• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODUL: ANAK MEMBUAT KOMIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "MODUL: ANAK MEMBUAT KOMIK"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

MODUL: ANAK MEMBUAT KOMIK

Oleh: Agus Hartono

00 KOMIK: Dari Natur Menjadi Kultur

Natur atau nature –dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan menjadi alam atau lingkungan- adalah (1) dunia yang ada dalam diri makhluk hidup. Dalam konteks anak, dunia yang ada pada dirinya adalah “dunia bermain”. Bermain di sini adalah perpaduan enegi afeksi (rasa) dan motorik (karsa).

Anak adalah manusia yang sedang belajar dan berkembang menjadi makhluk kognitif atau men-cipta (baca: menjadi orang dewasa). Anak adalah manusia yang menggunakan imajinasi yang berdasar atas rasa dan diekspresikan dengan rasa-karsa.

Natur adalah (2) dunia yang melingkupi kehidupan manusia.

Dalam konteks anak, dunia yang melingkupinya adalah

“keseharian” di rumah, di sekitar rumah, di sekolah dan juga di antara sekolah dan rumah. Natur mereka berkembang di saat mereka bermain ke tempat teman, berkunjung ke rumah saudara atau saat ikut orang tua bepergian.

Kultur atau culture –dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan menjadi: budaya- adalah: buah dari hasil cipta, rasa dan karsa manusia. Dalam bahasa Latin, colere atau kultur mempunyai arti: mengusahakan, memelihara dan menjunjung tinggi segala barang lahir dan benda batin. Dalam kultur terdapat aspek memperbaiki, mengembangkan dan menyempurnakan. Ibarat tanaman, buah adalah “sesuatu”

yang akan berguna bagi makhluk yang memakannya; dalam konteks manusia, kultur mempunyai tujuan untuk “menjadikan”

manusia yang mempunyai kematangan dan kesempurnaan hidup lahir dan batin.

Dalam konteks kultur, natur adalah “sesuatu yang mendahului kultur”, walau natur dan kultur tersebut akan masuk dalam hubungan dialektika yang berkesinambungan atau spiral- dynamics; dan ibarat perdebatan logika: “telur dan ayam, mana yang lebih dahulu ada?”.

DARI NATUR MENJADI KULTUR Dari Natur Menjadi Kultur adalah semboyan yang diangkat oleh Ki Hadjar Dewantara saat

menggagas pendidikan bagi anak sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonialisme.

Prinsip pendidikan yang dibangun oleh Ki Hadjar Dewantara adalah:

“Tiap-tiap orang adalah guru; Tiap-tiap rumah adalah perguruan; Ada atau tidak ada ordonansi!”

Pendidikan kultural bagi anak menjadi “inti pendidikan” yang digagas oleh Ki Hadjar Dewantara. Pendidikan kultural di sini adalah pendidikan yang beradasar atas rasa- karasa untuk men-cipta yang akan menghasilkan manusia yang matang lahir-batin, merdeka dan punya kemandirian.

(2)

Realita-sejarah yang ada dalam hidup manusia menunjukkan terjadi relasi kuasa yang tidak memposisikan manusia lain sebagai manusia. Penghilangan nilai-nilai kemanusiaan tanpa disadari menjadi realita natur dan sekaligus bagian dari realita kultur manusia yang ada selama ini. Penjajahan, pemusnahan, penggusuran, pengucilan, pengusiran, diskriminasi, kekerasan dan bahkan penelantaraan menjadi “judul-judul besar” terjadi dalam sejarah manusia; sekaligus menjadi “hantu-hantu yang bersemayam” dalam ingatan atau memori manusia. Sejarah adalah penandaan dan pemaknaan dari suatu peristiwa atau kejadian yang menimpa manusia pada waktu tertentu dalam konteks lampau atau past; akan tetapi peristiwa dan kejadian tersebut akan selalu membekas pada ingatan manusia dan akan berpengaruh dalam segala tindakan manusia dalam konteks waktu kekinian atau present.

Pendidikan kultural dimunculkan sebagai strategi dan juga cara untuk mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan yang telah

“menghilang dan dihilangkan” dalam diri manusia. Pendidikan kultural adalah pendidikan yang mengembalikan manusia ke dalam natur-nya dan sekaligus mendekonstruksi kultur menjadi

“budaya yang manusiawi”. Dalam konteks anak, pendidikan kultural adalah: (1) daya upaya untuk mengembalikan anak dalam dunia bermainnya yang “menghilang” karena harus bekerja atau bertahan hidup di luar natur keluarga dan komunitas; (2) mengkondisikan anak untuk “bersiap” untuk menjadi makhluk yang men-cipta dengan modal rasa dan karsa yang dimilikinya’; (3) daya upaya untuk menghasilkan “buah”

atau budaya yang akan menghasilkan natur yang lebih baik bagi anak di masa mendatang.

Pendidikan kultural membutuhkan media untuk menjadi jembatan menuju perubahan. Pada pendidikan kultural dalam konteks anak, media yang dibutuhkan adalah media yang sesuai dengan persyaratan rasa dan karsa serta kemampuan untuk men-cipta. Komik yang dibuat oleh anak secara partisipatif adalah salah satu media pendidikan kultural yang memenuhi persyaratan tersebut.

Dalam modul ini –sebagai bentuk pendidikan kultural- akan memposisikan anak sebagai manusia yang belajar men-cipta.

Sehingga pembuatan komik ini lebih menekankan pada prosesnya dan bukan hanya sekedar pada hasil saja. Komik mempunyai persyaratan mendasar yaitu kemampuan anak untuk bertutur dan “mencorét-corét”. Usia dan kematangan anak akan mempengaruhi proses dan pembuatan komik; akan tetapi harus selalu diingat bahwa “membuat komik adalah proses dari pendidikan kultural”. Saat membuat komik, anak harus masuk dalam natur bermainnya, maka pilihan tempat akan cukup berpengaruh. Metodelogi penyampaiannya juga harus memberi kesempatan anak untuk menumbuhkan rasa dan karsa-nya serta merangsang untuk men-cipta.

Modul ini tidak memasukkan “durasi waktu” pada setiap pelaksanaan per sesi-nya. Waktu adalah konsekuensi dari

Paulo Freire adalah penggagas pendidikan bagi kaum tertindas sebagai bentuk perlawanan terhadap kondisi yang mengakibatkan manusia yang tertindas menjadi

manusia yang kehilangan nilai-nilai kemanusiaannya atau dehumanisasi di era post-kolonialisme.

Pendidikan yang digagasnya adalah untuk membangun kesadaran kritis dengan menandai dan memaknai keseharian mereka (baca: orang tertindas)

(3)

proses. Waktu adalah bagian kesepakatan dari peserta itu sendiri. Modul “Anak Membuat Komik” ini terbagi menjadi 9 (sembilan) tahapan, di mana tahapan demi tahapan adalah proses yang saling berkait. Dari pengalaman “Anak Membuat Komik” di Bantar Gebang pada bulan Juni 2004 membutuhkan 3x pertemuan, di mana 1x pertemuan membutuhkan waktu sekitar 4 jam. Dengan kata lain, waktu total yang dibutuhkan sekitar 12-15 jam.

Tahapan “Anak Membuat Komik” adalah sebagai berikut:

01. BERCERITA TENTANG DIRI SENDIRI 02. BERCERITA TENTANG KESEHARIAN 03. MEMBUAT STRUKTUR CERITA 04. PENGENALAN KOMIK

05. PEMBONGKARAN-PENSTRUKTURAN 06. MENYUSUN GAMBAR

07. MEMBUAT NARASI 08. PRESENTASI

09. PENDOKUMENTASIAN 10. REFLEKSI

Satu hal yang menjadi kunci dalam mengartikulasikan modul

“Anak Membuat Komik” ini adalah: (1) “Mencoba dan Mengalami” serta (2) “Refleksi”. Kedua hal tersebut harus dilakukan dengan berulang-ulang dan terus menerus sebagai pengejawantahan “Dari Natur Menjadi Kultur”.

¸

MODAL KECIL…

TAPI KEUNTUNGAN SANGAT BESAR

AYAHKU KERJA KERAS DARI PAGI SAMPAI HAMPIR MALAM… TETAPI.... KAMI TETAP SAJA MISKIN.

s

(4)

01 BERCERITA TENTANG DIRI SENDIRI Judul “Gambar Diri”

Bahan/Alat Kertas HVS ukuran A4, spidol, selotip kertas.

Prosedur Fasilitator membuka acara dengan mengajak peserta semua untuk berkenalan. Cara untuk berkenalan adalah dengan membuat “Gambar Diri”. Fasilitator memberi contoh dengan membuat gambar diri fasilitator pada kertas HVS A4 dengan menggunakan spidol.

Cara membuat gambar diri adalah: (1) Gambarkan diri peserta pada tengah kertas. Gambar diharapkan dibuat agak besar atau jangan terlalu kecil; (2) Tuliskan nama dan keterangan yang lain, mis: rumah, hobi, dll di bawah “Gambar Diri”; (3) Gambarkan apa saja yang dilakukan peserta dalam keseharian.

Gambar keseharian digambarkan pada bidang yang tersisa di sekitar “Gambar Diri”.

Fasilitator menanyakan kepada peserta apakah masih ada yang masih bingung atau ingin ditanyakan. Apabila ada pertanyaan, fasilitator tidak harus menjawab langsung, tetapi ditawarkan kepada peserta yang lain untuk memberikan jawaban atau penyelesaian. Usulan penyelesaian yang beragam sebaiknya didaftar, dan fasilitator meminta kepada semua peserta untuk membuat kesepakatan bersama dan menentukan pilihan yang tepat bagi semua peserta. Setelah peserta paham, fasilitator membagikan kertas HVS A4 dan spidol kepada peserta. Masing- masing peserta mendapat 1 (satu) lembar kertas dan 1 (satu) buah spidol. Fasilitator kemudian mempersilahkan pada semua peserta untuk memulai membuat “Gambar Diri”.

g

l -

PAIJO alias DAPIT BÉKAM ANAK CILINCING

Setelah semua peserta selesai membuat “Gambar Diri”, fasilitator mengajak kepada masing-masing peserta untuk memperkenalkan diri dengan mengunakan “Gambar Diri”.

Caranya adalah: peserta maju sambil membawa kertas

“Gambar Diri”. Kemudian peserta menceritakan dirinya sesuai dengan apa yang digambarkan pada kertas. Fasilitator mempersilahkan peserta untuk maju tanpa harus menunjuk, tetapi mempersilahkan peserta yang sudah siap untuk maju dan memperkenalkan diri. “Gambar Diri” dari peserta yang sudah maju memperkenalkan diri, kemudian ditempel di dinding agar semua orang bisa melihat.

Setelah semua peserta memperkenalkan diri, fasilitator mengajak semua peserta untuk refleksi. Fasilitator memberikan kesempatan untuk berpendapat tentang “Gambar Diri” dan proses pembuatannya. Semua pendapat dari peserta kemudian dirangkum oleh fasilitator.

Sebelum melanjutkan ke sesi berikutnya, fasilitator memberi kesempatan kepada peserta untuk berkomentar, bertanya atau mengusulkan sesuatu.

“Namaku Paijo. Tapi aku sering dipanggil Dapit…

Dapit Békam. Soalnya aku kalo’ maén bola kayak Dapit Békam, hehehe… Katanya…

Aku sekarang tinggal di Cilincing, RT 05. Setiap hari aku pergi ke laut.

Berenang dan cari ikan.

Aku nggak sekolah. Ikan sebagian dijual, yang sebagian lagi digoreng ama Enyak…

Aku tinggal ama Enyak ama adik dua… Babé udah meninggal. Enyak kerja di pasar.

Refleksi Gambar Diri:

(1) semua orang bisa menggambar; (2) gambar tidak sama dengan lukisan;

(3) gambar tidak harus bagus dan indah, yang terpenting bisa dipahami;

(4) gambar dibuat untuk memberikan informasi ke orang lain; (5) tulisan biasa digunakan untuk memperjelas gambar; (6) gambar tidak bisa bercerita sendiri & dituturkan secara lisan.

(5)

02 BERCERITA TENTANG KESEHARIAN Judul “Cerita Bersama”

Bahan/Alat Kertas plano, spidol, selotip kertas

Prosedur Fasilitator membuka sesi ini dengan memberikan gambaran singkat tentang “Cerita Keseharian”. Gambaran tersebut diambilkan dari “cerita-cerita” yang muncul dari kertas

“Gambar Diri” dan tuturan lisan dari masing-masing peserta.

Dari beragam cerita-cerita tentang keseharian tersebut, fasilitator mengajak peserta untuk membuat cerita tentang keseharian anak di komunitas tersebut.

Fasilitator membagi peserta dalam kelompok-kelompok kecil, sekitar 5-6 orang untuk setiap kelompok. Dalam membuat kelompok ini, fasilitator harus menawarkan kepada peserta bagaimana caranya untuk membagi peserta menjadi kelompok- kelompok kecil. Saat kelompok terbentuk, fasilitator harus mengkonfirmasikan kepada semua peserta tentang komposisi anggota kelompok yang ada pada masing-masing kelompok.

Fasilitator harus mengingatkan keseimbangan komposisi peserta anggota berdasarkan gender dan umur.

Setelah kelompok terbentuk, masing-masing kelompok diminta untuk membuat “cerita bersama” tentang keseharian anak di komunitas tersebut. Peserta bisa menggunakan “Gambar Diri”

yang dimiliki masing-masing anggota kelompok. Masing-masing kelompok diminta menceritakan keseharian anak di komunitas tersebut dengan menggunakan “gambar” dan diperjelas dengan

“tulisan” pada kertas plano. Masing-masing kelompok dibagikan kertas plano dan spidol seperlunya. Setiap kelompok diminta membuat 1 (satu) “cerita bersama” pada 1 (satu) lembar kertas planp. Apabila kertas plano yang ada dianggap masih terlalu kecil, kertas plano yang bisa disambung-sambung dengan menggunakan selotip kertas.

Setelah masing-masing kelompok selesai membuat “cerita bersama” tentang keseharian anak di komunitas tersebut, fasilitator mempersilahkan kelompok yang sudah siap untuk menceritakan hasilnya kepada semua peserta. Dalam menceritakan hasil kerja kelompok, masing-masing anggota kelompok harus berperan aktif. Setelah kelompok yang maju selesai mempresentasikan; fasilitator mempersilahkan peserta yang lain untuk bertanya, menambahi, mengurangi atau memberi masukan kepada kelompok yang presentasi tersebut.

Setelah semua kelompok presentasi, fasilitator mengajak semua peserta untuk refleksi bersama. Fasilitator memberikan kesempatan untuk berpendapat tentang “Cerita Bersama”

tentang keseharian anak di komunitas tersebut dan proses pembuatannya. Semua pendapat dari peserta kemudian dirangkum oleh fasilitator.

Sebelum melanjutkan ke sesi berikutnya, fasilitator memberi kesempatan kepada peserta untuk berkomentar, bertanya atau mengusulkan sesuatu.

Memori kolektif diceritakan kembali secara tidak-terstruktur menjadi “cerita bersama”

Dalam Cerita Bersama Di tempat ini… anak itu… bla bla… bla bla

bla…..

Anak ini… bla bla

mulai teridentifikasi para aktor, kejadian, tempat, waktu, serta hal lain.

Menceritakan kembali pengalaman yang pernah dialami anak dalam kesehariannya adalah langkah awal dan utama dalam proses pembuatan komik. Menceritakan kembali adalah strategi pembongkaran memori anak tentang peristiwa, kejadian atau pengalaman yang pernah terjadi.

Pengalaman tentang realitas keseharian tersebut diungkapkan kembali dengan menggunakan “kata-kata”.

(6)

03 MEMBUAT STRUKTUR CERITA Judul “Naskah Cerita”

Bahan/Alat lembar “Cerita Bersama”, kertas HVS A4, spidol

Prosedur Fasilitator membuka sesi dengan memberikan gambaran singkat tentang kegiatan yang akan dilakukan, yaitu membuat :Naskah Cerita”. Fasilitator mengajak peserta untuk kembali ke kelompok masing-masing seperti pada proses “Cerita Bersama”. Masing-masing kelompok diminta untuk menuliskan

“suatu cerita” berdasar atas informasi yang ada pada cerita bersama. Masing-masing kelompok diminta untuk menentukan tokoh utama. Tokoh utama tersebut berinteraksi dengan tokoh- tokoh yang lain; dan kemudian mengalami kejadian demi kejadian berdasarkan urutan waktu, dari pagi sampai pagi lagi.

Masing-masing diminta untuk membuat deskripsi tentang tempat di mana kejadian-kejadian terjadi. Cerita tersebut dituliskan pada kertas HVS A4. Fasilitator mengingatkan kepada semua peserta agar tidak terlalu “takut” dengan kata- kata yang akan dituliskan. Apa yang ingin diungkapkan sebaiknya langsung saja dituliskan. Fasilitator mengingatkan pada masing-masing kelompok untuk memilih dan menentukan judul bagi naskah cerita ini.

Setelah masing-masing kelompok selesai membuat “Naskah Cerita”, fasilitator mempersilahkan kelompok yang sudah siap untuk menceritakan hasilnya kepada semua peserta. Setelah kelompok yang maju selesai mempresentasikan; fasilitator mempersilahkan peserta yang lain untuk bertanya, menambahi, mengurangi atau memberi masukan kepada kelompok yang presentasi tersebut. Kelompok yang presentasi harus menuliskan masukan dari para peserta yang lain.

Setelah semua kelompok presentasi, fasilitator mengajak semua peserta untuk melakukan refleksi bersama. Fasilitator memberikan kesempatan untuk berpendapat tentang “Naskah Cerita” dan proses pembuatannya. Semua pendapat dari peserta kemudian dirangkum oleh fasilitator.

Sebelum melanjutkan ke sesi berikutnya, fasilitator memberi kesempatan kepada peserta untuk berkomentar, bertanya atau mengusulkan sesuatu.

Naskah Cerita berfungsi sebagai “pemandu”

sebelum dipindahkan dalam format komik.

Naskah Cerita lebih menekankan pada alur skematik. Naskah di sini bukan menjadi tujuan;

artinya aturan penulisan baku bukan menjadi kendala bagi anak

Kata-kata bukanlah suatu hafalan atau respon mekanis tanpa ada kesadaran. Kata-kata yang merupakan hafalan adalah gambaran adanya keterbelengguan dalam realitas sosial. Anak harus dibebaskan mengunakan kata-katanya sendiri -dan dengan menggunakan

“logika”-nya sendiri- agar realitas pada diri anak bisa dimunculkan.

(7)

04 PENGENALAN KOMIK Judul “Apa Itu Komik”

Bahan/Alat Kertas HVS A4, spidol

Prosedur Fasilitator membuka sesi dengan mejelaskan secara singkat kegiatan yang akan dilakukan, yaitu pengenalan tentang komik. Kemudian fasilitator menjelaskan bagaimana penyiapan bahan, yaitu: kertas HVS A4 dibagi dan dipotong menjadi empat.

Fasilitator kemudian membuat suatu gambar pada kertas 1 (posisi kertas landscape atau “tidur”) dan ditunjukkan kepada semua peserta. Kemudian fasilitator meminta 3 (tiga) orang peserta yang bersedia menjadi relawan. Relawan pertama diminta untuk membuat gambar 2 sebagai kelanjutan dari ganbar 1 yang buat oleh fasilitator. Kemudian, relawan 2 diminta untuk membuat gambar 3 sebagai kelanjutan dari gambar 1 dan 2. Relawan 3 diminta untuk membuat gambar 4 sebagi kelanjutan dari gambar 1, 2 dan 3.

Fasilitator kemudian menyusun gambar 1, 2, 3 dan 4 secara berturutan. Semua peserta diminta pendapatnya tentang makna, pesan atau cerita yang ada pada gambar-gambar tersebut. Setelah semua peserta berpendapat; kemudian fasilitator mengajak semua peserta untuk merumuskan definisi komik. Dari definisi tersebut, fasilitator kemudian menekankan aspek-aspek komik.

Setelah semua peserta sepakat dengan definisi dan aspek- aspek komik yang dirumuskan bersama, fasilitator kemudian mengajak peserta untuk “Memecah Gambar”. Fasilitator mengambil salah satu gambar –yang di dalamnya terdapat banyak elemen- dan memecahnya menjadi beberapa gambar.

Caranya: gambar tersebut dianalisa dengan menguraikan aspek-aspek imajinasi yang ada dalam gambar tersebut.

Aspek-aspek yang ditemukan tersebut kemudian diterjemahkan dalam gambar yang kemudian gambar-gambar dari uraian aspek-aspek imajinasi tersebut disusun berturutan.

Sebelum melanjutkan ke sesi berikutnya, fasilitator memberi kesempatan kepada peserta untuk berkomentar, bertanya atau mengusulkan sesuatu.

POSISI “LANDSCAPE”

atau

POSISI TIDUR POSISI “PORTRAIT”

atau POSISI BERDIRI KERTAS HVS A4

DIBAGI MENJADI 4 (EMPAT BAGIAN)

SKETSA-IKONIK Gambar cukup berupa coretan-coretan sederhana

Yang penting, orang tahu maksudnya….

SELAMAT..

ULANG TAHUN…

KAMI UCAPKAN…

Selamat Ulang Taun..

Kami ‘ Ucapkan…‘

ILUSTRASI-KARTUN Setelah itu, sketsa-ikonik diperbaiki oleh juru gambar

menjadi gambar kartun yang mirip wujud dengan

sesungguhnya Definisi Komik adalah:

“gambar dan tulisan dalam suatu bingkai yang terangkai berturutan menjadi sebuah cerita yang mempunyai pesan ataupun makna bagi si pembacanya.”

Aspek-aspek yang ada dalam komik adalah:

(1) gambar dan tulisan;

(2) bingkai atau frame;

(3) sequential atau berturutan;

(4) cerita yang mempunyai pesan atau makna.

(8)

05 PEMBONGKARAN-PENSTRUKTURAN Judul “Bongkar Naskah” dan “Memecah Gambar”

Bahan/Alat naskah cerita, kertas HVS A4, spidol, cutter/gunting

Prosedur Fasilitator membuka sesi ini dengan menjelaskan dengan singkat kegiatan yang akan dilakukan yaitu mempraktekkan membuat komik dengan cara “Bongkar Naskah” dan “Memecah Gambar”. Fasilitator kemudian meminta semua peserta untuk kembali ke kelompok masing-masing. Masing-masing kelompok diminta untuk meyiapkan bahan-bahan terlebih dahulu, yaitu:

(1) naskah cerita; (2) kertas HVS A4 yang dibagi dan dipotong menjadi 4 (empat) bagian; (3) spidol.

Masing-masing kelompok diminta untuk membaca naskah cerita, kemudian melihat aspek-aspek yang ada dalam bentuk perubahan subyek ke subyek, tempat ke tempat, adegan ke adegan atu waktu ke waktu. Aspek-aspek tersebut kemudian diterjemahkan dalam bentuk gambar. Gambar tersebut digambarkan dalam kertas dengan menggunakan spidol.

Fasilitator mengingatkan peserta untuk sering berdiskusi baik dalam menguraikan aspek-aspek imajinasi cerita dalam naskah cerita dan menterjemahkan ke dalam bentuk gambar.

Fasilitator kemudian meminta masing-masing kelompok untuk melihat kembali gambar-gambar yang sudah dibuat dan mendiskusikan gambar-gambar yang akan “dipecah”.

Setelah semua kelompok selesai melakukan “Bongkar Naskah”

dan “Memecah Gambar”, fasilitator memberi kesempatan kepada peserta untuk berkomentar, bertanya atau mengusulkan sesuatu, sebelum masuk dalam sesi berikutnya.

SELAMAT..

ULANG TAHUN…

KAMI UCAPKAN…

ASPEK IMAJINASI PADA GAMBAR:

ƒ RIANG GEMBIRA

ƒ PESTA ULANG TAHUN

ƒ HIDANGAN MAKANAN

ƒ MUSIK

ƒ LAGU

ƒ TRUMPET

ASPEK HIDANGAN ASPEK MUSIK

ASPEK MUSIK

HOREE..

!!!!

ASPEK RIANG GEMBIRA ASPEK KADO ASPEK TRUMPET

ASPEK LAGU

(9)

06 MENYUSUN GAMBAR Judul “Main Gaplé”

Bahan/Alat naskah cerita, kartu “gaplé”, kertas HVS A4, spidol, cutter/gunting

Prosedur Fasilitator membuka sesi ini dengan menjelaskan dengan singkat kegiatan yang akan dilakukan yaitu menyusun gambar dengan perumpamaan permainan kartu “gaplé”. Setelah coba praktek bermain kartu “gaplé”, fasilitator mengajak peserta untuk merefleksikan permainan “gaplé”. Dari refleksi tersebut fasilitator mengajak masing-masing kelompok untuk

“menerapkannya” dengan menggunakan gambar sebagai

“kartu”. Fasilitator juga mengingatkan bahwa apabila gambar yang “dimainkan” tidak bisa berhubungan maka harus dibuatkan gambar lain akan rangkaiannya bisa “nyambung”.

Fasilitator mengingatkan kepada masing-masing anggota kelompok untuk saling berdiskusi agar rangkaian gambar- gambar tersebut saling berhubungan. Fasilitator juga harus mengingatkan kepada masing-masing kelompok untuk menggunakan atau melihat naskah cerita sebagai pemandu dalam menyusun rangkaian gambar. Setelah semua kelompok selesai menyusun “kartu gaplé”, fasilitator memberi kesempatan kepada peserta untuk berkomentar, bertanya atau mengusulkan sesuatu, sebelum masuk dalam sesi berikutnya.

SELAMAAAT….

HOREE..

!!!!

KAMI UCAPKAAAN…

ULANG TAHUUN…

Aspek sequential-pictures atau gambar berturutan akan timbul konsekuensi yaitu: bingkai (yang berisikan gambar dan tulisan) harus berjumlah lebih dari satu.

Konsekuensi lain dari bingkai yang berurutan adalah jeda atau sela antar bingkai. Bingkai yang terangkai secara berturutan akan menimbulkan fenomena mengamati bagian per bagian atau frame by frame, tetapi sekaligus juga memandangnya sebagai suatu kesatuan yang menyeluruh.

Fenomena tersebut disebut sebagai closure.

(10)

07 MEMBUAT NARASI Judul “Narasi Komik”

Bahan/Alat gambar-gambar (komik), kertas HVS A4, spidol, cutter/gunting, lem/selotip kertas

Prosedur Fasilitator membuka sesi ini dengan menjelaskan dengan singkat kegiatan yang akan dilakukan yaitu membuat “Narasi Komik”. Fasilitator menanyakan kepada semua peserta: (1) apakah cerita dalam komik yang dibuat bisa dipahami peserta?

(2) andaikan orang lain membaca komik yang dibuat ini langsung bisa memahami cerita yang ada di dalamnya? Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, fasilitator mengembangkan materi untuk masuk ke dalam pembahasan “Narasi Komik”.

Langkah pertama adalah membuat kotak narasi atau monologue-interior box; dengan cara yaitu: masing-masing kelompok diminta untuk membagi kertas menjadi 4 (empat).

Kertas ¼ kuarto (A4) ini kemudian dibagi menjadi 2 (dua) bagian memanjang. Kertas kecil ini kemudian dibagi menjadi 4 bagian memanjang; di mana ¼ bagian atas akan ditempelkan pada bingkai-gambar atau picture-frame, dan ¾ bagian lain menjadi kotak-narasi atau monologue-interior box yaitu kotak untuk menuliskan narasi.

Masing-masing kelompok diminta untuk menambahkan masing- masing frame gambar dengan narasi dengan menuliskannya dalam kotak-narasi. Penambahan narasi ini dipakai untuk memperjelas cerita yang digambarkan pada frame tersebut.

Kotak-narasi tersebut kemudian ditempelkan pada bingkai- gambar.

Fasilitator mengingatkan kepada masing-masing anggota kelompok untuk saling berdiskusi agar rangkaian gambar dan narasi tersebut saling berhubungan. Fasilitator juga harus mengingatkan kepada masing-masing kelompok untuk menggunakan atau melihat naskah cerita sebagai pemandu dalam memasukkan narasi ke gambar. Di akhir pembuatan, masing-masing kelompok diminta menuliskan nomer dari frame-awal sampai frame-akhir. Setelah semua kelompok selesai membuat “Narasi Komik”, fasilitator memberi kesempatan kepada peserta untuk berkomentar, bertanya atau mengusulkan sesuatu, sebelum masuk dalam sesi berikutnya.

TEMPAT MENEMPEL

KOTAK-NARASI

¼ kuarto

AKU TERTEGUN KETIKA MASUK RUANGAN SELAMAAAT….

HOREE..

!!!!

KAMI UCAPKAAAN…

ULANG TAHUUN…

…SEMUA ORANG BERNYANYI DAN BERTERIAK

(11)

08 PRESENTASI Judul “Ini Komik Kami”

Bahan/Alat Komik

Prosedur Fasilitator membuka sesi ini dengan menjelaskan dengan singkat kegiatan yang akan dilakukan yaitu masing-masing kelompok mempresentasikan komik yang dibuat. Fasilitator mempersilahkan masing-masing kelompok untuk meletakkan komik yang sudah dibuat di lantai. Komik atau gambar-gambar itu disusun secara berturutan sesuai dengan nomer yang sudah dicantumkan per frame. Setelah semua kelompok sudah

“memajang” komik masing-masing, fasilitator mempersilahkan kelompok yang sudah untuk mempresentasikannya. Peserta yang lain diminta untuk mengelilingi komik yang akan dipresentasikan.

Fasilitator mempersilahkan peserta yang lain untuk memberi komentar terhadap komik yang dipresentasikan tersebut.

Komentar-komentar tersebut kemudian dituliskan pada kertas HVS A4 oleh kelompok yang presentasi. Setelah semua kelompok selesai mempresentasikan komik masing-masing, fasilitator memberi kesempatan kepada peserta untuk berkomentar, bertanya atau mengusulkan sesuatu, sebelum masuk dalam sesi berikutnya.

HADIRILAH ACARA KAMI INI…

PRESENTASI

KOMIK !!! CERITA

TENTANG JUDI TOGÉL

(12)

09 PENDOKUMENTASIAN Judul “Buku Komik”

Bahan/Alat Kertas HVS A4, lem kertas, stepler/klip/penjepit kertas

Prosedur Fasilitator membuka sesi ini dengan menjelaskan dengan singkat kegiatan yang akan dilakukan yaitu menyusun komik ke dalam format buku. Satu hal yang harus ditanyakan kepada peserta adalah kenyamanan dan “keamanan” apabila komik ini masih dalam bentuk lembaran-lembaran lepas. Fasilitator mengajak peserta untuk menempelkan “lembaran-lembaran komik” pada kertas HVS A4. lem kertas yang dipakai sebaiknya adalah lem yang kental/pekat, karena apabila menggunakan lem cair akan membuat membuat kertas menjadi basah dan mengakibatkan spidol luntur. Lembaran komik tersebut ditempelkan sesuai dengan urutan nomer. Setiap lembar kertas HVS A4 akan berisi 2 (dua) lembar komik. Setelah semua lembar komik ditempelkan pada kertas, masing-masing kelompok diminta menuliskan; (1) judul komik dan (2) nama anggota kelompok. Fasilitator kemudian meminta masing- masing kelompok untuk menyusun semua materi yang sudah dibuat oleh masing-masing kelompok; yaitu dengan urutan sebagai berikut: (1) lembar judul dan nama anggota kelompok;

(2) naskah cerita; (3) lembar-lembar komik sesuai dengan urutan nomer; (4) lembar gambar diri masing-masing anggota;

(5) masukan dan komentar dari kelompok lain. Setelah semua disusun, lembaran-lembaran tersebut kemudian dijilid dengan menggunakan stepler/klip/penjepit kertas menjadi sebuah

“Buku Komik”.

Sebelum menutup sesi ini, fasilitator memberi kesempatan kepada semua peserta untuk berkomentar, bertanya atau mengusulkan sesuatu, sebelum masuk dalam sesi berikutnya.

LEMBAR JUDUL NAMA ANGGOTA

LEMBAR KOMIK

GAMBAR DIRI ANGGOTA NASKAH CERITA

MASUKAN KOMENTAR

+

+

+

+ =

(13)

10 REFLEKSI

Judul “Kami Bisa Membuat Komik”

Bahan/Alat Buku Komik, kertas plano, metaplan, selotip kertas, spidol.

Prosedur Sesi terakhir ini adalah refleksi. Fasilitator menanyakan kepada semua peserta proses dan hasil dari kegiatan yang sudah dilakukan. Fasilitator juga menanyakan perasaan peserta setelah bisa membuat komik sendiri. Pendapat atau komentar dari peserta bisa dituliskan dalam kertas metaplan dan ditempel di dinding.

Dalam sesi ini fasilitator memberi kesempatan kepada peserta untuk mendiskusikan tindak lanjut untuk pembuatan komik yang berikutnya. Apabila peserta sepakat untuk membuat komik lagi, maka diskusi akan lebih ditekankan pada “tema- tema” yang akan diangkat; selain kesepakatan yang bersifat teknis seperti: tempat dan waktu. Fasilitator juga memberi kesempatan kepada semua peserta untuk untuk berkomentar, bertanya atau mengusulkan sesuatu.

Setelah kesepakatan-kesepakatan dibuat, fasilitator menutup sesi sekaligus kegiatan “Anak Membuat Komik” ini.

BESOK AKU MAU BUAT KOMIK HEBOH TENTANG KAKEK….HIHIHI.

á

Ø V

V

(14)

LAMP. MATERI ACUAN

Coulon, Alain; “Etnometodelogi” (terjemahan), KKSK Jakarta – Yayasan Lengge Mataram, 2004

Freire, Paulo; “Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan”

(terjemahan), Pustaka Pelajar – READ, 2002

Hope, Anne and Timmel, Sally; “Training for Transformation: A Handbook for Community Workers”, Intermediate Technology Publications, 1984

Kelompok Anak Bantar Gebang; “Kumpulan Komik Anak Bantar Gebang”, Kelopak Indonesia, 2004

McCloud, Scott; “Memahami Komik” (terjemahan), Kepustakaan Populer Gramendia, 2001

Raharjo, Toto, et, al (ed); “Pendidikan Popular: Membangun Kesadaran Kritis”, PACT Indonesia – INSIST Press, 2001

Riantiarno, N; “Menyentuh Teater: Tanya Jawab Seputar teater Kita”, Penerbit MU:3 Books, 2003

Sacco, Joe; “Palestina: Duka Orang-orang Terusir” (terjemahan), DAR! Mizan, 2003 Smith, David and Evans, Phil; “Das Kapital: Untuk Pemula” (terjemahan), INSIST Press, 2002

Sobur, Alex; “Semiotika Komunikasi”, Penerbit PT Roosdakarya Bandung, 2003 Soeratman, et, al (ed); “Karja Ki Hadjar Dewantara, Bagian Pertama: Pendidikan”, Madjelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1962

Suversi Komik Vol. 1; “Kenalkan, Namaku: Orang Miskin!”, Subversi Komik, 2004 Tan, Jo Hann and Miladdo, Carmela; “POP!: A Training Manual for Community- Organizer Facilitator”, SEA-PCP, 1997

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan Penetapan Hasil Kualifikasi oleh Panitia Pengadaan Jasa Konsultansi pada Bidang Sumber Daya Air Dinas Pekerjaan Umum Kab.. HST, Nomor : 07/D.36/OAP/PPBJ-SDA/JK/DPU/2013

[r]

Untuk rata- rata penggunaan air minum setelah kenaikan tarif PDAM yang tertinggi dari sampel Desa/Kelurahan Kecamatan Denpasar Selatan adalah pada Kelurahan/Desa

Bahan yang diperlukan untuk melakukan penelitian yaitu soal-soal jaringan komputer dari sumber yang terpercaya yang telah divalidasi dan dilakukan scoring oleh

Implikasi penelitian ialah diharapkan agar bisa lebih menjaga hubungan tali persaudaraan atau meningkatkan hubungan harmonis agar kedepannya tidak ada lagi

Staf pengajar Program Studi Ilmu Keperawatan S1 Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Purwokerto yang telah memberikan bekal ilmu, sehingga penulis dapat

menggunakan metode pengukuran rata- rata titik tengah untuk penentuan posisi pada jarak 1 meter antara titik pusat pertama dengan titik pusat kedua yang digeser

andil yang cukup besar dalam menentukan keberhasilan siswa, begitu juga dengan minat siswa itusendiri, karena dengan adanya minat seseorang dalam melakukan