BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendirian perusahaan pada umumnya bertujuan untuk mendapatkan profit, untuk itu perusahaan membutuhkan modal/pendanaan sebagai dasar untuk
melakukan aktivitas operasinya dalam rangka menciptakan profit. Perusahaan yang go public memanfaatkan keberadaan pasar modal sebagai sarana untuk mendapatkan sumber dana atau alternatif pembiayaan, dimana nantinya pasar
akan menjadi cerminan kinerja dan kondisi keuangan perusahaan karena pasar akan memberikan respon terhadap semua aktivitas yang dilakukan perusahaan.
Mekanisme hutang-piutang dalam pasar modal adalah faktor yang menyebabkan terjadinya krisis pada tahun 2008 (subprime mortgage crisis), yang memakan banyak korban seperti Merryl Lynch, Goldman Scahs, dan Lehman
Brothers serta puluhan institusi finansial lain di seluruh dunia yang ikut terkena dampaknya serta menimbulkan krisis perekonomian di banyak negara (Kwik Kian
Gie, 2008).
Perusahaan cenderung lebih memilih untuk menggunakan sumber dana internal, kemudian dengan hutang, dan terakhir dengan ekuitas dalam
pembiayaannya. Obligasi menjadi pilihan diantara semua bentuk hutang lainnya karena nilai hutang pada obligasi umumya berjumlah besar dan tidak dibatasi. Lebih mudahnya mekanisme perusahaan dalam menerbitkan surat hutang
bunga obligasi dapat menjadi tax shield yang dapat mengurangi pembayaran pajak
perusahaan dan hal itu tidak berlaku apabila perusahaan melakukan pembayaran deviden atas sahamnya. Namun, memanfaatkan obligasi sebagai sumber
pendanaan perusahaan bisa menjadi pedang bermata dua yang dapat menurunkan tingkat likuiditas sebuah perusahaan yang mampu ―memicu‖ kebangkrutan pada perusahaan.
Ketika perusahaan tidak mampu mengelola hutangnya dengan baik, maka konsekuensi terbesar yang akan dihadapi perusahaan tersebut adalah perusahaan
akan mengalami kesulitan keuangan yang dapat berujung pada kebangkrutan. Sebelum perusahaan dinyatakan bangkrut, biasanya ada rentang periode dimana
perusahaan mengalami kesulitan keuangan, kesulitan dalam menghasilkan laba, atau laba yang terus menurun dari tahun ke tahun. Periode tersebut dinamakan financial distress, yang biasanya terjadi sebelum periode kebangkrutan.
Financial distress adalah tahap penurunan kondisi keuangan yang dialami oleh suatu perusahaan, yang dapat dideteksi sebelum terjadinya kebangkrutan ataupun likuidasi. Kondisi ini pada umumnya ditandai dengan adanya penundaan
pengiriman, kualitas produk yang menurun, dan penundaan pembayaran tagihan dari bank (Platt dan Platt, 2002). Jadi, suatu perusahaan dinyatakan bangkrut
apabila perusahaan tidak mampu untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya pada investor, yang dikarenakan perusahaan sendiri mengalami kesulitan keuangan. Kesulitan keuangan memicu terganggunya aktivitas operasional perusahaan
sehingga berujung pada perusahaan yang tidak mampu lagi untuk membiayai
operasional perusahaan.
Adanya informasi mengenai kondisi financial distress yang lebih awal,
dapat memberikan kesempatan bagi manajemen, pemilik, investor, regulator, dan para stakeholders lainnya untuk melakukan upaya-upaya yang relevan (Platt dan
Platt, 2002). Manajemen dan pemilik berkepentingan melakukan upaya-upaya untuk mencegah kondisi perusahaan menuju arah yang lebih buruk, yaitu kebangkrutan. Investor berkepentingan dalam mengambil keputusan investasi atau
divestasi. Regulator seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berkepentingan dalam mengambil keputusan terkait dengan fungsinya sebagai lembaga perlindungan dan
pengawasan pasar modal.
Sebagai lembaga yang dipercaya masyarakat dalam memfasilitasi dan membuat regulasi terkait pasar modal Indonesia, Bursa Efek Indonesia (BEI)
beusaha mewujudkan pasar yang teratur, transparan, dan efisien. Untuk itu, Bursa Efek Indonesia (BEI) membuat regulasi terkait beberapa hal, termasuk perusahaan yang sahamnya diperdagangkan (listing). Bursa Efek Indonesia (BEI) akan
memberi peringatan hingga sanksi pada perusahaan-perusahaan yang melanggar aturan yang ada, dimana sanksi terberatnya adalah dihapuskan (delisting) dari
Berikut adalah tabel perusahaan yang listing dan delisting dari Bursa Efek
Indonesia (BEI) selama 5 tahun terakhir:
Tabel 1.1
Perusahaan Listing dan Delisting dari BEI 2009-2013
Tahun Total Perusahaan (Emiten)
Listing Delisting Forced Delisting
2009 398 11 10
2010 420 1 -
2011 440 5 1
2012 459 4 3
2013 482 7 5
Sumber : IDX Fact Book 2009-2013
Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa setiap tahunnya Bursa Efek Indonesia melakukan delisting terhadap perusahaan-perusahaan yang sebelumnya
tercatat. Delisting sendiri dibagi dalam 2 kategori, yaitu voluntary delisting dan forced delisting. Voluntary delisting adalah penghapusan sukarela yang
dikehendaki oleh perusahaan, bukan berupa sanksi dari Bursa Efek Indonesia (BEI). Hal ini berbeda dengan forced delisting, yang biasanya disebabkan oleh
sanksi atau ketidakpercayaan Bursa Efek Indonesia (BEI) terhadap going concern perusahaan itu sendiri. Dari tabel dapat kita lihat bahwa dari total perusahaan yang delisting, persentase jumlah yang forced delisting cukup besar. Hal ini
membuktikan cukup besarnya keraguan Bursa Efek Indonesia (BEI) terhadap going concern perusahaan tersebut, yang berkaitan erat terhadap ancaman
kebangrutan yang dihadapi perusahaan atau malah perusahaan tersebut telah bangkrut sehingga Bursa Efek Indonesia (BEI) melakukan delisting.
Keberadaan perusahaan yang delisting atau bangkrut menimbulkan
kondisi financial distress sehingga berujung pada kebangkrutan. Oleh karena itu,
dibutuhkan sistem peringatan dini (early warning system) yang mampu mengantisipasi dan mengidentifikasi munculnya financial distress.
Model prediksi financial distress merupakan sebuah model yang dapat mendeteksi keberadaan financial distress perusahaan. Model ini mengevaluasi
berbagai aspek keuangan perusahaan, dengan menggunakan rasio-rasio keuangan yang ada, seperi rasio likuiditas, rasio leverage, rasio efisiensi, rasio profitabilitas, dan rasio nilai pasar. Dengan adanya model ini, maka manajemen perusahaan
dapat mengambil tindakan yang tepat sebelum perusahaan sampai pada kondisi krisis dan pihak-pihak yang berkepentingan juga dapat menyusun langkah
kedepannya.
Penelitian mengenai prediksi kebangkrutan telah banyak dilakukan oleh peneliti terdahulu. Pioneer untuk penelitian prediksi kebangrutan adalah Beaver
tahun 1966. Beaver meneliti univariate analysis sebagai alat prediksi kebangrutan perusahaan dan ditemukan bahwa dengan metode tersebut dapat diprediksi kebangkrutan perusahaan lima tahun sebelum terjadinya kebangkrutan. Namun
dalam penelitian Beaver hanya digunakan satu rasio keuangan saja dalam memprediksi, sehingga menimbulkan ketidakkonsistenan pada rasio-rasio
keuangan lainnya (Changcarat, 2008)
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Altman (1968) dimana Altman menggunakan metode step-wise multivariate discriminant anlysis (MDA) dalam
penelitian berjumlah 66 perusahaan selama 20 tahun (1946-1965) dan berasal dari
industri manufaktur. Penelitian Altman pada tahun 1968 ini menghasilkan sebuah model prediksi yang dikenal dengan Altman Z-Score (1968). Model ini menjadi
model yang paling populer dalam penelitian mengenai prediksi kebangkrutan. Altman juga melakukan revisi dan modifikasi terhadap model yang ia kembangkan sebelumnya, sehingga model Altman sendiri memiliki beberapa
formula yang berbeda.
Perkembangan penelitian mengenai model prediksi financial distress
mengalami kemajuan cukup pesat, hal ini terbukti dari munculnya model-model prediksi financial distress lainnya seperti Springate (1978), Ohlson (1980),
Zmijewski (1983), Fulmer (1984), Internal Growth Rate (1998), dan Groever (2001). Namun, hampir dari semua model tersebut dirumuskan dengan menggunakan sampel perusahaan di luar negeri. Penelitian mengenai financial distress yang ada di Indonesia selama ini masih menggunakan model-model yang
dikembangkan dari luar (telah ada). Model prediksi financial distress yang paling banyak dilakukan di Indonesia adalah model Altman Z-Score. Pada umumnya
penelitian yang ada di Indonesia bersifat memperbandingkan model-model yang ada untuk menilai tingkat keakuratan prediksinya.
Ayu (2009) menganalisa model prediksi financial distress terbaik diantara ketiga model prediksi di Altman. Penelitian ini juga mengambil sampel perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Hasil
(model Altman (1968), model Altman Revisi, dan Model Altman Modifikasi)
model Altman (1968) memberikan tingkat prediksi kebangkrutan yang tertinggi.
Rifqi (2009) juga membandingkan model prediksi, berbeda dari Ayu
(2009), Rifqi membandingkan model Altman, Springate, Ohlson, dan Zmijewski dalam memprediksi financial distress perusahaan sektor manufaktur yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Hasil penelitian adalah model Springate merupakan model prediksi financial distress yang terbaik.
Penelitian Rismawaty (2012) yang merupakan replikasi dari penelitian
Rifqi (2009) yang juga membandingkan model Altman, Springate, Ohlson, dan Zmijewski dalam memprediksi financial distress perusahaan manufaktur yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia mendapatkan hasil yang berbeda. Hasil penelitian adalah model Zmijewski merupakan model prediksi financial distress yang terbaik.
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian untuk membandingkan model prediksi financial distress. Penelitian ini menggunakan model Altman (1968), model Springate (1978), model Zmijewski
(1983), dan model Internal growth rate (1998). Penelitian ini menggunakan sampel perusahaan yang delisting (forced) dari Bursa Efek Indonesia (BEI) dari
tahun 2010-2013 dengan purposive sampling method untuk menilai model prediksi terbaik, hal ini dikarenakan indikator perusahaan bangkrut di pasar modal adalah perusahaan delisting. Selanjutnya, model dari hasil dari temuan ini akan
1.2 Rumusan Masalah
Penelitian ini berfokus dalam menemukan model prediksi kebangkrutan yang paling akurat diantara menggunakan model Altman (1968), model Springate
(1978), model Zmijewski (1983), dan model Internal growth rate dalam memprediksi financial distrees di Indonesia. Penelitian ini menggunakan sampel
perusahaan yang delisting dari Bursa Efek Indonesia pada tahun 2010-2013 dan perusahaan pada sektor yang sama dengan perusahaan yang didelisting.
Jadi berdasarkan uraian diatas dan latar belakang yang telah dipaparkan
sebelumnya, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Model prediksi manakah dari model Altman (1968), model Springate
(1978), model Zmijewski (1983), dan model Internal growth rate yang paling akurat dalam memprediksi financial distress perusahaan di Indonesia?
2. Berdasarkan model prediksi yang paling akurat dari penelitian ini, perusahaan apa sajakah pada sektor yang sama dengan sampel pertama yang diprediksi akan mengalami financial distress?
1.3Tujuan Penelitian
Penelitian ini dirancang untuk membandingkan antara model-model
prediksi kebangkrutan yang telah ada yaitu: menggunakan model Altman (1968), model Springate (1978), model Zmijewski (1983), dan model Internal growth rate dalam memprediksi financial distress suatu perusahaan. Berdasarkan rumusan
1. Mengetahui model prediksi apa yang paling akurat dalam memprediksi
financial distress di Indonesia, diantara model Altman (1968), model Springate (1978), model Zmijewski (1983), dan model Internal growth
rate.
2. Mengetahui perusahaan apa saja yang diprediksi akan mengalami financial distress pada sektor yang sama dengan sampel pertama dengan
menggunakan model prediksi terbaik.
1.4Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak, yaitu:
1. Bagi Penulis
Dapat memberikan informasi bagi penulis mengenai model prediksi financial distress yang paling terbaik dalam penerapannya di Indonesia.
2. Bagi Kreditor dan investor
Dengan adanya informasi ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi model prediksi financial distress paling sesuai untuk diterapkan di Indonesia
yang akan membantu dalam membuat keputusan kredit dan investasi. 3. Bagi Perusahaan
4. Akademisi
Dengan adanya informasi ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi dan bahan bacaan serta agar dapat memberikan inspirasi penelitian yang
bisa digunakan untuk membuat penelitian selanjutnya.
1.5Batasan Rumusan Masalah
Adapun batasan-batasan dalam rumusan masalah penelitian ini adalah:
1. Dalam penelitian ini penulis membatasi model prediksi financial distress yang digunakan, yaitu menggunakan model Altman (1968), model
Springate (1978), model Zmijewski (1983), dan model Internal Growth Rate (1998).
2. Ruang lingkup penelitian terbatas pada perusahaan yang delisting (forced) dari Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 2010-2013 dan perusahaan pada sektor yang sama dengan sampel pertama yang menerbitkan laporan
tahunan 2012.
3. Penelitian ini hanya mengkaji faktor penyebab financial distress berdasarkan rasio-rasio keuangan yang digunakan dalam model prediksi
financial distress tanpa mengkaji kemungkinan adanya human error ataupun kecurangan internal dalam perusahaaan.
1.6 Sistematika Penulisan
Penelitian ini tertuang dalam bentuk tulisan yang terdiri dari 5 bab: Bab I Pendahuluan
Bab ini menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
sistematika penulisan skripsi. Bab ini bertujuan untuk memberikan
gambaran umum mengenai keseluruhan isi dari penelitian ini. Bab II Landasan Teori
Bab ini menguraikan landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu mengenai definisi financial distress serta model-model prediksi
financial distress yang digunakan dalam penelitian ini. Bab III Metode Penelitian
Bab ini menjelaskan objek penelitian, metode pengumpulan data, jenis dan sumber data, populasi dan sampel, metode analisis data, dan tahap
pengujian.
Bab IV Analisis dan Pembahasan
Bab ini membahas analisis terhadap pengolahan data serta pembahasannya yang merupakan interpretasi dari hasil pengolahan data tersebut.
Interpretasi hasil penelitian ini akan memberikan jawaban atas permasalahan dari penelitian ini.
Bab V Kesimpulan dan Saran
Bab ini merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dari hasil penelitian secara keseluruhan dan saran-saran untuk referensi penelitian