HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Pedagang, Tempat Penjualan, dan Penanganan Telur
Data kuesioner mencakup pendidikan pedagang, lama waktu, jenis pemasok, lama waktu telur di tempat penjualan, cara penanganan telur, dan penyuluhan tentang penanganan telur. Hasil kuesioner menunjukkan bahwa tingkat pendidikan para pedagang telur di pasar-pasar Provinsi Jawa Barat sangat beragam mulai dari tidak sekolah (3.5%), SD sederajat (31%), SMP sederajat (31%), SMA sederajat (31%) dan Perguruan tinggi (3.5%). Tingkat pendidikan para pedagang telur ini dapat mempengaruhi pola pikir dan pengetahuan tentang pelaksanaan higiene dan sanitasi yang baik pada telur.
Menurut hasil kuesioner sebesar (77%) pemasok telur di pasar tradisional di Provinsi Jawa Barat adalah pemasok tetap. Di pasar tradisional Kabupaten Bogor dan Purwakarta semua pedagang telur menerima pasokan telur dari pemasok tetap (100%), sedangkan beberapa pedagang di pasar Kabupaten Cianjur, Indramayu, dan Kota Cirebon masih menerima dari pemasok tidak tetap (20-40%). Upaya pelaksanaan kontrol pada telur yang dijual di pasar-pasar tradisional sangat dipengaruhi oleh pasokan telur dari pemasok tetap. Lama waktu penjualan telur di setiap kios di kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat berbeda-beda. Rata-rata waktu terlama telur habis terjual terdapat pada Kabupaten Bogor dengan waktu 9.6 hari dan rata-rata waktu tercepat telur habis terjual terdapat pada Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Purwakarta dengan masing-masing waktu 1 hari (Tabel 6).
Tabel 6 Pengamatan lama waktu penjualan telur di pasar tradisional kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat
Kabupaten/Kota Rata-rata lama telur habis terjual (hari)
Terlama Tercepat Rata-rata
Kabupaten Cianjur 2.4 1 1.2
Kabupaten Indramayu 2.8 1.6 1.8
Kabupaten Bogor 9.6 4.2 7.6
Kota Cirebon 2.6 1.2 1.8
Penanganan telur yang dilakukan oleh para pedagang di pasar tradisional di Provinsi Jawa Barat tidak menyimpan telur dengan pendinginan. Semua pedagang telur (100%) menyimpan telur pada suhu kamar. Lamanya penyimpanan dapat menjadi faktor pemicu terjadinya kontaminasi pada telur. Menurut Standar Nasional Indonesia [SNI 3926:2008] tentang Telur Ayam Konsumsi, telur ayam paling lama disimpan pada suhu kamar maksimal 14 hari, dengan kelembaban antara 80-90%. Penyuluhan tentang penanganan telur yang baik adalah solusi yang dapat meningkatkan pengetahuan para pedagang telur di pasar tradisional. Menurut hasil dari kuesioner hanya 2 dari 35 pedagang telur yang pernah menerima penyuluhan yaitu pedagang di Kabupaten Bogor.
Jumlah Total Mikroorganisme pada Telur Ayam dan Bebek
Pemeriksaan yang dilakukan terhadap 25 sampel telur ayam dan 10 sampel telur bebek adalah pemeriksaan jumlah total mikroorganisme. Hasil yang diperoleh untuk rataan jumlah total mikroorganisme telur ayam di Provinsi Jawa Barat adalah 1.3 x 105 cfu/ml dengan nilai maksimum 6.8 x 105 cfu/ml di Kota Cirebon dan nilai minimum sebesar 1.2 x 101 cfu/ml di Kabupaten Cianjur. Hasil yang diperoleh untuk rataan pada jumlah total mikroorganisme telur bebek di Provinsi Jawa Barat adalah 1.4 x 104 cfu/ml dengan nilai 2.8 x 104 cfu/ml untuk Kota Cirebon dan 1.2 x 103 cfu/ml untuk Kabupaten Indramayu. Hasil rataan jumlah total mikroorganisme pada telur ayam dan telur bebek yang dijual di pasar-pasar tradisional di Provinsi Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 7 dan Tabel 8.
Tabel 7 Pemeriksaan jumlah total mikroorganisme pada telur ayam di Provinsi Jawa Barat
No. Kabupaten/Kota Telur Ayam
(cfu/ml) 1 Kabupaten Purwakarta 1.2 x 102 2 Kabupaten Bogor 2.0 x 101 3 Kabupaten Cianjur 1.2 x 101 4 Kota Cirebon 6.8 x 105 5 Kabupaten Indramayu 2.9 x 102
Tabel 8 Pemeriksaan jumlah total mikroorganisme pada telur bebek di Provinsi Jawa Barat
No. Kabupaten/Kota Telur Bebek
(cfu/ml)
1 Kota Cirebon 2.8 x 104
2 Kabupaten Indramayu 1.2 x 103
Berdasarkan hasil di atas, terlihat bahwa jumlah total mikroorganisme di setiap kabupaten/kota berbeda-beda. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor misalnya :
1. Perbedaan kondisi sanitasi peternakan yang merupakan sumber telur ayam maupun bebek.
2. Perbedaan kondisi sanitasi pasar tradisional di setiap kabupaten/kota di Jawa Barat.
3. Perbedaan penerapan higiene personal dari setiap pedagang telur ayam maupun bebek.
Jumlah total mikroorganisme pada telur ayam dan bebek di beberapa kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat setelah dibandingkan dengan
syarat mutu mikrobiologis (SNI 3926:2008 tentang Telur Ayam Konsumsi) pada Tabel 9, ternyata ditemukan 1 dari 25 sampel telur ayam (4%) melebihi dari yang ditetapkan oleh SNI yaitu telur ayam yang berasal dari kota Cirebon sebesar 3.4 x 106 cfu/ml (Tabel 10) dan ditemukan 1 dari 10 sampel telur bebek (10%) yang jumlah total mikroorganismenya melebihi dari yang ditetapkan oleh SNI yaitu telur bebek yang berasal dari Kota Cirebon sebesar 1.2 x 105 cfu/ml (Tabel 11).
Tabel 9 Persyaratan mutu mikrobiologis isi telur ayam konsumsi (SNI 3926:2008)
No. Jenis Uji Satuan Persyaratan
1 Total Plate Count cfu/ml Maksimum 1x105
2 Coliform cfu/ml Maksimum 1x102
3 Staphylococcus aureus cfu/ml Maksimum 1x102
4 Salmonella sp. Per 25 cfu/ml Negatif
Tabel 10 Jumlah total mikroorganisme pada setiap sampel telur ayam di 5 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat
Kabupaten/Kota Telur Ayam (butir ke-)
1 2 3 4 5 cfu/ml Kabupaten Cianjur 20 10 10 10 10 Kabupaten Indramayu 40 300 1 000 100 10 Kabupaten Bogor 10 10 10 60 10 Kota Cirebon 100 3 400 000 1 000 10 3 600 Kabupaten Purwakarta 13 15 14 290 310
Tabel 11 Jumlah total mikroorganisme pada setiap sampel telur bebek di 2 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat
Kabupaten/Kota Telur Bebek (butir ke-)
1 2 3 4 5
cfu/ml
Kota Cirebon 22 000 120 000 150 110 100
Kabupaten Indramayu 10 80 10 6 000 100
Tabel 12 Tingkat jumlah total mikroorganisme pada telur ayam dan bebek (%) di Provinsi Jawa Barat
No. Kabupaten/Kota Tidak Sesuai dengan SNI 3926:2008 Telur ayam (butir) Telur bebek (butir) 1. Kabupaten Cianjur 0/5 - 2. Kabupaten Indramayu 0/5 0/5 3. Kabupaten Bogor 0/5 - 4. Kota Cirebon 1/5 1/5 5. Kabupaten Purwakarta 0/5 - 1/25 (4 %) 1/10 (10 %)
Gambaran Pedagang Telur dengan Jumlah Total Mikroorganisme pada Telur yang Dijual
Menurut hasil penelitian terdapat 2 dari 35 sampel telur yang mempunyai jumlah mikroorganisme di atas standar SNI 3926:2008 yaitu sampel telur ayam
dan bebek yang berasal dari Kota Cirebon dengan hasil masing-masing adalah 3.4 x 106 cfu/ml dan 1.2 x 105 cfu/ml. Setelah dikorelasikan dengan data kuesioner, kedua pedagang yang menjual telur tersebut memiliki tingkat pendidikan yang sama yaitu pada tingkat SMP dan salah satu dari pedagang tersebut membeli telur dari pemasok tidak tetap.
Apabila dilihat dari tingkat pendidikan pedagang dengan jumlah mikroorganisme pada telur yang dijualnya, ternyata tingkat pendidikan pedagang tidak berpengaruh terhadap jumlah mikroorganisme pada telur yang dijual. Hal ini dapat dilihat dari jumlah mikroorganisme yang terdapat pada telur yang dijual oleh pedagang yang tidak sekolah dengan pedagang yang memiliki tingkat pendidikan sampai perguruan tinggi. Jumlah mikroorganisme dari telur yang dijual oleh kedua pedagang tersebut masing-masing adalah 1.0 x 101 cfu/ ml dan 6.0 x 101 cfu/ml.
Menurut hasil kuesioner, lama waktu penjualan telur tercepat terdapat di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Purwakarta, sedangkan yang terlama terdapat di Kabupaten Bogor. Jika dibandingkan dengan jumlah total mikroorganismenya ternyata rataan jumlah total mikroorganisme pada daerah tersebut masih di bawah standar SNI 3926:2008. Rataan jumlah total mikroorganisme di Kabupaten Cianjur, Kabupaten Purwakarta, dan Kabupaten Bogor berturut-turut adalah 1.2 x 101 cfu/ml, 1.2 x 102 cfu/ml, dan 2.0 x 101 cfu/ml.
Dilihat dari hasil kuesioner terdapat 2 dari 35 pedagang telur yang sudah mendapatkan penyuluhan tentang penanganan telur yang baik. Kedua pedagang tersebut adalah pedagang telur ayam dari pasar tradisional di Kabupaten Bogor. Jumlah mikroorganisme pada telur yang dijual oleh kedua pedagang tersebut sebesar 1.0 x 101 cfu/ml. Hal ini merupakan hasil jumlah mikroorganisme yang terendah dari hasil penelitian. Penyuluhan terhadap pedagang telur tentang penanganan telur yang baik berarti cukup efektif untuk menekan kontaminasi mikroorganisme selama masa penjualan.