• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI ANALISIS EFEKTIVITAS MANFAAT PKH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB VI ANALISIS EFEKTIVITAS MANFAAT PKH"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

6.1 Efektivitas Manfaat PKH

Dalam subbab ini, dipaparkan dua hal utama. Beberapa hal yang berhubungan dengan efektivitas manfaat PKH tersebut adalah (1) definisi dan ukuran efektivitas manfaat PKH dalam penelitian serta (2) efektivitas manfaat PKH RTSM responden di Kelurahan Balumbang Jaya.

6.1.1 Definisi dan Ukuran Efektivitas Manfaat PKH dalam Penelitian Pada Subbab Perumusan Masalah, telah disebutkan bahwa salah satu tujuan Studi “Analisis Gender dalam PKH di Kelurahan Balumbang Jaya” ini adalah mengkaji hubungan antara tipe pengambilan keputusan RTSM untuk alokasi dana PKH dengan efektivitas manfaat PKH. Sebelum membahas bagaimana hubungan tersebut, perlu dibahas terlebih dulu mengenai definisi dan ukuran efektivitas manfaat PKH yang digunakan dalam penelitian ini.

Efektivitas manfaat PKH mengacu kepada tingkat keberhasilan program dalam membantu proses pemenuhan kebutuhan kesehatan dan pendidikan RTSM, yang dilihat dari alokasi dana bantuan PKH oleh RTSM responden di Kelurahan Balumbang Jaya. Dengan kata lain, seberapa banyak jumlah (rupiah) yang dikeluarkan dari dana PKH dalam rumah tangga dan hal tersebut yang mengindikasikan seberapa tinggi tingkat ketercapaian pemenuhan kebutuhan kesehatan. Selanjutnya, tingkat ketercapaian pemenuhan kebutuhan kesehatan RTSM ini menunjukkan seberapa jauh (tingkat) keberhasilan PKH dalam membantu proses pemenuhan kebutuhan kesehatan.

Kebutuhan kesehatan RTSM responden peserta PKH mencakup kesehatan bagi bayi, balita, dan ibu hamil/melahirkan/yang berada dalam masa nifas. Aspek apa saja yang harus terpenuhi telah tertuang (diatur) dalam juklak PKH (Pedoman Operasional PKH bagi Pemberi Pelayanan Kesehatan, 2008). Komponen kesehatan bagi bayi dan balita yang harus terpenuhi adalah (1) ditimbang berat badannya dan (2) mendapatkan vitamin A 200.000 IU sebanyak dua kali dalam rentang waktu satu tahun. Sementara itu, kebutuhan kesehatan bagi ibu

(2)

hamil/melahirkan/yang berada dalam masa nifas adalah (1) diperiksa kesehatan diri dan janin, (2) mendapatkan vitamin, (3) dibantu persalinannya oleh tenaga medis, (4) mendapatkan obat-obatan terutama jika sedang sakit, serta (4) diperiksa kesehatannya sesuai dengan kondisi yang dialami (apakah sedang dalam masa kehamilan, akan mengalami proses persalinan, atau sedang berada dalam masa nifas).

Adapun kebutuhan pendidikan RTSM, meliputi keperluan pendidikan untuk anak usia sekolah. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan anak usia sekolah adalah orang-orang yang berusia 6−18 tahun yang belum dan harus mengikuti (menamatkan) proses wajib belajar 9 tahun. Item (jenis) kebutuhan pendidikan apa saja yang harus dipenuhi oleh RTSM responden tidak tertuang dalam juklak Pedoman Operasional PKH bagi Pemberi Pelayanan Pendidikan (2008). Oleh karena itu, penulis merinci sendiri item apa saja yang pada umumnya menjadi kebutuhan pendidikan (sekolah) anak. Berbagai jenis kebutuhan itu, antara lain (1) uang pangkal, (2) Lembar Kerja Siswa (LKS), (3) seragam/sepatu/tas, (4) alat tulis (buku/pensil/penghapus/penggaris/pulpen), (5) uang jajan, (6) uang bayaran SPP, (7) bayaran ekstrakulikuler, dan (8) iuran/sumbangan ke sekolah.

Terkait dengan ukuran efektivitas manfaat PKH, penulis mengkategorikan ukuran tersebut ke dalam dua kelompok. Jenis-jenis ukuran efektivitas manfaat PKH yang digunakan dalam studi ini berupa efektivitas (1) rendah serta (2) tinggi.

Sebelum membahas kedua jenis efektivitas ini, perlu diketahui bahwa ada dua tipe RTSM responden yang ditemukan dalam penelitian ini. Ada RTSM responden yang hanya mendapatkan dana bantuan PKH untuk kebutuhan pendidikan (RTSM responden komponen pendidikan) dan terdapat pula RTSM yang memperoleh dana untuk keperluan kesehatan serta pendidikan (RTSM responden komponen gabungan). Rumah tangga responden komponen pendidikan hanya memiliki anak usia sekolah, sedangkan RTSM komponen gabungan tentunya memiliki anak usia sekolah dan anak bayi/balita.

Dana bantuan PKH diberikan berdasarkan kondisi RTSM responden.

Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) yang memiliki anak usia SD diberikan dana sebesar Rp. 400.000,00 (empat ratus ribu rupiah). Rumah tangga responden peserta PKH yang memiliki anak usia SMP diberikan uang bantuan Rp.

(3)

800.000,00 (delapan ratus ribu rupiah). Sementara itu, RTSM responden yang memiliki anak bayi/balita diberikan bantuan sebesar Rp. 800.000,00 (delapan ratus ribu rupiah). Setiap RTSM peserta PKH, baik rumah tangga komponen pendidikan maupun gabungan, mendapatkan dana bantuan tetap dari pemerintah sebanyak Rp. 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah).

Ada dua ukuran efektivitas manfaat PKH bagi RTSM responden komponen pendidikan. Pertama, efektivitas rendah. Rumah tangga peserta PKH dikatakan memiliki efektivitas rendah, jika penggunaan dana bantuan PKH untuk kebutuhan sekolah anak ≤90 (kurang dari/sama dengan sembilan puluh) persen.

Kedua, efektivitas tinggi. Rumah tangga responden dikategorikan seperti ini, bila pemanfaatan dana PKH untuk keperluan pendidikan anak >90 (lebih besar dari sembilan puluh) persen.

Berkenaan dengan ukuran efektivitas manfaat PKH bagi RTSM responden komponen gabungan, terdapat dua ukuran pula. Pertama, efektivitas rendah.

Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) peserta PKH dikatakan memiliki efektivitas rendah, apabila skor kesehatan sama dengan 2 (dua) dan penggunaan dana bantuan PKH untuk kebutuhan sekolah anak ≤90 persen. Kedua, efektivitas tinggi. Rumah tangga responden dikategorikan seperti ini, jika skor kesehatan sama dengan 2 serta penggunaan dana PKH bagi keperluan sekolah anak >90 persen. Dalam penelitian ini, semua bayi/balita pada RTSM responden komponen gabungan memang ditimbang berat badannya dan mendapatkan vitamin A 200.000 IU sebanyak dua kali dalam periode satu tahun. Hal ini mengapa skor kesehatan RTSM tersebut bernilai dua.

Pada kedua jenis RTSM responden, terdapat persamaan yang dilakukan oleh penulis dalam proses penghitungan alokasi dana PKH untuk menentukan tingkat efektivitas manfaat PKH. Setiap item kebutuhan diberikan keterangan berupa harga, yang tentunya dilakukan berdasarkan jawaban RTSM responden.

Harga-harga itu kemudian dijumlah (ditotal). Hasilnya dibagi dengan jumlah dana PKH yang diterima. Selanjutnya, hasil tersebut dikali dengan 100% (seratus persen).

(4)

6.1.2 Efektivitas Manfaat PKH RTSM Responden di Kelurahan Balumbang Jaya

Terkait dengan alokasi dana PKH dalam rumah tangga, penulis menemukan sebuah hasil yang menunjukkan bagaimana efektivitas manfaat PKH RTSM responden. Efektivitas manfaat PKH di Kelurahan Balumbang Jaya ternyata cenderung “tinggi”. Ada sekitar 75 persen RTSM responden yang termasuk ke dalam kategori ini. Sisanya, lebih kurang 24 persen, merupakan rumah tangga responden yang berada dalam kelompok efektivitas “rendah”.

Pada RTSM responden komponen pendidikan, terlihat dua hal utama Pertama, rumah tangga responden komponen pendidikan dikategorikan efektivitas “tinggi”, karena penggunaan dana PKH bagi keperluan sekolah anak

>90 persen. Kedua, RTSM peserta PKH memiliki efektivitas “rendah”, karena pemanfaatan dana bantuan PKH untuk kebutuhan pendidikan anak ≤90 persen.

Ada dua hal utama pula yang terlihat pada RTSM responden komponen gabungan. Pertama, efektivitas “tinggi”. Rumah tangga responden dikategorikan seperti ini, karena skor kesehatan sama dengan 2 serta penggunaan dana PKH bagi keperluan sekolah anak >90 persen. Kedua, efektivitas “rendah”. Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) peserta PKH dikatakan memiliki efektivitas

“rendah”, karena skor kesehatan sama dengan 2 dan penggunaan dana bantuan PKH untuk kebutuhan sekolah anak ≤90 persen.

Perlu diketahui bahwa dalam penelitian ini, semua bayi/balita pada RTSM responden komponen gabungan memang ditimbang berat badannya dan mendapatkan vitamin A 200.000 IU sebanyak dua kali dalam periode satu tahun.

Hal ini mengapa skor kesehatan RTSM tersebut bernilai dua.

6.2 Analisis Tipe Pengambilan Keputusan RTSM untuk Alokasi Dana PKH

Pada subbab ini, dipaparkan mengenai dua hal yang sangat erat kaitannya dengan tipe pengambilan keputusan RTSM untuk alokasi dana PKH. Pertama, definisi dan tipe pengambilan keputusan rumah tangga. Kedua, hubungan antara tipe pengambilan keputusan RTSM responden untuk alokasi dana PKH dengan efektivitas manfaat PKH.

(5)

6.2.1 Definisi dan Tipe Pengambilan Keputusan Rumah Tangga

Proses pengambilan keputusan berkaitan erat dengan kekuasaan dan pembagian kerja. Hal ini karena, kekuasaan sendiri dinyatakan sebagai kemampuan untuk mengambil keputusan yang mempengaruhi kehidupan keluarga (Pudjiwati, 1985). Pengambilan keputusan ini bisa tersebar dengan sama nilainya (equally) atau tidak sama nilainya (khususnya antara suami dan isteri). Adapun pembagian kerja, merujuk kepada pola peranan yang ada dalam keluarga dimana khususnya suami dan isteri melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu. Kombinasi dari kedua aspek itu (kekuasaan dan pembagian kerja), menurut Blood dan Wolfe dalam Pudjiwati (1985), adalah hal yang paling mendasar dalam keluarga, yang dipengaruhi pula oleh posisi keluarga di lingkungan atau masyarakatnya.

Pudjiwati (1985) mengungkapkan peranan perempuan di dalam dan luar rumah tangga sebagai pengambil keputusan pada berbagai bidang kehidupan cukup bervariasi. Bentuk-bentuk peranan ini berupa (1) keputusan oleh perempuan sendiri sebagai isteri; (2) tidak oleh isteri, artinya oleh suami sendiri;

(3) suami dan isteri bersama-sama dengan pengaruh isteri paling besar atau suami terbesar; serta (4) bersama–setara (kesalingtergantungan suami dan isteri).

Ada kondisi dimana suatu hubungan antara pria dan wanita menunjukkan distribusi kekuasaan yang seimbang (balanced power), tapi ada kesalingtergantungan yang kuat antara pria dan wanita. Dalam hal ini, tidak ada hubungan yang saling mendominir. Sementara itu, terdapat pula hubungan antara pria dengan wanita yang menunjukkan hierarki dalam kekuasaan. Artinya bahwa distribusi kekuasaan antara pria dan wanita tidak seimbang. Untuk hal ini, salah satu pihak atau jenis kelamin memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari yang lain dan mendominasinya (Rogers, 1978 dalam Pudjiwati, 1985).

Berkaitan dengan penelitian ”Analisis Gender dalam PKH di Kelurahan Balumbang Jaya” ini, tipe pengambilan keputusan RTSM untuk alokasi dana PKH diartikan sebagai siapa diantara suami dan isteri yang memiliki kekuasaan (kontrol) dalam segala keputusan mengenai pengeluaran/penggunaan dana PKH.

Karena dana PKH ditujukan untuk kebutuhan kesehatan dan pendidikan rumah tangga, dimana kedua kebutuhan itu merupakan wilayah domain isteri, proses

(6)

pengambilan keputusan yang diasumsikan dalam penelitian ini terdiri atas (1) dominasi oleh isteri dan (2) setara.

Ada sejumlah item kebutuhan kesehatan dan pendidikan. Berbagai item itu diberikan keterangan ”didominasi oleh isteri” atau ”setara”, yang tentunya dilakukan berdasarkan jawaban RTSM responden. Selanjutnya, dihitung berapa item yang ”didominasi oleh isteri” dan ”setara”. Jumlah terbesar menunjukkan

tipe pengambilan keputusan RTSM untuk alokasi dana PKH. Karena kebutuhan kesehatan dan pendidikan berada di wilayah kekuasaan isteri, dominasi oleh isteri terhadap alokasi dana PKH diasumsikan mampu menjadikan manfaat PKH cenderung efektif. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa suami juga merupakan bagian dari rumah tangga (orang tua si Anak). Untuk itu, perlu dilihat pula bagaimana peran suami dalam proses pengalokasian dana PKH. Saat suami−isteri telah setara (bertukar pikiran, berdiskusi, dan memutuskan bersama), penulis menduga manfaat PKH dapat menjadi lebih efektif.

6.2.2 Hubungan Tipe Pengambilan Keputusan RTSM Responden untuk Alokasi Dana PKH dengan Efektivitas Manfaat PKH

Studi ini menunjukkan bahwa tipe pengambilan keputusan RTSM untuk alokasi dana PKH mempengaruhi efektivitas manfaat PKH. Pada RTSM dengan tipe pengambilan keputusan yang “setara”, efektivitas manfaat PKH cenderung

“tinggi”. Sementara itu, pada RTSM responden yang memiliki tipe pengambilan keputusan “didominasi oleh salah satu pihak”, efektivitas manfaat PKH cenderung

“rendah”. Dalam penelitian ini, “dominasi oleh salah satu pihak” mengarah kepada “dominasi isteri” pada setiap pilihan (keputusan) terkait dengan penggunaan/pemanfaatan dana bantuan PKH.

Sebagai contoh tipe pengambilan keputusan yang “setara”, efektivitas manfaat PKH yang “tinggi” terjadi karena suami−isteri berdiskusi dan menyepakati bersama bagaimana alokasi dana. Mulai dari kebutuhan (anak) apa saja yang harus dibeli hingga pemilihan harganya. Ada kebutuhan yang harganya telah ditentukan oleh pihak sekolah sehingga tidak dapat ditawar (LKS dan renovasi sekolah). Pada periode Februari 2009 sampai dengan Februari 2010, LKS dibeli sebanyak dua kali dimana harganya adalah Rp. 40.000,00 (empat

(7)

puluh ribu rupiah) setiap kali pembelian. Hal ini berarti bahwa dalam periode tersebut, pembelian LKS menghabiskan dana sebesar Rp. 80.000,00 (delapan puluh ribu rupiah). Renovasi sekolah sendiri dimintai uang sebanyak Rp.

30.000,00 (tiga puluh ribu rupiah) dan biaya ini hanya dikeluarkan satu kali selama periode Februari 2009 hingga Februari 2010.

Selanjutnya, uang saku anak menghabiskan dana lebih kurang Rp.

1.200.000,00 (satu juta dua ratus ribu rupiah) selama satu tahun. Anak tersebut yang meminta uang sebesar Rp. 5.000,00 (lima ribu rupiah) tiap hari sekolah.

Buku tulis sebanyak satu pak selama satu tahun menelan biaya sekitar Rp.

180.000,00 (seratus delapan puluh ribu rupiah), sedangkan pensil Rp. 120.000,00 (seratus dua puluh ribu rupiah). Harga buku dan pensil memang ditentukan oleh penjual, namun RTSM responden mencari buku dan pensil dengan harga yang lebih murah. Infaq Jumat selama periode Februari 2009 hingga Februari 2010 rata-rata sebesar Rp. 48.000,00 (empat puluh delapan ribu rupiah). Adapun biaya rekreasi (ekstrakulikuler) anak selama periode tersebut lebih kurang Rp.

240.000,00 (dua ratus empat puluh ribu rupiah).

Berdasarkan rincian penggunaan dana bantuan PKH tersebut, terlihat bahwa pada jangka waktu Februari 2009 sampai dengan Februari 2010, lebih dari 90 persen dana PKH digunakan untuk kebutuhan pendidikan anak. Di bawah ini merupakan ungkapan RTSM bernomor 28 (dua puluh delapan), yaitu BS dan PS:

(BS)“Kalo’ yang PKH, ya bener-bener untuk Balia sama Surya.

LKS aja empat puluh dua semester, harga mati dari sananya, sekolah Neng. Kalau uang jajan, sepakatnya Ibu sama bapak sama si Balia juga, cuma lima ribu tiap hari. […]”.

(PS) “Buku tulis satu paknya lima belas ribu tiap bulan. Infaq Jum’ at seribu tiap nyumbangnya. Kita juga orang susah, tapi ya enggak apa-apah nyumbang dikit. Anak juga setuju. Susu si Bontot tiap minggu dua puluh ribu, Neng! Sepakat beli yang murah aja, tapi juga yang cocok. Kuat bangeeeeeet nyusu’ nya! Udah gitu, yang repotnya, enggak bisa sembarangan susu. Mencret-mencret. Aduuuuuuh, repot Neng si kecil! (Tertawa). Terus ada renopasi sekolah, dimintain tiga puluh. Pas Ibu sama bapak ada rejeki, ya udah. Lagian kita juga yang malu kalau sekolaan anak jelek. Apalagi ya?? Ituh, apah, emmm renang! Kan anak suka minta di ahir bulan. Bapak atau ibu aja yang nganter, bayar dua puluh ribu. Dari sana harganya, Neng. Enggak semuanya masuk ah, bayarnya enggak kuat! (Tertawa). Sama pensil langsung beli satu pak, pokoknya tiap bulan sepuluh ribuan”.

(8)

Ada beberapa alasan mengapa RTSM membuat keputusan secara bersama- sama. Secara ringkas, berbagai latar belakang itu adalah (1) ingin saling menghargai, (2) menghindari tindakan boros, (3) menghormati hak anak, serta (4) adanya opini bahwa antara suami dengan isteri memang harus ada keterbukaan dan kata sepakat bersama. Kebersamaan dalam pembuatan berbagai keputusan rumah tangga, termasuk terhadap alokasi dana PKH, dipercaya dapat mengakibatkan setiap pilihan yang diambil menjadi tepat sasaran dan tepat guna.

Hal ini dapat dilihat dari pernyataan BS dan PS, yaitu:

(BS) “Berdua, Neng. Sebelum beli kan ngomog-ngomong dulu.

Baru sepakatnya gimana, jadi sama-sama setuju dari awal. Disepakati supaya enggak boros, sepakat beli yang murah ajah”.

(PS) “(Tertawa), si Eneng bisa’ ajah! Alhamdulillah enggak ada.. Karna sama-sama mau saling ngobrol, terbuka, setujunya apah, jadi enggak rahasia-rahasiaan. Enggak ada yang mau menang sendiri.

(Tertawa)”.

Adapun pada RTSM responden yang bertipe pengambilan keputusan

“didominasi oleh salah satu pihak” dan efektivitas manfaat PKH yang “rendah”, dapat dilihat dari kondisi salah satu RTSM responden. Pada RTSM dengan tipe pengambilan keputusan yang “didominasi oleh salah satu pihak” ini, pengeluaran untuk makan sehari-hari sebesar Rp. 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah), uang saku anak tertua (SMP) sebanyak Rp. 3.000,00 (tiga ribu rupiah), dan uang saku anak SD sebesar Rp. 1.000,00 (seribu rupiah). Kebutuhan yang benar-benar menyentuh keperluan pendidikan adalah uang saku anak. Jumlah uang saku anak tertua dalam satu tahun (Februari 2009 sampai dengan Februari 2010) rata-rata sebesar Rp.

720.000,00 (tujuh ratus dua puluh ribu rupiah), sedangkan untuk anak SD sebanyak Rp. 240.000,00 (dua ratus empat puluh ribu rupiah).

Berdasarkan rincian alokasi dana PKH tersebut, dapat disimpulkan bahwa dari Rp. 1.400.000,00 (satu juta empat ratus ribu rupiah) dana yang diterima, hanya terpakai Rp. 960.000,00 (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah). Sisa dana ini adalah Rp. 440.000,00 (empat ratus empat puluh ribu rupiah). Dengan kata lain, tidak lebih dari 90 persen bantuan PKH yang benar-benar digunakan untuk

(9)

kebutuhan pendidikan anak. Berikut penuturan RTSM responden yang bertipe efektivitas “rendah” tersebut:

“Paling banyak sepuluh ribu. Jajannya Andi kayaknya tiga ribu tiap hari, ade’ nya seribu aja. […]”. (RTSM 3: BA; 38 tahun)

Masih terkait dengan tipe pengambilan keputusan seputar alokasi dana PKH yang “didominasi oleh isteri”, RTSM responden lainnya memberikan keterangan. Berikut ini ungkapan RTSM nomor 30 (tiga puluh):

“Ibu! Bapak enggak tau berapanya, buat apa aja, pokoknya apa-apa Ibu aja sendiri. Ibu sih ngasih tau berapanya, buat apa aja.

Tapi, yaaa cuma gitu aja, enggak ada tanggepan apa-apa. Padahal, kadang kan kita butuh juga buat bareng-bareng. Ya kadang kan suka bingung duit mau diapain, dibeliin apa. Jadinya, ya gitu. Ibu sih sekiranya aja, ni duit mau diapain, apa ya yang lagi dibutuhin buat dibeli. Habiiis, kata suami, itu kan urusan isteri. Ya emang bener sih.

Kalau Ibu sih, ya udah lah. Emang takdirnya gitu, ya Ibu jalanin aja.

Sebaik-baiknya lah ngatur duit untuk keperluan rumah tangga. Kalau yang PKH, ya untuk kebutuhan anak-anak. Tapi, ya itu, kadang suka bingung. Ya gimana sih?? Karena, apa-apa sendiri. Pasti ada bingungnya. Coba kalau bareng, ada temen nanya, ngobrol sama suami gituh, pasti kan lebih enak”. (BS, 31 tahun)

Ungkapan BS menyiratkan sebuah makna terkait dengan permasalahan gender. Penuturan BS memperlihatkan bahwa peran gender dimana isteri dianggap sebagai kaum yang lebih pantas dan mampu mengatur uang, mengurus suami dan rumah tangga, merawat anak, serta mengatur pangan rumah tangga ternyata telah melekat sangat kuat dalam individu kaum perempuan. Oleh karena itu, isteri berusaha untuk mengatur sebaik-baiknya alokasi dana PKH agar kebutuhan kesehatan dan pendidikan anak bisa terpenuhi. Tapi, tidak dapat dipungkiri bahwa isteri membutuhkan suami sebagai teman berdiskusi. Karena kebutuhan akan bertukar pikiran ini tidak terpenuhi, isteri sekiranya saja (menggunakan pikiran dan naluri sendiri) dalam mengalokasikan dana bantuan PKH. Hal ini yang kemudian mengakibatkan efektivitas manfaat PKH menjadi cenderung “rendah”.

Walaupun komponen kesehatan yang disebutkan dalam juklak PKH (2008) hanya mencakup penimbangan berat badan bayi/balita serta pemberian

(10)

vitamin A 200.000 IU, ternyata ada beberapa RTSM responden yang memanfaatkan dana bantuan PKH untuk membeli susu bayi/balita. Secara formal, berdasarkan juklak tersebut, RTSM ini dinyatakan memiliki efektivitas manfaat PKH yang cenderung “rendah”. Tapi, secara informal, rumah tangga responden peserta PKH tersebut dapat masuk ke dalam kategori RTSM dengan tipe efektivitas manfaat PKH yang cenderung “tinggi”. Hal ini karena, susu sebenarnya juga merupakan kebutuhan kesehatan sehingga RTSM yang membeli susu untuk bayi/balitanya (sekali pun tidak ada item tersebut dalam juklak) tidak bisa dipersalahkan.

Kenyataan ini harus dijadikan sebagai bahan koreksi (evaluasi) bagi Departemen Sosial selaku UPPKH pusat. Artinya bahwa juklak PKH harus diperbaharui salah satunya dengan menuliskan secara rinci (jelas) apa saja item yang menjadi kebutuhan kesehatan dan pendidikan RTSM. Hal ini tentunya sangat berguna dalam proses pengalokasian dana bantuan PKH di tingkat rumah tangga.

Baik RTSM tipe efektivitas “rendah” maupun “tinggi”, jika memiliki sisa dana PKH maka uang itu digunakan untuk kebutuhan pangan rumah tangga. Hal ini karena, RTSM responden merupakan rumah tangga yang memang mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Sebagaimana yang diungkapkan oleh RTSM 10, BM (53 tahun):

“Emang enggak bisa semua keperluannya anak-anak kebantu sama PKH. Tapi, ya Ibu sama bapak sih maklum. Kan katanya duit pemerintah juga enggak banyak ya Neng? Belum bisa menuhin semua kebutuhan penduduknya, gitu. (Tertawa). Tapi, ya Alhamdulillah kebantu sama PKH. Alhamdulillah. Hari gini siapa sih yang mau ngasih uang gratis?? Yaaaaa, kalau ada sisa uang sih, yang dari PKH maksudnya, ya dipake’ nya buat makan. Aduh Neng, gimana mau yang lain-lain?? Buat makan sama sekolah anak aja susah. Jadi, ya dua itu dulu aja yang kita utamain mah”.

Berdasarkan pernyataan BM ini, terlihat bahwa dana bantuan PKH benar- benar membantu RTSM responden dalam memenuhi kebutuhan kesehatan dan pendidikan. Banyaknya kebutuhan dan harga yang mahal mengakibatkan tidak semua kebutuhan tersebut dapat dipenuhi dengan mengandalkan bantuan PKH.

Namun, seluruh RTSM responden merasa bahwa dana PKH membantu

(11)

meringankan setengah beban rumah tangga sangat miskin. Rumah tangga responden cenderung patuh dalam penggunaan dana PKH, karena para orang tua ingin anak-anak bisa menikmati manfaat kesehatan dan pendidikan.

Pemanfaatan sisa dana PKH cenderung ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga. Bukan karena RTSM responden tidak peduli terhadap keperluan kesehatan dan pendidikan, tapi rumah tangga tersebut memang selama ini sulit untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari.

Tabel 7 di bawah ini memperlihatkan bagaimana penyebaran jumlah rumah tangga responden menurut tipe pengambilan keputusan untuk alokasi dana PKH dan efektivitas manfaat PKH.

Tabel 7. Distribusi RTSM Responden Berdasarkan Tipe Pengambilan Keputusan “Alokasi Dana PKH” dan Efektivitas Manfaat PKH Efektivitas Manfaat

PKH

Dominasi oleh Isteri Setara Semua Tipe Pengambilan

Keputusan

Rendah 6

(26,09)

1 (16,67)

7 (24,14)

Tinggi 17

(73,91)

5 (83,33)

22 (75,86) 23

(100)

6 (100)

29 (100)

Keterangan: angka di dalam kurung menunjukkan persentase (%).

Jumlah RTSM responden memperlihatkan distribusi sebagai berikut:

1. Pada tipe efektivitas manfaat PKH yang “tinggi”, penyebaran terbesar jumlah RTSM responden berada dijenis kategori pengambilan keputusan seputar alokasi dana PKH yang “setara”, yaitu sekitar 83 persen rumah tangga.

2. Untuk tipe efektivitas manfaat PKH yang “rendah”, penyebaran terbesar jumlah RTSM responden berada dijenis kategori pengambilan keputusan terkait alokasi dana PKH yang “didominasi oleh isteri”, yaitu sekitar 26 persen rumah tangga.

(12)

6.3 Analisis Faktor Pengaruh pada Tipe Pengambilan Keputusan RTSM Responden untuk Alokasi Dana PKH

Dalam penelitian ini, ada dua faktor yang diasumsikan mempengaruhi tipe pengambilan keputusan RTSM untuk alokasi dana PKH. Faktor-faktor tersebut berupa (1) rasio tingkat pendidikan dan (2) status bekerja suami−isteri.

6.3.1 Rasio Tingkat Pendidikan Suami−Isteri

Studi “Analisis Gender dalam PKH di Kelurahan Balumbang Jaya” ini menunjukkan bahwa rasio tingkat pendidikan suami−isteri mempengaruhi tipe pengambilan keputusan RTSM untuk alokasi dana PKH. Pada rumah tangga dengan tipe rasio tingkat pendidikan “salah satu pihak lebih tinggi”, cenderung ada “kesetaraan” dalam kontrol RTSM responden terhadap penggunaan dana PKH. Namun, pada RTSM yang memiliki tipe rasio tingkat pendidikan “suami dan isteri sama-sama rendah”, cenderung terdapat “dominasi oleh isteri” dalam kontrol RTSM terhadap alokasi dana PKH. Dalam hal ini, di lokasi penelitian tidak ditemukan RTSM responden yang memiliki tingkat pendidikan sama-sama tinggi antara suami dan isteri.

Adapun pada RTSM responden dengan tipe rasio tingkat pendidikan

“salah satu pihak lebih tinggi (isteri tidak sama dengan suami/SD−SMP, SD−SMA, dan SMP−SD)”, pengambilan keputusan cenderung “setara”. Kondisi ini menunjukkan isteri dan suami sama-sama berperan dalam mengatur alokasi dana PKH serta tidak ada salah satu pihak yang berpengaruh paling besar. Tingkat pendidikan yang “semakin tinggi” mengakibatkan cara berpikir RTSM responden berubah, yakni cenderung memahami kesetaraan. Walaupun tidak secara tersurat menyebutkan kesetaraan, berbagai alasan rumah tangga responden menunjukkan adanya kesadaran untuk menjunjung kebebasan suami−isteri dalam membuat keputusan seputar alokasi dana PKH.

Secara ringkas, alasan mengapa RTSM responden membuat keputusan secara bersama-sama adalah (1) ingin saling menghargai, (2) menghindari tindakan boros, (3) menghormati hak anak, serta (4) adanya opini bahwa antara suami dengan isteri memang harus ada keterbukaan dan kata sepakat bersama.

Berbagai alasan ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan “salah satu pihak

(13)

yang lebih tinggi” telah mengakibatkan pemikiran RTSM responden tersebut lebih terbuka untuk memahami pentingnya saling menghargai, keterbukaan, dan bertukar pikiran. Isteri memang dianggap lebih telaten mengatur uang. Namun, suami juga dianggap sebagai orang tua si Anak, yang berhak untuk mengambil keputusan dalam hal bagaimana penggunaan dana PKH. Berkenaan dengan hal ini, RTSM responden nomor 28 (dua puluh delapan), BS (SD) dan PS (SMA) mengungkapkan:

(BS)“Berdua, Neng. Sebelum beli kan ngomong-ngomong dulu.

Baru sepakatnya gimana, jadi sama-sama setuju dari awal. Disepakati supaya enggak boros, sepakat beli yang murah ajah”.

(PS)“(Tertawa), si Eneng bisa’ ajah! Alhamdulillah enggak ada. Karna sama-sama mau saling ngobrol, terbuka, setujunya apah, jadi enggak rahasia-rahasiaan. Enggak ada yang mau menang sendiri.

(Tertawa)”.

Masih terkait dengan rasio tingkat pendidikan “salah satu pihak lebih tinggi” dan tipe pengambilan keputusan seputar alokasi dana bantuan PKH yang

“setara”, RTSM responden lainnya memberikan keterangan. Di bawah ini merupakan penuturan rumah tangga nomor 15 (lima belas):

“Kayak tadi, rembukan bareng, Neng. Emang sih, biasanya urusan duit sama rumah sama anak jadi urusannya ibu-ibu. Tapi, Bapak mah enggak mau, enggak setuju ajah. Apa ya?? Iyyaaa, Bapak juga kan orang tuanya anak-anak. Ya kan anak punya kita berdua, suami−isteri maksudnya, jadi ya segalanya ditanggung bareng. Emang seharusnya gitu sih yang namanya rumah tangga, apa-apa bareng. Kecuali urusan dapur, itu mah biarin isteri aja. Emmm, kayaknya lebih pantes gitu masak-masak kalau isteri mah. Tapi, yang lainnya, ya kita bareng.

Emang PKH pas di kantor pos, ya yang ngambil, si Ibu. Tapi, ngeiniinnya, ngaturnya, ya kita bareng. Kadang urusan duit bisa jadi masalah, mau dibeliin apa, lagi butuh apa enggak barang itu. Kalau bareng ngaturnya, ya kan jadi lebih enak. Kalau si Ibu bingung, nanya ke Bapak. Kalau Bapak bingung, nanya ke Ibu. Jadi, enak kalau bareng- bareng. Kalau gimana-gimana kan enggak saling nyalahin juga. Yaaa, kan ditanggung bareng. (PS, tamatan SMA)

Pada jawaban PS, dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan suami yang “tinggi” mengakibatkan kepedulian terhadap segala urusan rumah tangga termasuk bagaimana pengalokasian dana bantuan PKH. PS tidak setuju, kecuali

(14)

dalam hal pangan, akan dominasi isteri terhadap segala urusan dan keputusan rumah tangga. Menurut PS, suami−isteri sama-sama merupakan bagian dari rumah tangga sehingga semua keputusan rumah tangga harus dibuat dan dipertanggungjawabkan bersama. Selain itu, PS beranggapan bahwa diri beliau juga merupakan orang tua dari si Anak sehingga berhak pula untuk mengatur alokasi dana PKH.

Kondisi pada RTSM responden nomor 28 dan 15 tersebut memperlihatkan bahwa jenjang pendidikan sekolah formal yang “tinggi” telah membuka pemahaman suami akan kesetaraan gender. “Hanya perempuan yang pantas atau mampu mengatur uang dan rumah tangga” merupakan peran yang dibentuk oleh sosial−budaya. Tugas seperti ini bukan suatu kodrat (pemberian Tuhan yang tidak bisa dirubah atau dihilangkan) yang melekat dalam diri kaum perempuan.

Sementara itu, rasio tingkat pendidikan “suami−isteri yang sama-sama rendah (SD)” mengakibatkan pengambilan keputusan RTSM untuk alokasi dana PKH cenderung “didominasi oleh isteri”. “Dominasi isteri” terhadap alokasi dana PKH merupakan situasi dimana suami dan isteri sama-sama mengontrol/mengatur/memiliki kekuasaan dalam penggunaan bantuan, tapi sebagian besar power berada ditangan isteri. Dapat pula dikatakan bahwa isteri memiliki pengaruh paling besar dalam segala keputusan yang berkaitan dengan alokasi dana PKH.

Rumah tangga responden tersebut tidak paham bahwa laki-laki dan perempuan sebenarnya bebas membuat berbagai pilihan termasuk terhadap alokasi dana PKH. Jenjang pendidikan yang “rendah” mengakibatkan suami−isteri cenderung patuh kepada berbagai sifat dan peran laki-laki serta perempuan yang dibentuk secara sosial dan budaya. Suami−isteri mengikuti

‘aturan masyarakat’ yang menganggap seorang perempuan lebih pantas, mampu, dan telaten (cermat) dalam mengatur uang (termasuk dana PKH), merawat anak, serta mengurus suami dan rumah tangga daripada kaum laki-laki.

Selain itu, PKH yang menyebutkan “peserta PKH adalah kaum isteri”

telah menimbulkan anggapan bahwa isteri memiliki hak sepenuhnya terhadap dana program. Tingkat pendidikan yang “rendah” mengakibatkan RTSM responden cenderung tidak peka akan pentingnya kesetaraan gender yang

(15)

sebenarnya harus diterapkan mulai dari lingkungan terkecil, yaitu rumah tangga.

Berkenaan dengan tingkat pendidikan yang “rendah” dan tipe pengambilan keputusan untuk alokasi dana PKH yang cenderung “didominasi oleh isteri”, salah satu RTSM responden menuturkan:

“Ibu, Neng. Apa-apa mah Ibu dari dulu. Kan Ibu istri, kata si Bapak juga gitu. Jadi, urusan sekolah anak-anak, keperluan sehari-hari mereka, apalagi urusan dapur, ya Ibu semua dari dulu. Dari awal pas udah jadi suami−istri mah gitu, Neng”. (RTSM 13: BH; 54 tahun)

Berdasarkan penuturan RTSM responden nomor 13 (tiga belas) tersebut, terlihat bahwa isteri harus mengurus keperluan sekolah anak (pendaftaran, pembelian seragam dan alat tulis, pembayaran uang bulanan/SPP), kebutuhan anak sehari-hari (makan, uang saku), dan pangan rumah tangga (uang belanja, bahan makanan yang harus dibeli, memasak). Menurut suami, isteri harus mengurus anak, suami, dan rumah tangga, karena hal ini memang tugas seorang perempuan. Isteri pun menyetujui peran tersebut. Sementara itu, RTSM responden lain memberikan keterangan:

“Iya, Ibu. Kan sama PKH-nya disuruhnya juga gitu. […]”.

(RTSM 7: BM; 46 tahun)

Berkaitan dengan keterangan BM, PKH sebenarnya tidak menyebutkan siapa (suami atau isteri) yang harus menyimpan dan mengatur alokasi dana bantuan. Program ini hanya menyebutkan bahwa isteri merupakan penerima bantuan dengan harapan dana akan benar-benar digunakan untuk keperluan kesehatan (ibu, bayi, dan balita) serta pendidikan (SD dan SMP). Artinya, uang bantuan PKH diberikan kepada kaum isteri dari setiap RTSM yang terpilih sebagai peserta. Jika isteri tidak ada (meninggal dunia, bekerja dan tidak tinggal di rumah, bercerai serta anak diasuh oleh suami), dana akan diserahkan kepada wanita dewasa (tujuh belas tahun dan memiliki Kartu Tanda Penduduk/KTP) dalam RTSM peserta. Apabila wanita dewasa pun tidak ada maka bantuan akan diberikan kepada suami atau anak yang bersangkutan.

(16)

Menurut penulis, Program Keluarga Harapan (PKH) secara implisit dipengaruhi oleh pemikiran feminisme liberal, karena tidak melihat kemungkinan adanya hubungan antara aspek kekuasaan dengan kepatuhan sosial serta mengabaikan faktor paksaan dan konflik dari segala bentuk kekuasaan.

Pemerintah, melalui PKH, menyiapkan kaum perempuan agar bisa bersaing dalam dunia yang penuh dengan persaingan bebas. Program Keluarga Harapan (PKH) merupakan implementasi pendekatan WID, oleh karena mengintegrasikan perempuan ke dalam program yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup keluarga, seperti pendidikan dan kesehatan. Program ini tidak mempersoalkan pola relasi antara perempuan dengan laki-laki, karena yang terpenting adalah membawa (melibatkan) perempuan ke dalam program pembangunan guna meningkatkan status perempuan.

Program yang dicanangkan oleh pemerintah pada umumnya dianggap hanya menyentuh kaum laki-laki. Pelibatan isteri sebagai peserta PKH dimaksudkan untuk memberikan keadilan perlakuan bagi perempuan. Isteri dianggap memiliki kewajiban dan hak untuk terlibat dalam pembangunan, salah satunya, melalui ranah kesehatan serta pendidikan (Pedoman Operasional Kelembagaan PKH, 2008).

Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan penyebaran jumlah RTSM responden menurut rasio tingkat pendidikan suami−isteri dan tipe pengambilan keputusan mengenai penggunaan dana bantuan PKH.

Tabel 8. Distribusi RTSM Responden Berdasarkan Rasio Tingkat Pendidikan Suami−Isteri dan Tipe Pengambilan Keputusan “Alokasi Dana PKH”

Tipe Pengambilan Keputusan

Tingkat Pendidikan Isteri

= Suami

Tingkat Pendidikan Salah Satu Pihak

Lebih Tinggi

Semua Rasio Tingkat Pendidikan Dominasi oleh

Isteri

20 (86,96)

3 (50)

23 (79,31)

Setara 3

(13,04)

3 (50)

6 (20,69) 23

(100)

6 (100)

29 (100)

Keterangan: angka di dalam kurung menunjukkan persentase (%).

(17)

Penyebaran jumlah RTSM responden berdasarkan rasio tingkat pendidikan suami−isteri dan tipe pengambilan keputusan untuk alokasi dana PKH memperlihatkan kondisi:

1. “Kesetaraan” dalam pengambilan keputusan untuk alokasi dana PKH sebagian besar terjadi pada RTSM responden dengan tipe rasio tingkat pendidikan

“salah satu pihak lebih tinggi (isteri tidak sama dengan suami/SD−SMP, SD−SMA, dan SMP−SD)”. Jumlah RTSM responden yang memiliki rasio jenjang pendidikan dan tipe pengambilan keputusan seperti ini, yaitu lebih kurang 50 persen.

2. “Dominasi oleh isteri” sebagian besar terjadi pada RTSM dengan tipe rasio jenjang pendidikan “isteri dan suami sama-sama rendah (SD)”, yakni sekitar 86 persen RTSM responden.

6.3.2 Status Bekerja Suami−Isteri

Pada penelitian ini, status bekerja ternyata mempengaruhi tipe pengambilan keputusan RTSM untuk alokasi dana PKH. Pada RTSM dengan tipe

”suami−isteri sama-sama berkontribusi dalam rumah tangga”, yang dilihat dari status bekerja, cenderung terjadi ”kesetaraan” untuk pengambilan keputusan RTSM terkait alokasi dana PKH. Sementara itu, pada RTSM responden yang memiliki tipe “salah satu pihak yang berkontribusi dalam rumah tangga”, yang dilihat dari status bekerja, pengambilan keputusan untuk alokasi dana PKH cenderung ”didominasi oleh isteri”.

Pada RTSM responden yang memiliki tipe ”suami−isteri sama-sama berkontribusi dalam rumah tangga”, “kesetaraan” dalam kontrol terhadap alokasi dana PKH terjadi karena keduanya merasa sebagai pencari nafkah sehingga sama- sama berhak untuk menentukan pilihan yang berkenaan dengan alokasi bantuan PKH. Selain itu, RTSM responden beranggapan bahwa pasangan suami−isteri memang harus selalu bersama-sama dalam setiap keputusan rumah tangga.

Kecuali untuk urusan pangan (bahan makanan yang harus dibeli dan dimasak, jumlah uang belanja, kegiatan memasak), hal ini mutlak merupakan tanggung jawab isteri saja. Seperti yang dikemukakan oleh salah satu RTSM responden, yaitu:

(18)

“Emang sih duit PKH ngebantu banget kita yang orang miskin.

Tapi, enggak semuanya keperluan sekolah anak bisa kebeli. Ya kan harga makin mahal, kebutuhannya juga makin banyak. Karna kita berdua kerja, jadi duit gajinya digabung, gitu. Tapi, yang PKH dipake’

dulu buat keperluan anak sekolah. Kalau kurang, ya ngambil dari duitnya Ibu sama bapak. Tapi, sama-sama tau buat apanya aja. Enggak pernah kita mah sendiri. Sebelum nikah, kita kan emang maunya apa- apa bareng. Kalau nanti punya duit, enggak punya duit, kalo nanti punya anak gimana, mau beli apa aja, pokoknya apa pun bareng. Tapi, kalau urusan makanan sama belanja ke pasar sama masaknya di dapur, yaaa itu Ibu aja! (Tertawa). Lagian, ya kan enggak ada yang lebih hebat.

Kan ini mah suami−isteri. Jadi, ya emang harus rukun. Sama-sama kita mah dari SD ajah. Enggak ada Ibu lebih pinter ngatur duitnya, bapak lebih pinter, enggak ada gitu-gitu. Sama-sama oon, jadi ya ngatur bareng supaya enggak repot. Duit kan emang suka bikin pusing!

(Tertawa). Bapak juga ngatur yang PKH tea’. Kan dia juga ngasih duit ke Ibu kalau pas ada kerjaan. Tapi, kalau Ibu ada duit, enggak ngasih ke bapak! (Tertawa). Ya udah, Ibu yang megang semuanya. Tapi, keluarnya buat apa, ya ngeiniinnya bareng. Apa aja buat anak sekolah, bukunya gimana, seragamnya, jajannya, ya gitu lah”. (RTSM 6: BR; 39 tahun)

Masih tentang “kesetaraan”, RTSM responden lainnya beranggapan bahwa karena “suami−isteri sama-sama bekerja” maka keduanya berhak untuk mengambil setiap keputusan rumah tangga, kecuali dalam hal pangan, termasuk yang berkaitan dengan alokasi bantuan PKH. Selain itu, menurut RTSM responden, apa pun keputusan dalam rumah tangga mutlak sebagai tanggung jawab pasangan suami−isteri. Apalagi dana PKH memang ditujukan untuk keperluan kesehatan dan pendidikan anak dimana anak sendiri merupakan milik kedua orang tua. Hal ini berarti bahwa suami−isteri harus mau dan mampu mengatur alokasi bantuan tersebut agar anak benar-benar merasakan manfaat kesehatan serta pendidikan. Ada pula ketakutan RTSM akan terjadinya ketidakefektivan manfaat PKH, jika suami−isteri tidak bertukar pikiran dan mencapai kata sepakat bersama. Terkait dengan kondisi “suami−isteri sama-sama berkontribusi dalam rumah tangga” dan tipe pengambilan keputusan untuk alokasi dana PKH yang “setara”, RTSM responden berikut ini menuturkan:

(19)

“Kalau bapak mah terserah aja ya Pak, Ibu kerja atau enggak?

(Tertawa). Yang penting kan anak-anak keurus. Tapi, Ibunya emang mau kerja. Ngebantu suami cari duit. Dua-duanya kerja ajah kan masih susah. Gimana kalau cuma bapak?? Bapak kan kalau ada panggilan ngeburuh, baru kerja. Seriiiiiing banget ya Pak, Bapak nyari. Tapi, ya itu Neng. Kalau emang lagi enggak ada, ya mau gimana?? Enaknya sama-sama kerja sih, ya makin nambah duit buat keperluan rumah tangga. Ibu juga, kalau mau beli bedak, enggak minta-minta sama suami kan?! (Tertawa). Ya kalau barengan kerja, kan enggak ada yang paling ngerasa gimanaaaaaa gitu! Kayak yang disentron-sinetron itu, Neng.

Kalau suami aja yang kerja, kayaknya belagu banget. Bisa semena-mena sama isteri. Tapi, kalau isterinya juga kerja, apalagi gajinya lebih gede (tertawa), enggak bisa macem-macem suaminya. Tapi, Alhamdulillah keluarga Ibu enggak gimana-gimanaaa gitu. Ya iya gaji Ibu lebih gede, tapi Ibu mah enggak nginjek-nginjek suami. Kan kalau bapak ada duit habis kerja, ngasih juga ke Ibu. Berarti, bapak juga kan tanggung jawab ke keluarga. Makanya, kita sih sama-sama aja. Duitnya mau dipakai buat apa, yang PKH dikeluarinnya buat apa aja, cari yang harga berapa kira-kira buat keperluan anak sekolah, keperluan di rumah juga, ya sama-sama tau. Sama-sama nentuin berapa, apa aja, gimana- gimananya. Lagian, ngeri salah kalau sendirian aja. Kita kan butuh temen saling tanya, ngasih saran. Emang yang PKH sih, yang ngambil mah Ibu di kantor POS. Tapi, yang namanya Ibu sama bapak kan sama- sama orang tuanya anak. Ya buat dia, sekolahnya, si Adeknya juga, ya sama-sama Ibu sama bapak ngaturnya. Lebih bagusan gitu kayaknya, jadi sama-sama tau. Namanya berumah tangga, ya tanggung jawab bersama suami dan isteri. Palingan itu aja sih Neng, kalau udah urusan masak. Nah, itu baru bapak enggak ikut-ikutan. Ya kayaknya, kalau yang begituan mah, Ibu aja. (Tertawa)”. (RTSM 22: BS; 38 tahun)

Sementara itu, pada RTSM responden dengan tipe “salah satu pihak yang berkontribusi dalam rumah tangga (isteri tidak bekerja−suami bekerja dan isteri bekerja−suami tidak bekerja)”, alasan mengapa pengambilan keputusan terhadap alokasi dana PKH “didominasi oleh isteri” adalah suami tidak berperan sebagai pencari nafkah sehingga tidak mengedepankan ego untuk mengatur penggunaan bantuan tersebut. Selain itu, ada nilai budaya dimana isteri dianggap lebih telaten mengatur uang (termasuk dana PKH), merawat anak, serta mengurus suami dan rumah tangga. Di bawah ini merupakan penuturan beberapa RTSM responden mengenai “dominasi isteri” pada pengambilan keputusan terhadap alokasi dana bantuan PKH:

(20)

“Bapak nurut aja ya, Pak? Mungkin karena enggak kerja, makanya enggak berani nuntut! (Tertawa). PKH mah lebih banyak Ibu yang nentuin buat apa-apanya aja”. (RTSM 25: BA; 42 tahun; isteri bekerja−suami tidak bekerja)

”Yang PKH mah, biarin aja urusan si Ibu. (Tertawa). Ya kan istri emang kayak gitu mestinya. Ngurus uang, keperluannya anak, ngurus rumah, sama ngurus saya suaminya! (Tertawa). Apa aja lah.

Mau PKH atau duit-duit yang lain, urusan rumah, ya semuanya ibu aja.

Kan, emmmm apa ya?? Apa sih?? Emmm, ya pokoknya ibu-ibu emang udah dari sananya harus gitu. Ya saya sih tau berapa dapet PKH-nya, buat apa aja, saya juga ngasih ke Ibu kan kalau dapet duit dari kerjaan.

Tapi, enggak seriweh ibu-ibu, gitu maksudnya. Ya karna kan, suami mah enggak diharusin kayak gitu. Pokoknya udah aja, kerjaan istri lah ngurus uang, suami, anak, rumah, beberes, gitu-gitu lah pokoknya.

(Tertawa)”. (RTSM 9: PA; 36 tahun; isteri tidak bekerja−suami bekerja)

“Ibu juga atuh. Bapak Alhamdulillah enggak pernah enggak ngasih pas dulu ada kerja. Sekarang juga, walaupun enggak kerja gini, enggak pernah ngatur-ngatur duit harus dipegang siapa, buat apa aja, berapa harganya. Ya kan ibu-ibu mah emang kerjaannya gini, ngurus duit, anak, suami. Laki-laki kan enggak mau repot sama yang ginian, emang kerjaannya perempuan ini mah. […]”. (RTSM 2: BE; 44 tahun;

isteri bekerja−suami tidak bekerja)

Tingkat pendidikan suami−isteri responden yang cenderung “rendah”

mengakibatkan belum terbukanya pemikiran RTSM akan pentingnya kesetaraan gender. Rumah tangga responden cenderung melanggengkan peran yang dibentuk oleh lingkungan sosial−budaya, yang membagi tugas berbeda untuk kaum laki- laki dan perempuan. Urusan rumah tangga, yaitu merawat anak, mengurus suami dan rumah, mengatur uang (termasuk dana PKH), serta mengambil keputusan berkenaan dengan pangan rumah tangga, semuanya dianggap sebagai tanggung jawab kaum isteri.

Selain karena bukan kodrat laki-laki untuk melakukan berbagai peran tersebut, kegiatan suami dalam mencari nafkah dianggap sebagai tanggung jawab yang berat. Hal ini turut mendukung alasan mengapa kaum laki-laki tidak perlu terlalu dilibatkan pada tugas merawat anak, mengurus rumah, mengatur uang (termasuk dana PKH), dan mengambil keputusan mengenai pangan rumah tangga.

(21)

Berikut ini adalah tabel yang memperlihatkan penyebaran jumlah RTSM responden menurut status bekerja suami−isteri dan tipe pengambilan keputusan untuk alokasi dana PKH.

Tabel 9. Distribusi RTSM Responden Berdasarkan Status Bekerja Suami−Isteri dan Tipe Pengambilan Keputusan “Alokasi Dana PKH”

Tipe Pengambilan

Keputusan

Salah Satu Pihak Berkontribusi

Keduanya Berkontribusi

Semua Status Bekerja Dominasi oleh

Isteri

16 (100)

7 (53,85)

23 (79,31)

Setara 0

(0)

6 (46,15)

6 (20,69) 16

(100)

13 (100)

29 (100)

Keterangan: angka di dalam kurung menunjukkan persentase (%).

Penyebaran jumlah RTSM responden berdasarkan kontribusi dalam rumah tangga (yang dilihat dari status bekerja) dan tipe pengambilan keputusan untuk alokasi dana bantuan PKH memperlihatkan kondisi:

1. “Kesetaraan” dalam pengambilan keputusan untuk alokasi dana PKH sebagian besar terjadi pada RTSM responden yang memiliki tipe “suami−isteri sama- sama berkontribusi dalam rumah tangga”. Ada sekitar 46 persen RTSM dengan tipe status bekerja dan pengambilan keputusan seperti ini.

2. “Dominasi oleh isteri” sebagian besar terjadi pada RTSM dengan tipe “salah satu pihak yang berkontribusi dalam rumah tangga”, yakni 100 persen RTSM responden.

Terkait dengan penelitian ini, merujuk kepada teori pengambilan keputusan (Pudjiwati, 1985), disebutkan bahwa berbagai aspek berupa pendidikan (formal dan informal), pengalaman, keterampilan, serta kekayaan (tanah, ternak, rumah, dan sebagainya) merupakan sumberdaya pribadi. Personal resources yang berbeda antara perempuan dengan laki-laki akan membentuk apa yang disebut sebagai keluarga dan memiliki pengaruh yang berbeda terhadap hubungan suami−isteri. Penelitian ”Analisis Gender dalam PKH di Kelurahan Balumbang Jaya” ini memiliki kesamaan dengan hasil penelitian Amiruddin dan Muhammad Syukur (2006) dimana tingkat pendidikan dan kontribusi ekonomi dalam rumah

(22)

tangga (yang dilihat dari status bekerja) ternyata mempengaruhi relasi gender antara suami−isteri.

Hanya sedikit perbedaan yang terdapat antara penelitian ”Analisis Gender dalam PKH” ini dengan riset Amiruddin dan Muhammad Syukur (2006). Pada riset ”Analisis Gender dalam PKH”, ditemukan hasil bahwa pada rumah tangga dengan tipe rasio tingkat pendidikan “salah satu pihak lebih tinggi”, cenderung ada “kesetaraan” dalam kontrol RTSM responden terhadap penggunaan dana PKH. Namun, pada RTSM yang memiliki tipe rasio tingkat pendidikan “suami dan isteri sama-sama rendah”, cenderung terdapat “dominasi oleh isteri” dalam kontrol RTSM terhadap alokasi dana PKH. Adapun untuk variabel status bekerja, pada RTSM dengan tipe ”suami−isteri sama-sama berkontribusi dalam rumah tangga”, yang dilihat dari status bekerja, cenderung terjadi ”kesetaraan” untuk pengambilan keputusan RTSM terkait alokasi dana PKH. Sementara itu, pada RTSM responden yang memiliki tipe “salah satu pihak yang berkontribusi dalam rumah tangga”, yang dilihat dari status bekerja, pengambilan keputusan untuk alokasi dana PKH cenderung ”didominasi oleh isteri”. Adapun dalam riset Amiruddin dan Muhammad Syukur (2006), menunjukkan bahwa tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan ketergantungan ekonomi yang lebih rendah dari pasangannya mengakibatkan salah satu pihak cenderung mendominasi pengambilan keputusan rumah tangga.

Sementara itu, hasil penelitian terkait proses pengambilan keputusan rumah tangga (Pudjiwati, 1985) juga menunjukkan adanya pengaruh antara tingkat pendidikan dengan pengambilan keputusan. Dari beberapa kasus di kedua desa penelitian, Desa A di Sukabumi dan Desa B di Sumedang, terlihat bahwa sumberdaya pribadi perempuan dan laki-laki dalam pernikahan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap hubungan suami−isteri. Sebagai contoh, Ibu X berumur 35 tahun, berasal dari keluarga petani, memiliki pendidikan sampai dengan kelas IV SD. Setelah menikah kurang lebih 12 tahun dengan seseorang dari Angkatan Bersenjata dan selama itu berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain (mengikuti tugas suami), Ibu X akhirnya bercerai. Hal ini karena, Ibu X tidak sanggup dengan kebiasaan suami yang menikah lagi. Ibu X mengorbankan jaminan relatif dari gaji suami dan kembali ke desa. Tidak lama kemudian, Ibu X

(23)

menikah dengan Bapak O yang merupakan teman SD dan ternyata tidak tamat sekolah.

Setelah menikah, hubungan antara Ibu X dengan Bapak O dapat dikatakan

”agak setara” (bersama-sama mengelola usaha tani). Dengan persetujuan suami, sebagian dari hasil tanah dibelikan perhiasan sebagai tabungan, jika kekurangan biaya untuk mengolah tanah. Untuk keperluan pembelian alat-alat pacul dan lain- lain, tanpa berunding, suami memiliki wewenang untuk langsung membelinya.

Dalam hal makanan atau konsumsi selain hasil sendiri, memerlukan beberapa hal yang harus dibeli. Isteri memiliki wewenang melakukannya tanpa berunding (berupa ikan asin, ikan basah, telur, kopi, gula, dan sebagainya). Ibu X selanjutnya mempengaruhi suami untuk melakukan perbaikan (pembaharuan) baik dalam lingkungan rumah maupun usaha tani (memakai pupuk, obat, memelihara bebek, kelinci, dan sebagainya). Dengan persetujuan isteri, Bapak O menggunakan sebagian hasil tanahnya untuk berjualan beras di pasar dengan cara membeli padi lalu digilingkan ke pabrik penggilingan (huller) yang ada di desa.

Pada suatu saat, usaha itu menemui kegagalan. Bapak O memutuskan untuk menjual tanah sebagai modal. Tapi, Ibu X tidak setuju karena tanah merupakan tumpuan harapan keluarga. Tanpa memberitahukan suami, Ibu X memutuskan untuk pergi ke luar desa mengunjungi anaknya serta membawa

”kitir” tanah milik keluarga yang dibutuhkan oleh suami. Dengan demikian, jual beli tidak terlaksana karena tidak ada kitirnya.

Berdasarkan kasus tersebut, tampak nyata bahwa sangat penting pengaruh pendidikan formal dan pengalaman baik yang diperoleh dari pernikahan terdahulu maupun pengetahuan dalam kehidupan di luar desa dari Ibu X sebagai isteri.

Pendidikan formal Ibu X memang lebih rendah dari suami, tapi pengalaman telah memperkaya pribadi Ibu X. Kondisi ini mengakibatkan hubungan suami−isteri cenderung ada saling pengaruh−mempengaruhi (ketergantungan). Namun, pada saat tertentu, Ibu X mampu mengambil keputusan yang bersifat menyelamatkan kondisi keluarga. ”Kesetaraan” dalam pengambilan keputusan pada RTSM responden dengan tipe rasio ”tingkat pendidikan isteri yang lebih rendah dari suami” ini senada dengan hasil riset ”Analisis Gender dalam PKH di Kelurahan Balumbang Jaya”.

(24)

6.4 Analisis Kualitatif Terhadap Efektivitas Manfaat PKH RTSM Responden di Kelurahan Balumbang Jaya

Selain faktor tipe pengambilan keputusan RTSM untuk alokasi dana PKH, efektivitas manfaat PKH juga dipengaruhi oleh tiga hal lain. Faktor-faktor tersebut, yaitu (1) peran (tugas dan kegiatan) pendamping, (2) ketersediaan fasilitas/pelayanan kesehatan, serta (3) ketersediaan fasilitas/pelayanan pendidikan.

6.4.1 Peran Pendamping

Semua RTSM responden mengungkapkan bahwa kedua pendamping di Kelurahan Balumbang Jaya selalu mengingatkan rumah tangga responden tentang hak dan kewajiban peserta PKH. Hal ini sangat membantu RTSM responden dalam berperilaku yang terkait dengan alokasi dana bantuan PKH. Dengan kata lain, bantuan PKH memang digunakan oleh RTSM responden untuk keperluan kesehatan dan pendidikan. Kebutuhan kesehatan di sini merupakan keperluan kesehatan bagi bayi/balita serta ibu hamil/melahirkan/yang sedang dalam masa nifas. Sementara itu, kebutuhan pendidikan mencakup manfaat pendidikan yang harus didapatkan oleh anak usia sekolah (6 hingga 18 tahun, namun belum menyelesaikan sekolah/wajib belajar 9 tahun).

Para pendamping PKH memiliki tiga peran utama yang berupa tugas (1) persiapan program, (2) rutin, dan (3) persiapan sebelum pencairan dana. Dalam Buku Kerja Pendamping (2008), disebutkan bahwa ketiga peran tersebut berupa:

(1) Tugas-tugas persiapan program, yaitu:

1. Menyelenggarakan pertemuan awal dengan seluruh peserta PKH;

menginformasikan program kepada RTSM peserta PKH dan masyarakat umum.

2. Membagi peserta ke dalam kelompok yang terdiri atas dua puluh hingga dua puluh lima orang untuk mempermudah tugas pendampingan.

3. Memfasilitasi pemilihan ketua kelompok peserta PKH.

4. Membantu peserta dalam mengisi Formulir Klarifikasi Data dan menandatangani Surat Persetujuan serta mengirimkan formulir itu ke UPPKH kabupaten/kota.

(25)

5. Mengkoordinasi pelaksanaan kunjungan awal ke Puskesmas dan pendaftaran sekolah.

(2) Tugas-tugas rutin, yakni:

1. Menerima pemutakhiran data peserta PKH dan mengirimkan Formulir Pemutakhiran itu ke UPPKH kabupaten/kota.

2. Menerima pengaduan dari ketua kelompok dan/atau peserta PKH serta menindaklanjutinya sesuai dengan kebijakan UPPKH kabupaten/kota.

3. Mengunjungi peserta PKH yang tidak memenuhi komitmen.

4. Melaksanakan pertemuan dengan semua peserta setiap enam bulan untuk resosialisasi program beserta kemajuan/perubahannya.

5. Berkoordinasi dengan aparat setempat serta pemberi pelayanan pendidikan dan kesehatan.

6. Melakukan pertemuan bulanan dengan ketua kelompok serta pelayan kesehatan dan pendidikan di lokasi pelayanan terkait.

7. Mengadakan pertemuan triwulan dan tiap semester dengan seluruh pelaksana kegiatan (UPPKH daerah, pendamping, dan pelayan kesehatan serta pendidikan).

(3) Berbagai tugas persiapan sebelum pencairan dana, yaitu:

1. Memberikan/membagikan kartu peserta kepada ketua kelompok PKH, yang kemudian dibagikan kepada seluruh anggota kelompok PKH. Selain itu, diingatkan kepada peserta bahwa kartu wajib dibawa dan tidak boleh hilang ketika pengambilan dana berlangsung.

2. Berkoordinasi dengan kantor pos untuk meminta jadwal pembayaran dan data peserta PKH.

3. Menginformasikan jadwal pencairan dana ke setiap ketua kelompok PKH dan memastikan pengambilan dana dilakukan oleh orang yang tepat.

Di Kelurahan Balumbang Jaya, peran PA dan BI dalam kegiatan persiapan program terlihat nyata. Tugas-tugas persiapan program yang dilakukan oleh kedua pendamping itu, diantaranya:

(26)

1. Menginformasikan program kepada RTSM peserta PKH dan masyarakat umum:

PA dan BI selaku pendamping berkata bahwa para peserta dan kedua pendamping PKH berkumpul di kantor desa. PA dan BI kemudian menjelaskan apa itu PKH, mengapa RTSM bisa menjadi peserta PKH, dan semua kewajiban serta hak para peserta.

Pada awal implementasi program ini, menurut PA dan BI, banyak anggota masyarakat Kelurahan Balumbang Jaya yang merasa tidak mampu memprotes mengapa rumah tangga mereka tidak menjadi peserta PKH. Para pendamping berkata bahwa mereka tidak ikut andil dalam mendata rumah tangga yang dianggap sebagai RTSM. Kedua pendamping hanya menerima data RTSM dan menjalankan tugas pendampingan. Adapun jawaban yang diberikan oleh Departemen Sosial selaku UPPKH pusat adalah data peserta PKH akan diperbaharui pada tahun 2010 berdasarkan hasil sensus penduduk di tahun tersebut.

Kembali kepada kewajiban dan hak peserta PKH, RTSM responden menuturkan kewajiban serta hak itu dalam pelaksanaan PKH. Beberapa kewajiban RTSM peserta PKH adalah (a) memeriksakan bayi/balita ke Posyandu dan (b) menyekolahkan anak. Adapun hak-hak sebagai peserta, yakni (a) mendapatkan dana bantuan PKH sesuai dengan kondisi RTSM (apakah memiliki bayi/balita atau anak usia sekolah), (b) menyampaikan keluhan/permasalahan kepada PA dan BI (jika ada), dan (c) mendapatkan pengajaran bagi anak usia sekolah serta pelayanan kesehatan untuk bayi/balita.

2. Membagi peserta ke dalam kelompok yang terdiri atas lima belas hingga dua puluh lima orang serta memfasilitasi pemilihan ketua kelompok peserta PKH:

Menurut PA dan BI, pemilihan ketua dilakukan melalui dinamika kelompok. Hal ini dilakukan untuk menemukan seseorang yang aktif, mudah bergaul, dan bertanggungjawab yang pantas dijadikan sebagai mother leader bagi kelompok RTSM peserta PKH di tingkat RW. Di Babakan Lebak, Babakan Lio, dan Sawah Baru, setiap RW beranggotakan lima belas hingga dua puluh orang ibu-ibu peserta PKH. Pembagian para peserta ke dalam beberapa kelompok bertujuan untuk memudahkan kegiatan pendampingan.

(27)

Sementara itu, RTSM responden tidak memahami arti dinamika kelompok. Rumah tangga responden mengenal cara pemilihan ketua kelompok dengan sebutan games (permainan).

3. Membantu peserta dalam mengisi Formulir Klarifikasi Data dan menandatangani Surat Persetujuan serta mengirimkan formulir itu ke UPPKH kabupaten/kota:

Sebenarnya, inti dari Formulir Klarifikasi Data adalah alat (borang) yang berfungsi sebagai petunjuk bagaimana kondisi RTSM. Dengan kata lain, apakah telah sesuai dengan data yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada para pendamping. Dalam formulir tersebut, menurut PA dan BI, hendak dipastikan lagi semua anggota RTSM, memiliki berapa anak, jumlah anak bayi/balita/usia sekolah, apakah si Ibu sedang hamil atau tidak, dan sebagainya.

Namun, berdasarkan ungkapan RTSM responden sendiri, hampir semua anggota dari setiap kelompok RTSM peserta PKH tidak memahami arti pertanyaan-pertanyaan yang ada di dalam Formulir Klarifikasi. Alasan klise yang sering diutarakan oleh RTSM adalah takut salah, jika harus membaca dan mengisi sendiri. Hal ini yang mengakibatkan kedua pendamping merasa perlu untuk menuntun para peserta dalam mengisi formulir tersebut.

Sementara itu, menurut persepsi PA, BI, serta RTSM responden, Surat Persetujuan berisikan pernyataan setuju atau tidak si Ibu terkait dengan kewajiban dalam memenuhi kebutuhan kesehatan dan pendidikan. Jika si Ibu sedang hamil/akan melahirkan/dalam masa nifas maka wajib dibawa ke Puskesmas (periksa kesehatan/mengalami tindakan medis). Selain itu, anak usia bayi dan balita juga harus diperiksa kesehatannya dan diberikan vitamin di Posyandu. Berkaitan dengan kebutuhan pendidikan, si Ibu harus menentukan apakah setuju atau tidak untuk menyekolahkan anaknya.

4. Mengkoordinasi pelaksanaan kunjungan awal ke Puskesmas dan pendaftaran sekolah:

Diakui oleh PA, BI, dan RTSM responden, bagi RTSM peserta komponen kesehatan, pendamping memperkenalkan peserta kepada petugas kesehatan (dokter dan/atau bidan). Pendamping akan bekerja sama dengan

(28)

petugas medis dalam mengecek (mengontrol) apakah si Ibu benar-benar membawa anaknya ke Posyandu/tidak serta apakah si Ibu telah memeriksakan kesehatan diri dan janin ke Puskesmas.

Sementara itu, untuk RTSM peserta komponen pendidikan, para pendamping memperkenalkan peserta kepada Pemberi Pelayanan Pendidikan (kepala sekolah dan guru). Seperti halnya komponen kesehatan, pendamping berkoordinasi dengan kepala sekolah dan guru dalam memantau apakah si Anak benar-benar sekolah atau tidak. Anak sekolah harus hadir minimal 85 persen di kelas.

Peran pendamping juga terlihat nyata dalam tugas-tugas rutin. Beberapa tugas rutin yang dilakukan, yaitu:

1. Menerima pemutakhiran data peserta dan mengirimkan Formulir Pemutakhiran itu ke UPPKH kabupaten/kota:

Seperti yang diungkapkan oleh kedua pendamping dan RTSM responden, Formulir Pemutakhiran berfungsi sebagai alat untuk mendata ulang kondisi terakhir (terbaru) RTSM peserta. Kondisi ini menyangkut apakah si Ibu sedang hamil atau tidak, apakah ada anak bayi atau balita dalam rumah tangga peserta, apakah anak usia sekolah benar-benar masih bersekolah atau tidak, dan sebagainya. PA dan BI akan mendatangi setiap RTSM peserta untuk mendampingi RTSM dalam mengisi formulir tersebut.

Namun, bagi peserta yang mampu mengisi sendiri, PA dan BI tentu tidak mendampingi. Formulir Pemutakhiran yang telah diisi oleh peserta dapat diantarkan kepada pendamping di kantor pos atau pendamping sendiri yang akan mengambilnya di rumah RTSM peserta. Selanjutnya, formulir itu dibawa ke Dinas Sosial Kota Bogor. Oleh tim teknisi, data-data dalam formulir akan dipindahkan ke dalam komputer (input data). Data ini diperlukan guna mengontrol apakah RTSM tersebut masih berhak untuk menerima dana atau nomor barcode harus dinon-aktifkan sementara selama peserta tidak memenuhi syarat penerima dana bantuan PKH.

(29)

2. Menerima pengaduan dari ketua kelompok dan/atau peserta PKH serta menindaklanjutinya sesuai dengan kebijakan UPPKH kabupaten/kota:

Prosedur pengaduan biasanya dari ketua kelompok dan/atau ibu ke pendamping. Jika tidak terselesaikan, akan diteruskan kepada koordinator pendamping bahkan UPPKH kota. Di Babakan Lebak RW 05, pernah ada seorang ibu peserta PKH yang memiliki masalah kandungan sehingga beliau harus menjalani operasi sesar.

Pada awalnya, Puskesmas SB tidak mau menerima karena beliau dianggap ”miskin” dan tidak sanggup membayar uang muka. Beliau mengadukan masalah ini kepada kedua pendamping. PA dan BI pun mengurus masalah ini ke Puskesmas yang bersangkutan. Para pendamping berusa keras untuk meyakinkan pihak Puskesmas bahwa si Ibu benar-benar berasal dari keluarga sangat miskin. Pendamping menunjukkan berbagai bukti, seperti Surat Keterangan Miskin dan Surat Keterangan sebagai RTSM Peserta PKH.

Pihak Puskesmas SB kemudian meminta maaf kepada ibu yang bersangkutan sambil berkali-kali menjelaskan mengapa prosedur di Puskesmas tersebut seperti itu. Akhirnya, si Ibu mendapatkan fasilitas operasi gratis. Namun, untuk obat-obatan, beliau tetap harus membayar sesuai dengan jumlah yang seharusnya. Dalam hal ini, si Ibu mendapatkan bantuan dari para tetangga yang kondisinya lebih mampu.

Ada pula kasus yang dialami oleh BR yang dimintai uang pangkal, padahal sekolah tersebut termasuk ke dalam daftar sekolah yang menerima dana BOS. Para pendamping, PA dan BI, mendatangi sekolah tersebut dan secara tegas menegur apa yang telah dilakukan. Walaupun sempat berkelit, si Oknum pelaku pemerasan akhirnya mengakui kesalahannya karena takut kasus ini akan dibawa ke pihak kepolisian.

Di Babakan Lebak RW 06, masalah bersumber dari seorang kader Posyandu. Tanpa alasan yang jelas, beliau meminta uang sebesar Rp.

10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) kepada semua peserta PKH RW 06.

Beruntung penarikan uang hanya berlangsung sekali, karena kedua pendamping segera menyelesaikan masalah ini. Kader tersebut meminta maaf

(30)

kepada kedua pendamping dan para peserta PKH RW 06. Beliau juga bersedia untuk mengembalikan uang para peserta.

3. Mengunjungi peserta PKH yang tidak memenuhi komitmen:

Menurut PA dan BI, pada awal pelaksanaan PKH di Kelurahan Balumbang Jaya (tahun 2007), ada beberapa RTSM yang tidak menyekolahkan anaknya. Alasannya adalah si Anak harus bekerja (membantu orang tua), seperti membawa pakaian dari rumah ke asrama setiap pagi. Ada pula anak yang memang malas sekolah. Akhirnya, orang tua pasrah dan menggunakan uang PKH untuk kebutuhan yang lain (pangan dan membeli barang-barang rumah tangga).

Di samping itu, ada juga RTSM peserta PKH yang lebih memilih untuk menyekolahkan anak laki-laki saja. Alasannya, anak laki-laki akan menjadi kepala keluarga (pencari nafkah). Untuk bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, si Anak tentu harus menempuh pendidikan formal. Sementara itu, anak perempuan lebih baik mengerjakan pekerjaan lain yang menurut RTSM merupakan kodrat, yaitu memasak dan mengurus rumah. Beruntung karena kedua masalah ini dapat teratasi dengan sanksi tegas yang diberikan oleh pendamping kepada RTSM tersebut. Akhirnya, peserta yang bermasalah itu kini dapat kembali menjadi anggota PKH (nomor barcode peserta diaktifkan kembali).

Pada tahun 2009 hingga 2010 ini, menurut pengakuan kedua pendamping dan RTSM responden, belum ada pelanggaran yang dilakukan oleh RTSM peserta PKH di Kelurahan Balumbang Jaya.

4. Melaksanakan pertemuan dengan ketua kelompok, ketua dan peserta, dan penyedia layanan kesehatan serta pendidikan masing-masing sebulan sekali, tiga bulan sekali, dan setiap bulan untuk resosialisasi program beserta kemajuan/perubahannya:

Di Kelurahan Balumbang Jaya, pertemuan dengan ketua kelompok dilaksanakan setiap bulan. Pendamping akan memantau apakah anggota si Ketua telah memenuhi kewajiban atau belum. PA dan BI juga menanyakan apakah ada keluhan atau tidak. Tidak lupa pendamping memberikan sejumlah informasi terkait PKH.

(31)

Pertemuan dengan ketua dan peserta dilaksanakan setiap enam bulan.

Dalam kegiatan ini, PA dan BI selaku pendamping di Kelurahan Balumbang Jaya memberikan kesempatan kepada setiap peserta untuk bertanya, menyampaikan informasi tertentu, dan mengutarakan masalah/keluhan.

Pada hari kerja, sebagaimana yang diakui oleh RTSM responden dan kedua pendamping, PA dan BI sering berkunjung ke anggota, ketua, sekolah, dan Posyandu. Hal ini dilakukan guna memantau apakah peserta dan pelayan pendidikan serta kesehatan benar-benar memenuhi komitmen/tidak. Selain itu, kegiatan ini merupakan kesempatan yang diberikan oleh PA dan BI bagi peserta yang ingin menyampaikan keluh kesah. Mungkin masalah tersebut tidak sempat diutarakan pada saat perkumpulan rutin, karena malu dengan peserta lainnya. PA dan BI juga menjadikan kesempatan ini sebagai peluang untuk mengenal secara mendalam para peserta PKH, salah satunya yang terkait dengan karakter peserta.

5. Mengadakan pertemuan triwulan dan tiap semester dengan seluruh pelaksana kegiatan (UPPKH daerah, pendamping, dan pelayan kesehatan serta pendidikan):

Menurut PA dan BI, kegiatan ini merupakan ajang bagi para pendamping untuk menunjukkan hasil kegiatan pendampingan. Hasil-hasil ini, diantaranya kondisi terakhir RTSM peserta, perkembangan kesehatan ibu/bayi/balita, bagaimana tingkat kehadiran dan prestasi anak peserta PKH di sekolah, dan sebagainya.

Petugas kesehatan dan pendidikan pun memberikan laporan perkembangan peserta. Hasil yang ditunjukkan oleh ketiga pihak ini dievaluasi bersama dengan UPPKH daerah. Selanjutnya, diputuskanlah apa saja yang harus dilakukan terhadap para peserta.

Saat pencairan dana, pendamping melakukan pengawasan dan pengamatan. Persiapan sebelum pencairan dana yang harus dilakukan pendamping, yaitu:

(32)

1. Memberikan kartu peserta kepada ketua kelompok, yang kemudian dibagikan ke seluruh anggota:

Kartu peserta biasanya diberikan kepada setiap ketua kelompok seminggu sebelum pencairan dana. Setelah itu, ketua langsung membagikannya kepada semua anggota. PA dan BI tidak lupa mengingatkan para ketua untuk menginformasikan kepada peserta bahwa kartu PKH tidak boleh hilang dan harus dibawa saat masa pencairan dana yang diselenggarakan di kantor pos.

2. Berkoordinasi dengan kantor pos untuk meminta jadwal pembayaran dan data peserta PKH:

Menurut PA dan BI, hal ini terkait dengan kesiapan kantor dan petugas pos untuk membantu UPPKH kecamatan dalam melakukan pencairan dana. Ruang di dalam kantor pos ditata sedemikian rupa, seperti menyiapkan tempat (loket) penandatanganan Kartu Pencairan Dana, loket mengantre, tempat pengambilan uang, dan lain-lain. Selama masa pencairan dana, ruang dalam Kantor Pos Semeru dibagi menjadi dua tempat. Tempat pertama merupakan ruang bagi orang yang ingin menggunakan jasa kantor pos (mengirim surat, membayar rekening listrik, dan sebagainya), sedangkan tempat kedua adalah ruang bagi RTSM peserta PKH.

3. Menginformasikan jadwal pencairan dana ke setiap ketua kelompok maksimal dua minggu sebelumnya dan memastikan pengambilan dana dilakukan oleh anggota RTSM yang namanya tercantum sebagai peserta:

Di Kelurahan Balumbang Jaya, PA dan BI akan mendatangi setiap mother leader satu/dua minggu sebelum pencairan dana dan kembali lagi

tiga/empat hari sebelum pencairan itu. Selanjutnya, informasi kapan pencairan dana akan diteruskan kepada RTSM peserta PKH. Para ketua juga tidak lupa untuk mengingatkan peserta bahwa dana harus diambil oleh peserta sendiri (orang yang namanya tercantum dalam kartu peserta PKH). Jika tidak bisa, sehari sebelum pencairan dana, peserta harus menginformasikan kepada PA dan BI mengenai siapa wakil yang akan menghadiri pencairan dana. Hal ini dilakukan guna mencegah jatuhnya uang bantuan PKH ke tangan pihak lain yang tidak bertanggungjawab.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis keragaman terhadap data yang diperoleh menunjukkan bahwa komposisi media tanam berpengaruh tidak nyata (P > 0,05) terhadap variabel pertumbuhan tanaman,

Dengan menjumlahkan capaian atas indikator kinerja 1 “ Jumlah hasil litbang “ dan indikator kinerja 4 “ Jumlah kerjasama litbang “ pada sasaran strategis 1 dalam

Telah diketahui bahwa penulisan karya ilmiah menyangkut segi bahasa. Dalam menyusun laporan ilmiah harus memperhatikan penyusunan kalimat-kalimat dalam suatu

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan jenis katalis tidak berpengaruh nyata terhadap rendemen, nilai viskositas, densitas, kadar air dan titik nyala sedangkan

sepintas dari ungkapan di atas Gus Ulil mengkategorikan Kiai Afif sebagai maqoshidiyyun, artinya beliau adalah salah satu dari ulama yang menilai sesuatu secara substansialis

tuotanto palautuu samalle tasolle, millä se- oli ennen vaihtoa.. Se tehtiin - l a niudella itäsuomalaisella lehmällä, joiden ijäiVittäiset maito- määrät kokeen alussa

Mencari ceruk pemilih baru yang belum dilirik oleh partai atau kandidat lain (Mis. Perempuan, anak muda dsb) Konsumen mencoba produk Banyaknya pemilih yang wait.

Terdapat beberapa prinsip-prinsip dasar yang dibutuhkan untuk membangun sistem pasar modal yang sesuai dengan ajaran Islam. Prinsip- prinsip tersebut antara lain