• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

10

Teori utama penelitian ini menggunakan Teori Kontinjensi didukung dengan Teori Pertumbuhan Ekonomi, Desentralisasi Fiskal, dan Akuntabilitas. Dengan didasarkan pada pendekatan kontinjensi maka ada dugaan bahwa terdapat faktor situasional lainnya yang mungkin akan saling berinteraksi di dalam mempengaruhi situasi tertentu. Hakikat teori kontijensi adalah tidak ada satu cara terbaik yang bisa digunakan dalam semua keadaan (situasi) lingkungan.

2.1 Teori Kontinjensi

Pendekatan kontinjensi yang digunakan para peneliti dalam penelitian seperti ini adalah dalam rangka memberikan masukan faktor-faktor yang sebaiknya dipertimbangkan dalam perancangan penelitian. Govindarajan (1986) dalam Sukardi (2002) mengemukakan bahwa untuk menyelesaikan perbedaan dari berbagai hasil penelitian, dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan kontinjensi (contingency approach). Beberapa penelitian dalam akuntansi menggunakan pendekatan kontinjensi

adalah untuk melihat hubungan variabel-variabel konstektual seperti ketidakpastian lingkungan (Otley, 1980). Pendekatan kontijensi pada akuntansi didasarkan pada premis bahwa tidak ada sistem akuntansi secara universal selalu tepat untuk bisa diterapkan pada seluruh organisasi dalam setiap keadaan, tetapi dipenaruhi juga oleh faktor-faktor situasional yang ada dalam organisasi (Hanu, 2006). Adopsi teori kontijensi pada akuntansi muncul sebagai suatu kebutuhan untuk menginterpretasikan hasil riset empiris (Hanu, 2006). Tujuan akhir sebuah organisasi dalam beroperasi

(2)

menurut Teori Kontijensi adalah agar bisa bertahan (survive) dan bisa tumbuh (growth) atau disebut juga keberlangsungan (viability). Teori kontijensi memberi penekanan pada perlunya memfokuskan pada perubahan dengan asumsi tidak ada satu aturan atau hukum yang memberi solusi terbaik untuk setiap waktu, tempat, semua orang atau semua situasi.

2.2 Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi adalah proses dimana terjadi kenaikan produk nasional bruto riil atau pendapatan nasional riil (Cahyono dan Darwanto, 2002). Jadi perekonomian dikatakan tumbuh atau berkembang bila terjadi pertumbuhan output produksi riil. Pertumbuhan ekonomi, merupakan salah satu indikator penting yang dapat digunakan untuk menilai tingkat kemajuan pembangunan suatu daerah. Bahkan teori ekonomi klasik mengisyaratkan bahwa indikator ini merupakan indikator yang paling penting untuk menilai tingkat keberhasilan pembangunan di suatu daerah.

Setiap daerah mempunyai corak pertumbuhan ekonomi yang berbeda dengan daerah lain. Perencanaan pembangunan ekonomi suatu daerah dimulai dari perlunya mengenali karakter ekonomi, sosial dan fisik daerah itu sendiri, termasuk interaksinya dengan daerah lain sehingga tidak ada strategi pembangunan ekonomi daerah yang dapat berlaku untuk semua daerah. Penyusunan strategi pembangunan ekonomi daerah, baik jangka pendek maupun jangka panjang, pemahaman mengenai teori pertumbuhan ekonomi wilayah, yang dirangkum dari kajian terhadap pola-pola pertumbuhan ekonomi dari berbagai wilayah, merupakan satu faktor yang cukup menentukan kualitas rencana pembangunan ekonomi daerah (Cahyono dan Darwanto, 2002). Laju

(3)

pertumbuhan ekonomi merupakan laju pertumbuhan dari tahun ke tahun yang dihitung dengan formula (Sularso dan Restianto, 2011):

Keterangan :

G : Pertumbuhan Ekonomi

PDRBt : Produk Domestik Regional Bruto Tahun t PDRBt−1 : Produk Domestik Regional BrutoTahunt−1

2.3 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Produk domestik regional bruto (PDRB) pada dasarnya merupakan total nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha di suatu unit region dalam periode tertentu (Bappeda dan BPS Provinsi Bali, 2014:13). Untuk menghitung PDRB, terdapat 3 metode perhitungan yang digunakan yaitu:

1) Dari sisi produksi, PDRB merupakan jumlah nilai produk barang-barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh unit-unit produksi di suatu daerah dalam jangka waktu tertentu (biasanya dalam satu tahun). Unit-unit produksi tersebut dikelompokkan menjadi sembilan lapangan usaha yaitu:

(1) Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan (2) Pertambangan dan Penggalian

(3) Industri Pengolahan

(4) Listrik, Gas dan Air Bersih (5) Bangunan

(6) Perdagangan, Hotel dan Restoran (7) Pengangkutan dan Komunikasi G =

PDRBt−1

………. 2.1 PDRBt – PDRBt−1

(4)

(8) Lembaga Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan (9) Jasa-jasa termasuk pelayanan pemerintah

2) Dari segi pendapatan, PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi suatu daerah dalam jangka waktu tertentu (biasanya dalam satu tahun). Balas jasa faktor produksi yang dimaksud adalah upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan. Selain variabel-variabel tersebut, penyusutan, pajak tidak langsung dan subsidi merupakan bagian yang harus diperhitungkan dalam penyusunan PDRB melalui pendekatan pendapatan ini.

3) Dari segi pengeluaran, PDRB merupakan jumlah pengeluaran yang digunakan untuk konsumsi rumah tangga, lembaga sosial yang tidak mencari untung, konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap domestik bruto, perubahan persediaan barang dan ekspor neto merupakan ekspor dikurangi impor.

Secara teoritis agregat PDRB dibedakan menjadi:

1) PDRB atas dasar harga berlaku

PDRB atas dasar harga berlaku diperoleh dari jumlah produksi, nilai pendapatan atau pengeluaran yang dinilai sesuai dengan harga yang berlaku pada tahun yang bersangkutan.

2) PDRB atas dasar harga konstan

PDRB atas dasar harga konstan diperoleh dari jumlah produksi, nilai pendapatan atau pengeluaran yang dinilai sesuai dengan harga yang berlaku pada tahun dasar.

(5)

2.4 Desentralisasi Fiskal

Terminologi desentralisasi ternyata tidak hanya memiliki satu makna. Ia dapat diterjemahkan ke dalam sejumlah arti, tergantung pada konteks penggunaannya. Parson dalam Hidayat (2005) mendefinisikan desentralisasi sebagai berbagi (sharing) kekuasaan pemerintah antara kelompok pemegang kekuasaan di pusat dengan kelompok-kelompok lainnya, di mana masing-masing kelompok tersebut memiliki otoritas untuk mengatur bidang-bidang tertentu dalam lingkup territorial suatu negara.

Sedangkan Mawhood (1987) dengan tegas mengatakan bahwa desentralisasi adalah penyerahan (devolution) kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.

Sementara itu, Smith juga merumuskan definisi desentralisasi sebagai penyerahan kekuasaan dari tingkatan (organisasi) lebih atas ke tingkatan lebih rendah, dalam suatu hierarki teritorial, yang dapat saja berlaku pada organisasi pemerintah dalam suatu negara, maupun pada organisasi-organisasi besar lainnya (organisasi non pemerintah) (Hidayat, 2005).

Di Indonesia, sebagaimana dinyatakan dalam UU Nomor 33 tahun 2004, pengertian desentralisasi dinyatakan sebagai penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (Kuncoro, 2009). Ini artinya desentralisasi merupakan pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab (akan fungsi- fungsi publik) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Desentralisasi sesungguhnya merupakan alat yang dapat digunakan untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang efektif dan partisipatif (Tanzi, 1995). Sebagai suatu alat, desentralisasi dapat digunakan pemerintah untuk mendekatkan diri dengan rakyatnya,

(6)

baik untuk memenuhi tujuan demokratisasi atau demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Secara garis besar, kebijakan desentralisasi dibedakan atas 3 jenis (Litvack, 1999):

1) Desentralisasi politik yaitu pelimpahan kewenangan yang lebih besar kepada daerah yang menyangkut berbagai aspek pengambilan keputusan, termasuk penetapan standar dan berbagai peraturan.

2) Desentralisasi administrasi yaitu merupakan pelimpahan kewenangan, tanggung jawab, dan sumber daya antar berbagai tingkat pemerintahan.

3) Desentralisasi fiskal yaitu merupakan pemberian kewenangan kepada daerah untuk menggali sumber-sumber pendapatan, hak untuk menerima transfer dari pemerintahan yang lebih tinggi, dan menentukan belanja rutin maupun investasi.

Ketiga jenis desentralisasi ini memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya dan merupakan prasyarat untuk mencapai tujuan dilaksanakannya desentralisasi, yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Mardiasmo (2009) menjelaskan bahwa desentralisasi politik merupakan ujung tombak terwujudnya demokratisasi dan peningkatan partisipasi rakyat dalam tataran pemerintahan. Sementara itu, desentralisasi administrasi merupakan instrumen untuk melaksanakan pelayanan kepada masyarakat, dan desentralisasi fiskal memiliki fungsi untuk mewujudkan pelaksanaan desentralisasi politik dan administratif melalui pemberian kewenangan di bidang keuangan.

Secara konseptual, desentralisasi fiskal juga dapat didefinisikan sebagai suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada

(7)

pemerintahan yang lebih rendah untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan yang dilimpahkan (Khusaini, 2006). Dalam pelaksanaannya, konsep desentralisasi fiskal yang dikenal selama ini sebagai money follow function mensyaratkan bahwa pemberian tugas dan kewenangan kepada pemerintah daerah (expenditure assignment) akan diiringi oleh pembagian kewenangan kepada daerah dalam hal penerimaan/pendanaan (revenue assignment). Dengan kata lain, penyerahan atau pelimpahan wewenang pemerintah akan membawa konsekuensi anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Hal ini berarti bahwa hubungan keuangan pusat dan daerah perlu diberikan pengaturan sedemikian rupa sehingga kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawab daerah dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan yang ada (Rahmawati, 2008). Prosesnya dapat dilakukan melalui mekanisme dana perimbangan, yaitu pembagian penerimaan antar tingkatan pemerintahan guna menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan dalam kerangka desentralisasi.

Menurut Halim (2001: 27), ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan otonomi adalah (1) kemampuan keuangan daerah, yang berarti daerah tersebut memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan menggunakan keuangannya sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan; (2) ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, oleh karena itu, PAD harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Kedua ciri tersebut akan mempengaruhi pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Secara konseptual, pola hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah harus sesuai dengan kemampuan daerah dalam membiayai pelaksanaan pemerintahan. Oleh karena itu,

(8)

untuk melihat kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi daerah, salah satunya dapat diukur melalui kinerja keuangan daerah. Menurut Musgrave dan Musgrave (1991: 68) dalam mengukur kinerja keuangan daerah dapat digunakan derajat desentralisasi fiskal antara pemerintah pusat dan daerah, antara lain (Halim dan Damayanti, 2007):

2.5 Akuntabilitas

Akuntabilitas muncul karena adanya kekuasaan yang berupa amanah yang diberikan kepada orang atau pihak tertentu untuk menjalankan tugasnya dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu dengan menggunakan sarana pendukung yang ada. Dari pengertian di atas tersirat bahwa pihak yang menerima amanah harus memberikan informasi mengenai implementasi amanah yang telah dipercayakan kepadanya dengan mengungkapkan segala sesuatu yang dilakukan, dilihat, dirasakan baik yang mencerminkan keberhasilan maupun kegagalan.

Untuk organisasi yang bertujuan laba (profit organization), dalam rangka penilaian kinerja (performance evaluation), konsep dasar akuntabilitas yang menekankan pada controllable dan uncontrollable costs pada tiap bagian dalam organisasi sudah lama digunakan. Implementasi akuntabilitas untuk pengukuran kinerja

Pendapatan Asli Daerah (PAD) Total Penerimaan Daerah (TPD)

……… 2.2

Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak (BHPBP) Total Penerimaan Daerah (TPD)

……… 2.3

Total Pengeluaran Pemerintah Daerah Total Penerimaan Daerah (TPD)

……… 2.4

(9)

pada organisasi nirlaba banyak mengalami kesulitan, terutama dalam upaya penetapan indikator keberhasilan. Dapat dikatakan bahwa akuntabilitas merupakan kewajiban untuk menyajikan dan melaporkan segala tindak tanduk dan segala kegiatan yang dilakukan sesuai dengan mandat/amanah yang diembannya kepada pihak yang lebih tinggi/atasannya. Hal yang dipertanggungjawabkan adalah kinerja (keberhasilan dan kegagalan) yang dicapai organisasi (Mansfield, 1982 and Kearns, 1996).

Akuntabilitas berkenaan dengan kewajiban untuk menjawab (obligation to answer) terhadap amanah dan implementasi amanah/mandat tersebut, Ghartey (1997)

menyebutkan bahwa akuntabilitas dimaksudkan untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan yang berhubungan dengan stewardship-apa, siapa, kepada siapa, milik siapa, yang mana, dan bagaimana. Pertanyaan yang memerlukan jawaban tersebut antara lain, apa yang harus dipertanggungjawabkan, mengapa pertanggungjawaban harus diserahkan, kepada siapa pertanggungjawaban tersebut diserahkan, siapa yang bertanggungjawab terhadap berbagai bagian kegiatan dalam masyarakat, bagaimana proses implementasi amanah, apa hasil yang telah dicapai, dan lain sebagainya. Dalam kaitan dengan birokrasi, akuntabilitas merupakan pertanggungjawaban pada otoritas yang diberikan oleh atasan untuk melaksanakan kebijakan. Akuntabilitas merupakan kewajiban untuk menjelaskan bagaimana realisasi otoritas tersebut.

Pemahaman atas akuntabilitas akan menimbulkan kesadaran bahwa implementasi akuntabilitas akan memberikan kemampuan yang lebih besar bagi organisasi untuk lebih kompetitif dengan pencapaian kinerja secara optimal (Epstein and Birchard, 1999). Akuntabilitas menitikberatkan pada efisiensi dan efektivitas dalam penggunaan dana, harta kekayaan, sumber daya manusia, dan sumber-sumber daya lainnya.

Akuntabilitas ini juga menitikberatkan pada peranan manajer atau pengawas.

(10)

Akuntabilitas pada dasarnya memberikan perhatian kepada pencapaian hasil organisasi.

(Salleh dan Iqbal, 1995).

Mohammad dkk (2004) menyebutkan bahwa akuntabilitas merupakan elemen penting dalam good governance. Good governance dipandang sebagai paradigma baru dalam manajemen pembangunan dan menjadi ciri yang harus ada dalam sistem administrasi publik; yang ada dalam penyelenggaraan-nya harus secara politik akseptabel, secara hukum efektif, dan secara administrasi efisien. Demikian pula dengan good corporate governance, yang merupakan cara dunia usaha melaksanakan praktek bisnis secara sehat, transparan dan akuntabel yang dilandasi oleh integritas para penyelenggaranya.

2.6 Pemeriksaan Keuangan Daerah

Undang-undang No. 15 Tahun 2004 tentang Badan Pemeriksa Keuangan menjelaskan fungsi pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Jadi, proses pemeriksaan dilakukan untuk memastikan keandalan dan akuntabilitas pengelolaan dan pelaporan pengelolaan keuangan daerah.

Audit yang dilakukan oleh BPK berfungsi untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan dan pelaporan keuangan pemerintah.

Pemeriksaan BPK berpedoman pada Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN).

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan pemeriksaan keuangan dengan tujuan untuk memberikan keyakinan yang memadai (reasonable assurance) bahwa laporan

(11)

keuangan telah disajikan secara wajar dalam semua hal yang material sesuai prinsip akuntansi pemerintah (SAP) (Fontanella dan Rossieta, 2014). Berdasarkan Undang- Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan dan Pengelolaan Keuangan Negara, opini audit merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan. Dalam melakukan proses pemeriksaan BPK tidak hanya memberikan opini atas laporan keuangan tersebut, tetapi juga melaporkan hasil pemeriksaan, baik terhadap sistem pengendalian internal maupun kepatuhan terhadap peraturan perundangundangan. BPK memberikan lima jenis opini audit yaitu:

1) Opini Wajar Tanpa Pengecualian (Unqualified Opinion)

Opini wajar tanpa pengecualian merupakan opini tertinggi yang diberikan oleh BPK terhadap LKPD. Opini ini menjelaskan bahwa laporan keuangan telah diungkapkan secara wajar dalam semua hal yang material sehingga informasi dalam laporan keuangan tersebut dapat digunakan oleh para pengguna laporan keuangan untuk mengambil keputusan.

2) Opini Wajar Tanda Pengecualian Dengan Paragraf Penjelas, (Unqualified Opinion with Modified Wording)

Opini wajar tanpa pengecualian dengan paragraf penjelas mulai muncul sejak tahun 2010. Dalam kondisi tertentu auditor harus menambahkan suatu paragraf penjelas dalam laporan audit, meskipun tidak mempengaruhi pendapat wajar tanpa pengecualian atas laporan keuangan itu sendiri.

3) Opini Wajar Dengan Pengecualian (Qualified Opinion)

Opini Wajar Dengan Pengecualian merupakan opini yang paling sering muncul pada opini LKPD periode 2009-2011. Opini menyatakan bahwa

(12)

laporan keuangan telah disajikan dan diungkapkan secara wajar dalam semua hal yang material, namun terdapat hal-hal tertentu yang dikecualikan.

4) Opini Tidak Wajar (Adverse Opinion)

Opini tidak wajar menyatakan bahwa laporan keuangan tidak disajikan dan diungkapkan secara wajar dalam semua hal yang material sehingga informasi keuangan dalam LKPD tidak dapat digunakan.

5) Tidak Memberikan Pendapat (Disclaimer of Opinion)

Opini tidak memberikan pendapat adalah opini terburuk yang dikeluarkan oleh BPK terhadap audit atas LKPD. Opini menyatakan menolak memberikan opini dan sekaligus menyatakan bahwa laporan keuangan tidak dapat diperiksa sesuai dengan standar pemeriksaan.

Referensi

Dokumen terkait

1) Koloni kuman diambil dari pertumbuhan 24 jam pada agar, disuspensi ke dalam 0,5 ml BHI cair, diinkubasi 5-8 jam pada 37oC. 2) Suspensi di atas ditambah akuades steril

Matakuliah ini mengaji tentang perkembangan sejarah di wilayah Asia Selatan sejak awal peradaban kuno sampai menjadi negara modern di masa kini meliputi:

Oleh karena itu bagi lembaga pendidikan yang mengembangkan pendidikan vokasi tidak perlu minder dan kemudian mengubah menjadi pendidikan akademik, karena akan

Alvin Saputra 11623143154 Asian Medical Student's Conference 2016 Poster Ilmiah Asian Medical Student's Association (AMSA) - Phillipines 2016 Delegates Internasional

industri yang menggunakan bahan baku etil asetat di dalam negeri dewasa ini.. sedang kurang menggairahkan, namun di masa mendatang

a) Buku teks biologi terlalu banyak jenisnya sehingga sering membingungkan siswa dalam memilih buku teks yang tepat. b) Belum adanya standarisasi kualitas bahan ajar (buku

Tujuan dari Tugas Akhir ini adalah untuk mengetahui prosedur dalam pembuatan DPA-SKPD pada Bagian Perekonomian Setda Surakarta apakah sudah sesuai dengan waktu yang

Alhamdulillah puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatNya, karya tulis ilmiah yang berjudul ” Hubungan Psoriasis Dengan Profil