• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU "

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

OLEH

ZORANA NADIYAH HAQQ NIM. 11820120910

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

1444 H / 2023 M

(2)
(3)
(4)
(5)

ّلج و ّزع اللهبا ةلصلا ناسحإ ةايلحا فى حاجّنلا ّرس نإ

“Sesungguhnya, rahasia kesuksesan dalam hidup adalah membaikkan hubungan dengan Allah SWT”

~Wahbah az-Zuhaili~

(6)

i

Dalam kajian kitab-kitab fiqh klasik, permasalahan nusyuz dalam rumah tangga sering dikaitkan kepada istri. Sebagaimana dalam QS. An-Nisa’ ayat 34, ketika istri nusyuz maka suami diberi hak dalam menyikapinya dengan tiga cara, yaitu menasehati, pisah ranjang, dan pukulan dengan tujuan mendidik. Berbeda dengan pandangan Wahbah az-Zuhaili, beliau berpendapat bahwa nusyuz tidak berlaku bagi istri saja, namun suami juga bisa berbuat nusyuz. Hal ini dikarenakan Wahbah az-Zuhaili menjadikan QS. An-Nisa’ ayat 128 sebagai landasan hukum nusyuz suami. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui nusyuz suami menurut pandangan Wahbah az-Zuhaili dan untuk mengetahui metode istinbath hukum Wahbah az-Zuhaili mengeai nusyuz suami.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan atau library research. Data yang diperoleh berupa data primer, data sekunder, dan data tersier.

Yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah Wahbah az-Zuhaili. Objek dalam penelitian ini adalah nusyuz suami. Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan cara menghimpun data dari berbagai literatur, membaca buku-buku dan sumber data lainnya dalam perpustakaan yang berhubungan dengan penelitian. Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah dengan menguraikan dalam bentuk kalimat yang baik dan benar sehingga mudah dibaca dan diberi arti (interpretasi) terhadap bahan-bahan hukum yang telah diolah.

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa menurut pandangan Wahbah az-Zuhaili, nusyuz tidak berlaku bagi istri saja, namun perbuatan nusyuz juga berlaku untuk suami. Metode istinbath hukum Wahbah az-Zuhaili mengenai nusyuz suami adalah metode ijtihad bayani karena Wahbah az-Zuhaili memberikan penafsiran atau penjelasan terhadap kata nusyuz dengan analisis kebahasaan terhadap makna teks al-Qur’an.

Kata Kunci: Nusyuz Suami, Wahbah az-Zuhaili

(7)

ii

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillahi Rabbil ‘alamiin, segala puji ke hadirat Allah subhanahu wa ta’ala karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis selalu diberikan kemudahan serta kekuatan dalam penyelesaian skripsi ini. Kemudian shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari zaman jahiliyyah ke zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan yang dapat kita rasakan manfaatnya dalam wujud Iman dan Islam hingga sepanjang zaman.

Penulisan skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada program studi strata satu (S1) Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.

Adapun judul skripsi penulis adalah “Nusyuz Suami menurut Pandangan Wahbah az-Zuhaili”

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapat bimbingan, motivasi, serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada:

1. Teristimewa kepada orang tua, Ayahanda tercinta Asyrif Arifin dan Ibunda Tety Afriani yang telah merawat, membesarkan, mendidik dan memberikan kasih sayang serta cintanya kepada penulis hingga saat ini.

(8)

iii

Hukum Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau serta Bapak Dr. H. Erman, M.Ag., selaku Wakil Dekan I, Bapak Dr. H.

Mawardi, M. Si., selaku Wakil Dekan II, dan Ibu Sofia Hardani, M.

Ag., selaku Wakil Dekan III.

4. Bapak Akmal Abdul Munir, Lc, M.A., selaku Ketua Jurusan Hukum Keluarga dan Bapak Ahmad Fauzi, M.A., selaku Wakil Ketua Jurusan Hukum Keluarga.

5. Bapak Ahmad Adri Riva’i, M. Ag., dan Bapak Afrizal Ahmad, M. Sy., sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, nasihat serta motivasi kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik.

6. Ibu Dr. Hertina, M.Pd selaku dosen Penasehat Akademis yang selalu memberikan motivasi, nasihat, dan bimbingan kepada penulis selama menjalani perkuliahan.

7. Bapak/Ibu dosen yang telah mendidik dan memberikan banyak ilmunya kepada penulis.

8. Kepada keluarga besar Arifin Zainuddin yang memberikan motivasi dan dukungan kepada penulis baik secara moril maupun materil.

Terkhusus kepada (Almh) Tante Dr. Hj. Ilmiyati Arifin, M.Ag, salah satu dosen di Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam

(9)

iv

9. Kepada para Musyrifah Ma’had al-Jami’ah UIN Suska Riau yang telah memberikan dukungan kepada penulis selama penyusunan skripsi.

10. Kepada teman-teman seperjuangan Hukum Keluarga kelas D angkatan 2018.

Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh.

Pekanbaru, 18 Desember 2022 Penulis

Zorana Nadiyah Haqq

(10)

v

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan Masalah... 8

C. Rumusan Masalah ... 8

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teoritis ... 11

1. Pengertian Nusyuz ... 11

2. Dasar Hukum Nusyuz ... 14

3. Bentuk-Bentuk Nusyuz ... 19

4. Penyelesaian Nusyuz ... 21

B. Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 25

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 28

B. Pendekatan Penelitian ... 28

C. Subjek Penelitian ... 28

D. Objek Penelitian ... 29

E. Sumber Data ... 29

(11)

vi

A. Biografi Wahbah az-Zuhaili ... 34 B. Nusyuz Suami menurut Pandangan Wahbah az-Zuhaili ... 45 C. Metode Istinbath Hukum Wahbah az-Zuhaili ... 55 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 63 B. Saran ... 63 DAFTAR PUSTAKA

(12)

1

BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan suatu perjanjian yang kokoh (

اظيلغ اقاثيم

).

Perkawinan sebagai hubungan suami dan istri merupakan hubungan dan ikatan yang melebihi ikatan-ikatan yang lain karena perkawinan memiliki beberapa tujuan yang mulia dan sakral yaitu membina keluarga bahagia, kekal dan abadi berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Oleh karena itu perlu di atur hak dan kewajiban masing-masing agar terciptanya untuk menciptakan dan membentuk keluarga yang tenteram, penuh cinta dan kasih sayang yang dalam bahasa al-Quran adalah sakinah, mawaddah, wa rahmah,1 sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah, Q.S Ar Rum [30]: 21.

وِتٰيٰا ْنِمَو ْنَا

َقَلَخ ْمُكَل ْنِّم ْمُكِسُفْ نَا اًجاَوْزَا

ا ْوُ نُكْسَتِّل اَهْ يَلِا

َلَعَجَو ْمُكَنْ يَ ب ًةَّدَوَّم ًةَْحَْرَّو َّنِا ۗ ِْف َكِلٰذ

ٍتٰيَٰلَ

ٍمْوَقِّل َنْوُرَّكَفَ تَّ ي

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.2

Setelah adanya ikatan perkawinan, maka akan timbul hak dan kewajiban suami istri. Agar terwujudnya keluarga yang sakinah, mawaddah

1 Mughniatul Ilma, “Kontekstualisasi Konsep Nusyuz di Indonesia”, Volume 30., No. 1., (2019), h. 47.

2 Q.S. Ar-Rum (30): 21.

(13)

dan rahmah, hak dan kewajiban suami istri haruslah seimbang sehingga akan mendatangkan keharmonisan dan kebahagiaan dalam sebuah perkawinan.

Sebagaimana yang tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam, hak dan kewajiban suami istri di atur dalam pasal 31 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyatakan:

(1) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup.

(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

(3) Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.3

Setiap orang umumnya mengharapkan hal tersebut terwujud dalam mahligai rumah tangganya. Namun, realitanya kehidupan rumah tangga tidak selalu berjalan mulus. Adanya cekcok, pertengkaran, perseteruan hingga kekerasan adalah hal yang kerap kali terjadi. Bahkan hal tersebut bisa menjadi indikasi penyebab terjadinya perceraian. Salah satunya adalah nusyuz.

Oleh karena itu, pasangan suami istri harus mampu menyikapi segala permasalahan rumah tangga dengan bijaksana melalui jalan musyawarah secara baik-baik, menghindari tindakan saling menyalahkan satu sama lain, membiasakan diri untuk saling mengingatkan dan menghormati pasangannya.

Selain itu, hal mutlak yang harus diperhatikan oleh pasangan suami istri yakni pemenuhan hak dan kewajiban satu sama lain.4

Dalam konteks hubungan suami dan istri dalam perkawinan kata nusyuz ditemukan dalam al-Quran menerangkan tentang sikap yang tidak lagi

3 Indonesia, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 31

4 Mughniatul Ilma, op. cit., h. 48.

(14)

berada pada tempatnya, yang semestinya ada dan dipelihara dalam rumah tangga.5

Dalam kajian kitab-kitab fiqh klasik, permasalahan nusyuz seakan- akan status hukum yang dikaitkan khusus kepada istri. Sebagiamana yang diungkapkan oleh Abu Ja‟far Muhammad Ibnu Jarir al-Thabari sebagai berikut:

:ءاسنلا[ }َّنُىَزوُشُن ,َّنِه ِجاَوْزَأ ىَلَع َّنُىَء َلَْعِتْسا : ِنِْعَ ي ُوَّنِإَف ] ٖٗ

ْمِهِشُرُ ف ْنَع َّنُهَعاَفِتْراَو

ْ نَع اًضاَرْعِإَو َّنُهْ نِم اًضْغُ ب , ِويِف ْمُهُ تَعاَط َّنُهَمِزَل اَميِف ْمِهْيَلَع ِف َلَِْلْاَو , َّنُهْ نِم ِةَيِصْعَمْلِبِ

ْمُه

ِضْرَْلْا َنِم ِعِفَتْرُمْلا ِناَكَمْلِل َليِق ُوْنِمَو , ُعاَفِتْرلَا ِزوُشُّنلا ُلْصَأَو زاَشَنَو ٌزَشَن

.

6

Artinya: makna dari {nusyuzahunna} adalah kesombongan mereka (istri-istri) terhadap suami mereka, penghindaran mereka dari tempat tidur mereka dengan kemaksiatan, menyalahi suami mereka pada hal-hal yang diwajibkan kepada mereka untuk mentaati suaminya, kebencian mereka, dan keberpalingan mereka dari suami mereka. Asal kata nusyuz adalah al-irtifa‟

(meninggi). Oleh karena itu tempat yang tinggi dikatakan nasyaz dan nasyaaz.

Ketika istri dianggap nusyuz maka suami diberi hak dalam menyikapi dengan tiga cara, yaitu menasehati, pisah ranjang, dan pukulan yang tidak meninggalkan bekas dengan tujuan mendidik sebagaimana yang ditegaskan dalam Q.S An-Nisa‟(4):34 sebagai berikut:

5 Ibid., h. 3

6 Abu Ja‟far Muhammad Ibnu Jarir al-Thabari, Jamiul Bayan „an Ta‟wili ay Al-Qur‟an, di akses di Maktabah Syamilah, pada tanggal 18-07-2022

(15)

ُّٰللّا َلَّضَف اَِبِ ِء ۤا َسِّنلا ىَلَع َنْوُماَّوَ ق ُلاَجِّرلَا ُتٰحِلّٰصلاَف ْمِِلِاَوْمَا ْنِم اْوُقَفْ نَا اَِبَِّو ٍضْعَ ب ىٰلَع ْمُهَضْعَ ب

ا ِفِ َّنُىْوُرُجْىاَو َّنُىْوُظِعَف َّنُىَزْوُشُن َنْوُ فاََتَ ِْتِّٰلاَو ُّٰللّا َظِفَح اَِبِ ِبْيَغْلِّل ٌتٰظِفٰح ٌتٰتِنٰق ِع ِجاَضَمْل

ْمُكَنْعَطَا ْنِاَف ۚ َّنُىْوُ بِرْضاَو اًرْ يِبَك اِّيِلَع َناَك َّٰللّا َّنِا ًلَْيِبَس َّنِهْيَلَع اْوُغْ بَ ت َلََف

Artinya: “Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena

Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga dirinya ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga mereka. Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka.

Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari aasan untuk menyusahkannya. Sungguh Allah Mahatinggi, Mahabesar” (Q.S. An- Nisa‟ [4]: 34).7

Perbuatan nusyuz tidak hanya ditujukan kepada istri saja, tetapi juga berlaku untuk suami. Sebagaimana yang dijelaskan dalam QS. An-Nisa‟ ayat 128:

اَمُهَ نْ يَ ب اَحِلْصُّي ْنَا اَمِهْيَلَع َحاَنُج َلََف اًضاَرْعِا ْوَا اًزْوُشُن اَهِلْعَ ب ْۢ

ْنِم ْتَفاَخ ٌةَاَرْما ِنِاَو َ تَو اْوُ نِسُْتُ ْنِاَو َّحُّشلا ُسُفْ نَْلَا ِتَرِضْحُاَو ٌرْ يَخ ُحْلُّصلاَو اًحْلُص َنْوُلَمْعَ ت اَِبِ َناَك َّٰللّا َّنِاَف اْوُقَّ ت

اًرْ يِبَخ

ٕٔٛ

Artinya: “Dan jika seorang perempuan khawatir suaminya akan nusyuz atau bersikap tidak acuh, maka keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka walaupun manusia itu menurt tabiatnya kikir. Dan jika kamu memperbaiki (pergaulan dengan istrimu)dan memeihara dirimu dari nusyuzdan sikap acuh tak acuh, maka sungguh Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan” (Q.S. An-Nisa‟ [4]: 128)8

7 Q.S. An Nisa‟ (4): 34.

8 Q.S. An-Nisa‟: 128.

(16)

Pada ayat tersebut menunjukkan jika seorang istri merasakan atau mendapati tanda-tanda sikap nusyuz atau acuh tak acuh dari suaminya dengan berdasarkan sejumlah tanda dan indikasi-indikasi yang ada. Maka tidak apa- apa untuk mengambil langkah mengadakan perbaikan dan perdamaian di antara keduanya dengan cara si istri merelakan sebagian atau seluruh hak- haknya agar ia tak diceraikan oleh suaminya.9

Bila dibuat perbandingan antara kedua ayat tentang nusyuz ini, terkesan ada perbedaan pola penyelesaian, yang keduanya menjadikan posisi istri dalam posisi lemah dan dianggap sebagai sumber kesalahan, ketika istri nusyuz maka ditunjuk-ajari, dipisah tempat tidur dan bahkan boleh dipukul jika tidak ada cara lain, sementara bila suami yang nusyuz maka istri dibolehkan atau dianjurkan mengajukan tawaran damai dengan cara melepaskan sebagian atau seluruh haknya dari suami. Dengan hak thalak secara mutlak di tangan suami, di satu sisi tidak akan memberikan ketenteraman kepada istri sebab kapanpun iabisa menjadi janda tanpa ada hak untuk mempertahankan keutuhan rumah tangga. Apalagi di saat umur sudah tua, tidak produktif, tidak menarik selera syahwat suami, di saat ia butuh pengayoman menghabiskan hari tuanya, justeru di saat itu ia berada dalam posisi tidak aman, terancam akan diceraikan, dikurangi hak-haknya, ini tentu saja tidak sejalan dengan tujuan pembentukan rumah tangga sakinah,

9 Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, (Jakarta: Gema Insani, 2006), h. 297.

(17)

mawaddah wa rohmah sebagaimana ditegaskan Allah di dalam al-Qur‟an surat ar-Ruum ayat 21.10

Namun di sisi lain juga tidak bijak mempertentangkan ayat-ayat ini karena sumbernya satu yaitu Allah SWT. Juga tidak bijak bersikap apriori terhadap ayat-ayat yang menjelaskan tentang penanganan kasus nusyuz. Yang paling tepat dilakukan adalah mencari hikmah mengapa Allah memberikan petunjuk penyelesaian.11

Dalam literatur-literatur kajian fikih, masalah nusyuz suami kurang mendapat perhatian dan jarang menjadi objek kajian secara khusus. Begitu juga ketentuan dalam Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 dan KHI.

Ketentuan di dalam Undang-Undang Perkawinan dan KHI tersebut hanya menjelaskan hak-hak, tanggung jawab serta relasi antar suami dan istri dalam rumah tangga, tidak menyinggung atau membahas ketentuan nusyuz suami sebagaimana yang diatur dalam pasal 31 ayat 1, 2, dan 3. Serta pasal 34 ayat 1, 2, dan 3.12

Dalam permasalahan nusyuz, Wahbah az-Zuhaili memiliki pendapat yang berbeda dengan ulama klasik. Wahbah az-Zuhaili lebih menekankan kepada nusyuznya suami, begitupun penyelesaiannya.13

10 Haswir, “Penyelesaian kasus Nusyuz Menurut Perspektif Ulama Tafsir”, Volume 11., No. 2., (2012), h. 257-258.

11 Ibid.

12 Indonesia, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 31

13 Kawakib, “Konsep Nusyuz Suami Istri Pandangan Wahbah Az-Zuhaili Perspektif Gender”. (Tesis: UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, 2017). h. 6.

(18)

Menurut Wahbah az-Zuhaili mengenai penjelasan tentang nusyuz suami tersebut, secara zhahir menunjukkan adanya kesan ketidaksamaan antara suami dan istri ketika melakukan nuzyuz. Hal ini berarti walaupun suami nusyuz kepada istrinya ketaatan istrinya tetap berlaku. Akan tetapi dia juga menyatakan bahwa hal itu disebabkan oleh karena Allah SWT menjadikan kaum laki-laki memiliki derajat qawaamah (kepemimpinan yang memikul tanggung jawab) atas kaum perempuan. Seseorang yang dipimpin tidak bisa menghukum pimpinannya dan Allah juga melebihkan kaum laki- laki atas kaum perempuan dalam hal akal, agama, dan kewajiban memikul beban tanggung jawab yang berat. Hal ini menghendaki sikap nusyuz seorang laki-laki atau suami tidak muncul melainkan karena suatu sebab dan alasan yang kuat dan memaksa.14

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “NUSYUZ SUAMI MENURUT PANDANGAN WAHBAH AZ-ZUHAILI”

Dijadikan nusyuz sebagai bahan penelitian karena nusyuz merupakan salah satu faktor dari beberapa faktor pemicu ketidakharmonisan rumah tangga. Terdapat empat faktor permasalahan yang sering terjadi dalam rumah tangga yang memicu rusaknya rumah tangga bahkan memicu terjadinya perceraian, yaitu nusyuz dari pihak istri, nusyuz dari pihak suami, terjadinya syiqaq, dan salah satu dari suami istri melakukan perbuatan zina.

14 Ibid.

(19)

Walaupun sering terjadi, pemahaman masyarakat tentang nusyuz bisa dikatakan masih sangat minim. Masyarakat hanya mengetahui bahwa nusyuz hanya perbuatan durhaka yang dilakukan oleh istri dan ketika hal itu terjadi mereka langsung memutuskan untuk bercerai tanpa tau langkah-langkah yang harus dilakukan dalam menyelesaikan nusyuz.15 Perceraian bisa dikatakan jalan terakhir jika penyelesaian nusyuz tidak berakhir damai.

B. Batasan Masalah

Batasan masalah ialah ruang lingkup masalah atau upaya membatasi ruang lingkup masalah yang terlalu luas atau lebar sehingga penelitian itu lebih bisa fokus untuk dilakukan.16

Oleh karena itu, penelitian ini penulis batasi tentang nusyuz suami menurut Wahbah az-Zuhaili dan metode istinbath Wahbah az-Zuhaili . Adapun literatur-literatur dan data-data pendukung lainnya, hanyalah sebagai penguat pembahasan ini.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah yaitu:

1. Bagaimana nusyuz suami menurut pandangan Wahbah az-Zuhaili?

2. Bagaimana metode istinbath hukum Wahbah az-Zuhaili mengenai nusyuz

15 Afnan Riani Cahaya, et.al., “Pembaruan Islam dalam Bidang Keluarga dan Relevansinya dengan Proses Penyelesaian Nusyuz”. Volume 5., No.2., (2020), h. 192.

16 Wildayati, Konsep Nusyuz Dalam Al-Qur‟an: Studi Komparatif Tafsir Al-MaraghiI dan Tafsir Al-Misbah. (Skripsi: Universitas Islam Negeri Jambi, 2020), h. 1.

(20)

suami?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui nusyuz suami menurut pandangan Wahbah az- Zuhaili.

b. Untuk mengetahui metode istinbath hukum Wahbah az-Zuhaili mengenai nusyuz suami.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

a. Untuk mendapatkan pengetahuan mengenai nusyuz suami menurut pandangan Wahbah az-Zuhaili.

b. Untuk mendapatkan pengetahuan mengenai metode istinbath hukum Wahbah az-Zuhaili mengenai nusyuz suami.

c. Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan perkuliahan dan memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) pada program S1 jurusan Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.

d. Bagi Perguruan Tinggi, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi perpustakaan UIN Sultan Syarif Kasim mengenai judul

“Nusyuz Suami Menurut Pandangan Wahbah az-Zuhaili”

e. Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan dapat memperluas pengetahuan dan pemahaman mengenai nusyuz suami menurut

(21)

pandangan Wahbah az-Zuhaili dan metode istinbath hukum Wahbah az-Zuhaili mengenai nusyuz suami.

(22)

11 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teoritis

1. Pengertian Nusyuz

Secara etimologi, nusyuz berasal dari kata )زشني-زشن (yang berarti 'tinggi‟17. Kata ini berasal dari kata an-nasyzu atau an-nasyazu, yaitu

„tanah yang tinggi‟. Dalam hal ini, nusyuz berarti kedurhakaan istri dan bersifat besar diri terhadap suami.18 Nusyuz bisa pula berarti „sesuatu yang keras berada di atas lembah‟. Abu „Ubaid berkata; “Ia adalah sesuatu yang teramat keras”.19 Dalam pemakaiannya, arti kata annusyuzu kemudian berkembang menjadi نايصعلا yang berarti durhaka atau tidak patuh.

Disebut nusyuz karena pelakunya merasa lebih tinggi sehingga dia merasa tak perlu untuk patuh.20

Nusyuz menurut terminologi adalah perbuatan yang keluar dari ketaatan, yakni perbuatan istri yang keluar dari mentaati suami ataupun

17 Muhammad Rawas Qal‟aji, Mu‟jam Lughat al-Fuqaha, ( Beirut: Darun Nafais,1988 ), h. 480. Sumber dari Maktabah Syamilah.

18 Syafri Muhammad Noor, Ketika Istri Berbuat Nusyuz ( Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2018), h. 22.

19 Shaleh Ghanim,Jika Suami Istri Berselisih;Bagaimana Mengatasinya? (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), h. 23.

20 Rif‟atun Nikmah, “Nusyuz Suami terhadap Istri Menurut Fiqh Berspektif Gender dan Hukum Positif di Indonesia (Studi Terhadap Suami yang Melakukan Nusyuz Di Desa Wates Kabupaten Blitar)”, (Skripsi: UIN Satu Tulungagung, 2014), h. 13.

(23)

sebaliknya.21 Kata nusyuz berarti tidak tunduk kepada Allah SWT untuk taat kepada suami.22

Para mufassir memberikan penjelasan yang beragam mengenai makna nusyuz. Di antaranya Sayyid Quthub yang menyatakan bahwa nusyuz secara bahasa berarti berhenti di tempat yang tinggi dan menonjol di muka bumi. Maka orang yang melakukan nusyuz adalah orang yang menonjolkan dan meninggikan diri (menyombongkan) diri dengan melakukan pelanggaran dan kedurhakaan.23 Oleh karena itu, arti kata nusyuz dapat diartikan dengan kedurhakaan.

Menurut Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa‟di dalam buku tafsirnya, nusyuz adalah tindakan tidak taat istri pada suaminya berupa kedurhakaan, baik berupa perkataan maupun perbuatan.24

Menurut Thabari, nusyuz adalah sikap meninggi seorang perempuan terhadap suaminya, bangkit atau meninggalkan tempat tidur

21 Husnul Amaliah, “Hikmah Penyelesaian Nusyuz Istri menurut Ulama Klasik dan Kontemporer”, (Skripsi: Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, 2019), h. 22

22 Zaitunah Subhan, Al-Qur‟an dan Perempuan, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), h.

181.

23 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur‟an: Di Bawah Naungan Al-Qur‟an Jilid 2, alih bahasa oleh As‟ad Yasin dkk, (Jakarta: G ema Insani Press, 2001), h. 357.

24 Syaikh Abdurrahmahman bin Nashir as-Sa‟di, Tafsir As-Sa‟di Jilid 2, alih bahasa oleh Muhammad Iqbal dkk, (Jakarta: Pustaka Sahifa, 2007), h. 77.

(24)

karena maksiat (durhaka), menyalahi suaminya pada hal-hal yang harus ditaati, benci dan berpaling dari mereka.25

Menurut Ibnu Katsir pada tafsirnya surat An-Nisa‟ ayat 34 nusyuz adalah merasa lebih tinggi. Berarti wanita yang nusyuz adalah wanita yang merasa tinggi di atas suaminya dengan meninggalkan perintahnya, berpaling dan membencinya.26

Mayoritas ulama dari kalangan mazhab Maliki, mazhab Syafi‟I, dan Mazhab Hanbali berbeda dengan mazhab Hanafi dalam mendefinisikan nusyuz. Keluarnya istri dari kewajiban taat pada suaminya. Kebanyakan ulama secara jelas dan terang telah menyebutkan bahwa nusyuz adalah perbuatan menyimpang yang timbul dari seorang istri kepada suaminya.27

Namun ada juga sebagian ulama yang menjelaskan bahwa nusyuz tidak hanya sebatas perbuatan menyimpang dari istri ke suami saja, namun juga berlaku sebaliknya. Ketika suami berbuat menyimpang kepada istrinya, maka hal tersebut juga di sebut dengan nusyuz.28

Nusyuz berlaku di antara suami istri, yaitu kebencian dari salah seorang kepada pasangannya. Wanita yang nusyuz kepada suaminya

25 Al-Thabari, Jami‟ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur‟an, Juz 8, (Riyadh: Dar Thayyibah, 1997), h. 299.

26 Ibnu Katsir, Lubaabut Tafsiir Min Ibni Katsiir, alih bahasa oleh M. Abdul Ghoffar, (Bogor: Pustaka Imam Syafi‟I, 2001), Cet. Ke-4, Jilid 2, h. 299.

27 Syafri Muhammad Noor, Ketika Istri Berbuat Nusyuz (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2018), h. 22.

28 Ibid.

(25)

bermaksud istri yang meninggikan diri, durhaka, membuat suami marah dan tidak taat pada suami.29

Dari segi istilah, nusyuz berarti istri mendurhakai suami dalam perkara yang menjdi hak suami dan tanggung jawab atas istri yang diwajibkan melalui pernikahan.

Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa sikap ketidaktaatan tidak hanya lahir dari istri, tetapi juga bisa dari suami yang berbuat nusyuz kepada istrinya.

2. Dasar Hukum Nusyuz a) Al-Qur‟an

Dasar hukum nusyuz terdapat dalam firman Allah SWT dalam Al- Quran yaitu surat An-Nisa‟ ayat 34 yang berbunyi:

ِِلِاَوْمَا ْنِم اْوُقَفْ نَا اَِبَِّو ٍضْعَ ب ىٰلَع ْمُهَضْعَ ب ُّٰللّا َلَّضَف اَِبِ ِء ۤا َسِّنلا ىَلَع َنْوُماَّوَ ق ُلاَجِّرلَا ْم

ٌتٰظِفٰح ٌتٰتِنٰق ُتٰحِلّٰصلاَف ُّٰللّا َظِفَح اَِبِ ِبْيَغْلِّل

َّنُىْوُظِعَف َّنُىَزْوُشُن َنْوُ فاََتَ ِْتِّٰلاَو

ًلَْيِبَس َّنِهْيَلَع اْوُغْ بَ ت َلََف ْمُكَنْعَطَا ْنِاَف ۚ َّنُىْوُ بِرْضاَو ِعِجاَضَمْلا ِفِ َّنُىْوُرُجْىاَو َناَك َّٰللّا َّنِا

اًرْ يِبَك اِّيِلَع

Artinya: “Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena

Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga dirinya ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga mereka. Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat

29 Ibid.

(26)

kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari aasan untuk menyusahkannya. Sungguh Allah Mahatinggi, Mahabesar” (Q.S. An-Nisa‟ [4]: 34).30

Ayat di atas menjelaskan bahwa jika seorang suami khawatir atau takut akan nusyuz nya istri maka suami boleh menyelesaikannya dengan tiga penyelesaian, yaitu menasehati, pisah tempat tidur, dan memukul.

Asbabun nuzul dari ayat tentang nusyuz nya istri adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim bahwa Hasan al- Bashri berkata: “seorang wanita mendatangi Nabi saw dan mengadukan kepada beliau bahwasanya suaminya telah menamparnya. Beliau pun bersabda: “balaslah sebagai qishas nya”. Lalu Allah menurunkan firman- Nya “Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri)…” Maka wanita itu kembali ke rumah tanpa meng-qishas nya.”31

Ayat di atas sering kali dikutip dan digunakan sebagai landasan tentang nusyuznya istri terhadap suami, meskipun secara tersurat tidak dijelaskan bagaimana awal mula terjadinya nusyuz istri tersebut melainkan proses penyelesaian ketika istri nusyuz.32 Pada ayat tersebut dapat ditarik beberapa pemahaman mengenai kandungan hukum yang terdapat dalam ayat tersebut:

30 Q.S. An Nisa‟ (4): 34.

31 Jalaluddiin as-Suyuti, Asbabun Nuzul: Sebab-Sebab turunnya ayat al-Qur‟an, alih bahasa oleh: Abdul Hayyie dkk, (Jakarta, Gema Insani, 2008), h. 162.

32 Yovi Pebriyanti, “Nusyuz menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah”

(Skripsi: IAIN Bengkulu, 2019), h. 190.

(27)

1. Kepemimpinan

2. Hak dan kewajiban suami istri 3. Solusi jika istri nusyuz

Kemudian ayat selanjutnya Allah SWT berfirman dalam surat An- Nisa‟ (4) ayat 128 yang berbunyi:

َرْعِا ْوَا اًزْوُشُن اَهِلْعَ ب ْۢ

ْنِم ْتَفاَخ ٌةَاَرْما ِنِاَو اًحْلُص اَمُهَ نْ يَ ب اَحِلْصُّي ْنَا اَمِهْيَلَع َحاَنُج َلََف اًضا

ٌرْ يَخ ُحْلُّصلاَو َنْوُلَمْعَ ت اَِبِ َناَك َّٰللّا َّنِاَف اْوُقَّ تَ تَو اْوُ نِسُْتُ ْنِاَو َّحُّشلا ُسُفْ نَْلَا ِتَرِضْحُاَو

اًرْ يِبَخ )

ٕٔٛ

(

Artinya: “Dan jika seorang perempuan khawatir suaminya akan nusyuz atau bersikap tidak acuh, maka keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu memperbaiki (pergaulan dengan istrimu)dan memeihara dirimu dari nusyuzdan sikap acuh tak acuh, maka sungguh Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan” (Q.S. An-Nisa‟ [4]: 128)33

Ayat ini menjelaskan hukum yang berhubungan dengan sikap nusyuz yang muncul dari pihak suami. Yang dimaksud dengan nusyuz dalam ayat tersebut adalah sikap suami yang menjauhi istri, bersikap kasar, meninggalkan untuk menemaninya, meninggalkannya dari tempat tidurnya, mengurangi nafkahnya, atau berbagai beban berat lainnya bagi istri.34

33 Q.S. An-Nisa‟: 128.

34 Ali Yusuf As-subki, Fiqh Keluarga; Pedoman Berkeluarga dalam Islam, (Jakarta:

Amzah, 2010), h. 317.

(28)

Sebab turunnya ayat ini, menurut berbagai riwayat yang diungkapkan oleh Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Daud sebagai berikut:

, َسُنوُي ُنب ُدَحم أ اَنَثَّدَح ِنحمَّرلا ُدبَع اَني -

ِب أ َنبا نيعَي - د َنَِّزلا

َة َورُع ِنبا ِما َشِه نَع , -

ِويِبأ نَع و

ِمسَقلا ِفِ ٍضعَب ىَلَع اَنَضعَب ُلِّضَفُ ي َلَ ّللّا لوسَر ناَك !ِْتِخُأ َنبا َيَ :ُةَشِئاَع تَل اَق(( :َلاَق ُك نِم وُندَيَ ف ,اًعيَِجَ اَنيَلَع ُفوُطَي َوُىَو َّلَا ٌموَي َّلَق َناَكَو َنََدنِع ِوِثكُم نِم ِيرَغ نِم ٍةَأَرما ِّل

َينِح َةَعْمَز ُتنِب ُةَدْوَس تَلاَق دَقَل َو ,اَىَدنِع ُتيِبَيَ ف اَهُموَي َوُى ِتَِّلا لىإ َغُلبَي ّتَّح ٍسيِسَم ّللّا ُل وُسَر اَهَ قِراَفُ ي نَأ تَقِرَفَو تَّنَسَأ ّللّا ُل وُسَر َلِبَفَ ف ,ِةَشِئاَعِل يِموَي ّللّا ُل وُسَر َيَ : ﷺ

َلاَق ُهارُأ ,اَهِىاَبشَأ ِفَو َّلَجَو َّزَع ّللّا َلَزنَأ : َكِلَذ ِف ُلوُقَ ن :تَلاَق اَهنِم ْتَفاَخ ٌةَاَرْما ِنِاَو (

)اًزْوُشُن اَهِلْعَ ب ْۢ

ٖ5

ْنِم

Artinya: Ahmad bin Yunus menceritakan kepada kami, Abdurrahman yaitu Ibnu Abi Zinad menceritakan kepada kami, dari Hisyam bin „Urwah dari ayahnya, ia berkata, Aisyah berkata: Hai saudaraku, bahwa Rasulullah saw tidak melebihkan sebagian kita atas sebagian yang lain, dalam pembagian giliran tinggal bersama kita, Rasulullah saw mengelilingi kepada kita semua, maka hampir setiap istrinya mendapat giliran, sehingga sampai kepada harinya, maka Rasulullah saw akan menginap bersamanya, dan sungguh telah berkata Saudah binti Zam‟ah ketika telah tua dan khawatir ditalak oleh Rasulullah saw, hari giliranku untuk Aisayah saja, maka diterima hal itu oleh Rasulullah saw. Aisyah berkata, dalam hal sperti itu Allah berfirman (dan jika istri khawatir suaminya nusyuz) (HR. Abu Daud).

Hadis di atas sehubungan dengan Saudah binti Zam‟ah yang sudah tua, Rasululah berencana menceraikannya, lalu ia mengajukan tawaran damai agar tidak diceraikan dan menyerahkan jatah bermalamnya untuk

35 Abu Daud Sulaiman bin al-Asy‟at bin Ishaq bin Basyir al-Azdi as-Sijistani, Sunan Abu Daud ma‟a Syarahah „Aunul Ma‟bud, h. 208. Di akses di al-Maktabah as-Syamilah, pada tanggal 19 Oktober 2022. Lihat juga Khalil Ahmad as-Saharanfury, Bazdl al-Majhud Fii Halli Abi Daud, Juz III, h. 64. 2135. Di akses di al-Maktabah al-Waqfiyah, pada tanggal 19 Oktober 2022.

(29)

Aisyah, lalu Rasulullah menerima tawaran itu dan dia tetap menjadi istri beliau. Dengan kejadian ini maka turunlah ayat ini. Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daud al-Thayalisi, al-Tirmizi, Muslim, dua kitab shahih, Bukhori dan lain-lain.36

Versi lain mengenai sebab turun ayat ini, sebagaimana dijelaskan oleh Aisyah, Ali dan Ibn Umar, bahwa ada seorang laki-laki mempunyai istri yang sudah tua dan tidak mampu lagi menjalankan fungsi sebagai istri (melayani suami di ranjang), sehingga laki-laki itu berniat menceraikan istrinya tersebut, lalu istrinya berkata : Engkau saya bebaskan dalam hal yang berkenaan dengan diriku (nafkah lahir dan batin). Ada juga kasus seorang laki-laki yang mempunyai seorang istri tetapi ia sudah bosan dengan istrinya, mungkin karena wajahnya tidak menarik lagi, atau karena sudah tua, atau karena buruk perangainya atau karena sikapnya yang membosankan, sementara istrinya tersebut merasa sedih jika diceraikan, maka si istri dapat mengurangi kewajiban suami kepadanya. Ibn Umar juga menjelaskan bahwa ada seorang laki-laki yang memiliki istri yang sudah tua dan tidak memiliki anak, lalu suaminya kawin lagi dengan perempuan lain yang lebih muda dengan tujuan mendapatkan anak, lalu jika mereka berdamai maka dibolehkan oleh syara.37

36 Ibnu Katsir, Lubaabut Tafsiir Min Ibni Katsiir, alih bahasa oleh M. Abdul Ghoffar, (Bogor: Pustaka Imam Syafi‟I, 2001), Cet. Ke-4, Jilid 2, h. 299.

37 Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD, 2007 ), h. 1455.

(30)

b) Hadist

:َةَشِئاَع نَع ,ِويِبَأ نَع ٍماَشِى نَع ,َةَيِواَعُم وُبَأ َنََبَْخَأ ,ٍمَلََس نبا اَنَ ثَّدَح تَفاَخ ٌةَاَرْما ِنِاَو((

,))اًضاَرْعِا ْوَا اًزْوُشُن اَهِلْعَ ب ْۢ

ِلُجَّرلا َدنِع ُنوُكَت ةَأرَلما َيِى تَلاَق ْنِم ُديُِيرَ ف اَهنِم ُرِثكَتسَي َلَ ¸

اَهَ ق َلََط ِّلِح ِف َتنَأَف ,يِيرَغ جَّوَزَ تَ ي َُّثُ , ِنِقِّلَطُت َلََو ِنِكِسمَأ :وَل ُلوُقَ ت ,اَىَيرَغ ُجَّوَزَ تَ ي َو

لىَاعَت ُوُلوَق َكِلذَف , ِلِ ِةَمسِقلاَو َّيَلَع ِةَقَفَّ نلا َنِم اَمُهَ نْ يَ ب اَحِلْصُّي ْنَا اَمِهْيَلَع َحاَنُج َلََف((:

اًحْلُص َخ ُحْلُّصلاَو )) ٌرْ ي

ٖٛ

Artinya: “Muhammad bin Salam telah menceritakan kepada kami, Abu Mu‟awiyah telah mengabari kami, dari Hisyam dari ayahnya dari Aisyah ra (dan jika istri khawatir suaminya nusyuz atau mengabaikannya), Aisyah berkata yaitu seorang istri yang sudah tidak disukai oleh suaminya, lalu ia mau mentalaknya dan ingin mengawini perempuan yang lain, maka istrinya berkata: peganglah aku, jangan engkau talak aku dan engkau boleh kawin dengan perempuan yang lain, engkau bebas dari memberi nafkah dan menggiliri aku. Yang demikian itu sesuai dengan Firman Allah (maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik)”

(HR.Bukhari)

3. Bentuk-Bentuk Nusyuz a. Nusyuz Istri

Ibn Arabi mengistilahkan nusyuz istri sebagai al-Imtina`

(menahan). Istri menahan dirinya dari melaksana hak suami. Al- Baydawi menjelaskan istri menarik diri dari mentaati suami.

Manakala Badran Abu al-Aynayn Badran memberi pengertian yang lebih jelas, nusyuz istri bermaksud sebagai perbuatan istri tidak

38 Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim ibnu al-Mughiroh Bukhori, Shahih al-Bukhori, jilid 7, h. 89. Hadis no. 5197. Di akses di al-Maktabah al-Waqfiyah, pada tanggal 25 Oktober 2022.

(31)

mentaati suami, dan termasuklah keluar dari rumah tanpa izin dan tanpa apa-apa alasan yang diharus oleh Syara`.39

Seorang istri dikatakan nusyuz terhadap suaminya berarti istri merasa dirinya sudah lebih tinggi kedudukannya dari suaminya, sehingga ia tidak merasa berkewajiban mematuhinya.40

Dalam bahasan tentang kewajiban istri terhadap suami telah dijelaskan beberapa hal yang harus dilakukan istri terhadap suaminya, seperti berkata lemah lembut, melaksanakan perintah suami dan meninggalkan yang di larangnya selama tidak menyalahi syariat, meminta izin kepada suami dan menjaga kehormatan.41

b. Nusyuz Suami

Nusyuz suami mengandung arti pendurhakaan suami kepada Allah karena meninggalkan kewajibannya terhadap istrinya. Nusyuz suami terjadi apabila ia tidak melaksanakan kewajibannya terhadap istrinya baik meninggalkan kewajiban secara materil atau non materil.42

Sedangkan nusyuz yang mengandung arti luas yaitu segala sesuatu yang dapat disebut menggauli istrinya dengan cara buruk seperti berlaku kasar, menyakiti fisik dan mental istri, tidak

39 Husnul Amaliah, op.cit., h. 28

40 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 191

41 Ibid.

42 Ibid., h. 193

(32)

melakukan hubungan badaniyah dalam jangka waktu tertentu yang sangat lama dan tindakan lain yang bertentangan dengan asas pergaulan baik antara suami dan istri.43

Bentuk nusyuz suami di antaranya kelalaian suami untuk memenuhi kewajiban terhadap istri, baik nafkah lahir maupun nafkah batin. Nusyuz suami menurut Ibnu Jarir dalam tafsir Jami‟ al-Bayan fi tafsir al-Qur‟an yakni sikap tidak acuh dari suami terhadap istri, yakni selalu berpaling darinya dengan wajahnya, atau tidak lagi memberikan sesuatu yang seharusnya diberikan terhadap istrinya.44

Nusyuz suami terjadi jika suami meninggalkan kewajibannya, yang bersifat lahir/batin, yang berupa nafkah ataupun menggauli istri dengan cara yang ma‟ruf.45

4. Penyelesaian Nusyuz

a. Penyelesaian Nusyuz Istri

Allah SWT. menetapkan beberapa cara menghadapi kemungkinan nusyuznya seorang istri, sebagaimana dinyatakan-Nya dalam surat an-Nisa‟ ayat 34.

Ada tiga tahapan secara kronologis yang harus dilalui dalam menghadapi istri nusyuz sebagaimana dijelaskan dalam tersebut:

43 Ibid.

44 Ibnu Jarir ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari Jilid 7, alih bahasa oleh Ahmad Abdulrazik al-Bakri, dkk, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007) h. 840

45 Amir Syarifuddin, op. cit., h. 193.

(33)

Pertama, dengan cara menasehati. Bila terlihat tanda-tanda

bahwa istri akan nusyuz, suami harus memberikan peringatan dan pengajaran kepada istrinya dengan menjelaskan bahwa tindakannya adalah salah menurut agama dan menimbulkan risiko ia dapat kehilangan haknya. Bila dengan pengajaran itu si istri kembali keadaan semula sebagai istri yang baik, masalah sudah terselesaikan dan tidak boleh diteruskan.46

Pemberian nasihat perlu dilakukan dengan cara diskusi dan tidak menghakimi, sehingga akan tercipta keterbukaan di antara suami dan istri dan menerima pendapat pasangannya.47

Pemberian nasihat menjadi solusi utama dalam menyelesaikan perkara nusyuz, dalam memberikan nasihat suami perlu memperhatikan kondisi psikologis istri sehingga tujuan dari pemberian nasihat itu dapat dipahaminya.48

Kedua, bila istri tidak memperlihatkan perubahan sikapnya dan secara nyata nusyuz itu telah terjadi dengan pertimbangan yang objektif, suami melakukan usaha yang berikutnya yaitu pisah tempat tidur dalam arti menghentikan hubungan seksual. Menurut ulama, hijrah dalam ayat itu juga berarti meninggalkan komunikasi dengan

46 Amir Syarifuddin, op. cit., h. 192.

47 M. Dahlan R, Fikih Munakahat.( Yogyakarta: Deepublish), 2012, h. 130.

48 Ibid., h. 131

(34)

istri. Bila cara ini yang ditempuh, tidak boleh lebih dari tiga hari.49 Hal ini sesuai dengan hadis Nabi:

اَنَ ثَّدَح ىَلَع ُتْأَرَ ق :َلاَق َيََْيَ ُنْب َيََْيَ

ِنَع ، ٍكِلاَم ْنَع ، ٍباَهِش ِنْبا

َديِزَي ِنْب ِءاَطَع

ْنَع ، ِّيِثْيَّللا ِبَِأ

َبوُّيَأ : َلاَق َمَّلَسَو ِوْيَلَع ُالله ىَّلَص ِالله َلوُسَر َّنَأ ِّيِراَصْنَْلْا ُّلَِيَ َلَ «

اَُهُُرْ يَخَو اَذَى ُضِرْعُ يَو ،اَذَى ُضِرْعُ يَ ف ِناَيِقَتْلَ ي ٍلاَيَل ِث َلََث َقْوَ ف ُهاَخَأ َرُجْهَ ي ْنَأ ٍمِلْسُمِل ِم َلََّسلِبِ ُأَدْبَ ي يِذَّلا

Artinya: “tidak halal bagi seorang muslim untuk meng-hajr (mendiamkan) saudaranya lebih dari 3 malam. Mereka berdua bertemu namun yang satu berpaling dan yang lainnya juga berpaling.

Dan yang terbaik di antara mereka berdua yaitu yang memulai dengan memberi salam” (HR. Abu Daud)

Dalam tahap ini yang boleh dilakukan hanyalah pisah ranjang dan tidak boleh memukulnya. Bila dengan pisah ranjang istri telah kembali kepada ketaatannya, maka persoalan selesai dan tidak boleh dilanjutkan ke tahap berikutnya.51

Ketiga, bila dengan pisah ranjang istri belum memperlihatkan adanya perbaikan, bahkan tetap dalam keadaan nusyuz maka suami boleh memukul istri dengan pukulan yang tidak menyakiti. Pukulan dalam hal ini adalah dengan motif ta‟dib atau edukatif, bukan atas

49 Amir Syarifuddin, op. cit.

50 Abu al-Husain Muslim bin al-Hujaj, Shahih Muslim, juz 8 (Turki: Dar ath-thabaah), 1334 H, jhadis no 2560, h. 9. Di akses di al-Maktabah asy-Syamilah pada tanggal 22 Desember 2022.

51 Ibid.

(35)

dasar kebencian. Suami dilarang memukul dengan pukulan yang menyakiti.52

Batasan-batasan dalam pemukulan ketika istri nusyuz adalah tidak memukul dengan pukulan yang keras, tidak meninggalkan bekas, tidak memukul di bagian wajah, tidak menyebabkan luka.

Sebagaimana yang terdapat dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud:

اَنَ ثَّدَح َنَ ،َليِعاَْسِْإ ُنْب ىَسوُم َأ ،ٌداََّحْ

َنَ

ُّيِلِىاَبْلا َةَعَزَ ق وُبَأ ةِواَعُم نب ِميِكَح نَع

اَهَمِعْطُت نَأ :لأَق ؟ويَلَع َنَِدَحَأ ِةَجْوَز ُّقَح اَم الله َ لوسَر َيَ ُتلُق :َلاَق ويِبَأ ْنَع ِّيِْيرَشُقْلا َقُ ت َلََو ,َوْجَولا ِبِرْضَت َلََو ,َتْيَسَتْكا اَذِإ اَىوُسْكَت َو ,َتمِعَط اَذِإ إ رُجْهَ ت َلََو حِّب

ف َّلَ

)دواد وبأ هاور(" الله ِكَحَّبَ ق ":َلوُقَ ت نَأ حِّبَقُ ت َلََو :َدُواَد وُبَأ َلاَق . تْيَ بْلا

ٖ٘

Artinya: “Dari Hakim bin Mu‟awiyah, dari bapaknya dia berkata: Aku berkata kepada Nabi: Wahai Nabi, hak seorang istri salah satu kami yang menjadi kewajiban suami itu apa saja? Nabi menjawab:Kewajiban seorang suami kepada istrinya yaitu memberi makan ketika engkau makan, memberi pakaian ketika engkau memakai pakaian, tidak memukul wajahnya, tidak menghina, tidak meninggalkan istri melainkan masih di dalam rumah. Abu Daud berkata: jangan menghina dengan mengatakan: Semoga Allah memperburukmu.”

Bila dengan pukulan ringan tersebut istri telah kembali kepada keadaan semula masalah telah dapat di selesaikan. Namun bila dengan

52 Ibid.

53 Abu Daud Sulaiman bin al-Asy‟at bin Ishaq bin Basyir al-Azdi as-Sijistani, Sunan Abu Daud ma‟a Syarahah „Aunul Ma‟bud, hadis no. 2142, h. 210. Di akses di al-Maktabah asy- Syamilah pada tanggal 22 Desember 2022.

(36)

langkah ketiga ini masalah belum dapat diselesaikan, barulah suami menempuh jalan lain yang lebih lanjut, termasuk perceraian.54

b. Penyelesaian Nusyuz Suami

Ada dua hal yang mendorong suami istri mengadakan negosiasi dan perdamaian dalam surat an-Nisa‟ ayat 128;

Pertama: suami nusyuz sebagaimana dijelaskan dengan sifat- sifat tersebut di atas.55

Kedua: I‟radh, yaitu suami berpaling dari istrinya dalam arti mulai tidak senang kepadanya karena sebab-sebab tertentu.56

Adapun yang dimaksud dengan sulh sebagai suatu solusi sebagaimana disebutkan dalam ayat itu adalah perundingan yang membawa perdamaian, sehingga suami tidak sampai menceraikan istrinya, diantaranya dengan kesediaan istri untuk mengurangi hak materi dalam bentuk nafaqah atau kewaiban nonmateri dalam arti kesediaan untuk memberikan giliran bermalamnya untuk digunakan suami kepada istrinya yang lain. Cara ini pun termasuk salah satu langkah untuk menghindari terjadinya perceraian. 57

B. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Tinjauan penelitian terdahulu dilakukan untuk mengetahui perbedaan yang dilakukan dengan penelitian sebelumnya guna menghindari adanya

54 Ibid.

55 Ibid., h. 194

56 Ibid.

57 Ibid.

(37)

kesamaan daam penelitian. Oleh karena itu, penulis mencantumkan beberapa hasil peneltian terdahulu yang berkaitan dengan nusyuz.

Dalam skripsi Sabri Fazil (2020), dalam penelitiannya yang berjudul “ Sikap Suami terhadap Istri yang Nusyuz ditinjau Menurut Hukum Islam (Studi Kasus di Desa Mengkapan Kecamatan Sungai Apit, Kabupaten Siak”. Skripsi ini membahas tentang bagaimana sikap suami terhadap istri nusyuz. Dari hasil penelitiannya, dapat disimpulkan bahwa sikap suami terhadap istri yang nusyuz secara umum masih dalam kategori baik, menasehati dan sampai pisah ranjang untuk memberikan pelajaran kepada istrinya agar berlaku baik kepada suami.58

Penelitian yang dilakukan oleh Syahbiq (2021) yang berjudul “Nusyuz dan relevansinya dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga Perspektif Hukum Islam”.

Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa suami mempunyai batas-batas hak dalam meperlakukan istri yang nusyuz. Ketika istri berbuat nusyuz, maka suami berhak melakukan langkah-langkah mulai dari yang lunak sampai dengan paling keras. Selanjutnya dikaji lebih dalam mengenai relevansi nusyuz dengan Undang-Undang No.23 tahun 2004 yang bertujuan untuk menghapus segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga jika dipahami dengan baik maka sangat relevan. Relevansinya karena Islam tidaklah

58 Sabri Fazil, 2020, “ Sikap Suami terhadap Istri yang Nusyuz ditinjau Menurut Hukum Islam (Studi Kasus di Desa Mengkapan Kecamatan Sungai Apit, Kabupaten Siak”.

https://repository.uin-suska.ac.id

(38)

melegalkan umatnya untuk berbuat kekerasan dalam rumah tangga, bahkan menelantarkannya melainkan hak yang dimiliki seorang suami ketika istrinya nusyuz.59

Tesis yang ditulis oleh Juni Efendri (2018) yang berjudul “Nusyuz dalam Kompilasi Hukum Islam Perspektif Imam Syafi‟i.” Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa Nusyuz dalam Kompilasi Hukum Islam adalah ketidak taatan istri kepada suaminya. Penjelasan tentang nusyuz didalam Kompilasi Hukum Islam hanya dapat dipahami dengan mengkaji kitab-kitab fiqh. Hal ini karena dalam Kompilasi Hukum Islam pembahasannya hanya dicantumkan dalam bentuk pasal dan dimuat dalam beberapa ayat, sebagai upaya untuk menstandarkan acuan dalam lingkup Peradilan Agama. Konsep nusyuz dalam hukum islam yang dicantumkan dalam pasal Kompilasi Hukum Islam tidaklah melegalkan apabila yang terjadi nusyuz itu dari pihak suami. Walaupun didalam pasal-pasal KHI tidak disebutkan upaya perdamaian, namun untuk pemahamannya butuh merujuk kembali kepada kitab fiqh yang menjelaskan upaya perdamaian, seperti; Menasehati, memisahkan ditempat tidur, maupun pemukulan terhadap istri yang berbuat nusyuz hendaknya dimaknai sebagai tindakan untuk mendidik bukan untuk menyakiti maupun melukai, baik secara fisik, psikis maupun melantarkan rumah tangga. Karena pemukulan yang

59 Syahbiq (2021) yang berjudul “Nusyuz dan relevansinya dengan Undang-Undang No.

23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga Perspektif Hukum Islam”.

https://repository.uin-suska.ac.id

(39)

diperbolehkan hanya diberikan sebagai pilihan, bukan perintah wajib, serta tidak boleh meninggalkan bekas atau bahkan melukai.60

Penelitian yang ditulis oleh Dewi Gusminarti (tesis, 2016) yang berjudul “Faktor-Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Nusyuz Suami Menurut Perspektif Hukum Islam.” Dalam tesis tersebut dijelaskan bahwa Nusyuz suami yaitu Suami yang meninggalkan kewajiban terhadapisterinya baik kewajiban secara materil atau non materil. Faktor-faktor eksternal yaitu:

Faktor-faktor yang berasal dari yang lain. Faktor-faktor internal meliputi:

Ekonomi, status keluarga, tidak bertanggung jawab, kecemburuan isteri yang berlebihan, isteri tidak lagi menarik, rasa bosan. Faktor-faktor eksternal meliputi: Pihak ketiga, pengaruh lingkungan. Terdapat lima akibat nusyuz suami dikelurahan Pulau, yaitu dampak sosial, dampak psikologis, dampak ekonomi, dampak terhadap kualitas hubungan suami isteri, dan dampak hukum. Persfektif hukum Islam terhadap kasus-kasus tersebut, nusyuz suami hukumnya berdosa (haram) selama sikap nusyuz tersebut dan akibat hukumnya dapat mendatangkan kemudharatan terhadap isteri dan anak, sekaligus mengancam jiwa, kehormatan dan keturunan.61

Penelitian yang ditulis oleh Miftahul Mukharrom (2016) dengan judul

“Nusyuz dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Relevansinya dengan UU No. 23 Tahun 2004 (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah

60 Juni Efendri (2018), “Nusyuz dalam Kompilasi Hukum Islam Perspektif Imam Syafi‟i.”

https://repository.uin-suska.ac.id

61 Dewi Gusminarti (tesis, 2016), “Faktor-Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Nusyuz Suami Menurut Perspektif Hukum Islam.” https://repository.uin-suska.ac.id

(40)

Tangga).” Kesimpulan dari penelitian ini adalah Penjelasan konsep nusyuz dalam perspektif Kompilasi Hukum Islam hanya dapat difahami dengan mengkaji kitab-kitab fiqh. Hal ini karena dalam KHI pembahasannya hanya dicantumkan dalam bentuk pasal dan dimuat dalam beberapa ayat, sebagai upaya untuk menstandarkan acuan dalam lingkup Pengadilan Agama (PA).

Konsep nusyuz dalam hukum Islam yang dicantumkan dalam pasal KHI tidaklah melegalkan kekerasan dalam rumah tangga, maupun menelantarkannya. Menasihati, memisahkannya di tempat tidur, maupun pemukulan terhadap istri yang berbuat nusyuz hendaknya dimaknai sebagai tindakan untuk mendidik bukan untuk menyakiti maupun melukai, baik secara fisik, psikis maupun menelantarkan rumah tangga. Karena pemukulan yang diperbolehkanpun hanya diberikan sebagai pilihan, bukan perintah wajib, serta tidak boleh meninggalkan bekas atau bahkan melukai. Adapun relevansi nusyuz dalam KHI (tindakan yang dilakukan terhadap nusyuz istri) dengan UU No.23 Tahun 2004 yang bertujuan menghapus segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga jika difahami dengan baik maka sangat relavan. Akan tetapi jika hal itu difahami bukan dari kemaslahatan yang diberikan oleh agama maka akan berakibat pada kesewenang-wenangan istri karena merasa sangat dilindungi kebebasannya.62

Dari tinjauan penelitian diatas, walaupun sama-sama meneliti tentang nusyuz, akan tetapi penulis tidak menemukan penelitian yang sama. Perbedaan

62 Miftahul Mukharrom (2016), “Nusyuz dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Relevansinya dengan UU No. 23 Tahun 2004 (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga).” https://repository.uin-suska.ac.id

(41)

penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah penulis ingin memaparkan bagaimana nusyuz suami menurut pandangan Wahbah az-Zuhaili.

(42)

31 BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, jenis penelitian yang digunakan adalah kepustakaan (library research), karena data-data atau bahan-bahan yang diperlukan dalam menyelesaikan penelitian tersebut berasal dari perpustakaan baik berupa buku, ensklopedi, kamus, jurnal, dokumen, majalah dan lain sebagainya.63 Penelitian ini bersifat kualitatif maka data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari data-data yang tersedia diruangan perpustakaan. Oleh karena itu, penelitian yang peneliti kaji merupakan penelitian kepustakaan, dengan melakukan penelitian nusyuz suami menurut pandangan Wahbah az-Zuhaili.

B. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah pendekatan kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari seorang tokoh.64

C. Subjek Penelitian

Yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah Wahbah az-Zuhaili.

63 Nursapia harahap, Penelitian Kepustakaan, (Jurnal Iqra‟:Volume 08, No. 01, 2014), h.68.

64 Anto Bakar dan Ahmad Kharis Zubair, Metode Penelitian Filsafat, (Kanisius:

Yogyakarta, 2000), h. 136.

(43)

D. Objek Penelitian

Yang dimaksud objek penelitian adalah hal yang menjadi sasaran dalam peneltian. Objek penelitian ini adalah nusyuz suami menurut pandangan Wahbah az-Zuhaili.

E. Sumber Data

Mengingat penelitian skripsi ini adalah peneltian deskriptif normatif yang sumber datanya adalah kepustakaan, maka untuk mencapai hasil yang optimal, sumber data dibedakan sesuai dengan kedudukan data tersebut, yaitu sumber data primer, dan sumber data sekunder.

a. Sumber data primer

Data primer adalah data yang langsung memberikan pada pengumpul data yang menjadikan sumber pokok penelitian.65 Berdasarkan dari penelitian yang peneliti buat, maka data primer yang peneliti lakukan merupakan data yang bersumber dari kitab-kitab karya Wahbah az-Zuhaili yang relevan dengan penelitian, baik dalam kitab tafsir, fiqh, dan sebagainya seperti kitab al- Fiqh Islam wa Adillatuhu dan Kitab Tafsir al- Munir.

65 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2014), Cet. Ke-20, h. 225

(44)

b. Sumber data sekunder

Data sekunder merupakan data yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum data primer.66 Bahan-bahan data sekunder yang penulis ambil adalah bersumber dari buku-buku yang menunjang penelitian penulis seperti buku Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, buku Fiqih Munakahat, buku Fiqh, Ushul Fiqh, buku Metodologi Penelitian, dan lain-lain.

c. Sumber data tersier

Data tersier merupakan data pelengkap dari data-data primer dan sekunder, seperti kamus-kamus, jurnal, Undang-Undang, dan sebagainya.

Agar diperoleh informasi yang terbaru dan berkaitan erat dengan permasalahannya, maka kepustakaan yang dicari dan dipilih harus relevan dan mutakhir.67

F. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti adalah metode library research, yaitu studi kepustakaan.

Metode kepustakaan adalah penelitian yang dilakukan dengan cara membaca buku-buku atau jurnal-jurnal dengan sumber data lainnya dalam perpustakaan.68 Kegiatan penelitian ini dilakukan dengan menghimpun data

66 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum. Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), h. 116

67 Ibid., h. 117.

68 Ibid.

(45)

dari berbagai literatur.

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian dikumpulkan dengan melakukan penelusuran (searching) dan dokumentasi, baik melalui perpustakaan, media internet, dan tempat-tempat lainnya yang mengeluarkan serta menyimpan arsip (dokumen) yang berkaitan dengan penelitian.69

G. Teknik Analisa Data

Setelah data dari hasil pengumpulan data primer dan sekunder terkumpulkan, maka perlu adanya teknik analisis data. Teknik analisis data yang digunakan adalah pendekatan kualitatif.70 Maka data yang dianalisis dengan menguraikan dalam bentuk kalimat yang baik dan benar sehingga mudah dibaca dan diberi arti (interpretasi) terhadap bahan-bahan hukum yang telah diolah.71 Penggunaan metode interpretasi ini bertujuan untuk menafsirkan hukum, apakah terhadap bahan hukum tersebut khususnya bahan hukum primer terdapat kekososngan norma hukum.72

Selain itu, teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah content analysis atau disebut dengan istilah “teks” atau wujud dari represntasi simbolik yang direkam atau didokumentasikan. Secara umum content analysis menunjuk kepada integratif dan cara konseptual cenderung

69 Muhaimin, Metode Penelitian Hukum. (Mataram: Mataram University Press, 2020), h.

65

70 Ibid. h. 68

71 Ibid.

72 Ibid.

(46)

diarahkan untuk menemukan, mengidentifikasikan, mengelola, dan menganalisis dokumen untuk memahami makna dan signifikasinya.73 Oleh karena itu, data-data yang diperoleh melalui data primer, data sekunder, dan data tersier, selanjutnya dilakukan dengan proses:

1. Deskriptif, dalam hal ini membuuat gambaran atau lukisan secara sistematis dan akurat yang mengenai fakta-fakta dan juga untuk mengetahui sifat-sifat serta hubungan fenomena yang diteliti.

2. Analisis (Analyzing), yaitu mengurai data-data yang telah diperoleh oleh peneliti untuk mengkaji permasalahan dalam penelitian ini.

3. Editing, data yang telah dikumpulkan perlu dibaca lagi dan diperbaiki serta diperiksa kembali mengenai kejelasan, kelengkapannya, keserasian serta hubungan antara kelompok data satu dengan data yang lain.

4. Classifiying, penulis membaca dan menelaah kembali secara mendalam seluruh data yang diperoleh, kemudian mengklasifikasikan berdasarkan kategori dan mengelompokkan data dari hasil temuan yang terdapat dalam buku, jurnal, artikel, kitab-kitab fiqh dan tafsir, terutama kitab karya Wahbah az-Zuhaili mengenai nusyuz.

5. Verifying, atau mengecek data-data dan informasi-informasi yang telah diperoleh untuk menjaga kevalidannya.

6. Concluding, artinya penelitian ini memuat kesimpulan dari data-data yang

73 Burhan Bugian, Metode Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologis ke Arah Varian Kontemporer, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2007), h. 203.

(47)

telah di susun unutuk menjawab rumusan masalah secara ringkas dan jelas agar mudah dipahami.

Referensi

Dokumen terkait

Penjaga dalam berupaya menyentuh/menangkap penyerang dengan tangan terbuka dan jari  –  jari tangan tidak boleh mengepal , dalam posisi kedua kaki berpijak diatas garis jaga

Pengaruh Jingle dan Tagline Iklan Teh Botol Sosro Terhadap Brand Aawareness Pada Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau. Universitas Islam Negeri

Awal tahun 1960-an selulosa mikrokristal diperkenalkan sebagai bahan eksipien (pengikat, pengisi dan penghancur) dalam pembuatan tablet secara cetak langsung yang akan

Gambar di atas merupakan gambaran dari buku sampel B pada halaman 14 gambar 1.10 ribososm memiliki dua sub unit. Gambar tersebut termasuk ke dalam metafora karena

19 Bahwa dalam pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 hakim yang dimaksud adalah mencakup seluruh hakim yang sebetulnya sudah tidak perlu diperdebatkan mulai

Faktor kedua adalah rasio W/P, semakin banyak air digunakan untuk pengadukan, semakin sedikit jumlah nukleus pada unit volume sehingga ruangan antar nukleus

Apakah benar kata orang tahananku ini bahwa saya adalah anak haram?" Thu raja perampok itu menjawab, "Kalau saya menunggu ayahmu tempo hari, engkau tidak akan lahir ke

Sebagai contoh, Burhan al-Din al-Mahalli pernah dihantar ke Yaman untuk menemui pemerintah di situ bagi menyelesaikan masalah politik yang berlaku antra ke dua-dua buah