• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Komunikasi Interpersonal sebagai Dasar Interaksi a. Pengertian Komunikasi Interpersonal

Setiap makhluk hidup pasti melakukan komunikasi dengan sesamanya.

Begitupun dengan manusia, komunikasi merupakan jembatan yang digunakan untuk memahami pesan atau maksud dari orang lain. Komunikasi mengacu pada tindakan oleh satu orang atau lebih yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan (noise) terjadi daIam suatu konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu dan ada kesempatan untuk melakukan umpan balik (Mulyana, 2001).

Komunikasi dapat dibedakan dengan semua perilaku manusia dan organisasi lainnya karena ia melibatkan proses mental memahami orang, objek, dan peristiwa.

Dua bentuk umum tindakan yang merupakan komunikasi menekankan pada: 1) penciptaan pesan, atau lebih tepatnya penciptaan pertunjukan (display) dan 2) penafsiran pesan atau penafsiran pertunjukkan. Syarat terjadinya komunikasi adalah adanya pesan dan adanya penafsiran terhadap pesan yang telah disampaikan oIeh komunikator kepada komunikan (R Wayne Pace, 2001).

Komunikasi dianggap telah berIangsung apabila seseorang telah menafsirkan perilaku orang lain. Dengan demikian, dalam konseptual ini komunikasi merupakan suatu proses yang personal (unik), karena makna dan pemahaman yang kita peroleh pada dasarnya bersifat pribadi.

Komunikasi antarpribadi merupakan komunikasi yang paling ampuh dalam mempersuasi orang lain untuk mengubah sikap, opini, perilaku komunikan dan jika dilakukan secara tatap muka langsung akan lebih intensif karena terjadi kontak pribadi yaitu antara pribadi komunikator dengan pribadi komunikan. Komunikasi interpersonal adalah interaksi verbal dan nonverbal antara dua (atau kadang-kadang lebih dari dua) orang yang saling tergantung satu sama lain (Devito, 2011).

(2)

b. Tujuan Komunikasi Interpersonal

Komunikasi interpersonal merupakan action oriented, yaitu suatu tindakan yang berorientasi pada tujuan tertentu. Tujuan komunikasi interpersonal adalah sebagai berikut (Marhaeni, 2009):

1) Mengungkapkan perhatian kepada orang lain

SaIah satu tujuan komunikasi interpersonal adalah untuk mengungkapkan perhatian kepada orang lain. Dalam hal ini seseorang berkomunikasi dengan cara menyapa, tersenyum, melambaikan tangan, membungkukkan badan, menanyakan kabar kesehatan partner komunikasinya, dan sebagainya. Pada prinsipnya komunikasi interpersonal hanya dimaksudkan untuk menunjukkan adanya perhatiaan kepada orang lain dan untuk menghindari kesan dari orang lain sebagai pribadi yang tertutup, dingin dan cuek.

2) Menemukan diri sendiri

Artinya, seseorang melakukan komunikasi interpersonal karena ingin mengetahui dan mengenal karakteristik diri pribadi berdasarkan informasi dari orang lain. Komunikasi interpersonal memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk berbicara tentang apa yang disukai dan apa yang dibenci. Dengan saling membicarakan keadaan diri, minat dan harapan maka seseorang memperoIeh informasi berharga untuk mengenal jati diri atau dengan kata lain menemukan diri sendiri.

3) Menemukan dunia luar

Dengan komunikasi interpersonal diperoleh kesempatan untuk mendapatkan berbagai informasi dari orang lain, termasuk informasi penting dan aktual. Jadi komunikasi merupakan "jendela dunia", karena dengan berkomunikasi dapat mengetahui berbagai kejadian di dunia Iuar.

4) Membangun dan memelihara hubungan yang harmonis

Sebagai makhluk sosial, salah satu kebutuhan setiap orang yang paling besar adaIah membentuk dan memelihara hubungan baik dengan orang Iain. Oleh karena itulah setiap orang telah menggunakan banyak waktu untuk komunikasi interpersonal yang diabdikan untuk membangun dan memelihara hubungan sosial dengan orang lain.

(3)

5) Mempengaruhi sikap dan perilaku

Komunikasi interpersonal ialah proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberitahu atau mengubah sikap, pendapat atau perilaku baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam prinsip komunikasi, ketika pihak komunikan menerima pesan atau informasi, berarti komunikan telah mendapat pengaruh dari proses komunikasi. Sebab pada dasarnya, komunikasi adalah sebuah fenomena, sebuah pengalaman. Setiap pengalaman akan memberi makna pada situasi kehidupan manusia, termasuk memberi makna tertentu terhadap kemungkinan terjadinya perubahan sikap.

6) Mencari kesenangan atau sekedar menghabiskan waktu

Seseorang melakukan komunikasi interpersonal sekedar mencari hiburan. Di samping itu juga dapat mendatangkan kesenangan, karena komunikasi interpersonal dapat memberikan keseimbangan yang penting dalam pikiran yang memerlukan suasana rileks, ringan dan menghibur dari semua keseriusan berbagai kergiatan sehari-hari.

7) Menghilangkan kerugian akibat salah komunikasi

Komunikasi interpersonal dapat menghilangkan kerugian akibat salah komunikasi (mis communication) dan salah interpretasi (mis interpretation) yang terjadi antara sumber dan penerima pesan karena dengan komunikasi interpersonal dapat dilakukan pendekatan secara langsung menjelaskan berbagai pesan yang rawan menimbulkan kesalahan interpretasi.

8) Memberikan bantuan (konseling)

Dalam kehidupan sehari-hari, dikalangan masyarakat pun juga dapat dengan mudah diperoIeh contoh menunjukkan fakta bahwa komunikasi interpersonal dapat dipakai sebagai pemberi bantuan (konseling) bagi orang lain yang memerlukan.

Tanpa disadari setiap orang ternyata sering bertindak sebagai konselor maupun konseli dalam interaksi interpersonal sehari-hari.

c. Komunikator

Komunikator merupakan salah satu elemen dalam komunikasi. Ketika individu menjalani hidup dan berkomunikasi dengan orang lain dalam berbagai hal, terdapat

(4)

satu hal yang bersifat konstan: individu yang membawa dirinya dalam interaksi tersebut (Littlejohn et al., 2017). Individu dianggap sangat penting sebagai pemain kunci dalam kehidupan sosial. Menurut Lasswell, dalam setiap bentuk komunikasi selalu ada seseorang atau sesuatu yang memainkan peran dalam melakukan komunikasi. (Lasswell, 1948). Para ahli komunikasi sepakat bahwa yang dimaksud dengan komunikator adalah source/transmitter/sender atau pengirim pesan.

Terkait dengan hal tersebut, penelitian ini proses adaptasi interkasi tenaga kesehatan di UPT Puskesmas Purwodiningratan dalam melakukan pelayanan kesehatan dengan persepsi risiko paparan selama masa Pandemi COVID-19 menggunakan IAT. Dalam (Littlejohn et al., 2017) IAT merupakan bagian dari kajian kompetensi komunikasi didalam sub pembahasan salah satu elemen komunikasi yaitu komunikator.

2. Risk Perception Attitude Framework (RPA)

Risk Perception Attitude Framework (RPA) dikembangkan oleh peneliti komunikasi Rajiv N. Rimal dan Kevin Real pada tahun 2003. Kerangka RPA dibangun di atas prediksi Extended Parallel Process Model (EPPM) dan teori kognitif sosial (Rimal & Real, 2003). Menurut kerangka kerja ini, apakah individu akan mengambil tindakan untuk mengurangi risiko yang akan datang bergantung pada persepsi risiko dan efikasi. Risiko yang dirasakan adalah sejauh mana seseorang merasa rentan terhadap suatu ancaman dan evaluasi tingkat keparahan suatu ancaman. Efikasi adalah keyakinan pada kemampuan seseorang untuk mengubah hasil dan keyakinan bahwa tindakan yang diambil akan efektif. Di seluruh konteks kesehatan, efikasi adalah salah satu prediktor perubahan perilaku yang paling andal (Thompson, 2014).

RPA menurut domainnya merupakan kontekstual teori yang berada pada konteks komunikasi kesehatan. Penelitian ini menggabungkan komunikasi kesehatan ini dalam level interpersonal. Kerangka RPA mengemukakan bahwa persepsi risiko memotivasi tindakan perilaku, dan bahwa efikasi sangat penting untuk memfasilitasi perubahan dalam perilaku. Ketika persepsi risiko rendah digabungkan dengan persepsi yang lemah tentang efikasi pribadi, individu memiliki

(5)

motivasi yang rendah untuk mengambil tindakan. Individu dalam keadaan sikap ini cenderung tidak mengambil inisiatif untuk berubah karena mereka tidak percaya bahwa mereka mampu melakukan perubahan. Di sisi lain, ketika persepsi risiko yang tinggi digabungkan dengan keyakinan efikasi yang kuat, individu termotivasi dan bersedia untuk mengambil tindakan dan terlibat dalam perilaku melindungi diri.

Persepsi risiko dan efikasi bervariasi menurut individu, dan kerangka RPA menyediakan struktur organisasi untuk memahami variasi ini. Risiko yang dirasakan dan efikasi dapat digunakan untuk mengkategorikan individu menjadi empat kelompok berbeda berdasarkan sikap yang mereka pegang. Kelompok satu mencakup individu yang memiliki persepsi risiko tinggi dan persepsi efektivitas tinggi. Orang-orang ini digambarkan memiliki sikap responsif. Di antara empat kelompok, individu yang responsif akan memiliki motivasi tertinggi untuk terlibat dalam perilaku melindungi diri. Mereka merasa terancam dan yakin bahwa mereka memiliki kemampuan untuk mengurangi ancaman yang mereka hadapi.

Kelompok kedua mencakup individu dengan persepsi risiko tinggi, tetapi keyakinan efikasi rendah. Orang-orang ini diidentifikasi memiliki sikap menghindar. Individu dalam kelompok ini merasa bahwa mereka berisiko, tetapi tidak percaya bahwa mereka memiliki kemampuan yang diperlukan untuk mengurangi ancaman yang mereka hadapi. Dibandingkan dengan kelompok responsif, kelompok ini seharusnya memiliki motivasi yang lebih rendah untuk bertindak. Kelompok ketiga, dengan sikap proaktif, berisi individu dengan persepsi risiko rendah dan efikasi tinggi. Individu dalam kelompok ini melihat sedikit ancaman langsung, tetapi dimotivasi oleh keinginan umum untuk tetap bebas risiko.

Akhirnya, individu dengan persepsi risiko rendah dan efektivitas rendah diidentifikasi memiliki sikap acuh tak acuh. Individu dalam kelompok ini cenderung memiliki tingkat motivasi terendah untuk mengambil tindakan karena mereka melihat sedikit ancaman dan mereka tidak percaya bahwa mengambil tindakan berada dalam kendali mereka atau bahwa mengambil tindakan akan efektif.

(6)

Kampanye komunikasi kesehatan masyarakat dapat menggunakan kerangka RPA untuk menargetkan empat kelompok audiens ini: individu responsif (risiko tinggi, efikasi tinggi), individu penghindar (risiko tinggi, efikasi rendah), individu proaktif (risiko rendah, efikasi tinggi), dan acuh tak acuh individu (risiko rendah, efektivitas rendah). Segmentasi audiens adalah komponen kunci dari pemasaran sosial. Penerima pesan disegmentasi berdasarkan variabel yang diminati, dan materi komunikasi dibuat dan disebarkan ke setiap kelompok untuk memaksimalkan keefektifan. Segmentasi memungkinkan komunikator untuk menargetkan intervensi perilaku yang spesifik untuk kebutuhan setiap kelompok.

Dengan menggunakan kerangka RPA, pesan dapat dirancang untuk secara khusus memenuhi kebutuhan setiap kelompok. Selain itu, EPPM dapat digunakan untuk membuat prediksi tentang perilaku kesehatan dari empat kelompok audiens yang diidentifikasi dalam kerangka RPA. Studi yang menguji prediksi sentral dari kerangka kerja RPA cenderung menemukan bahwa persepsi risiko tinggi dan efikasi yang kuat dikaitkan dengan tingkat tindakan perlindungan tertinggi, dan persepsi risiko rendah dengan keyakinan efektivitas yang lemah dikaitkan dengan tingkat tindakan perlindungan yang paling rendah.

Penelitian yang telah menguji prediksi kerangka RPA belum membuat perbedaan yang jelas di antara berbagai jenis hasil perilaku yang mungkin sedikit banyak dipengaruhi oleh persepsi risiko dan efikasi. Sampai saat ini, penelitian yang menggunakan kerangka RPA telah berfokus pada perilaku pengurangan risiko tertentu termasuk perlindungan matahari, keamanan makanan, pencegahan HIV, keamanan tempat kerja, dan skrining kanker payudara. Berbagai perilaku pengurangan risiko memiliki konfigurasi atribut yang mendasari berbeda.

Misalnya, beberapa perilaku dilakukan di tempat umum, sedangkan yang lainnya tidak. Beberapa perilaku memiliki konsekuensi yang parah, namun yang lainnya tidak. Mendefinisikan secara hati-hati kondisi batas dari risiko yang relevan dan perilaku kesehatan akan menjadi langkah penting berikutnya dalam pengembangan kerangka kerja ini. Kerangka RPA juga telah digunakan untuk memprediksi pencarian informasi kesehatan dan perhatian pada informasi kesehatan, memperluas cakupan kegunaan kerangka kerja.

(7)

Bagan 2.1 Kelompok Sikap Persepsi Risiko Sumber: (Littlejohn et al., 2017)

Persepsi risiko mengacu pada penilaian subjektif orang-orang tentang kemungkinan kejadian negatif seperti cedera, penyakit, dan kematian. Di bidang komunikasi kesehatan, persepsi risiko yang tinggi dianggap sebagai anteseden penting untuk perilaku yang berhubungan dengan kesehatan. Persepsi risiko masyarakat juga berperan penting dalam menetapkan agenda kebijakan regulator dan legislator.

Secara umum, penelitian persepsi risiko mengasumsikan bahwa orang memandang risiko berdasarkan seberapa banyak pengetahuan dan ketidakpastian yang mereka miliki tentang risiko tersebut. Asumsi ini didasarkan pada model pengambilan keputusan pilihan raisonal, yang mengusulkan agar orang mengevaluasi kemungkinan hasil potensial setelah mereka menghitung biaya dan manfaat dengan cermat.

Di sisi lain, frekuensi pemahaman yang salah dan besarnya risiko dapat terjadi karena karateristik individu. Neil Weinstein mengidentifikasi heuristik ini dan

(8)

menanamkan sebagai bias optimis atau optimisme bias. Orang juga melihat dan mengevaluasi risiko berdasarkan tidak hanya pada bagaimana perasaan mereka pada hal tersebut. Kecenderungan ini disebut pengaruh heuristik, yang diusulkan dan diteliti oleh Paul Slovic dan rekan-rekannya. Pengaruh heuristik menjelaskan bahwa orang menggunakan emosi mereka sebagai syarat heuristik. Jika sebuah risiko muncul dalam rasa takut yang lebih intens, orang cenderung menganggapnya lebih mengancam dan lebih umum.

Persepsi atas risiko tinggi dan efikasi pada tenaga kesehatan di UPT Puskesmas Purwodiningratan dikategorikan sesuai dengan sudut pandang Risk Perception Attitude Framework untuk melihat sejauh apa para tenaga kesehatan menggali informasi mengenai COVID-19 dan pasien dalam melaksanakan pelayanan kesehatan serta kemudian dilanjutkan dengan perspektif Teori Adaptasi Interaksi untuk melihat proses penyesuaian para tenaga kesehatan dalam melaksanakan pelayanan kesehatan di tengah tingginya risiko tertular.

3. Information Seeking (Pencarian Informasi)

Mendapatkan informasi kesehatan yang berguna sangat penting untuk mengelola kesejahteraan individu secara keseluruhan dan mencegah penyakit.

Secara umum, pencarian informasi mencerminkan upaya aktif untuk memperoleh informasi dari sumber-sumber terpilih. Perilaku pencarian informasi didorong oleh kesenjangan dalam pengetahuan, sehingga tidak adanya informasi yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan informasi individu memicu tindakan. Terpenting, tindakan pencarian informasi adalah cara fungsional untuk mengatasi hal tersebut.

Saat seseorang memperoleh informasi kesehatan, ini dapat membantu mengurangi ketidakpastian dan mengarah pada manajemen kesehatan yang lebih efektif.

a. Sumber Pencarian Informasi

Pencarian informasi dari berbagai sumber dapat digunakan untuk memenuhi fungsi tertentu. Model sinergi informasi kesehatan yang mencari informasi kesehatan dari Caroline Schooler dan rekannya berpendapat bahwa orang akan menelusuri informasi yang lebih mendalam dari sumber daya yang menawarkan detail lebih lanjut tentang suatu topik (Schooler et al., 1993). Hal tersebut termasuk

(9)

keterampilan yang membantu dalam menangani masalah kesehatan. Misal, jaringan hubungan interpersonal seseorang dapat digunakan sebagai bentuk dukungan informasi yang membantu dalam mengatasi stres, termasuk penyakit. Akibarnya, bagi banyak individu, pencarian informasi mencerminkan pegalaman mencari teman dan anggota keluarga untuk mendapatkan bantuan, serta berkonsultasi dengan penyedia layanan kesehatan.

Selain interaksi tatap muka, sumber daya yang dimediasi memberikan para pencari informasi pilihan interpersonal dan termediasi untuk informasi kesehatan.

Lebih lanjut, kedua bentuk tradisional dari komunikasi assa dan teknologi informasi yang lebih baru (internet) menawarkan informasi kesehatan yang berlimpah.

Internet menawarkan banyak keuntungan bagi pengguna, termasuk kemudahan dalam mencari informasi kesehatan dalam privasi dan kenyamanan seseorang.

Pencarian informasi dalam konteks ini dapat mencerminkan navigasi ke situs web informasi generik serta platform yang lebih interaktif, termasuk listserves, forum diskusi, dan grup dukungan virtual.

b. Proses Pencarian Informasi

Berbagai faktor individu, psikososial, dan lingkungan telah dieksplorasi untuk membantu menjelaskan bagaimana orang menjadi termotivasi untuk mencari informasi kesehatan dan memilih di antara berbagai sumber informasi. Vicki S.

Freimuth dan model perolehan informasi kesehatan sesama peneliti mengusulkan proses langkah demi langkah di mana ketidakpastian (langkah pertama) memotivasi keinginan untuk tindakan pencarian informasi (Freimuth et al., 1989). Pada langkah kedua dan ketiga, pencarian informasi menetapkan tujuan dan kemudian menimbang biaya dan manfaat dari pencarian yang sebenarnya. Pada langkah keempat, individu terlibat dalam metode pencarian informasi khusus berdasarkan sumber daya yang digunakan. Langkah kelima, melibatkan evaluasi kecukupan informasi yang diperoleh, dan pada langkah terakhir, pencari memutuskan apakah akan melanjutkan pencarian atau mengakhiri proses.

Pencarian informasi adalah faktor intervensi kunci antara ancaman dan kemungkinan seseorang akan mengambil tindakan pencegahan. Akhirnya, para

(10)

peneliti mengembangkan model pencarian informasi yang komprehensif (CMIS) yang menggabungkan model perilaku kesehatan dengan faktor komunikasi untuk menjelaskan perilaku pencarian informasi secara keseluruhan dan penggunaan saluran tertentu untuk informasi kesehatan (Johnson, 1997). Dalam perspektif Uses and Gratificatios, para peneliti berpendapat bahwa penggunaan media yang terkait dengan masalah kesehatan bertujuan dan mencerminkan motivasi untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Faktor anteseden memberikan motivasi untuk terlibat dalam perilaku pencarian informasi.

Sementara anteseden adalah katalisator untuk tindakan pencarian informasi, sifat dari tindakan ini dibentuk oleh karakteristik pembawa informasi tertentu.

Johnson dan rekannya berpendapat bahwa persepsi pengguna tentang kredibilitas dan utilitas sumber pada akhirnya akan menentukan pemilihan saluran dan perilaku pencarian informasi selanjutnya (Johnson, 1997). Literatur yang lebih baru telah memperluas CMIS dengan menetapkan bahwa pencarian informasi dapat mengkompensasi tingkat dukungan sosial yang tidak memedai serta kekurangan dalam berbagai aspek kesejahteraan.

c. Faktor-faktor yang Mengatur Perilaku Pencarian Informasi

Sementara model seperti CMIS mengidentifikasi karakteristik yang mengarah pada perilaku pencarian informasi, penting untuk dicatat bahwa beberapa faktor ini juga dapat memotivasi individu untuk menghindari informasi kesehatan. Misalnya, sementara ketidakpastian dan kecemasan dapat memotivasi perilaku pencarian informasi, jika menerima informasi berpotensi meningkatkan kecemasan atau meningkatkan persepsi risiko, seseorang mungkin ragu-ragu untuk memperoleh pengetahuan ini. Selain itu, menerima lebih banyak informasi tidak selalu membantu kesehatan seseorang. Secara khusus, Daniel Brashers dan rekan- rekannya berpendapat bahwa dukungan informasi dari orang lain sebenarnya dapat berbahaya bila penerima tidak secara aktif mencari pengetahuan yang terkait (Brashers et al., 2002). Masalah lain yang mungkin membatasi luasnya perilaku pencarian informasi meliputi: batas kemampuan pemrosesan, biaya dan pengetahuan/pemahaman tentang informasi yang memadai yang sesuai dengan

(11)

kebutuhan seseorang. Selain itu, salah satu faktor utama yang menghambat perilaku pencarian informasi adalah akses. Artinya, meskipun sumber daya yang dimediasi seperti internet menawarkan informasi kesehatan yang luas, sering kali mereka yang paling memperoleh manfaat dari sumber daya ini tidak memiliki teknologi.

d. Strategi Pencarian Informasi

Dalam konteks interpersonal, orang mungkin terlibat dalam strategi pencarian informasi langsung dan tidak langsung. Sebagai contoh, dalam interaksi perawatan kesehatan, pasien mungkin sangat langsung bertanya, dengan pertanyaan yang menyebutkan masalah kesehatan tertentu. Salah satu kelemahan dari lebih banyak strategi pencarian informasi tidak langsung adalah karena kurangnya penyelidikan terbuka, dokter mungkin memberikan lebih sedikit informasi kepada pasien.

Akibatnya, pasien mungkin menjadi frustasi ketika tidak menerima informasi yang diinginkan.

Selain itu, sementara pencarian informasi secara lebih luas menceriminkan proses pencarian aktif, Johnson dan peneliti lain telah mengusulkan agar orang bener-benar terlibat aktif, pasif, dan interaktif. Pendekatan yang lebih pasif untuk mendapatkan informasi kesehatan dapat mencakup pengamatan sederhana terhadap perilaku kesehatan orang lain, sedangkan pendekatan yang lebih interaktif dapat dikaitkan dengan diskusi khusus dengan seorang dokter.

Terpenting, gaya dan strategi yang digunakan seseorang untuk memperoleh informasi kesehatan dapat dengan cepat menjadi kebiasaan. Artinya, pencarian informasi yang sebelumnya berhasil kemungkinan besar akan digunakan terus menerus dan pada akhirnya mungkin sulit untuk diubah. Namun, orang mungkin juga menggunakan pendekatan pencarian informasi yang lebih dikenal ini karena kurangnya pengetahuan tentang pendekatan atau teknik alternatif. Selain itu, pencari informasi mungkin hanya berbeda dalam berbagai atribut yang mempengaruhi sifat tindakan pencarian informasi. Secara khsusus, pencari informasi mungkin berbeda dalam persepsi tentang defisit informasi, seberapa tanggap mereka terhadap informasi, dan kemampuan untuk membedakan kualitas informasi yang diterima.

(12)

e. Pencarian Informasi Kesehatan Online

Sebagian besar literatur terbaru tentang pencarian informasi kesehatan berfokus pada karakteristik/motivasi pengguna internet. Meskipun masalah akses tetap menjadi perhatian penting, penggunaan web untuk informasi kesehatan sekarang tersebar luas. Secara keseluruhan, orang yang memiliki akses ke internet lebih cenderung menjadi pencari informasi kesehatan yang lebih baik daripada mereka yang tidak memiliki akses. Kemampuan interaktif media ini mencerminkan fitur yang sangat menarik yang memotivasi pencarian informasi kesehatan secara online. Lebih khusus lagi, kelompok dukungan virtual dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan interaksi/dukungan sosial, sementara alat interaktif lainnya dapat membantu dalam pengambilan keputusan kesehatan dan pemahaman hasil medis.

4. Interaction Adaptation Theory (Teori Adaptasi Interaksi)

Teori ini dikembangkan oIeh Jude Burgoon, menurutnya, ketika seseorang mulai berkomunikasi dengan orang lain, orang tersebut akan memiliki ide umum mengenai apa yang akan terjadi, yang disebut sebagai posisi interaksi (interaction position) yaitu tempat atau titik awaI dimana seseorang akan memulai komunikasi.

Posisi interaksi ini ditentukan oleh kombinasi dari tiga faktor yang dinamakan RED, yang merupakan singkatan dari requirement (kebutuhan), expectation (harapan), dan desires (keinginan) (Morissan, 2013). Kebutuhan adaIah segala hal yang seseorang perlukan dalam interaksi. Kebutuhan dapat bersifat biologis, seperti meminta makan, atau kebutuhan sosial seperti kebutuhan berafiliasi atau kebutuhan berteman.

Adapun harapan adalah pola-pola yang diperkirakan akan terjadi. Jika seseorang tidak terlalu mengenal orang lain maka orang tersebut akan mengandalkan norma-norma kesopanan dan/atau tujuan dari situasi tertentu seperti tujuan pertemanan. Jika seseorang mengenal orang lain dengan baik maka kemungkinan harapan tersebut akan didasarkan pada pengalaman masa lalu.

Sedangkan keinginan adalah apa yang ingin dicapai atau apa yang diharapkan akan terjadi.

(13)

Perilaku awal dalam interaksi terdiri atas kombinasi dari perilaku verbal dan nonverbal yang mencerminkan posisi interaksi, faktor lingkungan dimana interaksi terjadi, dan tingkat keahlian yang dimiliki. Namun dalam kebanyakan interaksi, perilaku seseorang akan berubah, begitu pula dengan lawan bicaranya ketika satu sama lain mulai saling mempengaruhi (mutual influence). Situasi saling mempengaruhi ini memberikan efek signifikan dan bahkan dalam banyak situasi, jauh lebih besar sehingga dapat mengubah rencana yang teIah dipersiapkan sebelumnya.

Burgoon dalam penelitiannya menemukan bahwa komunikator memiliki semacam sinkroni interksi (interactionaI synchrony) yaitu suatu pola saling bergantian yang terkoordinasi. Misalnya, ketika terjadi sebuah percakapan, kedua belah pihak akan cenderung berperilaku sama, yaitu adanya upaya saling meniru atau konvergensi dalam suatu pola resiprokal (resiprocal pattern). Namun pada saat yang lain bisa saja terjadi yang sebaliknya (divergensi) yang disebut sebagai poIa kompensasi (compensation pattern).

Menurut teori adaptasi interaksi ini, kecendurungan untuk saling membalas disebabkan oleh kombinasi faktor-faktor yang dikondisikan secara biologis dan sosial. Namun hal ini tidak berarti bahwa daIam interaksi seseorang dengan orang lain akan selalu saling membalas. Terkadang pola resiprokal ini mengalami gangguan atau tidak berfungsi (disabled) sehingga menghasilkan tanggapan jenis kedua yang disebut kompensasi. Jika sesorang menyukai perilaku orang lain Iebih dari apa yang diperkirakan sebeIumnya, maka orang tersebut kemungkinan akan membaIasa perilaku yang ditujukan kepadanya. Hal ini membuat periIakunya menjadi Iebih mirip dengan periIaku orang lain tersebut. Namun, Jika periIaku orang lain justru lebih buruk dari perkiran, maka kemungkinan orang tersebut akan melakukan perilaku kompensasi, yaitu mempertahankan gayanya sendiri dan bahkan melebih-lebihkan apa yang seharusnya sudah dilakukan sejak awal.

Adaptasi merupakan bagian terpenting para tenaga kesehatan dalam menyesuaikan diri ditengah ketidakpastian wabah COVID-19 dan keluhan kesehatan pasien setiap harinya. Dari penjabaran Teori Adaptasi Interaksi diatas, penelitian ini menggambarkan bentuk tindak lanjut dari strategi pengurangan

(14)

ketidakpastian para tenaga kesehatan dalam beradaptasi serta bagaimana para tenaga kesehatan akhirnya menemukan strategi komunikasi yang sesuai daIam melaksanakan pelayanan kesehatan ditengah ketidakpastiaan dan kecemasan terhadap pasien.

B. Penelitian Terdahulu

Penelitian-penelitian yang pernah dilakukan sebelumya berkaitan dengan komunikasi interpersonal dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan serta pola komunikasi tenaga kesehatan telah beberapa kali dilakukan. Beberapa penelitian yang dapat digunakan sebagai referensi, antara lain:

1. (Greenberg et al., 2020) meneliti Managing mental health challenges faced by healthcare workers during COVID-19 pandemic.

Dalam pengamatannya ini, Neil Greenberg dan rekannya melihat bahwa pandemi COVID-19 merupakan keadaan global yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pandemi membuat para tenaga kesehatan bekerja dengan beban dan tekanan yang berlebih. Selain menjadi tuntutan profesi tenaga kesehatan, para tenaga kesehatan harus tetap menjaga keseimbangan fisik dan mental dalam melaksanakan layanan kesehatan di masa pandemi. Di sebutkan beberapa kasus sebagai contoh dan menganalisa berdasarkan berbagai referensi yang berasal dari sumber yang kredibel, NeiI Greenberg dan rekannya merumuskan strategi yang bisa digunakan oleh para pimpinan tenaga kesehatan dalam menjaga kesehatan mental timnya.

2. (Zhang et al., 2020) meneliti Mental Health and Psychosocial Problems of MedicaI Health Workers during the COVID-19 Epidemic in China

Zhang dan rekannya menyelidiki masaIah psikososial berlebih yang dialami oIeh para tenaga kesehatan medis di China selama wabah COVID-19.

Menggunakan metode survei online yang dijaIankan selama kurang lebih 2 minggu, peneIitian ini berhasiI mengumpulkan sebanyak 2.182 responden. Variable kesehatan mental yang dinilai melalui Insomnia Severity Index (ISI), Symptom Check list-revised (SCI-90-R), dan Patient Health Questionnaire-4 (PHQ-4) yang

(15)

kemudian dikomparasikan dengan tenaga kesehatan non medis. Setelah data diolah dan dianalisis, Zhang dan rekannya menyimpulkan bahwa selama pandemi COVID-19, tenaga kesehatan medis memiliki masalah psikososial dan faktor resik yang mengembangkannya, sehingga membutuhkan perhatian dan program pemulihan.

3. (Bohlken et al., 2020) meneliti COVID-19-Pandemic: Belastungen des medizinischen Personals

Patient Health Questionnaire 9 (PHQ9), Self-rating-Anxiety Scale (SAS) dan Impact of Event Scale (IES-R) merupakan instrumen yang digunakan dalam penelitian dengan metodoIogi studi literatur ini. Tujuannya untuk mengetahui stres psikologis petugas kesehatan yang disebabkan oleh pandemi COVID-19.

Kesimpulan yang didapatkan frekuensi gejala mental yang terjadi pada petugas layanan kesehatan, intervensi yang disertai informasi kesehatan mental untuk memfasilitasi koping sangat dibutuhkan.

4. (Wari et al., 2020) meneliti Kecemasan Bidan dalam Memberikan Pelayanan Kebidanan pada Masa Pandemi COVID-19

Seperti pandemi lainnya, COVID-19 dapat menyebabkan masalah kesehatan mental yang serius dikalangan masyarakat dan tenaga kesehatan. Peran penting tenaga kesehatan saat terjadi pandemi membuat mereka lebih rentan terhadap kecemasan dan stres. Penelitian Wari dan rekannya, menggunakan penelitian deskriptif yang bertujuan mengetahui tingkat kecemasan bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan pada saat pandemi COVID-19. Dengan sampel sebanyak 58 bidan, dengan instrumen GeneraIized Anxiety Disorder-7 (GAD 7). Hasilnya, menunjukkan bahwa lebih dari separuh responden mengalami kecemasan sedang, kurang dari separuh responden mengalami kecemasan ringan dan sebagian kecil responden mengalami kecemasan sedang. Sangat penting bagi bidan untuk mengelola kecemasan dan kesemasannya sendiri untuk memberikan asuhan psikososial yang sehat kepada ibu hamil yang akan mereka rawat selama kehamilan, persalinan, dan nifas.

(16)

5. (Darwis et al., 2019) meneliti Peningkatan Pengetahuan Mengenai Aspek Klinis dan Sosial Pandemi COVID-19 bagi Tenaga Kesehatan

Penelitian ini mengamati bahwa COVID-19 sebagai pandemi global dan bencana non alam nasional di Indonesia. Tenaga kesehatan dituntut untuk dapat menangani kasus COVID-19 dengan baik, mulai dari pencegahan hingga penatalaksanaan sesuai dengan panduan terbaru. Ilmu kedokteran merupakan ilmu yang terus berkembang. Setiap detiknya terdapat penelitian terbaru yang dihasilkan dari COVID-19 ini didunia. Hal tersebut mengharuskan tenaga kesehatan di Provinsi Lampung untuk berperan aktif dalam meningkatkan pengetahuan sehingga dapat terselesaikannya pandemi COVID-19. Sasaran dari pengabdian kepada masyarakat ini adalah seluruh tenaga kesehatan baik yang ada di Provinsi Lampung maupun yang berada di luar Lampung. Permasalahan yang dihadapi saat ini adaIah bahwa di Provinsi Lampung masih terdapat tenaga kesehatan yang kurang mengerti mengenai COVID-19 baik pencegahan hingga penatalaksanaan terbaru. Seperti yang bisa kita lihat saat ini bahwa di provinsi Lampung angka kasus terkonfirmasi positif dan meninggal semakin bertambah. Bahkan saat ini pemerintah sudah menetapkan Bandar Lampung sebagai wilayah transmisi lokal per 28 ApriI 2020.

Salah satu strategi solusi yang ditawarkan adalah diIakukan kegiatan webinar aspek klinis dan sosial di masa pandemi COVID-19 pada anak dan dewasa yang ditujukan untuk seluruh tenaga kesehatan. Target luaran dari penelitian ini adalah meningkatkan pengetahuan terhadap aspek klinis dan sosial di masa pandemi COVID-19 pada anak dan dewasa.

6. (Diinah & Rahman, 2020) meneliti Gambaran Tingkat Kecemasan Perawat Saat Pandemi COVID-19 di Negara Berkembang dan Negara Maju: A Literature Review

Penelitian ini didasari pada dampak besar COVID-19 terhadap kesehatan fisik.

ekonomi, sosial sampai dengan permasalahan mental, seperti kepanikan, ketakutan dan kecemasan. Tujuannya, untuk mengetahui kecemasan perawat pada saat pandemi di Negara China, Iran, dan Italia. Menggunakan pendekatan studi literatur yang bersumber dari berbagai sumber yang kridibel. Hasilnya, menunjukkan

(17)

perawat harus mampu mengontrol emosi agar tidak menjadi emosi negatif, selain itu perawat harus mempunyai pedoman untuk kesehatan jiwa daIam menangani COVID-19.

7. (Hu et al., 2020) meneIiti Frontline nurses’ burnout, anxiety, depression, and fear statuses and their associated factors during the COVID-19 outbreak in Wuhan, China: A large-scaIe cross-sectional study

SeIama pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19), perawat garis depan menghadapi tantangan kesehatan mental yang sangat besar. Data epidemiologi tentang status kesehatan mental perawat garis depan masih terbatas. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memeriksa kesehatan mental (kelelahan, kecemasan, depresi, dan ketakutan) dan faktor-faktor yang terkait di antara perawat garis depan yang merawat pasien COVID-19 di Wuhan, Cina. menggunakan sebuah desain studi cross-sectional, deskriptif, korelasionaI skala besar digunakan. Sebanyak 2.014 perawat garis depan yang memenuhi syarat dari dua rumah sakit di Wuhan, Cina, berpartisipasi daIam penelitian ini. SeIain data sosiodemografi dan latar belakang, seperangkat instrumen yang valid dan dapat diandalkan digunakan untuk mengukur hasil dari kelelahan, kecemasan, depresi, ketakutan, lesi kuIit, self efficacy, resiliensi, dan dukungan sosial melalui survei online pada Februari 2020.

Dari data yang telah diolah dan dianalisa, perawat garis depan mengaIami berbagai tantangan kesehatan mental, terutama kelelahan dan ketakutan, yang membutuhkan perhatian dan dukungan dari pembuat kebijakan. Intervensi di masa mendatang di tingkat nasional dan organisasi diperlukan untuk meningkatkan kesehatan mental selama pandemi ini dengan mencegah dan menangani lesi kulit, membangun efikasi diri dan ketahanan, menyediakan dukungan sosial yang efisien, dan memastikan kesediaan kerja garis depan.

8. (Halcomb et al., 2020) meneliti The Experiences of Primary Healthcare Nurses During the COVID-19 Pandemic in Australia

Studi ini berusaha untuk menyelidiki pengalaman perawat yang bekerja di layanan kesehatan primer Australia selama pandemi COVID-19. Secara khusus, ini

(18)

berusaha untuk memahami implikasi pada status pekerjaan, peran, dan akses mereka ke alat pelindung diri. Desain dan metode dari penelitian ini adaIah perawat yang bekerja di layanan kesehatan primer di seluruh Australia diundang untuk berpartisipasi dalam survei online lintas bagian melalui media sosial dan organisasi profesional. Alat survei terdiri dari demografi, dan pertanyaan tentang pekerjaan perawat, peran kerja, dan akses ke alat pelindung diri. Kesimpulan yang didapat adalah ini merupakan studi pertama pengalaman perawat perawatan kesehatan primer selama pandemi COVID-19. Temuan penelitian menyoroti tingkat ketidakamanan seputar pekerjaan perawatan kesehatan primer, serta masalah dengan ketersediaan alat pelindung diri untuk perawat ini. Persepsi bahwa pandemi telah mengakibatkan penurunan kualitas perawatan memerlukan eksplorasi lebih lanjut untuk memastikan bahwa mereka yang mengalami kondisi kronis didukung untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan.

9. (Qomariah et al., 2020) meneIiti Adapting to a new normal? 5 key operational principles for a radiology service facing the COVID-19 pandemic

Qomariah dan rekannya melihat peranan fasilitas kesehatan berupa rumah sakit, puskesmas dan fasilitas kesehatan lainnya sangat penting ketika pandemi COVID-19 melanda Indonesia pada khususnya dan dunia pada umumnya.

Masyarakat yang sehat, negaranya akan kuat. Kesehatan merupakan salah satu bagian yang tidak lepas dari pembangunan nasional suatu negara. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh motivasi kerja, gaya kepemimpinan dan penerapan budaya kerja terhadap kinerja pegawai di Puskesmas Tegalsari Kabupaten Banyuwangi. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pegawai di Puskesmas Tegalsari Kabupaten Banyuwangi yang berjumlah 75 pegawai yang semuanya dijadikan sampel peneIltian. Penelitian ini menggunakan alat ukur angket, sehingga diperIukan uji validitas dan uji reliabiIitas. Analisis regresi linier berganda digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen menggunakan SPSS. Uji asumsi klasik dilakukan untuk menilai apakah terdapat masalah dengan asumsi klasik pada model regresi linier Ordinary Least Square (OLS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa motivasi kerja

(19)

berpengaruh terhadap kinerja pegawai. Gaya kepemimpinan berpengaruh terhadap kinerja pegawai. Budaya kerja tidak berpengaruh terhadap kinerja perawat di Puskesmas Tegalsari Banyuwangi. Gaya kepemimpinan berpengaruh terhadap kinerja pegawai. Budaya kerja tidak berpengaruh terhadap kinerja perawat di Puskesmas Tegalsari Banyuwangi.

10. (Festy Debora Umpung, Junita Maja Pertiwi, 2020) meneliti Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Kerja Tenaga Kesehatan di Puskesmas Kabupaten Minahasa Tenggara pada Masa Pandemi COVID-19

PeneIitian ini melihat tenaga kesehatan harus memiliki motivasi kerja yang tinggi agar puskesmas bisa berperan optimal pada masa pandemi COVID-19.

Beberapa faktor yang mempengaruhi motivasi kerja seperti kompensasi, kondisi kerja, kebijakan dan hubungan interpersonal. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengukur hubungan antara kompensasi, kondisi kerja, kebijakan dan hubungan interpersonal dengan motivasi kerja tenaga kesehatan di puskesmas Kabupaten Minahasa Tenggara. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan studi potong lintang. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Minahasa Tenggara pada Maret-Oktober 2020. Responden dalam penelitian ini yaitu 61 tenaga kesehatan di Puskesmas Minahasa Tenggara. Variabel dalam penelitian ini yaitu kompensasi, kondisi kerja, kebijakan, hubungan interpersonal dan motivasi kerja. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kuesioner, dan lainnya. Data diperoleh melalui secara online menggunakan google form.

Analisis data dilakukan secara univariat, bivariat dan multivariat. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu kompensasi, kondisi kerja, kebijakan dan hubungan interpersonal berhubungan dengan motivasi kerja tenaga kesehatan di puskesmas Kabupaten Minahasa Tenggara. Variabel yang paling besar pengaruhnya yaitu kebijakan. Berdasarkan hasil penelitian ini maka pemerintah Kabupaten Minahasa Tenggara harus memperhatikan kompensasi, kondisi kerja, kebijakan dan hubungan interpersonal di puskesmas sehingga tenaga kesehatan dapat bekerja secara optimal khususnya pada masa pandemi COVID 19.

(20)

Berbagai hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa penelitian komunikasi interpersonal dalam konteks komunikasi kesehatan dengan sudut pandang RPA belum pernah dilakukan sebelumnya. Beberapa penelitian sebelumnya dapat mendukung penelitian ini dari aspek komunikasi interpersonal dibidang kesehatan.

Peneliti berharap dapat mengisi kekosongan ilmu pengetahuan akademis mengenai pembentukan hubungan/interaksi awal yang baik melalui komunikasi interpersonal dalam pelayanan kesehatan selama Pandemi COVID-19, serta penelitian dari pendekatan keilmuan lainnya yang dapat menjadi kajian yang menarik untuk dikembangkan.

C. Kerangka Pemikiran

Penelitian ini mencoba menggambarkan proses komunikasi interpersonal yang dilakukan oleh para tenaga kesehatan dan pasien secara umum, serta bagaimana para tenaga kesehatan menempatkan persepsi terhadap risiko tingginya terpapar COVID-19 serta pencarian informasi dari pelaksanaan pelayanan kesehatan di UPT Puskesmas Purwodiningratan.

Berdasarkan uraian diatas, maka kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

(21)

Bagan 2.2 Kerangka Berpikir Sumber : Olahan Peneliti

Dari bagan kerangka berpikir yang disajikan di atas, tampak tenaga kesehatan sebagai subjek dalam penelitian ini dikelompokkan berdasarkan RPA yang memiliki dua faktor pengempokkan yaitu persepsi risiko dan juga efikasi diri.

Setelahnya dari pengelompokkan tersebut, peneliti menggali terkait pencarian informasi yang dilakukan oleh para tenaga kesehatan dengan melihat beberapa aspek diantaranya: sumber; proses; faktor; serta strategi pecarian informasi yang dilakukan oleh para tenaga kesehatan sesuai dengan pengelompokkan persepsi risiko yang sebelumnya telah dilakukan. Selanjutnya, penelitian ini melihat proses adaptasi para tenaga kesehatan melalui IAT dengan tiga faktor utama yang mempengaruhi adaptasi para tenaga kesehatan diantaranya: kebutuhan; harapan;

serta keinginan para tenaga kesehatan di UPT Puskesmas Purwodiningratan dalam menjalankan pelayanan kesehatan dengan persepsi risiko paparan COVID-19.

Referensi

Dokumen terkait

لولأا بابلا ةمدقم ثحبلا ةيفلخ :لولأا لصفلا وأ يوفش لكش في ءاوس ناسنلإا رهاظم نم رهظم يه ةيبدلأا لامعلأا وك ةغللا مدختسي بوتكم س ق الهو ةمدقم ةلي ىرخأ ةرابعبو .ةنميهم

Indikator penilaian tentang kreativitas yakni: (1) memiliki gagasan /ide original dalam mengungkapkan unsur gerak tari (tenaga dan tempo); (2) mengembangkan gagasan

Diharapkan tersedia sistem pakar yang yang dapat mendiagnosa penyakit kulit pada manusia sebagai pendamping pasien sebelum dirujuk kepada dokter sehingga akan ada print out

"Saya lihat bahwa penerapan system pengelolaan persampahan yang ada di Kota Tanjungpinang masih lemah pak: mengapa demikian dengan penerapan yang begini-begini saja tidak ada

Generator arus searah kompon rata 10 Kw, 250 volt, rangkaian ekivalennya berupa kompon panjang mempunyai resistans medan shunt sebesar 125 ohm, resistans rangakaian jangkar 

1.1 Muatan Kampanye melalui Media Cetak untuk Terlaksananya Penggunaan Air dan Daya Air sebagai Materi dengan Memperhatikan Prinsip Penghematan Penggunaan dan

Menurut Yanuarita (2012:12) tes buta warna Ishihara terdiri dari lembaran yang di dalamnya terdapat titik-titik dengan berbagai warna dan ukuran. Titik berwarna tersebut

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini