• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN REGROUPING SDN DI KOTA BEKASI. Haris Budiyono *)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KAJIAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN REGROUPING SDN DI KOTA BEKASI. Haris Budiyono *)"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN “REGROUPING” SDN DI KOTA BEKASI Haris Budiyono *)

ABSTRACT

It was planned to downsize the number of state elementary schools (453) in Bekasi City in 2011, since there many state elementary schools (26) only serve less than 150 students, moreover there are 4 schools, each only has less than 100 students. The school merger policy or regrouping school policy should be prepared well, it also needs to be socialized to make fit for acceptance, supporting, and readiness of those school stakeholders : school committee, parents, teachers, and the principals. In fact, this is not a newly policy, it is a part of the education sector's reform since 1998, it was aimed to increase school management efficiency. This article provides a brief situation of state elementary schools in Bekasi City, number of students by the group of learning, and academic concerns on this policy implementation.

Keywords : state elementary school, regrouping school policy, school management efficiency, and benefit and impact of regrouping school policy.

1. Pendahuluan

alam dunia pendidikan di Indonesia, dikenal istilah kebijakan

“regrouping” atau disebut juga dengan istilah merger. Pada saat ini, kebijakan

“regrouping” menjadi isu kebijakan yang semakin banyak diperbincangkan dan dipertimbangkan oleh pemangku kepentingan pendidikan pada sebuah kabupaten/kota. Isu kebijakan

“regrouping” pada sebuah kabupaten/kota bisa menjadi sebuah polemik, karena ada pihak yang terus menyuarakan demi kepentingan efisiensi pengelolaan dan efektivitas proses pembelajaran (khususnya di sekolah negeri), sementara di sisi lain ada pihak yang dirugikan, karena merasa terancam kehilangan posisi “jabatan” kepala sekolah dan kepentingan-kepentingan

lainnya, termasuk pula kepentingan masyarakat dan orang tua siswa yang harus menghadapi risiko perubahan, perbedaan jarak tempuh ke sekolah, dan beban transportasi tambahan ke sekolah baru yang menerima pelimpahan siswanya. Kasus yang banyak terjadi di beberapa kabupaten/kota, umumnya kasus merger Sekolah Dasar (SD) Negeri, sangat langka ditemui isu kebijakan merger pada Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri atau Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri atau Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri.

Secara umum istilah “regrouping” diartikan sebagai “To reorganize for renewed effort”

http://www.thefreedictionary.com/regrouping.

Dalam tulisan ini, istilah “regrouping”

D

*)

(2)

diartikan sebagai “upaya untuk menggabungkan sekolah yang memiliki jumlah siswa yang kurang dari kapasitas daya tampung terhadap sekolah lain”. Pada beberapa Kabupaten/Kota lain, langkah ini sudah dilakukan dengan baik, dengan tujuan optimalisasi pengelolaan sekolah (khususnya terhadap sekolah negeri), meningkatkan produktivitas para guru, dan memberikan atmosfir proses pembelajaran yang lebih baik bagi siswa yang berada pada lingkungan sekolah yang kurang siswanya ke sekolah (negeri) terdekat yang memiliki lingkungan dan proses pembelajaran yang lebih kondusif, bagi peserta didik untuk berinteraksi, berkembang, berlatih, dan bersaing.

Sebenarnya isu kebijakan ini sudah lama diarahkan oleh pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri berdasarkan surat Nomor 421.2/2501/Bangda/1998 tentang Pedoman

Pelaksanaan Penggabungan

(“Regrouping”) Sekolah Dasar. Pada Tahun 2005, Menteri Pendidikan Nasional juga menguatkan kembali atas kepentingan perlunya melakukan “regrouping”, yakni pengelompokan kembali atau penggabungan dari beberapa sekolah menjadi satu sekolah, dengan pertimbangan keterbatasan anggaran dalam merehabilitasi gedung- gedung sekolah dasar yang rusak.

Isu kebijakan merger atau “regrouping” di Kota Bekasi muncul pada saat Rapat Kerja Pendidikan Kota Bekasi Tahun 2010, yang disepakati bahwa kebijakan dimaksud akan dilaksanakan secara terprogram pada Tahun 2011. Untuk mempersiapkan isu kebijakan tersebut agar dapat diimplementasikan dengan baik, maka berikut ini disajikan kajian yang memuat pengaturan daya tampung di sekolah negeri, pemetaan persoalan jumlah peserta didik pada SDN di Kota Bekasi, dan kajian akademik terhadap implementasi kebijakan

“regrouping” di Kota Bekasi.

2. Pengaturan Daya Tampung Peserta Didik berdasarkan Standar Proses dan Standar Pelayanan Minimum

Untuk mempersiapkan implementasi kebijakan “regrouping” di Kota Bekasi, maka hal yang penting untuk dikaji adalah standar pengaturan daya tampung peserta didik, karena standar ini dapat dijadikan ukuran yang menggambarkan bahwa sebuah sekolah memiliki jumlah peserta didik yang memiliki jumlah siswa berlebih, normal, atau kurang. Situasi ini penting untuk disimak, karena kebijakan “regrouping” ditempuh sebagai bentuk intervensi terhadap sekolah negeri yang memiliki jumlah peserta didik yang kurang (dari kapasitas daya tampung).

Dengan demikian standar jumlah peserta didik per rombongan belajar (rombel) perlu diketahui dengan seksama.

(3)

Terdapat 2 (dua) landasan hukum yang mengatur ketentuan jumlah peserta didik dalam setiap rombongan belajar, yakni : (1) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 41 Tahun 2007

tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 15 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar di Kabupaten/Kota.

Tabel 1. Pengaturan Jumlah Peserta Didik dalam Setiap Rombongan Belajar

Landasan Hukum

Jumlah peserta didik dalam setiap rombongan belajar

SD/MI SMP/MTs SMA/MA SMK/MAK Permendiknas

Nomor 41 Tahun 2007 tentang

Standar Proses

untuk Satuan Pendidikan Dasar

dan Menengah

Maksimal 26 orang

Maksimal 32 orang

Maksimal 32 orang

Maksimal 32 orang

Permendiknas

Nomor 15 Tahun 2010 tentang

Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar di Kabupaten/Kota

Maksimal 32 orang

Maksimal 36 orang

Pada tabel di atas, dapat dibandingkan pengaturan jumlah peserta didik oleh Kementerian Pendidikan Nasional, dengan tujuan untuk dijadikan pedoman bagi Kabupaten/Kota dalam mengelola sekolah- sekolah negeri yang berada di wilayahnya.

Tampak adanya batas maksimal yang berbeda antara Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan Standar Proses, yakni untuk SD (26 siswa VS 32 siswa) dan SMP (32 siswa VS 36 siswa), sementara itu belum ada pengaturan untuk SPM pendidikan

menengah (SMA dan SMK). Permendiknas Nomor 15 Tahun 2010 mengarahkan agar pemerintah Kabupaten/Kota membuat perencanaan yang sistemik agar pemenuhan ketentuan daya tampung dapat dicapai sesuai standar pelayanan minimum.

Pada kedua permendiknas tersebut pada hakikatnya tidak menyatakan batas minimum jumlah peserta didik, karena pada dasarnya valuasi kesesuaian jumlah peserta didik juga berkaitan dengan luas

(4)

ruang kelas, luas lahan, dan daya dukung sumber guru yang tersedia, yang direncanakan, dibangun, dan dimiliki oleh sebuah pemerintah kabupaten/kota. Untuk memahami lebih mendalam tentang pengaturan jumlah peserta didik dengan sarana dan prasarana (Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2007

tentang Standar Sarana Dan Prasarana Sekolah/Madrasah Pendidikan Umum), berikut ini disajikan rasio minimum luas lahan terhadap peserta didik.

Untuk SD/MI yang memiliki 15 sampai dengan 28 peserta didik per rombongan belajar, lahan memenuhi ketentuan rasio minimum luas lahan terhadap peserta didik seperti tercantum pada Tabel 2.

Tabel 2. Rasio Minimum Luas Lahan terhadap Jumlah Peserta Didik 15 sampai dengan 28 Peserta Didik per Rombongan Belajar

No

Banyak rombongan

belajar

Rasio minimum luas lahan terhadap peserta didik (m2/peserta didik)

Bangunan satu lantai

Bangunan dua lantai

Bangunan tiga lantai

1. 6 12,7 7,0 4,9

2. 7-12 11,1 6,0 4,2

3. 13-18 10,6 5,6 4,1

4. 19-24 10,3 5,5 4,1

Untuk SD/MI yang memiliki kurang dari 15 peserta didik per rombongan belajar, lahan memenuhi ketentuan luas minimum seperti tercantum pada Tabel 3.

Tabel 3. Luas Minimum Lahan untuk SD/MI yang Memiliki Kurang dari 15 Peserta Didik per Rombongan Belajar

No

Banyak rombongan

belajar

Luas Minimum Lahan (m2) Bangunan satu

lantai

Bangunan dua lantai

Bangunan tiga lantai

1. 6 1.340 770 710

2. 7-12 2.240 1.220 850

3. 13-18 3.170 1.690 1.160

4. 19-24 4.070 2.190 1.460

Untuk mengetahui bagaimana persoalan jumlah peserta didik dalam setiap rombongan belajar di Kota Bekasi disajikan informasi pada Tabel 4.

(5)

Tabel 4. Pemetaan Persoalan Jumlah Peserta Didik dalam Setiap Rombongan Belajar pada SDN, SMPN, SMAN, dan SMKN di Kota Bekasi

Item SD Negeri SMP Negeri SMA Negeri SMK Negeri Jumlah

Sekolah

453 sekolah

41 sekolah

17 sekolah

8 sekolah Standar

Proses

Maksimal 26 orang

Maksimal 32 orang

Maksimal 32 orang

Maksimal 32 orang Standar

Pelayanan Minimum

Maksimal 32 orang

Maksimal 36 orang Kebijakan

Pemerintah Kota Bekasi

Daya tampung 32 orang per rombel

Daya tampung 44 orang per rombel

Daya tampung 40 orang per rombel

Daya tampung 32 orang per rombel Persoalan Di beberapa

SDN memiliki jumlah siswa kurang dari 100 orang (rata- rata per rombel

= 16-17 orang).

Sebaliknya di beberapa SDN memiliki jumlah siswa lebih dari 1.000 orang.

Secara keseluruhan kebijakan daya tampung di SMPN, dalam pelaksanaannya dilanggar

(Tahun 2010), kasus ekstrim di SMPN 18 = 49 orang.

Secara keseluruhan kebijakan daya tampung di SMAN, dalam pelaksanaannya dilanggar

(Tahun 2010), kasus ekstrim di SMAN 3 = 53 orang.

Secara keseluruhan, batas daya tampung di SMKN masih dapat

dikelola dan dikendalikan.

Hasil Monitoring dan Evaluasi PPDB, Dewan Pendidikan Tahun 2010

Berdasarkan informasi pada Tabel 4, tampak bahwa di Kota Bekasi ada 2 (dua) persoalan mendasar berkaitan dengan daya tampung peserta didik di sekolah negeri, Pertama persoalan kelebihan jumlah siswa yang melampaui ketentuan daya tampung, terjadi di SMPN dan SMAN. Kedua, persoalan yang sebaliknya, yakni kekurangan jumlah siswa di beberapa SDN (kurang dari ketentuan maksimal daya tampung). Namun demikian terdapat juga kasus kelebihan jumlah siswa pada beberapa SDN tertentu (favorit).

Terfokus pada rencana intervensi kebijakan

“regrouping” terhadap persoalan kekurangan jumlah siswa di beberapa SDN, maka perlu juga secara bersamaan dipertimbangkan intervensi kebijakan terhadap kasus kelebihan jumlah siswa pada beberapa SDN tertentu. Sehingga isu kebijakan dapat dipahami dan disepakati bersama, bersifat menyeluruh, adil, dan merata.

(6)

Patut dimaklumi bersama bahwa jumlah SDN di Kota Bekasi (453 unit) lebih banyak dibandingkan dengan jumlah SD swasta di Kota Bekasi (395 unit). Sedangkan jumlah SMPN (41 unit), SMAN (17 unit), dan SMKN (8 unit) di Kota Bekasi lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah sekolah swasta di Kota Bekasi, masing-masing

SMPS (266 unit), SMAS (152 unit), dan SMKS (104 unit).

5. Pemetaan Jumlah Peserta Didik pada SDN di Kota Bekasi

Pada tabel berikut ini disajikan informasi tentang jumlah sekolah dan jumlah peserta didik SDN per kecamatan di Kota Bekasi.

Tabel 5. Pemetaan Jumlah Sekolah dan Jumlah Peserta Didik SDN di Kota Bekasi

SDN Masing-masing UPTD Jumlah SDN (sekolah)

Jumlah Peserta Didik (orang)

Rata-Rata Jumlah Peserta Didik per SDN

(orang per sekolah)

SDN di Kec. Bekasi Utara 57 25.779 452

SDN di Kec. Bekasi Barat 53 20.823 393

SDN di Kec. Bekasi Timur 73 25.589 351

SDN di Kec. Bekasi Selatan 52 14.965 288

SDN di Kec. Pondok Melati 19 9.075 478

SDN di Kec. Pondokgede 40 18.367 459

SDN di Kec. Jatiasih 40 17.811 445

SDN di Kec. Jatisampurna 19 6.852 361

SDN di Kec. Medan Satria 22 9.749 443

SDN di Kec. Bantargebang 16 5.421 339

SDN di Kec. Rawalumbu 40 17.718 443

SDN di Kec. Mustika Jaya 22 14.494 659

Jumlah 453 186.643

Hasil Pemetaan SDN Kota Bekasi, Dewan Pendidikan Tahun 2010

Bila digunakan standar proses, untuk jumlah peserta didik di SDN (26 siswa) dan pola pelayanan peserta didik di SDN 1 shift dan tidak ada kelas paralel (6 rombel), maka dapat dihitung jumlah peserta didik pada sebuah SDN berdaya tampung 156 siswa.

Berdasarkan Tabel 5 tampak bahwa rata-rata jumlah peserta didik per SDN di semua kecamatan lebih besar dibandingkan jumlah

peserta didik per unit SDN berdasarkan standar proses (1 shift dan tidak ada kelas paralel). Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya jumlah SDN di setiap kecamatan umumnya masih diminati dan mampu melayani kebutuhan pendidikan dasar 6 tahun.

Berdasarkan rata-rata jumlah peserta didik per SDN, dapat diidentifikasi menjadi 3 (tiga)

(7)

kelompok, (1) Rata-rata jumlah peserta didik per SDN > 600 orang : Kec.

Mustikajaya (659 orang); (2) Rata-rata jumlah peserta didik per SDN 300-600 orang : Kec. Bekasi Utara (452 orang), Kec.

Bekasi Barat (393), Kec. Bekasi Timur (351 orang), Kec. Pondok Melati (478 orang), Kec.

Pondok Gede (459 orang), Kec. Jatiasih 445 (orang), Kec. Jatisampurna 361 (orang), Kec.

Medan Satria (443 orang), Kec. Bantar Gebang (339 orang), dan Kec. Rawalumbu (443 orang); (3) Rata-rata jumlah peserta didik per SDN < 300 orang : Kec. Bekasi Selatan 288 (orang).

Identifikasi ini penting untuk melihat apakah terjadi penurunan atau kenaikan jumlah peserta didik per SDN dalam 3-5 tahun ke depan, sehingga dapat memberikan informasi apakah di sebuah kecamatan tertentu, jumlah anak usia SD semakin berkurang atau bertambah (faktor demografi) atau jumlah peserta didik per SDN pada sebuah kecamatan tertentu semakin berkurang karena menguatnya minat masyarakat setempat untuk menyekolahkan ke sekolah dasar swasta terdekat (faktor daya saing). Dalam hal ini, kebijakan untuk tidak mendirikan unit SDN

baru di Kota Bekasi merupakan keputusan yang tepat.

Sebenarnya pilihan orang tua siswa untuk menyekolahkan anak antar SDN saja bervariasi, sebagai contoh pada sebuah komplek yang terdiri dari 4 (empat) SDN, SDN 1, 2, dan 3 jumlah total peserta didik tidak kurang dari 200 orang, sementara SDN 4 kurang diminati dan memiliki jumlah total peserta didik kurang dari 100 orang. Setelah dicermati faktor penyebabnya sangat kompleks, mulai dari pencitraan sekolah, kinerja guru, kepemimpinan kepala sekolah, kondisi bangunan dan ruang, dan kelengkapan sarana pembelajaran.

Ironisnya semakin kurang diminati sebuah SDN oleh orang tua calon siswa di lingkungan tertentu, semakin lemah pula perhatian untuk memulihkan atau merenovasi kondisi bangunan dan ruang, serta pemenuhan kelengkapan sarana pembelajarannya. Untuk faktor penyebab ini digolongkan sebagai faktor (“mismanagement”) atau salah kelola.

Pada tabel berikut ini disajikan pemetaan SDN berdasarkan jumlah peserta didik di Kota Bekasi.

(8)

Tabel 6. Pemetaan SDN Berdasarkan Jumlah Peserta Didik di Kota Bekasi

SDN Masing-masing UPTD

Identifikasi Sekolah Berdasarkan Jumlah Peserta Didik

<

100 orang

<

150 orang

>

240 orang

>

600 Orang

>

800 orang

>

1.000 orang SDN di Kec. Bekasi

Utara

1 3 47 11 4 3

SDN di Kec. Bekasi Barat

- 1 42 8 2 -

SDN di Kec. Bekasi Timur

- 4 51 8 1 -

SDN di Kec. Bekasi Selatan

3 14 27 2 - -

SDN di Kec. Pondok Melati

- 1 17 3 1 -

SDN di Kec.

Pondokgede

- - 36 8 3 -

SDN di Kec. Jatiasih - 1 32 8 5 1

SDN di Kec.

Jatisampurna

- 2 15 3 - -

SDN di Kec. Medan Satria

- - 19 4 2 2

SDN di Kec.

Bantargebang

- - 16 6 1 -

SDN di Kec.

Rawalumbu

- - 31 8 2 1

SDN di Kec. Mustika Jaya

- - 21 12 7 2

Jumlah 4 26 354 81 28 9

Hasil Pemetaan SDN Kota Bekasi, Dewan Pendidikan Tahun 2010

Pada Tabel 6 tampak bahwa kondisi SDN di setiap kecamatan cukup bervariasi.

Terdapat 26 SDN yang memiliki jumlah peserta didik < 150 orang, tersebar di 7 (tujuh) kecamatan, yakni di Kec. Bekasi Utara (3), Bekasi Barat (1), Bekasi Timur (4), Bekasi Selatan (14), Pondok Melati (1), Jatiasih (1), dan Jatisampurna (2). Kondisi SDN yang kekurangan siswa lebih jelas (<

100 orang) ada 4 SDN, terjadi di Kecamatan Bekasi Utara (1) dan Bekasi Selatan (3).

Sementara itu, perlu juga mendapat perhatian terhadap kondisi jumlah peserta didik yang berlimpah (> 600 orang) pada sebuah SDN, profil SDN seperti ini cukup banyak (81 unit sekolah) di Kota Bekasi, bahkan ada 9 SDN yang memiliki jumlah peserta didik > 1.000 orang.

(9)

6. Kebijakan “Regrouping” SDN

Hakikat kebijakan “regrouping” SDN (Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 421.2/2501/Bangda/1998 tentang Pedoman Pelaksanaan Penggabungan Sekolah Dasar) adalah usaha penyatuan dua unit SD atau lebih menjadi satu kelembagaan (institusi) SD dan diselenggarakan dalam satu pengelolaan, dengan lingkup penggabungan SD meliputi SD yang terdapat antar desa/kelurahan yang sama dan atau di desa/kelurahan yang berbatasan dan atau antar kecamatan yang berbatasan.

Intervensi kebijakan ini ditujukan kepada SD milik pemerintah (SDN) yang menyelenggarakan program pendidikan enam tahun. Kebijakan ini bertujuan untuk mengatasi permasalahan guru, peningkatan mutu, efisiensi biaya bagi perawatan gedung sekolah, dan sekolah yang ditinggalkan dimungkinkan penggunaannya untuk rencana pembukuan SMP kecil/SMP kelas jauh atau setara dengan sekolah lanjutan sesuai dengan kebutuhan setempat untuk menampung lulusan SD.

Suparlan (2006) menegaskan kembali tujuan kebijakan merger SDN, yakni : (1) Ingin meningkatkan mutu layanan pendidikan untuk masyarakat. Dalam arti layanan pendidikan yang bermutu. Bukan hanya layanan pendidikan dengan gedung sekolah yang seadanya. Untuk tahun 70-an

bolehlah kita masih berpikir seperti itu. Yang penting ada sekolah. Bangunan seadanya, guru juga seadanya, dan fasilitas sekolah pun seadanya. Pada era millennium ketiga, mutu layanan pendidikan menjadi satu keharusan, jika kita mengharapkan adanya hasil pendidikan (outcomes) yang bermutu.

Quality was at the heart of education.

Mutu pendidikan memiliki lima dimensi yang saling kait mengait, yakni: learners, environments, content, processes, dan outcomes. Pembangunan gedung sekolah yang tidak bermutu pada masa lalu telah mewariskan kepada kita gedung-gedung sekolah yang sudah siap roboh. Kita harus malu terhadap bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang telah membanting meja sekolah di Pulau Seribu setelah melihat mutu fasilitas sekolah yang sangat rendah, dan pemeliharaan fasilitas pendidikan pun demikian rendah di suatu sekolah. Seharusnya, apa yang dilakukan SBY merupakan tamparan bagi kita semua.

Bukan hanya untuk kepala sekolah yang telah menerima sanksi mutasi, tetapi juga kita semua, termasuk para perumus kebijakan pendidikan di tingkat nasional.

Inilah salah satu isu strategis pendidikan nasional yang harus direvitalisasi; (2) Untuk meningkatkan efisiensi penyelenggaraan pendidikan. Dengan beberapa sekolah yang terdapat dalam satu kompleks gedung sekolah yang sempit menimbulkan indikasi

(10)

terjadinya proses persaingan yang tidak sehat antara sekolah yang satu dengan yang lain.

Sudiyono, dkk., (2009) telah meneliti dan menuliskan bahwa kasus “regrouping” yang ditelitinya (Kabupaten Sleman) ternyata berhasil dilaksanakan dengan baik, proses penyesuaian setelah “regrouping” dapat berjalan dengan baik, pada guru, peserta didik, kepemimpinan, dan pembiayaan.

Namun ia menunjukkan sejumlah kelemahan pada kasus “regrouping” yang ditelitinya, yakni bahwa 1) kebijakan

“regrouping” belum didukung oleh kebijakan teknis operasional terkait dengan pengelolaan sarana dan prasarana dan pengelolaan kelas paralel; 2) Kebijakan

“regrouping” memberikan dampak positif bagi efisiensi pendanaan sekolah, tetapi tidak efisien dalam hal pengelolaan aset; dan 3) kebijakan “regrouping” mengakibatkan terjadinya penurunan ranking prestasi hasil belajar. Bila disimak dari hasil penelitian Sudiyono, dkk. (2009) tersebut, maka hal yang harus dipersiapkan untuk merealisasikan kebijakan “regrouping” di Kota Bekasi adalah perlunya pedoman pelaksanaan “regrouping” yang memuat 3 (tiga) item penting, yakni : tatalaksana pengelolaan sarana dan prasarana (aset perlengkapan, ruang, dan bangunan SDN yang digabungkan), tatalaksana penggabungan peserta didik, dan

tatalaksana proses pembelajaran yang melibatkan 2 (dua) kelompok guru yang semula berbeda sekolah. Keberhasilan penggabungan peserta didik dan guru memerlukan adaptasi sosial dan akademik.

Hasil penelitian Kiemas Rizka (2005) menunjukkan bahwa perencanaan sarana dan prasarana pendidikan SDN yang terkena kebijakan “regrouping” yang tidak digunakan untuk KBM umumnya sudah direncanakan dan dimusyawarahkan terlebih dulu oleh kedua belah pihak (sekolah yang digabungi dengan yang digabung) yang dihadiri oleh kepala sekolah, guru, komite sekolah kedua SDN serta dihadiri oleh perangkat desa setempat dan Dinas Pendidikan. Dengan demikian tampak jelas dan menjadi lesson learnt bagi Pemerintah Kota Bekasi bahwa proses sosialisasi dan implementasi kebijakan merger SDN memerlukan sikap kooperatif dan partisipatif stakeholders pendidikan SDN, baik yang digabungi maupun yang digabung, sehingga 2 (dua) kepentingan dapat dikelola dan dicapai dengan baik, yakni penerimaan atas isu kebijakan dan kesepakatan atas pengelolaan aset.

Hasil penelitian Yuliana (2004) menunjukkan bahwa “regrouping” mampu berperan dalam meningkatkan efisiensi dan produktivitas penyelenggaran pendidikan di sekolah dasar.

“Regrouping” juga mampu mengatasi

(11)

kekurangan guru sekolah dan meningkatkan mutu pendidikan melalui perbaikan sarana prasarana pendidikan. Lebih jauh penulis berpendapat bahwa “regrouping” merupakan proses perubahan yang menyangkut 2 (dua) aspek penting, yakni (1) proses perubahan pada manajemen sekolah, baik yang digabungi maupun digabung dan (2) proses perubahan pada pembelajaran, berkaitan dengan adaptasi guru dan peserta didiknya.

Hal ini mengindikasikan pula bahwa pertimbangan kebijakan merger SDN semestinya tidak hanya terfokus pada tujuan efesiensi, produktivitas, dan optimalisasi sumber daya, namun juga perhatian terhadap aspek lain yang harus dikelola secara baik selama proses merger SDN itu dilaksanakan, yakni keberlangsungan proses pembelajaran. Bila hal ini tidak dipersiapkan dengan baik, maka kebijakan “regrouping”

akan menimbulkan masalah. Kondisi seperti ini bisa terjadi, sesuai dengan hasil penelitian Marsono (2003) yang menunjukkan bahwa regrouping menimbulkan masalah, baik masalah organisasi, kesiswaan, kurikulum (pengajaran), kepegawaian, pembiayaan, hubungan sekolah dengan masyarakat, dan ketatalaksanaan, karena pelaksanaan penggabungan sudah dilakukan, tetapi surat keputusan penggabungan belum terbit.

7. Implementasi Kebijakan “Regrouping”

SDN di Kota Bekasi

Ada 3 (tiga) misi utama dengan pelaksanaan otonomi daerah tersebut, yaitu: (1) Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah;

(2) Meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat; dan (3) Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta (berpartisipasi) dalam proses pembangunan.

Kesepakatan pada Rapat Kerja Pendidikan Kota Bekasi Tahun 2010 yang merencanakan kebijakan “regrouping” akan dilaksanakan secara terprogram pada Tahun 2011, dapat didudukkan sebagai salah satu wujud komitmen pemerintah daerah untuk menjalankan misi efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah dan kualitas pelayanan publik.

Kegamangan atau keengganan untuk menjalankan (rencana) kebijakan

“regrouping” bisa saja dipengaruhi oleh beberapa faktor, pertama adanya kekhawatiran bahwa kebijakan tersebut malah menimbulkan kontroversi penolakan, kedua pertimbangan bahwa kebijakan

“regrouping” tidak menjadi skala prioritas, dan ketiga asumsi bahwa kebijakan dimaksud merupakan suatu “beban pekerjaan” baru yang harus dikawal dan dikelola secara cermat dan bukan suatu

“kegiatan/proyek” yang menguntungkan baik bagi eksekutif maupun legislatif. Dalih kekhawatiran terjadinya “implementation

(12)

gap” dan sikap permisif atas kelemahan yang dihadapi organisasi/satuan kerja terkait dalam mengemban tugas implementasi kebijakan (“implementation capacity”) semestinya dapat dihindari dengan perencanaan implementasi kebijakan

“regrouping” yang sistemik dan partisipatif.

Kebijakan manapun sebenarnya mengandung risiko kegagalan. Hogwood dan Gunn (1984) membedakan kegagalan dalam dua kategori, yaitu non implementation (tidak terimplementasikan) dan unsuccessful implementation (implemnatasi yang tidak berhasil). Kebijakan yang tidak terimplementasikan mengandung arti bahwa suatu kebijakan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana, mungkin karena pihak-pihak yang terlibat di dalam pelaksanaannya tidak mau bekerjasama, atau mereka telah bekerja secara tidak efisien, bekerja setengah hati, atau karena mereka tidak sepenuhnya menguasai permasalahan, atau kemungkinan permasalahan yang digarap di luar jangkauan kekuasaannya, sehingga betapapun gigih usaha mereka, hambatan- hambatan yang ada tidak sanggup mereka tanggulangi. Akibatnya, implementasi yang efektif sukar dipenuhi. Implementasi yang tidak berhasil biasanya terjadi karena suatu kebijakan tertentu telah dilaksanakan sesuai dengan rencana, namun mengingat kondisi eksternal ternyata tidak menguntungkan,

semisal terjadi pergantian kekuasaan dan bencana alam. Kebijakan yang memiliki risiko gagal biasanya disebabkan oleh faktor- faktor: pelaksanaannya yang jelek, kebijakannnya sendiri yang jelek atau kebijakan tersebut yang bernasib jelek.

Implementasi “regrouping” juga dipengaruhi oleh rumusan kebijakan yang diambil oleh pengambil kebiijakan. Lemahnya rumusan kebijakan dipengaruhi oleh adanya pengaruh tekanan-tekanan dari luar, adanya pengaruh kebiasaan lama, adanya pengaruh sifat pribadi dan adanya pengaruh keadaan masa lalu. Persoalan lainnya adalah pembuat kebijakan sering melakukan kesalahan terkait dengan cara berpikir yang sempit, adanya asumsi bahwa masa depan akan mengulang masa lalu, terlampau menyederhanakan masalah, terlampau menggantungkan pada pengalaman seseorang, keputusan yang dilandasi oleh prakonsepsi pembuatan keputusan, tidak adanya keinginan untuk membuat percobaan dan keengganan untuk membuat keputusan (Sudiyono, 2007).

Dalam perspektif yang lebih luas untuk kepentingan pemerataan pelayanan publik di bidang pendidikan, sebenarnya kebijakan

“regrouping” SDN juga di satu sisi dapat memberikan manfaat efisiensi pengelolaan dan peningkatan kualitas pembelajaran (dengan adanya penggabungan SDN), di sisi

(13)

lain kebijakan “regrouping” juga dapat memecahkan persoalan keterbatasan sumber daya lahan untuk kepentingan layanan publik lainnya, termasuk jika dimungkinkan untuk penempatan unit sekolah baru (USB) SMP Negeri atau SMA Negeri atau SMK Negeri yang terlanjur diputuskan untuk menerima peserta didik baru, namun sampai saat ini belum tersedia lahan, bangunan, dan ruang kelasnya.

8. Kesimpulan

1. Proses sosialisasi dan implementasi kebijakan merger SDN memerlukan sikap kooperatif dan partisipatif stakeholders pendidikan SDN, baik yang digabungi maupun digabung, sehingga 2 (dua) kepentingan dapat dikelola dan dicapai dengan baik, yakni penerimaan atas isu kebijakan dan kesepakatan atas pengelolaan aset;

2. Perlunya pedoman pelaksanaan regrouping yang memuat 3 (tiga) item penting, yakni : tatalaksana pengelolaan sarana dan prasarana (aset perlengkapan, ruang, dan bangunan SDN yang digabungkan), tatalaksana penggabungan peserta didik, dan tatalaksana proses pembelajaran yang melibatkan 2 (dua) kelompok guru yang semula berbeda sekolah;

3. Kebijakan “regrouping” didudukkan sebagai salah satu wujud komitmen pemerintah kabupaten/kota untuk

menjalankan misi efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah dan kualitas pelayanan publik.

Pustaka :

Hogwood, Brian W. dan Lewis A. Gunn (1984). Policy Analysis for the Real World. Oxford University Press.

Kiemas Rizka (2004). Manajemen Sarana dan Prasarana Pendidikan Sekolah Dasar Negeri yang Diregrouping se- Kecamatan Wates, Kabupaten Kulon Progo. FIP UNY.

Martono (2003). Problem-Problem dalam Penyelenggaraan Sekolah Dasar yang Diregrouping di Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman. FIP UNY.

Sudiyono (2007). Dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Pendidikan.

FIP UNY.

Sudiyono, Mada Sutapa, dan Nurtanio Agus

Purwanto (2009).

Dampak Regrouping Sekolah Dasar Kasus SD Pakem 1 di Kecamatan

Pakem Kabupaten

Sleman. http://staff.uny.ac.id/system/

files/penelitian

Suparlan (2006). Merger Sekolah Dasar,

Begitu Perlukah ?.

www.suparlan.com

Yuliana, (2004). Pelaksanaan Regrouping di Kecamatan Minggir Kabupaten Sleman Ahun 2002, Kajian Kasus SD Balangan 1 dan SD Sendangrejo.

FIP UNY.

Gambar

Tabel 1. Pengaturan Jumlah Peserta Didik dalam Setiap Rombongan Belajar
Tabel 2.  Rasio Minimum Luas Lahan terhadap Jumlah Peserta Didik   15 sampai dengan 28 Peserta Didik per Rombongan Belajar
Tabel 4. Pemetaan Persoalan Jumlah Peserta Didik dalam Setiap Rombongan Belajar  pada SDN, SMPN, SMAN, dan SMKN di Kota Bekasi
Tabel 5.  Pemetaan Jumlah Sekolah dan Jumlah Peserta Didik SDN di Kota Bekasi
+2

Referensi

Dokumen terkait

multocida penyebab penyakit SE pada sapi dan kerbau, kholera itik dan ayam dari beberapa propinsi di Indonesia, galur vaksin SE dan strain referen dapat disimpulkan hal-hal

Dari uraian tersebut yang menarik untuk diteliti yaitu seberapa besarkah kontribusi pendapatan dari usaha pembuatan gula aren terhadap pendapatan

Berdasarkan hasil wawancara pada tanggal 15 Agustus 2015 antara peneliti dengan ibu Umi Kulsum selaku guru senior, ditemukan bahwa faktor pendukung pelaksanaan

Pemuda di Kabupaten Jombang. Kata Kuci: Efektivitas, Bimbingan Perkawinan, Pemuda. Tesis ini merupakan penelitian tentang bimbingan perkawinan yang diselengarakan oleh

15% orang dewasa yang menggunakan situs jejaring sosial mengatakan mereka mendapat pengalaman yang buruk mengakhiri hubungan pertemanan dengan seseorang, sementara pada remaja

Dari data yang dikumpulkan selama masa penelitian disimpulkan bahwa cacat dominan yang sering terjadi dengan nilai RPN tertinggi disebabkan antara lain karena beberapa faktor

B. Seleksi Proposal Skema Penelitian Kompetitif dan Wajib Seleksi proposal skema penelitian kompetitif yang bisa didanai Universitas Bhuinneka PGRI dilakukan dengan

Metode yang dilakukan adalah analisis SIG dengan metode penelitian deskriptif berbasis keruangan untuk menggambarkan wilayah penelitian dengan data-data kualitatif