• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PENGGUNAAN PUPUK KANDANG PADA PETANI DAN KEPADATAN LALAT SERTA KEJADIAN DIARE DI DESA LAU GUMBA KECAMATAN BERASTAGI KABUPATEN KARO SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS PENGGUNAAN PUPUK KANDANG PADA PETANI DAN KEPADATAN LALAT SERTA KEJADIAN DIARE DI DESA LAU GUMBA KECAMATAN BERASTAGI KABUPATEN KARO SKRIPSI"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Oleh

SYLVIA MARDHATILLAH NIM. 151000343

PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

SKRIPSI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

SYLVIA MARDHATILLAH NIM. 151000343

PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2020

(3)
(4)

Telah diuji dan dipertahankan Pada tanggal: 24 Januari 2020

TIM PENGUJI SKRIPSI

Ketua : Dr. dr. Taufik Ashar, M.K.M.

Anggota : 1. Dr. Sri Malem Indirawati, S.K.M., M.Si.

(5)
(6)

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penggunaan pupuk kandang pada petani, kepadatan lalat, dan kejadian diare di Desa Lau Gumba, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo. Selain itu, penelitian ini juga untuk mengetahui karakteristik demografi pada petani yang meliputi jenis kelamin, umur, pendidikan, karakteristik penggunaan pupuk kandang berdasarkan jenis-jenis pupuk kandang yang digunakan, dosis penggunaan, sumber pupuk kandang, jarak pemukiman dengan pengolahan pupuk kandang. Pengukuran kepadan lalat dilakukan dengan menggunakan fly-grill dan cara kerja penghitungan tingkat kepadatan lalat dilakukan berdasarkan buku petunjuk DEPKES RI tahun 2002.

Data dari hasil observasi penggunaan pupuk kandang dan perhitungan kepadatan lalat diolah secara manual dan dianalisa secara deskriptif dengan mengacu pada KEPMENKES RI NO. 519/MENKES/SK/VI/2008 dan DEPKES RI tahun 1995 tentang pedoman teknis pengendalian lalat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa petani di Desa Lau Gumba menggunakan pupuk kandang dengan jarak lahan pertanian dari rumah berjarak 200m-700m, jenis pupuk yang digunakan adalah kotoran sapi, kambing, ayam dan kelinci. Sumber pupuk kandang berasal dari Pancurbatu, Binjai, Lubuk Pakam, Kabanjahe dan Desa Lau Gumba, Berastagi. Petani yang menggunakan pupuk kandang berjumlah 28 KK dengan usia 28 tahun-68 tahun. Kepadatan Lalat di kandang ternak rata-rata berjumlah 16 ekor/block grill, di lahan pertanian rata-rata berjumlah 15 ekor/block grill dan di lingkungan masyarakat rata-rata berjumlah 13 ekor/block grill.

Tingkat kepadatan lalat menunjukkan angka rekomendasi yaitu 6-20 (tinggi/padat) yang artinya populasi padat dan perlu pengamatan, serta bila mungkin direncakan tindakan pengendalian. Kejadian diare masuk dalam 10 penyakit terbesar dan menempati peringkat ke 5 penyakit tertinggi. Selain itu, kejadian diare yang hebat terjadi pada tahun 2019 dimana tercatat 47 orang mengalami diare, dan dari jumlah tersebut 14 orang adalah balita, 13 orang anak- anak, 8 orang remaja, dan 12 orang dewasa. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian diare tertinggi di Desa Lau Gumba pada tahun 2019 terjadi pada usia balita.

Kata kunci: Pupuk kandang, kepadatan lalat, diare

(7)

Abstract

This study aims to determine the use of manure on farmers, the density of flies, and the incidence of diarrhea in Lau Gumba Village, Berastagi, Karo District. In addition, this study is also to determine the demographic characteristics of farmers covering gender, age, education, characteristics of the use of manure based on the types of manure used, dosage of use, source of manure, distance of settlement with processing of manure. The measurement of flies was carried out using a fly-grill, and the workings of calculating the level of density of flies were carried out based on the RI Ministry of Health's manual in 2002. Data from observations of the use of manure and fly density calculations were processed manually and analyzed descriptively by referring to the Republic of Indonesia Ministry of Health NO. 519 /MENKES/SK/VI/2008, and the Republic of Indonesia Ministry of Health in 1995 concerning technical guidelines for fly control. The results showed that farmers in Lau Gumba Village used manure with a distance of 200m-700m from the house, the type of fertilizer used was cow, goat, chicken and rabbit manures. Sources of manure come from Pancurbatu, Binjai, Lubuk Pakam, Kabanjahe and Lau Gumba Village, Berastagi. There are 28 households using manure with 28 to 68 years of age. The density of flies in the cattle shed averaged 16 heads/block grill, on the average agricultural land there were 15 heads/block grill and in the community environment an average of 13 heads/block grill. The level of fly density shows the recommended number which is 6-20 (high/dense) which means that the population is dense and needs to be observed, and if possible, control measures are planned. The incidence of diarrhea is included in the 10 biggest diseases, and is ranked as the 5th highest disease. In addition, a severe incidence of diarrhea occurred in 2019 where 47 people experienced diarrhea, and of these 14 were toddlers, 13 children, 8 teenagers, and 12 adults.

This shows that the highest incidence of diarrhea in Lau Gumba Village in 2019 occurred at the age of five.

Keywords: manure, density of flies, diarrhea

(8)

Kata Pengantar

Puji dan Syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Analisis Penggunaan Pupuk Kandang pada Petani dan Kepadatan Lalat serta Kejadian Diare di Desa Lau Gumba Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyandang gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM).

Selama proses penyusunan skripsi ini, penulis menyadari banyak sekali memperoleh bantuan dari berbagai pihak, baik secara moril maupun material.

Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si., selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. dr. Taufik Ashar, M.K.M., selaku Ketua Departemen Kesehatan Lingkungan sekaligus dosen pembimbing penulis di Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

4. Dr. Sri Malem Indirawati, S.K.M., M.Kes. selaku dosen penguji I dan Prof.

Dr. Irnawati Marsaulina, M.S. selaku dosen penguji II di Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

(9)

5. Dr. Lita Sri Andayani, S.K.M., M.Kes. selaku Dosen Penasehat Akademik penulis di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

6. Seluruh dosen dan pegawai di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara khususnya di Departemen Kesehatan Lingkungan.

7. Benny Bangun selaku Kepala Desa Lau Gumba Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo yang telah memberikan izin dan membantu penulis dalam melakukan penelitian di Desa Lau Gumba Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo.

8. Masyarakat di Desa Lau Gumba Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo yang telah banyak membantu penulis dalam melakukan penelitian di Desa Lau Gumba Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo.

9. Teristimewa untuk orang tua tercinta (Purwarno, S.S., M.A. dan Surya Ningsih) serta saudara dan saudari tercinta (Intan Novia Sari, S.S., S.T., Surendra Agung Hanggono, S.T., Khairiah Wilda dan Muhammad Azka Rizqullah) yang tak pernah lelah mendoakan, memberi dukungan, dan kasih sayang sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

10. Teruntuk orang spesial yang saya kasihi, (M. Ridho Fadly, S.H.) yang selalu memberikan semangat dan doa kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

11. Teruntuk sahabat-sahabat yang sangat saya kasihi (Dini, Adis, Rina, Ananda Chairani, dan Rahmad Dwi Anggara) yang selalu memberikan semangat dan doa kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

(10)
(11)

Daftar Isi

Halaman

Halaman Persetujuan i

Halaman Penetapan Tim Penguji ii

Pernyataan Keaslian Skripsi iii

Abstrak iv

Abstract v

Kata Pengantar vi

Daftar Isi ix

Daftar Tabel xi

Daftar Gambar xii

Daftar Lampiran xiii

Daftar Istilah xiv

Riwayat Hidup xv

Pendahuluan 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 5

Tujuan Penelitian 5

Tujuan umum 5

Tujuan khusus 5

Manfaat Penelitian 6

Tinjauan Pustaka 7

Pupuk Kandang 7

Pengertian pupuk kandang 7

Jenis-jenis pupuk kandang 8

Lalat 12

Pengertian lalat 12

Siklus hidup lalat 13

Tempat perindukan lalat 14

Pola penyebaran lalat 15

Ketahanan hidup 16

Ekologi tentang lalat 16

tempat peristirahatan 16

Fluktasi jumlah lalat 17

Teknik pengendalian dan pemberantasan lalat 18

Diare 20

Pengertian diare 20

Epidemiologi penyakit diare 21

Penyebab penyakit diare 22

Gejala diare 23

(12)

Landasan Teori 23

Kerangka Konsep 29

Metode Penelitian 30

Jenis Penelitian 30

Lokasi dan Waktu Penelitian 30

Lokasi penelitian 30

Waktu penelitian 30

Populasi dan Sampel 30

Populasi 30

Sampel 30

Variabel dan Definisi Operasional 31

Metode Pengumpulan Data 32

Data primer 32

Data sekunder 32

Metode Pengukuran 32

Metode Analisis Data 34

Hasil Penelitian 35

Deskripsi Lokasi Penelitian 35

Penggunaan Pupuk Kandang Pada Petani 38

Kepadatan Lalat 44

Kejadian Diare 49

Pembahasan 54

Analisis Penggunaan Pupuk Kandang pada Petani dan Kepadatan Lalat serta Kejadian Diare di Desa Lau Gumba Kecamatan Berastagi

Kabupaten Karo 54

Karakteristik demografi pada petani 54

Karakteristik penggunaan pupuk kandang 55

Kepadatan lalat di lingkungan Desa Lau Gumba 57

Kejadian diare di Desa Lau Gumba 60

Keterbatasan Penelitian 64

Kesimpulan dan Saran 65

Kesimpulan 65

Saran 66

Daftar Pustaka 68

Lampiran 70

(13)

Daftar Tabel

No Judul Halaman

1 Mata Pencaharian di Kecamatan Berastagi 36

2 Jumlah Pemeluk Agama di Kecamatan Berastagi 37

3 Karakteristik Demografi pada Petani di Desa Lau Gumba Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo

38

4 Karakteristik Penggunaan Pupuk Kandang pada Petani di Desa Lau Gumba Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo

40

5 Tanggapan Petani Mengenai Pertanian yang Menggunakan Pupuk Kandang

40

6 Perbandingan Jarak Rumah dengan Lahan Pertanian yang Terjauh dan Jarak Rumah dengan Lahan Pertanian yang Terdekat

42

7 Pengukuran Kepadatan Lalat di Kandang Ternak 45 8 Pengukuran Kepadatan Lalat di Lahan Pertanian 46 9 Pengukuran Kepadatan Lalat di Lingkungan Masyarakat 48

10 Data Kejadian Diare di Desa Lau Gumba 50

(14)

Daftar Gambar

No Judul Halaman

1 Kerangka konsep penelitian 29

(15)

Daftar Lampiran

Lampiran Judul Halaman

1 Surat Permohonan Izin Penelitian 70

2 Surat Izin Mengadakan Penelitian 71

3 Surat Keterangan Selesai 72

4 Pedoman Wawancara Mendalam 73

5 Master Data 78

6 Dokumentasi Penelitian 82

(16)

Daftar Istilah

CFR Case Fatality Rate E.coli Escherichia coli

KK Kepala Keluarga

KLB Kejadian Luar Biasa

PUKAN Pupuk Kandang

WHO World Health Organization

(17)
(18)

Pendahuluan

Latar Belakang

Pupuk kandang adalah pupuk yang berasal dari kotoran hewan seperti kotoran domba, kambing, ayam, dan sapi yang banyak mengandung unsur hara makro dan mikro (Distan, 2011). Pupuk kandang adalah pupuk yang berasal dari kotoran hewan. Hewan yang kotorannya sering digunakan untuk pupuk kandang adalah hewan yang bisa dipelihara oleh masyarakat, seperti kotoran kambing, sapi, domba dan ayam. Selain berbentuk padat, pupuk kandang juga bisa berupa cair yang berasal dari air kencing (urin) hewan. Pupuk kandang mengandung unsur hara makro dan mikro. Pupuk kandang padat banyak mengandung unsur hara makro, seperti fosfor, nitrogen, dan kalium. Unsur hara mikro yang terkandung dalam pupuk kandang diantaranya kalsium, magnesium, belerang, natrium, besi, tembaga, dan molibdenum. Kandungan nitrogen dalam urin hewan ternak tiga kali lebih besar dibandingkan dengan kandungan nitrogen dalam kotoran padat.

Pupuk kandang bermanfaat untuk menyediakan unsur hara makro dan mikro dan mempunyai daya ikat ion yang tinggi sehingga akan mengefektifkan bahan-bahan anorganik di dalam tanah, termasuk pupuk anorganik. Selain itu, pupuk kandang bisa memperbaiki struktur tanah, sehingga pertumbuhan tanaman bisa optimal. Pupuk kandang yang telah siap diaplikasikan memiliki ciri bersuhu dingin, remah, wujud aslinya tidak tampak, dan baunya telah berkurang. Jika belum memiliki ciri-ciri tersebut, pupuk kandang belum siap digunakan.

(19)

Penggunaan pupuk yang belum matang akan menghambat pertumbuhan tanaman, bahkan bisa mematikan tanaman. Penggunaan pupuk kandang yang baik adalah dengan cara dibenamkan, sehingga penguapan unsur hara dapat berkurang.

Penggunaan pupuk kandang yang berbentuk cair paling baik dilakukan setelah tanaman tumbuh, sehingga unsur hara yang terdapat dalam pupuk kandang cair ini akan cepat diserap oleh tanaman (Parnata, 2004).

Lalat merupakan salah satu insekta (serangga) yang termasuk ordo diptera, mempunyai sepasang sayap berbentuk membran. Lalat juga merupakan species yang berperan dalam masalah kesehatan masyarakat, yaitu sebagai vektor penularan penyakit saluran pencernaan seperti: kolera, typhus, disentri, dan lain- lain (Muliawan, 2011). Sigit dan Hadi (2006) menjelaskan bahwa: “yang tergolong lalat penggangu kesehatan adalah ordo diptera, subordo cyclorrhapha, dan anggota terdiri atas lebih dari 116.000 species lebih di seluruh dunia”.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa lalat merupakan ordo diptera yang termasuk dalam klasifikasi serangga (insecta) pengganggu yang menyebarkan penyakit dan menyebabkan gangguan kesehatan bagi manusia dengan spesies yang sangat banyak. Lalat adalah salah satu vektor yang harus dikendalikan karena dapat mengganggu aktifitas dan kesehatan masyarakat.

Menurut World Health Organization (WHO) diare adalah kejadian buang air besar dengan konsistensi lebih cair dari biasanya, dengan frekuensi tiga kali atau lebih dalam periode 24 jam. Diare merupakan penyakit berbasis lingkungan yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme meliputi bakteri, virus, parasit, protozoa dan penularannya secara fekal-oral. Diare dapat mengenai semua

(20)

kelompok umur baik balita, anak-anak dan orang dewasa dengan berbagai golongan sosial. Diare merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di kalangan anak-anak kurang dari 5 tahun. Secara global terjadi peningkatan kejadian diare dan kematian akibat diare pada balita dari tahun 2015-2017. Pada tahun 2015, diare menyebabkan sekitar 688 juta orang sakit dan 499.000 kematian di seluruh dunia tejadi pada anak-anak dibawah 5 tahun. Data WHO (2017) menyatakan, hampir 1,7 miliar kasus diare terjadi pada anak dengan angka kematian sekitar 525.000 pada anak balita tiap tahunnya. Diare merupakan penyakit endemis di Indonesia dan merupakan penyakit potensial kejadian luar biasa (KLB) yang sering disertai dengan kematian. Berdasarkan data profil kesehatan Indonesia (2016), terjadi KLB diare tiap tahun dari tahun 2013 sampai 2016 dengan disertai peningkataan CFR (case fatality rate). Pada tahun 2013, CFR diare adalah 1,08% meningkat menjadi 1,14% pada tahun 2014. Peningkatan CFR 2 saat KLB di Indonesia terus terjadi hingga 2,47% pada tahun 2015 dan 3,04% pada tahun 2016. Angka CFR ini belum sesuai dengan yang diharapkan yaitu <1%.

Data Kementrian Kesehatan Indonesia (2016) menyatakan, jumlah kasus diare yang ditangani instansi kesehatan di Indonesia menurun tiap tahunnya. Pada tahun 2016 penderita diare di Indonesia yang ditangani sebanyak 46,4% dari jumlah penderita diare keseluruhan yang tercatat berjumlah 6.897.463 orang. Pada tahun 2015, jumlah kasus yang ditangani 4.017.861 orang, sedangkan pada tahun 2014 jumlah penangan kasus diare oleh instansi kesehatan adalah 8.490.976 orang.

(21)

Terkontaminasinya makanan dan minuman oleh vektor penyakit (khususnya lalat) merupakan salah satu penyebab utama diare. Tempat basah, benda organik, dan kotoran binatang menjadi tempat yang disukai lalat untuk bersarang dan berkembang biak, maka penggunaan pupuk kandang yang berasal dari kotoran hewan ini dapat memicu tingginya angka kepadatan lalat di desa Lau Gumba ini, dan lalat dengan tingkat kepadatan yang tinggi menjadi salah satu faktor risiko yang berpotensi untuk meningkatnya kejadian diare di desa ini. Berdasarkan data puskesmas Lau Gumba, ada 10 penyakit terbesar tahun 2019 yaitu Ispa, hipertensi, gastritis, alergi, diare, rhematik, tonsillitis, influenza, infeksi telinga tengah, dan varicella. Berdasarkan data di puskesmas Lau Gumba, ada 47 orang yang mengalami kejadian diare yang hebat pada tahun 2019 ini. Diare juga merupakan peringkat ke 5 penyakit terbesar di desa Lau Gumba ini, hal ini tentu saja menjadi masalah kesehatan yang perlu diperhatikan. Masyarakat di Desa Lau Gumba berjumlah 1430 kepala keluarga (KK), dan yang berprofesi sebagai petani berjumlah 80 KK. Dari 80 KK petani yang terdapat di Desa Lau Gumba, jumlah petani yang menggunakan pupuk kandang sebesar 28 KK, dan jumlah petani yang tidak menggunakan pupuk kandang sebesar 52 KK. Penggunaan pupuk kandang pada area pertanian sangat mempengaruhi jumlah kepadatan lalat di area tersebut.

Semakin dekat jarak penggunaan pupuk kandang dengan pemukiman warga maka kepadatan lalat semakin tinggi, dan tentunya semakin tinggi pula penyebaran penyakit yang diakibatkan oleh lalat tersebut.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirasa perlu untuk dilakukan penelitian tentang penggunaan pupuk kandang pada petani dan kepadatan lalat

(22)

serta kejadian diare di Desa Lau Gumba, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo pada Tahun 2019.

Rumusan Masalah

Petani Desa Lau Gumba Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo pada umumnya menggunakan pupuk kandang yang berasal dari kotoran hewan ternak pada tanaman di areal pertanian mereka. Jika ditinjau lebih lanjut, penggunaan pupuk kandang tersebut berpengaruh pada kepadatan lalat di Desa Lau Gumba yang tentunya dapat menganggu kesehatan bagi masyarakat di lingkungan sekitarnya. Angka kepadatan lalat yang tinggi juga dapat mempengaruhi frekuensi kejadian diare di desa ini. Berdasarkan hal ini, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah kondisi lingkungan pada saat penggunaan pupuk kandang yang mengakibatkan tingginya kepadatan lalat dan munculnya masalah kesehatan pada masyarakat dengan adanya kejadian diare di Desa Lau Gumba.

Tujuan Penelitian

Tujuan umum. Mengetahui penggunaan pupuk kandang pada petani dan kepadatan lalat di Desa Lau Gumba, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo.

Tujuan khusus. Tujuan khusus dari penelitian ini ialah :

1. Mengetahui karakteristik demografi pada petani di Desa Lau Gumba meliputi jenis kelamin, umur, dan pendidikan.

2. Mengetahui karakteristik penggunaan pupuk kandang di Desa Lau Gumba,

(23)

yang digunakan, dosis penggunaan pupuk kandang, sumber pupuk kandang, dan jarak pemukiman dengan penyimpanan pupuk kandang.

3. Mengetahui kepadatan lalat di lingkungan Desa Lau Gumba, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo.

4. Mengetahui data kejadian diare di Desa Lau Gumba, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo.

Manfaat Penelitian

1. Bagi ilmu pengetahuan sebagai bahan informasi dasar dalam pengembangan ilmu pengetahuan mengenai penggunaan pupuk kandang pada petani dan kepadatan lalat di Desa Lau Gumba, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo.

2. Bagi masyarakat sebagai bahan informasi kepada masyarakat khususnya petani mengenai pentingnya mengetahui kepadatan lalat dari penggunaan pupuk kandang bagi kesehatan lingkungan.

(24)

Tinjauan Pustaka

Pupuk Kandang

Pengertian pupuk kandang. Menurut Samekto (2006) pupuk kandang adalah pupuk yang berasal dari kandang ternak, baik berupa kotoran padat (feses) yang bercampur sisa makanan maupun air kencing (urine), seperti sapi, kambing ayam dan jangkrik. Pupuk kandang tidak hanya mengandung unsur makro seperti nitrogen (N), fosfat (P) dan kalium (K), namun pupuk kandang juga mengandung unsur mikro seperti kalsium (Ca), magnesium (Mg), dan mangan (Mn) yang dibutuhkan tanaman serta berperan dalam memelihara keseimbangan hara dalam tanah, karena pupuk kandang berpengaruh untuk jangka waktu yang lama dan merupakan gudang makanan bagi tanaman. Wiryanta (2003) mengatakan bahwa pupuk kandang dapat digolongkan ke dalam pupuk organik yang memiliki kelebihan. Beberapa kelebihan pupuk kandang sehingga sangat disukai para petani seperti, memperbaiki struktur dan tekstur tanah, menaikkan daya serap tanah terhadap air, menaikkan kondisi kehidupan di dalam tanah dan sebagai sumber zat makanan bagi tanaman.

Secara umum pengertian pupuk kadang adalah pupuk organik yang berasal dari kotoran hewan yang pada umumnya digunakan untuk menambah nutrisi tanaman. Pupuk kandang berguna untuk membuat tanah menjadi lebih subur serta membantu pertumbuhan benih-benih tanaman dengan cepat. Kotoran hewan yang baik dan sering digunakan sebagai pupuk kandang adalah kotoran dari hewan ternak, seperti: sapi, ayam, itik, kambing, kerbau, kelinci, dan kuda.

(25)

Jenis-jenis pupuk kandang. Menurut Hartatik dan Widowati (2006) pupuk kandang (pukan) didefinisikan sebagai semua produk buangan dari binatang peliharaan yang dapat digunakan untuk menambah hara, memperbaiki sifat fisik, dan biologi tanah. Apabila dalam memelihara ternak tersebut diberi alas seperti sekam pada ayam, jerami pada sapi, kerbau dan kuda, maka alas tersebut akan dicampur menjadi satu kesatuan dan disebut sebagai pukan pula. Beberapa petani di beberapa daerah memisahkan antara pukan padat dan cair.

Pupuk kandang padat. Pupuk kandang (pukan) padat yaitu kotoran

ternak yang berupa padatan baik belum dikomposkan maupun sudah dikomposkan sebagai sumber hara terutama nitrogen bagi tanaman dan dapat memperbaiki sifat kimia, biologi, dan fisik tanah. Penanganan pukan padat akan sangat berbeda dengan pukan cair. Penanganan pukan padat oleh petani umumnya adalah sebagai berikut: kotoran ternak besar dikumpulkan 1-3 hari sekali pada saat pembersihan kandang dan dikumpulkan dengan cara ditumpuk di suatu tempat tertentu. Petani yang telah maju ada yang memberikan mikroba dekomposer dengan tujuan untuk mengurangi bau dan mempercepat pematangan, tetapi banyak pula yang hanya sekedar ditumpuk dan dibiarkan sampai pada waktunya digunakan ke lahan.

Pupuk kandang cair. Pupuk kandang (pukan) cair merupakan pukan

berbentuk cair berasal dari kotoran hewan yang masih segar yang bercampur dengan urine hewan atau kotoran hewan yang dilarutkan dalam air dalam perbandingan tertentu. Umumnya urine hewan cukup banyak dan yang telah dimanfaatkan oleh petani adalah urine sapi, kerbau, kuda, babi, dan kambing.

(26)

Pupuk kandang cair dibuat dari kotoran ternak yang masih segar. bisa dari kotoran kambing, domba, sapi, dan ayam. Petani pertanian organik di Kenya membuat pukan cair dari 30-50 kg kotoran hewan yang masih segar dimasukkan dalam karung goni yang terbuat dari serat kasar rami diikat kuat, ujung karung diikatkan pada sebuah tongkat sepanjang 1 m untuk menggantung karung pada drum, kemudian karung tersebut direndam dalam drum berukuran 200l yang berisi air.

Secara, berkala 3 hari sekali kotoran dalam karung diaduk dengan mengangkat dan menurunkan tongkat beserta karung. Untuk melarutkan pukan dibutuhkan waktu sekitar 2 minggu. Pupuk kandang (pukan) yang melarut siap digunakan bila air sudah berwarna coklat gelap dan tidak berbau. Cara penggunaan pukan cair dengan disiramkan ke tanah bagian perakaran tanaman dengan takaran satu bagian pukan cair dicampur dengan satu atau dua bagian air. Ampas dari pukan cair dimanfaatkan sebagai mulsa.

Pupuk kandang ayam. Pemanfaatan pupuk kandang ayam termasuk luas.

Umumnya diperguna-kan oleh petani sayuran dengan cara mengadakan dari luar wilayah tersebut, misalnya petani kentang di Dieng mendatangkan pukan ayam yang disebut dengan chiken manure (CM) atau kristal dari Malang, Jawa Timur.

Pupuk kandang ayam broiler mempunyai kadar hara P yang relatif lebih tinggi dari pukan lainnya. Kadar hara ini sangat dipengaruhi oleh jenis konsentrat yang diberikan. Selain itu pula dalam kotoran ayam tersebut tercampur sisa-sisa makanan ayam serta sekam sebagai alas kandang yang dapat menyumbangkan tambahan hara ke dalam pukan terhadap sayuran. Beberapa hasil penelitian aplikasi pukan ayam selalu memberikan respon tanaman yang terbaik pada musim

(27)

pertama. Hal ini terjadi karena pukan ayam relatif lebih cepat terdekomposisi serta mempunyai kadar hara yang cukup pula jika dibandingkan dengan jumlah unit yang sama dengan pukan lainnya (Widowati et al., 2005). Pemanfaatan pukan ayam ini bagi pertanian organik menemui kendala karena pukan ayam mengandung beberapa hormon yang dapat mempercepat pertumbuhan ayam.

Pupuk kandang sapi Di antara jenis pukan, pukan sapilah yang mempunyai kadar serat yang tinggi seperti selulosa, hal ini terbukti dari hasil pengukuran parameter C/N rasio yang cukup tinggi >40. Tingginya kadar C dalam pukan sapi menghambat penggunaan langsung ke lahan pertanian karena akan menekan pertumbuhan tanaman utama. Penekanan pertumbuhan terjadi karena mikroba dekomposer akan menggunakan N yang tersedia untuk mendekomposisi bahan organik tersebut sehingga tanaman utama akan kekurangan N. Untuk memaksimalkan penggunaan pukan sapi harus dilakukan pengomposan agar menjadi kompos pukan sapi dengan rasio C/N di bawah 20. Selain masalah rasio C/N, pemanfaatan pukan sapi secara langsung juga berkaitan dengan kadar air yang tinggi. Petani umumnya menyebutnya sebagai pupuk dingin. Bila pukan dengan kadar air yang tinggi diaplikasikan secara langsung akan memerlukan tenaga yang lebih banyak serta proses pelepasan amoniak masih berlangsung.

Pupuk kandang kambing. Tekstur dari kotoran kambing adalah khas,

karena berbentuk butiran-butiran yang agak sukar dipecah secara fisik sehingga sangat berpengaruh terhadap proses dekomposisi dan proses penyediaan haranya.

Nilai rasio C/N pukan kambing umumnya masih di atas 30. Pupuk kandang yang baik harus mempunyai rasio C/N dibawah 20, sehingga pukan kambing akan lebih

(28)

baik penggunaannya bila dikomposkan terlebih dahulu. Kalaupun akan digunakan secara langsung, pukan ini akan memberikan manfaat yang lebih baik pada musim kedua pertanaman. Kadar air pukan kambing relatif lebih rendah dari pukan sapi dan sedikit lebih tinggi dari pukan ayam. Kadar hara pukan kambing mengandung kalium yang relatif lebih tinggi dari pukan lainnya. Sementara kadar hara N dan P hampir sama dengan pukan lainnya.

Pupuk kandang babi. Pemanfaatan pupuk kandang babi di Indonesia

hanya terdapat di beberapa lokasi tertentu yang berdekatan dengan peternakan babi. Pupuk kandang (pukan) babi mempunyai tekstur yang lembek dan akan bertambah cair bila bercampur dengan urine. Peternak babi telah mengetahui bagaimana cara memisahkan urine ini dengan padatannya, lalu menumpukkannya di suatu tempat untuk di dekomposisikan terlebih dahulu. Petani di sekitar peternakan babi menggunakan pukan ini dengan dicampur dengan pukan ayam atau kambing, karena dari pengalaman petani jika pukan babi ini diaplikasikan secara terpisah pertumbuhan tanaman sayuran kurang baik. Komposisi hara kotoran babi sangat dipengaruhi oleh umur. Di negara-negara seperti Cina, Thailand, dan berbagai negara di Eropa telah dibedakan jenis pukan babi sesuai umur. Akan tetapi, secara umum pukan babi cukup mengandung hara fosfat tetapi rendah Mg.

Pupuk kandang kuda. Jumlah populasi kuda lebih rendah dibanding

ternak lainnya, sehingga jumlah kotoran kuda juga termasuk lebih sedikit volumenya. Pupuk kandang (pukan) kuda banyak dipergunakan oleh petani sekitar peternakan kuda saja. Sebelum, digunakan kotoran kuda dimasukkan

(29)

dalam lubang dan dibiarkan terdekomposisi secara alami kemudian baru digunakan untuk pertanian. Apabila dibandingkan dengan kotoran sapi, kotoran kuda mempunyai rasio C/N lebih rendah. Rendahnya rasio C/N ini berkaitan dengan jenis pakan misalnya dedak. Hasil analisis pukan kuda ternyata banyak mengandung hara Mg.

Lalat

Pengertian lalat. Lalat merupakan salah satu insekta (serangga) yang termasuk ordo dipthera, yaitu insekta yang mempunyai sepasang sayap berbentuk membran. Lalat mempunyai sifat kosmopolitan, artinya kehidupan lalat dijumpai merata hampir diseluruh permukaan bumi. Diperkirakan diseluruh dunia terdapat lebih kurang 85.000 jenis lalat, tetapi semua jenis lalat terdapat di Indonesia. Jenis lalat yang paling banyak merugikan manusia adalah jenis lalat rumah (musca domestica), lalat hijau (lucilia sertica), lalat biru (calliphora vomituria) dan lalat latrine (fannia canicularis). Lalat juga merupakan spesies yang berperan dalam masalah kesehatan masyarakat yaitu sebagai vektor penularan penyakit saluran pencernaan. Fly Grill adalah alat yang digunakan untuk mengukur kepadatan lalat yang membutuhkan waktu permenit atau perdetik. Warna putih digunakan pada pembuangan sampah atau pembuangan air. 3-5 pengamanan, pengembangan (<50 padat dan >20 sangat padat) dan pengendalian (dengan lem, lilin, kipas air).

Pengendalian alat kimia menggunakan brinting atau penyemprotan.

Lalat termasuk dalam filum arthropoda, kelas hexapoda dan ordo diptera.

Serangga dalam ordo diptera memiliki 2 (dua) sayap dan pada bagian belakang terdapat sepasang halter yang digunakan sebagai alat keseimbangan. Lalat

(30)

mempunya sepasang antena dan mata majemuk, dengan mata lalat jantan lebih besar dan sangat berdekatan satu sama lain. Tubuh lalat terbagi dalam 3 bagian, yaitu: kepala dengan sepasang anterna, toraks, dan abdomen. Lalat mempunyai metamorfosis yang sempurna, yaitu telur, larva, pupa, dan dewasa (Mosokuli, 2001). Ordo diptera mempunyai genus dan spesies yang sangat besar, yaitu berdasarkan katalog diptera australiana/oceania ada 3.880 spesies lalat yang ditemukan berdasarkan sebaran zoogeografisnya. Lalat bersifat sinantropik karena sebagian besar makanan lalat berasal dari makanan manusia dan penyebarannya secara kosmofolit atau tersebar secara keseluruhan di berbagai tempat (Wahyudi dkk. 2015). Berbagai jenis famili yang penting di pemukiman antara lain muscidae (berbagai jenis lalat rumah, lalat kandang, lalat tanduk), calliphrodae (berbagai jenis lalat hijau) dan sarcophagidae (berbagai jenis lalat daging) (Arif, 2015). Untuk mengenal lalat dapat dilakukan dengan identifikasi atau memperhatikan salah satu morfologinya, misalnya lalat rumah (musca domestica) dengan ciri-ciri tubuh tumpul, warna kelabu atau coklat kehitam-hitaman, garis ke 4 sayap berbentuk sudut, thorax berwarna gelap dengan 4 garis hitam (Panggabean, 2014). Pada saat ini dijumpai ±60.000–100.000 spesies lalat, tetapi tidak semua spesies perlu diawasi karena beberapa diantaranya tidak berbahaya terhadap kesehatan masyarakat (Santi, 2001).

Siklus hidup lalat. Dalam kehidupan lalat dikenal ada 4 (empat) tahapan yaitu mulai dari telur, larva, pupa dan dewasa. Lalat berkembang biak dengan bertelur, berwarna putih dengan ukuran lebih kurang 1 mm panjangnya. Setiap kali bertelur akan menghasilkan 120–130 telur dan menetas dalam waktu 8–16

(31)

jam .Pada suhu rendah telur ini tidak akan menetas (dibawah 12–13 º C). Telur yang menetas akan menjadi larva berwarna putih kekuningan, panjang 12-13 mm.

Akhir dari phase larva ini berpindah tempat dari yang banyak makan ke tempat yang dingin guna mengeringkan tubuhnya, Setelah itu berubah menjadi kepompong yang berwarna coklat tua, panjangnya sama dengan larva dan tidak bergerak. Phase ini berlangsung pada musim panas 3-7 hari pada temperatur 30–

35 º C. Kemudian akan keluar lalat muda dan sudah dapat terbang antara 450–900 meter, Siklus hidup dari telur hingga menjadi lalat dewasa 6-20 hari Lalat dewasa panjangnya lebih kurang ¼ inci, dan mempunyai 4 garis yang agak gelap hitam dipunggungnya. Beberapa hari kemudian sudah siap untuk berproduksi, pada kondisi normal lalat dewasa betina dapat bertelur sampai 5 (lima) kali. Umur lalat pada umumnya sekitar 2-3 minggu, tetapi pada kondisi yang lebih sejuk biasa sampai 3 (tiga) bulan Lalat tidak kuat terbang menantang arah angin, tetapi sebaliknya lalat akan terbang jauh mencapai 1 kilometer.

Tempat perindukan lalat. Tempat yang disenangi adalah tempat yang basah seperti sampah basah, kotoran binatang, tumbuh-tumbuhan busuk, kotoran yang menumpuk secara kumulatif (dikandang).

Kotoran hewan. Tempat perindukan lalat rumah yang paling utama adalah

pada kotoran hewan yang lembab dan masih baru (normal nya lebih kurang satu minggu).

Sampah dan sisa makanan dari hasil olahan. Disamping lalat suka hinggap juga berkembang baik pada sampah, sisa makanan, buah-buahan yang ada didalam rumah maupun dipasar.

(32)

Kotoran organik. Kotoran organik seperti kotoran hewan, kotoran

manusia. Sampah dan makanan ikan adalah merupakan tempat yang cocok untuk berkembang biaknya lalat.

Air kotor. Lalat rumah berkembang biak pada pemukaan air kotor yang

terbuka.

Pola penyebaran lalat. Musca domestica dan chrysomya megachepala adalah lalat yang tersebar secara kosmopolitan dan bersifat sinantropik yang artinya lalat ini mempunyai hubungan ketergantungan yang tinggi dengan manusia karena zat-zat makanan yang dibutuhkan lalat sebagian besar ada pada makanan manusia. Lalat lebih aktif pada tempat yang terlindung dari cahaya daripada tempat yang langsung terkena cahaya matahari. Penyebaran yang luas dari kedua jenis lalat ini dimungkinkan karena daya adaptasinya yang tinggi.

Kepadatan lalat di suatu daerah, sangat dipengaruhi oleh: tempat perindukan, cahaya matahari, temperatur dan kelembaban. Kepadatan lalat akan tinggi jika temperatur antara 20-25 C. Populasi menurun apabila temperatur >450C dan

<100C. Pada temperatur yang sangat rendah, lalat tetap hidup dalam kondisi dorman pada stadium dewasa atau pupa. Kebiasaan & distribusi lalat pada Siang hari akan berada di sekitar tempat makan & tempat perindukan di mana juga terjadi perkawinan & istirahat. Penyebaran dipengaruhi oleh reaksinya terhadap cahaya, temperatur, kelembaban, textur dan warna permukaan yang disenangi untuk istirahat. Aktivitas lalat: bertelur, berkawin, makan dan terbang, terhenti pada temperature di bawah 15oC. Lalat umumnya aktif pada kelembaban udara yang rendah. Pada temperatur di atas 20oC lalat akan berada di luar rumah, di

(33)

tempat yang ternaung dekat dengan udara bebas. Pada waktu tidak makan lalat akan istirahat pada permukaan horisontal atau pada kabel yang membentang atau tempat-tempat yang vertikal dan pada atap di dalam rumah khususnya malam hari.

Ketahanan hidup. Tergantung pada musim dan temperatur: Lalat dewasa hidup 2-4 minggu pada musim panas dan lebih lama pada musim dingin yaitu bisa mencapai 3 bulan, mereka paling aktif pada suhu 32,50C dan akan mati pada suhu 450C. Lalat melampaui musim dingin (over wintering) sebagai lalat dewasa, dan berkembang biak di tempat-tempat yang relatif terlindung seperti kandang ternak dan gudang-gudang. Pada stadium telur biasanya tidak tahan terhadap suhu yang ekstrim dan akan mati bila berada dibawah 50C dan di atas 400C. Lamanya tahap instar larva sangat tergantung pada suhu dan kelembaban lingkungan. Pada suhu - 20C larva dapat bertahan beberapa hari, di bawah suhu 100C larva tidak dapat berkembang menjadi pupa.

Ekologi tentang lalat. Dengan memahami ekologi lalat kita dapat menjelaskan peranan lalat sebagai karier penyakit dan dapat pula membantu kita dalam perencanaan pengawasan. Lalat dewasa aktif pada siang hari dan selalu berkelompok. Pada malam hari biasanya istirahat walaupun mereka dapat beradaptasi dengan cahaya lampu yang lebih terang.

Tempat peristirahatan. Pada waktu hinggap lalat mengeluarkan ludah dan tinja yang membentuk titik hitam. Tanda-tanda ini merupakan hal yang penting untuk mengenal tempat lalat istirahat. Pada siang hari lalat tidak makan tetapi beristirahat di lantai dinding, langit-langit, rumputrumput dan tempat yang sejuk. Juga menyukai tempat yang berdekatan dengan makanan dan tempat

(34)

berbiaknya, serta terlindung dari angin dan matahari yang terik. Didalam rumah, lalat istirahat pada pinggiran tempat makanan, kawat listik dan tidak aktif pada malam hari. Tempat hinggap lalat biasanya pada ketinggian tidak lebih dari 5 (lima) meter.

Fluktuasi jumlah lalat. Lalat merupakan serangga yang bersifat fototropik yaitu menyukai cahaya. Pada malam hari tidak aktif, namun dapat aktif dengan adanya sinar buatan. Efek sinar pada lalat tergantung sepenuhnya pada temperatur dan kelembaban jumlah lalat akan meningkat jumlahnya pada temperatur 20ºC–25ºC dan akan berkurang jumlahnya pada temperatur <10ºC atau

>49ºC serta kelembaban yang optimum 90%.

Teknik pengendalian dan pemberantasan lalat. Berikut terdapat beberapa teknik yang dapat dilakukan, yakni:

1. Perbaikan Hygiene dan Sanitasi Lingkungan

Perbaikan Hygiene dan Sanitasi Lingkungan merupakan langkah awal yang sangat penting dalam usaha menganggulangi berkembangnya populasi lalat baik dalam lingkungan peternakan maupun pemukiman. Selain murah dan sederhana juga efektif serta tidak menimbulkan efek-efek samping yang membahayakan lingkungan (Sitanggang, 2001).

2. Mengurangi atau menghilangkan tempat perndukan lalat.

3. Kandang harus dapat dibersihkan

4. Lantai kandang harus kedap air, dan dapat disiram setiap hari 5. Terdapat saluran air limbah yang baik (HAKLI, 2009).

(35)

6. Kandang ayam dan burung, bila burung/ternak berada dalam kandang dan kotorannya terkumpul disangkar, kadang perlu dilengkapi dengan ventilasi yang cukup agar kandang tetap kering. Kotoran burung/ternak dapat dikeluarkan dari sangkar dan secara interval (disarankan setiap hari) dibersihkan.

7. Timbunan kotoran ternak

Timbunan pupuk kandang yang dibuang ke permukaan tanah pada temperatur tertentu dapat menjadi tempat perindukan lalat. Sebagai upaya pengendalian, kotoran sebaiknya diletakkan pada permukaan yang keras/semen yang dikelilingi selokan agar lalat dan pupa tidak bermigrasi ke tanah sekelilingnya. Pola penumpukan kotoran sacara menggunung dapat dilakukan untuk mengurangi luas permukaan. Tumpukan kotoran sebaiknya ditutupi plastik untuk mencegah lalat meletakkan telurnya dan dapat membunuh larva karena panas yang diproduksi oleh tumpukan kotoranakibat proses fermentasi (HAKLI, 2009).

8. Kotoran manusia

Jamban yang memenuhi syarat kesehatan sangat diperlukan guna mencegah perkembangbiakan lalat pada tempat-tempat pembuangan faces.

Jamban setidaknya menggunakan model leher angsa dan berseptic tank.

Selain itu, pada pipa ventilasi perlu dipasang kawat kasa guna mencegah lalat masuk dan berkembang biak di dalam septic tank (HAKLI, 2009).

Daerah-daerah pengungsian merupakan daerah yang sangat potensial untuk tempat perindukan lalat. Hal ini dikarenakan secara umum pada daerah

(36)

tersebut jarang sekali ditemukan jamban-jamban yang memenuhi syarat kesehatan, bahkan banyak diantaranya yang hanya menggunakan lahan terbuka sebagai jamban. Sebaiknya, bila fasilitas jamban tidak ada/tidak sesuai, masyarakat pengungsi dapat melakukan buang air besar pada jarak

±500 meter dengan arah angin yang tidak mengarah ke dekat tempat perindukan atau timbunan makanan dan 30 meter dari sumber air bersih dengan membuat lubang dan menutupnya secara berlapis agar tidak menimbulkan bau yang dapat merangsang lalat unutk datang dan berkembang biak (DEPKES, 1992).

9. Sampah basah dan sampah organik

Pengumpulan, pengangkutan dan pembuangan sampah yang dikelola dengan baik dapat menghilangkan media perindukan lalat. Bila sistem pengumpulan dan pengangkutan sampah dari rumah tidak ada, sampah dapat dibakar atau dibuang ke lubang sampah, dengan catatan bahwa setiap minggu sampah yang dibuang ke lubang sampah harus ditutup dengan tanah. Dalam cuaca panas, larva lalat ditempat sampah dapat menjadi pupa hanya dalam waktu 3 – 4 hari (DEPKES, 1992).

10. Membersihkan sisa-sisa sampah yang ada di dasar tong sampah merupakan hal yang penting karena lalat masih dapat berkembang biak pada tempat tersebut. Pembuangan sampah akhir pada TPA yang terbuka perlu dilakukan dengan pemadatan sampah terlebih dahulu dan ditutup setiap hari dengan tanah setebal 15 – 30 cm. Hal ini bertujuan untuk penghilangan tempat

(37)

perkembang biakan lalat. Lokasi tempat pembuangan akhir sampah adalah harus berjarak beberapa kilometer dari rumah penduduk (DEPKES, 1992).

11. Fly grill

Fly grill adalah alat yang digunakan untuk mengukur kepadatan lalat, membutuhkan waktu permenit atau perdetik. Buat warna putih pembuangan sampah atau pembuangan air 3-5 pengamanan pengembangan (<50 Padat) (>20 sangat padat) pengendalian = (lem, lilin, kipas air). Pengendalian alat kimia: brinting atau penyemprotan. Lalat menyukai tempat–tempat yang berbau menyengat dan tempat yang cukup lembab. Sedangkan warna yang disukai lalat adalah warna natural seperti warna coklat pada batang kayu dan warna hijau pada buah atau sayur segar.

Diare

Pengertian diare. Menurut WHO (2008), dikatakan diare bila keluarnya tinja yang lunak atau cair dengan frekuensi tiga kali atau lebih sehari semalam dengan atau tanpa darah atau lendir dalam tinja. Sedangkan menurut Depkes (2000), diare adalah buang air besar lembek atau cair bahkan dapat berupa air saja yang frekuensinya lebih dari tiga kali atau lebih dalam sehari. Jenis diare dibagi menjadi tiga yaitu:

1. Disentri yaitu diare yang disertai darah dalam tinja.

2. Diare persisten yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari secara terus menerus.

3. Diare dengan masalah lain yaitu diare yang disertai penyakit lain, seperti:

demam dan gangguan gizi.

(38)

Berdasarkan waktunya, diare dibagi menjadi dua yaitu dare akut dan diare kronis. Diare yang berlangsung kurang dari 14 hari disebut diare akut, sedangkan diare yang lebih dari 14 hari disebut diare kronis (Widjaja, 2002).

Epidemiologi penyakit diare. Diare akut merupakan masalah umum yang ditemukan di seluruh dunia. Di Amerika Serikat keluhan diare menempati peringkat ketiga dari daftar keluhan pasien pada ruang praktik dokter, sementara di beberapa rumah sakit di Indonesia data menunjukkan bahwa diare akut karena infeksi menempati peringkat pertama sampai dengan keempat pasien dewasa yang datang berobat ke rumah sakit (Hendarwanto, 2006).

Kejadian diare di Indonesia pada tahun 70 sampai 80-an, prevalensi penyakit diare sekitar 200-400 per tahun. Dari angka prevalensi tersebut, 70%- 80% menyerang anak dibawah usia lima tahun (balita). Golongan umur ini mengalami dua sampai tiga episode diare per tahun. Diperkirakan kematian anak akibat diare sekitar 200-250 ribu setiap tahun (Widoyono, 2008).

Penyebab diare terutama diare yang disertai lendir atau darah (disentri) di Indonesia adalah shigella, salmonela, campylobacter jejuni, dan escherichia coli.

Disentri berat umumnya disebabkan oleh shigella dysentry, kadang-kadang dapat juga disebabkan oleh shigella flexneri, salmonella dan enteroinvasive (Depkes RI, 2000).

Beberapa faktor epidemiologis dipandang penting untuk mendekati pasien diare akut yang disebabkan oleh infeksi. Makanan atau minuman yang terkontaminasi, bepergian, penggunaan antibiotik, HIV positif atau AIDS,

(39)

merupakan petunjuk penting dalam mengidentifikasi pasien berisiko tinggi untuk diare infeksi (Kolopaking, 2002).

Penyebab penyakit diare. Diare bukanlah penyakit yang datang dengan sendirinya. Biasanya ada yang menjadi pemicu terjadinya diare. Secara umum, berikut ini beberapa faktor penyebab diare yaitu faktor infeksi disebabkan oleh bakteri escherichia coli, vibrio cholerae (kolera) dan bakteri lain yang jumlahnya berlebihan. Faktor makanan, makanan yang tercemar, basi, beracun dan kurang matang. Faktor psikologis dapat menyebabkan diare karena rasa takut pada anak, cemas dan tegang dapat mengakibatkan diare kronis pada anak (Widjaja, 2002).

Berdasarkan metaanalisis di seluruh dunia, setiap anak minimal mengalami diare satu kali setiap tahun. Dari setiap lima pasien anak yang datang karena diare, satu di antaranya akibat rotavirus. Kemudian, dari 60 anak yang dirawat di rumah sakit akibat diare satu di antaranya juga karena rotavirus.

Rotavirus adalah salah satu virus yang menyebabkan diare terutama pada bayi, penularannya melalui feces (tinja) yang mengering dan disebarkan melalui udara (Widoyono, 2008). Sebagian besar kasus diare di Indonesia pada bayi dan anak disebabkan oleh infeksi rotavirus.

Bakteri dan parasit juga dapat menyebabkan diare. Organisme-organisme ini mengganggu proses penyerapan makanan di usus halus. Dampaknya makanan tidak dicerna kemudian segera masuk ke usus besar dan akan menarik air dari dinding usus. Di lain pihak, pada keadaan ini proses transit di usus menjadi sangat singkat sehingga air tidak sempat diserap oleh usus besar. Hal inilah yang menyebabkan tinja berair pada diare (Depkes RI, 2000).

(40)

Salah satu penyebab diare adalah tercemarnya makanan dan minuman oleh bakteri yang dibawa oleh lalat. Lalat dianggap mengganggu karena kesukaannya hinggap di tempat-tempat yang lembab dan kotor, seperti sampah dan kandang ternak. Jika makanan yang dihinggapi lalat tercemar oleh mikroorganisme baik bakteri, protozoa, telur/larva cacing atau bahkan virus yang dibawa dan dikeluarkan dari mulut lalat dan bila dimakan oleh manusia, maka dapat menyebabkan penyakit diare (Andriani, 2007).

Gejala diare. Gejala diare atau mencret adalah tinja yang encer dengan frekuensi empat kali atau lebih dalam sehari, yang kadang disertai muntah, badan lesu atau lemah, panas, tidak nafsu makan, darah dan lendir dalam kotoran, rasa mual dan muntah-muntah dapat mendahului diare yang disebabkan oleh infeksi virus. Infeksi bisa secara tiba-tiba menyebabkan diare, muntah, tinja berdarah, demam, penurunan nafsu makan atau kelesuan, dapat pula mengalami sakit perut dan kejang perut pada anak-anak dan orang dewasa, serta gejal-gejala lain seperti flu misalnya agak demam, nyeri otot atau kejang, dan sakit kepala. Gangguan bakteri dan parasit kadang-kadang menyebabkan tinja mengandung darah atau demam tinggi (Green, 2009).

Landasan Teori

Lalat termasuk dalam filum arthropoda, kelas hexapoda dan ordo diptera.

Serangga dalam ordo diptera memiliki 2 (dua) sayap dan pada bagian belakang terdapat sepasang halter yang digunakan sebagai alat keseimbangan. Lalat mempunya sepasang antena dan mata majemuk, dengan mata lalat jantan lebih besar dan sangat berdekatan satu sama lain. Tubuh lalat terbagi dalam 3 bagian,

(41)

yaitu: kepala dengan sepasang anterna, toraks, dan abdomen. Lalat mempunyai metamorfosis yang sempurna, yaitu telur, larva, pupa, dan dewasa (Mosokuli, 2001).

Ordo diptera mempunyai genus dan spesies yang sangat besar, yaitu berdasarkan katalog diptera australiana/oceania ada 3.880 spesies lalat yang ditemukan berdasarkan sebaran zoogeografisnya. Lalat bersifat sinantropik karena sebagian besar makanan lalat berasal dari makanan manusia dan penyebarannya secara kosmofolit atau tersebar secara keseluruhan di berbagai tempat (Wahyudi dkk. 2015). Berbagai jenis famili yang penting di pemukiman antara lain muscidae (berbagai jenis lalat rumah, lalat kandang, lalat tanduk), calliphrodae (berbagai jenis lalat hijau) dan sarcophagidae (berbagai jenis lalat daging) (Arif, 2015).

Untuk mengenal lalat dapat dilakukan dengan identifikasi atau memperhatikan salah satu morfologinya, misalnya lalat rumah (musca domestica) dengan ciri-ciri tubuh tumpul, warna kelabu atau coklat kehitam-hitaman, garis ke 4 sayap berbentuk sudut, thorax berwarna gelap dengan 4 garis hitam (Panggabean, 2014). Pada saat ini dijumpai ±60.000–100.000 spesies lalat, tetapi tidak semua spesies perlu diawasi karena beberapa diantaranya tidak berbahaya terhadap kesehatan masyarakat (Santi, 2001).

Dasar atau acuan yang terdiri dari teori – teori atau hasil penemuan dari penelitian terdahulu sangat diperlukan dan dapat dijadikan sebagai data pendukung. Salah satu data pendukung tersebut adalah penelitian terdahulu yang

(42)

relevan dengan penelitian yang akan dilaksanakan. Adapun penelitian–penelitian yang relevan dan terkait dengan penelitian ini adalah:

Marpaung (2018) melakukan penelitian di Desa Urat Timur Kecamatan Palipi Samosir dengan judul penelitian “Kondisi Sanitasi Kandang Ternak, Kepadatan Lalat, Pengetahuan, dan Sikap Masyarakat”. Rancangan penelitian yang dilakukan yaitu dengan jenis penelitian deskriptif observasional serta menggunakan kuesioner dan checklist. Hasil penelitian yang didapat adalah kebersihan kandang ternak bahwa pada umumnya masih ada terdapat kotoran yang menumpuk dalam kandang berjumlah 23 kandang (92%), makanan yang berceceran di dalam kandang berjumlah 24 kandang (96%), genangan air disekitar kandang berjumlah 16 kandang (64%), dan sampah yang berserakan dilingkungan sekitar kandang berjumlah 18 kandang (72%). Tidak terdapat lantai yang miring pada kandang yang berjumlah 25 kandang (100%), kandang ternak yang memiliki ventilasi tidak cukup baik berjumlah 16 kandang (64%). Cahaya matahari tidak dapat masuk kedalam kandang 16 kandang (64%), serta tidak tersedia air dan alat pembersih pada 20 kandang (80%). Masyarakat tidak membersihkan kandang dalam dua kali seminggu berfrekuensi di 17 kandang (68%).

Prayogo dan Khomsatun (2015) melakukan penelitian dengan judul

“Deskripsi Kepadatan Lalat di Pasar Kota Banjarnegara”. Mereka mengatakan bahwa pasar yang sehat yang memenuhi syarat sanitasi salah satunya adalah adanya suatu pengendalian penyakit. Pasar, khususnya pasar tradisional merupakan tempat yang ideal bagi lalat sebagai salah satu vector penyakit untuk berkembang biak. Tingginya tingkat kepadatan lalat merupakan suatu indikator

(43)

buruknya pengelolaan sampah maupun kondisisanitasi yang padat mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kepadatan lalat, faktor-faktor yang mempengaruhi dan upaya pengendaliannya.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif.

Pengukuran kepadatan lalat secara langsung maupun wawancara dengan masyarakat di lapangan dilakukan untuk mencapai tujuan penelitian. Hasil penelitian menunjukan bahwa kepadatan lalat rata-rata di Pasar Kota Banjarnegara yaitu 10 ekor/block grill. Masing-masing lokasi di pasar Kota Banjarnegara mempunyai kepadatan lalat rata-rata yang berbeda-beda, yaitu 4 ekor/block grill di los buah, los sayuran, dan los daging. 2 ekor/block grill di los ikan, 20 ekor/block grill di tempat pembuangan sampah (TPS), dan 3 ekor/block grill di tempat jajanan terbuka. Los yang memiliki tingkat kepadatan lalat tertinggi terdapat di TPS yaitu 20 ekor/block grill. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepadatan lalat di pasar Kota Banjarnegara adalah buruknya kondisi sanitasi, lokasi TPS yang tidak sesuai, kondisi fisik seperti suhu, kelembaban, pencahayaan, upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut salah satunya adalah dengan memperbaiki kondisi sanitasi di lingkungan pasar Kota Banjarnegara.

Kurniawan (2013) melakukan penelitian dengan judul “Studi Deskriptif Tingkat Kepadatan Lalat di Pemukiman Sekitar Rumah Pemotongan Unggas (RPU) Penggaron, Kelurahan Penggaron Kidul, Kecamatan Pedurungan Kota Semarang”. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah tingkat kepadatan lalat di pemukiman sekitar RPU Penggaron. Tujuan dari penelitian

(44)

ini untuk mengetahui tingkat kepadatan lalat di pemukiman sekitar RPU Penggaron. Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Rancangan penelitian yaitu deskriptif survei dengan menggunakan lembar observasi, fly grill dan roll meter. Teknik pengumpulan data metode observasi dan dokumentasi.

Data dianalisis secara kuantitatif. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa:

Tingkat kepadatan lalat di pemukiman sekitar RPU Penggaron termasuk kategori Rendah (38%). Pemukiman di zona I (0-≤1000 m) terdapat tingkat kepadatan lalat kategori tinggi sebesar 65,6%, sedangkan pemukiman di zona II (>1000-

≤2000 m) terdapat tingkat kepadatan lalat kategori tinggi sebesar 11,6%.

Pemukiman yang tidak memenuhi syarat sanitasi sarana pemukiman terdapat tingkat kepadatan lalat kategori tinggi sebesar 36,8%, sedangkan pemukiman yang memenuhi syarat sanitasi sarana pemukiman terdapat tingkat kepadatan lalat kategori tinggi sebesar 0%. Pemukiman yang memiliki ternak terdapat tingkat kepadatan lalat kategori tinggi sebesar 31,1%, sedangkan pemukiman yang tidak memiliki ternak tingkat kepadatan lalat kategori tinggi sebesar 29,8%. Saran kepada pihak masyarakat di zona I dan zona II untuk memenuhi persyaratan sanitasi sarana pemukiman. Bagi pihak-pihak terkait agar berpartisipasi aktif dalam upaya menurunkan populasi lalat dan mengelola sampah di Penggaron Kidul, Semarang.

Arief Setyo Syahputro (2018) melakukan penelitian dengan judul

“Hubungan Pengelolaan Sampah dengan Tingkat Kepadatan Lalat di Tempat Penampungan Sementara Kota Madiun”. Syahputro mengatakan bahwa keberadaan sampah dapat memberikan pengaruh kesehatan bagi masyarakat

(45)

karena sampah merupakan sarana dan sumber penularan penyakit. Pengaruh sampah terhadap kesehatan secara tidak langsung dapat berupa penyakit bawaan vektor yang berkembangbiak di dalam sampah, sampah yang telah mengalami penimbunan dapat dimanfaatkan oleh lalat sebagai sarang dalam proses perkembangbiakannya. Berdasarkan hasil survei pendahuluan di 5 TPS Kota Madiun 3 TPS diantaranya memiliki tingkat kepadatan lalat tinggi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan pengelolaan sampah dengan tingkat kepadatan lalat di tempat penampungan sementara Kota Madiun. Metode dalam penelitian ini adalah survei analitik dengan desain cross sectional teknik sampling yang digunakan adalah total sampling. Jumlah sampel 40 Tempat Penampungan Sementara dan dianalisis menggunakan chi-square. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara pemilahan sampah (p=0,012;RP=37,9;CI95%=1,06-1,36) pengumpulan sampah (p=0,013;RP=3,04;CI95%=1,09-8,47) pengangkutan sampah (p=0,033;RP=2,43; CI95%=1,01-5,76) dengan tingkat kepadatan lalat di tempat penampungan sementara. Variabel pengelolaan sampah ada hubungan dengan tingkat kepadatan lalat di TPS Kota Madiun dan variabel pemilahan sampah, pengumpulan sampah, pengangkutan sampah adalah faktor-faktornya.

Berdasarkan hasil penelitian maka pihak DLH selaku penyusun program sebaiknya memberi arahan ataupun pelatihan kepada petugas TPS agar dapat menjalankan program dalam bidang pengelolaan sampah di TPS dengan baik yang akan berdampak pada lingkungan yang sehat dan memberi himbauan, wawasan kepada masyarakat sekitar TPS.

(46)

Kerangka Konsep

Gambar 1. Kerangka konsep penelitian Petani di Desa Lau

Gumba, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo

Penggunaan Pupuk kandang 1. Jenis-jenis pupuk kandang 2. Dosis penggunaan pupuk

kandang

3. Sumber Pupuk kandang 4. Jarak pemukiman dengan

pengolahan pupuk kandang

Kepadatan lalat di lingkungan Desa Lau Gumba

Upaya untuk menghindari kepadatan lalat di Desa Lau Gumba

Kejadian diare di Desa Lau Gumba

(47)

Metode Penelitian

Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan metode survei yaitu untuk mengetahui penggunaan pupuk kandang pada petani, kepadatan lalat, dan kejadian diare di Desa Lau Gumba, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian. Penelitian ini dikakukan di Desa Lau Gumba, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo. Desa Lau Gumba dipilih menjadi lokasi penelitian karena banyak penduduk di desa tersebut yang berprofesi sebagai petani dan juga peternak hewan. Selain itu, belum pernah ada peneliti yang melakukan penelitian yang sama, yaitu mengenai penggunaan pupuk kandang dan kepadatan lalat di Desa Lau Gumba, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo.

Waktu penelitian. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2019 sampai dengan selesai.

Populasi dan Sampel

Populasi. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh petani yang menggunakan pupuk kandang di Desa Lau Gumba Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo yaitu berjumlah 28 KK.

Sampel. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan total sampling, sehingga jumlah sampel dalam penelitian adalah 28 petani yang menggunakan pupuk kandang. (Sudigdo, 2013).

(48)

Variabel dan Defenisi Operasional

Sesuai dengan kerangka penelitian, maka defenisi operasional dari variabel adalah sebagai berikut:

Karakteristik penggunaan pupuk kandang terdiri dari:

1. Jenis-jenis pupuk kandang adalah pupuk yang berasal dari kotoran hewan yang bisa dipelihara oleh masyarakat, seperti kotoran kambing, kotoran sapi, kotoran ayam dan kotoran kelinci.

2. Dosis penggunaan pupuk kandang adalah jumlah atau takaran yang digunakan petani di Desa Lau Gumba dalam pemberian pupuk kandang terhadap tanaman.

3. Sumber pupuk kandang adalah berasal darimana konsumsi pupuk kandang terserbut, apakah dari kota tertentu atau dari kandang milik pribadi.

4. Jarak pemukiman dengan pengolahan pupuk kandang yaitu batas antara pemukiman dengan kandang ternak ataupun tempat pengolahan pupuk kandang yang sebaiknya >1000 m berdasarkan jarak terbang lalat yang mencapai jarak 15 km dalam waktu 24 jam dan sebagian besar tetap berada dalam jarak 1,5 km di sekitar tempat pembiakannya, tetapi beberapa bisa sampai sejauh 50 km.

5. Upaya untuk menghindari kepadatan lalat yaitu suatu tindakan atau usaha yang sudah dilakukan masyarakat untuk mengatasi kepadatan lalat yang mengganggu kesehatan seperti mengurangi dosis penggunaan pupuk kandang yang berlebihan dan menjaga hygiene sanitasi lingkungan.

6. Kejadian diare adalah bertambahnya frekuensi buang air besar dari biasanya yang dapat disebabkan oleh tingginya tingkat kepadatan lalat di Desa Lau Gumba.

(49)

Metode Pengumpulan Data

Data primer. Data primer pada penelitian ini bersumber dari para petani yang menggunakan pupuk kandang dan peternak hewan di Desa Lau Gumba, Kecamatan Berastagi. Data primer meliputi data yang diambil berkaitan dengan penggunaan pupuk kandang dan kepadatan lalat di Desa Lau Gumba, Kecamatan Berastagi.

Data sekunder. Mengadakan pencatatan data mengenai profil Desa Lau Gumba yang diperoleh dari Kepala Desa.

Metode Pengukuran

Aspek pengukuran kepadatan lalat. Berikut aspek-aspek dalam pengukuran kepadatan lalat.

A. Alat dan Objek Perhitungan Tingkat Kepadatan Lalat 1. Alat:

a. Fly grill b. Stopwatch

c. Lembar observasi d. Form kepadatan lalat 2. Objek:

a. Lalat

B. Cara Kerja Perhitungan Tingkat Kepadatan Lalat 1. Letakkan fly grill di tempat pembuangan sampah.

2. Siapkan stopwach dengan perhitungan waktu 30 detik.

(50)

3. Hitung banyaknya lalat yang hinggap selama 30 detik. Lalat yang terbang dan hinggap lagi dalam waktu 30 detik tetap dihitung.

4. Catat jumlah lalat yang dihitung.

5. Lakukan pengulangan sebanyak 10 kali pengulangan.

6. Ambil lima nilai tertinggi kemudian, hitung rata-ratanya, maka diperoleh angka kepadatn lalat pada tempat tersebut.

7. Tentukan tingkat kepadatan lalat sesuai dengan buku petunjuk DEPKES RI (2002).

Upaya untuk menurunkan populasi lalat sangatlah penting, hal ini mengingat dampak yang dapat ditimbulkan oleh lalat tersebut. Untuk itu sebagai salah satu cara penilaian baik buruknya suatu lokasi adalah dilihat dari angka kepadatan lalatnya. Dalam menentukan kepadatan lalat, pengukuran yang tepat adalah terhadap populasi lalat dewasa. Tujuan dari pengukuran angka kepadatan lalat adalah untuk mengetahui tentang:

1. Tingkat kepadatan lalat

2. Sumber-sumber tempat berkembangbiakan lalat 3. Jenis-jenis lalat

Cara yang digunakan untuk mengukur kepadatan lalat, yaitu dengan menggunakan alat fly-grill. Fly-grill dapat dibuat dari bilah-bilah kayu yang lebarnya 2 cm dan tebalnya 1 cm dengan panjang masing-masing 80 cm sebanyak 16-24 dan dicat warna putih. Fly-grill dipakai untuk mengukur tingkat kepadatan lalat dengan cara meletakan fly-grill. Ditempat yang akan diukur kepadatan lalatnya, lalu dihitung jumlah lalat yang hinggap di fly-grill dengan menggunakan

(51)

alat penghitung selama 30 detik. Sedikitnya pada setiap lokasi dilakukan 10 kali perhitungan (10 kali 30 detik) dan 5 perhitungan lalat yang tertinggi dibuat rata- ratanya dan dicatat dalam kartu hasil perhitungan. Menurut buku pentunjuk Depkes RI (2002) perhitungan kepadatan lalat menggunakan fly grill mempunyai angka recommendation control yaitu:

1. 0-2 : Tidak menjadi masalah (rendah)

2. 3-5 : Perlu dilakukan pengamatan terhadap tempat-tempat

berkembangbiak lalat seperti tumpukan sampah, kotoran hewan, dan lain-lain (sedang)

3. 6-20 : Populasi padat dan perlu pengamatan lalat dan bila mungkin direncanakan tindakan pengendalian (tinggi/padat)

4. >21 : Populasi sangat padat dan perlu dilakuan pengendalian terhadap tempat berkembangbiaknya (sangat tinggi/sangat padat)

Titik sampel pengukuran kepadatan lalat:

a. Kandang ternak

b. Dirumah pemukiman masyarakat

c. Lahan pertanian yang tanamannya menggunakan pupuk kandang Metode Analisis Data

Data dari hasil observasi penggunaan pupuk dan perhitungan kepadatan lalat diolah secara manual dan dianalisa secara deskriptif dengan mengacu pada KEPMENKES RI NO. 519/MENKES/SK/VI/2008 dan Depkes RI tahun 1995 tentang pedoman teknis pengendalian lalat.

(52)

Hasil Penelitian

Deskripsi Lokasi Penelitian

Kecamatan Berastagi adalah salah satu kecamatan yang terdapat di Kabupaten Karo. Kecamatan Berastagi dulunya merupakan bagian dari kecamatan Kabanjahe, Kabupaten Daerah Tingkat II Karo. Dalam rangka pemekaran Kecamatan di Kabupaten Karo maka Kecamatan Kabanjahe dibagi menjadi dua wilayah yaitu Kecamatan Kabanjahe dan perwakilan Kecamatan Berastagi.

Adapun dasar pemikiran ataupun faktor pendukung dari pembentukan Kecamatan Berastagi menjadi kecamatan defenitif adalah sebagai berikut:

1. Jumlah penduduk

2. Kota Berastagi adalah merupakan kota tujuan utama pariwisata

3. Kantor instansi tingkat kecamatan maupun tingkat II banyak yang berada di Berastagi

4. Sebagai kota tujuan pariwisata, kota Berastagi selalu sibuk dengan segala bentuk kegiatan masyarakat yang perlu pelayanan segera.

Berdasarkan beberapa hal di atas maka ahirnya terbentuklah Kecamatan Berastagi sesuai dengan peraturan Pemerintah RI Nomor 50 tahun 1991 tanggal 07 September 1991. Saat ini Kecamatan Berastagi terdiri dari enam desa dan empat kelurahan, yaitu:

1. Guru Singa 2. Raya

3. Rumah Berastagi

(53)

5. Tl. Mulgap II 6. Gundaling I 7. Gundaling II 8. Sempajaya 9. Doulu 10. Lau Gumba

Mayoritas penduduknya adalah suku Karo sebanyak 75% dan selebihnya adalah suku Batak Toba, Jawa, Simalungun, Pakpak, Dairi dan lain-lain.

Disamping itu penduduk juga mempunyai pekerjaan sambilan yaitu memelihara ternak ayam, lembu, kerbau, kelinci, kambing, serta kolam ikan untuk menambah pendapatan. Banyaknya orang bekerja sebagai petani dan beternak tak lepas dari kondisi alam yang subur dan curah hujan yang tinggi. Hasil pertanaian yang menonjol adalah sayur mayur, buah-buahan, bunga-bungaan, dan palawija lainya.

Menurut Ginting (2016), mata pencaharian masyarakat di Kecamatan Berastagi meliputi petani, industri rumah tangga, PNS, dan lainnya yang dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1

Mata Pencaharian di Kecamatan Berastagi

Mata Pencaharian Jumlah (Orang)

Petani 16.189

Industri rumah tangga 3139

PNS 2032

Lainnya 1972

Jumlah Keseluruhan 23332

Referensi

Dokumen terkait

(2) Jasa sarana akomodasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf g diperhitungkan dari total biaya masing-masing sarana akomodasi rawat inap

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada praktikum ini dapat ditarik kesimpulan tekanan hidrostatik banding lurus dengan kedalaman dan massa jenis fluida2. KATA KUNCI :

Model Mekanistik Efek remperatur, cahaya Dan Kompetisi Gulma Pada Pertumbuhan Tanaman.. (Mechanistic Model Effects of Temperature, Light lntensity

Puji syukur atas karunia yang Allah SWT berikan, atas limpahan rahmat, dan kasih sayang - Nya, atas petunjuk dan bimbingan yang telah diberikan, sehingga penulis dapat

Jika Anda sudah menyampaikan SPT Tahunan secara online, maka Anda tidak perlu lagi mengisi formulir SPT Tahunan secara manual, dan juga Anda tidak perlu antri ke kantor pajak

[r]

Untuk melihat apakah ada perbedaan efek antiinflamasi eugenol dengan efek antiinflamasi ekstrak jahe merah pada konsentrasi 1% dan 2% pada gigi yang

Menurut Rebber dalam Muhibbin (2006: 121) “kemampuan awal atau prasyarat awal untuk mengetahui adanya perubahan”. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui situasi