• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam sejarah awal, fungsi narkotika diperlukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan dan studi ilmiah. Oleh karenanya diperlukan Narkotika untuk di produksi secara terus menerus untuk kepentingan tersebut.

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini

1

.

Di dalam pengertian tentang Narkotika, selalu diuraikan tentang pengertian Narkotika sebagai dua fungsi. Salah satunya adalah yang tertera di dalam dasar pertimbangan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan bahwa Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula

1 Lihat Ketentuan Umum Bab I Pasal 1, Undang-Undang No 35 Tahun 2009, Tentang Narkotika.

(2)

2

menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama.

2

Narkotika apabila dipergunakan secara tidak teratur menurut takaran/dosis dapat menimbulkan bahaya fisik dan mental serta dapat menimbulkan ketergantungan pada pengguna itu sendiri. Penyalahgunaan narkotika sebagai salah satu bentuk zat yang membahayakan, karena di samping merusak fisik dan mental juga mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat yang pada gilirannya dapat mengganggu sendi-sendi keamanan nasional dalam rangka pembangunan nasional menuju masyarakat yang adil dan makmur seperti yang dicita-citakan dalam tujuan negara yang tercantum pada Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945 alinea keempat. Dalam kontek inilah kewenangan negara sebagai representasi kepentingan publik menjadi dasar dari pemberian kewenangan negara untuk memonopoli reaksi atas kejahatan.

3

Bahaya pemakaian narkotika sangat besar pengaruhnya terhadap negara, jika sampai terjadi pemakaian narkotika secara besar-besaran di masyarakat, maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang sakit, apabila terjadi

2 Ibid, hlm 2.

3 Teguh Prasetyo, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Bandung, Nusa Media, hlm 112

(3)

3

demikian negara akan rapuh dari dalam karena ketahanan nasional merosot.

4

Dalam kontek sistem hukum, Indonesia berkepentingan langsung terkait Narkotika karena sudah masuk pada tingkat membahayakan dan demi kepentingan dan keberlangsungan masa depan negara.

Pertama, sebagai bagian dari sistem kontrol (social control) yang mengatur perilaku manusia. Kedua, sebagai sarana menyelesaikan sengketa (dispute settlement).

Ketiga, sistem hukum memiliki fungsi sebagai social engineering function. Keempat, hukum sebagai social mantenance, yaitu fungsi yang menekankan peranan hukum sebagai pemeliharaan “status quo”.

5

Sejarah perundang-undangan tentang tindak pidana Narkotika di Indonesia merujuk pada Undang-Undang Nomor 9 tahun 1976 tentang Narkotika sebagaiman telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Ketiga Undang-Undang tersebut merupakan revisi perbaikan dengan melihat kontek, kebutuhan dan tantangan atas problematika penyalahgunaan Narkotika yang terus berkembang. Deskripsi secara sederhana dengan memperhatikan

4 Gatot Supramono, Hukum Narkoba Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2004, hlm 5.

5 Teguh Prasetyo, Filsafat, teori & Ilmu Hukum, Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat, Jakarta, Rajawali Pers, 2012, hlm 311.

(4)

4

tindak pidana penyalahgunaan narkotika di Indonesia yang semakin hari semakin meningkat, dibutuhkan perubahan perangkat perundang undangan yang aplikatif sesuai kebutuhan kondisi saat itu. Oleh sebab itu, indikasi kebutuhan zaman yang terus berubah menjadi salah satu alasan mengapa aplikasi Undang-Undang Nomor 9 tahun 1976 tidak lagi mampu secara efektif mengatasi setiap tindak pidana narkotika yang berkembang secara cepat. Alasan lain adalah pada satu sisi pemerintah membutuhkan upaya untuk mengantisipasi dengan membentuk dan memberlakukan Undang-Undang Narkotika yang bersifat khusus.

Kebutuhan antisipasi ini juga bedasarkan pada kenyataan bahwa kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dimiliki oleh Indonesia saat ini belum menjangkau kejahatan tersebut. Oleh karena itu, Andi Hamzah (1997) meyakini bahwa ketentuan pidana di dalam perundang-undangan pidana khusus lebih interen dan lebih mendekati tujuan reformasi di banding dengan yang tercantum di dalam KUHP yang telah kuno itu.

6

Jika merujuk pada ruang lingkup materi, rumusan kebijakan kriminalisasi dan kualifikasi tindak pidana tentang Narkotika dalam Undang-Undang nomor 9 tahun 1976 terfokus

6 Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Jakarta:

PT. Pradnya Paramita, 1997, hlm 67.

(5)

5

untuk kepentingan pengobatan atau tujuan ilmu pengetahuan (Pasal 23 dan 24 Undang-Undang nomor 9 tahun 1976). Dengan adanya kelemahan-kelemahan pada perkembangan kebutuhan sosial dan budaya yang berkembang cepat, serta kebutuhan cakupan ruang lingkup isi pengaturan tindak pidana penyalahgunaan Narkotika seperti tersebut, maka pemerintah Indonesia mengadakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

Ruang lingkup Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997

tentang narkotika, mempunyai cakupan norma, materi, maupun

ancaman pidana yang di perberat di banding dengan Undang

Undang Nomor 9 Tahun 1976. Hal ini didasarkan pada faktor

perkembangan kebutuhan dan kenyataan bahwa nilai dan norma

dalam ketentuan yang berlaku pada saat itu tidak memadai lagi

sebagai sarana efektif untuk mencegah dan memberantas

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Kemajuan

teknologi dan informasi, perkembangan struktur masyarakat dan

latar belakang tindak pidana penyalahgunaan Narkotika semakin

komplek pada akhirnya juga membutuhkan perbaikan Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 1997 yang sudah tidak cukup efektif

dalam pelaksanaannya sesuai kebutuhan jaman. Indikasi utama

yang digunakan adalah tindak pidana Narkotika di dalam

(6)

6

masyarakat menunjukkan kecenderungan meningkat tinggi tiap tahun baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan pelaku yang semakin meluas dan bervariatif. Meski demikian pelaku penyalahgunaan narkotika tetap di dominasi oleh kalangan anak- anak, remaja, dan generasi muda. Oleh sebab itu, Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1997 ini dicabut dan di sempurnakan oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengatur ruang lingkup lebih luas pada peraturan materi, peran dan pelaksana yang terlibat dalam penanganan tindak kejahatan khusus (extra ordinary crime). Contoh salah satu konsekuansi dari kejahatan khusus (extra odinary crime) adalah terkait hukuman bagi pelaku. Pelaku tindak pidana narkotika diancam dengan pidana yang tinggi dan berat dengan dimungkinkannya terdakwa divonis maksimal yakni pidana mati selain pidana penjara dan pidana denda. Mengingat tindak pidana narkotika termasuk dalam jenis tindak pidana khusus maka ancaman pidana terhadapnya dapat dijatuhkan secara kumulatif dengan menjatuhkan 2 (dua) jenis pidana pokok sekaligus.

Misalnya pidana penjara dan pidana denda atau pidana mati dan pidana denda.

Secara material, jika dibandingkan dalam KUHP,

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juga

(7)

7

lebih tegas mengatur kekurangan di dalam KUHP yang hanya menghendaki salah satu pidana pokok saja. Di dalam KUHP penjatuhan dua hukuman pokok sekaligus memang tidak dimungkinkan oleh karenanya tidak ada hukuman yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan pidana denda secara bersama-sama.

Penerapan pidana mati dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, adalah suatu upaya radikal untuk menghukum orang-orang yang tak dapat diperbaiki lagi. Dengan penerapan pidana mati ini maka hilang kewajiban negara untuk memelihara mereka dalam penjara-penjara yang demikian besarnya.

7

Pemberlakuan pidana mati bagi pelaku tindak pidana narkotika memang mengundang kontroversi. Beberapa pendapat menyebutkan bahwa pidana mati tidak sesuai dengan ajaran agama, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu pidana mati bertentangan dengan Hak Asasi Manusia berdasarkan Pasal 28 A UUD 1945 perubahan kedua, Pasal 4 dan Pasal 33 ayat (2) Undang-undang HAM Nomor 39 Tahun 1999 bahwa setiap orang bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa serta bertentangan dengan Pasal 6 ayat (1) ICCPR bahwa setiap orang berhak untuk hidup. Akan tetapi, jika ditinjau

7 Andi Hamzah, dkk, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan di Masa Depan. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984, hal. 27.

(8)

8

melalui pendekatan filosofis kemanusiaan bahwa hukuman dengan pidana mati sangat pantas dijatuhkan kepada para penyalahguna narkotika tersebut, terutama terhadap jaringan dan para pengedarnya. Oleh karena akibat dari perbuatan tersebut sangat berat bobot kejahatannya, yang pada akhirnya dapat menghancurkan hampir kebanyakan generasi muda dari sebuah bangsa.

8

Pada satu sisi, sanksi pidana yang dijatuhkan oleh para hakim terhadap para pelaku kejahatan masih dinilai belum memberikan rasa takut dan dipengaruhi oleh norma-norma di luar norma hukum tampaknya masih melekat dan menjadi kendala terhadap penegakan hukum secara konsekuen.

9

Penegakan hukum terhadap kejahatan di Indonesia, khususnya dalam hal pemidanaan, seharusnya merujuk pada pendekatan norma hukum yang bersifat menghukum pelaku kejahatan sehingga dapat memberikan efek jera. Terkait dengan hal ini, penulis sependapat dan merujuk H.J Smidt yang dikutip oleh Teguh Prasetyo (2011), keberagaman jenis dan sanksi, khususnya yang berupa sanksi tindakan (treatment) memang lebih banyak dipengaruhi oleh

8 Moh. Taufik Makaro dkk, Tindak Pidana Narkotika, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2005, hal. 47.

9 Gatot Supramono, Op.cit, hal 93.

(9)

9

perkembangan kriminalitas yang semakin meningkat, lebih canggih dan berdimensi baru (new demention of criminology)

10

.

Selain itu, di dalam sistem hukum pidana di Indonesia, dapat timbul pengaturan hukum pidana (kebijakan kriminalisasi) khusus, tersendiri di luar yang di atur di dalam KUHP.

Pengaturan tindak pidana narkotika merupakan pengaturan salah satu dari hukum pidana (kebijakan kriminalisasi) khusus di luar KUHP tersebut. Sebagai bentuk pidana khusus, berarti

“...mengatur perbuatan tertentu atau berlaku terhadap orang tertentu yang tidak dapat di lakukan oleh orang lain selain orang tertentu”

11

. Secara tegas dalam uraian selanjutnya disampaikan bahwa Hukum Tindak Pidana Khusus diatur dalam Undang- Undang Pidana tersendiri

12

Sementara di dalam KUHP sendiri menyatakan tentang kemungkinan adanya Undang-Undang Pidana di luar KUHP itu sendiri, sebagaimana dapat disimpulkan dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 103 KUHP. Pasal 103 KUHP menyatakan:

Ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VII buku ini berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan yang lain diancam pidana, kecuali jika oleh undang-undang itu ditentukan lain.

10 Teguh Prasetyo, Op cit, hlm 81.

11 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Edisi Revisi, Jakarta, Rajawali Pers, hal 229

12 Ibid, hlm 229

(10)

10

Maksud dari penjelasan di dalam Pasal 1-85 Buku I KUHP tentang Ketentuan Umum/Asas-asas Umum berlaku juga bagi perbuatan yang diancam dengan pidana berdasarkan undang- undang atau peraturan di luar KUHP, kecuali undang-undang atau peraturan itu menyimpang. Dengan kata lain, penerapan ketentuan pidana khusus dimungkinkan berdasarkan asas lex spesialis derogate lex generalis yang mengisyaratkan bahwa ketentuan yang bersifat khusus akan lebih diutamakan daripada ketentuan yang bersifat umum. Maka terkait dengan hal ini tentunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 maupun Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ketentuan materiil dan formilnya tidak sama dengan ketentuan yang ada dalam KUHP dan KUHAP. Salah satunya adalah perbedaan masa penangkapan pelaku 1 x 24 jam dalam KUHAP menjadi total 6 hari dalam UU Nomor 35 Tahun 2009.

Pada sisi lain, ditetapkannya Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan tercatat dalam lembaran Negara tanggal 12

Agustus 2011, menjadi rujukan atas semua proses dan subtansi

pembentukan perundang-undangan di Indonesia. Asas secara

formil dan material di dalam proses dan subtansi pembentukan

perundang-undangan di uraikan dengan jelas di dalam Bab II

(11)

11

Asas Pembentukan Perundang-Undangan Pasal 5 dan Pasal 6

13

. Berkaitan dengan asas pembentukan perundang-undangan tersebut, maka terkait dengan sejarah pekembangan pengaturan Narkotika di Indonesia mulai dari Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 maupun Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, menurut penulis, penting untuk merunut secara ilmiah asas-asas undang-undang tindak pidana penyalahgunaan narkotika dalam kaitan ruang lingkup undang-undang tersebut diatas. Kepentingan utamanya adalah mendapatkan gambaran obyektif perkembangan perundang-undangan tentang narkotika di Indonesia dan prioritas pengembangannya kedepan.

Selain itu, dengan jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar dan wilayah yang sangat luas yang merupakan Negara kepulauan akan menjadikan permasalahan dalam upaya penanggulangan penylahgunaan narkotika di Indonesia. Banyak sekali jalan baik yang resmi maupun tidak resmi yang bisa dijadikan pintu masuk untuk penyelundukan narkotika. Dengan jumlah aparat penegak hukum di bidang narkotika yang terbatas disertai peralatan yang terbatas akan menjadikan permasalahan di bidang penegakan hukum terhadap peredaran gelap narkotika.

13 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Perundang-Undangan.

(12)

12

Dengan jumlah dan peralatan yang terbatas tersebut diperlukan peran serta masyarakat secara aktif guna menekan peredaran narkotika secara illegal. Masyarakat diharapkan dapat membantu aparat penegak hukum dengan cara memberikan informasi tentang adanya peredaran gelap narkotika maupun bersedia menjadi saksi saat aparat penegak penegak hukum melakukan upaya upaya penegakan hokum, sehingga antara penegak hokum dan masyarakat dapat bekerja sama dalam pemberantasan peredaran gelap narkotika. Setidaknya masyarakat dapat menjadi “ penegak hukum “ bagi dirinya sendiri maupun bagi keluarganya sendiri.

Dari uraian di atas, penulis tertarik mengkaji secara

yuridis ilmiah mengenai penggunaan asas pada muatan materi

peraturan perundang-undangan dalam pengaturan tindak pidana

penyalahgunaan narkotika di Indonesia. Khususnya perbandingan

penggunaan asas pada muatan materi antara Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 1997 dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2009 Tentang Narkotika.

(13)

13

B. Rumusan Masalah

Bagaimana perbandingan muatan materi antara Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1997 dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika?

C. Tujuan Penelitian

Menganalisa dan mengetahui perkembangan pengaturan muatan materi antara Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pengetahuan dan pendekatan penelitian khususnya bagi pengembangan ilmu pengetahuan terkait dengan ruang lingkup kajian hukum dan produk perundang-undangan, khususnya tentang narkotika.

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan bermanfaat

secara langsung bagi pengambil kebijakan, khususnya

berbagai fihak yang bekerja didalam perumusan,

(14)

14

penegakan dan pengawasan hukum di Indonesia, khususnya bagi penanggulangan penyalahgunaan narkotika.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian pertama yang dilakukan oleh penulis. Sejauh ini belum ada peneliti lain yang meneliti, mengenai perbandingan muatan materi antara Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Dengan demikian peneliti menjamin kleaslian bahan bahan yang berkaitan dengan topic ini tanpa plagiat dari penelitian terdahulu dalam bidang ini.

F. Metode Penelitian

1. Jenis penelitian

Penelitian hukum adalah suatu proses untuk

menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum,

maupun doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang

(15)

15

dihadapi.

14

Sesuai dengan karakteristik perumusan masalah yang ditujukan untuk menganalisa perbandingan muatan hukum perundang-undangan antara Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1997 dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, maka metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Kategori penelitian normatif karena keilmuan hukum memang bersifat preskriptif yaitu melihat hukum sebagai norma sosial bukan gejala sosial

15

. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek, yaitu aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum dan pasal demi pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu undang-undang, serta bahasa hukum yang digunakan

16

.

Kajian hukum normatif ini akan di gunakan untuk mengkaji perbandingan muatan hukum perundang- undangan antara dua produk hukum yaitu Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1997 dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Pengertian

14 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, 2010, hlm. 35.

15 Ibid, hlm 33.

16 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2004, hlm. 101-102.

(16)

16

Perbandingan hukum dalam kontek penelitian ini merujuk kepada pendapat Teguh Prasetyo (2012) adalah ilmu yang membandingkan sistem-sistem hukum yang ada di dalam suatu negara atau antarnegara

17

.

2. Pendekatan Penelitian

a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach).

Pendekatan perundang-undangan diperlukan karena yang menjadi fokus sekaligus tema sentral penelitian ini yaitu perbandingan asas muatan hukum perundang-undangan antara Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Untuk itu peneliti harus melihat hukum sebagai sistem tertutup yang mempunyai sifat-sifat: comprehensive, all-inclusive, systemat

18

. Selain itu dalam metode pendekatan perundang-undangan, peneliti perlu memahami hierarki, dan asas-asas dalam peraturan perundang- undangan

19

. Dengan demikian, pendekatan perundang-undangan dalam penelitian ini merupakan

17 Teguh, Prasetyo,Op cit, hal. 363

18 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Banyumedia, 2006, hlm. 303.

19 Peter Mahmud Marzuki, Op.cit, hlm 96.

(17)

17

legislasi dan regulasi mengenai pengaturan tindak pidana penyalahgunaan narkotika di Indonesia.

b. Pendekatan filsafat (philosopical Approach)

Dengan sifat filsafat yang menyeluruh, mendasar dan spekulatif, penjelajahan filsafat akan mengupas isu hukum (legal issues) dalam penelitian normatif secara radikal dan mengupasnya secara mendalam

20

. Pemahaman akan makna merupakan hal yang esensial di dalam penelitian

21

. Melalui pendekatan filsafat penulis akan mengupas asas-asas hukum pidana dalam pengaturan narkotika di Indonesia.

c. Pendekatan konsep (conceptual approach).

Pendekatan konseptual dilakukan manakala peneliti tidak beranjak dari aturan hukum yang ada

22

. Dalam penelitian ini, maka penulis akan menggali konsep keadilan berdasarkan pandangan-pandangan tokoh- tokoh dan doktrin-doktrin hukum yang berkembang dalam Ilmu Hukum. Meskipun tidak secara eksplisit, konsep hukum dapat juga diketemukan di dalam undang-undang

23

. Jadi konsep-konsep hukum tersebut

20 Johnny Ibrahim, Op.cit, hlm 320.

21 Peter Mahmud Marzuki, Op.cit, hlm 87.

22 Ibid, hlm 137.

23 Ibid, hlm138.

(18)

18

akan dijadikan penulis sebagai pijakan dalam membangun argumen-argumen hukum dalam menemukan asas-asas hukum pidana dalam pengaturan narkotika di Indonesia.

3. Tehnik Pengumpulan Data dan Sumber Penelitian Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah penelusuran kepustakaan yang berupa literatur dan dokumen-dokumen yang ada, yang berkaitan dengan objek penelitian

24

. Oleh karena itu, sumber data penelitian ini adalah data sekunder, yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier

25

. Bahan hukum yang dikaji meliputi beberapa hal berikut:

a. Bahan hukum primer

Yakni bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang-undangan yakni :

1). Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika;

24 Ronny Hantijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1982, hlm 24.

25 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta; Rajawali Press, 1995, hlm 39.

(19)

19

2). Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

3). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan

4). Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

b. Bahan hukum sekunder

Adalah bahan hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan, seperti buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana dan hasil simposium mendukung bahan priomer serta yang relevan dengan isu penelitian.

c. Bahan hukum tersier

Adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder. Dalam kontek penelitian ini,

penulis akan menggunakan kategori bahan hukum

tersier sebagai bahan penelitian meliputi kamus

hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),

Kamus Bahasa Inggris ataupun ensiklopedia yang

relevan dengan isu penelitian ini.

(20)

20

4. Metode Analisis

Pertama, Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif dengan penalaran deduktif.

Deskripsi atau pemaparan merupakan kegiatan menentukan isi aturan hukum setepat mungkin, sehingga kegiatan mendeskripsikan tersebut dengan sendirinya mengandung kegiatan interpretasi

26

. Dengan demikian penelitian ini termasuk dalam dogmatik hukum, yaitu deskripsi, sistematisasi, analisis, interprestasi, dan menilai hukum positif

27

. Dalam penelitian ini yang diinterprestasikan yaitu perbandingan asas muatan hukum perundang-undangan antara Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009.

Kedua, Analisis perbandingan, yaitu hasil analisis deskriptif kualitatif dengan penalaran deduktif tersebut di bandingkan dengan menjelaskan perbandingan muatan materi perundang-undangan dari dua produk undang narkotika, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

26 Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Bandung, Mandar Maju, 2000, hlm 149-150.

27 J.J.H. Bruggink, Op.cit, hal. 169.

(21)

21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Tentang Hukum

Berbicara tentang hukum pada umumnya yang dimaksudkan adalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama: keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya.

28

Pada dasarnya, menurut J.J.H. Bruggink

29

perintah perilaku, yang mewujudkan isi kaidah itu dapat menampilkan diri dalam berbagai wajah/sosok. Penggolongan yang paling umum adalah :

a. perintah (Gebod) adalah kewajiban umum untuk melakukan sesuatu;

b. larangan (Verbod) adalah kewajiban umum untuk tidak melakukan sesuatu;

c. pembebasan (Vrijstelling, dispensasi) adalah pembolehan (Verlof) khusus untuk tidak melakukan

28 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta: Liberty, 2005, hlm 40.

29 J.J.H. Bruggink, Refleksi tentang Hukum, Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 1999, hlm 100.

(22)

22

sesuatu yang secara umum diharuskan; dan

d. izin (toestemming, permisi) adalah pembolehan khusus untuk melakukan sesuatu yang secara umum dilarang.

Selain dari aspek tersebut di atas maka kaidah hukum

dapat juga ditentukan dalam hukum yang tercatat

/terdokumentasikan seperti: hasil-hasil penelitian Hukum adat,

penilaian ahli hukum, pandangan doktrin tentang hukum,

pandangan filosofi seorang filsuf dan lain sebagainya. Begitu

pula kaidah hukum dapat ditemukan dalam hukum tertulis

seperti: UU, Yurisprudensi, Keputusan Pemerintah Pusat/Daerah

dan lain sebagainya. Kaidah hukum dapat pula ditemukan dalam

kitab-kitab suci, ada kemungkinan hukum yang tercatat/tertulis

berasal dari kenyataan hukum, tetapi pembentukannya bersifat

rasional. Pembentuknya (seperti DPR/D, Kepala daerah, dan lain-

lain) mempunyai kepentingan tertentu atau mempunyai

pandangan tertentu yang cukup berperanan dalam terbentuknya

hukum tersebut. Adanya kepentingan/pandangan tertentu turut

dipertimbangkan mengakibatkan fakta empiris akan menjadi

hukum setelah diolah secara rasional. Dalam pembentukan

hukum yang terbentuk tidak berasal semata-mata dari kebiasaan

tetapi timbul berdasarkan suatu pertimbangan dari pihak

berwibawa sehingga anggota masyarakat patuh. Hukum yang

(23)

23

hidup (living Law) tidak bisa lepas dari pertimbangan pihak yang berwibawa. Maka tidak salah salah jika Mertokusumo mengatakan bahwa hukum adalah kekuasaan, kekuasaan yang mengusahakan ketertiban

30

.

Dengan demikian ditinjau dari deskripsi di atas dapatlah ditarik 2 (dua) asumsi dasar, yaitu: Pertama, bahwasanya kaidah hukum dapat ditemukan dalam hukum tertulis dan tercatat.

Kedua, bahwasanya pembentukan hukum yang hidup tidak lepas dari legitimasi kewibawaan yang mengakibatkan adanya pertimbangan nilai, maka dapat disimpulkan bahwa kaidah hukum tidak semata-mata terlihat berupa fakta empiris tetapi juga berupa hal rasional. Hukum tidak bisa diindetikkan begitu saja dengan fakta empiris yang alamiah dan fisik serta dapat diserap dengan panca indera. Hukum bersangkutan dengan manusia yang secara utuh bersosok monodualistis antara jiwa dan badan, individu dan masyarakat. Kaidah hukum berintikan keadilan.

Adil dan tidak adil merupakan pendapat mengenai nilai secara pribadi.

Kaidah hukum bersangkutan dengan martabat manusia (human dignity), bagaimana manusia terlindungi dari kesewenang-wenangan, bebas dari rasa takut dan lain-lain dan ini merupakan aspek personal dari hukum. Sedangkan terhadap

30 Lih. Sudikno Mertokusumo, Ibid, hlm 20.

(24)

24

pernyataan bahwa kaidah hukum berlaku bagi siapapun dan kapanpun, pedoman bagi anggota masyarakat bertingkah laku, dan untuk memperhatikan kaidah hukum tersebut dibentuklah pranata hukum dan lembaga hukum, adalah merupakan aspek sosial dari kaidah hukum. Aspek personal dan aspek sosial dari kaidah hukum itu sepertinya saling bertentangan satu sama lainnya seperti tidak saling mendukung. Usaha-usaha untuk mempertemukan antara keduanya dapat disebut usaha kultural.

Proses pembentukan dan penerapan kaidah hukum dimana hubungan timbal balik aspek personal dan aspek sosial merupakan proses berbudaya. Sehingga proses integrasi antara pribadi masyarakat dan kebudayaan merupakan inti dari kaidah hukum yang secara substansial merupakan titik tolak kajian dari hukum.

Eksistensi sanksi sebagai penguat kaidah hukum

merupakan salah satu kaidah sosial yang penting. Secara

operasional menurut Paul Bohannan, sanksi merupakan perangkat

aturan-aturan yang mengatur bagaimana lembaga-lembaga

hukum mencampuri suatu masalah untuk dapat memelihara suatu

sistem sosial, sehingga memungkinkan warga masyarakat hidup

(25)

25

dalam sistem itu secara tenang dan dalam cara-cara yang diperhitungkan

31

.

Lebih lanjut Marwan Mas (2004) membagi fungsi hukum ke dalam tujuh fungsi, yaitu:

32

a. fungsi hukum sebagai sarana sosial control,

b. fungsi hukum sebagai ”a tool of social engineering”

(sarana perekayasa masyarakat), c. fungsi hukum sebagai simbol, d. fungsi hukum sebagai alat politik,

e. fungsi hukum sebagai sarana penyelesaian sengketa, f. fungsi hukum sebagai sarana pengendalian sosial, g. fungsi hukum sebagai sarana pengintegrasi sosial.

Dalam literatur tentang Hukum dikenal beberapa teori tentang tujuan hukum, yaitu:

33

(a). Teori Etis. Menurut teori etis hukum semata-mata bertujuan keadilan. Isi hukum ditentukan oleh keyakinan kita yang etis tentang yang adil dan tidak. (b).

Teori utilistis. Menurut teori ini hukum ingin menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi manusia dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya. Pada hakekatnya menurut teori ini tujuan hukum adalah manfaat dalam menghasilkan kesenangan atau

31 Ihromi, Antropology dan Hukum, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1984, hlm 61.

32 Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004, hal. 80-88.

33 Sudikno Mertokusumo, Op.cit, hlm 77-81.

(26)

26

kebahagian yang terbesar bagi jumlah orang terbanyak. (c). Teori Campuran. Menurut Mochtar Kusumaatmadja tujuan pokok dan pertama dari hukum adalah ketertiban. Kemudian menurut Purnadi dan Soerjono Soekanto tujuan hukum adalah kedamaian hidup antar pribadi yang meliputi ketertiban ekstern antar pribadi dan ketenangan intern pribadi. Sedangkan Soebekti berpendapat bahwa hukum itu mengabdi kepada tujuan negara, yaitu mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan kepada rakyatnya.

B. Teori Tentang Pidana

Pidana merupakan karakteristik hukum pidana yang membedakannya dengan hukum perdata. Dalam gugatan perdata pada umumnya, pertanyaan timbul mengenai berapa besar jika ada, tergugat telah merugikan penggugat dan kemudian pemulihan apa jika ada yang sepadan untuk menggantikan kerugian penggugat. Dalam perkara pidana, sebaliknya, seberapa jauh terdakwa telah merugikan masyarakat dan pidana apa yang perlu dijatuhkan kepada terdakwa karena telah melanggar hukum (pidana)

34

.

Istilah ”hukuman” yang berasal dari kata ”straf” dan istilah ”dihukum” yang berasal dari perkataan ”wordt gestraft”.

34 Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, Cet. 3, Jakarta : PT.

Rineka Cipta, 2008, hlm. 27.

(27)

27

Menurut Prof. Mulyatno istilah-istilah tersebut merupakan istilah- istilah yang konvensional. Beliau tidak setuju dengan istilah- istilah itu dan menggunakan istilah yang modern, yaitu ”pidana”

untuk menggantikan kata ”straft” dan ”diancam dengan pidana”

untuk mengggantikan kata ”wordt gestraft”, kalau ”straft”

diartikan ”hukuman”, maka ”strafrecht” seharusnya diartikan

”hukum hukuman”

35

. Menurut beliau ”dihukum” berarti

”diterapi hukuman”, baik hukum pidana maupun hukum perdata.

”Hukuman” adalah hasil atau akibat dari penerapan hukum tadi yang maknanya lebih luas daripada pidana, sebab mencakup juga keputusan hakim dalam lapangan hukum perdata

36

.

Demikian pula Prof. Sudarto menyatakan bahwa

”penghukuman” berasal dari kata dasar ”hukum”, sehingga dapat diartikan sebagai ”menetapkan hukum”, atau ”memutuskan tentang hukumnya” (”berechten”). ”Menetapkan hukum” untuk suatu peristiwa tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata

37

. Selanjutnya dikemukakan oleh beliau bahwa istilah ”penghukuman” dapat disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana, yang kerap sinonim dengan ”pemidanaan” atau ”pemberian/penjatuhan

35 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1992, hlm 1.

36 Ibid.

37 Ibid.

(28)

28

pidana” oleh hakim. ”penghukuman” dalam arti yang demikian menurut Prof. Sudarto mempunyai makna sama dengan

”sentence” atau ”veroordeling”, misalnya dalam pengertian

”setence conditionally” atau ”voorwaardelijk veroordeeld” yang sama artinya dengan ”dihukum bersyarat” atau dipidana bersyarat”. Akhirnya dikemukakan oleh Prof. Sudarto bahwa istilah ”hukuman” kadang-kadang digunakan untuk pengganti perkataan ”straf”, namun menurut beliau istilah ”pidana” lebih baik daripada ”hukuman”

38

.

Istilah ”hukuman” yang merupakan istilah umum dan konvensional, dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan dalam bidang hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari di bidang pendidikan, moral, agama dan sebagainya

39

. Oleh karena ”pidana” merupakan istilah yang lebih khusus, maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau sifat- sifatnya yang khas

40

.

Guna memberikan gambaran yang lebih luas, berikut ini dikemukakan beberapa pendapat atau definisi dari para sarjana

38 Ibid.

39 Ibid, hlm 2.

40 Ibid.

(29)

29

tentang pidana:

41

(a). Prof. Sudarto, SH: ”Pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.” (b).

Prof. Roeslan Saleh: ”Pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu.” (c). Fitzgerald: “Punisment is the authorirative infliction of suffering for an offence.” (Pidana adalah hukuman dari suatu kejahatan yang mengakibatkan penderitaan). (d). Ted Honderich: “Punisment is an authority’s infliction of penalty (something involving deprivation or distress) on an offender for an offence.” (Pidana adalah hukuman dari penguasa gerupa penjabutan hak-hak, penderitaan bagi yang pelanggar kejahatan). (e). Sir Rupert Cross:”Punisment means:

The inliction of pain by the State on someone who has been convicted of an offence” (Pidana adalah hukuman yang berupa kesakitan atau penderitaan yang dilakukan oleh negara pada seseorang yang bersalah melakukan kejahatan). (f). Burton M.

Leiser: “A punisment is a harm inflicted by a person in a position of authority upon another who is judged to have violated a rule or a law”.

(g). H.L.A. Hart:

”Punisment must :

41 Ibid.

(30)

30

1. involve pain or other consequences normally considered unpleasant,

2. be for an actual or supposed offender for his offence;

3. be for an offence against legal rules,

4. be intentionally administered by human beings other than the offender,

5. be imposed and administered by an authority constituted by a legal system against with the offence is committed.

(Pidana harus : (1). Meliputi kerugian / kesakitan atau konsekuensi yang lain yang biasanya dianggap tidak menyenangkan. (2). Ada untuk pelanggaran sebenarnya atas kejahatan. (3). Ada untuk suatu kejahatan yang melanggar hukum yang resmi. (4). Diberikan secara sengajaoleh masyarakat lain daripada oleh pelanggar. (5). Dipaksakan dan disengaja oleh suatu kekuasaan yang dibentuk oleh sistem resmi yang berlawanan dengan kejahatan)

(h). Alf Ross:

“Punishment is that social response which:

1. occur where there is violation of a legal rule;

2. is imposed and carried out by authorized persons on behalf of the legal order to which the violated rule belongs;

3. involves suffering or at least other consequences normally considered unpleasant;

4. expresses disapproval of the violator”

(Pidana adalah respon sosial : (1). Terjadi dimana ada pelanggaran hukum (2). Dipaksakan dan dikeluarkan oleh orang yang berkuasa diatas kepentingan dari perintah resmi; (4).

eliputi penderitaan atau setidak-tidaknya konsekuensi lain yang

(31)

31

dianggap tidak menyenangkan. (5). Menyatakan ketidaksetujuan atas pelanggaran)

Berdasarkan beberapa definisi para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut :

42

a) Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat- akibat lain yang tidak menyenangkan;

b) Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);

c) Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.

C. Asas-asas Pembuatan Undang-Undang

Materi sumber hukum yang menjadi acuan pembentukan produk hukum di Indonesia adalah Pancasila, UUD 1945, Yurisprudensi, Hukum Agama, Hukum Adat, dan Hukum Internasional. Oleh karena itu memahami tentang asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan akan merujuk bagaimana cara undang-undang di susun dan bekerja.

42 Ibid, hlm 4.

(32)

32

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian asas adalah dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan berpikir, berpendapat dan bertindak

43

. Dari pengertian tersebut, maka asas- asas pembentuk peraturan perundang-undangan berati dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan dalam menyusun peraturan perundang-undangan. Pandangan kata asas adalah prinisip yang berarti kebenaran yang menjadi pokok dasar dalam berpikir, berpendapat dan bertindak.

Dalam menyusun peraturan perundang-undangan penulis mencoba mengklasifikasikan di dalam dua pokok pembahasan yaitu pertama, Asas materil; atau prinsip-prinsip substantif; dan kedua Asas formal; atau prinsip-prinsip teknik pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam dua kerangka tersebut, penulis merujuk kepada pendapat Prof. Purnadi Purbacaraka dan Prof. Soerjono Soekantanto

44

, yang mengkompilasi enam asas dalam menyusun undang- undang:

a. Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut (non retroaktif);

43 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 2002, hlm 70

44 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Peraturan perundang-undangan dan Yurisprudensi, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1989, hlm 7-11

(33)

33

b. peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula;

c. peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus menyampingkan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum (lex specialis derogat lex generalis);

d. peraturan perundang-undangan yang berlaku belakangan membatal-kan peraturan perundang- undangan yang berlaku terdahulu (lex posteriori derogate lex periori);

e. peraturan perundang-undangan tidak dapat di ganggu gugat;

f. peraturan perundang-undangan sebagai sarana untuk

semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan

spiritual dan materil bagi masyarakat maupun

individu, melalui pembaharuan atau pelestarian (asas

welvaarstaat).

(34)

34

Sementara Amiroedin Sjarief, mengajukan lima asas

45

: a. asas tingkatan hirarkhi;

b. peraturan perundang-undangan tidak dapat di ganggu gugat;

c. peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus menyampingkan UU yang bersifat umum (lex specialis derogate lex generalis);

d. peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut;

e. UU yang baru menyampingkan UU yang lama (lex posteriori derogat lex periori).

Menurut I.C Van der Vlies sebagaimana dikutip oleh Roseno Harjowidigo (2004) asas- asas formal dan material bagi pembentukan perundang-undangan adalah sebagai berikut:

46

Pertama, Asas tujuan yang jelas (beginsel van duetlijke doelstelling); asas ini mencakup tiga hal yaitu mengenai ketepatan letak peraturan perundang-undangan yang akan

45 Amiroeddin Sjarif, Perundang-undangan: Dasar, Jenis, dan Teknik Membuatanya,

Jakarta, Rineka Cipta, 1997, hlm. 78-84.

46 Roseno Harjowidigo, Wetgeving Sleerdi Negeri Belanda dan Perkembangan Undang-undang saat ini di Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta Timur, 2004, hlm. 48.

(35)

35

dibentuk, kerangka kebijakan umum pemerintahan, tujuan khusus peraturan perundangundangan yang akan dibentuk dan tujuan bagian-bagian peraturan perundang-undangan yang akan dibentuk tersebut. Kedua, Asas Organ/Lembaga Yang Tepat (beginsel van het juiste organ); asas ini memberikan penegasan tentang perlunya kejelasan kewenangan organ-organ/lembaga- lembaga yang menetapkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

Ketiga, Asas Perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids

beginsel); asas ini tumbuh karena selalu terdapat alternatif atau

alternatif-alternatif lain untuk menyelesaikan suatu masalah

pemerintahan selain dengan membentuk peraturan perundang-

undangan. Keempat, Asas dapat dilaksanakan (het beginsel van

uitvoorbaarheid); asas ini dinilai orang sebagai usaha untuk

dapat ditegakkannya peraturan perundang-undangan yang

bersangkutan. Sebab tidak ada gunanya suatu peraturan

perundang-undangan yang tidak dapat ditegakkan. Kelima. Asas

konsensus (het beginsel van consensus); asas ini menunjukkan

adanya kesepakatan rakyat dengan pemerintah untuk

melaksanakan kewajiban dan menanggung akibat yang

ditimbulkan oleh peraturan perundang-undangan yang

bersangkutan.

(36)

36

Masih menurut I.C Van der Vlies sebagaimana dikutip oleh Roseno Harjowidigo (2004), kebutuhan akan asas-asas material dalam pembentukan peraturan perundang-undangan adalah:

a. Asas tentang terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van duitdelijke terminologie en duitdelijke systematiek); asas ini adalah agar peraturan perundang-undangan dapat dimengerti oleh masyarakat dan rakyat, baik mengenai kata-katanya maupun mengenai struktur atau susunannya.

b. Asas tentang dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid); asas ini menekankan apabila sebuah peraturan perundang-undangan tidak dikenali dan diketahui oleh setiap orang lebih lebih yang berkepentingan maka ia akan kehilangan tujuannya sebagai peraturan.

c. Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het

rechsgelijkheids beginsel); asas ini menunjukkan

tidak boleh ada peraturan perundang-undangan yang

hanya ditujukan kepada sekelompok orang tertentu,

karena hal ini akan mengakibatkan adanya

(37)

37

ketidaksamaan dan kesewenangan-wenangan di depan hukum terhadap anggota-anggota masyarakat.

d. Asas kepastian hukum (het

rechtszekerheidsbeginsel); asas ini merupakan salah satu sendi asas umum negara berdasarkan atas hukum.

e. Asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual (het beginsel van de individuale rechtsbedeling); asas ini bermaksud memberikan penyelesaian yang khusus bagi hal-hal atau keadaan-keadaan tertentu sehingga dengan demikian peraturan perundang-undangan dapat memberikan jalan keluar selain bagi masalah- masalah umum juga masalah-masalah khusus.

47

Pembentukan peraturan perundang–undangan Indonesia yang patut akan mengikuti pedoman dan bimbingan yang diberikan oleh cita negara hukum yang tidak lain adalah Pancasila, yang oleh Attamimi diistilahkan sebagai bintang

47 Roseno Harjowidigo, Wetgeving Sleerdi Negeri Belanda dan Perkembangan Undang-undang saat ini di Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta Timur, 2004, hlm. 49-50.

(38)

38

pemandu, prinsip negara hukum dan konstitusionalisme, di mana sebuah negara menganut paham konstitusi

48

.

Lebih lanjut mengenai A. Hamid. S. Attamimi, mengatakan jika dihubungkan pembagian atas asas formal dan materil, maka pembagiannya sebagai berikut :

a. Asas–asas formal:

1) asas tujuan yang jelas;

2) asas perlunya pengaturan;

3) asas organ / lembaga yang tepat;

4) asas materi muatan yang tepat;

5) asas dapat dilaksanakan;

6) asas dapat dikenali.

b. Asas–asas materiil:

1) asas sesuai dengan cita hukum Indonesia dan norma fundamental Negara;

2) asas sesuai dengan hukum dasar Negara;

48 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu perundang-undangan (dasar- dasar dan pembentukannya), Yogyakarta, Kanisius, 1998, hlm.197-198.

(39)

39

3) asas sesuai dengan prinsip negara berdasarkan hukum;

4) asas sesuai dengan prinsip pemerintahan berdasarkan konstitusi

49

.

Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia sesuai Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi

50

.

1) kejelasan tujuan;

2) kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;

3) kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;

4) dapat dilaksanakan;

5) kedayagunaan dan kehasilgunaan;

6) kejelasan rumusan; dan 7) keterbukaan.

49 Ibid hlm.197-198.

50 Lihat Pasal 5 Undang Undang Nomor 12 tahun 2011.

(40)

40

Sedangkan materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas

51

:

1) pengayoman;

2) kemanusiaan;

3) kebangsaan;

4) kekeluargaan;

5) kenusantaraan;

6) bhinneka tunggal ika;

7) keadilan;

8) kesamaan kedudukan dalam hukum;

9) pemerintahan;

10) ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau 11) keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Menurut Soefyanto, materi muatan perundang-undangan harus mengandung asas

52

:

51 Lihat Pasal 6 ayat (1) Undang Undang Nomor 12 tahun 2011.

52 Soefyanto, Peraturan perundang-undangan (dasar dan teknik pembuatan), Jakarta, Universitas Islam Jakarta, 2007, hlm. 25-26.

(41)

41

1.

asas pengayoman;

2.

asas kemanusiaan;

3.

asas kebangasaan;

4.

asas kekeluargaan;

5.

asas kenusantaraan;

6.

asas bhineka tunggal ika;

7.

asas keadilan;

8.

asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan

pemerintahan;

9.

asas ketertiban dan kepastian hukum;

10.

asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Asas asas pembuatan hukum tersebut secara khusus penulis merujuk dalam kontek hukum pidana seperti yang diuraikan oleh Teguh Prasetyo (2011) menegaskan tiga asas utama, yaitu: asas legalitas, penyertaan dan asas Actus Mens Sit Rea

53

. Sementara di dalam hukum perdata, Soefyanto (2007)

53 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Edisi Revisi, Jakarta, Rajawali Pers, 2011, hlm., 254-256

(42)

42

dalam perjanjian antara lain meliputi: asas kesepakatan, kebebasan berkontrak dan iktikad baik.

54

D. Teori Tujuan Hukum Gustav Radbruch

Gustav Radbruch (21 November 1878-23 November 1949) lahir di Lubeck Jerman. Gustav Radbruch adalah profesor hukum dan professor filsafat di universitas Konigsberg, Kiel dan Heidleberg. Kehidupan diluar kampus, Radbruch juga merupakan politisi senior Partai Demokrat Sosialis dan pernah di Kementerian Hukum Jerman di era Republik Weimar. Setelah di Jerman dikuasai oleh Nazi, dia dilengserkan dan kemudian aktif di kampus. Aktivitas inilah yang kemudian mengantarkan Gustav Radbruch sebagai „Bapak Reformasi Pendidikan Hukum

55

‟.

Radbruch mengkombinasikan dua pendekatan sekaligus, yaitu pendekatan normative dan pedekatan empiris. Oleh sebab itu Radbruch mengembangkan tiga tujuan hukum

56

, pertama, Kepastian Hukum. Yaitu tuntutan pertama hukum ialah supaya ia positif, yaitu berlaku pasti. Hukum harus ditaati, supaya hukum sungguh-sungguh positif. Hukum adalah keseluruhan peraturan

54 Soefyanto, Op cit, hlm. 25-26

55 Achmad Ali, Menguat Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (judicial Prudence), Termasuk Interpretasi Undang-Undang (legisprudence), Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2010, hlm. 181

56 Notohamidjoyo, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum. Salatiga, Griya Media, 2011, hlm. 33-35

(43)

43

yang tertulis dan tidak tertulis yang biasanya bersifat memaksa kelakukan manusia dalam masyarakat Negara dan antar Negara.

Hukum bersifat Sollen-Sein, memperhatikan norma yang harus diwujudkan dalam kenyataan.

Radbruch mengakui adanya hukum alam yang mengatasi hukum positif, yaitu

57

:

a. Setiap individu harus diperlakukan menurut keadilan di depan pengadilan;

b. Pengakuan dan penghormatan terhadap hak hak asasi manusia yang tidak boleh dilanggar;

Harus ada keseimbangan antara pelanggaran dan hukuman.

Kedua, Keadilan Hukum. Bagi Radbruch ilmu hukum adalah pengetahuan tentang hal-hal yang bersifat atau bersumber dari manusia maupun dari Tuhan. Ilmu tentang apa yang adil dan apa yang tidak adil

58

. Sebagai pengikut mahzab Neokantianisme, Radbruch mengembangkan teori keadilan hukum (rechtsidee) sebagai mahkota dari tata hukum. Hukum merupakan kulturwissenschaft atau budaya masyarakat. Jadi tujuan hukum

57 Ibid, hlm. 132

58 Ibid. hlm. 183.

(44)

44

menurut Radbruch adalah merealisasikan nilai-nilai

59

. Hukum bukan „tatanan norma formal dari norma-norma‟ kultur bukan wilayah „akal murni‟ tetapi „akal praktis‟. Sehingga kulturwissenschaft adalah nilai-nilai manusia. Pengetahuan, seni, moralitas, maupun hukum adalah bagian dari kebudayaan dan masing-masing mengemban nilai-nilai manusiawi

60

.

Hukum menurut Radbruch mengemban nilai keadilan bagi kehidupan konkrit manusia. Ini intrinsik dalam hukum, karena memang itu salah satu hakikatnya sebagai salah satu unsur kebudayaan…ilmu bertugas menghadirkan kebenaran, seni untuk keindahan, tingkah laku susila untuk moralitas. Jadi masing-masing punya misi dan tugas sendiri-sendiri dengan sasaran akhir adalah manusia dengan kebutuhan riilnya

61

.

Radbruch juga mengatakan bahwa hukum sebagai pengemban nilai keadilan, menjadi ukuran bagi adil dan tidaknya suatu tata hukum. Nilai keadilan juga menjadi dasar dari hukum sebagai hukum. Ia menjadi landasan moral hukum dan sekaligus tolok ukur system hukum positif. Tanpa keadilan (rechtsidee) sebuah aturan tidak pantas menjadi hukum

62

.

59 Bernard L. Tanya dkk, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta, Genta Publishing, 2010, hlm., 169- 170

60 Ibid

61 ibid

62 Ibid. hlm. 131

(45)

45

Hukum memiliki tiga susunan hukum secara struktural, yakni (1). Keadilan, Keadilan adalah kesamaan hak di depan hukum. (2). Kepastian. Kepastian menunjuk pada jaminan bahwa hukum benar-benar berfungsi sebagai peratutan yang ditaati.

Kepastian merupakan kerangka operasional hukum. (3). Finalitas yaitu menunjuk pada tujuan keadilan yaitu mewujudkan kebaikan dalam, hidup manusia.

Ketiga, Daya Guna. Hukum perlu menuju tujuan yang penuh harga (waardeval). Nilai kebaikan bagi manusia dapat dihubungkan dengan tiga subyek yaitu individu (individualwerte) adalah nilai-nilai pribadi yang penting untuk mewujudkan kepribadian manusia. Daya guna hukum harus mewujudkan kepribadian manusia yang penuh harga (waardeval). Sementara Daya Guna hukum juga terkait nilai kolektivitas atau nilai nilai masyarakat (gemeinschaftswerte), atau nilai yang hanya dapat diwujudkan dalam masyarakat manusia. Daya guna hukum juga merupakan nilai-nilai karya kebudayaan, ilmu dan kesenian (werkwerte).

Yang pertama kali hendak dimajukan kebaikannya adalah

manusia sebagai individu. Jika tujuan hukum adalah kemajuan

Negara maka akan menghasilkan system hukum kolektif, ini akan

terlihat seperti Negara sosialis.

(46)

46

Dalam penjelasan implementasi hukum, bagaimana jika pertentangan antara keadilan dan kepastian? Radbruch menilai, kepastian hukum harus dijaga demi keamanan. Namun jika pertentangan antara tata hukum dan keadilan menjadi begitu besar, sehingga ia benar benar dirasakan tidak adil, maka demi keadilan (rechtsidee) tata hukum itu harus dilepaskan

63

.

Teori ini (Radsbrucian formula) berusaha untuk mengatasi dualisme antara sein dan sollen, antara „materi‟ dan

„bentuk‟. Teori ini juga memandang sein dan sollen, „materi‟ dan

„bentuk‟ sebagai dua sisi dari satu mata uang. Radbruch tidak ingin terjebak dalam dikotomi perdebatan antara „materi‟ dan

„bentuk‟. Sehingga Radbruch berkeyakinan bahwa „materi‟

mengisi „bentuk‟, dan „bentuk melindungi „materi‟. Nilai keadilan adalah „materi‟ yang harus menjadi isi aturan hukum, sedangkan aturan hukum adalah „bentuk‟ yang harus melindungi nilai keadilan.

Pendapat Radbruch ini menurut para ahli dipengaruhi oleh pengalaman dirinya sebagai warga Jerman yang mengalami bagaimana Nazi Jerman menggunakan hukum untuk menjadi pembenar genocida dan peperangan. Kekawatiran kejadian terhadap tirani hukum untuk kepentingan kolektif (mayoritas)

63 Ibid, hlm. 132

(47)

47

oleh Negara yang diselewengkan oleh Nazi Jerman menjadikan

keyakinan Radbruch bahwa keadilan (rechtsidee) adalah mahkota

tertinggi didalam hukum tanpa bisa ditawar.

(48)

48

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN ANALISA PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG NARKOTIKA

UU NO 22 TAHUN 1997 DENGAN UU NO 35 TAHUN 2009

Narkotika merupakan zat atau bahan yang bermanfaat di suatu bidang pengobatan, pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Tetapi pada sisi lain menimbulkan kerugian sistematis apabila disalahgunakan oleh masyarakat tanpa pengendalian dan pengawasan oleh pemerintah.

Pengaturan terhadap penyalahgunaan narkoba telah dilakukan dengan berbagai cara oleh berbagai Negara termasuk Indonesia dalam bentuk preemtif maupun represif dengan melibatkan seluruh elemen penegak hukum dan masyarakat. Termasuk melihat secara berkala kinerja regulasi terdahulu untuk menerbitkan regulasi baru yang lebih adaptif dan sesuai dengan kebutuhan penanggulangan penyalahgunaan narkotika saat ini dan kedepan.

1. Undang-Undang Narkotika Berkembang, tidak lengkap dan tidak Selalu Jelas

Secara substansial, perubahan signifikan pada UU Nomor

35 Tahun 2009 sebagai regulasi khusus merupakan

(49)

49

penyempurnaan dan adaptasi perkembangan regulasi Narkotika dari UU Nomor 22 Tahun 1997. Perkembangan regulasi ini sejalan dengan kaidah peraturan atau hukum sebagai sebuah yurisprudensi. Aturan hukum tidak lengkap karena hukum selaku berkembang mengikuti perkembangan masyarakat. Sebagai bagian dari budaya dan nilai kehidupan manusia, maka hukum pada dasarnya telah ada sejak kehidupan manusia. Setiap perilaku manusia yang berhubungan dengan orang lain dengan sendirinya adalah perbuatan hukum. Hubungan perilaku ini di bakukan dalam norma tata aturan hokum tertulis. Upaya hukum positif adalah untuk membakukan hubungan perilaku ini dalam norma tata aturan hukum tertulis.

Dengan kaidah tersebut, maka hukum positif selalu

berkembang dan melengkapi seiring dengan perkembangan

kebudayaan manusia. Basis utama hukum adalah menggali dari

dalam masyarakat. Hukum atau peraturan hukum bertujuan untuk

mengatur kegiatan manusia. Sedangkan kegiatan manusia tidak

terhitung jumlah dan jenisnya, maka tidak heran jika peraturan

hukum tidak lengkap dan tidak selalu jelas. Berdasarkan

pengertian dasar tersebut pada kontek perbandingan asas muatan

materi UU Nomor 5 Tahun 1997 dan UU Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika, menarik untuk dirunut perbandingan antar

keduanya.

(50)

50

2. Narkotika Sebagai Tindak Pidana Khusus

Pada sisi lain pengesahan materi UU Nomor 35 Tahun 2009 menggantikan UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika menegaskan bahwa narkotika adalah bagian dari Hukum Tindak Pidana Khusus. Maksudnya adalah tindak pidana narkotika diatur dalam Undang Undang Pidana yang berada di luar Hukum Pidana Umum yang mempunyai penyimpangan dari Hukum Pidana Umum baik dari segi Hukum Pidana Materil maupun Hukum Pidana Formil. Hukum tindak pidana khusus mengatur perbuatan tertentu atau berlaku terhadap orang tertentu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain selain orang tertentu.

Hukum tindak pidana khusus secara substansi berlaku khusus kepada siapa Hukum Tindak Pidana Khusus itu di arahkan.

Indikator lain yang digunakan untuk mengukur bahwa undang-undang tersebut merupakan hukum pidana khusus adalah pada penyimpangan ancaman pidana yang terdapat dalam undang-undang pidana umum. Hukum Tindak Pidana Khusus adalah UU Pidana atau Hukum Pidana yang diatur dalam UU pidana tersendiri. Seluruh indikator tersebut terpenuhi dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Artinya semua ketentuan tentang Narkotika ketentuannya diatur

sendiri dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tersebut.

(51)

51

3. Undang-undang Khusus Narkotika No 22 tahun 1997 dan No 35 tahun 2009 Bersifat Dinamis

Sebagai Undang Undang Tindak Pidana Khusus tentang Narkotika Nomor 22 Tahun 1997 dan Nomor 35 Tahun 2009 bersifat adaptif terhadap perubahan. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam undang-undang narkotika dapat dengan mudah diubah apabila terdapat penyimpangan atau mengatur hal-hal yang sebelumnya tidak diatur dalam undang-undang tersebut karena perkembangan zaman. Elastisitas undang-undang Narkotika ini karena Undang-Undang ini hanya mengatur satu hal yaitu tentang narkotika.

Perubahan undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 dengan undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dapat dilakukan secara elastic sesuai kebutuhan dan kontek kinerja regulasi. Berbeda dengan undang-undang pidana umum sejenis KUHP dan KUHAP kurang memiliki elastisitas karena ketentuan-ketentuan yang terdapat didalamnya mengatur banyak hal.

4. Perbandingan Hukum Materil Dalam Undang-Undang

Narkotika No 22/1997 dengan No 35/2009.

(52)

52

4.1. Kontektualisasi Amar Pertimbangan Hukum Di sahkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tanggal 14 September 2009 merupakan revisi dari UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Di dalam amar pertimbangannya, pemerintah menilai UU Nomor 22 Tahun 1997 untuk menjamin masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur, meningkatkan derajat kesehatan sumber daya manusia, urgensi bahaya narkotika, mengatur tata kelola dan ancaman pidana terhadap penyalahgunaan narkotika, Pemerintah menilai UU Nomor 22 Tahun 1997 tidak efektif lagi menanggulangi situasi dan kondisi tindak pidana narkotika yang semakin berkembang dan terorganisir. Seperti ditulis didalam pertimbangan UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pada huruf e yang berbunyi:

e. bahwa tindak pidana Narkotika telah bersifat

transnasional yang dilakukan dengan menggunakan

modus operandi yang tinggi, teknologi canggih,

didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan

sudah banyak menimbulkan korban, terutama di

kalangan generasi muda bangsa yang sangat

membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan

negara sehingga Undang-Undang Nomor 22 Tahun

1997 tentang Narkotika sudah tidak sesuai lagi dengan

perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang

Referensi

Dokumen terkait

Pada saluran transmisi biasa yang berarti bandwidthnya terbatas jika sinyal digital akan ditambah unjuk kerjanya dengan cara meningkatkan S/N akan mengurangi bit- rate, dan

Dari Gambar 2. dapat diketahui bahwa brand positioning merupakan salah satu bagian dalam usaha untuk membangun ekuitas merk dimana ekuitas merk yang kuat merupakan

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi pimpinan puskesmas dan Pemerintah Daerah Kota Denpasar untuk memperhatikan juga kepuasan pegawai puskesmas

Perusahaan yang mengekspor secara teratur akan mendapat insentif luar negeri dan dapat memanfatkan tingka bunga luar negeri yang lebih rendah dan dapat mengurangi

Event Organizer atau sering disebut EO tidak jauh beda pengertiannya dengan sebuah kepanitiaan. Mulai dari level ‘Perpisahan Sekolah’ sampai ‘Pindah Jabatan’, EO

kesimpulan, pendidikan agama akan dapat memenuhi suatu fungsi.. yang sangat penting dalam perkembangan sosial yang ada di Indonesia. Berusaha memupuk beberapa sifat tertentu, di

Stadium Ic : tumor terbatas pada satu atau dua dengan salah satu factor dari kapsul tumor pecah, pertumbuhan tumor pada permukaan kapsul, ditemukan sel tumor ganas pada cairan

Kelengkapan dokumen permohonan, dan bukti-bukti yang dapat menunjukkan, bahwa kerugian nyata-nyata dialami oleh korban, akibat suatu bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang