• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KETERLAMBATAN PENERBITAN PUTUSAN PENGADILAN PAJAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KETERLAMBATAN PENERBITAN PUTUSAN PENGADILAN PAJAK"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KETERLAMBATAN PENERBITAN PUTUSAN PENGADILAN PAJAK

NADIA PUTRI RAHMAWATI DAN IMAN SANTOSO Program studi Ilmu Administrasi Fiskal FISIP, Universitas Indonesia

Abstrak

Sengketa pajak antara Wajib Pajak dengan Direktorat Jenderal Pajak diselesaikan di Pengadilan Pajak. Tetapi, Pengadilan Pajak di Indonesia masih memiliki beberapa kekurangan, salah satunya adalah terlambatnya penerbitan putusan Pengadilan Pajak.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis mengenai faktor penyebab dan akibat dari terlambatnya penerbitan putusan Pengadilan Pajak serta mengetahui langkah-langkah yang telah dilakukan oleh Pengadilan Pajak untuk menanggulangi keterlambatan penerbitan putusan Pengadilan Pajak. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan metode deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat faktor internal dan eksternal yang menyebabkan keterlambatan penerbitan putusan Pengadilan Pajak.

Abstract

Tax disputes between Taxpayers and the Tax Authorities completed in the tax court. However, the tax court in Indonesia still has some drawbacks, one of which is delay in the issuance of the Tax Court’s decision (verdict). This research aims to analyze the cause and effect of the delay in the issuance of the verdict and gain better understanding as to how steps have been taken by the tax court to cope with delays in the issuance of the Tax Court’s decision. The approach used in this research is a qualitative descriptive method. This research resulted in a fact that there are some internal and external factors causing delays in the issuance of the Tax Court’s decision.

Key words : fast; low cost; simple; Tax Court; tax dispute.

(2)

PENDAHULUAN

Negara dalam menyelenggarakan pemerintahannya memerlukan dana dan salah satu sumber dana tersebut berasal dari pajak. Pajak menyumbang sekitar 75% dari total Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN). Hal ini menunjukkan bahwa pajak merupakan komponen penting untuk membiayai kegiatan pemerintahan sehingga atas pemungutan pajak ini harus dilakukan dengan berdasarkan undang-undang.

Pemungutan pajak sampai saat ini telah mengalami beberapa kali perubahan.

Perubahan yang pertama terjadi pada tahun 1983 dan lebih dikenal dengan tax reform. Salah satu perubahan yang terjadi adalah terkait dengan sistem pemungutan pajak yang dianut Indonesia, di mana sebelumnya Indonesia menganut “Official Assestment System” yang kemudian berubah menjadi “Self Assestment System” melalui tax reform. Dalam sistem ini, Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Di satu sisi, dalam sistem ini fiskus berperan untuk mengamati dan mengawasi pelaksanaannya dan bila perlu melakukan pemeriksaan dan mengenakan sanksi perpajakan sesuai dengan ketentuan perundangan perpajakan yang berlaku.

Meskipun Wajib Pajak yang aktif melakukan kewajiban perpajakannya, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan jumlah pajak yang terutang apabila ada kesalahan dalam penghitungan pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang dilaporkan Wajib Pajak. Untuk dapat menetapkan jumlah pajak yang terutang, Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan pajak kepada Wajib Pajak. Namun, tidak jarang atas kegiatan pemeriksaan pajak ini yang tidak sesuai prosedur dan khususnya apabila koreksi yang dilakukan terhadap Dasar Pengenaan Pajak/Pajak Yang Terutang tidak sesuai dengan Undang-Undang Perpajakan yang berlaku maka akan menjadi sumber masalah, yaitu sengketa pajak.

Hingga September 2011, jumlah sengketa pajak yang masih menumpuk dan belum terselesaikan di Pengadilan Pajak masih sangat banyak. Hal ini menimbulkan pertanyaan peneliti mengapa jumlah sengketa pajak tersebut masih banyak yang belum terselesaikan di Pengadilan Pajak. Padahal, Pengadilan Pajak berada di dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan berdasarkan hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara, salah satu asas peradilan tata usaha negara adalah cepat, sederhana, dan biaya murah. Oleh karena Pengadilan Pajak berada di dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara maka asas tersebut juga berlaku pada Pengadilan Pajak. Tetapi, yang terjadi di lapangan adalah sebaliknya, banyak

(3)

putusan atas sengketa pajak yang belum diselesaikan Pengadilan Pajak sehingga tidak mencerminkan asas cepat, sederhana, dan biaya murah.

Adapun pokok permasalahan yang diuraikan dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan terlambatnya penerbitan putusan Pengadilan Pajak?

2. Apakah akibat yang ditimbulkan dari terlambatnya penerbitan putusan Pengadilan Pajak?

3. Apakah langkah yang telah dilakukan oleh Pengadilan Pajak untuk menanggulangi keterlambatan penerbitan putusan Pengadilan Pajak?

Penelitian ini dimaksudkan agar dapat memenuhi tujuan-tujuan sebagai berikut:

1. Menganalisis mengenai faktor penyebab terlambatnya penerbitan putusan Pengadilan Pajak.

2. Mengetahui akibat yang ditimbulkan dari terlambatnya penerbitan putusan Pengadilan Pajak.

3. Mengetahui langkah-langkah yang telah dilakukan oleh Pengadilan Pajak untuk menanggulangi keterlambatan penerbitan putusan Pengadilan Pajak.

TINJAUAN TEORITIS Pajak

Ada berbagai macam istilah asing mengenai pajak. Dalam bahasa Inggris, pajak disebut tax. Dalam bahasa Perancis disebut import contibution, taxe, droit. Orang Jerman menyebut pajak sebagai Steuer, Abgabe, Gebuhr. Orang Spanyol menyebutnya dengan impuesto contribution, tributo, gravamen, tasa. Dalam bahasa Belanda disebut belasting.

(Nurmantu, 2005, h. 12). Berikut adalah beberapa definisi pajak dari berbagai ahli. Pengertian pajak yang pertama adalah dari C.F Bastable sebagaimana dikutip oleh Nurmantu, yakni “a compulsory contribution of the wealth of a person or body of persons for the service of the public powers.” (Nurmantu, 2005, h. 12 ). Menurutnya, pajak merupakan kontribusi wajib pada kekayaan orang pribadi atau badan untuk pelayanan masyarakat.

Definisi pajak yang lainnya adalah definisi dari H.C Adams yang dikutip oleh Nurmantu, yaitu “a contribution from the citizen to the support of the state”, yang artinya adalah kontribusi dari warga negara untuk mendukung pembangunan negara. Selain itu, definisi pajak menurut Prof. Dr. P.J.A Andriani sebagaimana dikutip oleh Nurmantu adalah

(4)

“Pajak adalah iuran rakyat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.” (Nurmantu, 2005, h. 12)

Asas-asas Pemungutan Pajak

Dalam memungut suatu pajak, terdapat asas-asas yang harus diperhatikan dalam sistem pemungutan pajak tersebut. Rosdiana & Irianto membagi Asas-asas pemungutan pajak menjadi tiga, yaitu equity/equality, revenue productivity, dan ease of administration (Rosdiana & Irianto, 2012, h. 158).

1. Equity/Equality

Asas equity (keadilan) mengatakan bahwa pajak harus adil dan merata (Rosdiana &

Irianto, 2012, h. 160). Pajak dikenakan kepada orang-orang pribadi sebanding dengan kemampuannya untuk membayar pajak tersebut dan sesuai dengan manfaat yang diterimanya dari negara. Keadilan dalam pajak penghasilan terdiri dari keadilan horizontal dan keadilan vertikal.

a. Keadilan Horizontal

Menurut Rosdiana, yang mengutip dari Musgrave & Musgrave, suatu pemungutan pajak dikatakan memenuhi keadilan horizontal apabila Wajib Pajak yang berada dalam “kondisi” yang sama diperlakukan sama (equal treatment for the equals).

b. Keadilan Vertikal

Asas keadilan vertikal terpenuhi apabila Wajib Pajak yang mempunyai tambahan kemampuan ekonomis yang berbeda diperlakukan tidak sama. Vertical equality memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) beban pajak bersifat progresif (semakin besar ability to pay semakin besar beban pajak yang harus dipikul), 2) pembedaan tax burden semata-mata berdasarkan karena perbedaan tingkat ability to pay, bukan berdasarkan jenis penghasilan (Rosdiana & Irianto, 2012, h. 162).

2. Asas Revenue Productivity

Asas ini menyatakan bahwa jumlah pajak yang dipungut hendaklah memadai untuk

(5)

diperhatikan bahwa jumlah pajak yang dipungut jangan terlalu tinggi sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi. Suatu pemungutan pajak dikatakan optimal apabila dalam pemungutannya terpenuhi asas revenue productivity dengan tetap menjaga keadilan dalam pemungutannya (Rosdiana & Irianto, 2012, h. 165)..

3. Asas Ease of Administration

Sistem perpajakan yang baik salah satu indikatornya yaitu kemudahan bagi Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya sehingga dapat menciptakan kepatuhan pajak (tax compliance). Untuk mencapai efisiensi pemungutan pajak serta memudahkan warga masyarakat untuk menghitung dan memperhitungkan pajaknya, maka harus diterapkan sistem pajak yang sederhana dan mudah dilaksanakan sehingga masyarakat tidak terganggu dengan permasalahan pajak yang sulit.

Menurut Rosdiana & Irianto (2012, h. 166), asas ease of administration terdiri dari asas certainty, asas convenience, asas efficiency, dan asas simplicity. Masing-masing bagian dari ease of administration akan dijelaskan di bawah ini.

a. Asas Certainty

Menurut Rosdiana dan Irianto (2012, h. 167-168), asas kepastian merupakan hal yang paling mendasar dalam suatu sistem perpajakan, karena ketidakpastian akan memperbesar potensi terjadinya perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dan Fiskus.

2. Asas Convenience

Menurut Rosdiana dan Irianto, asas ini menyatakan bahwa saat pembayaran pajak hendaklah dimungkinkan pada saat yang “memudahkan atau menyenangkan” Wajib Pajak tersebut, misalnya pada saat menerima gaji atau penghasilan lain seperti saat menerima bunga deposito. Asas convenience ini juga memperbolehkan Wajib Pajak membayar terlebih dahulu pajak yang terutang selama satu tahun pajak secara berangsur-angsur setiap bulan (seperti PPh Pasal 25) agar pada akhir tahun pajak Wajib Pajak tidak merasa terlalu berat dalam membayar pajaknya (Rosdiana dan Irianto, 2012, h. 171).

3. Efficiency

Dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Pajak : Kebijakan dan Implementasi di Indonesia, Rosdiana dan Irianto mengatakan bahwa asas efisiensi dapat dilihat dari dua sisi,

(6)

yaitu dari sisi fiskus pemungutan pajak dikatakan efisien jika biaya pemungutan pajak yang dilakukan oleh Kantor Pajak (antara lain dalam rangka pengawasan kewajiban Wajib Pajak) lebih kecil daripada jumlah pajak yang berhasil dikumpulkan. Dari sisi Wajib Pajak, sistem pemungutan pajak dikatakan efisien jika biaya yang harus dikeluarkan oleh Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya dapat seminimal mungkin. Compliance Cost adalah biaya-biaya atau beban-beban yang dapat diukur dengan nilai uang (tangible) maupun yang tidak dapat diukur dengan nilai uang (intangible) yang harus dikeluarkan/ditanggung oleh Wajib Pajak berkaitan dengan proses pelaksanaan kewajiban-kewajiban dan hak-hak perpajakan. Compliance Cost terdiri dari Fiscal Cost, Time Cost, dan Psychological Cost.

a. Fiscal Cost

Fiscal Cost adalah biaya atau beban yang dapat diukur dengan nilai uang yang harus dikeluarkan/ditanggung oleh Wajib Pajak berkaitan dengan proses pelaksanaan kewajiban-kewajiban dan hak-hak perpajakan.

b. Time Cost

Time Cost adalah biaya berupa waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dan hak-hak perpajakan.

c. Psychological Cost

Psychological Cost adalah biaya psikis/psikologis antara lain berupa stres dan’atau ketidaktenangan, kegamangan, kegelisahan, ketidakpastian yang terjadi dalam proses pelaksanaan kewajiban-kewajiban dan hak-hak perpajakan, misalnya stres yang terjadi pada saat pemeriksaan pajak, saat pengajuan keberatan dan/atau banding.

4. Simplicity

Rosdiana dan Irianto dalam bukunya Pengantar Ilmu Pajak : Kebijakan dan Implementasi di Indonesia, mengatakan bahwa pada dasarnya peraturan yang sederhana akan lebih pasti, jelas, dan mudah dimengerti oleh Wajib Pajak. Oleh karena itu, dalam menyusun suatu undang-undang perpajakan maka harus diperhatikan juga asas kesederhanaan, sebagaimana dikemukakan oleh C.V. Brown dan P.M. Jackson dan dikutip kembali oleh Rosdiana dan Irianto (2012 , h. 178) “Taxes should be sufficiently simple so that those affected can be understand them” (Rosdiana dan Irianto, 2012, h. 178).

Peradilan Pajak

(7)

Peradilan pajak adalah peradilan yang terkait dengan masalah administrasi pajak yang mempunyai tugas menyelesaikan sengketa atau perselisihan yang timbul karena adanya perbedaan pendapat antara Pemerintah (bisa Direktorat Jenderal Pajak/Direktorat Jenderal Bea dan Cukai/Pemerintah Daerah) di satu pihak dengan Wajib Pajak di lain pihak mengenai besarnya pajak yang ditetapkan (Sadhani dkk, 2008, h. 4). Peradilan pajak harus independen dan terpisah dari administrasi perpajakan itu sendiri agar dapat dijaminnya keadilan pada Wajib Pajak.

Pengadilan Pajak

Menurut Purwito dan Komariah (2010, h. 105), pengadilan pajak adalah pengadilan administrasi di bidang perpajakan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman dan berada dalam lingkup peradilan tata usaha negara yang mempunyai kompetensi untuk memeriksa kembali pemeriksaan dan keputusan pada tingkat pertama serta memberikan putusan akhir yang mempunyai kekuatan hukum yang pasti dan bertujuan untuk perlindungan dan pemulihan hak-hak Wajib Pajak.

Sengketa Perpajakan

Menurut Saidi (2007), Sengketa Pajak adalah perselisihan antara Wajib Pajak, pemotong, atau pemungut pajak, serta penanggung pajak dengan pejabat pajak mengenai penerapan Undang-Undang Pajak. Dalam pengertian ini, yang berselisih adalah (1) Wajib Pajak dengan pejabat pajak, (2) pemotong atau pemungut pajak dengan pejabat pajak, (3) Wajib Pajak dengan pemotong atau pemungut pajak, (4) penanggung pajak dengan pejabat pajak.

Konsep Penyelesaian Sengketa Perpajakan

Menurut Purwito dan Komariah (2007, h. 71), penyelesaian sengketa pajak merupakan suatu proses yang harus dilalui oleh Wajib Pajak yang berkeberatan atau tidak menyetujui atau menolak keputusan berupa penetapan koreksi dan/atau tambah bayar dan sanksi administrasi berupa denda, maupun oleh pejabat/petugas perpajakan yang menerbitkan keputusan, dalam mempertahankan keputusannya. Mengenai batas waktu berakhirnya suatu sengketa pajak merupakan kajian hukum pajak sehingga hukum lain tidak boleh melibatkan diri untuk mengkaji kapan berakhirnya sengketa pajak. Dalam menyelesaikan sengketa pajak, dapat dilakukan melalui dua upaya, yaitu upaya administratif dan upaya hukum.

Putusan Pengadilan Pajak

(8)

Menurut Mertokusumo (1993, h. 174), putusan pengadilan adalah suatu pernyataan hakim, yang olehnya sebagai pejabat kekuasaan kehakiman diberi wewenang untuk itu.

Putusan diucapkan di dalam persidangan dengan maksud dan tujuan untuk mengakhiri suatu perkara atau persengketaan antar dua belah pihak yang bersengketa. Putusan bukan hanya berbentuk ucapan tetapi juga dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh hakim di dalam persidangan. Sebuah konsep belum mempunyai kekuatan sebagai putusan apabila belum diucapkan di depan persidangan. Putusan yang diucapkan di persidangan (uitspraak) tidak boleh berbeda dengan yang tertulis (vonis). (Mertokusumo, 1993, h. 174).

Dengan demikian, putusan dapat didefinisikan pula dengan suatu hasil atau kesimpulan suatu pemeriksaan perkara yang didasarkan pada pertimbangan yang menetapkan apa yang ada pada hukum. Selain itu, Marbun (1988, h. 96) juga mengatakan bahwa putusan pengadilan merupakan tujuan akhir bagi setiap pihak yang bersengketa di muka pengadilan.

Asas Pengadilan Pajak

Dalam menyelesaikan sengketa atau perkara, Pengadilan Pajak menganut asas sederhana, cepat, dan biaya ringan agar proses penyelesaian sengketa pajak berlangsung dalam waktu yang cepat dan tidak berlarut-larut, dilakukan dengan biaya yang murah dan tidak membebankan Wajib Pajak, serta prosesnya tidak berbelit-belit sehingga menjadi efektif dan efisien. Dalam menerapkan asas-asas tersebut harus dijunjung tinggi pula asas keadilan dan kepastian hukum, serta tidak mengurangi nilai dari putusan yang diambil. Hal tersebut guna memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum bagi para pihak yang bersengketa.

1. Asas Sederhana

Menurut Marbun (1997, h. 115), beracara dengan sederhana artinya adalah tidak berbelit-belit dan mengurangi formalitas yang tidak penting sehingga jelas dan mudah dipahami. Marbun (1997, h. 193-194) menambahkan bahwa dengan adanya asas sederhana, mudah, dan mengurangi hal-hal formalitas yang tidak perlu maka akan melahirkan peradilan cepat dengan tetap memperhatikan segi kepastian hukum dan nilai keadilan. Menurut Wiwoho (2008, h. 182), sederhana artinya adalah prosedur yang digunakan secara cepat dalam proses penyelesaian perkaranya mudah dimengerti oleh pihak-pihak yang berperkara.

Terlalu banyak formalitas yang dipersyaratkan akan menyebabkan kebingungan pada yustisiabel dan hal itu juga menyebabkan pengadilan tidak dapat berjalan secara efisien dan efektif. Dengan proses dan prosedur yang sederhana, jelas, dan tidak berbelit-belit maka akan

(9)

meningkatkan kepercayaan dan minat Wajib Pajak untuk mengajukan perkara sengketa pajaknya ke Pengadilan Pajak.

2. Asas Cepat

Menurut Marbun (1997, h. 115), beracara dengan cepat artinya adalah agar memperhatikan waktu yang sesingkat-singkatnya sehingga pencari keadilan merasakan manfaat benar-benar lebih cepat dan lebih singkat waktunya. Hal serupa juga dikatakan oleh Wiwoho (2008, h. 183), yaitu kata cepat dalam asas sederhana, cepat, dan biaya ringan mengarah pada jalannya persidangan. Penyelesaian perkara yang berlarut-larut akan mempunyai pengaruh terhadap kewibawaan pengadilan. Menurunnya kewibawaan pengadilan akan mempunyai akibat negatif terhadap pengembangan dan pembangunan hukum melalui peradilan.

3. Asas Biaya Ringan

Menurut Mertokusumo (1993, h. 27), asas biaya ringan adalah pelaksanaan peradilan pajak dilakukan dengan biaya ringan agar terpikul oleh rakyat. Biaya perkara yang tinggi menyebabkan pihak yang berkepentingan enggan untuk mengajukan tuntutan hak kepada pengadilan.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Berdasarkan tujuannya, penelitian ini termasuk ke dalam penelitian eksplanasi yang bertujuan menjelaskan bagaimana sebuah fenomena sosial dan mencari sebab dan alasan mengapa sesuatu dapat terjadi (Prasetyo dan Jannah, 2005, h. 42).. Kemudian dilihat dari manfaat, penelitian ini dikategorikan dalam penelitian murni karena ditujukan tidak untuk menyelesaikan masalah secara langsung melainkan hanya untuk kepentingan akademis. Berdasarkan waktu, penelitian ini termasuk penelitian cross sectional karena dilaksanakan pada satu waktu tertentu dan tidak akan dilanjutkan kembali serta tidak diperbandingkan dengan penelitian lain.

Kemudian, teknik pengumpulan data dibagi menjadi dua, yaitu: (1) studi literatur melalui peraturan perpajakan, buku-buku, skripsi, tesis, dan situs internet yang mempunyai hubungan dengan permasalahan penelitian, dan (2) studi lapangan dengan cara wawancara mendalam terhadap informan yang berkaitan langsung dengan permasalahan penelitian.

Wawancara mendalam dilakukan untuk lebih menggali keseluruhan topik penelitian.

(10)

Berdasarkan teknik analisis data, penelitian ini menggunakan teknik analisis data kualitatif. Informan pada penelitian ini terdiri dari 1. Direktorat Jenderal Pajak, Pengadilan Pajak (termasuk hakim pajak), Konsultan Pajak, Akademisi, dan Para mantan hakim Pengadilan Pajak. Site penelitian ini ada di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak dan lingkungan Pengadilan Pajak. Penelitian ini terbatas pada Analisis Faktor-Faktor Penyebab Keterlambatan Penerbitan Putusan Pengadilan Pajak Periode 2009-2012.

Proses penelitian diawali dengan menentukan tema penelitian, lalu dibuat judul penelitian, lalu ditentukan pokok permasalahan yang akan diteliti yang dirumuskan dalam bentuk pertanyaan penelitian serta mencari teori yang relevan untuk mendukung penelitian, lalu dilanjutkan dengan membuat rencana penelitian dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Setelah itu, data-data yang diperlukan dikumpulkan untuk menjawab pertanyaan penelitian melalui wawancara mendalam kepada informan .Selanjutnya, data yang telah terkumpul tersebut dianalisis dengan menggunakan teknik analisis data kualitatif untuk menghasilkan interpretasi data yang selanjutnya disajikan dalam bentuk verbatim dan laporan tertulis. Pada akhirnya, analisis dari data yang didapat akan dibuat simpulan dan saran.

Keterbatasan dalam Penelitian ini adalah sulitnya mencari informan, terutama hakim Pengadilan Pajak karena adanya keterbatasan waktu yang dimiliki oleh hakim Pengadilan Pajak tersebut.

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian dari penelitian ini adalah faktor-faktor penyebab keterlambatan putusan Pengadilan Pajak terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal. Akibat yang ditimbulkan dari keterlambatan penerbitan putusan Pengadilan Pajak adalah merugikan Wajib Pajak, merugikan Negara, Kurang sesuai dengan Ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945, dan Wajib Pajak menjadi tidak patuh terhadap ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan yang berlaku.

Langkah yang telah dilakukan oleh Pengadilan Pajak untuk menanggulangi keterlambatan penerbitan putusan Pengadilan Pajak adalah membangun tempat bersidang selain di Jakarta, yaitu di Yogyakarta dan Surabaya, menetapkan peraturan bahwa setiap majelis harus membuat laporan mengenai penyelesaian perkara dan mengadakan rapat setiap minggu untuk melaksanakan pembinaan dan pelaporan dari setiap majelis mengenai penyelesaian perkara yang masuk di Pengadilan Pajak, dan mengadakan rekrutmen hakim

(11)

setiap tahun dan mengadakan pelatihan kepada para hakim dan staf panitera serta mengadakan sosialisasi kepada Stakeholder.

PEMBAHASAN

Azas Pengadilan Pajak menganut 3 hal, yaitu sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Dengan adanya azas tersebut, diharapakan hasil putusan Pengadilan Pajak dibuat dengan mengikuti azas tersebut, yaitu sederhana, cepat, dan biaya ringan. Tetapi, yang terjadi di kenyataan adalah banyaknya putusan yang terlambat, seperti yang telah dijelaskan pada latar belakang sebelumnya.

Faktor penyebab keterlambatan penerbitan putusan Pengadilan Pajak terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal Penyebab Keterlambatan Penerbitan Putusan Pengadilan Pajak terdiri dari

(1) Kurangnya hakim dan staf panitera (dari segi kualitas maupun kuantitas)

Banyak hakim, panitera pengganti, dan pembantu panitera pengganti yang pensiun dan pindah majelis. Hal itu sesuai dengan pernyataan James Hutapea, selaku mantan hakim berikut ini, “Jadi petugasnya kurang, panitera penggantinya kurang. Selain itu, hakimnya banyak yang pensiun”. Pindah majelis tersebut dimaksudkan untuk penyegaran atau menggantikan yang lain yang sudah pensiun.

Pindah majelis tersebut menyebabkan hakim, panitera pengganti, dan pembantu panitera pengganti tersebut harus membaca perkara kembali dari awal dan mendiskusikan lagi dengan hakim, panitera pengganti, dan pembantu panitera pengganti yang lain untuk membacakan putusan sehingga membutuhkan waktu yang lama dan menyebabkan putusan banyak yang terlambat diterbitkan. Selain itu, banyak juga hakim yang mengalami sakit, cuti panjang, cuti haji sehingga hanya sedikit hakim yang dapat mengurus perkara yang jumlahnya banyak di Pengadilan Pajak sehingga banyak putusan yang terlambat diterbitkan.

Kurangnya hakim dan staf panitera (dari segi kualitas maupun kuantitas) ini menyebabkan jumlah tenaga yang menyelesaikan perkara (banding dan gugatan) yang masuk di Pengadilan Pajak tidak seimbang dengan jumlah perkara (banding dan gugatan) yang masuk di Pengadilan Pajak. Dengan keadaan seperti itu, proses penerbitan putusan Pengadilan Pajak menjadi lama dan semakin lama akan

(12)

menumpuk sehingga banyak putusan Pengadilan Pajak yang terlambat diterbitkan.

Hal itu tidak sesuai dengan azas Pengadilan Pajak cepat.

(2) Hanya ada satu Pengadilan Pajak di Indonesia

Dari sekian banyak perkara yang harus diperiksa, hanya ada satu Pengadilan Pajak di Indonesia, yaitu hanya di Jakarta. Padahal, perkara yang masuk tidak hanya berasal dari Jakarta, tetapi juga dari kota-kota lain. Hal itu menyebabkan banyaknya waktu dan biaya yang harus dihabiskan untuk menyelesaikan perkara di Pengadilan Pajak. Hal ini juga menyebabkan terlambatnya penerbitan putusan Pengadilan Pajak. Sebenarnya di Jogjakarta dan Surabaya sudah ada tempat sidang, tetapi bukan Pengadilan Pajak sehingga hakim pajak harus ke Jogjakarta jika ada perkara yang harus diselesaikan di Jogjakarta. Hal itu akan menambah waktu dan biaya dalam menyelesaikan perkara, sesuai dengan pernyataan Nuryadi, selaku Pengamat Pajak, Hakim (pada saat Undang-Undang BPSP diterapkan), dan konsultan pajak berikut ini, “Pengadilan Pajaknya hanya di Jakarta, cost nya kan tinggi. Sehingga keadilan itu akan semakin jauh kalo dikaitkan dengan cost lho”.

Keadaan seperti ini (Pengadilan Pajak hanya ada satu di Indonesia) tidak sesuai dengan salah satu asas pemungutan pajak, yaitu asas ease of administration atau asas kemudahan dalam administrasi, khususnya asas efficiency (efisiensi) karena penyelesaian perkara (banding dan gugatan) yang masuk di Pengadilan Pajak menjadi tidak efektif. Wajib Pajak yang berasal dari luar Jakarta harus menempuh jarak yang jauh untuk menyelesaikan perkaranya. Hal itu akan menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan uang yang akan memperbesar compliance cost Wajib Pajak. Dari sisi Fiscal Cost, biaya perjalanan dari tempat Wajib Pajak ke Jakarta membutuhkan biaya yang sangat besar. Dari sisi Time Cost, waktu yang dibutuhkan untuk perjalanan perjalanan dari tempat Wajib Pajak ke Jakarta juga membutuhkan waktu yang sangat lama, begitu pula waktu untuk penyelesaian perkara juga membutuhkan waktu yang lama karena jumlah hakim dan staf panitera sangat sedikit dan tidak seimbang dengan jumlah perkara (banding dan gugatan) yang masuk di Pengadilan Pajak. Dari sisi Psychological Cost, Wajib Pajak akan stres ketika menunggu hasil putusan Pengadilan Pajak yang terlalu lama diterbitkan karena hanya ada satu Pengadilan Pajak di Indonesia.

(13)

Permasalahan administrasi yang pertama adalah proses penerbitan Surat Keputusan atas penetapan hakim baru terlalu lama dilakukan sehingga Hakim baru tidak dapat menjalankan tugasnya jika Surat Keputusan tersebut tidak diterbitkan, padahal dibutuhkan banyak sekali hakim untuk menyelesaikan perkara yang menumpuk di Pengadilan Pajak. Penyebab lain dari terlambatnya penerbitan putusan Pengadilan Pajak dari sisi lambatnya proses administrasi di Pengadilan Pajak adalah lambatnya proses pengetikan berkas putusan Pengadilan Pajak oleh staf panitera. Permasalahan dari sisi administrasi lainnya adalah baik para hakim, Wajib Pajak sebagai pemohon banding atau penggugat, maupun terbanding atau tergugat belum memanfaatkan teknologi informasi yang ada.

Faktor Eksternal Penyebab Keterlambatan Penerbitan Putusan Pengadilan Pajak terdiri dari:

a. Wajib Pajak dan kuasa hukum Wajib Pajak kurang mempersiapkan diri

Penyebab lain dari sisi Wajib Pajak adalah Wajib Pajak beserta kuasa hukumnya kurang mempersiapkan diri dalam menghadapi persidangan di Pengadilan Pajak. Hal itu terbukti pada lambatnya pemberian data dan bukti- bukti perkara oleh Wajib Pajak, bahkan ada beberapa Wajib Pajak yang tidak memberikan data dan bukti-bukti perkara. Hal itu dapat terjadi karena pembukuan pencatatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak tidak rapi dan tidak benar. Pemberian data dan bukti-bukti perkara yang lama dapat menyebabkan semakin lama pula proses pembuatan putusan dan juga akan menyebabkan lambatnya penerbitan putusan kepada Wajib Pajak dan Direktorat Jenderal Pajak. Selain lama, Wajib Pajak juga banyak yang belum menyiapkan alat buktinya dengan cukup dan benar sehingga mereka meminta waktu kepada majelis hakim untuk penundaan pelaksanaan sidang.

b. Banyak Koreksi Direktorat Jenderal Pajak yang Tidak Sesuai dengan Fakta yang Sebenarnya

Dalam melakukan pemeriksaan pajak, banyak koreksi Direktorat Jenderal Pajak yang tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya koreksi Direktorat Jenderal Pajak dibatalkan dengan hasil

(14)

putusan Pengadilan Pajak dan sebagian besar permohonan banding dan gugatan Wajib Pajak dikabulkan seluruhnya oleh Pengadilan Pajak

c. Kurang tegasnya peraturan dalam Undang-Undang mengenai sanksi yang diterapkan pada Direktorat Jenderal Pajak yang melakukan kesalahan atau kekurangtelitian dalam pemeriksaan pajak

Dalam Pasal 36A Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, telah diatur mengenai adanya sanksi yang diterapkan kepada pegawai pajak yang melakukan kesalahan dalam menetapkan pajak yang terutang atau yang masih harus dibayar, yaitu yang tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan yang berlaku. Hal itu tercantum dalam Pasal 36A ayat 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang berbunyi “Pegawai pajak yang karena kelalaiannya atau dengan sengaja menghitung atau menetapkan pajak tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Selain itu, dalam pasal tersebut diatur juga mengenai pihak yang bertanggung jawab dalam mengenakan sanksi kepada pegawai pajak yang melakukan kesalahan dalam menetapkan pajak yang terutang atau yang masih harus dibayar, yaitu yang tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan yang berlaku. Pihak yang bertanggung jawab dalam melaksanakan hal tersebut adalah unit internal Departemen Keuangan, seperti yang diatur dalam Pasal 36A ayat 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang berbunyi “Pegawai pajak yang dalam melaksanakan tugasnya dengan sengaja bertindak di luar kewenangannya yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dapat diadukan ke unit internal Departemen Keuangan yang berwenang melakukan pemeriksaan dan investigasi dan apabila terbukti melakukannya dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

Tetapi, yang terjadi di kenyataan adalah sanksi tersebut tidak dijalankan dengan baik dan secara tegas oleh unit internal Departemen Keuangan sehingga pegawai pajak dapat terus melakukan kesalahan dan mengadakan

(15)

sanksi yang berlaku. Dalam Pasal 36A Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, telah diatur mengenai adanya sanksi yang diterapkan kepada pegawai pajak yang melakukan kesalahan dalam menetapkan pajak yang terutang atau yang masih harus dibayar, yaitu yang tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan yang berlaku. Hal itu tercantum dalam Pasal 36A ayat 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang berbunyi “Pegawai pajak yang karena kelalaiannya atau dengan sengaja menghitung atau menetapkan pajak tidak sesuai dengan ketentuan undang- undang perpajakan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Penyebab lainnya dari keterlambatan penerbitan putusan Pengadilan Pajak adalah d.

Keputusan menolak oleh Direktorat Jenderal Pajak atas keberatan yang diajukan Wajib Pajak, e. Compliance (kepatuhan) Wajib Pajak semakin baik, f. Banyaknya perkara Banding dan Gugatan yang harus ditangani oleh Pengadilan Pajak, dan g.

Lemahnya konstruksi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, dan h. Putusan Pengadilan Pajak sebelumnya tidak dijadikan yurisprudensi.

Akibat yang ditimbulkan dari keterlambatan penerbitan putusan Pengadilan Pajak adalah merugikan Wajib Pajak, merugikan Negara, Kurang sesuai dengan Ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945, dan Wajib Pajak menjadi tidak patuh terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Langkah yang telah dilakukan oleh Pengadilan Pajak untuk menanggulangi keterlambatan penerbitan putusan Pengadilan Pajak adalah membangun tempat bersidang selain di Jakarta, yaitu di Yogyakarta dan Surabaya, menetapkan peraturan bahwa setiap majelis harus membuat laporan mengenai penyelesaian perkara dan mengadakan rapat setiap minggu untuk melaksanakan pembinaan dan pelaporan dari setiap majelis mengenai penyelesaian perkara yang masuk di Pengadilan Pajak, dan mengadakan rekrutmen hakim setiap tahun dan mengadakan pelatihan kepada para hakim dan staf panitera serta mengadakan sosialisasi kepada Stakeholder.

(16)

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut: 1. Faktor penyebab keterlambatan penerbitan putusan Pengadilan Pajak terdiri dari : a. Faktor Internal Penyebab Keterlambatan Penerbitan Putusan Pengadilan Pajak terdiri dari (1) Kurangnya hakim dan staf panitera (dari segi kualitas maupun kuantitas), (2) Hanya ada satu Pengadilan Pajak di Indonesia, (3) Banyaknya permasalahan dalam proses administrasi di Pengadilan Pajak, dan (4) Putusan Pengadilan Pajak sebelumnya jarang dijadikan yurisprudensi.

b. Faktor Eksternal Penyebab Keterlambatan Penerbitan Putusan Pengadilan Pajak terdiri dari: a. Wajib Pajak dan kuasa hukum Wajib Pajak kurang mempersiapkan diri, b.

Direktorat Jenderal Pajak kurang teliti dalam melakukan pemeriksaan pajak, c. Kurang tegasnya peraturan dalam Undang-Undang mengenai sanksi yang diterapkan pada Direktorat Jenderal Pajak yang melakukan kesalahan atau kekurangtelitian dalam pemeriksaan pajak, d.

Keputusan menolak oleh Direktorat Jenderal Pajak atas keberatan yang diajukan Wajib Pajak, e. Compliance (kepatuhan) Wajib Pajak semakin baik, f. Banyaknya perkara Banding dan Gugatan yang harus ditangani oleh Pengadilan Pajak, dan g. Lemahnya konstruksi Undang- Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.

2. Akibat yang ditimbulkan dari keterlambatan penerbitan Putusan Pengadilan Pajak adalah merugikan Wajib Pajak, merugikan Negara, menyalahi Ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945, dan Wajib Pajak menjadi tidak patuh terhadap ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan yang berlaku.

3. Langkah-Langkah yang telah dilakukan oleh Pengadilan Pajak untuk menanggulangi keterlambatan penerbitan putusan Pengadilan Pajak adalah membangun tempat bersidang selain di Jakarta, yaitu di Yogyakarta dan Surabaya, menetapkan peraturan bahwa setiap majelis harus membuat laporan mengenai penyelesaian perkara dan mengadakan rapat setiap minggu untuk melaksanakan pembinaan dan pelaporan dari setiap majelis mengenai penyelesaian perkara yang masuk di Pengadilan Pajak, dan mengadakan rekrutmen hakim setiap tahun dan mengadakan pelatihan kepada para hakim dan staf panitera serta mengadakan sosialisasi kepada Stakeholder.

(17)

SARAN

Saran yang dapat diberikan peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Dalam rangka mempercepat penerbitan putusan Pengadilan Pajak sesuai dengan jangka waktu yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, dirasakan perlu untuk: (i) melakukan tindakan nyata berupa penerapan sanksi administrasi kepada pemeriksa pajak yang melakukan pemeriksaan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. (ii) menyebutkan ketentuan yang mengatur tentang sanksi apabila batas penerbitan putusan Pengadilan Pajak dilanggar oleh pihak Pengadilan Pajak.

(iii) Memperbaiki dan mempercepat pengadministrasian penyelesaian sengketa pajak di Pengadilan Pajak.

2. Sebaiknya putusan Pengadilan Pajak yang pernah ada, untuk kasus serupa dijadikan masukan dan acuan bagi sengketa pajak yang baru sehingga prinsip peradilan cepat, murah, dan sederhana dapat dilaksanakan.

3. Menambah jumlah hakim, jumlah panitera, dan jumlah staf panitera atau jumlah Pengadilan Pajak secara proporsional seimbang dengan kuantitas sengketa pajak yang diselesaikan oleh Pengadilan Pajak.

(18)

KEPUSTAKAAN

Asmara, G. (2006). Peradilan Pajak & Lembaga Penyanderaan (Gijzeling) dalam Hukum Pajak di Indonesia. Yogyakarta: LaksBang PRESSindo.

Babbie, E. (2008). The Basics of Social Research. Belmont: Thomson Wadsworth.

Bambang Prasetyo, Miftahul Jannah. (2005). Metode Penelitian Kuantitatif Teori dan Aplikasi, Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa.

Barata, A. A. (2003). Memahami Pengadilan Pajak; Meminimalisasi dan Menghindari Sengketa Pajak & Bea Cukai (Lengkap: UU Pengadilan Pajak, Tata Terbit Persidangan, Peraturan MA (tentang Peninjauan Kembali), Penghitungan Biaya Perkara) . Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Bohari. (2006). Pengantar Hukum Pajak. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Creswell, J. W. (2007). Research Design : Qualitative and Quantitative Approaches.

California: Sage Publications, Inc.

Crumbley, D. L., Friedman, J. P., & Anders, S. B. (1994). Dictionary of Tax Terms.

Hauppauge: Barron's Educational Series, Inc.

Garner, B. A. (2004). Black's Law Dictionary Eighth Edition. St. Paul: West Publishing Co.

Hamami, T. (2003). Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama dalam Sistem Tata Hukum di Indonesia. Bandung: Alumni.

Herdiansyah, H. (2011). Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta:

Salemba Humanika.

Marbun, S. (1988). Peradilan Tata Usaha Negara. Yogyakarta: Liberty.

Marbun, S. F. (1997). Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia.

Yogyakarta: Liberty.

Malimar. (1998). 101 Putusan Majelis Pertimbangan Pajak dalam Upaya Menegakkan Keadilan Pajak. Jakarta: Sekolah Tinggi Perpajakan Indonesia.

Mertokusumo, S. (1993). Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty.

Munawir. (1991). Perpajakan. Yogyakarta : Liberty..

(19)

Neuman. (2007). Basics of Social Research : Qualitative and Quantitative Approaches (Second Edition). Boston: Pearson Education, Inc.

Nurmantu, S. (2005). Pengantar Perpajakan edisi 3. Jakarta: Granit.

Prakosa, K. B. (2006). Hukum Pajak. Yogyakarta: EKONISIA Fakultas Ekonomi UII.

Purwito, A., & Komariah, R. (2010). Pengadilan Pajak - Proses Keberatan, Banding, Edisi Revisi 3. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Rosdiana, Haula dan Edi Slamet Irianto. (2012). Pengantar Ilmu Pajak : Kebijakan dan Implementasi di Indonesia (Edisi Pertama). Jakarta : Rajawali Pers.

Sadhani, D., Anwar, S., & Subroto, K. (2008). Mencari Keadilan di Pengadilan Pajak.

Jakarta: PT Gemilang Gagasindo Handal.

Saidi, M. D. (2007). Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam Penyelesaian Sengketa Pajak.

Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Saleh, M. (2011). Penerapan Asas Peradilan Sederhana, Cepat, dan, Biaya Ringan pada Eksekusi Putusan Perkara Perdata. Yogyakarta: Graha Cendikia.

Subki, M. S., & Djumadi. (2007). Menyelesaikan Sengketa Melalui Pengadilan Pajak.

Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta.

Sundoro. (2004). Studi Kasus Banding Pengadilan Pajak : Buku Satu Tata Cara dan Dasar Hukum . Jakarta: Semar Publishing.

Soemitro, Rachmat. (1986). Azas dan Dasar Perpajakan. Bandung : Eresco.

___________. (1976). Peradilan Administrasi dalam Hukum Pajak di Indonesia. Bandung:

Eresco

___________. (1991). Peradilan Administrasi dalam Hukum Pajak di Indonesia. Bandung:

Eresco.

Thuronyi, V. (1996). Tax Law Design and Drafting (1st Series). Washington: IMF Publication Services.

Wahyutomo, Imam. (1994). Pajak. Yogyakarta : Penerbit UPP AMP YKPN.

(20)

Wiwoho, J. (2008). Membangun Model Penyelesaian Sengketa Pajak yang Berkeadilan.

Surakarta: Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) UNS dan UPT Penerbitan dan Pencetakan UNS (UNS Press).

Yudkin, L. (1971). A Legal Structure for Effective Income Tax Administration. Cambridge:

Harvard Law School.

Referensi

Dokumen terkait

Interaksi antara pemberian berbagai jenis pupuk kandang dan media tanam yang berbeda tidak memberikan pengaruh nyata terhadap parameter waktu muncul tunas,

Beberapa varietas yang diinokulasi dengan isolat virus tungro tertentu menggunakan koloni vektor yang berbeda dapat menghasilkan respons yang sama atau berbeda jika

Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Aspek Pertanggungjawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta , Mandar Maju, Bandung, 2011, Hlm.. hukum yang berkaitan dalam hukum perdata, untuk

Dengan demikian, dalam beberapa kasus karsi- noma nasofaring yang mendapat terapi kemoradiasi akan menimbulkan tuli sensorineural yang lebih berat dibandingkan pada pemberian

Sebagai salah satu upaya pelaksanaan Reformasi Birokrasi terkait area perubahan penataan Sumber Daya Manusia (SDM) Aparatur, memperkenalkan tugas pokok dan fungsi Badan

1) Marcellina Rasemi W,. SST, M.Pd selaku dosen pembimbing 1 yang sudah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam mengerjakan

Komitmen organisasi memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap budgetary slack , maka disarankan agar perusahaan berusaha untuk meningkatkan rasa kebersamaan dengan