BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Karakteristik Subyek
Penelitian ini dilakukan di RS PKU Muhammadiyah Bantul Yogyakarta pada bulan Februari tahun 2016. Subyek penelitian ini adalah anak usia 0-18 tahun yang terdiagnosis ISK. Data yang didapat, anak dengan gejala klinis ISK berjumlah 160 orang anak. Data tersebut dianalisis berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusinya. Untuk mengetahui hubungan antar variabel, uji hipotesis yang digunakan pada penelitian ini adalah Fisher’s Exact Test.
Tabel 4. Karakteristik subyek penelitian
Variabel n(%)
Usia
<5
≥5
78(49) 82(57) Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
111(69) 49 (31)
Dari tabel 4 dapat dilihat bahwa tidak terdapat perbedaan jumlah pada kelompok usia. Namun pada karakteristik jenis kelamin terdapat perbedaan jumlah yang cukup tinggi.
4.1.2 Analisis Bivariat
Tabel 5. Hasil analisis Fisher’s Exact Test terhadap kejadian ISK anak Infeksi Saluran Kemih
Anak (ISK) ISK
n(%)
Tidak n(%)
P OR 95%CI
Jenis Kelamin
Laki-laki Perempuan
36 (56) 28 (44)
75 (78) 21 (22)
0,005 0,360 0,180-0,719 Usia < 5 tahun 38 (59) 40 (42)
≥5 tahun 26 (41) 56 (58) 0,036 2,046 1,076-3,892
Tabel 5 menunjukkan bahwa jenis kelamin dan usia merupakan faktor risiko yang bermakna dari kejadian ISK anak dengan nilai p <0,005. Perhitungan dilakukan dengan analisis Fisher’s Exact Test dikarenakan distribusi data yang abnormal (expected count <5) sehingga Fisher’s Exact Test dapat digunakan sebagai alternatif pengolahan data pada penelitian ini. Nilai signifikansi pada analisis jenis kelamin dengan kejadian ISK anak didapatkan p=0,005 dan usia (p=0,036) yang berarti signifikan atau bermakna. Anak perempuan 2,7 kali lipat untuk terkena ISK dibandingkan anak laki-laki, dan anak usia <5 tahun memiliki risiko untuk terjadi ISK sebesar 2 kali lipat.
4.2 Pembahasan
4.2.1 Hubungan Jenis Kelamin Terhadap ISK pada Anak
Penelitian ini, diikuti oleh 160 subyek. Enam puluh empat diantaranya adalah anak yang positif ISK dengan uji urinalisis. Setelah dilakukan analisis bivariat dengan uji Fisher’s Exact Test, hasil menunjukkan bahwa usia dan jenis kelamin merupakan faktor risiko kejadian ISK pada anak.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sinaga (2009) yang mendapatkan angka kejadian anak perempuan lebih tinggi dari pada anak laki-laki dengan OR 2,2 (95%CI: 1,04-4,63). Artinya anak perempuan berisiko 2,2 kali lipat untuk terkena ISK. Hasil tersebut juga sesuai dengan data epidemiologi yang menyebutkan bahwa prevalensi ISK pada neonatus berkisar antara 0,1% sampai 0,4%, dan pada bayi meningkat menjadi 5,3%. Risiko ISK pada anak perempuan sebelum pubertas mencapai 3-5%, sedangkan pada anak laki-laki berkisar 1-2% dan prevanlesi untuk anak-anak dibawah usia 2 tahun berkisar 3-5% (UKK Nefrologi IDAI, 2011).
Lumbanbatu, dkk (2001) melakukan penelitian pada 200 anak dengan ISK. Hasil yang didapatkan adalah anak perempuan lebih banyak terkena ISK dibandingkan anak laki-laki, masing-masing 137 (68,5%) dan 63 (31,5%).
Setelah diteliti, didapatkan hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan hasil biakan bakteri (p<0,05) secara statistik pada anak laki-laki (2 anak) dan perempuan (14 anak).
Pada neonatus, laki-laki lebih sering terkena ISK daripada perempuan, tetapi setelah masa neonatus berakhir, perempuan lebih sering terkena ISK (kemungkinan 25 kali lipat). Sebanyak 5% anak perempuan usia 2 tahun mengalami ISK (Newell dan Meadow, 2005).
Rudolph A, et al., (2006) menyebutkan bahwa pada kelompok anak usia sekolah, insidensi bakteriuria pada anak perempuan 30 kali lebih besar dibanding laki-laki (masing-masing 1,2% dan 0,04%). Sebanyak 5-6% dari semua perempuan akan mengalami episode bakteriuria bermakna sekurang-kurangnya satu kali episode pada usia 6-18 tahun.
Hasil ini kurang sejalan dengan penelitian yang dilakukan Santoso (2014) yang menggunakan 60 neonatus sebagai sampel penelitian. Hasil yang didapatkan adalah tidak terdapat adanya hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian ISK neonatus yang artinya juga jenis kelamin bukan merupakan faktor risiko terjadinya ISK pada neonatus.
Hasil yang berbeda juga ditemukan dalam penelitian Gupta (2015) yang melakukan penelitian terhadap 186 anak di India yang terbukti ISK dengan pemeriksaan yang sudah teruji validitasnya. 105 diantaranya adalah bayi, 50 anak berusia 1-5 tahu, dan 30 anak berusia 5-13 tahun. dari data tersebut didapatkan prevalensi anak laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan yaitu 126 (69,35%).
Pada anak laki-laki, bakteri mencapai saluran kemih melalui jalur hematogen (aliran darah) dengan infeksi biasanya berasal dari sepsis. Namun penjalaran secara hematogen ini jarang terjadi, 30% kasus terjadi pada neonatus dan bayi <3 bulan (Rusdidjas dan Ramayati, 2010).
Pada anak perempuan bakteri mencapai saluran kemih melalui jalur asendens dari uretra. Keadaan anatomi uretra anak perempuan yang lebih pendek tersebut menyebabkan bakteri lebih mudah invasi kedalam vesika urinaria, dan juga keadaan higiene yang kurang pada anak perempuan menyebabkan penyebaran patogen secara asenden, dimana masuknya bakteri tinja disekitar anus menyebar secara asenden memasuki vesika urinaria melalui uretra atau memasuki ginjal melalui ureter (Sinaga, 2009).
4.4.2 Hubungan Usia dengan Kejadian ISK Anak
Penelitian ini memiliki kesamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sinaga (2009) yaitu usia merupakan prediktor paling kuat terhadap kejadian ISK anak. Anak dengan usia lebih muda memiliki faktor risiko untuk ISK lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang berusia lebih tua. Hal ini ditunjukkan dengan pembuktian bahwa bayi dengan usia <6 bulan memiliki faktor risiko tinggi yaitu 3,1 kali lipat (95%CI: 1,2-8,2) dibandingkan dengan usia >6 bulan.
Natalia (2006) menyebutkan bahwa anak usia 1-5 tahun terjadi kenaikan prevalensi bakteriuria pada perempuan yaitu naik 4,5% setiap tahunnya, sedangkan laki-laki turun menjadi 0,5%. Dalam penelitiannya juga didapatkan bahwa usia anak yang lebih tua merupakan faktor protektif (OR 0,6) sehingga dapat diartikan bahwa anak dengan usia lebih muda lebih berisiko mengalami bakteriuria bermakna.
Finnel (2011) menyebutkan bahwa terjadi penurunan prevalensi ISK anak dengan bertambahnya usia. Pada kelompok usia 6-12 bulan, prevalensi berkisar 5,4% dan pada usia 12-24 bulan berkisar 4,5%.
Prevalensi ISK pada anak mengalami perubahan sesuai dengan jenis kelamin dan usia. Sehingga kedua faktor tersebut sangat mempengaruhi dari kejadian ISK anak. Pada tahun pertama kehidupan, anak laki-laki akan lebih sering terkena ISK dibandingkan anak perempuan.
Kematuran fungsional mekanisme pertahanan lokal pada anak laki-laki lebih lambat dan kurang berkembang dibandingkan anak perempuan ikut mempengaruhi hal tersebut. Namun setelah masa neonatus berakhir, anak perempuan lebih sering terkena ISK (Short et al., 2002).
Pada anak usia lebih muda (neonatus, bayi dan Balita), mekanisme pertahanan alamiah hospes masih sangat rendah. Perlindungan alamiah hospes terhadap ISK seperti kandungan antibakteri urin, mukosa saluran kemih, mekanisme anti perlengketan bakteri ke sel uroepitelial, efek mekanis aliran urin, adanya sel fagosit dan mekanisme imun. Pada periode ini, khususnya masa neoatal, mekanisme anti perlengketan tidak sempurna sehingga sangat rentan untuk terkena ISK. Sel uroepitelial anak snagat rentan terhadap infeksi, karena memiliki reseptor pada permukaan sel tersebut sehingga kapasitas untuk mengikat bakteri sangat tinggi (Santoso, 2014).
Perbedaan kerentanan individu dapat diterangkan dengan adanya faktor- faktor hospes seperti antibodi uretra dan servikal (IgA) dan faktor lain yang mempengaruhi perlekatan bakteri pada epitel introitus dan uretra (Nelson et al., 2000).
Imaturitas imun lokal termasuk rendahnya aktivitas bakterisidal, kadar IgA sekretori yang rendah, dan peningkatan kolonisasi bakteri periuretra akan meningkatkan risiko infeksi saluran kemih pada periode ini (Nickavar et al., 2015).
Kerentanan anak untuk mengalami infeksi cukup tinggi, terutama pada neonatus. Mekanisme pertahanan fisik neonatus masih sangat kurang. Kulit yang merupakan pertahanan terpenting terhadap infeksi. Pada neonatus dan bayi, kulit masih tipis dan mudah rusak sehingga bakteri dengan mudah invasi dan mencapai aliran darah. Hal ini merupakan salah satu penyebab bayi dan neonatus lebih berisiko mengalami infeksi. Kegagalan respon imunologis seluler dan humoral juga mempengaruhi hal ini.
Kegagalan ini mencakup defek kemotaksis sel polimorfonuklear (PMN), opsonisasi, fagositosis, daya bunuh intrasel, dan jumlah limposit T kurang. Selain itu, bayi tidak memiliki IgM dan IgA, tetapi hanya memiliki IgG yang berasal dari ibu. Pada bayi prematur, kadar IgG rendah, sehingga lebih mudah terkena infeksi (Short et al., 2002).
4.3 Keterbatasan Penelitian
1. Penelitian ini menggunakan metode cross sectional, dimana instrumen penelitian adalah sekunder (rekam medik) sehingga peneliti tidak dapat mengobservasi langsung kejadian ISK anak, maupun faktor risiko yang terkait.
2. Lebarnya interval kepercayaan pada penelitian ini disebabkan jumlah sampel yang kurang. Jumlah sampel yang kurang juga dapat mempengaruhi hasil yang di dapatkan.
3. Penelitian hanya dilakukan di satu pusat kesehatan