• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Contohnya di Makassar, kasus pengambilan jenazah secara paksa di

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Contohnya di Makassar, kasus pengambilan jenazah secara paksa di"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Banyaknya terjadi keluarga pasien Covid 19 yang mengambil secara paksa jenazah korban tanpa mematuhi protokol kesehatan pada beberapa daerah di Indonesia. Contohnya di Makassar, kasus pengambilan jenazah secara paksa di Makassar, Sulawesi Selatan, telah dilakukan penyidikan dan ada beberapa orang ditetapkan sebagai tersangka. Kasus Makassar sudah naik ke proses penyidikan.

Di Makasar ada upaya kejahatan yang dilakukan lebih dari 2 orang. Para tersangka pun dijerat pasal berlapis yaitu Pasal 214 KUHP jo, Pasal 335 KUHP jo, Pasal 336 KUHP, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan.1

Pasal 214

(1) Paksaan dan perlawanan berdasarkan pasal 211 dan 212 jika dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

(2) Yang bersalah dikenakan:

1. Pidana penjara paling lama delapan tahun enam bulan, jika kejahatan atau perbuatan lainnya ketika itu mengakibatkan luka- luka;

1Artikel ini telah tayang di Tribunjakarta.com dengan judul Pengambil Jenazah Covid-19

Secara Paksa dari Rumah Sakit Terancam Pidana 7 Tahun

Penjara, https://jakarta.tribunnews.com/2020/06/09/pengambil-jenazah-covid-19-secara-paksa-dari- rumah-sakit-terancam-pidana-7-tahun-penjara, tanggal akses 20 September 2020.

1

(3)

2. Pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika mengakibatkan luka berat;

3. Pidana penjara paling lama lima belas tahun, jika mengakibatkan orang mati.

Pasal 335 Ayat (1) butir 1 KUHP setelah diubah Mahkamah Konstitusi selengkapnya berbunyi, “Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain“.

Pasal 336

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan, barang siapa mengancam dengan kekerasan terhadap orang atau barang secara terang-terangan dengan tenaga bersama, dengan suatu kejahatan yang menimbulkan bahaya umum bagi keamanan orang atau barang, dengan perkosaan atau perbuatan yang melanggar kehormatan kesusilaan, dengan sesuatu kejahatan terhadap nyawa, dengan penganiayaan berat atau dengan pembakaran.

(2) Bilamana ancaman dilakukan secara tertulis dan dengan syarat tertentu, maka dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun.

Peristiwa pengambilan paksa jenazah pasien Covid-19 oleh keluarganya marak terjadi. Bahwa kejadian di Makassar adalah terbanyak di Indonesia yang tersebar di empat rumah sakit. Terjadinya kasus-kasus yang berkenaan dengan pengambilan paksa jenazah pasien Covid-19 oleh keluarganya tentunya akan menyebabkan terciptanya berkurangnya rasa jaminan dan kepastian hukum, apabila pelakunya tidak diproses secara hukum. Perbuatan pelaku yang melakukan pengambilan paksa jenazah pasien Covid-19, dalam ketentuannya

(4)

seharusnya dapat diklasifikasikan sebagai delik. Menurut Adami Chazawi yang mengemukakan:

Tindak pidana dapat dibeda-bedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu sebagai berikut:

1. Menurut system KUHP, dibedakan antara kejahatan (misdrijven) dimuat dalam Buku II dan pelanggaran (overtredingen) dimuat dalam buku II.

2. Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil dan tindak pidana materiil.

3. Berdasarkan bentuk kesalahannya, dibedakan antara tindak pidana sengaja dan tindak pidana tidak dengan sengaja

4. Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak pidana aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana komisi dan tindak pidana pasif/negative, disebut juga tindak pidana omisi.

5. Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat dibedakan antara tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau berlangsung lama/berlangsung terus.

6. Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak pidana khusus.2

Mekanisme sanksi bagi pelaku dalam kasus pengambilan paksa jenazah pasien Covid-19, pada pemberitaan melalui media cetak dan elektronik dilakukan berdasarkan ketentuan pasal kejahatan terhadap penguasa umum sebagaimana diatur dalam KUHP dengan ancaman hukuman tujuh tahun di perdebatkan.

Menurut Muhammad Isnur yang mengemukakan: “Penggunaan Pasal 212 sampai dengan 218 KUHP tentang perlawanan terhadap pejabat yang sedang melakukan

2Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm. 121. .

(5)

tugasnya dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, untuk menjerat para tersangka itu tidak tepat”.3

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan (UU Karantina Kesehatan) yang juga implisit mengatur mengenai wabah penyakit.

Kepolisian seharusnya merujuk pada UU Wabah Penyakit Menular ketika menyidik tindakan pengambilan paksa jenazah Covid-19, tepatnya pada Pasal 93 UU Karantina Kesehatan bukannya Pasal 214 KUHP jo, Pasal 335 KUHP jo, Pasal 336 KUHP. Jika hal itu di paksakan, maka terbuka peluang adanya eror in juris atau kesesatan penerapan hukumnya.

Pasal 93 UU Karantina Kesehatan menyatakan bahwa:

Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Kompleksitas permasalahan sanksi pidana terhadap pengambil jenazah Covid 19 secara paksa dari rumah sakit sebagaimana di uraikan di atas adalah titik tolak untuk mengkaji dan memahami masalah yang timbul yang dapat menimbulkan kurangnya jaminan dan kepastian hukum. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang dituangkan dalam sebuah

3Muhammad Isnur, Pengamat: Status Covid Jenazah Belum Pasti, Pidana Berlebihan, diakses melalui https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200610163821-12-511907/pengamat- status-covid-jenazah-belum-pasti-pidana-berlebihan, tanggal akses 20 September 2020.

(6)

skripsi dengan judul: “Sanksi Pidana Terhadap Pengambil Jenazah Covid 19 Secara Paksa Dari Dalam Perspektif Peraturan Perundang-Undangan.”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dilatar belakang masalah di atas, dapat didentifikasikan perumusan masalah yang akan diteliti, yaitu:

1. Apa aturan yang tepat untuk diterapkan sebagai sanksi pidana terhadap pelaku pengambilan jenazah Covid 19 secara paksa dalam perspektif peraturan perundang-undangan?

2. Bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap sanksi pidana terhadap pengambil jenazah Covid 19 secara paksa dalam perspektif peraturan perundang-undangan?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a) Untuk mengetahui dan menganalisis aturan yang tepat untuk diterapkan sebagai sanksi pidana terhadap pelaku pengambilan jenazah Covid 19 secara paksa dalam perspektif peraturan perundang-undangan.

b) Untuk mengetahui dan menganalisis kebijakan hukum terhadap sanksi pidana terhadap pengambil jenazah Covid 19 secara paksa dalam perspektif peraturan perundang-undangan.

(7)

2. Manfaat Penelitian

Sedangkan dari tujuan penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat sebagi berikut:

a) Penulisan ini diharapkan sebagai pengembangan ilmu (manfaat akademis dibidang hukum pidana bagi penulis.

b) Di harapkan bisa memberikan manfaat bagi pemecahan dari penulis kepada pihak-pihak yang berkompeten khususnya aparat penegak hukum, masyarakat pada umumnya.

D. Kerangka Konseptual

Untuk mempermudah mendapatkan pengertian atas judul skripsi ini dan sekaligus agar tidak menimbulkan salah pengertian atau salah paham dalam mengartikannya, maka judul skripsi ini diuraikan sebagai berikut:

1. Sanksi pidana

Sehubungan dengan sanksi pidana ini, Packer mengatakan bahwa:

“Pidana itu menjadi penjamin yang utama (prime guarantor) apabila digunakan secara cermat, hati-hati (providently) dan secara manusiawi (humanly)”.4

4Ibid.

(8)

2. Pengambil jenazah

Kamus Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan pengambil, yaitu:

“orang yang mengambil”.5 Sedangkan Kata jenazah, bila ditinjau dari segi bahasa (etimologis), berasal dari bahasa Arab dan menjadi turunan dari isim masdar (adjective) yang diambi dari fi’il madi janaza-yajnizu-janazatan wa jinazatan. Bila huruf jim dari kata

tersebut dibaca fathah (janazatan), kata ini berarti orang yang telah meninggal dunia.6

3. Covid 19

Yang dimaksud dengan virus corona, yaitu: “Corona virus atau virus corona merupakan keluarga besar virus yang menyebabkan infeksi saluran pernapasan atas ringan hingga sedang, seperti penyakit flu.

Banyak orang terinfeksi virus ini, setidaknya satu kali dalam hidupnya.

Namun, beberapa jenis virus corona juga bisa menimbulkan penyakit yang lebih serius, seperti:

1. Middle East Respiratory Syndrome (MERS-CoV).

2. Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS-CoV).

5Jagokata, Arti kata pengambil menurut KBBI, diakses melalui https://jagokata.com/arti- kata/pengambil.html, tanggal akses 20 September 2020.

6Tanpa Pengarang, Bab III Penyelenggaraan Jenazah, diakses melalui http://repository.uinib.ac.id/931/4/BAB%20III.pdf, tanggal akses 20 September 2020.

(9)

3. Pneumonia.7

SARS yang muncul pada November 2002 di Tiongkok, menyebar ke beberapa negara lain. Mulai dari Hongkong, Vietnam, Singapura, Indonesia, Malaysia, Inggris, Italia, Swedia, Swiss, Rusia, hingga Amerika Serikat. Epidemi SARS yang berakhir hingga pertengahan 2003 itu menjangkiti 8.098 orang di berbagai negara. Setidaknya 774 orang mesti kehilangan nyawa akibat penyakit infeksi saluran pernapasan berat tersebut. Sampai saat ini terdapat tujuh coronavirus (HCoVs) yang telah diidentifikasi, yaitu:

1. HCoV-229E.

2. HCoV-OC43.

3. HCoV-NL63.

4. HCoV-HKU1.

5. SARS-COV (yang menyebabkan sindrom pernapasan akut).

6. MERS-COV (sindrom pernapasan Timur Tengah).

7. 2019-nCoV atau dikenal juga dengan Novel Coronavirus (menyebabkan wabah pneumonia di kota Wuhan, Tiongkok pada Desember 2019, dan menyebar ke negara lainnya hingga Januari 2020.8

4. Paksa

Kata paksa disinonimkan dengan kata “daya paksa”, R. Sugandhi, sebagaimana dikutip oleh Tri Jata Ayu Pramesti, mengatakan bahwa: “kalimat “karena pengaruh daya paksa” harus diartikan, baik pengaruh daya paksaan batin, maupun lahir, rohani, maupun jasmani. Daya paksa yang tidak dapat dilawan adalah kekuatan

7Rizal Padli, Corona Virus, diakses melalui

https://www.halodoc.com/kesehatan/coronavirus, tanggal akses 20 September 2020.

8Ibid.

(10)

yang lebih besar, yakni kekuasaan yang pada umumnya tidak mungkin dapat ditentang”.9

E. Landasan Teoretis

Sesuai dengan isu hukum yang telah dikemukakan dalam latar belakang, maka landasan teori yang akan penulis gunakan sebagai pisau analisis dalam penulisan skripsi ini adalah teori pemidanaan, teori kebijakan hukum pidana.

1. Teori Pemidanaan

Pandangan-pandangan tentang tujuan pemidanaan sesungguhnya tidak lepas dan erat kaitannya dengan perkembangan teori-teori pemidanaan.

Secara tradisional, teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi dalam dua kelompok teori, yaitu Teori Absolut atau pembalasan (retributive), dan Teori Relatif atau Tujuan (Utilitarian). Kedua teori tersebut tidak luput pula dari pengaruh yang berkembang dari dua mazhab/aliran dalam hukum pidana. Kedua pemikiran tersebut adalah pemikiran klasik dan positif. Berkaitan dengan tujuan penjatuhan pidana terhadap terpidana, maka ada “tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana yaitu: teori pembalasan (absolute/ vergeldingstheorie); teori maksud atau tujuan (relatieve/doeltheorie); dan teori gabungan (verenigingstheorie)”.10 a. Teori Absolut atau Teori Pembalasan

Menurut teori ini pidana di jatuhkan karena orang telah melakukan kejahatan. Pidana sebagai akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi dasar

9Tri Jata Ayu Pramesti, Daya Paksa dan Pembelaan Terpaksa Sebagai Alasan

Penghapus Pidana, diakses melalui

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt51bd53f7b6b00/daya-paksa-dan-pembelaan- terpaksa-sebagai-alasan-penghapus-pidana, tanggal akses 19 Oktober 2020.

10Bambang Waluyo, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 105.

(11)

pembenarannya terletak pada adanya kejahatan itu sendiri. Seperti dikemukakan Johanes Andenaes bahwa tujuan primer dari pidana menurut teori absolut ialah untuk memuaskan tuntutan keadilan.

Sedang pengaruh yang menguntungkan adalah sekunder. Tuntutan keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat dari pendapat Andi Hamzah mengemukakan bahwa teori pembalasan menyatakan bahwa:

Pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkan pidana, pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu memikirkan manfaat penjatuhan pidana.11

Apabila manfaat penjatuhan pidana ini tidak perlu dipikirkan sebagaimana dikemukakan oleh penganut teori absolut atau teori pembalasan ini, maka yang menjadi sasaran utama dari teori ini adalah balas dendam. Dengan mempertahankan teori pembalasan yang pada prinsipnya berpegang pada “pidana untuk pidana”, hal itu akan mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan.

b. Teori Relatif atau Teori Tujuan

Teori relatif atau teori tujuan juga disebut teori utilitarian, lahir sebagai reaksi terhadap teori absolut. Secara garis besar, tujuan pidana menurut teori relatif bukanlah sekedar pembalasan, akan tetapi

11Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1993, hlm. 26.

(12)

untuk mewujudkan ketertiban di dalam masyarakat. Sebagaimana dikemukakan Koeswadji bahwa tujuan pokok dari pemidanaan yaitu:

1. Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat (dehandhaving van de maatschappelijke orde);

2. Untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai akibat dari terjadinya kejahatan. (het herstel van het doer de misdaad onstane maatschappelijke nadeel);

3. Untuk memperbaiki si penjahat (verbetering vande dader);

4. Untuk membinasakan si penjahat (onschadelijk maken van de misdadiger);

5. Untuk mencegah kejahatan (tervoorkonning van de misdaad).12 Jadi tujuan pidana menurut teori relatif adalah untuk mencegah agar ketertiban di dalam masyarakat tidak terganggu. Dengan kata lain, pidana yang dijatuhkan kepada si pelaku kejahatan bukanlah untuk membalas kejahatannya, melainkan untuk mempertahankan ketertiban umum.

c. Teori Gabungan

Menurut teori gabungan bahwa tujuan pidana itu selain membalas kesalahan penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat, dengan mewujudkan ketertiban. Teori ini menggunakan kedua teori tersebut di atas (teori absolut dan teori relatif) sebagai dasar pemidanaan, dengan pertimbangan bahwa kedua teori tersebut memiliki kelemahan-kelemahan yaitu:

1. Kelemahan teori absolut adalah menimbulkan ketidakadilan karena dalam penjatuhan hukuman perlu mempertimbangkan

12Koeswadji, Perkembangan Macam-macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana, Cetakan I, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1995, hlm. 12.

(13)

bukti-bukti yang ada dan pembalasan yang dimaksud tidak harus negara yang melaksanakan.

2. Kelemahan teori relatif yaitu dapat menimbulkan ketidakadilan karena pelaku tindak pidana ringan dapat dijatuhi hukum berat; kepuasan masyarakat diabaikan jika tujuannya untuk memperbaiki masyarakat; dan mencegah kejahatan dengan menakut-nakuti sulit dilaksanakan.13

Walaupun terdapat perbedaan pendapat di kalangan sarjana mengenai tujuan pidana itu, namun ada satu hal yang tidak dapat dibantah, yaitu bahwa pidana itu merupakan salah satu sarana untuk mencegah kejahatan serta memperbaiki narapidana. Demikian juga halnya dengan pidana penjara merupakan sarana untuk memperbaiki narapidana agar menjadi manusia yang berguna di masyarakat. Teori integratif dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu:

a. Teori integratif yang menitikberatkan pembalasan, akan tetapi tidak boleh melampaui batas apa yang perlu dan sudah cukup untuk dapat mempertahankan tata tertib masyarakat.

b. Teori integratif yang menitikberatkan pada pertahanan tata tertib masyarakat, tetapi tidak boleh lebih berat dari suatu penderitaan yang beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh narapidana.

c. Teori integratif yang menganggap harus ada keseimbangan antara kedua hal di atas.14

Pada hakikatnya pidana adalah merupakan perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan terhadap perbuatan melanggar hukum. Di samping itu Roeslan Saleh juga mengemukakan bahwa: “pidana mengandung hal- hal lain, yaitu bahwa pidana diharapkan sebagai sesuatu yang akan membawa

13Ibid., hlm. 11-12.

14Prakoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-pendapat Mengenai Efektifitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hlm. 24.

(14)

kerukunan dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali dalam masyarakat.15

Muladi mengajukan kombinasi tujuan pemidanaan yang dianggap cocok dengan pendekatan-pendekatan sosiologis, ideologis, dan yuridis filosofis dengan dilandasi oleh asumsi dasar bahwa:

Tindak pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan, keselarasan dan keserasian dalam kehidupan masyarakat, yang mengakibatkan kerusakan individual ataupun masyarakat. Dengan demikian maka tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan individual dan sosial yang diakibatkan oleh tindak pidana. Perangkat tujuan pemidanaan tersebut adalah: (a) pencegahan (umum dan khusus), (b) perlindungan masyarakat, (c)memelihara solidaritas masyarakat, (d)pengimbalan/ pengimbangan.16

2. Teori Kebijakan Hukum Pidana

1. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana

Menurut Barda Nawawi Arif, yang mengatakan bahwa:

Menurut Marc Ancel adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang dan juga kepada penyelenggara atau pelaksana putusan hakim.17

Beberapa tulisan menterjemahkan istilah kebijakan dengan "politik"18,

"policy", "politick"19, "beleid” khususnya dimaksudkan dalam arti

15Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Op. Cit., hlm. 22.

16Muladi, Op. Cit., hlm. 61.

17Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Kencana, Jakarta, 2010, hlm. 8.

18Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung, 1983, hlm. 16.

(15)

"wijsbeleid" atau "kebijaksanaan". Oleh karena itu kebijakan hukum pidana dapat pula disebut dengan istilah politik hukum pidana, penal policy, criminal law policy atau strafrechtspolitiek20. Dengan demikian istilah-istilah yang diberikan untuk kebijakan hukum pidana adalah "politik hukum pidana",

"penal policy", "criminal law policy” atau "strafrechts politiek".

2. Tahapan Kebijakan Hukum Pidana

Kebijakan hukum pidana (penal policy) atau penal-law enforcement policy operasionalisasinya melalui beberapa tahap yaitu tahap formutasi (kebijakan legislatif); tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudicial) dan tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif). Tahap formulasi adalah tahap penetapan atau perumusan hukum pidana oleh pembuat undang-undang atau disebut juga tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan pembuat undang-undang.

Tahap aplikasi adalah tahap penerapan hukum pidana oleh aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan sampai ke pengadilan, sedangkan tahap eksekusi adalah tahap pelaksanaan pidana oleh aparat pelaksana atau eksekusi pidana.

3. Teori Kepastian Hukum

19Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum pidana, Cet. Kedua, Edisi Revisi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 24.

20Ibid.,

(16)

Terkait dengan kepastian hukum dikatakan oleh Gustav Radbuch dalam Budi Agus Riswandi yang mengatakan “adanya tiga cita (idée) dalam hukum yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum”. 21

Dikatakan juga oleh Achmad Ali:

Keadilan menuntut agar hukum selalu mengedepankan keadilan, kemanfaatan menuntut agar hukum selalu mengedepankan manfaat, sedangkan kepastian hukum menuntut terutama adanya peraturan hukum.

Kepastian hukum dalam artian undang-undang maupun suatu peraturan setelah diperundangkan akan dilaksanakan dengan pasti oleh pemerintah.

Kepastian hukum berarti setiap orang dapat menuntut agar hukum dilaksanakan dan tuntutan itu pasti dipenuhi, dan bahwa setiap pelanggaran hukum akan ditindak dan dikenakan sanksi hukum juga.

Dalam perspektif hukum, tema kepastian pada prinsipnya selalu dikaitkan dengan hukum. 22

Selanjutnya Sudikno Mertokusumo juga mengatakan “menjelaskan, kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang- wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu”.23 Diungkapkan juga oleh Fence M.

Wantu:

Tema kepastian hukum sendiri, secara historis, merupakan tema yang muncul semenjak gagasan tentang pemisahan kekuasaan dinyatakan oleh Montesquieu, bahwa dengan adanya pemisahan kekuasaan, maka tugas penciptaan undang-undang itu ada di tangan pembentuk undang-undang,

21Budi Agus Riswandi, Aspek Hukum Internet Banking, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 167.

22Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) termasuk interpretasi undang- undang (legisprudence), Jakarta. Kencana Prenada Media Group. 2009, hlm. 79.

23Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1999, hlm. 145.

(17)

sedangkan hakim (peradilan) hanya bertugas menyuarakan isi undang- undang. 24

Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Usman dan Andi Najemi bahwa:

Dalam kenyataanya tidak jarang ditemui putusan yang lebih mementingkan kepastian hukum, sehingga mengenyampingkan keadilan dan kemanfaatan atau juga sebaliknya lebih mementingkan keadilan dan kemanfaatan tetapi mengenyampingkan kepastian hukum. Dalam perkara pidana, seharusnya berlaku asas keadilan yang utama, sehingga dalam hal terjadi benturan nilai maka nilai keadilan yang harus dimenangkan.25

Bahder Johan Nasution mengemukakan:

Bahwa nilai keadilan melekat pada tujuan hukum. Ide keadilan dicerminkan oleh keputusan yang menentang dilakukannya hukuman yang kejam, melarang penghukuman untuk kedua kalinya terhadap kesalahan yang sama. Menolak diterapkannya peraturan hukum yang menjatuhkan pidana terhadap Tindakan yang dilakukan sebelum ada peraturan yang mengaturnya, menolak pembentukan undang-undang yang menghapus hak-hak dan harta benda seseorang.26

Senada dengan hal di atas, esensi putusan yang lebih mementingkan aspek kepastian hukum, Hafrida mengemukakan: “Putusan hakim merupakan muara dari penerapan aturan norma hukum pidana. Putusan hakim merupakan cerminan dalam penegakan hukum atas suatu perbuatan pidana”.27

24Fence M. Wantu, Kepastian Hukum Keadilan dan Kemanfaatan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011, hlm. 92-93.

25Usman dan Andi Najemi, Mediasi Penal di Indonesia: Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian Hukumnya, Undang: Jurnal Hukum ISSN 2598-7933 (online); 2598-7941 (cetak), Vol. 1 No. 1 (2018): 65-83, DOI: 10.22437/ujh.1.1.65-83, hlm. 70. diakses melalui https://jurnal.hukumonline.com/a/5cb49c0701fb73000fce15bd/mediasi-penal-di-indonesia, tanggal akses 12 Mei 2020.

26Bahder Johan Nasution, Kajian Filosofis Tentang Konsep Keadilan Dari Pemikiran Klasik Sampai Pemikiran Modern, Jurnal Yustisia Vol. 3 No.2 Mei - Agustus 2014 https://jurnal.uns.ac.id/yustisia/article/view/11106/9938, tanggal akses 22 Juni 2020.

27Hafrida, Analisis Putusan Hakim Pengadilan Negeri Jambi Terhadap Pengguna/

Pemakai Narkotika Dalam Perspektif Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Di Kota Jambi,

(18)

Helmi Yunetri dan Abadi Darmo, mengemukakan;

Penerapan sanksi pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama lebih dikonsentrasikan kepada faktor yang melatar belakangi terjadinya putusan disparitas. Bahwa pertimbangan hukum yang menjadi dasar hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana yang berbeda terhadap objek perkara yang sama adalah hakim lebih menggunakan pertimbangan yang bersifat yuridis (fakta hukum yang terdapat dipersidangan), dari pada pertimbangan bersifat nonyuridis. Tidak adanya kesamaan pendapat hakim dalam menilai hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan sanski pidana yang tercantum dalam pertimbangan hukum putusan tersebut serta tidak adanya formulasi yang jelas tentang penilaian tersebut. Hakim diperkenankan untuk menggali dan menafsirkan nilai–nilai dan rasa keadilan yang berkembang dalam masyarakat untuk menyelesaikan suatu perkara yang diajukan kepadanya.28

Haryadi mengemukakan, bahwa:

Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi tindak pidana serta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya tersebut (The criminal sanction is the best availabledevice we have for dealing with gross and immadiate harms and treats of harm). Selain penggunaan sanksi pidana sebagai sarana untuk menanggulangi Tindak pidana dan menjaga ketertiban masyarakat, tujuan pemidanaan juga merupakan hal yang tidak kalah pentingnya guna mencari dasar pembenaran dari penggunaan pidana sehingga pidana menjadi lebih fungsional.29

https://www.researchgate.net/profile/Hafrida_Hafrida2/publication/328277758,Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Humaniora Volume 16, Nomor 1, Hal. 55-66 ISSN:0852-8349 Januari – Juni 2014, hlm. 59.

28Helmi Yunetri dan Abadi B Darmo, Disparitas Penjatuhan Hukuman Pidana Dalam Perkara Pencurian (362 KUHP) Di Pengadilan Negeri Jambi, Legalitas: Jurnal Hukum Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum Program Magister Ilmu Hukum Universitas Batanghari Jambi, http://legalitas.unbari.ac.id/index.php/Legalitas/article/view/52 Abstrak, Vol 1, No 1 (2009).

29Haryadi, Tinjauan Yuridis Perumusan Sanksi Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Dalam Perspektif Tujuan Pemidanaan, https://media.neliti.com/media/publications/43288-ID- tinjauan-yuridis-perumusan-sanksi-pidana-bagi-pelaku-tindak-pidana-korupsi-

menur.pdf, Jurnal Ilmu Hukum Universitas Jambi, Maret 2014, hlm. 139.

(19)

Hakim juga memiliki kebebasan untuk memilih berat atau ringannya pidana yang dijatuhkan, sebab aturan pemidanaan yang ada hanya menentukan minimum umum, misalnya untuk pidana penjara kurungan minimum 1 (satu) hari (Pasal 12 dan 18 KUHP). Kemudian maksimum umumnya untuk pidana penjara 15 (lima belas) tahun, dapat menjadi 20 (dua puluh) tahun untuk hal- hal tertentu.

F. Metode Penelitian

Adapun metode dalam penelitian ini meliputi:

1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian adalah normatif atau yang sering juga disebut penelitian yuridis normatif. Sifat normatif penelitian hukum dikaitkan dengan karakter keilmuan hukum itu sendiri. Karena itu pemilihan metode penelitian senantiasa dibatasi oleh rumusan masalah, objek yang diteliti dan tradisi keilmuan hukum itu sendiri.30

Penelitian hukum normatif, kajiannya terfokus pada hukum positif dengan aspek sebagai berikut: 1) mempelajari aturan dari segi teknis, 2) berbicara tentang hukum, 3) berbicara hukum dari segi hukum, 4) berbicara problem hukum yang konkrit.31

30Philipus M. Hadjon, Pengkajian Hukum Dogmatik (Normatif), yang dikutip oleh Sahuri Lasmadi dalam Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Perspektif Kebijakan Hukum Pidana, Disertasi Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2003, hlm. 64.

31Ibid.,

(20)

Tipe penelitian yuridis normatif menurut Bahder Johan Nasution, yang mengemukakan, bahwa:

Dalam pendekatan ilmu hukum normatif banyak pendekatan yang dapat digunakan baik secara terpisah-pisah berdiri sendiri maupun secara kolektif sesuai dengan isu atau permasalahan yang dibahas. Pendekatan tersebut antara lain:

a) Pendekatan undang-undang atau statuta aproach dan sebagian ilmuwan hukum menyebutnya dengan pendekatan yuridis, yaitu penelitian terhadap produk-produk hukum.

b) Pendekatan historis, yaitu penelitian atau pengkajian terhadap perkembangan produk-produk hukum berdasarkan urutan-urutan periodesasi atau kenyataan sejarah yang melatar belakanginya.

c) Pendekatan konseptual, yaitu penelitian terhadap konsep-konsep hukum seperti: sumber hukum, fungsi hukum, lembaga hukum dan sebagainya. Konsep hukum ini berada pada tiga ranah atau tataran sesuai tingkatan ilmu hukum itu sendiri yaitu: tataran ilmu hukum dogmatik konsep hukumnya teknis yuridis, tataran teori hukum konsep hukumnya konsep umum, tataran filsafat hukum konsep hukumnya konsep dasar.

d) Pendekatan komparatif, yaitu penelitian tentang perbandingan hukum baik mengenai perbandingan sistem hukum antar negara, maupun perbandingan produk hukum dan karakter hukum antar waktu dalam suatu negara.

e) Pendekatan politis, yaitu penelitian terhadap pertimbangan- pertimbangan atau kebijakan elite politik dan partisipasi masyarakat dalam pembentukan dan penegakan berbagai produk hukum.

f) Pendekatan kefilsafatan, yaitu pendekatan mengenai bidang-bidang yang menyangkut dengan obyek kajian filsafat hukum.32

2. Pendekatan Penelitian

Peter Mahmud Marzuki menyatakan ada lima pendekatan dalam penelitian hukum, yaitu pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case law approach), pendekatan historis (historical approach),

32Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, CV. Mandar Maju, Bandung, 2008, hlm. 92-93.

(21)

pendekatan perbandingan (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach).33

Dilihat dari kajian hukum yang diangkat dari penelitian ini, yaitu mengenai sanksi pidana terhadap pengambil jenazah Covid 19 secara paksa dalam perspektif peraturan perundang-undangan, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan undang-undang (statute approach).

Pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah semua undang- undang dan regulasi yang saling berkaitan dengan isu hukum yang diteliti.

Untuk lebih mendalami permasalahan yang diteliti, maka selain pendekatan undang-undang (statute approach), dalam penelitian ini juga digunakan pendekatan konseptual (conceptual approach) dan pendekatan kasus (case law approach).

3. Pengumpulan Bahan Hukum

Oleh karena penelitian ini merupakan penelitian normatif, maka penelitian ini lebih difokuskan pada penelitian kepustakaan untuk mengkaji bahan-bahan hukum yang relevan dengan objek penelitian ini. Bahan-bahan hukum yang digunakan dalam penelitian kepustakaan ini antara lain adalah:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang dijadikan dasar dalam menyusun penulisan skripsi yang diambil dari kepustakaan, di antaranya:

33Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, hal, 93.

(22)

1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan 2) KUHP

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, di antaranya: Diperoleh dengan mempelajari buku-buku, majalah, hasil penelitian, laporan kertas kerja dan lain-lain yang berkaitan dengan penelitian ini.

c. Bahan tertier

Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang akan digunakan penulis dalam mendukung bahan hukum sekunder, yakni:

1) Kamus Hukum

2) Kamus Besar Bahasa Indonesia.

4. Analisis Bahan Hukum

Analisis dilakukan dengan cara:

1. Menginventarisasi semua aturan-aturan dan norma-norma yang sudah diidentifikasi berkaitan dengan permasalahan yang penulis teliti, yaitu berhubungan dengan sanksi pidana terhadap pengambil jenazah Covid 19 secara paksa dalam perspektif peraturan perundang-undangan.

2. Mensistematisasi bahan-bahan hukum yang berhubungan dengan masalah yang dibahas untuk memaparkan isi dan struktur atau hubungan hirarkis antara aturan-aturan hukum. Dalam kegiatan sistematisasi ini, dilakukan analisis korelasi antara aturan-aturan hukum yang berhubungan agar dapat

(23)

dipahami dengan baik.

3. Menginterpretasi semua peraturan perundang-undangan ssuai dngan masalah yang dibahas dengan menghimpun dan mengelola tatanan aturan yang ada, yang di dalamnya berlangsung interpretasi, pembentukan dan penjabaran pengertian-pengertian dalam hukum dari solusi masalah dapat dirancang dan ditawarkan

G. Sistematika Penulisan

Guna mengetahui skripsi ini secara garis besar, dapat dilihat dari sistematika berikut:

Bab I PENDAHULUAN Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka konseptual, metode penelitian serta sistematika penulisan. Bab ini merupakan Bab permasalahan dan merupakan landasan bagi bab berikutnya.

Bab II TINJAUAN UMUM Bab ini merupakan Bab tinjauan pustaka, dalam bab ini dibahas mengenai tinjauan umum tentang kebijakan hukum pidana, asas-asas hukum pidana, tindak pidana, sanksi pidana dan virus corona. Bab ini merupakan kerangka teori dari hal yang akan dibahas pada bab selanjutnya.

Bab III PEMBAHASAN DAN PENYESELESAIAN Bab ini merupakan bab pembahasan yang berisikan tentang aturan yang tepat untuk diterapkan sebagai sanksi pidana terhadap pengambil jenazah Covid 19 secara

(24)

paksa dalam perspektif peraturan perundang-undangan dan pembaruan hukum terhadap sanksi pidana terhadap pengambil jenazah Covid 19 secara paksa dari rumah sakit dalam perspektif peraturan perundang- undangan.

Bab IV PENUTUP Bab penutup, dalam bab ini berisikan kesimpulan dari uraian bab pembahasan dan berisikan saran-saran yang berkenan dengan permasalahan yang ada.

(25)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku

Andi Hamzah. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia. Pradnya Paramita, Jakarta, 1993.

Barda Nawawi Arif. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Kencana, Jakarta, 2010.

_________________. Hukum Pidana dalam Prespektif Kajian Perbandingan. PT.

Citra Adhya Bakti, Bandung, 2005

_________________. Pembaharuan Hukum Pidana dan Masalah Kebjakan Delik Aduan Dalam: Masalah-Masalah. FH Undip, No.4, 1995.

Bahder Johan Nasution. Metode Penelitian Hukum. CV. Mandar Maju, Bandung, 2008.

Bambang Waluyo. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Sinar Grafika, Jakarta, 2009.

C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil. Pokok-Pokok Hukum Pidana. Cet.2, Pradnya Paramita, Jakarta, 2007.

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapanya, Storia Grafika, Jakarta, 2002.

Koeswadji. Perkembangan Macam-macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana. Cetakan I, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1995.

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008.

Muladi. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995.

Mustafa Abdullakh dan Ruben Ahmad, Intisari Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2000.

Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. Kencana. Jakarta, 2008.

(26)

Poemomo, Bambang. Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Yogyakarta, 1992,

Prakoso dan Nurwachid. Studi Tentang Pendapat-pendapat Mengenai Efektifitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini. Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984.

Purwadarminta, S. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2000 Romli Atmasasmita. Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System)

Perspektif Eksistensialisme Dan Abolisionalisme. Penerbit Bina Cipta, Jakarta, 1996.

Sudarto. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat. Sinar Baru. Bandung, 1983.

Soeharto, RM. Hukum Pidana Materil Unsur-Unsur Objektif Sebagai Dasar Dakwaan, Sinar Grafika, Jakarta, 1991.

Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, Raja Grafindo, Jakarta, 2003.

B. Karya Ilmiah/Disertasi/Jurnal

Bahder Johan Nasution, Kajian Filosofis Tentang Konsep Keadilan Dari Pemikiran Klasik Sampai Pemikiran Modern, Jurnal Yustisia Vol. 3 No.2

Mei-Agustus 2014

https://jurnal.uns.ac.id/yustisia/article/view/11106/9938, tanggal akses 22 Juni 2020.

Hafrida, Analisis Putusan Hakim Pengadilan Negeri Jambi Terhadap Pengguna/

Pemakai Narkotika Dalam Perspektif Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Di Kota Jambi, Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Humaniora Volume 16, Nomor 1, Hal. 55-66 ISSN:0852-8349 Januari – Juni 2014.

Haryadi, Tinjauan Yuridis Perumusan Sanksi Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang- undang No. 20 Tahun 2001 Dalam Perspektif Tujuan Pemidanaan, Jurnal Ilmu Hukum Universitas Jambi, Maret 2014, diakses melalui https://media.neliti.com/media/publications/43288-ID-tinjauan-yuridis- perumusan-sanksi-pidana-bagi-pelaku-tindak-pidana-korupsi-menur.pdf, tanggal akses 12 Mei 2020.

(27)

Helmi Yunetri dan Abadi B Darmo, Disparitas Penjatuhan Hukuman Pidana Dalam Perkara Pencurian (362 KUHP) Di Pengadilan Negeri Jambi, Legalitas: Jurnal Hukum Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum Program Magister Ilmu Hukum Universitas Batanghari Jambi, Abstrak,

Vol 1, No 1 (2009), diakses melalui

http://legalitas.unbari.ac.id/index.php/Legalitas/article/view/52, tanggal akses 12 Mei 2020.

Hariman Satria, Memidana Pengambil Paksa Jenazah Pasien Corona, diakses melalui https://news.detik.com/kolom/d-5054063/memidana-pengambil- paksa-jenazah-pasien-corona, tanggal akses 9 Desember 2020

Lokollo, L., Salamor, Y. B., & Ubwarin, E. (2020). Kebijakan Formulasi Undang-undang Narkotika Dalam Legalisasi Penggunaan Ganja Sebagai BahanPengobatan di Indonesia. Jurnal Belo, Volume 5 Nomor 2. DOI:

https://doi.org/10.30598/belovol5issue2page1-20

Sri Rahayu, Diversi Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Yang Dilakukan Anak Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana Anak, Jurnal Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Jambi, 2015, hlm. 128, diakses melalui https://www.neliti.com/publications/43317/diversi-sebagai- alternatif-penyelesaian-perkara-tindak-pidana-yang-dilakukan-anak.

Susilo, A. (2020). Coronavirus Disease 2019: Tinjauan Literatur Terkini. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, Universitas Indonesia , Volume 7 Nomor 1, Hal 45. DOI : https://doi.org/10.7454/jpdi.v7i1.415

Usman dan Andi Najemi, Mediasi Penal di Indonesia: Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian Hukumnya, Undang: Jurnal Hukum ISSN 2598-7933 (online); 2598-7941 (cetak), Vol. 1 No. 1 (2018): 65-83, DOI:

10.22437/ujh.1.1.65-83, diakses melalui

https://jurnal.hukumonline.com/a/5cb49c0701fb73000fce15bd/mediasi- penal-di-indonesia, tanggal akses 12 Mei 2020.

C. Kamus

Purwadarminta, S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Balai Pustaka.Jakarta, 1985.

Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ke-Empat, Depdiknas, Jakarta, 2008.

(28)

D. Peraturan Perundang-Undangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan

Referensi

Dokumen terkait

MenurutKotler (2007:223) keputusan pembelian yaitu beberapa tahapan yang dilakukan oleh konsumen sebelum melakukan keputusan pembelian suatu produk.Dari berbagai faktor

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perlakuan pendahuluan berupa perendaman dalam larutan asam sitrat dan natrium metabisulfit

Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial

1) Selama proses pembelajaran guru telah melaksanakan pembelajaran dengan baik. Meskipun ada beberapa aspek masih belum sempurna, tetapi prosentase pelaksanaannya untuk

Persiapan yang dilakukan oleh rumah sakit Queen Latifa dalam menjalankan program ASI Eklusif antara lain: memberikan kesempatan kepada karyawan rumah sakit untuk

Melalui model pembelajaran Discovery Learning peserta didik dapat menjelaskan sistem operasi jaringan dan menentukan spesifikasi hardware server yang sesuai sehingga bisa

Teknik pemasangan LMA yang sering digunakan adalah teknik klasik, namun pemasangan dengan teknik ini adalah cara buta tanpa kita mengetahui apakah posisi LMA yang

Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang berbunyi “Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9