TINJAUAN YURIDIS TENTANG TINDAK PIDANA KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH ORANG TUA TERHADAP ANAK KANDUNG
(Studi Putusan Nomor 208/Pid.Sus/2017/PN Trt)
TESIS
OLEH
RUDI SIANIPAR 167005037/HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2018
TINJAUAN YURIDIS TENTANG TINDAK PIDANA KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH ORANG TUA TERHADAP ANAK KANDUNG
(Studi Putusan Nomor 208/Pid.Sus/2017/PN Trt)
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum dalam Program Studi Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh :
RUDI SIANIPAR 167005037/HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2018
)
PANITIA PEMBIMBING PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Syafruddin Kalo., SH., M. Hum Anggota : 1. Dr. Marlina., SH., M. Hum
2. Dr. M. Ekaputra., SH., M. Hum 3. Dr. M. Hamdan., SH., MH 4. Dr. Edi Yunara., SH., M. Hum
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Rudi Sianipar
Nim : 167005037
Program Studi : Magister Ilmu Hukum
Judul Tesis : TINJAUAN YURIDIS TENTANG TINDAK PIDANA KEKERASAN YANG DI LAKUKAN OLEH ORANG TUA TERHADAP ANAK KANDUNG
(Studi Putusan Nomor 208/Pid.Sus/2017/PN Trt)
Dengan ini menyatakan bahwa tesis yang saya buat ini adalah Asli karya saya sendiri, bukan merupakan Plagiat atau Dublikasi dari penelitian yang telah ada sebelumnya.
Apabila ternyata dikemudian hari diketahui bahwa Tesis saya ini merupakan Plagiat atau Dublikasi karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberikan sanksi apapun oleh Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.
Demikian Surat Pernyataan ini saya perbuat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.
Medan, Februari 2018 Yang membuat pernyataan
Rudi Sianipar
ABSTRAK
TINJAUAN YURIDIS TENTANG TINDAK PIDANA KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH ORANG TUA TERHADAP ANAK KANDUNG
(StudiPutusanNomor 208 /Pid. Sus/2017/PN Trt)
Salah satu kasus penganiayaan anak hingga menghilangkan nyawa anak kerap terjadi tidak hanya dikota besar, didaerah-daerah yang jauh dari perkembangan ibu Kota Negara Indonesia seperti yang terjadi di daerah Kabupaten Humbang Hasundutan Provinsi Sumatera Utara. Kasus kekerasan anak tersebut diperiksa di Pengadilan Negeri Tarutung dan diputus dengan Putusan Nomor 208/Pid.Sus/
2017/PN.Trt. Adapun permasalahan penelitian ini adalah bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap anak kandung korban kekerasan dalam tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga?, bagaimana kebijakan kriminal terhadap penerapan hukum pidana terhadap orangtua yang melakukan kekerasan terhadap anak kandungnya dalam putusan Putusan Perkara Nomor 208/Pid.Sus/2017/PN. Trt?, bagaimana pertimbangan para hakim dalam Putusan Perkara Nomor 208/Pid.Sus/2017/PN. Trt?.
Metode penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Sifat penelitian ini deskriptif analisis, yaitu metode yang dipakai untuk menggambarkan suatu kondisi atau keadaan yang sedang terjadi atau berlangsung yang tujuannya agar dapat memberikan data seteliti mungkin mengenai objek penelitian sehingga mampu menggali hal-hal yang bersifat ideal, kemudian dianalisis berdasarkan teori hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hasil penelitian ini, pertama, bentuk perlindungan hukum terhadap anak kandung korban kekerasan dalam tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga adalah dengan memberikan perlindungan hukum baik secaar normatif maupun empiris.Kedua, penerapan hukum pidana terhadap orangtua yang melakukan kekerasan terhadap anak kandungnya dalam putusan Putusan Perkara Nomor 208/Pid.Sus/2017/PN. Trt adalah dengan menerapkan hukuman penjara 2 tahun 6 bulan terhadap pelaku KDRT. Ketiga, pertimbangan para hakim dalam melihat bukti- bukti yang ditunjukkan dalam ruang persidangan dan bukti yang telah disediakan penuntut umum, pertimbangan selanjutnya adalah dengan keterangan saksi korban dan pelaku. Disarankan kepada pemerintah untuk konsisten memberikan perlindungan kepada anak korban KDRT baik secara normatif dan empiris;disarankan kepada para hakim dan jaksa untuk memberikan hukuman yang berat kepada para pelaku KDRT khususnya pada anak kandung.
Kata kunci: Kekerasan Dalam Rumah tangga, Anak Kandung, Indonesia
ABSTRACT
JURIDICAL REVIEW ON THE CRIMINAL VIOLENCE OF VIOLENCE BYPARENTS TO CHILDREN (Study of Decision Number 208 / PidSus /
2017 / PN Trt)
One of the cases of child molestation to eliminate the lives of children often occurs not only in big cities, in areas that are far from the development of the capital city of Indonesia is widespread, such as cases of child murder by father who occurred in HumbangHasundutan district of North Sumatra Province. The case of the child's murder was examined in the Tarutung District Court and was decided by Decision Number 208 / Pid.Sus / 2017 / PN.Trt .. As for the problem of this research, how is the form of legal protection against the child of the victim of violence in the domestic violence? What is the criminal policy towards the application of criminal law to the parents who perpetrate violence against their children in the Decision of Case Case Number 208 / Pid.Sus / 2017 / PN.Trt ?, How is the judges' consideration in Decision Case Number 208 / Pid.Sus / 2017 / PN. Trt ?.
The method of this research is normative juridical research. The nature of this research is descriptive analysis, the method used to describe a condition or condition that is happening or lasting its purpose in order to provide data as much as possible about the object of research so as to explore the things that are ideal, then analyzed based on legal theory or regulations - the prevailing law.
The results of this study, firstly, the form of legal protection against child victims of violence in the domestic violence act is to provide legal protection both normatively and empirically. Second, the application of criminal law to parents who violate their children in decision of Case Decision Number 208 / Pid.Sus / 2017 / PN.Trt is to apply a prison sentence of 2 years 6 months against perpetrators of domestic violence. Third, Judges' Consideration in Case Decision Number 208 / Pid.Sus / 2017 / PN.Trt is by looking at the evidence presented in the courtroom and the evidence provided by the public prosecutor, further consideration is with the testimony of the victim's witness and the perpetrator. It is suggested to the government to consistently provide protection to child victims of domestic violence both normatively and empirically; it is advisable to judges and prosecutors to give severe punishment to the perpetrators of domestic violence especially in natural children. it is advisable for judges to more clearly give consideration in the court's decision to create justice, certainty and legal benefits
Keyword: violence, children and parent
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat, kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dngan judul“TINJAUAN YURIDIS TENTANG TINDAK PIDANA KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH ORANG TUA TERHADAP ANAK KANDUNG(Studi Putusan Nomor 208/Pid.Sus/2017/PNTrt)”.
Terwujudnya atesis ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak yang telah mendorong dan membimbing penulis, baik dari segi tenaga, ide-ide, maupun pemikiran. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H, M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara .
2. Prof. Dr. Budiman Ginting SH., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Prof. Dr. Sunarmi, SH., M.Hum, selaku ketua program studi magister hukum Fakultas Hukum.
4. Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH., M. Hum selaku dosen pembimbing utama Tesis telah banyak meluangkan waktu, tulus, dan sabar memberikan saran
dukungan, nasihat bimbingan serta arahan dalam penyelesaian tesis ini.
5. Dr. Marlina, SH., M.Hum selaku dosen pembimbing anggota I tesis yang telah banyak meluangkan waktu, tulus, dan sabar memberikan saran, dukungan, nasihat bimbingan serta arahan dalam penyelesaian tesis ini.
6. Dr. M. Ekaputra, SH., M.Hum selaku pembimbing anggota II yang telah banyak memberikan masukan dalam penyelesaian tesis ini.
7. Dr. M. Hamdan, SH, M.H selaku penguji I yang telah banyak memberikan masukan dalam penyelesaian tesis ini.
8. Dr. Edy Yunara SH., M.Hum selaku penguji II yang telah banyak memberikan banyak masukan dalam penyelesaian tesis ini.
9. Dosen dan staff pegawai fakultas hukum yang telah memberikan bakal ilmu selama penulis mengikuti pendidikan.
10. Teristimewa penulis ucapkan kepada Ibunda Toman Manik yang telah memberikan dukungan kepada penulis baik moril dan materil sertadoa yang tia daputus-putusnya untuk penulis selama penyelesaian tesis ini.
11. Teristimewa penulis ucapkan kepada isteri Tenny Melati Simanjuntak, S.Pd dan anak-anakku yaitu Chintya, Chindy, Cinta yang telah memberikan dukungan kepada penulis.
12. Saudara-saudar ipenulis yang selalu mendukungan dan mendoakan penulis dalam penyelesaian tesis ini.
13. Teman seperjuangan penulis yang selalu bersamadari semester I sampai semester akhir, sama-sama berjuang untuk memperoleh gelar rmagister hukum Terimakasih penulis ucapkan atas dukungan dan doanya selama ini.
Tak ada yang dapa t penulis berikan untuk membalas semua yang telah diberikan kepada penulis.Penulis hanya mendoakan, semoga semua yang telah diberikan kepada penulis, mendapat imbalan dari Tuhan Yang Maha Esa, Amin.
Penulis menyadar ibahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan .Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan-perbaikan kedepan.
Medan, Februari 2019
Rudi Sianipar 167005037
DAFTAR RIWAYAT HIDUP A. DATA PRIBADI
Nama : Rudi Sianipar
Tempat /TglLahir : 3 April 1973 Jenis Kelamin : Laki – laki Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Kristen Protestan
Alamat : Jl. Guru Herman No. 57 Siborong borongkab. Taput Nama Ayah : Mallagas Sianipar( Alm)
Nama Ibu : Toman Br Manik
Nama Istri : Tenny Melati Simanjuntak., Spd No. Handpone : 0853-5968-8787
B. DATA PENDIDIKAN PRIBADI
1983 : SD No. 173277Pohan Tonga Siborong borong 1999 : SMP N. 1 Siborong borng Kab. Taput
1991 : SMA N. 1Siborongborong Kab. Taput 1997 :Universitas Sisinga mangaraja XII
DAFTAR ISI
ABSTRAK ………... i
ABSTRACT ……….. ii
KATA PENGANTAR ………. iii
RIWAYAT HIDUP ……….. v
DAFTAR ISI ……… vi
BAB I PENDAHULUAN ………... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 9
C. Tujuan Penelitian ………... 9 D. Manfaat Penelitian ………... 10 1. Manfaat Teoritis ... 10
2. Manfaat Praktisi ... 10
E. Keaslian Penelitian ………... 10
F . Kerangka Teoridan Konsep ………... 11
1. Keragka Teori ... 11
2. Kerangka Konsep ... 29
F. Metode Penelitian ………... 31 1. Jenis Penelitian ... 31
2. Sifat Penelitian ... 32
3. Bahan Hukum ... 32
4. Teknik Pengumpulan Data ... 33
5. Analisis Data ... 34
BAB IIBENTUK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KANDUNG KORBAN KEKERASAN DALAM TINDAK
PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA ... 36 A. Hak-Hak Anak dan tanggungjawab Orang TuaTerhadap
Anak ………... 36 1. Hak – Hak Anak ... 37 2. Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak ... 44 B. Faktor Penyebab Kekerasan Pada Anak ...
46
1. Faktor Internal Keluarga ... 48 2. Faktor Eksternal ... 51 C. Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban
Kekerasan ... 53 1. Perlindungan Hukum Empiris Terhadap Anak Korban
Kekerasan ... 53 2. Perlindungan Hukum Normatif Terhadap Anak Korban
Kekerasan ... 56 BAB III KEBIJAKAN KRIMINAL TINDAK PIDANA KEKERASAN
TERHADAP ANAK KANDUNGNYA ... 61 A. Upaya Penal ...
61
1. Proses Penangkapan Pelaku Kekerasan Terhadap Anak
Kandung ... 64 2. Penahanan Pelaku Kekerasan Terhadap Anak Kandung... 69 3. Penerapan Sanksi Hukum Terhadap Pelaku Tindak
Pidana Kekerasan Terhadap Anak Kandung ... 71 B. Upaya Non Pena ... 77
1. Tidak Adanya Kontrol Sosial Pada Tindakan Kekerasan
Terhadap Anak ... 80
2. Nilai – Nilai Sosial ... 80
3. Kemiskinan ... 81
4. Budaya Atau Tradisi Yang Berkembang Di Masyarakat .... 81
5. Kondisi Lingkungan Sosial ... 82
6. Media Elektronik ... 82
BAB IV PENERAPAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK KANDUNG DALAM PERKARA NOMOR 208/Pid.Sus/2017/PN.TRT ... .. 84
A. Gambaran Kasus ... 84 1. Kronologis ... 84
2. Dakwaan ... 86
3. Fakta Persidangan... 87
4. Putusa ... 87
B. Analisa Kasus Dalam Putusan NOMOR 208/Pid.Sus /2017/PN.Trt …... 87
1. Analisis Surat Dakwaan ... 87
2. Analisis Tuntutan ... 93
3. Analisis Putusan ... 94
C. AnalisisPutusan Nomor. 65/Pid.Sus/2017/PN/Trt ... 106 1. Posisi Kasus ... 106
2. Dakwaan ... 112
3. Alat Bukti ... 113
4. Pertimbangan Hakim ... 114
5. Fakta-Fakta Hukum ... 115
6. Putusan Hakim ... 120 D. Analisis Hukum Perbandingan Antara Putusan Nomor 208/
Pid.Sus/2017/PN.Trt Dengan Putusan Nomor 65/Pid.Sus/
2017/PN.Trt ... 121
`BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 134
A. `Kesimpulan ... 134
B. Saran ... 135
DAFTAR PUSTAKA ... 13
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Karakteristik penegakan hukum di Indonesia khususnya terhadap hukum pidana sangat unik, dan multidimensi serta destruktif sebagaimana dilihat dari penegakan hukum pada beberapa kasus pidana, terutama pada kasus pidana yang ekstra ordinary crime. Untuk tindakan kejahatan konvensional yang terjadi ditengah masyarakat, seperti kekerasan baik pada individu atau anggota keluarga terlihat marak terjadi. Aturan hukum yang usang, dan tidak mendapat perhatian legislator untuk diperbaharui, dan ketidak seriusan aparat penegak hukum menjadi salah satu indikator yang sering terlihat dalam praktik penerapan hukum bagi kasus-kasus kekerasan.
Terhadap tindakan kekerasan dan pembunuhan merupakan kejahatan yang paling tua di dunia ini, sejak jaman para nabi hingga saat ini tidak pernah tidak terdengar dan terjadi kejahatan pembunuhan dan kekerasan. Pelaku kejahatan tersebut adalah dewasa, anak-anak bahkan orang tua sekalipun begitu juga dengan korbannya, tidak hanya orang dewasa, orang tua, tetapi juga anak-anak.
Kekerasan sering terjadi pada anak, yang dapat merusak, berbahaya dan menakutkan anak. Anak yang menjadi korban kekerasan menderita kerugian, tidak saja bersifat materil, tetapi juga bersifat immateril seperti gonjangan emosional dan psikologis, yang dapat mempengaruhi kehidupan masa depan anak. Pelaku tindak
kekerasan terhadap anak bisa saja orang tua (ayah dan/atau ibu korban), anggota keluarga, masyarakat dan bahkan pemerintah sendiri (aparat hukum) dan lainnya.1 Pada prinsipnya, risiko kekerasan pada anak sering terjadi pada anak-anak rawan2.
Memperhatikan konsep kekerasan dalam rumah tangga, bentuk serta akibat perbuatan, maka dapat disajikan pengertian teori kekerasan dalam rumah tangga atau violence household theory. Violence household theory adalah teori yang mengkaji dan menganalisis tentang bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga, faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga dan akibat perbuatan yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga.3
Berdasarkan data pengaduan masyarakat ke Komisi Pelindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam 7 Tahun terakhir, ditemukan sebanyak 26.954 kasus anak berdasarkan 9 klaster, 3 klaster diantaranya merupakan kasus yang paling tertinggi.
Komisioner KPAI menyebutkan, pertama kasus anak berhadapan hukum baik pelaku maupun korban 9266 kasus, kedua kasus di keluarga dan pengasuhan alternatif baik korban perceraian orang tua, perebutan hak asuh dan kasus penelantaran ada 5006,
1 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum terhadap Anak dan Perempuan, (Bandung, Refika Aditama, Cet.4, 2014), hlm. 2
2 Menurut Maidin Gultom, bahwa anak rawan adalah karena kedudukan anak yang kurang menguntungkan, disebut rawan ( children at risk) merupakan anak yang mempunyai risiko besar untuk mengalami gangguan atau masalah dalam perkembangannya, baik secara psikologis (mental), sosial maupun fisik. Anak rawan dipengaruhi oleh kondisi internal maupun eksternalnya, seperti anak dari keluarga miskin, anak didaerah terpencil, anak cacat dan anak dari keluarga yang retak ( broken home), Ibid.
3Salim dan Erlies Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Disertasi dan Tesis, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015), hlm. 107
ketiga kasus serta pornografi dan cyber crime baik sebagai korban maupun pelaku 2358 kasus.4
Kekerasan pada anak yang menyebabkan kerugian bagi anak sebagai korban, dalam hukum pidana Indonesia, kerugian yang dialami oleh anak sebagai korban tindak kekerasan belum secara konkret diatur. Artinya lebih hukum pidana lebih memberikan perlindungan kepada anak sebagai korban, lebih banyak merupakan perlindungan abstrak atau perlindungan tidak langsung, adanya berbagai perumusan tindak pidana dalam perundang-undangan. Sistem sanksi dan pertanggungjawaban pidana tidak tertuju pada perlindungan korban secara langsung dan konkret, tetapi hanya perlindungan secara tidak langsung dan abstrak.5
Anak sebagai korban kejahatan diatur dalam KUHPidana Indonesia adalah anak yang mengalami perbuatan dari pelaku berupa:
a. Masalah persetubuhan, hal ini diatur dalam Pasal 287 KUHPidana, Pasal 288, Pasal 291 KUHPidana
b. Perbuatan cabul, hal ini diatur dalam Pasal 289, 292, 293, 294, 295, 298 KUHPidana
c. Perbuatan menghilangkan nyawa anak, hal ini diatur dalam Pasal 341, 342, 346, Pasal 347dan Pasal 349 KUHPidana
d. Perbuatan penganiayaan, hal ini diatur dalam Pasal 351, Pasal 353, Pasal 354, pasal 355 dan Pasal 356 KUHPidana.
4Data Komisi Pelindungan Anak Indonesia (KPAI) Tahun 2016
5Ibid. Hlm.3
Bentuk kekerasan yang dapat mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang harus dapat ditegakkan hukumnya. Penghilangan nyawa dengan tujuan kejahatan, baik yang disengaja maupun tidak disengaja tidak dapat dibenarkan oleh Undang- undang.
Penegakan hukum merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri korban, dan memberikan sanksi bagi pelaku yang telah menghilangkan hak korban tersebut. Penegakan hukum oleh aparat kepolisian merupakan hal utama yang harus dilakukan, demi menjamin keadilan terhadap hak hidup korban, serta untuk menjamin kepastian hukum terhadap pelaku kekerasan, agar mendapatkan hukuman yang setimpal6.
Semakin seringnya terjadi kekerasan didalam rumah tangga terhadap anak, maka pemerintah mengeluarkan sebuah peraturan yaitu Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Undang- Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Tetapi sampai sekarang ini masih banyak terjadi kekerasan terhadap anak didalam rumah tangga padahal sudah ada Undang-Undang yang mengaturnya dan didalam Undang-Undang itu sudah di buat hukuman yang berat kepada para pelaku tindak kekerasan terhadap anak.
Tingginya kasus kekerasan terhadap anak, salah satunya disebabkan masih kurangnya realisasi dari Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
6Maharani Adhyaksantari Wicaksana, Penegakan Hukum Terhadap Kasus Pembunuhan Bayi Oleh Ibu Kandungnya (Studi Kasus di Polresta Surakarta dan Polres Wonogiri), (Naskah Publikasi Tesis, Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2017), hlm. 2
Kekerasan dalam Rumah Tangga. Padahal dalam Undang-Undang ini sebenarnya sudah diberikan hukuman yang berat bagi para pelaku kekerasan.
Meskipun Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 ini sudah disahkan, tetapi pelaksanaan dilapangan belum berjalan seperti yang diharapkan. Dimana-mana kasus anak menunjukkan diantara penyidik, jaksa, dan hakim belum adanya persamaan persepsi dalam menangani kasus yang menyangkut Perlindungan anak ini. Padahal Undang-Undang perlindungan anak ini dibuat dengan tujuan menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, dan berkembang secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat manusia.
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pengertian mengenai lingkup anak sangat luas, termasuk di dalamnya keberadaan anak bayi. Harkat dan martabat yang melekat pada anak dimulai sejak masih janin dalam kandungan hingga tumbuh menjadi dewasa.
Keberadaan anak harus mampu dijaga dan dihargai sebagai bentuk penghargaan terhadap hak asasi manusia. Keberadaan anak mempunyai peranan dan posisi yang sangat penting sebagai penerus dari keluarga dan keturunannya, selain itu anak juga mempunyai peranan sebagai perwujudan dalam melanjutkan kehidupan bangsa.7
Anak adalah pewaris dan sekaligus potret masa depan bangsa, generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan. Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan
7Ibid.
kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Demikian juga dalam rangka penyelenggaraan perlidungan anak, negara dan pemerintah bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangan secara optimal dan terarah8
Kekerasan adalah suatu tindakan untuk melukai seseorang dengan cara yang melanggar hukum, maupun yang tidak melawan hukum. Perbuatan yang menyebabkan luka, penderitaan ataupun hilangnya nyawa seseorang tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun. Hak untuk hidup merupakan hak dasar yang dimiliki seseorang yang keberadaannya melekat pada masing-masing individu.
Perbuatan ibu kandung yang tega melakukan kekerasan sehingga berakibat terbunuhnya anaknya, yang dalam ini adalah anak yang masih bayi merupakan suatu perbuatan yang dianggap sebagai perbuatan yang kejam dan tidak berperikemanusiaan.9
Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak merupakan kejahatan yang telah memiliki aturan yang bersifat khusus untuk melindungi anak dari perbuatan kejahatan tersebut. Pemerintah Indonesia telah mengundangkan beberapa peraturan diantaranya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan diperkuat
8Ahmad Kamil, Hukum Perlindungan Dan Pengangkatan Anak Di Indonesia,( Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 383
9Maharani Adhyaksantari wicaksana, Loc.cit
lagi dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Lahirnya peraturan perundang-undangan terhadap perlindungan bagi anak, ternyata tidak menjadikan masyarakat Indonesia jera atau bahkan berhenti untuk melakukan kekerasan terhadap anak. Berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia, jumlah anak sebagai korban kekerasan fisik dan penganiayaan di tahun 2016 anak sebagai korban kekerasan berjumlah 112 Kasus.10 Jumlah tersebut yang terdata oleh KPAI, sedangkan banyak anak sebagai korban yang tidak terdata, biasanya terjadi di daerah-daerah yang rawan konfik, daerah perbatasan.
Salah satu kasus penganiayaan anak hingga menghilangkan nyawa anak kerap terjadi tidak hanya di kota besar, di daerah-daerah yang jauh dari perkembangan ibu Kota Negara Indonesia hal tersebut marak terjadi, misalnya kasus kekerasan anak oleh ayah kandung yang terjadi di daerah Kabupaten Humbang Hasundutan Provinsi Sumatera Utara. Kasus Kekerasan anak tersebut diperiksa di Pengadilan Negeri Tarutung dan diputus dengan Putusan Nomor 208/Pid.Sus/2017/PN.Trt.
Didalam perkara dalam putusan Nomor 208/Pid.Sus/2017/PN.Trt bermula dari hubungan suami istri yang tidak baik antar pelaku dan istrinya, sehingga pelaku kejahatan tersebut (ayah kandung) sering melakukan perbuatan kekerasan baik terhadap istri maupun anak kandungnya. Akhirnya, perbuatan pelaku menimbulkan akibat trauma bagi si anak.
10Komisi Perlindungan Anak, Rincian tabel Kasus Pengaduan Anak Berdasarkan Klaster Perlindungan Anak, (Jakarta:KPAI), 2016.
Kasus Kekerasan anak kandung tersebut dilakukan oleh ayah kandung yang bernama Hasaddin Lase. Kasus tersebut bermula dari proses penyidikan yang dilakukan Kepolisian Resort Humbang Hasundutan tanggal 02 Agustus 2017 hingga 28 Agusutus 2017. Didalam proses penyidikan yang dilakukan oleh pihak Kepolisian Resort Humbang Hasundutan sangat sulit dilakukan karena minimnya alat bukti yang menunjukkan jika tersangka (ayah kandungnya) sebagai pelaku kekerasan hingga tubuh anak kandungnya menjadi luka.
Terdakwa Hassadin Lase ditahan dalam tahanan RUTAN oleh:
1. Penyidik sejak tanggal 9 Agustus 2017 sampai dengan tanggal 28 Agustus 2017;
2. Perpanjangan oleh Penuntut Umum sejak tanggal 29 Agustus 2017 sampai dengan tanggal 17 September l 2017;
3. Hakim Pengadilan Negeri Tarutung sejak tanggal 11 September 2017 s/d 10 Oktober 2017
4. Perpanjangan oleh Ketua Pengadilan Negeri sejak tanggal 10 Oktober 2017 s/d tanggal 09 Desember 2017
Keputusan hakim didalam Putusan Perkara Nomor 208/Pid.Sus/2017/PN.Trt jika dilihat dari perspektif keadilan dan kepastian hukum maka putusan hakim dengan menghukum terdakwa dengan penjara 2 tahun 6 bulan menimbulkan ketidakadilan, melihat dari konteks kepastian hukum, maka adanya Undang-Undang perlindungan anak dan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga belum mencerminkan perlindungan hukum terhadap masyarakat yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Oleh karena itu, berdasarkan uraian singkat tersebut, penulis tertarik untuk melakukan analisis hukum mendalam terhadap kasus tersebut, untuk mengetahui alasan hakim hanya memutus dengan penjara 2 tahun 6 bulan dan juga untuk melihat penerapan hukum pidana dalam kasus kekerasan pada anak tersebut yang tidak sesuai dengan aturan hukum yang ada.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka judul yang penulis ajukan dalam penelitian tesis ini adalah Tinjauan Yuridis Tentang Tindak Pidana Kekerasan Yang Dilakukan Oleh Orang Tua Terhadap Anak Kandung ( Studi Putusan Nomor 208 /Pid. Sus/2017/PN Trt).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi anak yang menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh orang tuanya?
2. Bagaimana kebijakan kriminal terhadap tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh orang tua kekerasan terhadap anak kandungnya?
3. Bagaimana penerapan hukuman terhadap tindak pidana kekerasan terhadap anak kandung oleh orang tuanya dalam Putusan Nomor 208/Pid.Sus/2017/PN. Trt ? C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengkaji bentuk perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban kekerasan oleh orang tuanya.
2. Untuk mengkaji dan mengetahui kebijakan kriminal terhadap terhadap tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh orang tua kekerasan terhadap anak kandungnya.
3. Untuk mengkaji analisa penerapan hukuman terhadap tindak pidana kekerasan terhadap anak kandung oleh orang tuanya dalam Putusan Nomor 208/Pid.Sus/2017/PN. Trt.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat kepada ilmu pengetahuan khususnya Ilmu Hukum Pidana, khususnya Hukum Perlindungan Anak yang mampu memberikan pemikiran baru dalam hal perlidungan hukum bagi anak sebagai korban kejahatan.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara praktis baik kepada akademisi maupun praktisi hukum (hakim, jaksa, polisi, advokat, dan Lembaga Pemasyarakatan) serta masyarakat dalam memahami perlindungan hukum bagi anak sebagai korban kejahatan, dan diharapkan mampu memberikan kontribusi/manfaat bagi para praktisi hukum sebagai bahan/landasan dalam menangani kasus-kasus kejahatan dimana anak sebagai korbannya.
E. Keaslian Penelitian
Setelah melakukan penelusuran judul di bagian perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, maka penelitian tesis dengan judul Tinjauan Yuridis Tentang Tindak Pidana Kekerasan Yang Dilakukan Oleh Orang Tua Terhadap Anak Kandung (Studi Putusan Nomor 208/Pid. Sus/2017/PN Trt) adalah penelitian yang tidak sama dengan penelitian terdahulunya, artinya penelitian ini tidak diragukan keasliannya.
Adapun judul yang terkait dengan penelitian yang penulis lakukan adalah:
1) Penerapan Pasal 55 UU KDRT dalam perkara kekerasan dalam rumah tangga dikaitkan dengan Locus Delicti ( studi di Unit PPA Sat. Reskrim Polrestabes Medan) oleh Gabriellah Angelina Gultom;
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Teori hukum muncul, lahir dan berkembang sebagai jawaban atas permasalahan hukum atau menggugat suatu pemikiran hukum yang dominan di suatu saat. Oleh karenanya, agar dapat memahami suatu teori hukum tidak dapat dilepaskan dari inter dan antar masa, faktor, keadaan, kondisi sosial kemasyarakatan, kenegaraan yang melingkupi tumbuh dan berkembangnnya teori hukum yang bersangkutan.
Teori hukum sendiri boleh disebut sebagai kelanjutan dari mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita merekotruksikan kehadiran teori hukum secara jelas.11
a. Teori Pemidanaan
Landasan teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasikan asas-asas hukum, doktrin, dasar hukum, dan yurisprudensi. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan asas-asas hukum, doktrin, dan dasar hukum sebagai landasan teoritis. “Asas hukum adalah suatu pemikiran yang dirumuskan secara luas dan mendasari adanya suatu norma hukum”.12 Asas-asas hukum menjadi landasan berpijak serta pedoman yang menjiwai suatu Peraturan Perundang-undangan yang ada di dalam sebuah negara.
Implementasi tugas dan wewenang penyidik terhadap penegakan hukum, maka aparat penegak hukum harus memperhatikan asas-asas dalam hukum pidana yang berlaku secara universal yaitu, asas legalitas (principle of legality), yakni asas yang menentukan bahwa tiap-tiap perbuatan pidana harus ditentukan sebagaimana demikian oleh suatu aturan Undang-Undang atau setidak-tidaknya oleh suatu aturan hukum yang telah ada dan berlaku bagi terdakwa sebelum orang tersebut dituntut untuk dipidana karena perbuatannya.13
Pada dasarnya, kejahatan adalah sebuah kesalahan, biasanya kesalahan moral, yang bertentangan dengan masyarakat secara keseluruhan. Penuntutan pidana
11Ibid. hlm. 253
12M. Marwan dan Jimmy. P, Kamus Hukum; Dictionary Of Law Complete Edition, (Surabaya:
Reality Publisher, 2009), hlm. 56
13Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hlm. 5
dilakukan untuk menghukum orang jahat, baik karena kita ingin mencegah kejahatan di masa depan atau hanya karena kita percaya orang jahat pantas untuk dihukum.
Sudarto menyatakan ”tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah “perbuatan jahat” atau “kejahatan” (crime atau Verbrechen atau misdaad) yang bisa diartikan secara yuridis (hukum) atau secara kriminologis.14
Istilah tindak pidana sering dipakai untuk menggantikan strafbaar feit.
“Perkataan feit itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti sebagian dari suatu kenyataan atau een gedelte van de werkelijkheid, sedangkan strafbaar berarti dapat dihukum sehingga secara harfiah perkataan strafbaar feit itu dapat diterjemahkan sebagai sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak kita akan ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan perbuatan ataupun tindakan”.15
Simon berpendapat bahwa unsur-unsur tindak pidana adalah:16 a. perbuatan manusia,
b. diancam dengan pidana, c. melawan hukum,
d. dilakukan dengan kesalahan,
e. oleh orang yang mampu bertanggung jawab.
14 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni,1986), hlm. 14.
15 P.A.F.Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 181.
16Ibid. hlm 183.
Menurut Pompe unsur dari tidak pidana adalah :
(a) Unsur Perbuatan pidana (criminal act) yang meliputi perbuatan dan sifat melawan hukum perbuatan;
(b) Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) yang mencakup kesenjangan, kealpaan serta kelalaian dan kemampuan bertanggungjawab.
Dalam dasar-dasar hukum pidana di Indonesia untuk dapat dikatakan seseorang telah melakukan suatu tindak pidana maka seseorang tersebut diyakini telah melanggar beberapa unsur pidana. Setiap tindak yang terdapat dalam KUHP dibagi dalam dua bagian, yaitu unsur yang bersifat subyektif dan unsur yang bersifat obyektif.
Unsur subyektif adalah unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur ini antara lain :
(1) Kesengajaan atau kealpaan (dollus atau culpa)
(2) Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging (3) Macam-macam maksud atau oogmerk
(4) Merencanakan terlebih dahulu atau voordebachte raad (5) Perasaan takut atau vrees
Sedangkan yang dimaksud dengan unsur obyektif adalah unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan yang didalam keadaan mana tindakan dari si pelaku harus dilakukan. Unsur ini adalah :
(1) Sifat melawan hukum;
(2) Kuasalitas dari perilaku;
(3) Kausalitas yaitu hubungan antar tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.
Istilah hukuman sering digunakan sebagai terjemahan dari perkataan straf dalam bahasa belanda. Untuk menyebutkan jenis-jenis sanksi dalam hukum pidana, pemakaian istilah hukuman cenderung diikuti oleh kalangan praktek dan masyarakat awam, sehingga sering didengar istilah hukuman mati, hukuman penjara.
Menurut Mulyatno, istilah hukuman yang berasal dari kata straf dan istilah dihukum, yang berasal dari perkataan wordt gestraf adalah istilah-istilah yang konvensional.17 Beliau tidak setuju dengan istilah tersebut, dan menggunakan pidana untuk menterjemahkan istilah straf, dan istilah diancam dengan pidana untuk menggantikan istilah wordt gestraf. Menurutnya kata straf itu diterjemahkan dengan hukuman, maka strafrecht seharusnya diartikan sebagai “hukum hukuman”. Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa “dihukum”, berarti “diterapi hukum”, baik hukum pidana maupun hukum perdata. Hukuman adalah hasil atau akibat dari penerapan hukum tadi yang maknanya lebih luas daripada pidana, sebab mencakup juga keputusan hakim dalam lapangan hukum perdata.
Menurut Sudarto, yang mengatakan bahwa “penghukuman” berasal dari kata dasar “ hukum” sehingga dapat diartikan sebagai “menerapkan hukum” atau memutuskan tentang hukumannya (berechten). Menetapkan hukum untuk suatu
17Muladi, pidana dan pemidanaan, dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, (Bandung, Alumni, 1984), hlm. 1
peristiwa tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, tetapi juga hukum
perdata. Oleh karena itu, istilah “penghukuman” dapat disempitkan artinya
“penghukuman dalam perkara pidana”. Penyempitan arti hukuman dalam perkara pidana dapat dianggap sinonim dengan perkataan “pemidanaan” atau
“pemberian/penjatuhan pidana” oleh hakim. Penghukuman dalam arti yang demikian itu dapat disamakan maknanya dengan “sentence” atau “ veroordeling” misalnya dalam pengertian “sentence conditionally” atau “voorwaardelijk veroordeeld” yang sama artinya dengan “dipidana bersyarat”. Pada akhirnya Prof. Sudarto mengemukakan bahwa penggunaan istilah “ pidana” untuk mengganti atau menterjemahkan perkataan “straf” lebih tepat daripada memakai istilah hukuman.18
Menurut Van Hammel, mengartikan pidana (straf) menurut hukum positif sebagai suatu penderitaan yang bersifat khusus. Penderitaan tersebut menurut Van Hammel dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama Negara sebagai penanggung jawab ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar. Penderitaan itu dikenakan semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh Negara. 19
Sementera itu, Prof. Simon, mengartikan pidana (straf) sebagai suatu penderitaan yang ditimpakan kepada seseorang. Penderitaan tersebut oleh Undang-
18Ibid. hlm.2
19Lamintang, Op.cit. hlm. 34
Undang dikaitkan dengan telah terjadinya pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah.20
Menurut kedua ahli hukum Belanda tersebut, pada hakikatnya pidana adalah suatu penderitaan. Namun harus dipahami bahwa suatu penderitaan bukanlah semata- mata tujuan, melainkan hanyalah semata-mata sebagai alat yang digunakan oleh Negara untuk mengingatkan orang untuk tidak melakukan kejahatan dalam masyarakat.
Di Indonesia, ahli hukum pidana juga memiliki pandangan yang sama dalam memahami dan memberikan batasan mengenai konsep pidana. Menurut Prof.
Sudarto, secara tradisional pidana dapat didefinisikan sebagai nestapa yang dikenakan oleh Negara kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang, sengaja agar dirasakan sebagai nestapa.21
Menurut Roeslan Saleh, pidana merupakan reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan Negara pada pembuat delik itu.22 Dalam memberikan pemahaman terhadap konsep pidana, maka setelah mengemukakan berbagai definisi, akhirnya Prof. Muladi sampai pada sebuah kesimpulan bahwa unsur-unsur atau ciri-ciri yang terkandung dalam pidana, yakni:
1) Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;
20Ibid. hlm. 35
21Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung; Alumni, 1986), hlm. 109-110.
22Roelan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, (Jakarta: Bina Akasara, 1987), hlm. 5.
2) Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);
3) Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut Undang-Undang.
Terdapat kesamaan pendapat dalam memahami pengertian pidana, dimana salah satu karakteristiknya adalah adanya pengenaan nestapa atau penderitaan dengan sengaja. Ciri ini erat kaitannya dengan sifat hukum pidana yang dengan sengaja mengenakan penderitaan dalam mempertahankan norma-norma yang diakui dalam hukum. Pemberian nestapa atau penderitaan yang sengaja dikenakan kepada seorang pelaku yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum pidana adalah dimaksudkan untuk menimbulkan efek penjeraan, sehingga orang tidak melakukan tindak pidana dan pelaku tidak lagi mengulangi melakukan kejahatan.
Pada dasarnya, kejahatan adalah sebuah kesalahan, biasanya kesalahan moral, yang bertentangan dengan masyarakat secara keseluruhan. Penuntutan pidana dilakukan untuk menghukum orang jahat, baik karena kita ingin mencegah kejahatan di masa depan atau hanya karena kita percaya orang jahat pantas untuk dihukum.
Istilah hukuman sering digunakan sebagai terjemahan dari perkataan straf dalam bahasa belanda. Untuk menyebutkan jenis-jenis sanksi dalam hukum pidana, pemakaian istilah hukuman cenderung diikuti oleh kalangan praktek dan masyarakat awam, sehingga sering didengar istilah hukuman mati, hukuman penjara. Menurut Mulyatno, istilah hukuman yang berasal dari kata straf dan istilah dihukum, yan
berasal dari perkataan wordt gestraf adalah istilah-istilah yang konvensional.23 Beliau tidak setuju dengan istilah tersebut, dan menggunakan pidana untuk menterjemahkan istilah straf, dan istilah diancam dengan pidana untuk menggantikan istilah wordt gestraf. Menurutnya kata straf itu diterjemahkan dengan hukuman, maka strafrecht seharusnya diartikan sebagai “hukum hukuman”. Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa “dihukum”, berarti “diterapi hukum”, baik hukum pidana maupun hukum perdata. Hukuman adalah hasil atau akibat dari penerapan hukum tadi yang maknanya lebih luas daripada pidana, sebab mencakup juga keputusan hakim dalam lapangan hukum perdata.
Dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP disebutkan bahwa ”tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Berdasarkan hal tersebut diatas maka seseorang dapat dihukum jika memenuhi syarat-syarat :24
1) Ada suatu norma pidana tertentu;
2) Norma pidana tersebut berdasarkan Undang-Undang;
3) Norma pidana tersebut harus telah berlaku sebelum perbuatan itu terjadi.
Jadi syarat utamanya adalah harus ada aturan yang melarang dan mengancam dengan pidana bagi yang melanggar aturan tersebut. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Oleh karena itu, sering
23Mulyatno, Pidana Dan Pemidanaan, dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, (Bandung, Alumni, 1984), hlm. 1
24Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).25 Disamping itu, usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan Undang-Undang (hukum) pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu, sangat wajar apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy). Kebijakan sosial dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Dengan penggunaan sarana penal dalam menanggulangi kejahatan berarti upaya mewujudkan suatu hukum pidana yang dapat diterapkan dalam masyarakat dalam jangka waktu yang lama dan menjadi kebijakan perundang- undangan yang baik, maka ia harus memenuhi syarat yuridis, sosiologis dan filosofis.
Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto:26
Suatu peraturan hukum berlaku secara yuridis apabila peraturan hukum tersebut penentuannya berdasarkan kaidah yang lebih tinggi tingkatannya.
Suatu peraturan hukum berlaku secara sosiologis bilamana peraturan hukum tersebut diakui atau diterima oleh masyarakat kepada siapa peraturan hukum tersebut ditujukan. Peraturan hukum harus berlaku secara filosofis, apabila peraturan hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tinggi.
Barda Nawawi mengutarakan masih pentingnya menggunakan sarana penal dalam rangka menanggulangi kejahatan yaitu:27
25Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 24.
26Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaidah Hukum, (Bandung: Alumni, 1978), hlm. 113.
a. Sanksi pidana sangatlah diperlukan, kita tidak dapat hidup, sekarang maupun di masa yang akan datang tanpa pidana;
b. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar serta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya;
c. Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama/terbaik dan suatu ketika merupakan pengancam yang utama dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat, cermat dan secara manusiawi, ia merupakan pengancam apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa.
Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana penal oleh beberapa pakar kriminologi disebut juga dengan cara represif. Tindakan represif menitikberatkan pada upaya pemberantasan/penindasan/penumpasan sesudah kejahatan terjadi yaitu dengan dijatuhkannya sanksi pidana.28
b. Teori Pertanggungjawaban Pidana
Teori tanggungjawab hukum dalam bahasa Inggris disebut dengan The theory of legal liability, dan bahasa Belandanya disebut de theorie van wettelijkeaanspraakelijkheid merupakan teori yang menganalisis tentang tanggungjawab subjek hukum atau pelaku yang telah melakukan perbuatan melawan hukum atau perbuatan pidana sehingga menimbulkan kerugian atau cacat, atau matinya orang lain. Adapun tiga unsur dalam teori pertanggungjawaban hukum meliputi:29
a) Teori
b) Tanggungjawab
27Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, (Jakarta: CV. Ananta, 1991), hlm. 31.
28Soedjono Dirdjosisworo, Ruang Lingkup Kriminologi, (Bandung: Remaja Karya, 1987), hlm.
28.
29H. Salim dan Erlies Septiana Nurbani, Buku Kedua : Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Disertasi dan Tesis, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2015), hlm. 207
c) Hukum
Tanggungjawab hukum dapat dikategorikan dalam tiga bidang diantaranya:
a) Perdata b) Pidana c) Administrasi
Di dalam bidang pidana, pelaku dapat dimintai pertanggungjawaban pidana karena pelaku melakukan perbuatan pidana. Bentuk pertanggungjawaban yang dibebankan kepada pelaku yang melakukan perbuatan pidana, yaitu penjatuhan sanksi pidana. Sanksi pidana dibagi menjadi dua jenis yaitu:
a) Pidana pokok b) Pidana tambahan
Lahirnya pertanggungjawaban pidana atas dasar kesalahan atau liability on foult or negligence atau juga foult liability, merupakan reaksi atas model pertanggungjawaban mutlak atau strict liability yang berlaku pada zaman dahulu.
Dalam perkembangannya, hukum mulai memenuhi perhatian lebih besar pada hal-hal yang bersifat pemberian maaf (execulpatory considerations) dan sebagai akibat pengaruh moral philosophy dari ajaran agama, cenderung mengarah pada pengakuan kesalahan moral (moral culpability) sebagai dasar yang tetap untuk perbuatan melawan hukum, maka prinsip tanggungjawab mutlak sebagai suatu hukuman yang diperlukan untuk menghindarkan perbuatan balas dendam kemudian berubah menjadi tanggungjawab yang didasarkan pada adanya unsur kesalahan. Disamping ajaran moral ini, faktor lain yang juga penting dalam proses perubahan sikap ini
adalah adanya anggapan masyarakat bahwa kerugian sebagai akibat dari suatu kesalahan (negligence) tidak berarti kurang penting dari pada kerugian akibat dari suatu kesengajaan. Adapun yang termasuk dalam pengertian kesalahan adalah baik perbuatan yang disengaja maupun kelalaian, maka dengan demikian yang semula merupakan tanggungjawab secara moral (moral responsibility) berubah menjadi tanggungjawab secara hukum (legal liability).
Strict liability adalah pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault). Hal itu berarti bahwa si pembuat sudah dapat dipidana jika ia telah melakukan perbuatan sebagaimana telah dirumuskan dalam Undang-Undang tanpa melihat bagaimana sikap batinnya.
Strict liability pada awalnya berkembang dalam praktik peradilan di Inggris.
Sebagian hakim berpendapat asas mens-rea tidak dapat dipertahankan lagi untuk setiap kasus pidana. Adalah tidak mungkin apabila tetap berpegang teguh pada asas mens rea untuk setiap kasus pidana dalam ketentuan Undang-Undang modern sekarang ini. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan untuk menerapkan strict liability terhadap kasus-kasus tertentu. Praktek peradilan yang menerapkan strict liability itu ternyata mempengaruhi legislatif dalam membuat Undang-Undang.30
30Johny Krisnan, “Sistem Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Pemabaharuan Hukum Pidana Nasional”, (Semarang : Tesis, Program Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, 2008), hlm. 65. Lihat juga : Djoko Prakoso, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Edisi Pertama, (Yogyakarta : Liberty, 1987), hlm. 75.
Doktrin strict liability dalam hukum pidana dikemukakan oleh Roeslan Saleh yang menyatakan bahwa31 :
“…dalam praktik pertanggungjawaban pidana menjadi lenyap jika ada salah satu keadaan-keadaan yang memaafkan. Praktek pula melahirkan aneka macam tingkatan keadaan-keadaan menilai yang dapat menjadi syarat ditiadakannya pengenaan pidana, sehingga dalam perkembangannya lahir kelompok kejahatan yang untuk pengenaan pidananya cukup dengan strict liability. Yang dimaksud dengan ini adalah adanya kejahatan yang dalam terjadinya itu keadaan mental terdakwa adalah tidak mengetahui dan sama sekali tidak bermaksud untuk melakukan suatu perbuatan pidana. Sungguhpun demikian, dia dipandang tetap bertanggung jawab atas terjadinya perbuatan yang terlarang itu, walaupun dia sama sekali tidak bermaksud untuk melakukan suatu perbuatan yang ternyata adalah kejahatan. Biasanya ini adalah untuk kejahatan-kejahatan kecil atau pelanggaran. Oleh beberapa penulis perbuatan pidana ini tidak dipandang sebagai perbuatan pidana dalam arti sebenarnya. Ia telah harus dipertanggungjawabkan hanya karena dipenuhinya unsur-unsur delik oleh perbuatannya, tanpa memeriksa keadaan mentalnya sebagai keadaan yang dapat meniadakan pengenaan pidana”.
Untuk mengkaji Teori pertanggung jawaban berdasarkan unsur kesalahan diperlukan mengetahui teori kesalahan terlebih dahulu. Menurut Roeslan Saleh, dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk pertanggungjawaban. Perbuatan pidana menurut Roeslan Saleh, menyatakan bahwa : “Orang yang melakukan perbuatan pidana dan memang mempunyai kesalahan merupakan dasar adanya pertanggungjawaban pidana”. Asas yang tidak tertulis mengatakan “Tidak ada pidana jika tidak ada kesalahan”, merupakan dasar dari pada dipidananya si pembuat/pelaku.32
31Ibid
32Ibid. hlm.65
Seseorang melakukan kesalahan, menurut Prodjohamidjojo, jika pada waktu melakukan delict, dilihat dari segi masyarakat patut dicela. Dengan demikian, menurut seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal, yaitu:33
1. “Harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau dengan kata lain, harus ada unsur melawan hukum, jadi harus ada unsur objektif; dan
2. Terhadap pelakunya ada unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan atau kealpaan, sehingga perbuatan yang melawan hukum tersebut dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, jadi ada unsur subjektif”.
Perbuatan pidana memiliki konsekuensi pertanggungjawaban serta penjatuhan pidana, maka setidaknya ada 2 (dua) alasan mengenai hakikat kejahatan, yaitu:34
1) “Pendekatan yang melihat kejahatan sebagai dosa atau perbuatan yang tidak senonoh yang dilakukan manusia lainnya;
2) Pendekatan yang melihat kejahatan sebagai perwujudan dari sikap dan pribadi pelaku yang tidak normal sehingga ia berbuat jahat”.
Kedua pendekatan ini berkembang sedemikian rupa bahkan diyakini mewakili pandangan-pandangan yang ada sep utar pidana dan pemidanaan. Dari sinilah kemudian berbagai perbuatan pidana dapat dilihat sebagai perbuatan yang tidak muncul begitu saja, melainkan adalah hasil dari refleksi dan kesadaran manusia hanya saja perbuatan tersebut telah menimbulkan kegoncangan sosial di masyarakat.
33Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1997), hlm. 31.
34Andi Matalatta, “Santunan Bagi Korban” dalam JE. Sahetapy (Ed.), Victimology Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1987), hlm. 41-42.
Di dalam hal kemampuan bertanggung jawab bila dilihat dari keadaan batin orang yang melakukan perbuatan pidana merupakan masalah kemampuan bertanggungjawab dan menjadi dasar yang penting untuk menentukan adanya kesalahan, yang mana keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana haruslah sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan normal, sebab karena orang yang normal, sehat inilah yang dapat mengatur tingkah lakunya sesuai dengan ukuran- ukuran yang dianggap baik oleh masyarakat.35
Sementara bagi orang yang jiwanya tidak sehat dan normal, maka ukuran- ukuran tersebut tidak berlaku baginya tidak ada gunanya untuk diadakan pertanggungjawaban, sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Bab III Pasal 4 KUHP, yang menyatakan bahwa :
1) “Barang siapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh dihukum.
2) Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya karena sakit berubah akal maka hakim boleh memerintahkan menepatkan di rumah sakit gila selama-lamanya satu Tahun untuk diperiksa.
3) Yang ditemukannya dalam ayat di atas ini, hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri”.
35I Gusti Bagus Sutrisna, “Peranan Keterangan Ahli Dalam Perkara Pidana (Tinjauan Terhadap Pasal 44 KUHP)”, dalam Andi Hamzah (Ed.), Bunga Rampai Hukum Pidana Dan Acara Pidana, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1986), hlm. 78.
Kemampuan bertanggungjawab sebenarnya tidak secara terperinci ditegaskan oleh Pasal 44 KUHP. Hanya ditemukan beberapa pandangan para sarjana, misalnya Van Hammel yang mengatakan bahwa :“Orang yang mampu bertanggungjawab harus memenuhi setidak-tidaknya 3 (tiga) syarat, yaitu :
1. Dapat menginsafi (mengerti) makna perbuatannya dalam alam kejahatan;
2. Dapat menginsafi bahwa perbuatannya dipandang tidak patut dalam pergaulan masyarakat;
3. Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya terhadap perbuatan tadi”.36 Sementara itu, secara lebih tegas, Simmons mengatakan bahwa mampu bertanggungjawab adalah mampu menginsafi sifat melawan hukumnya perbuatan dan sesuai dengan keinsafan itu menentukan kehendaknya. Adapun menurut Sutrisna, untuk adanya kemampuan bertanggungjawab maka harus ada 2 (dua) unsur, yaitu:37
1) “Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan buruk, yang sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum;
2) Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi”.
Menurut Jonkers, ketidakmampuan bertanggungjawab dengan alasan masih muda usia tidak bisa didasarkan pada Pasal 44 KUHP, yang disebutkan tidak mampu bertanggungjawab adalah alasan penghapusan pidana yang umum yang dapat
36I Gusti Bagus Sutrisna, dalam Andi Hamzah, Op.cit., hlm. 79.
37Ibid. hal. 83
disalurkan dari alasan-alasan khusus seperti tersebut dalam Pasal 44, 48, 49, 50 dan 51. Jadi, bagi Jonkers, orang yang tidak mampu bertanggungjawab itu bukan saja karena pertumbuhan jiwanya yang cacat atau karena gangguan penyakit, tetapi juga karena umurnya masih muda, terkena hipnotis dan sebagainya.38
Selain strict liability, ada dikenal juga teori pertanggung jawaban berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau liability based on fault) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, khususnya Pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini dipegang secara teguh. Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya.
Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu:
a. adanya perbuatan;
b. adanya unsur kesalahan;
c. adanya kerugian yang diderita;
d. adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.
Yang dimaksud kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum.
Pengertian hukum tidak hanya bertentangan dengan Undang-Undang tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat.
38Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Dua Pengertian Dalam Hukum Pidana, (Jakarta : Aksara Baru, 1983), hal. 83.
2. Kerangka Konsep
a. Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut, selanjutnya menurut wujudnya atau sifatnya tindak pidana itu adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum dan juga merugikan masyarakat dalam arti bertentangan dengan atau menghambat dari terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dapat disimpulkan bahwa suatu perbuatan akan menjadi tindak pidana, apabila perbuatan itu melawan hukum, merugikan masyarakat, dilarang oleh aturan pidana dan pelakunya diancam dengan pidana.39
b. Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan,atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga40.
c. Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga41
39Moelyanto, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 54
40Pasal 1 UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT)
41Pasal 1 Butir 3 UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT)
d. Anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 1 Butir 1 menyebutkan bahwa Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) Tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.42
e. Orang tua kandung adalah ayah dan/atau ibu seorang anak, baik melalui hubungan biologis maupun sosial. Umumnya, orang tua memiliki peranan yang sangat penting dalam membesarkan anak, dan panggilan ibu/ayah dapat diberikan untuk perempuan/pria yang bukan orang tua kandung (biologis) dari seseorang yang mengisi peranan ini43.
f. Perlindungan Anak menurut Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.44
g. Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili (Pasal 1 butir 8 KUHAP). Sedangkan istilah hakim artinya orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau Mahkamah; Hakim juga berarti pengadilan, jika orang berkata “perkaranya telah diserahkan kepada Hakim”. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan
42Lihat Pasal 1 butir 1 UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
43https://id.wikipedia.org/wiki/Orang_tua, diakses pada tanggal 27 Juni 2018, Pukul 21.00 WIB
44Lihat Pasal 1 butir 2 UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselengaranya negara hukum Republik Indonesia (Pasal 24 UUD 1945 dan Pasal 1 UUD No.48/2009). Berhakim berarti minta diadili perkaranya; menghakimi artinya berlaku sebagai hakim terhadap seseorang; kehakiman artinya urusan hukum dan pengadilan, adakalanya istilah hakim dipakai terhadap seseorang budiman, ahli dan orang yang bijaksana.
G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Sesuai dengan karakteristik rumusan permasalahan dalam penelitian ini, jenis penelitian ini tergolong pada penelitian yuridis normatif45 dengan mengacu kepada norma-norma hukum yang berlaku di Negara Republik Indonesia serta sumber- sumber hukum lain yang diakui oleh Negara Hukum Indonesia.
Pendekatan Yuridis Normatif (Doktrinal) adalah pendekatan yang memandang hukum sebagai doktrin atau seperangkat aturan yang bersifat normatif (law in book).
Pendekatan ini dilakukan melalui upaya pengkajian atau penelitian hukum kepustakaan.46
2. Sifat Penelitian
45Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Bayumedia,Surabaya, 2008), hlm. 295
46Soerjono Soekanto dan Sri Mamudi, Metode Penelitian Hukum, ( Jakarata, UI Perss, 1986) , Hlm. 27
Sifat penelitian ini deskriptif analisis, yaitu metode yang dipakai untuk menggambarkan suatu kondisi atau keadaan yang sedang terjadi atau berlangsung yang tujuannya agar dapat memberikan data seteliti mungkin mengenai objek penelitian sehingga mampu menggali hal-hal yang bersifat ideal, kemudian dianalisis berdasarkan teori hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.47 Dalam penelitian ini, diuraikan hal-hal yang berkaitan dengan penerapan peraturan perundang-undangan yang berhubungan kekerasan terhadap anak-anak.
3. Bahan Hukum
Penelitian ini menggunakan sumber data sekunder48 sebagai sumber data utama, yang dilengkapi dengan sumber data primer sebagai pendukung. Lazimnya sebuah penelitian hukum normatif, sumber data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan (library research), baik dalam bentuk bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tertier sebagai data utama atau data pokok penelitian. Bahan-bahan hukum tersebut diperoleh dari perpustakaan, yang terdiri dari:
a. Bahan hukum primer, terdiri dari Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009..Tentang
47Ronny Hanitijio Soemitro,Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri (Jakarta : Ghalia Indonesia,1994), hlm. 9.
48Jhony Ibrahim, Op.cit. , hlm.. 268-269.