan jawaban dari masalah yang telah dirumuskan.

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa: (1) hasil belajar siswa Kelas II SLB A Yaketunis Yogyakarta dalam pembelajaran yang menggunakan alat peraga berupa bola pada materi perkalian meningkat, dimana secara keseluruhan rata-rata nilai hasil belajar siswa meningkat dari 35% dalam kriteria rendah menjadi 85% dalam kriteria sangat tinggi, (2) pemahaman siswa mengenai konsep perkalian sangat baik, dimana siswa menjadi paham mengenai konsep perkalian sebagai penjumlahan berulang. Alat peraga yang digunakan dalam penelitian ini sangat membantu siswa dalam memahami konsep perkalian karena membuat materi yang abstrak menjadi konkret sehingga mudah dipahami siswa.

(11)

ABSTRACT

Dennis Meilky La’lang. 2016. The utilization of ball as learning media to help the students of Sekolah Luar Biasa Tunanetra (SLB A) in comprehending the concept of multiplication. Undergraduate Thesis. Mathematics Education Study Program. Department of Mathematics Education and Science. Faculty of Teachers Training and Education. Sanata Dharma University, Yogyakarta. This research aims to (1) investigate the learning results of the students in second grade of SLB A Yaketunis Yogyakarta using ball as the learning media in teaching multiplication, (2) investigate the effect of ball utilization as a learning media on teaching multiplication for students of SLB A.

This research is a qualitative descriptive research. The subject of this research is two students of second grade in SLB A Yaketunis Yogyakarta. The data gathering was conducted from August to September 2016. The data were taken from an interview result with the students and from pre-test and post-test results. The data from the interview result was scrutinized qualitatively, while pre-test and post-pre-test results were scrutinized quantitatively in order to solve the problem formulation.

This research shows that (1) the result of students in second grade of SLB A Yaketunis Yogyakarta in learning multiplication using ball as a media increases from 35% as low criterion up to 85% as high criterion, (2) Students’ comprehension of multiplication is excellent, in which the students are able to comprehend that multiplication is repeated addition. This learning media makes the abstract concept of multiplication become more concrete so that the students can comprehend the concept with less difficulty.

(12)

KATA PENGANTAR

Puji syukur dan terima kasih penulis haturkan pada Tuhan Yang Maha Esa,

atas limpahan rahmat dan kasih karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pemanfaatan Bola Sebagai Alat Peraga Untuk Membantu Siswa Sekolah Luar biasa Tunanetra (SLB A) Memahami Konsep Perkalian” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Matematika, Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Selama proses penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak

pengalaman, hambatan dan rintangan. Namun berkat kuasa Tuhan dan berkat

bantuan, saran, bimbingan serta motivasi dari berbagai pihak maka penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin

mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Rohandi, Ph.D. selaku dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sanata Dharma.

2. Bapak Dr. Hongki Julie, M.Si. selaku Ketua Program Studi Pendidikan

Matematika, Universitas Sanata Dharma.

3. Bapak Prof. Dr. St. Suwarsono selaku dosen pendamping akademik yang

telah banyak membimbing dan memberikan nasihat kepada penulis.

4. Bapak Dr. Yansen Marpaung, selaku dosen pembimbing skripsi atas waktu

yang diberikan untuk membimbing dengan penuh perhatian dan arahan

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Ibu Dra. Haniek Sri Pratini, M.Pd. dan Ibu Niluh Sulistyani, M.Pd. selaku

dosen penguji yang telah memberi banyak saran sehingga skripsi ini bisa

lebih baik.

6. Ibu Ambarsih, S.Pd., selaku Kepala SLB A Yaketunis Yogyakarta yang

telah memberikan kesempatan untuk melaksanakan penelitian.

7. Ibu Sofia Patriyati Humardani, S.Pd., Ibu Siti Syamsidariyah, S.Pd., dan

Bapak Warno, S.Pd. selaku guru SLB A Yaketunis Yogyakarta yang telah

membantu serta memberikan bimbingan dan arahan positif bagi

(13)

8. Siswa Kelas II SLB A Yaketunis Yogyakarta, Anas dan Layla yang telah

membantu peneliti melaksanakan penelitian dan telah aktif selama

pembelajaran.

9. Seluruh dosen Pendidikan Matematika yang telah memberikan pengalaman,

pengetahuan dan arahan selama penulis menuntut ilmu di Universitas Sanata

Dharma.

10. Seluruh staf sekretariat JPMIPA yang telah membantu segala administratif

selama penulis berkuliah di Universitas Sanata Dharma.

11. Keluarga yang senantiasa mendoakan dan mendukung, Papa, Alm. Mama,

Tante Lena, Ribek, Bolong, Bude sehingga penulis bisa menyelesaikan

skripsi ini.

12. Sahabat-sahabat seperjuangan Grace, Riris, Edith, Winda, Dedy, Anton, dan

Yopek yang selalu mendukung, menemani dan memberi saran selama

penulis menyelesaikan skripsi.

13. Sahabat terkasih Febby Winda Pelupessy yang tidak henti-hentinya

memberikan semangat, motivasi, dan masukan yang sangat berarti kepada

penulis selama menyelesaikan skripsi ini

14. Teman-teman terbaik Giri Iriani (Mendes) dan Maria Yunita (Combro) yang

selalu mendukung, memberi dukungan dan semangat selama penulis

menyelesaikan skripsi.

15. Teman-teman Pendidikan Matematika angkatan 2012 khususnya kelas C

yang sudah berdinamika dan menjalani seluruh proses perkuliahan serta

selalu menyemangati selama berkuliah di Universitas Sanata Dharma.

16. Serta semua pihak dan teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu

persatu atas dukungan dan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi dengan tepat waktu.

Yogyakarta, 14 November 2016

(14)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vi

ABSTRAK ... vii

B. Klasifikasi Ketunanetraan ... 10

C. Klasifikasi Tunanetra Berdasarkan Kemampuan Melihat ... 10

D. Metode Pengajaran Anak Tunanetra ... 12

E. Media Pembelajaran Untuk Anak Tunanetra ... 15

F. Huruf Braille ... 16

G. Hasil Belajar ... 19

(15)

I. Perkalian ... 22

BAB IV HASIL PENELITIAN, ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Pelaksanaan Penelitian ... 40

1. Observasi Awal ... 40

2. Pelaksanaan Penelitian di Dalam Kelas ... 43

(16)

D. Pembahasan ... 52

E. Keterbatasan Penelitian ... 56

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 58

B. Saran ... 58

DAFTAR PUSTAKA ... 60

(17)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Hasil Belajar Siswa Mengerjakan Soal Pre-Test ... 47

Tabel 4.2 Hasil Belajar Siswa Mengerjakan Soal Post-Test ... 48

Tabel 4.3 Persentase Ketercapaian Hasil Belajar Siswa ... 49

Tabel 4.4 Analisis Hasil Pre-Test ... 49

(18)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Huruf Braille ... 18

Gambar 2.2 Alat Peraga Bola ... 24

Gambar 2.3 Langkah Pertama Penggunaan Alat Peraga ... 26

Gambar 2.4 Langkah Kedua Penggunaan Alat Peraga ... 27

Gambar 2.5 Posisi Bola Setelah Melakukan Langkah Pertama dan Kedua .. 28

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A ... 63

Lampiran A.1 Surat Permohonan Ijin Penelitian ... 64

Lampiran A.2 Surat Ijin Penelitian Dari Dinas Perizinan... 65

Lampiran A.3 Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian ... 66

Lampiran B ... 67

Lampiran B.1 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) ... 68

Lampiran B.2 Validasi Instrumen Pre-Test Siswa ... 74

Lampiran B.3 Validasi Instrumen Post-Test Siswa ... 80

Lampiran B.4 Soal Pre-Test ... 86

Lampiran B.5 Soal Post-Tes ... 87

Lampiran B.6 Soal Pre-Test Dalam Huruf Braille ... 88

Lampiran B.7 Soal Post-Test Dalam Huruf Braille ... 90

Lampiran C ... 92

Lampiran C.1 Kunci Jawaban Soal Pre-Test ... 93

Lampiran C.2 Kunci Jawaban Soal Post-Test ... 94

Lampiran C.3 Lembar Jawab Hasil Pre-Test Siswa (Braille) ... 95

Lampiran C.4 Lembar Jawab Hasil Post-Test Siswa (Braille) ... 97

Lampiran C.5 Jawaban Pre-Test Siswa ... 99

Lampiran C.6 Jawaban Post-Test Siswa ... 101

Lampiran D ... 103

Lampiran D.1 Foto Hasil Penelitian... 104

Lampiran D.2 Transkripsi Percakapan Hasil Wawancara ... 107

(20)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan adalah segala situasi dalam hidup yang mempengaruhi

pertumbuhan seseorang, sebagai pengalaman belajar setiap orang

sepanjang hidupnya. Setiap pengalaman belajar dalam hidup dengan

sendirinya terarah kepada pertumbuhan. Tujuan pendidikan tidak berada di

luar pengalaman belajar, tetapi terkandung dan melekat di dalamnya. Misi

atau tujuan pendidikan yang tersirat dalam pengalaman belajar memberi

hikmah tertentu bagi pertumbuhan seseorang.

Penyelenggaraan pendidikan pada jenjang sekolah dasar bertujuan

memberikan bekal kepada siswa untuk hidup bermasyarakat dan dapat

melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, maka tujuan

pembelajaran matematika di sekolah dimaksudkan agar siswa tidak hanya

terampil menggunakan matematika, tetapi dapat memberikan bekal kepada

siswa dengan tekanan penataan nalar dalam penerapan matematika dalam

kehidupan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat di mana ia tinggal.

Matematika merupakan salah satu bidang studi yang dipelajari

pada semua jenjang pendidikan, mulai dari tingkat sekolah dasar hingga

perguruan tinggi. Bahkan matematika diajarkan di taman kanak-kanak

secara informal.

Cockroft dalam Mulyono (2009: 253) mengemukakan bahwa

(21)

dalam segi kehidupan; (2) semua bidang studi memerlukan keterampilan

matematika yang sesuai; (3) merupakan sarana komunikasi yang kuat,

singkat, dan jelas; (4) dapat digunakan untuk menyajikan informasi dalam

berbagai cara; (5) meningkatkan kemampuan berpikir logis, ketelitian, dan

kesadaran keruangan; dan (6) memberikan kepuasan terhadap usaha

memecahkan masalah menantang. Berbagai alasan perlunya sekolah

mengajarkan matematika kepada siswa pada hakikatnya dapat diringkas

karena masalah kehidupan sehari-hari.

Belajar matematika merupakan suatu syarat untuk melanjutkan

pendidikan ke jenjang berikutnya. Karena dengan belajar matematika,

akan diajar bernalar secara kritis, kreatif, dan aktif. Matematika

merupakan ide-ide abstrak yang berisi simbol-simbol, maka

konsep-konsep matematika harus dipahami terlebih dahulu sebelum memanipulasi

simbol-simbol itu.

Pada kurikulum Depdiknas 2014 dalam Susanto (2013: 184)

disebutkan bahwa standar kompetensi matematika di sekolah dasar yang

harus dimiliki siswa setelah melakukan kegiatan pembelajaran bukanlah

penguasaan matematika, namun yang diperlukan ialah dapat memahami

dunia sekitar, mampu bersaing, dan berhasil dalam kehidupan. Standar

kompetensi yang dirumuskan dalam kurikulum ini mencakup pemahaman

konsep matematika, komunikasi matematis, koneksi matematis, penalaran,

dan pemecahan masalah, serta sikap dan minat yang positif terhadap

(22)

Konsep adalah ide abstrak yang dapat digunakan untuk

menggolongkan atau mengklasifikasikan sekumpulan objek. Konsep akan

dibutuhkan dalam elemen keterampilan dan pemecahan masalah. Konsep

matematika harus diajarkan dengan benar sejak siswa berada pada tingkat

sekolah dasar, karena dengan konsep matematika yang benar akan menjadi

bekal siswa untuk belajar matematika pada materi berikutnya atau bahkan

di tingkat selanjutnya, serta penting untuk kehidupan sehari-hari. Hal ini

sejalan dengan salah satu tujuan khusus pembelajaran matematika di

sekolah dasar sebagaimana yang disajikan oleh Depdiknas yaitu

memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep, dan

mengaplikasikan konsep atau algoritma.

Salah satu contoh kasus konsep matematika yang keliru yang

pernah terjadi adalah kasus yang dialami oleh Habibi, siswa sekolah dasar

di Semarang. Kasus mengenai konsep perkalian yang menghebohkan itu

dimuat dalam beberapa media cetak maupun media online, salah satunya

di Liputan6.com. Berikut adalah kutipan berita dari kasus yang menarik

perhatian beberapa pakar di Indonesia:

Liputan6.com, Jakarta – Di akun Facebook, Muhammad Erfas Maulana memposting hasil tugas matematika adiknya, Habibi yang mendapat ponten merah dari sang guru. Mahasiswa Teknik Mesin Universitas Diponegoro itu mempertanyakan kesalahan jawaban tugas matematika adiknya yang bersekolah di salah satu SD di Semarang.

“Bu Guru yang terhormat, mohon maaf sebelumnya, saya kakak

(23)

misal 4x6 = 6x4. Hasilnya sama-sama 24. Terima kasih Bu,

mohon perhatiannya. Semoga dapat dijadikan pertimbangan,”

tulis Irfan dalam kertas tugas matematika adiknya yang di posting di wall facebooknya.

Berdasarkan kutipan berita tersebut, perlu disadari bahwa

memahami konsep yang benar sangatlah penting. Konsep bukan tentang

hasil yang diperoleh namun proses yang benar. Kasus kesalahan konsep

perkalian ini terjadi pada seorang siswa sekolah dasar di Semarang yang

secara fisik tidak terdapat kekurangan.

Sebelum melakukan penelitian ini, peneliti melakukan wawancara

dengan beberapa mahasiswa Pendidikan Matematika USD angkatan 2012

mengenai pendidikan di Indonesia. Hasil yang diperoleh dari wawancara

tersebut adalah ketika membicarakan mengenai pendidikan di Indonesia

peneliti tidak menemukan satu pun jawaban tentang pendidikan untuk

anak berkebutuhan khusus (ABK). Semua mahasiswa yang peneliti

wawancarai fokus kepada pendidikan untuk anak yang normal. Belajar

matematika dengan konsep yang benar tidak hanya bagi anak normal,

namun juga untuk ABK. Anak dengan kebutuhan khusus juga memiliki

hak untuk mendapat pendidikan yang baik, sama seperti anak normal pada

umumnya. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Lidya (2013)

pada siswa kelas IV SLB-A YPAB Tegalsari Surabaya tentang pendekatan

matematika realistik yang menunjukkan bahwa ada pengaruh positif

terhadap hasil belajar, maka peneliti juga akan melakukan penelitian

(24)

Mengajarkan matematika dengan konsep yang benar kepada ABK

dapat dilakukan dengan metode pengajaran menggunakan alat peraga,

yang diharapkan dapat lebih membantu siswa dalam belajar dan

memahami konsep matematika yang benar. Alat peraga menjadi salah satu

alternatif untuk mengajarkan matematika bagi ABK. Anak berkebutuhan

khusus dirasa masih kesulitan untuk membuat konsep yang abstrak

menjadi konkret, sehingga dengan alat peraga untuk ABK diharapkan

mampu membantu pada pembelajaran matematika. Dari sekian banyak

ABK, peneliti memilih anak tunanetra dengan alasan bahwa alat peraga

yang dapat diraba akan memberi hasil yang maksimal. Peneliti memilih

untuk menggunakan alat peraga berupa bola dengan alasan bahwa bola

merupakan benda yang bentuknya mudah dibayangkan oleh anak-anak,

dapat diraba, dan mudah ditemukan.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti

“Pemanfaatan Bola Sebagai Alat Peraga Untuk Membantu Siswa Sekolah Luar Biasa Tunanetra (SLB A) Memahami Konsep Perkalian”

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka peneliti

merumuskan pokok masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana hasil belajar yang dicapai siswa SLB A dalam

pembelajaran matematika dengan menggunakan bola sebagai alat

(25)

2. Bagaimana pemahaman siswa SLB A mengenai materi konsep

perkalian pada pembelajaran matematika dengan menggunakan bola

sebagai alat peraga?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan hasil yang dicapai siswa SLB A dalam pembelajaran

matematika dengan menggunakan bola sebagai alat peraga untuk

materi perkalian.

2. Mendeskripsikan pemahaman siswa SLB A mengenai materi konsep

perkalian pada pembelajaran matematika dengan menggunakan bola

sebagai alat peraga.

D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Guru SLB

Guru dapat mempunyai referensi baru dalam memilih alat peraga

untuk membuat pembelajaran matematika di SLB menjadi lebih

menarik.

2. Bagi Siswa

Siswa mendapat pengetahuan mengenai konsep perkalian dengan

menggunakan bola sebagai alat peraga yang akan membantu

(26)

3. Bagi Peneliti

Penelitian ini dapat digunakan untuk menambah dan memperluas

pengetahuan mengenai pembelajaran matematika untuk siswa

tunanetra dengan menggunakan alat peraga dan sebagai bahan

perbandingan antara teori dengan keadaan sebenarnya.

E. Batasan Istilah 1. Tunanetra

Tunanetra adalah kondisi dimana seseorang mengalami masalah pada

indera penglihatan (mata) yaitu kehilangan daya penglihatan sebagian

atau seluruhnya.

2. Alat peraga bola

Alat peraga bola adalah alat peraga berupa bola warna-warni yang

dapat membantu siswa dalam proses belajar mengajar untuk bisa

memahami materi perkalian.

3. Pemahaman

Pemahaman adalah jenjang setingkat diatas pengetahuan yang meliputi

penerimaan dalam komunikasi secara akurat, menempatkan hasil

komunikasi dalam bentuk penyajian yang berbeda,

mereorganisasikannya secara setingkat tanpa merubah pengertian dan

(27)

4. Perkalian

Perkalian merupakan sebuah operasi matematika yang meliputi

penskalaan (pelipatan) bilangan yang satu dengan yang lain. Operasi

perhitungan ini termasuk ke dalam aritmatika dasar. Secara sederhana,

perkalian merupakan penjumlahan berulang dengan bilangan yang

sama.

5. Hasil belajar

Hasil belajar yang dimaksud adalah hasil atau kemampuan kognitif

(28)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tunanetra

Menurut Anastasia dan Imanuel (1987: 4), kata tunanetra itu

sendiri tidak asing lagi bagi kebanyakan orang, tetapi masih banyak yang

belum memahaminya. Dipandang dari segi bahasa, kata tunanetra terdiri

dari dua kata yaitu tuna dan netra. Menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia dalam Anastasia dan Imanuel (1987: 4) tuna mempunyai arti

rusak, luka, kurang, tidak memiliki. Sedangkan netra artinya mata.

Tunanetra artinya rusak matanya atau luka matanya atau tidak memiliki

mata yang berarti buta atau kurang dalam penglihatannya.

Menurut Frans Harsana Sasraningrat dalam Sari (2003: 4),

tunanetra ialah suatu kondisi dari dria penglihatan yang tidak berfungsi

sebagaimana mestinya. Kondisi itu disebabkan oleh karena kerusakan pada

mata, syarat optik dan atau bagian otak yang mengolah stimulus visual.

Menurut Encyclopedia Americana dalam Sari (2003: 5), blindness is a general term used to denote partial or complete loss of vision. Kurang lebih berarti: tunanetra merupakan istilah umum yang digunakan untuk

menunjuk kehilangan penglihatan sebagian atau menyeluruh.

Berdasarkan beberapa pendapat tokoh tersebut, dapat disimpulkan

bahwa tunanetra adalah kondisi dimana seseorang mengalami masalah

pada indera penglihatan (mata) yaitu kehilangan daya penglihatan

(29)

B. Klasifikasi Ketunanetraan

Menurut Esthy (2014: 10), tunanetra dapat diklasifikasikan

berdasarkan waktu terjadinya ketunanetraan dan kemampuan daya

penglihatan.

a. Berdasarkan waktu terjadinya, ketunanetraan dibedakan

menjadi beberapa jenis berikut:

1) Tunanetra sebelum dan sejak lahir

2) Tunanetra setelah lahir dan atau pada usia kecil

3) Tunanetra pada usia sekolah atau pada masa remaja

4) Tunanetra pada usia dewasa

5) Tunanetra dalam usia lanjut

b. Berdasarkan kemampuan daya penglihatan, ketunanetraan

dibedakan menjadi beberapa jenis berikut:

1) Tunanetra ringan

2) Tunanetra setengah berat atau sedang

3) Tunanetra berat

C. Klasifikasi Ketunanetraan Berdasarkan Kemampuan Melihat

Menurut Anastasia dan Imanuel (1987: 7), klasifikasi atau

pengelompokkan tunanetra berdasarkan tingkat ketajaman penglihatan

atau kemampuan melihat dibedakan menjadi empat jenis:

(30)

Pada tingkat ini sering dikatakan sebagai tunanetra ringan atau

bahkan masih dapat dikatakan normal. Mereka masih mampu

mempergunakan peralatan pendidikan pada umumnya,

sehingga masih dapat memperoleh pendidikan di sekolah

umum. Mereka masih mampu melihat benda lebih kecil seperti

mengamati uang logam seratus rupiah dan korek api.

2. 6/20 m – 6/60 m atau 20/70 feet – 20/200 feet.

Pada tingkat ketajaman ini sering disebut dengan tunanetra

kurang lihat atau low vision atau disebut juga dengan partially

sight atau tunanetra ringan. Pada taraf ini mereka masih mampu melihat dengan bantuan kacamata.

3. 6/60 m lebih atau 20//200 feet lebih.

Pada tingkat ini sudah dikatakan tunanetra berat. Taraf ini

masih mampu mempunyai tingkatannya yaitu:

a. Masih dapat menghitung jari pada jarak 6 meter.

b. Masih dapat melihat gerakan tangan.

c. Hanya dapat membedakan terang dan gelap.

4. Memiliki visus 0.

Tingkat terakhir sudah tidak mampu melihat rangsangan

cahaya dan tidak dapat melihat apapun. Pada tingkatan ini

(31)

D. Metode Pengajaran Anak Tunanetra

Pada dasarnya metode yang digunakan untuk siswa tunanetra

hampir sama dengan siswa normal, hanya menurut Ardhi (2013: 63), yang

membedakan ialah adanya beberapa modifikasi dalam pelaksanaannya,

sehingga para siswa tunanetra mampu mengikuti kegiatan pembelajaran

yang bisa mereka ikuti dengan pendengaran ataupun perabaan. Adapun

metode-metode yang dapat dilaksanakan pada pembelajaran siswa

tunanetra antara lain:

1. Metode ceramah

Yang dimaksud dengan metode ceramah ialah cara penyampaian

sebuah materi pelajaran dengan cara penuturan lisan kepada siswa.

Zuhairini dkk (dalam Ardhi 2013: 63) mendefinisikan metode ceramah

ialah suatu metode di dalam pendidikan di mana cara penyampaian

pengertian-pengertian materi kepada anak didik dengan jalan

penjelasan dan penuturan secara lisan. Untuk penjelasan uraiannya,

guru dapat menggunakan alat bantu mengajar yang lain, misalnya

gambar, peta, denah, dan alat peraga lainnya.

Metode ceramah dapat diikuti oleh siswa tunanetra karena dalam

pelaksanaannya metode ini guru menyampaikan materi pelajaran

dengan penyampaian secara lisan dan siswa mendengar penyampaian

(32)

2. Metode Tanya jawab

Metode Tanya jawab ialah penyampaian pelajaran dengan cara

guru mengajukan pertanyaan dan siswa menjawab atau suatu metode

di dalam pendidikan di mana guru bertanya sedangkan siswa

menjawab tentang materi yang ingin diperolehnya.

Siswa tunanetra mampu mengikuti pengajaran dengan

menggunakan metode tanya jawab, karena metode ini merupakan

tambahan dari metode ceramah yang menggunakan indera

pendengaran.

3. Metode diskusi

Metode diskusi adalah salah satu alternatif metode yang dapat

dipakai oleh seorang guru di kelas dengan tujuan dapat memecahkan

suatu masalah berdasarkan pendapat para siswa. Seiring dengan itu

metode diskusi berfungsi untuk merangsang siswa berpikir atau

mengeluarkan pendapatnya sendiri mengenai persoalan-persoalan yang

kadang-kadang tidak dapat dipecahkan oleh suatu jawaban atau suatu

cara saja, tetapi memerlukan wawasan atau ilmu pengetahuan yang

mampu mencari jalan terbaik atau alternatif terbaik.

Anak tunanetra dapat mengikuti kegiatan belajar mengajar yang

menggunakan metode diskusi. Mereka dapat ikut berpartisipasi dalam

kegiatan diskusi itu karena dalam metode diskusi, kemampuan data

fisik siswa untuk memecahkan suatu persoalan lebih diutamakan. Dan

(33)

4. Metode sorongan

Metode sorongan adalah metode individual di mana siswa

mendatangi guru untuk mengkaji suatu buku dan guru

membimbingnya secara langsung. Metode ini dalam sejarah

pendidikan agama Islam dikenal dengan sistem pendidikan “Kuttai”,

sementara di dunia barat dikenal dengan metode tutorship dan mentoring. Pada praktiknya siswa diajari dan dibimbing bagaimana cara membaca, menghafal, atau lebih jauh lagi menerjemahkan atau

menafsirkan, semua itu dilakukan oleh guru, sementara siswa

menyimak penuh perhatian dan mensahkan dengan memberi catatan

pada bukunya atau mensahkan bahwa ilmu itu telah diberikan

kepadanya.

Metode ini dapat diikuti oleh anak tunanetra dan inti dari metode

ini adalah adanya bimbingan langsung dari guru kepada anak

didiknya dan seorang guru dapat mengetahui langsung sejauh mana

kemampuan anak didiknya dalam memahami suatu materi pelajaran.

5. Metode drill

Metode drill atau latihan adalah suatu metode dalam menyampaikan pelajaran dengan menggunakan latihan secara terus

menerus sampai anak didik memiliki ketangkasan yang diharapkan.

Metode drill merupakan salah satu bentuk dari berbagai macam metode yang banyak digunakan oleh para pendidik dalam proses

(34)

menitikberatkan kepada keterampilan siswa secara kecakapan motoris,

mental, asosiasi yang dibuat dan sebagainya.

Metode drill dapat disebut juga dengan metode latihan atau praktik

secara langsung. Anak tunanetra mampu mengikuti metode ini jika

materi yang disampaikan dan media yang digunakan mampu

mendukung mereka untuk memahami materi pelajaran.

Berdasarkan beberapa metode pengajaran tersebut, peneliti merasa

bahwa metode yang sesuai digunakan untuk anak tunanetra tingkatan

sekolah dasar adalah metode ceramah, metode tanya jawab, dan

metode drill. Dalam penelitian yang akan dilakukan, peneliti juga akan

menggunakan ketiga metode tersebut. Metode ceramah dirasa tepat

karena anak tunanetra masih mengandalkan indera pendengaran

dengan bantuan suara dari guru. Metode tanya jawab merupakan

metode pendukung dari metode ceramah karena dengan metode ini

akan membangun interaksi yang baik antara guru dan siswa. Metode

drill digunakan karena dalam penelitian menggunakan alat peraga yang menuntut siswa untuk lebih banyak berlatih.

E. Media Pembelajaran untuk Anak Tunanetra

Selain kekhususan metode pembelajaran yang digunakan untuk

anak tunanetra, mereka pun mempunyai kekhususan dalam menggunakan

media pembelajaran. Karena kondisi penglihatan mereka yang tak

(35)

pengajaran anak tunanetra ialah media yang dapat dijangkau dengan

perabaan dan pendengarannya. Adapun media tersebut ialah papan baca

(Kenop), Reglette, dan Stilus (pena) yaitu alat tulis normal, Mesin tik

Braille (Perkins Braille).

Media pembelajaran yang diterapkan pada anak tunanetra di

beberapa Sekolah Luar Biasa (SLB) meliputi: alat bantu membaca huruf

Braille (Papan huruf dan Optacon); alat bantu berhitung (Cubaritma,

Abacus/Sempoa, Speech Calculator), serta alat bantu yang bersifat audio

seperti tape-recorder. Khusus alat bantu membaca Braille adalah alat bantu pembelajaran untuk mengenal huruf Braille. Alat ini biasa disebut

pantule singkatan dari papan tulis Braille.

F. Huruf Braille

Menurut Ardhi (2013: 66), Braille adalah sejenis sistem tulisan

sentuh yang digunakan oleh para tunanetra. Sistem ini diciptakan oleh

seorang Prancis yang bernama Louis Braille yang juga merupakan seorang

tunanetra. Ketika berusia 15 tahun, Braille membuat suatu tulisan tentara

untuk memudahkan tentara membaca ketika gelap. Tulisan ini kemudian

dinamakan huruf Braille. Namun saat itu Braille tidak memiliki huruf W.

Munculnya inspirasi untuk menciptakan huruf-huruf yang dapat

dibaca oleh tunanetra berawal dari seorang bekas perwira alteleri

Napoleon, Kapten Charles Barbier. Barbier menggunakan sandi berupa

(36)

kepada serdadu nya dalam kondisi gelap malam. Pesan tersebut dibaca

dengan cara meraba rangkaian kombinasi garis dan titik yang tersusun

menjadi sebuah kalimat. Sistem demikian kemudian dikenal dengan

sebutan night writing atau tulisan malam. Sistem ini dirancang khusus untuk tentara perang yang menggunakan kombinasi 12 titik timbul yang

dapat dikombinasikan untuk mewakili huruf-huruf dan dapat dirasakan

oleh ujung jari.

Sayangnya kode tersebut terlalu rumit bagi sebagian besar

pasukannya sehingga ditolak untuk digunakan. Braille kemudian

menyederhanakan sistem ini dengan menggunakan satu sel 6 titik dan

didasarkan ejaan normal yang sekarang dinamakan huruf Braille.

Berdasarkan uji coba yang dilakukan Braille, jari-jari tangan tunanetra

ternyata lebih peka terhadap titik dibandingkan dengan garis sehingga

pada akhirnya huruf Braille hanya menggunakan kombinasi antara titik

dan ruang kosong atau spasi. Sistem tulisan Braille pertama kali digunakan

di L’Institution Nationale de Jeunes Aveugles, Paris dalam rangka

mengajar siswa-siswa tunanetra.

Huruf-huruf Braille menggunakan kerangka penulisan seperti kartu

domino. Satuan dasar dari sistem tulisan ini disebut sel Braille, dimana

tiap sel terdiri dari enam titik timbul; tiga baris dan dua titik. Keenam titik

tersebut dapat disusun sedemikian rupa hingga menciptakan 64 macam

kombinasi. Huruf Braille dibaca dari kiri ke kanan dan dapat

(37)

dan lainnya. Ukuran huruf Braille yang umum digunakan adalah dengan

tinggi sepanjang 0,5 mm, serta spasi horizon dan vertikal antara titik

dalam sel sebesar 2,5 mm.

Pada mulanya orang tidak berpikir bahwa kode Braille merupakan

sesuatu yang sangat berguna bagi kaum tunanetra. Banyak orang menduga

bahwa sistem Braille akan mati sebagaimana penemunya. Namun ada

orang-orang yang menyadari pentingnya penemuan Louis Braille.

Penemuan brilian Louis Braille telah mengubah dunia membaca dan

menulis kaum tunanetra untuk selamanya. Sekarang kode Braille telah

digunakan hampir ke dalam semua bahasa tulis terkenal di dunia.

Gambar 2.1. Huruf Braille

×

=

.

÷

-

(38)

G. Hasil Belajar

Dalam mengajar, guru sudah mengetahui tujuan yang harus capai

dalam mengajarkan suatu pokok bahasan. Untuk itu, dirumuskan tujuan

instruksional khusus, yang didasarkan pada Taksonomi Bloom tentang

tujuan-tujuan perilaku menurut Bloom dalam Ratna (2011: 118), yang

meliputi tiga dominan: kognitif, afektif, dan psikomotorik. Gagne

mengemukakan lima macam hasil belajar, tiga diantaranya bersifat

kognitif, satu bersifat afektif, dan satu lagi bersifat psikomotorik.

Penampilan-penampilan yang dapat diamati sebagai hasil-hasil

belajar disebut kemampuan. Menurut Gagne dalam Ratna (2011: 118), ada

lima kemampuan. Ditinjau dari segi-segi yang diharapkan dari suatu

pengajaran atau instruksi, kemampuan itu perlu dibedakan karena

kemampuan itu memungkinkan berbagai macam penampilan manusia dan

juga karena kondisi-kondisi untuk memperoleh berbagai kemampuan itu

berbeda. Kelima hasil belajar atau yang menurut Gagne dalam Ratna

(2011: 118) disebut kemampuan, yaitu:

1. Kemampuan pertama disebut keterampilan intelektual karena

keterampilan itu merupakan penampilan yang ditunjukkan oleh siswa

tentang operasi intelektual yang dapat dilakukannya.

2. Kemampuan kedua meliputi penggunaan strategi kognitif karena siswa

perlu menunjukkan penampilan yang kompleks dalam suatu situasi

baru, dimana diberikan sedikit bimbingan dalam memilih dan

(39)

3. Kemampuan ketiga berhubungan dengan sikap atau mungkin

sekumpulan sikap yang dapat ditunjukkan oleh perilaku yang

mencerminkan pilihan tindakan terhadap kegiatan-kegiatan.

4. Kemampuan keempat adalah informasi verbal atau pengetahuan verbal

yang diperoleh dari pembelajaran di sekolah, dan juga dari kata-kata

yang sering diucapkan orang, membaca dari buku, mendengar radio,

televisi atau media lainnya.

5. Kemampuan kelima adalah keterampilan motorik. Keterampilan

motorik tidak hanya mencakup kegiatan fisik, melainkan juga kegiatan

motorik yang digabung dengan keterampilan intelektual misalnya

membaca, menulis, memainkan alat musik dan lain sebagainya.

Kingsley dalam Ahmad (2013: 3) membagi hasil belajar menjadi

tiga macam, yaitu (1) keterampilan dan kebiasaan; (2) pengetahuan dan

pengertian; dan (3) sikap dan cita-cita. Sedangkan Djamarah dan Zain

dalam Ahmad (2013: 3) menetapkan bahwa hasil belajar telah tercapai

apabila telah terpenuhi dua indikator berikut, yaitu:

1. Daya serap terhadap bahan pengajaran yang diajarkan mencapai

prestasi tinggi, baik secara individual maupun kelompok.

2. Perilaku yang digariskan dalam tujuan pengajaran/instruksional khusus

(40)

Menurut para ahli tersebut, yang ingin peneliti ketahui mengenai hasil

belajar siswa adalah pengetahuan atau kemampuan kognitif terkait materi

perkalian berdasarkan hasil pre-test dan post-test.

H. Pemahaman

Bloom dalam Elis dan Rusdiana (2015: 55) mengklasifikasikan

tujuan kognitif dalam enam level, yaitu: (1) pengetahuan; (2) pemahaman;

(3) aplikasi; (4) analisis; (5) sintesis; dan (6) evaluasi. Pemahaman yang

disebut C2 menurut Elis dan Rusdiana (2015: 56) adalah tingkatan yang

paling rendah dalam aspek kognisi yang berhubungan dengan penguasaan

atau mengerti tentang sesuatu. Dalam tingkatan ini, siswa diharapkan

mampu memahami ide-ide matematika apabila dapat menggunakan

beberapa kaidah yang relevan tanpa perlu menghubungkannya dengan

ide-ide lain dan segala implikasinya.

Sedangkan pemahaman menurut Usman dalam Asep dan Abdul

(2013: 16) adalah jenjang setingkat di atas pengetahuan yang meliputi

penerimaan dalam komunikasi secara akurat, menempatkan hasil

komunikasi dalam bentuk penyajian yang berbeda, mereorganisasikannya

secara setingkat tanpa mengubah pengertian dan dapat mengeksporasikan.

Berdasarkan pendapat tokoh diatas, dalam penelitian ini peneliti

ingin mengetahui pemahaman siswa mengenai konsep perkalian. Adapun

indikator yang menunjukkan bahwa siswa paham yaitu:

1. Siswa mampu menjawab dengan benar berapa kali harus

(41)

2. Siswa mampu menjawab dengan benar sekali mengambil,

berapa bola yang diambil ketika diberikan soal perkalian.

3. Siswa mampu membuat bentuk penjumlahan berulang dengan

benar dari soal perkalian yang diberikan.

4. Siswa mampu menghitung hasil perkalian dengan tepat.

Apabila siswa telah memenuhi indikator tersebut, maka dapat

dikatakan bahwa siswa telah memahami konsep perkalian.

I. Perkalian

Ruseffendi (1990: 38) mengatakan bahwa pada tingkat rendah yaitu

sekolah dasar, penjumlahan dan pengurangan dikenalkan melalui

benda-benda konkret atau gambarnya. Ini adalah suatu keyakinan dan

kepercayaan sejak lama bahwa konsep matematika supaya ditanamkan

kepada anak-anak melalui contoh-contoh dunia nyata. Menurut penelitian

pun peragaan ini sangat membantu.

Begitu pula perkalian bagi anak-anak di tingkat rendah supaya

dijelaskan melalui benda-benda konkret atau gambar benda-benda konkret

dan dikaitkan pula dengan kehidupan sehari-hari. Dari keadaan kehidupan

nyata sehari-hari itu dibuat dulu ke tahap model konkret atau model

gambar dan kemudian dilanjutkan kepada tahap akhir yaitu tahap model

simbol. Dan ini tidak terkecuali harus terjadi baik pada tingkat pemahaman

konsep, pada tingkat pemahaman fakta-fakta dasar, maupun pada tahap

perhitungan (algoritma).

(42)

“Ibu Ami punya 2 dus telur. Masing-masing dus berisi 6 biji. Berapa

biji telur ibu Ami?”

Persoalan perkalian itu sebelum sampai kepada angka-angka (model

simbol) supaya diperagakan dulu dengan model konkret atau model

gambar. Kemudian diubah ke dalam simbol. Tujuannya ialah agar

anak-anak dapat memahami kalimat matematika yang ditulis dengan simbol itu.

Maksudnya ialah tanpa alat peraga (model konkret atau model gambar)

mungkin anak tidak akan dapat memahami bahwa soal dapat diselesaikan

melalui × = + .

Perkalian merupakan sebuah operasi matematika yang meliputi

penskalaan (pelipatan) bilangan yang satu dengan bilangan yang lain.

Operasi perhitungan ini termasuk ke dalam aritmatika dasar. Sangat

penting untuk memahami konsep perkalian karena perkalian seringkali

digunakan di dalam beragam rumus matematika lainnya.

Secara sederhana, perkalian dapat didefinisikan sebagai penjumlahan

yang diulang. Misalnya, pada perkalian × (5 dikali 3) kita dapat

menghitungnya dengan cara menjumlahkan angka 3 yang diulang

sebanyak 5 kali atau + + + + . Dalam konsep perkalian, ×

tidaklah sama dengan × meskipun hasilnya sama. × berarti +

+ + + , sedangkan × berarti + + .

Konsep perkalian ini seringkali digunakan dalam ilmu kedokteran,

terutama ketika dokter memberikan resep obat. Misalnya dokter memberi

(43)

harus diminum sebanyak 3 kali, dan setiap minum hanya 1 obat. Berbeda

dengan ketika resep × , itu berarti obat tersebut dalam sehari hanya

diminum 1 kali, dan pada saat minum langsung 3 obat.

J. Alat Peraga Bola

Ali dalam Rostina (2015: 7), berpendapat bahwa alat peraga adalah

segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyatakan pesan merangsang

pikiran, perasaan dan perhatian, dan kemauan siswa sehingga mendorong

proses belajar. Dalam pendapat tokoh yang lain yaitu menurut Ruseffendi

dalam Rostina (2015: 7), alat peraga adalah alat yang menerangkan atau

mewujudkan konsep matematika. Sedangkan pengertian alat peraga

matematika menurut Pramudjono dalam Rostina (2015: 7), adalah benda

konkret yang dibuat, dihimpun atau disusun secara sengaja digunakan

untuk membantu menanamkan atau mengembangkan konsep matematika.

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, alat peraga bola adalah alat

peraga berupa bola warna-warni yang dapat membantu siswa dalam proses

belajar untuk bisa memahami materi perkalian, khususnya konsep

perkalian.

(44)

K. Cara Penggunaan Alat Peraga

Alat peraga yang digunakan dalam penelitian ini adalah bola. Alat

peraga ini digunakan untuk membantu siswa memahami konsep perkalian.

Setiap siswa akan mendapatkan 100 buah bola dan tiga kotak yang akan

digunakan sebagai wadah untuk bola. Kotak pertama berisi 100 buah bola

yang akan diambil oleh siswa sesuai dengan soal perkalian yang akan

diberikan. Kotak kedua digunakan untuk menaruh bola yang telah diambil

dari kotak pertama, dan selanjutnya bola tersebut dipindahkan ke kotak

ketiga yang digunakan untuk menampung bola-bola dari kotak sebagai

hasil perkalian. Untuk menghitung hasil perkalian dari soal yang

diberikan, siswa akan menghitung jumlah bola yang ada pada kotak ketiga.

Cara siswa menghitung hasil perkaliannya adalah dengan menghitung

jumlah bola pada kotak ketiga yang dipindahkan ke kotak kedua yang

telah kosong satu per satu.

Siswa akan diberi pemahaman mengenai penjumlahan berulang

sebagai dasar untuk mempelajari materi perkalian. Peneliti akan memberi

beberapa soal penjumlahan dengan bilangan yang sama. Misalnya peneliti

akan memberi soal 5+5, 7+7, 3+3+3, 5+5+5+5. Peneliti kemudian

bertanya ada berapa bilangan yang sama pada penjumlahan, setelah itu

peneliti mengaitkan dengan konsep perkalian. Untuk memudahkan siswa

memahami materi tersebut, peneliti menggunakan bola sebagai alat

peraga. Peneliti kemudian melanjutkan materi konsep perkalian dengan

(45)

Sebagai contoh, siswa diberikan soal perkalian × . Maka langkah

yang akan dilakukan siswa untuk mengetahui hasil perkaliannya adalah

sebagai berikut:

1. Siswa akan mengambil 5 bola dari kotak pertama satu per satu dan

menaruhnya di kotak kedua.

Gambar 2.3. Langkah Pertama Penggunaan Alat Peraga

1 2 3

1 2 3

(46)

2. Kemudian, 5 bola tersebut dipindahkan ke kotak ketiga.

Gambar 2.4. Langkah Kedua Penggunaan Alat Peraga

3. Siswa akan melakukan langkah (1) dan (2) sebanyak 3 kali sesuai

dengan konsep perkalian, karena soalnya adalah × . 3 3 2

1

(47)

Gambar 2.5. Posisi bola setelah melakukan langkah pertama dan kedua

4. Setelah siswa telah melakukan langkah (1) dan (2) sebanyak 3 kali,

dan semua bola yang merupakan hasil perkalian sudah ada di kotak

ketiga, maka siswa akan menghitung hasil perkalian dengan cara

menghitung jumlah bola yang ada pada kotak ketiga. Untuk

memudahkan siswa menghitung hasilnya, satu per satu bola di

kotak ketiga dipindahkan ke kotak kedua sambil siswa menghitung

hasil perkaliannya.

Gambar 2.6. Proses Menghitung hasil perkalian 3 2

1

3 2

(48)

Setelah melakukan langkah pertama hingga langkah keempat,

maka siswa akan mendapatkan hasil perkalian dari soal yang

diberikan. Selain itu, dengan bantuan bola sebagai alat peraga, siswa

juga diharapkan mampu memahami konsep perkalian sebagai

penjumlahan berulang.

L. Penelitian Yang Relevan

Penelitian yang relevan adalah penelitian yang pernah dilakukan

oleh Lidya Cindi Septika (2013), seorang mahasiswi program studi

Pendidikan Luar Biasa Universitas Negeri Surabaya. Penelitian yang

berjudul “Pendekatan Matematika Realistik Terhadap Hasil Belajar Penjumlahan Pecahan Anak Tunanetra” dilakukan di SLB-A YPAB Tegalsari Surabaya pada siswa kelas IV menghasilkan kesimpulan bahwa

dengan menggunakan pendekatan matematika realistik, anak benar-benar

belajar dengan benda rill atau memang dengan benda yang dikenal dan bisa dibayangkan anak, sehingga pembelajaran lebih bermakna. Penelitian

ini juga menyimpulkan bahwa ada pengaruh positif pendekatan

matematika realistik terhadap hasil belajar penjumlahan pecahan pada

siswa kelas IV di SLB-A YPAB Tegalsari Surabaya.

Penelitian yang dilakukan oleh Lidya ini memiliki relevansi

dengan penelitian ini. Relevansinya adalah penelitian ini juga

menggunakan alat peraga yang dikenal dan bisa dibayangkan oleh siswa.

(49)

dua orang siswa tunanetra. Sehingga diharapkan penelitian ini juga bisa

memberi pengaruh positif kepada siswa tunanetra terkait pemahaman

konsep perkalian dan hasil belajar siswa.

M. Kerangka Berpikir

Dalam penelitian ini peneliti melihat bahwa konsep matematika sangat

penting untuk diajarkan sejak siswa berada pada tingkat pendidikan dasar

yaitu di sekolah dasar. Konsep yang benar juga perlu diajarkan kepada

anak berkebutuhan khusus, karena setiap anak berhak mendapatkan

pendidikan yang sama.

Berdasarkan permasalahan tersebut, peneliti merancang pembelajaran

matematika untuk siswa tunanetra kelas II di SLB A Yaketunis pada

materi perkalian. Pembelajaran dilakukan dengan menggunakan bantuan

bola sebagai alat peraga. Alat peraga disini berguna untuk membuat

konsep abstrak menjadi konkret sehingga mudah dipahami siswa.

Dengan pembelajaran menggunakan alat peraga berupa bola,

diharapkan dapat meningkatkan pemahaman mengenai konsep yang benar

(50)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah penelitian

kualitatif deskriptif. Penelitian deskriptif bertujuan untuk mendeskripsikan

atau menggambarkan keadaan atau status fenomena yang ada di lapangan

(Lexy J. Moleonh dalam Agustinus (2009: 25)). Penelitian kualitatif

adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif yaitu berupa kata-kata

tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Dalam

penelitian ini, peneliti mendeskripsikan proses pembelajaran matematika

yang terjadi di dalam kelas.

B. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah dua orang siswa kelas II SLB A

Yaketunis Yogyakarta yang terletak di Jalan Parangtritis No. 46 A. Kedua

subjek adalah siswa tunanetra dengan klasifikasi ringan (low vision). Penentuan subjek pada penelitian ini juga sudah berdasarkan diskusi

dengan guru kelas II.

C. Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah pembelajaran matematika dengan

menggunakan alat peraga berupa bola pada materi perkalian di kelas II

(51)

D. Waktu dan Tempat Penelitian

Waktu : 24 Agustus 2016 – 9 September 2016

Tempat : SLB A Yaketunis Yogyakarta yang terletak di Jalan

Parangtritis No. 46 Yogyakarta

E. Jenis Data

Jenis data yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah data

primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh

langsung dari subjek penelitian melalui pengamatan dan wawancara,

sedangkan data sekunder adalah data yang tidak peroleh langsung dari

subjek penelitian melainkan dari pihak lain berupa keterangan dan data

mengenai proses belajar dan hasil belajar siswa.

F. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam melaksanakan

penelitian, peneliti menggunakan beberapa teknik pengumpulan data,

yaitu:

1) Observasi

Observasi sebagai teknik pengumpulan data mempunyai ciri yang

spesifik bila dibandingkan dengan teknik yang lain, yaitu wawancara

atau kuesioner. Kalau wawancara atau kuesioner selalu berkomunikasi

dengan orang, maka observasi tidak terbatas pada orang, tetapi juga

(52)

Sutrisno Hadi dalam Sugiyono (2010: 203) mengemukakan bahwa

observasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang

tersusun dari pelbagai proses biologis dan psikologis. Dua diantara

yang terpenting adalah proses-proses pengamatan dan ingatan.

Teknik pengumpulan data dengan observasi digunakan bila peneliti

berkenaan dengan perilaku manusia, proses kerja, gejala-gejala alam,

dan bila responden yang diamati tidak terlalu besar.

2) Tes.

Menurut Asep dan Abdul (2013: 67), tes merupakan himpunan

pertanyaan yang harus dijawab, harus ditanggapi, atau tugas yang

harus dilaksanakan oleh orang yang dites. Tes digunakan untuk

mengukur sejauh mana seorang siswa telah menguasai pelajaran yang

disampaikan terutama meliputi aspek pengetahuan dan keterampilan.

Alat penilaian teknik tes, yaitu: (a) tes tertulis; (b) tes lisan; dan (c)

tes perbuatan. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tes tertulis

yaitu pre-test dan post-test. Peneliti menggunakan tes untuk mengetahui hasil belajar yang dicapai oleh siswa kelas II SLB A

Yaketunis.

3) Wawancara

Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila

peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan

permasalahan yang harus diteliti, dan juga apabila peneliti ingin

(53)

subjek sedikit/kecil. Teknik pengumpulan data ini mendasarkan pada

laporan tentang diri sendiri, atau setidak-tidaknya pada pengetahuan

dan atau keyakinan pribadi.

Sutrisno Hadi dalam Sugiyono (2010: 194) mengemukakan bahwa

anggapan yang perlu dipegang oleh peneliti dalam menggunakan

metode wawancara adalah sebagai berikut:

1. Bahwa subjek adalah orang yang paling tahu tentang dirinya

sendiri.

2. Bahwa apa yang dinyatakan oleh subjek kepada peneliti adalah

benar dan dapat dipercaya.

3. Bahwa interpretasi subjek tentang pertanyaan-pertanyaan yang

diajukan peneliti kepadanya adalah sama dengan apa yang

dimaksudkan oleh peneliti.

Wawancara dapat dilakukan secara terstruktur maupun tidak

terstruktur, dan dapat dilakukan melalui tatap muka maupun

menggunakan telepon.

4) Dokumentasi

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dokumentasi berupa

voice recorder dan video. Melalui dokumentasi ini peneliti dapat keterangan dalam pembelajaran berupa rekaman suara dan video yang

dianalisis kembali untuk mendapatkan data kualitatif. Dokumentasi ini

(54)

G. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan peneliti dalam penelitian ini antara lain:

1. Lembar observasi

Lembar pengamatan ini berfungsi mencatat semua hasil pengamatan

yang dilakukan peneliti selama penelitian berlangsung.

2. Soal pre test dan soal post test.

Soal pre-test dan post-test digunakan oleh peneliti untuk mengetahui hasil belajar siswa. Setiap soal pre-test dan post-test masing-masing berisi 10 soal yang sudah dikonsultasikan dengan guru kelas.

3. Pedoman wawancara

Pedoman wawancara berupa garis besar pertanyaan yang akan

ditanyakan kepada subjek penelitian, dan pertanyaan yang ada akan

berkembang sesuai dengan jawaban dari subjek.

4. Alat Perekam.

Alat perekam yang digunakan adalah telepon genggam untuk

mengambil gambar, merekam percakapan serta merekam proses

pembelajaran matematika dengan menggunakan bola sebagai alat

peraga.

H. Validitas Instrumen

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar

observasi, pedoman wawancara dan soal. Instrumen tersebut akan diuji

(55)

kepada orang yang lebih berpengalaman dimana peneliti anggap lebih

mengerti dan memahami. Dalam hal ini, instrumen-instrumen tersebut

akan dikonsultasikan dengan dosen dan guru kelas. Setelah mendapatkan

kritik dan saran serta petunjuk maka semua instrumen tersebut telah

diperbaiki dan dinyatakan valid.

I. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

analisis deskriptif kualitatif dan analisis komparatif. Analisis deskriptif

digunakan untuk menganalisis semua data yang telah diperoleh melalui

instrumen-instrumen dan untuk menarik kesimpulan sesuai dengan

rumusan masalah yang ada. Sedangkan analisis komparatif digunakan

untuk menganalisis kembali data pemahaman yang telah dipaparkan secara

deskriptif.

Data hasil belajar dan pemahaman siswa mengenai materi perkalian

diperoleh dengan cara menganalisis hasil deskripsi dari

instrumen-instrumen yaitu hasil rekaman wawancara dengan siswa, hasil wawancara

dengan guru, latihan soal yang diberikan kepada siswa, dan lembar

observasi. Data tersebut dianalisis secara deskriptif dan secara bertahap

pada setiap pertemuan. Kemudian data yang telah diperoleh dari

pertemuan pertama sampai pertemuan keempat dianalisis secara

(56)

dan pemahaman siswa mengenai materi perkalian dengan menggunakan

bola sebagai alat peraga.

J. Prosedur Pelaksanaan Penelitian 1. Tahap persiapan

Sebelum melaksanakan penelitian, peneliti melakukan beberapa

persiapan yaitu:

a. Bertemu dengan dosen pembimbing skripsi untuk konsultasi terkait

penelitian yang akan peneliti laksanakan. Konsultasi diadakan

beberapa kali untuk memastikan tempat penelitian, materi

penelitian, dan alat peraga yang akan digunakan.

b. Mempersiapkan surat izin untuk penelitian.

c. Bertemu dengan Kepala Sekolah untuk perizinan penelitian.

d. Bertemu dengan guru kelas untuk berdiskusi mengenai

pelaksanaan penelitian, meminta saran juga informasi tentang

pembelajaran di SLB.

e. Mempersiapkan alat peraga yang akan digunakan dalam penelitian.

f. Berkonsultasi dengan dosen pembimbing dan guru mengenai alat

peraga yang akan digunakan, serta meminta saran untuk perbaikan

atau perubahan alat peraga.

g. Observasi kelas yang akan dijadikan tempat penelitian.

h. Mempersiapkan instrumen-instrumen yang dibutuhkan untuk

(57)

2. Rencana kegiatan

Dalam penelitian ini, peneliti dibantu oleh guru pembimbing yang

membantu peneliti dalam berkomunikasi dengan anak tunanetra.

Kegiatan yang akan dilakukan antara lain:

a. Kegiatan pembelajaran:

1) Membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).

2) Mempraktekkan penggunaan alat peraga.

3) Melakukan evaluasi setelah pembelajaran.

b. Untuk melihat pemahaman siswa tentang konsep perkalian, peneliti

juga melaksanakan wawancara setelah pembelajaran. Hal ini dapat

membantu peneliti untuk mengetahui sejauh mana pemahaman

siswa tentang konsep perkalian.

3. Alat peraga yang digunakan

Peneliti menggunakan bola sebagai alat peraga pada materi perkalian.

Alat peraga ini merupakan bola warna-warni yang mudah ditemukan.

Setiap subjek mendapat 100 buah bola dan tiga buah kotak sebagai

wadah untuk menaruh bola tersebut.

4. Evaluasi pembelajaran

Evaluasi pembelajaran dilakukan pada pertemuan keempat. Hal ini

dilakukan untuk melihat hasil belajar dan pemahaman siswa tentang

materi perkalian khususnya konsep perkalian. Evaluasi pembelajaran

(58)

diakhir pembelajaran dan juga dilakukan wawancara untuk mengetahui

pemahaman siswa.

5. Rencana pelaksanaan

a. Pelaksanaan penelitian akan dilaksanakan empat kali, dengan

rincian:

1) Pertemuan awal adalah pemberian soal pre-test.

2) Pertemuan kedua dan ketiga adalah pemberian materi perkalian

dengan menggunakan bola sebagai alat peraga.

3) Pertemuan terakhir adalah pemberian soal post-test.

b. Pelaksanaan penelitian akan dibantu oleh guru kelas II selaku guru

pembimbing, mengingat susahnya berkomunikasi dan mengajar

(59)

BAB IV

HASIL PENELITIAN, ANALISIS DATA, DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Pelaksanaan Penelitian 1. Observasi Awal

Penelitian dilakukan di SLB A Yaketunis Yogyakarta yang terletak

di Jalan Parangtritis No. 46 Yogyakarta. Subjek penelitian adalah 2

orang siswa kelas II SLB A Yaketunis Yogyakarta, dimana mereka

memiliki keterbatasan dalam penglihatan dan termasuk dalam kategori

low vision. Dalam penelitian ini peneliti adalah fasilitator yang menyediakan alat peraga serta sebagai pengamat. Materi yang akan

dipelajari dan dibahas adalah perkalian secara khusus penanaman

konsep perkalian sebagai penjumlahan berulang. Materi tersebut akan

diajarkan dengan menggunakan alat peraga berupa bola. Sebelum

melakukan penelitian, peneliti melakukan observasi terlebih dahulu.

Tujuan dilakukannya observasi adalah untuk melihat kegiatan

pembelajaran, model pembelajaran, dan metode yang digunakan dalam

pembelajaran yang dilaksanakan sehari-hari di kelas II SLB A

Yaketunis Yogyakarta, sehingga dapat membantu dalam merancang

kegiatan pembelajaran yang akan dilakukan terkait penelitian. Selain

itu kegiatan observasi juga dilakukan untuk membantu peneliti

mengenal para siswa yang akan menjadi subjek penelitian sehingga

(60)

Peneliti melakukan observasi sebanyak 3 kali sebelum

melaksanakan penelitian. Dari kegiatan tiga kali observasi yang

dilakukan yaitu pada tanggal 24 Agustus 2016, 26 Agustus 2016, dan

31 Agustus 2016, peneliti melihat kurikulum dan materi yang

diajarkan sama dengan sekolah umum lainnya, tidak ada yang berbeda.

Selain itu, kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan di SLB A

Yaketunis tidak jauh berbeda dengan yang dilaksanakan dengan

sekolah-sekolah lainnya, hanya saja pemberian materinya disesuaikan

dengan kemampuan masing-masing siswa. Seperti diketahui bahwa

kemampuan setiap siswa berbeda, maka ini yang mendasari guru kelas

untuk memberikan materi sesuai dengan kemampuan siswa.

Pembelajaran matematika yang dilaksanakan di SLB A Yaketunis

Yogyakarta juga sama seperti sekolah dasar umum yaitu tiga kali

dalam seminggu.

Dalam pembelajaran di SLB A Yaketunis Yogyakarta, siswa tidak

hanya belajar tentang materi pembelajaran namun juga belajar

membaca dan menulis huruf Braille yang akan siswa gunakan dalam

pembelajaran setiap hari. Selain itu siswa juga diberikan pelajaran

Orientasi Mobilitas yaitu pelajaran dimana siswa akan diajar untuk

mandiri melakukan sesuatu yang mendasar seperti berpakaian,

memakai sepatu, minum, berjalan menggunakan tongkat, dan lain

(61)

Pada observasi yang dilakukan, peneliti juga melihat karakter yang

dimiliki siswa, yaitu:

S1 adalah siswa yang tergolong mudah dalam menerima pelajaran

setiap harinya. S1 aktif dalam pembelajaran, dan selalu menjawab

pertanyaan yang diajukan oleh guru. Namun terkadang S1 kurang

fokus dalam pembelajaran, karena dengan mudah dialihkan oleh

beberapa hal seperti suara keras dari teman yang sedang bermain

serius belajar apabila mendapat teguran yang cukup keras dari guru.

Suasana pembelajaran saat observasi kondusif. Di SLB A

Yaketunis Yogyakarta setiap kelas mempunyai ruangan

masing-masing. Namun ruangan kelas tidak terlalu besar karena menyesuaikan

dengan jumlah siswa tiap kelas. Kelas yang berdempetan kadang

menjadi faktor yang membuat kondisi pembelajaran menjadi tidak

Gambar

Tabel 4.1 Hasil Belajar Siswa Mengerjakan Soal Pre-Test  ..........................  47
Gambar 2.1 Huruf Braille  ............................................................................
Gambar 2.1. Huruf Braille
gambar dan kemudian dilanjutkan kepada tahap akhir yaitu tahap model
+7

Referensi

Dokumen terkait

(Jakarta: Kencana Prenada Media Group.. pesan iklan dengan individu pemirsa melalui tayangan televisi. Tahap pertama ini merupakan bagian yang penting dan mendasar

Pada buku teks matematika SMP berjudul Contextual Teaching and Learning Matematika untuk Kelas VII SMP/MTs Edisi 4, diterbitkan oleh Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan

( 4) Hal- hal yang berhubungan dengan ket ent uan lain t ent ang pendidikan j arak j auh dit et apkan oleh program st

Nama-nama Dosen Pengajar dan Penguji mata kuliah Fakulter dan Keprodian pada Program S-l Bersubsidi FIK UNY Semester Gasal Tahun Akademik 2An/20I3 sebagaimana tersebut

abstraksi: hukum, aturan, metoda, prosedur, prinsip, teori yang bersifat umum dalam situasi yang

Penulis berharap penelitian ini dapat memberikan kontribusi yang berguna kepada pengembangan pengelolaan sistem penjaminan mutu di Perguruan Tinggi khususnya di

Peristiwa-peristiwa itu antara lain berebut makanan sebagai symbol dari konstruksi sosial, kebosanan, kemarahan, dan ketakutan adalah sebagai simbol dari salah satu sifat dasar

Veronika Hošková (2011:8-9) listet in ihrer Arbeit auf, dass es nach Teubert (1998) sieben Kategorien gibt, die dabei helfen, den Neologismus zu erkennen. 1) Personennamen