• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI KARAKTERISTIK PENYAKIT VESIKO-BULOSA AUTOIMUN PADA ANAK DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN DAN RSUD. PIRNGADI MEDAN DARI TAHUN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI KARAKTERISTIK PENYAKIT VESIKO-BULOSA AUTOIMUN PADA ANAK DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN DAN RSUD. PIRNGADI MEDAN DARI TAHUN"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

KARAKTERISTIK PENYAKIT VESIKO-BULOSA AUTOIMUN PADA ANAK DI RSUP. H. ADAM

MALIK MEDAN DAN RSUD. PIRNGADI MEDAN DARI TAHUN 2008-2015

Oleh:

Muhammad Abror Affan 130100109

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2016

(2)

KARAKTERISTIK PENYAKIT VESIKO-BULOSA AUTOIMUN PADA ANAK DI RSUP. H. ADAM

MALIK MEDAN DAN RSUD. PIRNGADI MEDAN DARI TAHUN 2008-2015

SKRIPSI

“Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran”

Oleh:

Muhammad Abror Affan 130100109

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2016

(3)
(4)

ABSTRAK

Penyakit vesiko-bulosa autoimun atau penyakit kulit berlepuh adalah kelainan kulit yang ditandai dengan timbulnya ruam primer berupa vesikel dan bula. Vesikel atau bula terjadi akibat gangguan kohesi sel-sel intradermal atau adhesi derm-epidermal junction yang dapat menyebabkan terjadinya influks cairan. Penelitian mengenai penyakit vesiko-bulosa masih belum pernah dilakukan pada Universitas Sumatera Utara sehingga ini menjadi alasan peneliti untuk tertarik melakukan penelitian mengenai penyakit vesiko-bulosa autoimun pada anak.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat karakteristik penyakit vesiko-bulosa autoimun pada anak di RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSUD.

Pirngadi Medan pada tahun 2008-2015. Penelitian ini dilakukan dengan cara melihat data sekunder yang berupa data rekam medis pasien penyakit vesiko- bulosa autoimun pada anak di RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSUD. Pirngadi medan dari tahun 2008 hingga 2015. Dan penelitian ini menggunakan metode total sampling.

Hasil penelitian ini didapatkan jumlah pasien penyakit vesiko-bulosa autoimun pada anak di kedua rumah sakit tersebut adalah sebanyak 10 orang.

Dimana 1 pasien pemfigus (10%), 3 pasien pemfigoid bulosa (30%) dan 6 pasien epidermolisis bulosa (60%) tidak di jumpai pasien dermatitis herpetiformis maupun chronic bullous disease of childhood. Kategori umur dari penderita adalah umur 0 – 5 tahun (30%), umur 6 – 11 tahun (10%) dan umur 12 – 18 tahun (60%). Jenis kelamin dari pasien di kedua rumah sakit tersebut memiliki persentasi antara lain laki-laki (30%) dan perempuan (70%). Pengobatan yang dilakukan adalah pengobatan sistemik (33,3%) dan pengobatan topikal (66,6%).

Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan Pada kedua rumah sakit tersebut khususnya pasien penyakit vesiko-bulosa autoimun pada anak memiliki karaktersitik yang berbeda, dengan jumlah pasien sebanyak 10 orang, dan tipe yang paling sering muncul adalah epidermolisis bulosa. pada umur biasanya muncul pada 12 – 18 tahun dan jenis kelamin yang sering terkena adalah perempuan. Adapun jenis pengobatan yang sering dilakukan adalah pengobatan sistemik.

Kata kunci: Penyakit vesiko-bulosa autoimun, Anak

(5)

ABSTRACT

Autoimmune vesicobullous disease or skin blister disease is a skin disorder that is characterized by the onset in the form of primary vesicles and bullous. Autoimmune vesicobullous disease occur due to disruption of cohesion or intradermal cell adhesion derm-epidermal junction which can lead to the occurance of the fluid influx. The study of autoimunne vesicobullous disease still has not been done at the university north sumatera and this is the main reason researches interested in conducting study on autoimmune vesicobullous disease.

The purpose of this study was to observe the characteristic of autoimmune vesicobullous disease on children in RSUHP. Adam Malik Medan and RSUD.

Pirngadi Medan years 2008-2015. The study was done by looking at form of secondary data medical record of patient autoimmune vesicobullous disease on children in RSUP. H. Adam Malik Medan and RSUD. Pirngadi Medan from 2008-2015. This study done by using total sampling method.

The result showed on both hospitals brings the number of patients at the two hospitals was as many as 10 people. Where 1 patient of pemphigus (10%), 3 bullous pemphigoid (30%) and 6 epidermolysis bullosa (60%), dermatitis herpetiformis and chronic bullous disease of childhood is not found on both hospitals. Category age of sufferers are aged 0-5 years (30%), age 6-11 years (10%) and age 12-18 years (60%). The gender of patient in both hospitals show that male is (30%) and female (70%). The treatment that used in both hospitals is systemic treatment (33,3%) and topical treatment (66,6%).

The conclusion of this study is patient in particular of autoimmune vesicobullous disease in children have a different charactheristic, both hospitals brings the number of patients was as many as 10 people, and the most frequent type is epidermolyisis bullosa. at the age of usually appear on 12 – 18 years of age and gender are often affected are women. And the most used treatment is topical treatment.

Keywords: Autoimmune Vesicobullous disease, Children

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya, sebagai salah satu syarat untuk mencapai kelulusan sarjana kedokteran Program Studi Pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk memaparkan landasan pemikiran dan segala konsep menyangkut penelitian yang akan dilaksanakan.

Penelitian yang dilaksankan ini berjudul “Karakteristik Penyakit Vesiko-bulosa Autoimun pada Anak di RSHUP. Adam Malik Medan dan RSUD. Pirngadi Medan Pada Tahun 2008-2015”

Penulis menyadari bahwa sangatlah sulit untuk menyelesaikan skripsi ini tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu, dengan segala rasa hormat, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum, selaku rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K), selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu dr. Deryne A. Paramita, M.Ked(KK), Sp.KK, selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan banyak arahan dan masukan bagi penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

4. Bapak dr. Bayu Rusfandi Nasution, M.Ked(PD), Sp.PD, selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan banyak arahan dan masukan bagi penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

5. Ibu dr. Cut Aryfa Andra, M.Ked(Cardio), Sp.JP, selaku Ketua Penguji yang telah memberikan petunjuk-petunjuk serta nasihat-nasihat dalam penyempurnaan skripsi ini.

(7)

6. Bapak dr. M. Feldi Gazaly Nasution, M.Ked(PD), Sp.PD, selaku Anggota Penguji yang telah memberikan petunjuk-petunjuk serta nasihat-nasihat dalam penyempurnaan skripsi ini.

7. Seluruh staf pengajar dan civitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara atas bimbingan selama perkuliahan hingga penyelesaian studi dan juga penulisan skripsi ini.

8. Seluruh pihak RSUP. H. Adam Malik Medan yang senantiasa membantu penulis pada pelaksanaan survei awal dan penelitian.

9. Seluruh pihak RSUD. Pirngadi Medan yang telah senantiasa membantu penulis dalam pelaksanaan survey awal dan penelitian.

10. Orang tua penulis yang telah membesarkan penuh dengan kasih sayang dan tiada bosan-bosannya mendoakan serta memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi dan pendidikan.

11. Semua pihak yang telah membantu baik dalam bentuk moril maupun materil yang namanya tidak dapat disebutkan oleh penulis satu per satu.

Penulis memahami sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi materi yang disampaikan maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, segala saran dan kritik yang membangun dari pembaca sangatlah diharapkan guna menyempurnakan hasil penelitian skripsi ini.

Medan, Desember 2016

Penulis

(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR SINGKATAN ... xi

LAMPIRAN ... xii

BAB 1 PENDAHULUAN... 1

1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Rumusan Masalah ... 2

1.3.Tujuan Penelitian ... 2

1.4.Manfaat Penelitian ... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2. Vesiko-bulosa 2.1. Definisi ... 4

2.2. Klasifikasi ... 4

2.2.1. Pemfigus ... 4

2.2.1.1. Pemfigus Eritematosus ... 5

2.2.1.1.1. Gambaran Klinis ... 5

2.2.1.1.2. Histopatologi ... 5

2.2.1.1.3. Diagnosi banding ... 5

2.2.1.1.4. Penatalaksanaan ... 6

2.2.1.1.5. Prognosis ... 6

2.2.2. Pemfigoid Bulosa... 6

2.2.2.1. Definisi ... 6

2.2.2.2. Etiologi ... 6

2.2.2.3. Patogenesis... 6

2.2.2.4. Diagnosis ... 8

2.2.2.5. Pemeriksaan Histopatologi ... 8

2.2.2.6. Pemeriksaan Imunofluoresensi ... 8

2.2.2.7. Diagnosis Banding ... 9

(9)

2.2.2.8. Penatalaksanaan ... 9

2.2.2.9. Prognosis... 9

2.2.3. Dermatitis Herpetiformis ... 9

2.2.3.1. Definisi ... 9

2.2.3.2. Etiologi ... 9

2.2.3.3. Patogenesis... 10

2.2.3.4. Gejala Klinis ... 10

2.2.3.5. Histopatologi ... 11

2.2.3.6. Diagnosis Banding ... 11

2.2.3.7. Penatalaksanaan ... 11

2.2.3.8. Prognosis... 12

2.2.4. Epidermolisis Bulosa ... 12

2.2.4.1. Definisi ... 12

2.2.4.2. Etiologi ... 12

2.2.4.3. Klasifikasi ... 12

2.2.4.4.Patogenesis... 13

2.2.4.5.Gejala Klinis ... 15

2.2.4.6. Diagnosis ... 15

2.2.4.7.Penatalaksanaan ... 16

2.2.5. Chronic Bullous Diseases of Childhood (C.B.D.C) ... 16

2.2.5.1. Definisi ... 16

2.2.5.2. Etiologi ... 16

2.2.5.3. Gejala Klinis ... 16

2.2.5.4. Patogenesis ... 17

2.2.5.5. Diagnosis ... 17

2.2.5.5.1. Histopatologi ... 17

2.2.5.5.2. imunologi ... 17

2.2.5.6. Diagnosis Banding ... 17

2.2.5.7. Penatalaksanaan ... 18

2.2.5.8. Prognosis ... 18

BAB 3 KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP ... 19

3.1. Kerangka Teori ... 19

3.2. Kerangka Konsep ... 20

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN ... 21

4.1. Rancangan Penelitian ... 21

4.2. Lokasi dan Tempat Penelitian ... 21

(10)

4.3. Populasi dan Sampel ... 21

4.3.1. Populasi ... 21

4.3.2. Sampel ... 21

4.4. Definisi operasional ... 22

BAB 5 HASIL PENELITIAN ... 25

5.1. Hasil Penelitian ... 25

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 25

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Sampel ... 26

5.1.2.1. Jumlah Pasien ... 26

5.1.2.2. Umur Pasien ... 27

5.1.2.3. Jenis Kelamin ... 27

5.1.2.4. Bentuk Klinis dan Lokasi ... 28

5.1.2.5. Pengobatan ... 28

5.2. Pembahasan ... ... 29

5.2.1. Jumlah Pasien ... ... 29

5.2.2. Umur Pasien ... ... 29

5.2.3. Jenis Kelamin ... ... 30

5.2.4. Bentuk Klinis dan Lokasi ... 30

5.2.5. Pengobatan ... ... 31

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 33

6.1. Kesimpulan ... ... 33

6.2. Saran ... ... 34

DAFTAR PUSTAKA ... 35

LAMPIRAN ... 38

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 2.1. Klasifikasi epidermolisis bulosa 13

Tabel 5.1. Jumlah pasien 26

Tabel 5.2. Umur pasien 27

Tabel 5.3. Jenis kelamin 27

Tabel 5.4. Bentuk klinis dan lokasi 28

Tabel 5.5. Pengobatan Sistemik 28

Tabel 5.5.1. Pengobatan Topikal 28

(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman

Gambar 2.1. Patogenesis Pemfigoid Bulosa 6

Gambar 3.1. KerangkaTeori 9

Gambar 3.2. Konsep Penelitian 9

(13)

DAFTAR SINGKATAN LE :Lupus Eritematosus

PB : Pemfigoid Bulosa UV : Ultra Violet

BAPG1 : Bullous Pemphigoid Antigen 1 BPAG2 : Bullous Pemphigoid Antigen 2 IgG : Immunoglobulin

Thl : T helper IL : Interleukin

BMZ : Base Membrane Zone IGg : immunoglobulin G IGa : Imunnoglobulin A DH : Dermatitis Herpetiformis t-TG : gluten-tissue transglutaminase e-TG : epidermal-trans glutaminase EBS : EpidermolisisBulosa simpleks JEB : Junctional Epidermolisisbulosa IAM : Imunofluoresensi antigen mapping TEM : Mikroskoptransmisi electron

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 Daftar Riwayat LAMPIRAN 2 Data Induk Penelitian LAMPIRAN 3 Etichal Clearance LAMPIRAN 4 Surat Ijin Penelitian

(15)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Kulit merupakan organ pembungkus yang memiliki luas sekitar 1,8 m2, merupakan pembungkus yang elastik yang melindungi tubuh dari pengaruh lingkungan. Rata-rata tebal kulit 1-2 mm. paling tebal (6mm) terdapat di telapak tangan dan kaki paling tipis (0,5 mm) terdapat di penis.1,3

Kulit anak dengan dewasa sangatla berbeda karena kulit anak bukan merupakan miniatur dari kulit dewasa karena pada kulit anak Secara umum gambaran klinis dan penyebaran penyakit kulit anak dipengaruhi oleh beberapa keadaan antara lain higiene perorangan, lingkungan, gizi serta aktivitas anak-anak sehari-hari.2 Kulit juga dapat di pengaruhi oleh gangguan autoimun yang dapat menyebabkan gangguan pada kulit, membran mukosa maupun keduanya, yang secara histologi ditandai dengan terjadinya bula intraepidermal karena proses akantolisis, suatu reaksi pemisahan sel sel epidermis diakibatkan karena tidak adanya kohesi antara sel-sel epidermis.3

Penyakit vesiko-bulosa autoimun atau penyakit kulit berlepuh adalah kelainan kulit yang ditandai dengan timbulnya ruam primer berupa vesikel dan bula. Vesikel atau bula terjadi akibat gangguan kohesi sel-sel intradermal atau adhesi derm-epidermal junction yang dapat menyebabkan terjadinya influks cairan.3 Penyakit vesiko-bulosa meliputi pemfigus, pemfigoid bulosa, dermatitis herpetiformis, chronic bullous disease of childhood dan epidermolisis bulosa.3 Pada penelitian yang dilakukan di instalasi rawat inap Dept/SMF kesehatan kulit dan kelamin RSUD. DR. Soetomo Surabaya yang di mulai dari maret hingga mei 2009, ditemukan jumlah penderita pemphigus vulgaris adalah sebanyak 7(4,67)%, bullous pemphigoid 2(13,3)%, stevens-jhonson syndrome 5(33,3)% dan toksik epidermal nekrolisis 1(6,7)%.4 Data ini di perlukan untuk melihat prevalensi penyakit vesiko-bulosa autoimun dan penelitian ini masih belum pernah di lakukan di Universitas Sumatera Utara, sehingga peneliti tertarik melakukan

(16)

penelitian karakteristik penyakit vesiko bulosa autoimun pada anak di RSUP. H.

Adam Malik Medan dan RSUD. Pirngadi Medan dari tahun 2008-2015.

1.2 Rumusan masalah

Bagaimanakah karakteristik penyakit vesiko-bulosa autoimun pada anak di RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSUD. Pirngadi Medan dari tahun 2008-2015

1.3. Tujuan penelitian 1.3.1. Tujuan umum

Untuk mengetahui karakteristik penyakit vesiko-bulosa autoimun pada anak di RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSUD. Pirngadi Medan dari tahun 2008-2015.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Untuk mengetahui jumlah pasien penyakit vesiko-bulosa autoimun pada anak di RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSUD. Pirngadi Medan dari tahun 2008-2015.

2. Untuk mengetahui tipe penyakit vesiko-bulosa autoimun yang paling banyak di RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSUD. Pirngadi Medan dari tahun 2008-2015.

3. Untuk mengetahui data demografik yaitu berupa jenis kelamin dan umur pasien penyakit vesiko-bulosa autoimun pada anak yang berkunjung di RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSUD. Pirngadi Medan dari tahun 2008-2015.

4. Untuk mengetahui gambaran karakteristik penyakit vesiko-bulosa autoimun pada anak berdasarkan bentuk klinis, lokasi lesi dan pengobatan di RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSUD. Pirngadi Medan dari tahun 2008-2015.

(17)

1.4. Manfaat penelitian

 Memberikan informasi kepada institusi kesehatan, institusi pendidikan dan pihak-pihak terkait lainnya mengenai gambaran karakteristik penyakit vesiko-bulosa autoimun pada anak di RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSUD. Pirngadi Medan dari tahun 2008-2015.

 Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi data dasar ataupun data pendukung untuk penelitian selanjutnya mengenai penyakit vesiko- bulosa autoimun pada anak.

(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. Vesiko-bulosa 2.1. Definisi

Penyakit vesiko-bulosa atau kelainan kulit berlepuh adalah kelainan kulit yang di tandai dengan timbulnya ruam primer berupa vesikel dan bula. Vesikel atau bula terjadi akibat gangguan kohesi sel-sel intradermal atau adhesi dermo- epidermal junction yang dapat menyebabkan terjadinya influks cairan.5

2.2. Klasifikasi

Vesiko-bulosa ditandai dengan adanya vesikel dan bula; yang termasuk golongan ini ialah:5

1. Pemfigus

2. Pemfigoid bulosa 3. Dermatitis herpetiformis 4. Epidermolisis bulosa (EB)

5. Chronic bullous disease of childhood

Namun yang akan dibahas pada bab ini adalah vesiko-bulosa yang mengenai pada anak-anak.

2.2.1. Pemfigus

Pemfigus ialah penyakit kulit autoimun berbula kronik, menyerang kulit dan membran mukosa yang secara histologik ditandai dengan bula intraepidermal akibat dari proses akantolisis dan secara imunopatologik ditemukan antibodi terhadap komponen desmosom pada permukaan keratinosit jenis IgG, baik terikat maupun yang bebas di dalam sirkulasi darah.5

Secara garis besar bentuk pemfigus dibagi menjadi 4 bentuk, yaitu pemfigus vulgaris, pemfigus eritematous, pemfigus foliaseus, dan pemfigus vegetans.5 Menurut letak dan celah pemfigus di bagi menjadi 2 yaitu di suprabasal ialah pemfigus vulgaris dan pemfigus vegetans, dan di stratum granulosum ialah

(19)

pemfigus eritematous dan pemfigus foliaseus. Semua penyakit tersebut memberikan gejala yang khas yaitu pembentukan bula yang kendur pada kulit yang terlihat normal dan mudah pecah pada penekanan, bula tersebut dapat meluas dengan tanda nikolski positif. Akantolisis selalu positif, dan ditemukan antibodi tipe IgG terhadap antigen interselular di epidermis yang dapat ditemukan di dalam serum, meupun terikat di epidermis.5

2.2.1.1. Pemfigus Eritematosus 2.2.1.1.1. Gambaran Klinis

Keadaan umum baik. Lesi mula-mula sedikit dan dapat berlangsung berbulan-bulan, seiring dengan disertai remisi. Lesi kadang-kadang terdapat di mukosa. Lesi kering, eritematosus, bersisik, hiperkeratotik dan sering ditemukan pada bagian tengah hidung dan pipi, berbentuk mirip dengan kupu-kupu sehingga menyerupai LE (lupus eritematosus).3,5

2.2.1.1.2. Histopatologi

Gambaran histopatologik identik dengan pemfigus foliaseus. Pada lesi yang lama, hiperkeratosis folikular, akantosis, dan diskeratosis stratum granulare tampak prominen.5

2.2.1.1.3. Diagnosis Banding

Selain dengan dermatitis herpetiformis dan pemfigoid bulosa, penyakit ini mirip lupus eritematosus dan dermatitis seboroik. Pada lupus eritematosus, kecuali eritema dan skuama juga terdapat atrofi, telangiektasia, sedangkan skuamanya lekat dengan kulit. Di samping itu terdapat sumbatan keratin dan biasanya tidak ada bula.5

(20)

2.2.1.1.4. Penatalaksanaan

Pada penatalaksanaan dapat diberikan kortikosteroid. Kortikosteroid yang paling banyak digunakan ialah prednison dan deksametason. Dosis prednison bervariasi bergantung pada berat ringannya penyakit, Dosis patokan prednison 60 mg sehari.5

2.2.1.1.5. Prognosis

Penyakit ini dianggap sebagai bentuk jinak pemfigus, karena itu prognosisnya lebih baik.5

2.2.2. Pemfigoid Bulosa 2.2.2.1. Definisi

Pemfigoid bulosa (PB) adalah penyakit autoimun yang kronik dengan ditandai lepuh subepidermal berdinding tegang. Lepuh timbul diatas kulit normal atau eritematosa serta dapat menyerang mukosa. Pemfigoid bulosa dapat mengalami remisi walaupun tanpa terapi, namun perjalanan penyakit dapat berlann gsung hingga beberapa tahun.6

2.2.2.2. Etiologi

pemfigoid bulosa ialah autoimunitas, namun penyebab yang menjadi pencetus induksi dari auto antibodi pada pemfigoid bulosa masih belum diketahui secara pasti. Sebagian besar kasus pemfigoid bulosa terjadi secara sporadis tanpa faktor pencetus yang jelas. Akan tetapi beberapa laporan tentang pencetus pemfigoid bulosa adalah cahaya ultraviolet (UV), baik UVB atau psoralen dengan UVA dan terapi radiasi.6,7

2.2.2.3. Patogenesis

Antigen pemfigoid bulosa merupakan komponen dari hemi desmosom yang berfungsi melekatkan sel basal dengan membran basal, antigen PB dengan berat molekul 230kD disebut bullous pemphigoid antigen 1 (BAPG1) sedangkan antigen dengan berat 180kD disebut dengan bullous pemphigoig antigen 2 atau kolagen tipe XVII.Antigen BPAGI merupakan antigen intraseluler dan terletak di

(21)

plak hemidesmosom, sedangkan antigen BPAG2 merupakan molekultrans- membran. Autoantibodi PB berupa IgG terutamaIgGl dan IgG4, jarang berupa IgA, IgM, atau IgE.6,7

Pada tahap awal pembentukan lepuh autoantibodi berikatan dengan antigen PB.Terdapat memori cell-B yang spesifik terhadap domain NC16A komponen dari (BPAGI).Penyebab induksi autoantibodi PB masih belum jelas.

Set T autoreaktif memiliki respons terhadap antigen PB. Sitokin Thelperl (Thl) yaitu interferon-y yang mampu menginduksi sekresi immunoglobulin (IgGl) dan lgG2, sedangkan sitokin T-helper2 (TM) misalnya IL4, IL5, dan IL13 berperan mengatur sekresi IgG4 dan IgE. Ikatan autoantibodi IgG di BMZ mengaktivasi komplemen jalur klasik.Aktivasi komplemen menyebabkan kemotaksis leukosit dan degranulasi sel mast. IgE juga berperan dalam degranulasi sel mast. Produk sel mast menyebabkan kemotaksis eosinofil melalui mediator yaitu eosinophil chemotactic factor of anapltylaxis. Leukosit dan protease sel mast menyebabkan pemisahan dermis-epidermis. Eosinofil, sel inflamasi yang terdapat pada membran basal lesi PB, menghasilkan gelatinase yang memotong domain kolagen ekstraseluler BPAG2, yang berperan dalam pembentukan.8,9

Gambar: skema patofisiologi pembentukan lepuh pemfigus bulosa8

Gambar 2.1. patogenesis Pemfigoid Bulosa

(22)

2.2.2.4. Diagnosis

Diagnosis PB dapat ditegakkan melalui gambaran klinis, histopatologis, dan imunofluoresens. Lesi pada PB ditandai dengan lepuh besar berdinding tegang di atas kulit normal atau dasar eritematosa. Lokasi lesi terutama di perut bagian bawah, paha depan, lengan bawah bagian fleksor serta dapat menyebar ke seluruh tubuh. Lepuh dapat berisi cairan bening atau hemoragik dan dapat disertai rasa gatal.Erosi kulit akibat lepuh yang pecah mudah mengalami reepitelisasi.

Vesikel baru dapat timbul di dekat lesi lama yang mulai sembuh. Bekas lesi tidak meninggalkan parut.8,9

Lesi eritematosa kadang-kadang lebih dominan dan menyebar dengan lepuh di bagian tepi.Lesi urtikaria timbul terutama pada awal perjalanan penyakit.

Resolusi dimulai dari bagian tengah lesi dapat disertai hiperpigmentasi.9

Lesi di mukosa terjadi pada sekitar 10-35% pasien, sebagian besar terjadi di mukosa mulut terutama daerah pipi. Lesi di mukosa berupa lepuh dan erosi serta tidak meninggalkan parut.9

2.2.2.5. Pemeriksaan Histopatologi

Pada lepuh kecil yang baru timbul menunjukkan lepuh subepidermal dengan infiltrat dermis superfisial terdiri dari esinofil, limfosit dan histosit tanpa disertai dengan nekrosis epidermis. Pemeriksaan histopatologi lepuh dengan dasar eritematosa menunjukkan lebih banyak infiltrat terutama eosinofil dan neutrofil dalam rongga lepuh, sedangkan lesi urtikaria menunjukkan menunjukkan infiltrat dermis superfisial terdiri dari limfosit histosit dan eosinofil serta edema papila dermis. Pada lesi urtikaria juga didapatkan degranulasi eosinofil di BMZ dengan pemisahan sel basal dari membran basal dan atau spongiosis eosinofil.8

2.2.2.6. Pemeriksaan Imunofluorensi

diperoleh dari biopsi tepi lesi yang menunjukkan deposit/endapan igG dan terkadang imunoglobulin lain atau C3 linear di BMZ yang tersusun seperti pita (basement membrane zone).10

(23)

2.2.2.7. Diagnosis Banding

Penyakit ini dibedakan dengan pemfigus vulgaris dan dermatitis herpetiformis. Pada pemfigus keadaan umumnya buruk, dinding bula kendur, generallisata, letak bula intraepidermal, dan terdapat igG di stratum spinosum.5 Pada dermatitis herpiteformis, sangat gatal, ruam utama ialah vesikel yang berkelompok, terdapat igA tersusun granular.5

2.2.2.7. penatalaksanaan

Pada pemfigoid bulosa biasanya dapat sembuh sendiri dengan atau tanpa pengobatan.Pentalaksanaan biasanya diberikan dengan kortikosteroid. Prednison biasanya diberikan dengan dosis 40-60 mg/hari kemudian pelan-pelan diturunkan sampai dosis bertahan 10 mg perhari.5

2.2.2.8. Prognosis

Biasanya sembuh dengan sendirinya walaupun tanpa pengobatan dan biasanya terjadi remisi spontan pada pasien pemfigus bulosa. Buruknya prognosis dipengaruhi oleh usia, luas penyakitnya, skor Karnofsky yang rendah, albumin yang rendah dan steroid dosis tinggi, Penyakit yang terlokalisata sangat responsif terhadap pengobatan dan terjadinya remisi.10,11

2.2.3. Dermatitis Herpetiformis 2.2.3.1. Definisi

Dermatitis herpetiformis (D.H) ialah penyakit yang menahun dan residif, ruam bersifat polimorfik terutama berupa vesikel, tersusun berkelompok dan simetris serta disertai rasa sangat gatal. Penyakit ini ditandai dengan erupsi papulo vesikel yang tersusun berkelompok, dengan distribusi simetris pada daerah siku, lutut dan bokong.5

2.2.3.2. Etiologi

Penyebab belum diketahui secara pasti.4 Di antara penderita DH, 77%- 87% memiliki antigen HLA B8 dan 90% memiliki antigen HLA DW3. Antigen permukaan ini ditandai oleh gen yang terikat dekat gen respon imun sehingga

(24)

terdapat peningkatan respon imun terhadap berbagai antigen termasuk self. DH merupakan akibat dari respon imun yang terlalu aktif terhadap antigen yang ada secara alamiah.12

Petanda HLA ini dihubungkan dengan penyakit autoimun yang yang lain dan merupakan petanda seorang pasien dengan respon imun berlebih terhadap beberapa antigen dan dapat menjelaskan kompleks imun yang terjadi secara perlahan. DH lebih sering terjadi pada anggota keluarga.5

2.2.3.3. Patogenesis

Dermatitis herpetiformis adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh pengendapan IgA dalam papila dermis, sehingga memicu kaskade imunologi, rekruitmen neutrofil dan aktivasi sistem komplemen.13 Dermatitis herpetiformis terjadi akibat hasil dari respon imun terhadap rangsangan kronis pada mukosa usus yang disebabkan oleh gluten.14 Akibat terjadinya sensitifitas gluten dengan ditambah dengan asupan tinggi gluten, akan terbententuk igA terhadap gluten- tissue transglutaminase (t-TG) yang ditemukan di usus halus, kemudian antibodi ini akan bereaksi silang dengan epidermal-trans glutaminase (e-TG) dan kemudian mengendap di papilla dermis sehingga terjadi lesi.15,16

2.2.3.4. Gejala Klinis

Keluhan gatal dan rasa terbakar merupakan awal penyakit, yang kemudian diikuti timbulnya lesi kulit berupa makula atau papel eritematosus, dan kadang- kadang berupa urtikaria. Diatas makula atau papel ini timbul vesikel yang mula- mula kecil kemudian membesar, bergerombol dan tersebar bilateral-simetris.

Vesikel berdinding tebal dan tidak mudah pecah.5

(25)

2.2.3.5. Histopatologi

Terdapat kumpulan neutrofil di papil dermal yang membentuk mikroabses neutrofilik. Kemudian terbentuk edema papilar, celah subepidermal, dan vesikel multiokular dan subepidermal. Terdapat pula eosinofil pada infiltrat dermal, juga di cairan vesikel.5

2.2.3.6.Diagnosis Banding

D.H. dibedakan dengan pemfigus vulgaris (P.V.), pemfigoid bulosa, dan Chronic Bullous Diseases of Childhood (C.B.D.C.). Pada P.V. keadaan umumnya buruk, tak gatal, kelainan utama ialah bula yang berdinding kendur, generalisata, dan eritema bisa terdapat atau tidak. Pada gambaran histopatologik terdapat akantolisis, letak vesikel intraepidermal. Terdapat IgG di stratum spinosum.

P.B.berbeda dengan D.H. karena ruam yang utama ialah bula, tak begitu gatal, dan pada pemeriksaan imunofluoresensi terdapat IgG tersusun seperti pita di subepidermal. C.B.D.C. terdapat pada anak, kelainan utama ialah bula, tak begitu gatal, eritema tidak selalu ada, dan dapat berkelompok atau tidak. Terdapat IgA yang linear.5

2.2.3.7. Penatalaksanaan a. Dapson

Menghilangkan gejala dan ruam pada Dermatitis Herpetiformis pada anak dan dewasa. Obat ini memiliki suatu respon yang sangat baik dalam kurun waktu 24 jam – 48 jam.17 Dosis yang diberikan adalah 2 mg/kgbb/hari.

Dosis pada obat ini dapat ditingkatkan namun perlu diperhatikan dari hasil respon klinis serta efek samping dari obat ini. Jika tidak terjadi efek samping dosis dapat ditingkatkan hingga mencapai maksimal 400 mg/hari, namun dosis yang dibutuhkan adalah 50 mg tiga kali sehari.17

b. Sulfaridin

Dosis awal sulfaridin biasanya 100-200 mg/kgbb/hari, dan dapat dibagi menjadi empat dosis. Dengan dosis maksimal 2 sampai 4 gram perhari. Jika ada suatu perbaikan dosis dapat diturunkan pada setiap minggu hingga dosis

(26)

pemeliharaan yaitu 500 mg/hari atau kurang.17 Efek samping yang terjadi bisa berupa anoreksia, sakit kepala, demam, leucopenia, agranulositosis, dan anemia hemolitik.5,17

2.2.3.8. Prognosis

Sebagian besar penderita akan mengalami Dermatitis Herpetiformis yang kronis dan residif. Dan perbaikan keadaan biasanya pada sekitar 10-15% kasus.5,18

2.2.4. Epidermolisis Bulosa 2.2.4.1. Definisi

Epidermolisis bulosa merupakan (EB) merupakan kelainan genetik ditandai dengan ketidakmampuan kulit dan epitel lain untuk melekat pada jaringan dibawahnya dengan suatu gejala klinis terbentuknya bula dan vesikel setelah terjadi trauma atau gesekan.19,20 Dimana hal ini juga merupakan suatu kelainan genetik dimana terjadi kerapuan pada epitel yang mudah rusak pada lapisan epitel, ataupun jaringan permukaan, terutama kulit.21

2.2.4.2. Etiologi

Etiologi masih belum diketahui. Adanya aktivitas enzim sitolitik atau terjadinya mutasi struktur protein yang sensitif terhadap perubahan suhu telah dikemukakan oleh ahli peneliti.5

2.2.4.3. Kasifikasi

Ada empat jenis utama Epidermolisis Bulosa yaitu : Epidermolisis Bulosa simpleks (EBS), junctional Epidermolisis bulosa (JEB), distrofi Epidermolisis bulosa ( DEB ), dan Sindrom Kindler.22

(27)

Tabel 2.1. Klasifikasi Epidermolisis Bulosa.23

TIPE EPIDERMOLISIS BULOSA PENYEBARAN LEPUH

Epidermolisis Bulosa simpleks Intraepidermal Juntional Epidermolisis bulosa Intra-lamina lucida

Epidermolisis Bulosa distrofi Sub-lamina densa

Sindrom kindler Multiple levels (intra-lamina lucida and sub-lamina densa)

2.2.4.4. Patogenesis

Sampai sekarang patogenesis EB belum semuanya diketahui semuanya.

Beberapa penulis mengemukakan berbagai dugaan patogenesis.5 1. E.B.S diduga terjadi akibat:

a. Pembentukan enzim sitolitik dan pembentukan protein abnormal yang sensitif terhadap perubahan suhu.

b. Selain diturunkan secara genetik autosom, diperkirakan 50% terjadi akibat mutasi pada gen pembentuk keratin, terutama keratin 5 (K5) dan 14 (K14) yang terdapat di lapisan epidermis.

c. Mutasi juga dapat terjadi gen plectin (plektin). Plektin adalah protein yang terdapat di membran basal yang berfungsi sebagai penghubung filamen ke intermediet.5

2. E.B junctional terjadi akibat:5

a. Berkurangnya jumlah hemidesmosom sehingga attachment plaque tidak berungsi dengan baik.

b. PEARSON dan SCACHNER menduga akibat membran sel abnormal sel pecah dan mengeluarkan enzim proteolitik sehingga terbentuk celah di lamina lusida.

(28)

c. Mutasi dapat terjadi pada gen yang mengkode laminin 5, komponen anchoring filament, yaitu protein polipeptida.3 Selain itu mutasi juga dapat terjadi pada salah satu gen α3, β3, atau γ2 yang merupakan dari subunit lamina-322. pasien dengan mutasi gen α3 atau γ2 subunit laminin masih akan menunjukkan ekspresi normal pada laminin-311, yang berisi α3, β1, dan γ1. Pemeriksaan pewarnaan linear BMZ pada spesimen epidermolisis junction yang dilakukan secara mapping imunnofluorescense untuk melihat rantai gen α3, apabila pada hasil pemeriksaan tidak dijumpai rantai gen lain, ini merupakan indikasi dari defek rantai gen α3 maupun defek rantai gen γ2.24

3. E.B distrofik di duga terjadi akibat:

a. Berkurangnya anchoring fibril

b. Bertambahnya aktivitas kolagenase pada E.B. yang diturunkan secara RA.

c. Terjadi mutasi pada gen kolagen VII (COL7A1), komponen utama anchoring fiibrils, sehingga fungsinya terganggu5.

4. Pada sindrom kindler hasil pemeriksaan molekuler dari penyakit ini menemukan suatu protein epidermal baru yaitu, kindlin-1 yang menunjukkanpenurunan ekspresi oleh pemeriksaan imunofluoresen. Hal inimenunjukkan adanya hubungan dengan protein kindling-1 terhadap pembentukan lepuh.25

(29)

2.2.4.5. Gejala Klinis

Pada epidermolisis bula yang terbentuk biasanya jernih, kadang-kadang hemoragik.5 Selain mencakup kulit yang mudah rapuh dan mudahnya timbul suatu lepuh serta erosi pada Epidermolisis Bulosa juga mencakup beberapa atau semua gambaran klinis seperti : milia, papula kecil berbatas tegas, distrofi kuku, dan parut (biasanya atrofi), keratoderma dari telapak tangandan telapak kaki, dan dyspigmentation (Postinflammatory hipo- atau hiperpigmentasi; berbintik-bintik atau retikulata hiperpigmentasi ).26

2.2.5.5. Diagnosis

Langkah pertama diagnosis dari EB adalah dimulai dengan anamnesis menyeluruh dan pemeriksaan fisik, anamnesis mencakup usia, onset dari lepuh dan munculnya lepuh pada anggota keluarga lainnya. Sebuah tinjauan dari gatrointestinal, pernapasan, mata, gigi, tulang, dan sistem genitourinaria penting dilakukan untuk evaluasi pertumbuhan dan perkembangan. Pemeriksaan fisik tidak hanya membutuhkan suatu pemeriksaan fisik yang lengkap, tetapi evaluasi menyeluruh pada Setiap pasien yang diduga menderita Epidermolisis Bulosa.25 Untuk pemeriksaan penunjang pasien epidermolisis bulosa harus memiliki satu atau lebih spesimen kulit untuk diagnostic imunofluoresensi antigen mapping (IAM) dan mikroskop transmisi electron ( TEM ).27 Hasil biopsi yang baik adalah biopsi yang diambil dari kulit yang lepuhnya belum terjadi.27 Pemeriksaan darah pada epidermolisis bulosa simpleks biasanya normal. Kombinasi anemia besi dan anemia penyakit dapat di jumpai pada pasien EBS with muscular dystrophy. Pada bentuk lain EBS anemia jarang dijumpai, dan bila didapatkan anemia biasanya berhubungan dengan gangguan pertumbuhan dan malarbsorbsi. Pada anemia berat sering dijumpai kadar seng dalam serum ringan sampai sedang.28

(30)

2.2.5.6. Pentalaksanaan

Pada epidermolisis bulosa tidak ada pengobatan yang spesifik yang ada hanya terapi suportif saja, yang penting adalah pencegahan terhadap trauma, terutama pada tangan dan kaki untuk menghindari timbulnya bula, oleh karena sering terjadi infeksi sekunder, pengobatan antibiotika baik topikal maupun sistemik dapat diberikan. Steroid topikal dapat dipakai, namun pada bayi dan anak-anak harus secara hati-hati. Kortikosteroid dapat diberikan dengan dosis (140-160 mg prednison/hari). Juga dapat diberikan vitamin E dengan dosis 600- 2000 I u/hari, vitamin E dapat menghambat produksi enzim yang dapat merusak kolagenase. Pengobatan lain adalah dienilhidantion dengan dosis 5,0 mg/kg/hari.

Berfungsi juga untuk menghambat enzim perusak kolagenase.3,5

2.2.5. Chronic bullous disease of childhood (C.B.D.C) 2.2.5.1. Definisi

Chronic bullous disease of childhood ialah dermatosis autoimun yang biasanya mengenai anak usia kurang dari 5 tahun ditandai dengan adanya bula dan terdapatnya deposit igA linear yang homogen pada epidermal.5

2.2.5.2. Etiologi

Belum diketahui pasti. Senagai faktor pencetus ialah infeksi dan antibiotik, yang sering ialah penisilin.5

2.2.5.3. Gejala Klinis

Penyakit mulai pada usia sebelum sekolah, rata-rata berumur 4 tahun.

Keadaan umum baik dan tidak begitu gatal. Kelainan kulit berupa vesikel atau bula, terutama bula, berdinding tegang di atas kulit yang normal atau eritematosa, cenderung bergerombol dan generalisata.5 Lesi terdebut sering tersusun anular disebut dengan cluster of jewels.29 Terdapat juga manifestasi seperti anular eritema dengan eksoriasi dan erosi terdapat pada pasien. Dan bula yang terdapat pada chronic bullous diseases of childhood tidak dapat dibedakan dari lesi pemfigoid bulosa.30,31 Pada membrane mukosa juga terdapat suatu erosi yang

(31)

sangat menyakitkan.31 Sebuah studi di Tunisa menjelaskan sebanyak 12,9 % pada anak memiliki lesi pada mulut dan kelamin.30 Lesi yang terjadi di mulut biasanya mengenai palatum dengan jaringan lunak dan keras.30,31

2.2.5.4. Patogenesis

Antigen pada chronic bullous disesase of childhood memiliki target lokal pada jaringan basal skuamous, antigen yang terlibat adalah 97-kDa (LABD97) dan 120-kDa (LAD-1), antigen yang merupakan fragmen domain ekstraseluler kolagen XVII (BP180), transmembran protein yang memiliki peran penting dalam menjaga hubungan antara intraseluler dan ekstraseluler yang terlibat dalam adhesi epidermal.32-34

2.2.5.5. Diagnosis 2.2.5.5.1. Histopatologi

Gambaran yang khas ialah bula subepidermal berisi neutrofil, atau eosinofil, atau keduanya. Mikro abses di papil dermal berisi neutrofil. Gambaran ini tak dapat dibedakan dengan dermatitis herpetiformis dan pemfigoid bulosa.3

2.2.5.5.2. Imunologi

Pada umumnya didapati deposit linear igA dan C3 dari kulit di perilesi.

Pada imunofluoresensi tak langsung didapati antibodi igA anti membran basalis yang beredar pada kira-kira 2/3 kasus.5

2.2.5.6. Diagnosis Banding

Sebagai diagnosis banding ialah dermatitis herpetiformis (D.H.) dan pemfigoid bulosa. Pada D.H. penyakit berlangsung sehingga dewasa jarang pada umur sebelum 10 tahun. Lesi yang utama ialah vesikel, sangat gatal dan didapati IgA berbentuk granular serta biasanya didapati enteropati. Mulainya penyakit pada C.B.D.C. lebih mendadak daripada D.H, biasanya tidak terdapat H.L.A.-B8.

Mengenai pengobatan, pada D.H. memberi respons dengan sulfon, sedangkan CBDC dapat memberi respon atau tidak sama sekali.3

(32)

2.2.5.7. penatalaksanaan

Biasanya memberi respons yang cepat dengan sulfonamida, yakni dengan sulfapiridin, dosisnya 150 mg per kg berat badan sehari. Dapat pula dengan DOS atau kortikosteroid atau kombinasi. Diet bebas gluten seperti pada D.H. tidak perlu.3

2.2.5.8. prognosis

Dalam studi yang dilakukan di Tunisia mengatakan bahwa remisi chronic bullous disesase of childhood pada anak adalah sebanyak 76,1%.31

(33)

BAB III

KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP

3.1 Kerangka teori

3

Gambar 3.1. Kerangka teori penelitian Penyakit vesiko-

bulosa autoimun

gangguan adhesi sel-sel epidermal

Vesikel dan Bula

Klasifikasi 1. Pemfigus

2. Pemfigoid bulosa 3. Dermatitis

herpetiformis 4. Epidermolisis

bulosa

5. Chronic bullous disease of childhood Akibat proses

Autoimun

Manifestasi klinis berbeda-beda tergantung kasifikasi Etiologi

1. Autoantibodi tipe igG.

2. Cahaya Ultraviolet baik UVB maupun UVA dan terapi radiasi.

3. Antigen HLA B8.

4. Adanya aktivitas enzim sitolitik atau terjadinya mutasi struktur protein yang sensitive.

5. infeksi dan antibiotik

(34)

3.2 kerangka konsep penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat karakteristik vesiko-bulosa pada anak di RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSUD. Pirngadi Medan dari tahun 2008-2015.

Variabel independen variabel dependen

Gambar 3.2. Kerangka konsep penelitian.

Penyakit vesiko- bulosa autoimun

vesiko-bulosa

1. jumlah 2. Umur

3. Jenis kelamin 4. tipe

5. bentuk klinis 6. Lokasi 7. pengobatan

(35)

BAB IV

METODE PENELITAN

4.1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunnakan metode penilitan deksriptif dengan pendekatan cross sectional (studi potong lintang) yang bertujuan untuk mengetahui karakteristik penyakit vesiko-bulosa autoimun pada anak di RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSUD. Pirngadi Medan dari tahun 2008-2015.

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

a. lokasi: penelitian ini di lakukan di dua rumah sakit pendidikan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yaitu RSUP. H. Adam Malik MEDAN dan RSUD DR Pirngadi MEDAN

b. Waktu: penelitian ini dilakukan dari juli – desember 2016.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1 . Populasi

a. populasi target : Seluruh pasien penyakit vesiko-bulosa autoimun pada anak di RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSUD. Pirngadi Medan dari tahun 2008-2015.

b. Populasi terjangkau : Seluruh pasien penyakit vesiko-bulosa autoimun pada anak yang pernah berobat di RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSUD. Pirngadi Medan dari tahun 2008-2015.

4.3.2. Sampel

Sampel penelitian ini adalah seluruh pasien dengan diagnosa penyakit vesiko-bulosa autoimun pada anak di RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSUD.

Pirngadi Medan dari tahun 2008-2015 yang mana berjumlahkan sebanyak 10 orang

(36)

4.4. Definisi Operasional

Variabel-variabel yang diteliti mencakup karakteristik penderita vesiko- bulosa dari segi jumlah, umur, jenis kelamin, tipe, bentuk klinis, lokasi dan pengobatan.

1. Variabel: jumlah

a. Definisi operasional : jumlah keseluruhan dari subjek penelitian b. Alat ukur : rekam medik

c. Cara ukur : melihat data pasien berdasarkan rekam medik d. Hasil ukur : pasien yang didiagnosis penyakit vesiko-

bulosa autoimun pada anak e. Skala ukur : nominal

2. Variabel: umur

a. Defenisi operasional : masa usia subjek penelitian b. Alat ukur : rekam medik

c. Cara ukur : melihat data pasien berdasarkan rekam medik d.Hasil ukur : 0-5 tahun, 6-11 tahun dan 12-18 tahun e. Skala ukur : interval

3. Variabel: jenis kelamin

a. Definisi operasional : jenis kelamin dari subjek penelitian b. Alat ukur : rekam medis

c.Cara ukur : melihat data pasien berdasarkan rekam medik d.Hasil ukur : laki-laki atau perempuan

e.Skala ukur : nominal

(37)

4. Variabel: tipe

a. Definisi operasional : tipe penyakit vesiko-bulosa autoimun yang diderita subjek penelitian

b. Alat ukur : rekam medik

c. Cara ukur : melihat data pasien berdasarkan rekam medik d. Hasil ukur : 1. Pemfigus

2.Pemfigoid bulosa

3. Dermatitis herpetiformis

4. Epidermolisis bulosa (EB)

5. Chronic bullous of childhood

e. Skala ukur : nominal

4. Variabel: bentuk klinis

a. Definisi operasional : bentuk lesi dari penyakit vesiko-bulosa Autoimun pada subjek penelitian b. Alat ukur : rekam medik

c .Cara ukur : melihat data pasien berdasarkan rekam medik d. Hasil ukur : berdasarkan bentuk lesi dari penyakit vesiko-

Bulosa autoimun a. Skala ukur : ordinal

6.Variabel: lokasi

a. Definisi operasional : lokasi lesi penyakit vesiko-bulosa autoimun pada subjek penelitian

b. Alat ukur : rekam medik

c. Cara ukur : melihat data pasien berdasarkan rekam medik d. Hasil ukur : berdasarkan tempat predileksi

e. Skala ukur : ordinal

(38)

7. Variabel: pengobatan

a. Definisi operasional : pengobatan yang digunakan pada subjek

penelitian

b. Alat ukur : rekam medik

c. Cara ukur : melihat data pasien berdasarkan rekam medik d. Hasil ukur : sistemik atau topikal

e. Skala ukur : ordinal

(39)

BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1. HASIL PENELITIAN 5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan selama bulan Oktober – bulan Desember 2016 yang berlokasikan di dua rumah sakit yaitu RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSUD.

Pirngadi Medan, RSUP. H. Adam Malik beralamat di jalan bunga lau NO. 17, Kelurahan Kemenangan Tani, Kecamatan Medan Tuntungan, Kotamadya Medan, Provinsi Sumatera Utara. Rumah sakit tersebut merupakan rumah sakit rujukan nasional berdasarkan SK MenKes RI NO. HK.02.02/MENKES/390/2014 tanggal 17 Oktober 2014 Tentang Pedoman Penetapan Rumah Sakit Rujukan Nasional.

RSUD. Pirngadi Medan merupakan salah satu rumah sakit pendidikan yang terdapat di Provinsi Sumatera Utara yang pada tanggal 10 April 2007 Badan Pelayanan Kesehatan RSU Dr. Pirngadi Kota Medan resmi menjadi Rumah Sakit Pendidikan berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor : 433/Menkes/SK/IV/2007. Rumah sakit ini mendidik para calon dokter yang berasal dari Fakultas Kedokteran Usu dan membuka diri untuk mendidik para calon dokter dari fakultas lain baik yang ada di Provinsi Sumatera Utara maupun Sumatera Barat dan Lampung. Penelitian ini dilakukan di instalasi rekam medis yang terdapat pada kedua rumah sakit tersebut.

(40)

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Sampel

Penelitian ini dilakukan dengan melihat data sekunder yang berupa data rekam medis dari pasien penyakit vesiko-bulosa autoimun pada anak yang terdapat pada RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSUD. Pirngadi Medan dari tahun 2008-2015.

Karakteristik sampel yang diamati oleh peneliti dalam penelitian ini adalah berupa jumlah pasien, umur pasien, jenis kelamin, bentuk klinis dan lokasi dan pengobatan. Yang disajikan dalam bentuk table sebagai berikut.

Tabel 5.1. Jumlah Pasien

TIPE JUMLAH

Pemfigus 1

Pemfigoid bulosa 3

Dermatitis herpetiormis 0

Epidermolisis bulosa 6

Chronic bullous disease of childhood

0

dari hasil tabel diatas maka dapat diketahui jumlah pasien vesiko-bulosa autoimun pada anak adalah : Pemfigus (10%), Pemfigoid bulosa (30%), Dermatitis herpetiformis (0), Epidermolisis bulosa (60%), Chronic bullous disease of childhood (0).

(41)

Tabel 5.2. Umur Pasien

TIPE UMUR PASIEN

0 - 5 TAHUN 6 - 11 TAHUN 12 - 18 TAHUN

Pemfigus 0 0 1

Pemfigoid bulosa 0 0 3

Dermatitis herpetiformis 0 0 0

Epidermolisis bulosa 3 1 2

Chronic bullous disease of

childhood 0 0 0

berdasarkan tabel hasil diatas maka didapatkan umur pasien yang terbanyak pada penyakit vesiko-bulosa autoimun pada anak adalah : umur 0 – 5 tahun (30%), umur 6 – 11 tahun (10%) dan umur 12 – 18 tahun (60%)

Tabel 5.3. Jenis Kelamin TIPE

JENIS KELAMIN

LAKI-LAKI PEREMPUAN

Pemfigus 0 1

Pemfigoid bulosa 1 2

Dermatitis herpetiformis 0 0

Epidermolisis bulosa 2 4

Chronic bullous diseaseof childhood 0 0

dari tabel hasil di atas dapat diperoleh jenis kelamin yang terdapat pada penyakit vesiko-bulosa autoimun pada anak adalah: laki-laki (30%) dan perempuan (70%)

(42)

Tabel 5.4. Bentuk Klinis dan Lokasi

TIPE BENTUK KLINIS LOKASI

Pemfigus Bula hipopion

Regio tarsalis, regio antebrachii sinistra dan dekstra

Pemfigoid bulosa

Bula eritematosa tegang, makula, hipopigmentasi, erosi

Ventrikel regio intra orbital, regio Palmaris dekstra dan sinistra, regio facialis

Dermatitis herpetiformis - -

Epidermolisis bulosa

Bula hemoragik, bula berisi air, papul kecil dan milia

Regio capitalis, regio lumbalis, regio facialis, regio abdomen coli

Chronic bullous disease of childhood - -

dari tabel hasil diatas menunjukkan beberapa bentuk klinis dan lokasi khas dari masing – masing klasifikasi penyakit vesiko-bulosa autoimun pada anak.

Tabel 5.5. Pengobatan Sistemik PENGOBATAN

SISTEMIK 6

Tabel 5.6. Pengobatan Sistemik

berdasarkan tabel hasil pengobatan pada penyakit vesiko-bulosa autoimun pada anak di dapatkan pengobatan yang terbanyak digunakan adalah: pengobatan sistemik (33,3%) dan pengobatan topikal (66,6%)

PENGOBATAN TOPIKAL

12

(43)

5.2. PEMBAHASAN

Penelitian ini merupakan jenis penelitian total sampling

5.2.1. Jumlah Pasien

Pada penelitian di rumah sakit pendidikan father muller medical college hospital di dapatkan jumlah pasien terbanyak dari penyakit vesiko-bulosa adalah pemfigus vulgaris dimana terdapat 19 kasus (38%), pemfigoid bulosa sebanyak 13 kasus (26%), penyakit linear immunoglobulin A, 2 kasus (4%), epidermolisis bulosa sebanyak 2 kasus (4%), 1 kasus dermatitis herpetiformis (2%).35 Sedangkan pada hasil penelitian yang didapat, epidermolisis bulosa adalah jumlah kasus terbanyak (60%) , pemfigoid bulosa (30%), dan pemfigus (10%). Tidak di jumpai kasus dermatitis herpetiformis dan chronic bullous disease of childhood.

5.2.2 Umur Pasien

Anak dengan kelompok umur 1- 6 tahun menunjukkan angka kejadian dalam penyakit vesiko-bulosa sebesar (48/100).36 dengan insidensi tertinggi impetigo bulosa 42%, chronic bullous of childhood 7% dan dermatitis herpetiformis 6%.36 Pemfigus jarang terdapat pada anak-anak terutama dengan umur rata-rata 12 tahun.37 Beberapa faktor lingkungan seperti pengobatan, dan substansi akantolisis pada predisposisi genetik memiliki peran terhadap munculnya penyakit.38,39 Pada masa anak jenis pemfigus yang paling sering terjadi adalah pemfigus vulgaris, pemfigus folaiseus.40 Berdasarkan hasil penelitian ini umur rata-rata anak yang didiagnosa dengan pemfigus adalah umur 12-18 tahun.

Pada kasus pemfigoid bulosa jarang terjadi pada masa anak.41 Namun berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan umur rata-rata anak pada kasus pemfigoid bulosa adalah 12-18 tahun dimana terdapat 3 kasus pemfigoid bulosa. Dermatitis herpetiformis merupakan salah satu penyakit lepuh autoimun yang kronis, dan dianggap sebagai salah satu yang sering muncul pada anak namun prevalensi pastinya belum dapat diketahui.42,43 Umur persentasi bervariasi, menurut pada hasil penelitian umur berkisar anatara 2 sampai dengan 7 tahun.44 dan 7 tahun sampai dengan rata-rata 14 tahun.43 Berdasarkan hasil penelitian tidak dijumpai

(44)

pasien anak dengan diagnosis dermatitis herpetiformis. Pada epidermolisis bulosa persentasi kemunculan pada umur bisa di semua rata-rata umur selama masa anak- anak dan dapat dimulai dari bayi.45 Pada hasil penelitian ini umur rata-rata pasien anak dengan epidermolisis adalah 3 kasus pada 0 – 5 tahun, 1 kasus pada 6 – 11 tahun dan 2 kasus pada 12 – 18 tahun. Chronic bullous disesase of childhood terdapat pada semua etnik khususnya di Negara berkembang, di inggris prevalensi di perkirakan 1 dari 500.000 anak.46 Onset umur biasanya sebelum umur 5 tahun

41, namun pada hasil penelitian ini tidak di temukan pasien anak dengan diagnose chronic bullous disease of childhood.

5.2.3. Jenis Kelamin

Hasil penelitian di father muller medical college hospital menunjukkan bahwa perbandingan antara pasien anak laki-laki dengan pasien anak perempuan adalah 1:2.35 namun pada penelitian yang dilakukan di india menunjukkan bahwa perbandingan antara laki-laki dengan perempuan adalah 3:2 hal ini di sebabkan karena laki-laki sering melakukan kegiatan di luar rumah, adanya kontak dengan anak-anak lain dan pola berpakaian yang salah dapat menjadi alasan peningkatan resiko.36 Sedangkan pada hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persentase anak perempuan adalah (70%) dan anak laki-laki (30%) dimana hasil penelitian ini menunjukkan kesamaan dengan penelitian yang di lakukan di father muller medical college hospital.

5.2.4. Bentuk Klinis dan Lokasi

Gambaran klinis pada pemfigus melibatkan keterlibatan membran mukosa terutama dari mulut yang menunjukkan gejala awal.41 Lepuh yang terlihat biasanya terlihat sangat lembek dan mudah pecah dan adanya erosi dan krusta yang meninggalkan rasa sakit yang terdapat pada kulit.41 Lepuh pada pemfigus dapat timbul di kepala, bibir dan pada abdomen atas.47 Berdasarkan hasil penelitian ini gambaran yang di dapat pada pemfigus berbeda yaitu adanya bula hipopion yang terdapat pada telapak tangan. Pada pemfigoid bulosa gambaran yang sering muncul adalah bula yang tegang dan terkadang bula hemoragik yang

(45)

timbul dari kulit normal atau meradang.48,49 Plak Biasanya muncul pada daerah abdomen, lipatan paha, palmar dan plantar.50,51 Pada hasil penelitian ini terdapat bula eritematosa yang tegang, makula hipopigmentasi dan erosi yang terdapat pada daerah bola mata, wajah dan telapak tangan. Dermatitis herpetiformis menunjukkan gambaran seperti vesikel yang gatal, papula eritematosa dan plak urtikaria yang biasanya muncul pada tungkai bagian depan, bokong, bahu dan lipatan leher.41 Hasil penelitian ini tidak mendapatkan pasien anak dengan diagnose dermatitits herpetiformis. Epidermolisis bulosa menyajikan gambaran seperti puritus, bula yang tegang, eritematosa dan urtikaria kulit.50,51 Pada lesi hemoragik sesekali dapat terjadi pembentukan krusta dengan perubahan pigmen dan dapat terjadi keruskan membran mukosa.50,51 Dari hasil penelitian ini mengatakan bahwa gambran yang terjadi berupa Bula hemoragik, bula berisi air, papul kecil dan milia yang tersebar di daerah wajah, kepala, badan dan pundak belakang. Gambaran penyakit chronic bullous disesase of childhood dapat mengenai membran mukosa dan kulit, dan biasanya didahului oleh penyakit prodormal yang nonspesifik.41 Temuan pada kulit dapat disertai dengan gejala sistemik seperti demam atau anoreksia.52 Lepuh dapat menyebar ke beberapa lokasi yaitu wajah, ekstremitas dan daerah genital.52 Tidak di temukan anak dengan diagnosa chronic bullous disease of childhood pada hasil penelitian.

5.2.5. Pengobatan

Pada penelitian Autoimmune Blistering Diseases in Children menyatakan bahwa hampir keseluruhan penyakit vesiko-bulosa autoimun dapat di tatalaksana dengan menggunakan pengobatan sistemik kortikosteroid dan dapson sebagai pengobatan lini pertama dosis yang berbeda-beda pada setiap penyakit vesiko- bulosa autoimun.41 Untuk pengobatan topikal dengan steroid dapat meringankan gejala namun biasanya remisi dapat terjadi pada umur dewasa.41 Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengobatan yang di gunakan untuk penyakit vesiko-bulosa lebih mengarah ke pengobatan topikal dengan persentasi (66,6%) dibandingkan sistemik dengan persentasi (33,3%). Adapun pengobatan sistemik yang dilakukan di kedua rumah sakit tersebut adalah amoxicillin tab 500 mg,

(46)

cetirizine tab dan sandimun neural tab. Sedangkan pada pengobatan topikal yang digunakan ialah inersan cream, soft u derm, furon cream, burnazin cream burnosin, hidrokortison cream, mupirosin cream dan NaCL0,9%.

(47)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. KESIMPULAN

Dari hasil penelitian pada karakteristik penyakit vesiko-bulosa autoimun pada anak di RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSUD. Pirngadi Medan dari tahun 2008-2015 maka dapat di tarik kesimpulan:

1. Jumlah pasien vesiko-bulosa pada anak di RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSUD. Pirngadi Medan dari tahun 2008-2015 adalah sebanyak 10 orang

2. Umur pasien yang terbanyak dengan diagnosa penyakit vesiko-bulosa autoimun pada anak di RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSUD.

Pirngadi Medan adalah pasien dengan umur 12 – 18 tahun dengan persentasi 60%

3. Jenis kelamin pasien yang terbanyak dengan diagnosa penyakit vesiko- bulosa autoimun pada anak di RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSUD.

Pirngadi Medan adalah perempuan dengan persentasi 70%

4. Tipe terbanyak dari penyakit vesiko-bulosa autoimun pada anak di RSUP.

H. Adam Malik Medan dan RSUD. Pirngadi Medan dari tahun 2008-2015 adalah Epidermolisis Bulosa dengan angka kejadian 60%

5. Pengobatan yang terbanyak dilakukan pada pasien dengan diagnosa penyakit vesiko-bulosa autoimun pada anak di RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSUD. Pirngadi Medan adalah dengan pengobatan topikal dengan persentasi 66,6%

(48)

6.2. SARAN

Dari seluruh proses menyelesaikan penelitian ini maka peneliti ingin mengungkapkan beberapa saran yang mungkin bermanfaat bagi peneliti dan bagi semua pihak yang berperan dalam penelitian ini. Adapun beberapa saran yaitu:

1. Kepada institusi kesehatan dan tenaga medis agar memberikan edukasi kepada orangtua penderita penyakit vesiko-bulosa autoimun diberikan edukasi yang baik dan benar agar penyakit tersebut tidak mengarah ke penyakit sekunder

2. Kepada institusi kesehatan dan tenaga medis agar meningkatkan informasi dan pengetahuan terhadap penyakit vesiko-bulosa autoimun khususnya pada anak agar lebih mengenal dan dapat mengerti diagnosa banding, diagnosa dan penatalaksanaan dari penyakit vesiko-bulosa autoimun pada anak

3. Kepada pihak RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSUD. Pirngadi Medan, khususnya pada pihak yang bertanggung jawab dalam penyimpana rekam medis agar dapat menyimpan seluruh data dan menyusun data dengan rapi dan baik agar penelitian selanjutnya pembaca dapat mengerti dan memahami isi dari data tersebut

4. Peneliti berharap agar Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi data dasar ataupun data pendukung untuk penelitian selanjutnya mengenai penyakit vesiko-bulosa autoimun pada anak

(49)

DAFTAR PUSTAKA

1. Barhnhill RL, Croseon An; Magro CM, Piepkorn MW. Dermatopathology.

3rd ed. New York:Mc Graw-Hill Medical: 2010: 578-590. (cited 2013 Aug 01).

2. Mufida fauzia, penyebaran pola penyakit pada kulit anak dan dewasa ,2010 3. Kariosentono, Harijono, Penyakit Vesiko-bulosa., Dalam: HIPOKRATES.

Ilmu penyakit kulit. Jakarta. 2015.

4. Dewi Rosalina, Sunarko Martodihardjo, Muhammad Yulianto Listiawan.

Staphylococcus aureus as the Most Common Cause of Secondary Infection in All Skin Lesions of Vesicobullous Dermatosis). 2009.

5. Wiryadi, Benny E., Dermatosis Vesikobulosa., Dalam: Djuanda, Adhi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. FK UI. Jakarta. 2005.

6. Stanley JR. Pemfigus. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ (eds). Fitzpatrick’s dermatology in general medicine (two vol. set). 7th ed. New York: McGraw-Hill;2008:459-74.

7. Amagai M. Pemfigus. In:Bolognia JL,Jorizzo JL,Rapini RP (eds).

Dermatology. Spain:Elsevier.2008;5;417-29.

8. Stanley John R. Bullous pemphigoid. Dalam: Wolff IlGoldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ,penyunting. Fitzpatrick's dermatolory in general medicine.Volurne One. Edisi ke-7. New York: McGraw-Hill Companies;2008. h. 475-80.

9. Zenzo GD, Laffitte E, Zambruno G, Borradori L. Bullous pemphigoid:

clinical features, diagnostic markers, and immunopathogenic mechanisms.

Dalam: Hertl M, editor. Autoimmune diseases of the skin. Edisi ke-3. New York: Springer Wien; 2011. h. 65-95

10. Wojnmowska F, Venning VA. Immunobullous diseases. Dalam: Bums T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, penyunting. Rook's textbook of dermatolory. Volume Two. Edisi ke-8. Massachusetts: Blackwell Science Ltd; 2010. h. 40.26-35

11. Laffitte E, Borradori L. Bullous Pemphigoid : Clinical Features, Diagnostic Markers, and Immunopathogenic Mechanisms. Dalam : Hertl M, penyunting.

Autoimmune Disease of the Skin. Edisi ke-2. New York : Springer; 2005.h.

71-87.

12. Hert M, ed. Autoimmune disease of the skin : pathogenesis, diagnosis, management. 2nd revised edition.Austria : Springer-verlag Wien; 2005;60-79.

13. Maria lorete, kotze silva dermatitis herpetiformis the celiac disease of the skin.

Gastroenterol. Vol. 50. Brazil. 2013.

14. Plotnikova N, Miller JL. Dermatitis herpetiformis. Skin Therapy Lett. Mar 2013;18(3):1-3.

15. Sardy M, Karpati S, Merkl B, Paulsson M, Smyth N. Epidermal transglutaminase (TGase 3) is the autoantigen of dermatitis herpetiformis. J Exp Med. Mar 18 2002;195(6):747-57.

16. Marietta EV, Camilleri MJ, Castro LA, Krause PK, Pittelkow MR, Murray JA.

Transglutaminase autoantibodies in dermatitis herpetiformis and celiac sprue. J Invest Dermatol. Feb 2008;128(2):332 5.

Gambar

Gambar 2.1. patogenesis Pemfigoid Bulosa
Gambar 3.1. Kerangka teori penelitian Penyakit

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Sunaryo

Pengembangan Bidang Kajian Pusat Studi Olahraga untuk Penelitian dan Pengabdian M asa

Kegiatan Pemeliharaan Saluran Irigasi Pekerjaan Pemeliharaan Saluran Irigasi Dk.. Pandanan Desa Soropaten

Harapan peneliti selanjutnya adalah dapat memberikan pengetahuan kepada pembaca baik itu pengetahuan tentang adat dan kebudayaan yang ada di Kecamatan Paloh

Perangkat Ajar Materi Vegetatif Buatan Pada Tumbuhan Di SMA Negeri 9 Kota Bengkulu Menggunakan 3DS MAX.. Bengkulu, Universitas

Paket pengadaan ini terbuka untuk penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan kualifikasi usaha kecil, peserta harus memiliki surat izin untuk menjalankan kegiatan/usaha

[r]

Persiapan Kegiatan diawali dari penyusunan Renja yang dibuat pada