• Tidak ada hasil yang ditemukan

REPRESENTASI KARAKTER KONTRIBUTOR BERITA TELEVISI DALAM FILM NIGHTCRAWLER (Analisis Semiotika Peirce) - FISIP Untirta Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "REPRESENTASI KARAKTER KONTRIBUTOR BERITA TELEVISI DALAM FILM NIGHTCRAWLER (Analisis Semiotika Peirce) - FISIP Untirta Repository"

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Konsentrasi Jurnalistik

Program Studi Ilmu Komunikasi

Oleh

FRANSISKA AYEL REFTA NIM 6662122442

KONSENTRASI JURNALISTIK

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

(2)
(3)
(4)
(5)

Tahan menderita kepahitan hidup

sehingga penderitaan menjadi kekayaan,

adalah bahagia

Buya HAMKA

Hai dunia, kubuktikan pemimpi lebih baik dibanding pemikir. Karena setelah

bermimpi aku terbangun untuk mewujudkannya. Sementara langkah pemikir terpaku oleh pikiran-pikirannya

sendiri. Maka kupersembahkan skripsi ini untuk semua yang senantiasa menemaniku mewujudkan mimpi-mimpiku. Siapapun kalian, I LOVE YOU

(6)

ABSTRAK

Fransiska Ayel Refta. NIM 6662122442. Skripsi. Representasi Kontributor dalam Film Nightcrawler (Analisis Semiotika Peirce). Program Studi Ilmu Komunikasi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. 2016. Puspita Asri Praceka, M.Ikom.; Darwis Sagita M.Ikom.

Profesi kontributor berita televisi yang dilematis dalam dunia pers menarik keinginan penulis untuk melihat karakternya lebih dekat. Salah satu cara untuk menyimak karakter seseorang yang menggeluti profesi ini yaitu melalui penelitian film yang mengangkat kisah kontributor. Film Nightcrawler menceritakan kehidupan seorang pemuda yang mencintai profesinya sebagai stringer televisi namun tidak menguasai softskill penting yang berhubungan dengan dunia kerja jurnalistik. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui representasi karakter kontributor berita televisi dalam film Nightcrawler. Berdasarkan identifikasi masalah, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana tanda (sign), objeck (object) dan interpretan (interpretant) mengenai karakter kontributor berita televisi dimunculkan dalam film Nightcrawler. Metode yang digunakan adalah kualitatif dengan paradigma konstruktivis. Penelitian ini menggunakan model semiotika Peirce yang terdiri atas sign, object, dan interpretant. Unit analisis yang dipilih merupakan adegan-adegan yang merepresentasikan sosok kontributor. Hasil penelitian menunjukkan sign dalam film berupa perilaku lalai kode etik, dan manipulasi. Object dari penelitian ini ialah tokoh Louis Bloom yang didukung oleh dialog dan perilaku yang diperlihatkan dalam adegan-adegan. Interpretant

dalam penelitian ini adalah perilaku yang ditunjukkan oleh Louis Bloom yang menggambarkan karakter oportunis, ambisius dan berorientasi pada uang. Penelitian ini menyimpulkan bahwa film Nightcrawler merepresentasikan karakter kontributor berita televisi yang muncul dalam bentuk dialog, sikap dan perilakunya. Karakter kontributor berita televisi yang ditemukan antara lain oportunis, ambisius dan berorientasi pada uang.

(7)

ABSTRACT

Fransiska Ayel Refta. NIM 6662122442. Undergraduate Thesis. Representation of Contributor in Nightcrawler Movie (Peirce Semiotics Analysis). Communication Studies, Faculty of Social and Political Science. Sultan Ageng Tirtayasa University. 2016. Puspita Asri Praceka, M.Ikom.; Darwis Sagita M.Ikom.

A dillematic profession of television news contributor is quite interesting for me to be scrutinized. One pleasant way to closely see how contributors do their work is through research on film that has contributor story within. Nightcrawler tells a story about a guy who loves his profession as a stringer for a television station but in eventually he is not obediently capable in any urgent softskill of journalistic accupation. The purpose of this subject of research is to determine the representation of television news contributor‟s characters in Nightcrawler movie meanwhile this research also has the purpose to identify the signs, objects, and interpretants about characters of television news contributor appearing in this film. This research uses qualitative method with constructivist paradigm. The

writter use model of semotic Peirce‟s consisting sign, object, and interpretant. The units of analysis are selected from the scenes that considered to represent contributor. The result of this research points to the signs about behaviours such as negligence on code of ethics, and manipulated. Object of this research is character of Louis Bloom that is supported by dialogue and behaviours which are shown in some scenes. Interpretant in this research is behaviours that are carried by Louis Bloom that describe oportunist, ambitious, and money-oriented characters. This research concludes that Nightcrawler represents contributor that emerges in dialogue, attitude, and behaviour. Contributor is described as oportunist, money-oriented, negligence on code of ethics and facts-manipulating.

(8)

i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kupersembahkan kepada Allah SWT yang selalu memelukku dalam lindungan kasih sayangnya hingga aku mampu menyelesaikan tugas akhir ini. Shalawat beserta salam kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan pengikutnya.

Skripsi berjudul “Representasi Karakter Kontributor Berita Televisi dalam Film Nightrawler (Analisis Semiotika Peirce)” ini penulis selesaikan dengan segenap niat dan usaha sesuai kemampuan yang penulis miliki. Adapun skripsi ini mengangkat makna tanda dalam sebuah film dengan model semiotika yang merupakan salah satu bidang kajian ilmu komunikasi.

Penulis sangat mensyukuri selesainya kewajiban penulis untuk meraih gelar yang penulis dambakan sejak empat tahun lalu. Melalui skripsi ini semoga ada berkah untuk pihak-pihak yang sudah membantu. Pada kesempatan ini penulis sangat berterimakasih kepada:

1. Prof. Sholeh Hidayat, M.Pd selaku Rektor UNTIRTA beserta jajarannya

2. Dr. Agus Sjafari, M.Si selaku dekan FISIP Untirta beserta Wakil Dekan I Rahmawati, M.Si, Wakil Dekan II Imam Mukhroman, M.Si, dan Wakil Dekan III Kandung Sapto Nugroho, M.Si

(9)

ii

4. Puspita Asri Praceka, M.IKom selaku dospem pembimbing I penulis yang sudah memberi banyak bantuan dan bimbingan dalam pengerjaan skripsi ini

5. Papa dan Mama yang telah menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk menafkahiku lahir dan batin hingga skripsi ini selesai, tidak pernah ada kata cukup untuk membalas semua jasa dan pengorbanan kalian

6. Kakak yang selalu menjadi penolong saat dibutuhkan sejak penulis masih kecil, sahabat sekaligus musuh kecilku yang selalu kucintai bagaiamanapun keadaanya

7. Dua sahabat seperjuangan terbaikku, Haryati dan Devi Fatmawati yang selalu ada ketika kita tertawa dan ketika kita pura-pura tertawa bersama saat hidup terasa begitu temaram

8. Diah Fitri Pratiwi dan Fuji Larasakti yang sudah menjadi team bersama penulis dalam mengurus kelengkapan daftar sidang

9. Teman-teman seperjuangan kuliah, Rahel Mutia, Nurfaizah, Ardi Purwadi, Awwalludin, Dian Lestari, Yohana, Sarah Humairah dan semua teman Jurnalistik angkatan 2012 yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terimakasih untuk beberapa tahun terakhir, menjadi bagian dari kelas jurnalistik bersama kalian menyenangkan

(10)

iii

11. Roy Sandy dan Soffal Yahsya yang sudah membantu menemukan berkas kelengkapan daftar sidang penulis yang sempat hilang

12. Tino Prangiosa, atas semangat dan dorongan yang diberikan hingga penulis mampu melewati masa-masa tersulit ketika pengerjaan skripsi ini berlangsung

13. Himakom Sinergi, IMIKI, dan Kovikita sebagai tempat penulis belajar banyak hal selama kuliah

14. Tubagus Bani Fadhil, teman berbagi kasih, minat dan kesukaan tentang MCR, desain grafis dan videografi

15. Pada akhirnya penulis akan berterimakasih kepada dunia dan segenap getaran energi alam yang sangat berkontribusi terhadap suasana hati dan semangat penulis.

Akhir kata, kesempurnaan hanya milik Allah SWT dan kesalahan yang ada dalam skripsi ini milik penulis. Penulis berharap skripsi ini berguna untuk diri penulis sendiri dan pihak-pihak lain yang ingin menjadikan skripsi ini bahan referensi untuk berbagai kegiatan akademis kedepan. Penulis tidak menutup kritik dan saran yang membangun untuk kemajuan penulis di kehidupan mendatang. Semoga kita selalu diberi kesempatan untuk terus melakukan kebaikan dan perubahan positif. Aamiin.

Serang, Oktober 2016

(11)

iv

DAFTAR ISI

HALAMAN MUKA

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS

LEMBAR PERSETUJUAN

LEMBAR PENGESAHAN

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

ABSTRAK

ABSTRACT

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 9

1.3 Identifikasi Masalah ... 9

1.4 Tujuan Penelitian ... 10

1.5 Manfaat Penelitian ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis ... 11

2.1.1 Film sebagai Komunikasi Massa ... 11

2.1.2 Film ... 12

2.1.3 Representasi ... 16

2.1.4 Karakter dan Tokoh ... 18

2.1.5 Kontributor ... 22

2.1.6 Berita Televisi ... 29

(12)

v

2.1.8 Konstruksi Realitas Sosial ... 34

2.1.9 Semiotika Peirce ... 37

2.2 Kerangka Berpikir ... 40

2.3 Penelitian Terdahulu ... 41

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 46

3.2 Paradigma Penelitian ... 47

3.3 Unit Analisis ... 48

3.4 Instrumen Penelitian ... 52

3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 53

3.6 Teknik Analisis Data ... 55

3.7 Jadwal Penelitian ... 57

BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Deskripsi Objek Penelitian ... 59

4.1.1 Profil Film ... 59

4.1.2 Sinopsis dan Penokohan Film ... 60

4.2 Deskripsi Hasil Penelitian ... 64

4.2.1 Film Nightcrawler dalam Pemaknaan Semiotika Peirce ... 64

4.2.2 Representasi Karakter Kontributor Berita Televisi dalam Film Nightcrawler ... 93

4.3 Pembahasan ... 94

4.3.1 Konstruksi Realitas Karakter Kontributor Berita Televisi dalam film Nightcrawler ... 94

4.3.2 Film sebagai Sarana Edukasi tentang Karakter Kontributor .... 95

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ... 97

(13)

vi

DAFTAR PUSTAKA ... 100

LAMPIRAN

(14)

vii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu ... 43

Tabel 3.1 Unit Analisis ... 49

Tabel 3.2 Jadwal Penelitian ... 57

Tabel 4.2 Scene 1 ... 65

Tabel 4.3 Scene 2 ... 67

Tabel 4.4 Scene 3 ... 71

Tabel 4.5 Scene 4 ... 75

Tabel 4.6 Scene 5 ... 79

Tabel 4.7 Scene 6 ... 83

(15)

viii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 (Triangle Meaning) ... 40

Gambar 2.2 Kerangka Berpikir ... 40

Gambar 4.1 Louis Bloom ... ... 62

Gambar 4.2 Nina Romina ... 62

Gambar 4.3 Rick ... 63

Gambar 4.4 Joe Loder ... 63

Gambar 4.5 Frank ... ... 64

Gambar 4.6 Analisis scene 1 ... 66

Gambar 4.7 Analisis scene 2 ... 69

Gambar 4.8 Analisis scene 3 ... 73

Gambar 4.9 Analisis scene 4 ... 77

Gambar 4.10 Analisis scene 5 ... 80

Gambar 4.11 Analisis scene 6 ... 86

(16)

1.1 Latar Belakang Masalah

Jika ada pekerjaan mulia yang dilematis mungkin jawabannya adalah kontributor. Kontributor di Indonesia merupakan sebutan untuk wartawan yang bukan pegawai tetap sebuah lembaga pers dan bekerja secara kontrak. Di Amerika pekerjaan ini disebut stringer namun keduanya memiliki jobdesk serupa hanya saja kontributor di Indonesia bekerja di daerah.1 Di Amerika maupun di Indonesia, lazimnya kontributor/stringer memiliki ciri umum yang sama, antara lain pekerja kontrak atau tidak tetap sebagai penyumbang hasil liputan dan dibayar per-liputan yang tayang.

Kontributor berita televisi merupakan pekerjaan yang dilematis. Dilema ini berawal dari kebutuhan informasi yang begitu luas membuat profesi wartawan terbuka lebar. Tidak seperti profesi dokter, menjadi kontributor terbuka bagi siapa saja. Ia ibarat profesi yang bisa didapatkan bukan berdasarkan bakat tetapi pelatihan terus menerus. Jumlah ledakan lembaga pers seperti televisi dan jumlah wartawan di Indonesia membuka peluang yang luas untuk masyarakat mengisi kekosongan tenaga kerja di sana. Keterbukaan profesi ini memberikan ruang bagi masyarakat untuk menjadi kontributor.

1

Penyebabnya ialah media Indonesia yang Jakartasentris, di mana menjamurnya media swasta yang berkantor pusat di Jakarta dan siaran secara nasional. S.K Menpen No:

04A/Kep/Menpen/1993, sejak tahun 1993 stasiun televisi swasta diizinkan untuk mengudara secara nasional, baik dengan menggunakan jaringan terestrial, kabel atau serat optik, maupun melalui satelit komunikasi.

(17)

Dilema lain dari pekerjaan ini ialah pendidikan formal kejurnalistikan tidak menjadi syarat mutlak untuk kontributor. Joseph Pulitzer (New York) hingga Max Weber (Munich) sudah membicarakan tentang pendidikan wartawan sebagai ukuran jurnalisme bermutu pada akhir abad ke 19 dan awal abad 20. Dalam diskusi yang sulit itu terdiri dari dua kubu. Kubu Pulitzer berpendapat bahwa wartawan perlu pendidikan jurnalisme. Kubu kedua berpendapat wartawan tidak perlu belajar sekolah secara khusus. Jurnalisme adalah keahlian pertukangan. Wartawan sebaiknya belajar dari berbagai disiplin ilmu. Soal keahlian jurnalisme itu sendiri diajarkan melalui magang. Kubu ini termasuk para dosen dari Universitas Harvard yang mendirikan Nieman Foundation on Journalisme pada 1939.2

Di Amerika banyak sekolah wartawan bermutu di mana wartawan diajari berbagai macam keterampilan dalam jurnalisme sekaligus belajar ilmu lain yang menarik minat mereka. Pulitzer sendiri memberikan uang untuk mendirikan Columbia Graduate School of Journalism pada 1902. Di Indonesia, ada 69 sekolah jurnalisme dari D1 hingga S-3 tetapi 80 persen berada di Pulau Jawa dan Medan. Ada ketimpangan besar antara jurnalisme di Jawa dan di Medan serta kota-kota di Indonesia Timur. Sementara tenaga kontributor diperlukan di daerah-daerah untuk memperoleh informasi secara lebih merata. Media pendidikan jurnalisme kita masih terhambat oleh kurikulum nasional. Selain itu tidak ada interaksi antara pendidikan jurnalisme dengan industri media.

2

(18)

Permasalahannya, jika pekerjaan ini terbuka sangat luas dan tidak mengharuskan pekerjanya memiliki latar belakang pendidikan formal apakah kontributor bisa bekerja selaras dengan idealisme? Idealisme seorang pekerja pers merupakan nilai berharga yang harus dikantongi. Idealisme berarti menggunakan hati nurani. Sebagai bentuk tanggung jawab bisikan hati nurani para pekerja pers seharusnya mematuhi etika profesinya. Pentingnya kontributor mendengar hati nuraninya sendiri, dijelaskan pada elemen ke sembilan Bill Kovach. Semua wartawan seyogyanya punya pertimbangan pribadi tentang etika dan tanggung jawab sosial. Wartawan, kontributor atau reporter membangun karirnya dari standar kode etik yang telah ditetapkan di tempat ia bekerja.

Setiap profesi memiliki kode etik masing-masing sebagai pedoman agar bekerja secara etis. Kode etik dirumuskan berdasarkan hasil diskusi-diskusi para ahli di bidangnya. Untuk etika jurnalisme secara global di seluruh penjuru dunia poin paling penting ialah kebenaran. Kebenaran merupakan yang paling utama pada poin-poin kode etik jurnalisme di negara manapun. Seperti Bill Kovach dan Tom Rosenstiel yang menempatkan kebenaran sebagai elemen pertama dalam sembilan elemen jurnalisme.

(19)

terhadap wartawan tidak bisa dilihat hanya dari satu perspektif, yakni dari sisi wartawan saja. Sisi lain yang perlu diperhatikan adalah nuansa manajemen lembaga pers yang terkadang justru menaruh porsi bisnis lebih banyak dibanding porsi tanggung jawab sosial. Tidak adanya keseimbangan antara idealisme dan komersialisme ini menuai dilema lainnya bagi kontributor. Padahal dalam tritunggal jurnalistik, wartawan dikatakan profesional jika ia bisa menyeimbangkan tanggung jawab idealisme dan kebutuhan komersial.

Di banyak stasiun televisi di Indonesia, kehidupan para kontributor memprihatinkan. Mereka bukan pegawai tetap, hanya karyawan kontrakan, tidak digaji perbulan, tidak memiliki jaminan kesehatan dan tunjangan-tunjangan lainnya.3 Dilema lain bagi kontributor untuk memaksimalkan kemungkinan naik tayang liputan yang telah ia buru. Informasi yang cenderung membawa dampak besar seolah-olah seperti patokan jenis berita apa yang akan mereka liput.

Sering sekali pemberitaan di televisi yang berasal dari kontributor (daerah) cenderung hasil dari praktek trivialisasi.4 Ini terjadi karena media yang bersangkutan lebih mengedepankan peluang bisnis. Sama halnya dengan kontributor itu sendiri, jika liputan yang ia dapat tidak naik tayang maka ia tidak memperoleh penghasilan apa-apa. Tidak lain dan tidak bukan ujung-ujungnya adalah soal keuntungan dan urusan kantong baik bagi kontributor maupun media bersangkutan.

3

Ade Armando, Op.cit., hal. 25

4

(20)

Dalam sebuah film berjudul Nightcrawler (2014) yang mengangkat tema media dan jurnalisme karakter sentral dalam film ini bekerja sebagai kontributor (stringer di Amerika). Di Amerika media massa film menjadi sajian yang cukup masif dikonsumsi masyarakatnya. Sepanjang tahun 2015 jumlah tiket film Amerika yang terjual sebanyak 1,340,992,463 tiket.5 Film Amerika diproduksi di Hollywood. Film yang dibuat di Hollywood ini membanjiri pasar global dan mempengaruhi sikap, perilaku dan harapan orang-orang di belahan dunia. Hollywood sudah banyak membuat film, terutama film yang diambil dari kisah nyata yang bertema jurnalistik.

Brian McNair, dalam bukunya Journalists in Film: Heroes and Villains

menggambarkan bagaimana sosok jurnalis dari 72 film yang diproduksi tahun 1997-2008. McNair mengatakan, secara umum ada dua karakter yang sangat bertolak belakang dari film-film yang menggambarkan para wartawan tersebut: wartawan sebagai pahlawan (hero), atau wartawan sebagai penjahat (villain). Sebagai pahlawan, ada empat tipologi lebih jauh terhadap diri

wartawan, yaitu dalam rupa sebagai ‟anjing penjaga‟ (watchdog), sebagai saksi peristiwa (witness), sebagai sosok pemberani dalam masyarakat, dan sebagai tokoh dalam masyarakat. Beberapa dari film bertema jurnalisme jenis ini ialah All The President‟s Men, The Hunting Party, Veronica Guerin, dan lain-lain.

Di luar segala puja-puji, sosok wartawan di layar kaca juga dilihat dari kacamata negatif sebagai villain, terutama ketika wartawan tersebut menyalahgunakan fungsi dan kekuasaan yang mereka miliki. Perilaku negatif ini

5

(21)

muncul dalam rupa mereka yang menurunkan kualitas jurnalisme, berbohong, dan membesar-besarkan fakta serta mereka yang memiliki pengaruh besar dalam masyarakat (king maker). Contoh film di mana wartawan merupakan villain ialah

Paparazzi, Shattered Glass, dan lain-lain.

Di tahun 2014 dirilislah film Nightcrawler arahan Dan Gilroy. Film ini muncul sebagai senggolan Gilroy terhadap kapitalisme media massa, khususnya pada televisi di Amerika. Nightcrawler mengangkat kisah seorang stringer di salah satu stasiun televisi di Los Angeles. Keterangan Gilroy dalam sebuah wawancara oleh media online Amerika:

“They‟re (stringers) trying to remain neutral, they do a very professional job and they do supplying a service, so I see them as a cog in a much larger machine .... Lou is coutionary tale. Lou is capitalism gone amok”.

Mereka (kontributor) mencoba untuk netral, mereka melakukan pekerjaan yang profesional. Saya melihat mereka sebagai roda dalam sistem yang lebih besar ... Lou merupakan kisah yang memprihatinkan. Lou adalah kapitalisme yang jadi gelap mata.

Dalam keterangannya Gilroy yang juga menulis langsung naskah

Nightcrawler menegaskan bagaimana sosok Lou sebagai karakter sentral dalam film tersebut. Louis Bloom merupakan tokoh utama yang bekerja sebagai stringer

(kontributor). Gilroy menekankan bahwa kontributor adalah roda kecil penggerak

sebuah sistem yang lebih besar. Pada keterangan berikutnya dalam kalimat “Lou

is capitalsm gone amok”, Gilroy memberi penegasan bahwa sistem yang

dimaksud ialah kapitalisme.

Menurutnya kapitalisme dalam pers mempengaruhi cara kerja seorang

(22)

sudah melakukan pekerjaannya dengan profesional dan bersikap netral sesuai arahan produser atau news director. Namun Gilroy sendiri menolak jika

Nightcrawler diciptakan sebagai kritiknya terhadap pers Amerika.

Nightcrawler yang dibuat berdasarkan pengalaman personal Gilroy sendiri adalah bentuk konstruksi realitas dari apa yang pernah Gilroy alami. Apakah yang diinternalisasikan Gilroy mengenai kapitalisme media yang mempengaruhi bagaimana kontributor bekerja sesuai dengan kenyataan yang ada? Hal ini bisa dijawab dengan mudah.

Dalam prinsip ekonomi, ketika berbisnis diperlukan modal yang seminim mungkin guna mendapat hasil yang maksimal. Kontributor merupakan wartawan tidak terikat status kepegawaian yang diberi honor per-liputan naik tayang. Tentu saja ini akan mengurangi beban biaya yang ditanggung media bersangkutan untuk memberi gaji tetap, memberikan tunjangan-tunjangan dan bonus, dan lain lain. Selain itu, kontributor akan memaksimalkan hasil liputan berdasarkan kemauan direktur berita agar kerjanya diupahi.

Kenyataannya, ada saja direktur berita televisi menginginkan liputan yang mampu menahan penonton menatap layar kaca selama mungkin, agar bisa memancing rating tinggi. Melihat sikap Rosiana Silalahi kala menjabat sebagai pemred Liputan 6 SCTV6 yang menjadikan era global sebagai alasan untuk media bersaing secara bisnis. Strateginya yaitu membuat program yang mampu menahan mata pemirsa untuk terus menatap layar dan menyantap apa yang disajikan televisi. Lalu, apa yang membuat pemirsa mampu tahan berlama-lama

6

(23)

mengonsumsi berita yang disiarkan sebuah program? Berita sensasional yang mampu membuat pemirsa tercengang, terheran-heran hingga memutar balikkan akal sehatnya adalah jurus jitu.

Seperti lingkaran setan, jika disambung-sambungkan hal di atas merupakan jawaban mengapa kontributor cenderung memburu berita sensasional. Pada akhirnya media dengan prinsip kotor seperti ini bisa meraup keuntungan yang berlipat-lipat. Kelakuan manajemen media yang teracuni prinsip kapitalisme ini hanya akan memberdayakan pegawainya melakukan pekerjaan dengan orientasi keuntungan dan uang. Padahal bekerja sebagai wartawan seyogyanya tidak melupakan hati nurani.

Dilematika yang tidak berujung membuat penulis bertanya-tanya, karakter seperti apa yang mampu membuat kontributor mampu mengemban pekerjaannya. Di Indonesia sendiri film yang mengangkat cerita tentang kontributor sangatlah minim. Namun film Nightcrawler cukup memberikan gambaran yang jelas bagaimana dan seperti apa karakter kontributor ditampilkan dalam layar lebar.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan paradigma konstruktivis. Penelitian kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya.7 Untuk membantu penulis mengetahui tanda-tanda karakter kontributor dalam film tersebut, peneliti menganalisis dengan metode analisis semiotika. Dari beberapa model semiotika, penulis menggunakan model semiotika yang dikemukakan Charles Sanders Peirce untuk menganalisis makna yang terkandung di dalam film

7

(24)

Nightcrawler. Peneliti akan menginterpretasi karakter kontributor melalui segitiga makna atau Triangle Meaning meliputi objek, tanda dan interpretan.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti film Nightcrawler untuk mengamati dan menginterpretasi karakter kontributor berita televisi dalam film Nightcrawler.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan maka rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimana karakter kontributor berita televisi direpresentasikan dalam film Nightcrawler?

1.3 Identifikasi Masalah

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka dapat disimpulkan identifikasi penelitian ini adalah untuk mengetahui:

1. Bagaimana tanda (sign) mengenai karakter kontributor berita televisi dimunculkan dalam film Nightcrawler?

2. Bagaimana objek (object) mengenai karakter kontributor berita televisi dimunculkan dalam film Nightcrawler?

(25)

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian identifikasi masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah untuk:

1. Mengetahui tanda (sign) mengenai karakter kontributor berita televisi yang dimunculkan dalam film Nightcrawler

1 Mengetahui objek (object) mengenai karakter kontributor berita televisi yang dimunculkan dalam film Nightcrawler

2 Mengetahui interpretan (interpretant) mengenai karakter kontributor berita televisi yang dimuculkan dalam film Nightcrawler

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat teoritis

Pada manfaat teoritis penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya wawasan tentang representasi karakter kontributor berita televisi yang terkandung dalam sebuah film.

Manfaat Praktis

1. Penelitian ini berguna untuk penelitian selanjutnya yang membahas tentang berbagai hal yang berkenaan dengan karakter kontributor berita televisi.

(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teoritis

2.1.1 Film sebagai Komunikasi Massa

Definisi komunikasi massa (mass communication) menurut Effendy yaitu komunikasi melalui media massa modern yang meliputi surat kabar yang mempunyai sirkulasi yang luas, siaran radio dan televisi yang ditunjukkan kepada umum, dan film yang dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop. Everet M. Rogers dalam Effendy menyatakan bahwa selain media massa modern, ada pula media massa tradisional seperti teater rakyat, juru dongeng keliling, dan lain-lain.8

Ardianto menyimpulkan bahwa komunikasi massa harus menggunakan media massa, sekalipun komunikasi itu disampaikan kepada khalayak yang banyak, seperti rapat akbar di lapangan luas yang dihadiri banyak orang jika tidak menggunakan media massa, itu bukan komunikasi massa.9 Salah satu media dalam komunikasi massa adalah film karena ciri dan karakteristik film memenuhi karakteristik media massa seperti khalayaknya yang heterogen, proses komunikasinya yang berlangsung satu arah, dan lain-lain.

Menurut Effendy film merupakan salah satu media massa yang ampuh sekali. Sebab, film bukan hanya sekedar untuk hiburan, tetapi juga berfungsi untuk penerangan dan pendidikan. Film banyak digunakan sebagai alat bantu

8

Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, Citra Adya Bakti, Bandung, 2003, hal. 79

9

Elvianto Ardianto, Komunikasi Massa Suatu Pengantar, Simbosa Rekatama Media, Bandung, 2007, hal.3

(27)

pendidikan untuk memberikan penjelasan.10 Effendy juga menyimpulkan bahwa film yang dipertunjukkan di gedung bioskop mempunyai persamaan dengan televisi dalam hal sifatnya yang audio visual.11 Maka dari itu, film dikategorikan sebagai media massa. Ciri khas fungsi film bersifat refreatif-edukatif dan persuasif. Sementara proses komunikasinya bersifat non-elektronik atau mekanik.

2.1.2 Film

2.1.2.1 Definisi Film

Film ialah bentuk dominan dari komunikasi massa visual di belahan dunia.12 Seperti halnya televisi siaran, tujuan khalayak untuk menonton film terutama adalah ingin memperoleh hiburan. Akan tetapi dalam film dapat terkandung fungsi informatif maupun edukatif, bahkan persuasif. Fungsi edukasi dapat tercipta jika film yang diproduksi film sejarah yang objektif atau dokumenter dan film yang diangkat dari kehidupan sehari-hari secara berimbang.13

Singkatnya, film adalah gambar bergerak. Film atau motion pictures

ditemukan dari hasil pengembangan prinsip-prinsip fotografi dan proyektor.14 Film yang ditayangkan di gedung bioskop dikategorikan sebagai film teatrikal. Pengertian film teatrikal ialah film yang diproduksi secara khusus untuk dipertunjukkan di gedung pertunjukkan atau bioskop. Kemudian Effendy juga

Elvianto Ardianto, Op.Cit., hal. 143

13

Ibid, hal. 145

14

(28)

mengklasifikan film salah satunya film cerita, yaitu film yang mengandung suatu cerita yang lazim dipertunjukkan di gedung bioskop dengan bintang film tenar.15

Film yang pertama kali dipertunjukkan kepada publik Amerika Serikat ialah The Life of an American Fireman dan film The Great Train Robbery yang dibuat oleh Edwin Porter pada tahun 1903. Tahun 1906 merupakan periode paling penting dalam sejarah perfileman di Amerika Serikat. Apabila pada permulaannya merupakan film bisu, maka pada tahun 1927 di Broadway Amerika Serikat muncul film bicara yang pertama meskipun belum sempurna.16

Oey Hong Lee dalam Sobur memaparkan bahwa film mencapai puncaknya di antara perang dunia I dan PD II karena permulaan sejarahnya film dengan lebih mudah menjadi alat komunikasi yang sejati. Kala itu film tidak mengalami unsur teknik, politik, ekonomi, sosial dan demografi yang merintangi kemajuan surat kabar pada massa pertumbuhannya dalam abad ke-18 hingga permulaan abad ke-18. Namun masa puncak kejayaan film merosot tajam setelah tahun 1945 seiring dengan munculnya medium televisi.17

Film umumnya dibangun dengan banyak tanda di mana tanda-tanda tersebut termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik dalam upaya mencapai efek yang diharapkan. Sistem semiotika dalam film menggunakan tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu.18

15

Onong Uchjana Effendy, Op.Cit., hal. 201 - 211

16

Elvianto Ardianto, Op.Cit., hal. 144

17

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004, hal. 126

18

(29)

Realitas yang ditampilkan film, seluruhnya atau sebagian, tidak hanya mirip, tetapi juga memiliki keterkaitan dengan realitas kita. 19

2.1.2.2 Karakteristik Film

Ada beberapa faktor yang dapat menunjukkan karakteristik film, antara lain:

1. Layar yang luas dan lebar. Kelebihan film dibanding siaran televisi ialah layarnya yang jauh lebih luas dan lebar walau kini ada televisi berlayar lebar yang diproduksi.

2. Pengambilan gambar. Pengambilan gambar atau shot dalam film bioskop memungkinkan dari jarak jauh atau extreme long shot untuk memberi kesan artistik dan suasana sesungguhnya.

3. Konsentrasi penuh Khalayak dalam gedung bioskop terbebas dari gangguan hiruk pikuknya suara di luar karena biasanya ruangan kedap suara sementara pikiran dan perasaan tertuju pada alur cerita.

4. Identifikasi psikologis Pengaruh film terhadap jiwa manusia (penonton) tidak hanya sewaktu atau selama duduk di gedung bioskop, tetapi terus sampai waktu yang cukup lama, misalnya peniruan terhadap cara berpakaian atau model rambut. Efek kurang baik dari pengaruh psikologis film ialah ketika khalayak meniru gaya hidup yang tidak sesuai dengan norma budaya Indonesia. 20

19

Ibid, hal. 167

20

(30)

Dampak film yang ditayangkan di bioskop memberikan efek afektif sebab proses komunikasinya yang mendukung kondisi penerimaan pesan yang berkesan seperti layar yang lebar, suara yang jelas, dan ruang yang gelap.

2.1.2.3 Unsur-unsur Pembentuk Film

Secara umum film dibagi atas dua unsur pembentuk. Kedua unsur itu ialah unsur naratif dan unsur semantik. Keduanya saling berinteraksi dan berkesinambungan satu sama lain untuk membentuk sebuah film. Masing-masing unsur tidak akan membentuk sebuah film jika berdiri sendiri. Pratista menganalogikan narasi sebagai materi dan sinematografi sebagai gaya mengolahnya.

Unsur naratif berhubungan dengan aspek cerita atau tema film karena setiap film cerita tidak mungkin lepas dari unsur naratif. Setiap cerita memiliki unsur seperti tokoh, masalah, konflik, lokasi, waktu dan lain-lain. Semua elemen tersebut membentuk naratif secara keseluruhan. Sementara unsur sinematik terbagi atas empat elemen yaitu: mise-en-scene, sinematografi, editing, dan suara.21

2.1.2.4 Jenis-jenis Film

Secara umum film dibagi atas tiga jenis, yaitu:

a. Film Dokumenter. Film dokumenter berhubungan dengan orang-orang, tokoh peristiwa dan lokasi yang nyata.

21

(31)

b. Film Fiksi. Film Fiksi terikat oleh plot, menggunakan cerita rekaan di luar kejadian nyata serta memiliki konsep pengadeganan yang telah dirancang sejak awal.

c. Film Eksperimental. Film ekperimental umumnya bekerja di luar industri film utama (mainstream) dan bekerja pada studio independen atau perorangan.22

2.1.3 Representasi

Marcel Danesi mendefinisikan representasi sebagai proses merekam ide, pengetahuan, atau pesan dalam beberapa cara fisik disebut representasi. Ini dapat didefinisikan lebih tepat sebagai kegunaan dari tanda yaitu untuk menyambungkan, melukiskan, meniru sesuatu yang dirasa, dimengerti, diimajinasikan atau dirasakan dalam beberapa bentuk fisik.23

Representasi adalah proses pengkodekan (encoding) dan memperlihatkan (display) bentuk-bentuk simbolik yang mencerminkan posisi ideologis. Dalam Saiful Totona, Tim O`Sullivan membedakan istilah representasi pada dua pengertian. Pertama, representasi sebagai suatu proses dari representing. Kedua, representasi sebagai produk dari proses sosial representing sehingga pada tatanan pertama merujuk para proses, sedangkan yang kedua merujuk kepada produk dari perbuatan tanda yang mengacu pada sebuah makna.24

22

Ibid, hal. 4-7

23

Marcel Danesi, Understanding Media Semiotics, Arnold, London, hal. 3

24

(32)

Hall dalam bukunya Representation: Cultural Representation and Signifyig Practices:

“Representation connects meaning and language to culture….

Representation is an essential part of the process by which

meaning is produced and exchanged between members of culture”

Dapat dikatakan bahwa, representasi secara singkat adalah salah satu cara untuk memproduksi makna. Representasi bekerja melalui sistem representasi yang terdiri dari dua komponen penting, yakni konsep dalam pikiran dan bahasa. 25

Menurut Stuart Hall, ada tiga pendekatan representasi :

1. Pendekatan Reflektif, bahwa makna diproduksi oleh manusia melalui ide, media objek dan pengalaman-pengalaman di dalam masyarakat secara nyata.

2. Pendekatan Intensional, bahwa penutur bahasa baik lisan maupun tulisan yang memberikan makna unik pada setiap hasil karyanya. Bahasa adalah media yang digunakan oleh penutur dalam mengkomunikasikan makna dalam setiap hal-hal yang berlaku khusus yang disebut unik.

3. Pendekatan Konstruksionis, bahwa pembicara dan penulis, memilih dan menetapkan makna dalam pesan atau karya (benda-benda) yang dibuatnya. Tetapi, bukan dunia material (benda-benda) hasil karya

25

(33)

seni dan sebagainya yang meninggalkan makna tetapi manusialah yang meletakkan makna.26

Representasi merupakan sebuah istilah yang merujuk pada cara di mana seseorang atau sesuatu dilukiskan dalam media. Menurut Stuart Hall ada dua proses representasi. Pertama, representasi mental, yaitu konsep tentang „sesuatu‟ yang ada dikepala kita masing masing (peta konseptual), representasi mental

masih merupakan sesuatu yang abstrak. Kedua, „bahasa‟, yang berperan penting

dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam pikiran harus

diterjemahkan dalam „bahasa‟ yang lazim agar dapat menghubungkan konsep dan

ide ide tentang sesuatu dengan tanda dari simbol simbol tertentu.27

2.1.4 Karakter dan Tokoh

Kata karakter berasal dari bahasa Latin, yaitu ”kharakter,”

kharassein,”dan ”kharax,” yang memiliki makna ”tool for marking,” ”to

engrave,” dan ”pointed stake.”. Pada abad ke- 14 kata ini mulai banyak digunakan

ke dalam bahasa Prancis sebagai ”caractere”. Ketika dimasukkan ke dalam

bahasa Inggris berubah menjadi ”caracter‟‟ , selanjutnya dalam bahasa Indonesia

kata ini berubah menjadi ”karakter”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

26 Mustika Ranto Gulo, Stuart Hall,

Media Massa dan Representasi,

https://ahlikomunikasi.wordpress.com/2

012/11/01/stuart

-

hall

-

media

-

masa

-represetasi/

, dikutip pada 15 Mei 2016

27

(34)

(KBBI) karakter memiliki arti tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain.

Senada dengan pengertian karakter, Suyono menulis bahwa karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.28

Seorang penulis menghadirkan karakter dengan dua cara, yaitu: 1. Secara Langsung

Kebanyakan para penulis merasa perlu untuk memberitahu pembaca atau pemirsa secara langsung mengenai karakter yang mereka ciptakan. Biasanya penulis menggambarkan karakter kepada pembaca atau pemirsa dengan beberapa karakteristik seperti seperti rambut pirang, berusia tiga belas tahun, sedang jatuh cinta dengan seseorang, seorang yang baik, memiliki senyum yang bagus, dan lain-lain.

2. Secara tidak langsung

Beberapa penulis memberitahu pembaca atau pemirsa mengenai sesuatu secara tidak langsung. Penulis dapat memunculkan karakter dari cara dia berbicara, bereaksi, atau berpikir. Jadi, pembaca atau pemirsa akan mengerti tentang karakter pada cerita.

Berdasarkan teori karakter Goffman, ada tipe umum tokoh dalam film

28

(35)

1. Karakter utama

Biasanya kita menemukan beberapa karakter yang muncul dalam sebuah cerita. Tetapi setiap karakter memiliki peranan berbeda. Berdasarkan peranan dan seberapa pentingnya peranan ada karakter dasar yang dimunculkan terus menerus dan itu disebut sebagai karakter utama.

Karakter utama selalu muncul hampir dalam keseluruhan cerita, baik secara terlaku maupun pelaku. Karakter ini menentukan plot cerita secara keseluruhan. Karakter utama biasanya kompleks dan memilki beberapa sifat yang diperlukan untuk mendeskripsikan mereka. Jadi karakter utama memiliki peranan penting dalam alur sebuah cerita.

2. Karakter figuran

Di sisi lain, ada karakter yang muncul sekali atau kadang-kadang, dan mungkin relatif di bagian singkat, hal itu disebut karakter figuran. Berbeda dari karakter utama, karakter figuran mengambil peran kecil dalam sebuah cerita. Ini hanya muncul ketika ada kesinambungan langsung dan tidak langsung dengan karakter utama dalam cerita. 3. Protagonis

(36)

berani atau mulia, pahlawan mungkin baik atau jahat, rendah atau tinggi lahir. Protagonis adalah tokoh yang dikagumi oleh pembaca atau pemirsa, populer atau dia disebut sebagai pahlawan karena dia selalu melakukan peran ideal dan mengikuti aturan dan nilai-nilai dalam masyarakat.

4. Antagonis

Antagonis adalah karakter yang selalu membuat konflik. Antagonis dapat dikatakan sebagai kebalikan dari protagonis langsung atau tidak langsung. Tapi konflik yang selalu memiliki oleh protagonis tidak hanya disebabkan oleh antagonis. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor-faktor lain di luar seseorang secara individual, seperti bencana, kecelakaan, lingkungan dan kekuatan yang lebih tinggi yang lain. Penyebab konflik yang tidak dibuat oleh karakter disebut kekuatan antagonis. (Nurgiyantoro, 1998: 178-179).

Antagonis adalah karakter yang menentang untuk protagonis, orang yang membantu penyebab konflik untuk protagonis. protagonis mungkin orang lain, binatang, lingkungan, diri internal yang (psikologis). (Nurgiyantoro, 1990: 101).

(37)

dirasakan atau dialami oleh karakter dalam cerita. 29 Menurut Altenbernd & Lewis

tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi atau sering disebut „hero‟, tokoh yang ideal bagi kita. 30

Dalam penelitian ini, tokoh yang dimaksud adalah tokoh yang mengacu pada pendapat Nugriyantoro berdasarkan peran, yakni tokoh utama. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan pengarang atau penceritanya dalam cerita yang bersangkutan. Tokoh utama ini merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik dari segi pelaku maupun yang dikenai kejadian. Pada penelitian ini tokoh utama yang dimaksud ialah Louis Bloom dalam film Nightcrawler.

2.1.5 Kontributor

2.1.5.1 Definisi Kontributor

Secara bahasa kontributor adalah penyumbang (karangan pada majalah).31 Artinya, kontributor di bidang media adalah orang yang menyumbang konten atau muatan di media yang bekerja secara bebas (freelance). Konten itu bisa berupa apa saja, baik berita, opini, foto dan lain-lain.

Pekerja freelance dapat bekerja untuk beberapa publikasi dan bisa dipekerjakan oleh perusahaan-perusahaan yang berbeda. Mereka harus punya keahlian finansial, pandai menyusun jadwal waktu dan mampu mempromosikan

29

Jakob Sumardjo, Apresiasi Kesusastraan, Gramedia, Jakarta, 1988, hal. 144

30

Burhan Nugriyantoro,. Teori Pengkajian Fiksi., Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1995, hal. 182

31

(38)

diri sendiri, atau mereka bisa menyewa orang lain untuk menjalankan tugas ini.

Freelance tidak terikat dengan organisasi.32

Sementara Romli mendefinisikan wartawan lepas sebagai wartawan yang tidak terikat pada media massa tertentu dan menerima honorarium atas tulisannya.33 Bahari dalam Wardani mendefinisikan kontributor sebagai penyumbang naskah/tulisan yang secara struktural tidak tercantum dalam srtuktur organisasi redaksi, mereka terlibat di bagian redaksi secara fungsional.34 Sebagai pekerja yang tidak memiliki ikatan kerja tetap, kontributor bisa disebut sebagai wartawan lepas.

Wartawan lepas atau freelance journalist biasanya memiliki peralatan liputan seperti kamera dan komputer milik sendiri, kendaraan pribadi hingga membiayai transportasinya sendiri.35 Di sebagian media, kamera digunakan kontributor harus membeli sendiri.36

Lebih khusus, sebutan kontributor di dunia pers Indonesia dimaknai sebagai wartawan yang meliput berita di daerah atau yang dulu disebut koresponden. Seperti yang diungkapkan Nurudin bahwa menjadi wartawan tidak seperti menjadi dokter. Profesi ini terbuka bagi siapa saja dan ibarat profesi yang bisa didapatkan bukan berdasarkan bakat tetapi pelatihan terus menerus.37

Realitas kontributor di Indonesia berkaitan dengan pers televisi Indonesia yang bersifat jakartasentris. Salah satu faktornya yaitu menjamurnya televisi

32

Tom E. Rolnicki, Pengantar Dasar Jurnalistik, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2008

33

Asep Syamsul M. Romli, Kamus Jurnalistik, Sembiosa Rekatama, Bandung, 2008, hal. 138

34

Mahisa Ayu Kusuma Wardani, Peran Kontributor dalam Kegiatan Jurnalisme TV, UMM, 2013, Skripsi

35

Tom E. Rolnicki, Op.cit., hal. 138

36

Ade Armando, Televisi Jakarta di Atas Indonesia, Bentang, Yoyakarta, 2011, hal. 25

37

(39)

swasta nasional di Indonesia yang berkantor di Jakarta namun siaran secara nasional. Menurut S.K Menpen No: 04A/Kep/Menpen/1993, sejak tahun 1993 stasiun televisi swasta diizinkan untuk mengudara secara nasional, baik dengan menggunakan jaringan terestrial, kabel atau serat optik, maupun melalui satelit komunikasi.38 Hal ini yang membuat media membutuhkan perpanjangan tangan dari wartawan yang berada di daerah guna memperoleh informasi dari luar Jakarta.

Di setiap daerah di luar jakarta, lazimya ada semacam koresponden tak berkantor. Koresponden atau kontributor ini bertugas melaporkan berita yang terjadi di kotanya masing-masing untuk dikirim ke Jakarta.39 Kontributor adalah sebutan bagi wartawan yang ditempatkan di daerah yang tidak berada dalam satu wilayah kota dengan kantor pusat media pers tempatnya bekerja yang dulu lebih dikenal dengan koresponden.40

Dalam penelitiannya Wardani menjelaskan bagaimana sebutan koresponden berubah menjadi kontributor. Pada awal perkembangan pers, perusahaan media menggunakan istilah koresponden yang berstatus pegawai tetap untuk wartawan daerahnya. Namun perusahaan pers mengganti istilah koresponden dengan kontributor yang berstatus kontrak per satu tahun untuk wartawan daerahnya. Beralihnya penggunaan istilah koresponden ke kontributor ini didasari oleh ketakutan perusahaan media jika wartawan daerah tidak bertanggung jawab untuk melakukan liputan, mengingat pengalaman televisi

38 Tim Redaksi LP3ES,

Jurnalisme Liputan 6, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 2006, hal 31

39

Ade Armando, Op.cit., hal. 25

40

(40)

swasta nasional yang semua wartawan daerahnya dijadikan pegawai tetap namun malah bekerja malas-malasan dan tidak menghasilkan berita.41

2.1.5.2 Pola Kerja Kontributor

Freelances atau Stringers adalah bagaimana media luar Indonesia menyebut pekerjaan kontributor, dipekerjakan oleh editor berita ketika informasi tersebar di daerah atau lokasi di mana stringer berada. Stringer-lah yang memperoleh lebih banyak informasi penting. Memiliki kontak yang bagus di antara polisi lokal, politikus lokal dan masyarakat bisnis, stringer biasanya pihak paling pertama yang berada di kejadian penting dan cepat dalam menjadikannya sebuah berita.42

Kontributor ternyata tidak juga bisa disamakan dengan wartawan lepas. Kontributor tidak bisa mengirimkan berita ke media lain selain media yang yang menaunginya. Mereka hanya menerima honorarium atas berita yang dimuat.43 Para kontributor ini dibayar berdasarkan berita yang dimuat di program berita yang dipancarkan dari Jakarta.44 Kontributor tidak bisa digolongkan sebagai

freelance karena mereka dikontrak dalam jangka waktu beberapa tahun. Artinya selama masa kontrak di media tertentu mereka tidak menjual laporan ke media lain.

Di banyak stasiun televisi, kehidupan para kontributor memprihatinkan. Mereka bukan pegawai tetap, hanya karyawan kontrakan, tidak digaji tetap, tidak

41

Ibid

42

Ivor Yorke, The Technique of Television News 1978, four edition, Focal Press, Oxon, 2013, hal. 19

43

Loc.cit.

44

(41)

memiliki jaminan kesehatan dan tunjangan-tunjangan lainnya.45 Kontributor kebanyakan bukanlah pegawai tetap dari kantor media tertentu, dan mereka baru akan dibayar per liputan yang kemudian ditayangkan. Jika liputannya tidak dipilih, hilang sudah ongkos transportasi, biaya liputan, ongkos komunikasi, dan lain-lain.46

Maka ada saja kontributor menggugat media yang bersangkutan untuk memperjuangkan hak mereka sebagai pekerja. Hal ini tercermin dalam aksi yang dilakukan Serikat Pekerja Lintas Media pada 1 Mei 2016 lalu. Dilansir dari Timesindonesia.co.id, Serikat Pekerja Lintas Media menuntut penghapusan pemberlakuan kontributor dan stringer di media massa dalam aksi tersebut. Tuntutan ini berangkat dari banyaknya perusahaan media yang abai terhadap nasib kontributor.47 Menurut data yang ada, sekitar 39 persen kontributor tidak mendapat jaminan BPJS Kesehatan dan ketenagakerjaan. Sekitar 22 persen kontributor mendapat upah RP. 1,5 Juta atau dibawah upah minimum kota/kabupaten (UMK).48

Kurangnya perhatian media terhadap persoalan ketenagakerjaan yang

dialami kontributor membuat pekerja yang menyebut diri mereka sebagai „ujung

tombak pemberitaan‟ memilih menuntut. Sebab, jam kerja kontributor yang full

time namun tidak dibarengi dengan hadirnya upah lembur, menurut Rudy Hartono

45

Loc.Cit

46

Ignatius Haryanto, Jurnalisme Era Digital, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2014, hal. 34

47

Timesindonesia.co.id, Banyak Perusahaan Media yang Abai terhadap Nasib Kontributor, Berita tanggal 1 Mei 2016, diakses pada 6 Agustus 2016 pukul 22:07 PM

48

(42)

selaku Koordinator Serikat Pekerja Lintas Media (SPLM) ternyata melanggar pasal 78 ayat 2 UU No 13/2003 soal upah lembur.49

Kontributor sebagai pekerja kontrak memang tidak disamakan dengan pegawai media tetap dalam hal ketenagakerjaan yang meliputi hak-hak mereka sebagai pekerja. Namun nyatanya kontributor masih bisa mensiasati problematika terkait pemasukan dan honor. Haryanto berpendapat, bekerja kontrak tidak menjamin kontributor hanya menjual berita ke satu media yang menaunginya saja. Kontributor bisa saja menjual berita ke satu-dua stasiun televisi sekaligus. 50

Cara lain yang dapat dilakukan kontributor terkait hal di atas ialah memaksimalkan kemungkinan naik tayang berita mereka di media. Karena dari cara itu mereka mendapat upah seperti yang sudah disebutkan sebelumnya. Berita yang memiliki nilai lebih di mata produser memiliki kemungkinan tayang lebih besar.

Masih dalam bukunya, Jurnalisme Era Digital, Haryanto pernah bertanya tentang adegan kekerasan yang tayang dalam siaran berita kepada seorang produser berita televisi. Produser tersebut menjawab bahwa jika tidak ada gebuk-gebukannya (kekerasan) para penonton akan pindah ke saluran lain. Demikianlah dunia pertelevisian kita masih penuh dengan hal-hal yang membuat kita tercengung dan merasa akal sehat tercabut saat menontonnya.51

Pengakuan para kontributor dalam temuan Haryanto mengamini hal tersebut. Dalam temuannya, kontributor mengaku bahwa produser di Jakarta

49

Loc.cit.

50

Ignatius Haryanto, Op.cit., hal. 35

51

(43)

selalu meminta berita konflik, kriminal atau hal-hal yang aneh seperti demikian.52 Berita yang mengarah pada konflik, kriminal, kekerasan dan lain-lain merupakan praktek trivialisasi demi keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya dalam dunia media.53 Sebab salah satu indikator trivialisasi adalah ketika kekerasan menjadi hal yang utama dalam tayangan .54

Tidak heran apabila televisi berusaha terus menerus untuk mengikat pemirsa agar mereka terus tersihir dan menempel di layar kaca. Mengutip pernyataan Silalahi dalam Jurnalisme Liputan 6, yang perlu dilakukan adalah bagaimana pihak manajemen media bisa secara terus menerus menahan penonton agar tidak pindah.55

Seperti program acara televisi pada umumnya, rating pun cukup berperan dalam menentukan berita seperti apa yang bakal membuat publik menahan diri untuk berlama-lama menatap layar kaca. Karena media tidak jauh-jauh dari praktik komersialisme dan dampaknya, yaitu ketika pemasang iklan dan pemilik media memengaruhi berbagai kebijakan editorial.56 Inilah alasan mengapa kontributor cenderung meliput kejadian-kejadian yang bersifat bombastis dan sensasional guna memaksimalkan pemasukan honor.

(44)

sementara berita sensasional mudah menarik perhatian banyak penonton, terlepas dari daerah asal dan tempat tinggal.57

2.1.6 Berita Televisi

Berita televisi muncul pada gelombang kedua era broadcasting setelah siaran radio. Berita televisi yang disiarkan pertama kali adalah ketika kapal layar Queen Mary berlabuh di Southampthon pada tahun 1936 bulan Agustus oleh BBC. Kini, pada gelombang ketiga kemunculan berita televisi pemirsa dapat memilih berita apa yang akan mereka tonton.58 Di Indonesia program berita ada di hampir semua stasiun televisi swasta. Namun stasiun televisi generalis yang secara khusus menyiarkan berita adalah Metro TV dan TV One.59

Kekuatan berita televisi ada pada gambar sehingga membuat prinsip bad news is a good news tidak sepenuhnya berlaku. Good News, jika kita memiliki, bisa jadi berita televisi. Jika juru kamera medapat gambar dari sebuah peristiwa maka bisa jadi itu berita televisi. Sebaliknya, seburuk apapun berita jika kita tidak memiliki gambarny maka tidak bisa jadi berita televisi. Paling banter, stasiun

televisi akan melaporkan peristiwa “buruk” itu dalam format live by phone

(laporan langsung melalui sambungan telepon).60

Gambar juga bisa menjadikan yang tidak aktual menjadi seolah aktual. Misalnya ketika Metro TV memperoleh gambar amatir tentang Tsunami di Aceh beberapa hari setelah tsunami terjadi, peristiwa tsunami tersebut seolah aktual.

57

Ade Armando, Op.cit., hal. 25

58

Ivor Yorke, Op.Cit, Hal. 2

59

Usman KS, Television News: Reporting & Writing, Ghalia Indonesia, Bogor, 2009, hal.2

60

(45)

Berita televisi tidak lepas dari unsur gambar di dalamnya. Maka berita televisi bisa kita definisikan sebagai laporan peristiwa atau pendapat yang aktual, menarik dan berguna yang disiarkan dengan gambar-gambar melalui media televisi.61

Berita-berita di televisi ditampilkan melalui voice over + slide bulletins (gambar-gambar berita yang dilatarbelakngi dengan narasi) yang ringkas atau summeries (ringkasan berita) sebagai bagian dari pengembangan network production. Kecuali di stasiun teleisi lokal yang kecil, pada umumnya news departement adalah bagian yang paling besar dengan karyawannya dalam sebuah stasiun televisi. Departement news ini melibatkan hapir 20 sampai 100 tenaga kerja.dari semua yang memproduksi berita sehari-hari hanya anchors dan reporter yang bekerja sebagai penyiar. 62

2.1.7 Hati Nurani, Idealisme dan Kode Etik

Andreas Harsono menyebut hati nurani jurnalisme ada pada Bill Kovach dan hal ini adalah ungkapan yang sering dipakai orang bila berbicara soal Kovach. Kovach seorang wartawan yang nyaris tanpa cacat ini menulis buku The Elements of Journalisme: What Newspeople Should Know and The Public Should Expect

(April 2001) bersama rekannya Tom Rosenstiel. Dalam buku ini Kovach merumuskan 9 elemen jurnalisme. 63

Kesembilan poin tersebut memiliki kedudukan sama namun Kovach dan Rosenstiel menempatkan keberan pada poin pertama. Kebenaran yang dimaksud

61

Loc.Cit

62

Teddy Resmisari Pane, Speak Out: Panduan Praktis dan Jitu Memasuki Dunia Broadcasting dan Public Speaking, Gramedia, Jakarta, 2004, hal.83

63

(46)

ialah kebenaran fungsional. Kebenaran fungsional bisa direvisi, berbentuk lapisan-lapisan dan dapat dibentuk dari-demi hari.64

Dari sembilan elemen tersebut, elemen terakhir yang tidak kalah pentingnya ialah hati nurani. Poin terakhir ini mengajak para jurnalis dan wartawan untuk mendengar hati nurani mereka. Dari ruang redaksi hingga ruang direksi semua wartawan seyogyanya punya pertimbangan pribadi tentang etika dan tanggung jawab sosial. Wartawan, kontributor atau reporter membangun karirnya dari standar kode etik yang telah ditetapkan di tempat ia bekerja.65

Idealisme wartawan merujuk pada profesionalisme jurnalistik sebagai bagian integral dari sensor dan kontrol diri wartawan sehubungan dengan strategi tindak tutur komunikasinya. Strategi ini berhubungan dengan upaya wartawan ketika menggarisbawahi, menonjolkan, dan kemudian menonstruksi suatu fakta.66

Di tengah-tengah idealisme dan praktik bisnis pers, kontributor melaksanakan kegiatan jurnalistiknya yaitu mencari, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi kepada masyarakat luas, baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, maupun data dan grafik, dengan menggunakan media massa dan segala jenis saluran yang tersedia, mengingat ungkapan jurnalistik yang disebarkan begitu luas, menjadi wajar jika wartawan dituntut harus melandaskan diri dengan prinsip etis agar tidak terjadi praktik politik informasi yang mengarah pada monopoli pendapat umum. 67

64

Loc.Cit

65

Ibid, hal. 30

66

Wahyu Wibowo, MenujuJurnalisme beretika, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2009, hal. 4)

67

(47)

Berprinsip etis berarti berperilaku dengan mengacu kepada etika. Profesi wartawan memiliki kode etik sebagai pegangan mereka untuk berprinsip etis guna mencapai idealisme. Kode etik dirumuskan berdasarkan hasil diskusi-diskusi para ahli di bidangnya. Kode etik merupakan aturan kerja yang tidak begitu ketat namun mencerminkan semangat kesatuan wartawan kapan dan di mana pun bekerja. Kode etik juga dijadikan pegangan dalam bekerja sehingga di satu sisi dapat melindungi diri, dilindungi oleh kode etik dan juga melindungi sumber berita.68

Di dunia internasional pekerjaan wartawan ini diatur oleh International Federation of Journalist dalam Laku Jurnalis atau The Conduct of Journalist. Sembilan poin etika perilaku wartawan yang dirancang oleh IFD ini diadaptasi dari Kongres International Federation of Journalist yang kemudian diamandemen pada tahun 1986 dalam kongres dunia.

Isi dari IFD‟s Principle on the Conduct of Journalists ini adalah:

1. Respect for truth and for the right of the public to truth is the first duty of the journalist

2. In pursuance of this duty, the journalist shall at all times defend the principles of freedom in the honest collection and publication of news, and of the right of fair comment and criticism

3. The journalist shall report only in accordance with facts of which he/she knows the origin. The journalist shall not suppress essential information or falsify documents.

4. The journalist shall use only fair methods to obtain news, photographs and documents.

5. The journalist shall do the utmost to rectify any published information which is found to be harmfully inaccurate.

6. The journalist shall observe professional secrecy regarding the source of information obtained in confidence.

7. The journalist shall be aware of the danger of discrimination being furthered by the media, and shall do the utmost to avoid

68

(48)

facilitating such discrimination based on, among other things, race, sex, sexual orientation, language, religion, political or other opinions, and national or social origins.

8. The journalist shall regard as grave professional offences the observe faithfully the principles stated below.

Within the general law of each country the journalist shall recognize in professional matters.69

Sementara di Indonesia terdapat dua jenis kode etik jurnalistik, yaitu Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) dan Kode Etik Aliansi Jurnalistik Independen (KEAJI).

Dampak yang timbul dari munculnya profesi kontributor membawa berbagai hal dilematis. Seperti maraknya penyimpangan yang terjadi di dunia pers. Penyimpangan-penyimpangan ini biasanya berhubungan dengan pelanggaran kode etik. Kode etik wartawan adalah ikrar yang bersumber pada hati nurani wartawan Indonesia dalam melaksanakan kemerdekaan mengeluarkan pikiran yang dijamin sepenuhnya oleh pasal 28 UUD 194. 70

Di dunia jurnalisme kode etik diperlukan karena adanya tuntutan yang sangat asasi, yaitu kebebasan pers. Hal dilematis yang dihadapi kontributor kerap melunturkan hati nurani mereka untuk mengemban tanggung jawab pers.

69

http://www.ifj.org/aboutifj/ifjcodeofprinciples/

70

(49)

Bagaimanapun juga, sebagai insan pers yang bertanggung jawab kontributor harus tetap mendengarkan hati nurani dan mematuhi kode etik yang berlaku.

2.1.8 Konstruksi Realitas Sosial

Peter Berger bersama Thomas Luckmann pertama kali memperkenalkan teori konstruksi realitas sosial dalam tulisan mereka berjudul “Pembentukan

Realitas Secara Sosial” atau The Social Costruction Reality (1966). Teori Berger

ini diilhami oleh pemikiran seorang filsuf Alfred Schutz yang menyatakan:

The world of my daily life is by no means my private world but is from the outset and intersubjective one, shared with my fellow men, experienced and interpreted by others: in brief, it is a world common to all of us. The unique biographical situation in which I find myself within the world at any moment of my existence is only to a very small extent of my own making.71

Dalam perspektif ini, Berger dan Luckmann menyatakan bahwa pengertian dan pemahaman kita terhadap sesuatu muncul akibat komunikasi dengan orang lain. Realitas sosial sesungguhnya tdak lebih dari sekedar hasil konstruksi sosial dalam komunikasi tertentu.

Tesis utama dari Berger adalah manusia dan masyarakat adalah produk yang dialektis, dinamis, dan plural secara terus menerus. Masyarakat tidak lain adalah produk manusia, namun secara terus menerus mempunyai aksi kembali terhadap penghasilannya. Sebaliknya, manusia adalah hasil atau produk dari masyarakat

71

(50)

Realitas sosial model Berger sesungguhnya merupakan sintesa antara Strukturalisme dan Interaksionisme. Atau, dengan kata lain Berger dalam karya-karyanya berusaha menjembatani antara makro dan mikro, antara bebas nilai dan sarat nilai, serta antara teoritis dan relevan. Realitas sosial eksis dengan sendirinya. Berger menjelaskan bahwa realitas kehidupan sehari-hari memiliki dimensi-dimensi subjektif dan objektif.

Manusia merupakan instrumen dalam menciptakan realitas sosial yang objektif melalui proses eksternalisasi, sebagaimana ia dipengaruhi melalui proses internalisasi. Dalam model yang dialektis, di mana terjadi tesa, antitesa, dan sintesa, Berger melihat masyarakat sebagai produk manusia dan manusia sebagai produk masyarakat.

“Bahasa” memberi sebutan-sebutan yang dipakai untuk membedakan objek-objek. Bagaimana benda-benda dikelompokkan bergantung pada penggunaan realitas sosial tertentu. Begitu juga bagaimana kita memahami objek-objek dan bagaimana kita berperilaku terhadapnya sangat bergantung pada realitas sosial yang memegangg peranan. 72

Eriyanto mengulas tiga klasifikasi tahapan dialektis yang biasa Berger sebut sebagai momen. Pertama, eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Ini sudah menjadi sifat dasar manusia, ia akan selalu mencurahkan diri ke tempat di mana ia berada. Manusia tidak dapat kita mengerti sebagai ketertutupan yang lepas dari dunia luarnya. Manusia berusaha menangkap dirinya, dalam proses

72

(51)

inilah dihasilkan suatu dunia, dengan kata lain, manusia menemukan dirinya sendiri dalam suatu dunia.

Kedua, objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai, baik mental mauun fisik dari kegiatan ekternalisasi manusia tersebut. Hasil itu menghasilkan realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu fatisitas yang berada di luar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya. Hasil dari ekternalisasi – kebudayaan – itu misalnya, manusia menciptakan alat demi kemudahan idunya., atau kebusayaan non-materil dalam bentuk bahasa. Baik alat tadi maupun bahasa adalah kegiatan eksternalisasi manusia ketika berhadapan dengan dunia, ia adalah hasil dari kegiatan manusia. Setelah dihasilkan, baik benda atau bahasa sebagai produk eksternalisasi tersebut menjadi realitas yang objektif. Bahkan ia dapat menghadapi manusia sebagai penghasil dari produk kebudayaan. Kebudayaan yang telah bersatu sebagai realitas objektif,

ada di luar kesadaran manusia, ada “di sana” bagi setap orang. Realitas objektif itu

berbeda dengan kenyataan subjektif perorangan. Ia menjadi kenyataan empiris yang bisa dialami oleh setiap orang.

(52)

Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi. Dengan pemahaman semacam ini, realitas berwajah ganda/plural. Setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atau suatu realitas. Selain plural, konstruksi sosial itu juga bersifat dinamis. Dalam realitas subjektif, realitas itu menyangkut makna, interpretasi, dan hasil relasi antara individu dengan objek. Setiap individu mempunyai latar belakang sejarah, pengetahuan dan lingkungan yang berbeda-beda, yang bisa jadi menghasilkan penafsiran yang berbeda pula ketika melihat dan berhadapan dengan objek. Sebaliknya, realitas itu juga mempunyai dimensi obektif – sesuatu yang dialami, bersifat eksternal, berada di luar – atau dalam istilah Berger, tidak dapat kita tiadakan dengan angan-angan.

2.1.9 Semiotika Peirce

Semiotika ialah ilmu yang mempelajari hakikat tentang keberadaan suatu tanda.73 Kemudian Preminger dalam Kriyanto menyebut ilmu semiotik menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.74 Lebih jauh Preminger menjelaskan bahwa semiotik berupaya menemukan makna tanda termasuk hal-hal yang tersembunyi di balik sebuah tanda (teks, iklan, berita).75

73

Alex Sobur, Analisis Teks Media, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2006, hal 87

74

Rachmat Kriyanto, Teknik Praktis Riset Komunikasi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hal. 265

75

(53)

Salah satu tokoh penting dalam bidang semiotik ialah Charles Sanders Peirce. Ia adalah ahli filsafat dan logika Amerika. Peirce lebih menekankan semiotika pada logika dan filosofi dari tanda-tanda yang ada di masyarakat.76 Sobur juga menekankan bahwa Peirce menjabarkan tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek yang menyerupainya, keberadaannya memiliki hubungan sebab-akibat dengan tanda-tanda atau karena ikatan konvesional dengan tanda-tanda tersebut. 77

Tanda yang dimaksud dalam semiotika Peirce sangat luas. Peirce membedakan tanda atas lambang (symbol), ikon (icon) dan indeks (index). Lambang merupakan suatu tanda di mana hubungan antara tanda dan acuannya merupakan hubungan yang sudah terbentuk secara konvensional. Lambang ini merupakan tanda yang dibentuk karena adanya consensus dari pada tanda. Sebagai contoh, merah merupakan lambang berani bagi masyarakat Indonesia, mungkin di Amerika bukan.

Ikon merupakan suatu tanda di mana hubungan antara tanda dan acuannya berupa hubungan berupa kemiripan. Jadi, ikon adalah bentuk tanda yang dalam berbagai bentuk menyerupai objek dari tanda tersebut. Contoh, patung kuda adalah ikon dari seekor kuda. Indeks ialah suatu tanda di mana hubungan antara tanda dan acuannya timbul karena ada kedekatan eksistensi. Jadi indeks adalah suatu tanda yang mempunyai hubungan langsung (kausalitas) dengan objeknya. Sebagai contoh, asap merupakan indeks dari adanya api. 78

76

Loc.Cit.

77

Alex Sobur, Op.Cit.,hal. 34

78

Gambar

Gambar 2.1 (Triangle Meaning)
Gambar 2.2 Kerangka Berpikir
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
Tabel 3.1 Unit Analisis
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian berfokus pada mekanisme rekrutmen dan pengusulan calon legislatif perempuan dengan menggunakan 3 tahap rekrutmen calon kandidat, yakni tahap

Mencermati tingginya peningkatan pinjaman untuk keperluan investasi serta juga didukung kontribusi investasi yang cukup besar terhadap perekonomian Kabupaten Kubu Raya yaitu 37,8

Pilot plant ThO2 dari tailing pengolahan monasit kapasitas 100 kg/hari merupakan proses untuk mengambil thorium dalam bentuk oksida ThO2 yang terdiri dari 3 tahap

Diharapkan dapat menjadi intervensi yang bisa diaplikasikan untuk perawatan ibu hamil yang mengalami kecemasan dalam menghadapi persalinan atau selama kehamilan

This thesis entitled “An Analysis on The Students’ Ability in Using Simple Present and Present Progressive Tenses at The Second Year Students of SMP Negeri 15 Mataram in

1) Pengertian audit pemasaran menurut Bayangkara (2008:115) menyatakan bahwa Audit pemasaran adalah pengujian yang komprehensif, sistematis, independen, dan dilakukan

Bagan diatas menjelaskan bahwa tepung kacang merah dicampur dengan tepung terigu dalam jumlah yang berbeda dan ditambah dengan bahan lainnya (garam, baking powder , telur,

1) Kaji kulit dan identitas pada tahap perkembangan luka. Rasional: mengetahui sejauhmana perkembangan luka mempermudah dalam melakukan tindakan yang tepat. Rasional: