• Tidak ada hasil yang ditemukan

REPRESENTASI MAKNA JAWARA DALAM FILM JAWARA KIDUL (Analisis Semiotika Roland Barthes) - FISIP Untirta Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "REPRESENTASI MAKNA JAWARA DALAM FILM JAWARA KIDUL (Analisis Semiotika Roland Barthes) - FISIP Untirta Repository"

Copied!
128
0
0

Teks penuh

(1)

REPRESENTASI MAKNA JAWARA DALAM FILM JAWARA KIDUL

(Analisis Semiotika Roland Barthes)

SKRIPSI

(Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Pada Konsentrasi Humas Program Studi Ilmu Komunikasi)

Oleh:

ARYA DWI CAHYO NIM. 6662121464

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA BANTEN

(2)
(3)
(4)
(5)

MOTTO

“Don’t limit yourself, ma

ny people limit themselves to what they can

do. You can go as far as your mind lets you. What you believe,

remember, you can achieve”

(Mary Kay Ash)

Skripsi ini saya persembahkan untuk kedua

orang tua saya, keluarga dan mereka yang telah

(6)

ABSTRAK

Arya Dwi Cahyo. 6662121464/2016. SKRIPSI. Representasi Makna Jawara Dalam Film Jawara Kidul (Analisis Semiotika Roland Barthes). Pembimbing I: Neka Fitria, S.Sos, M.Si.; Pembimbing II: Teguh Iman Prasetya, S.E, M.Si.

Penelitian ini berfokus pada realitas sosial di Banten, yaitu Jawara Banten. Jawara merupakan sebuah elit lokal di Banten yang telah berkembang dari masa kolonial hingga saat ini. Jawara sebagai elit lokal memiliki pengaruh yang kuat dalam bidang adat, seni dan budaya. Dalam perkembangannya muncul berbagai stigma di masyarakat yang membuat persepsi mengenai sosok Jawara mengalami perubahan makna. Oleh karena itu tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi karakteristik sosok Jawara dan memahami makna seorang Jawara dalam Film Jawara Kidul. Film ini menggambarkan bagaimana sosok Jawara sebagai elit lokal di Banten yang dibalut dengan genre aksi drama. Penelitian ini berdasarkan pada teori semiotika Roland Barthes yang menganalisis dengan tiga tahapan, yaitu denotasi, konotasi dan mitos. Makna denotasi dimengerti sebagai makna harfiah atau makna yang sesungguhnya. Sedangkan makna konotasi adalah makna yang tersembunyi atau implisit yang terdapat di dalam film tersebut. Dan makna mitos adalah makna pembenaran bagi suatu nilai dominan yang berlaku pada suatu periode. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan analisis semiotika. Unit analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu film Jawara Kidul secara keseluruhan sebagai objek penelitian yang akan diteliti terkait dengan sinematografi, penampilan para pemain, suara, dan desain produksi (lokasi, properti, dan kostum). Hasil penelitian ini secara denotasi menampilkan bahwa sosok Jawara merupakan seorang tokoh masyarakat yang berperan penting dalam menjaga Kadusunan dan melindungi yang lemah. Secara konotasi Jawara digambarkan sebagai seseorang yang memiliki kharisma, kemampuan fisik dan ilmu supranatural serta memiliki dasar tentang ilmu keagamaan. Dan mitos yang dibangun dalam film ini berkaitan dengan berbagai perspektif negatif masyarakat terkait sosok Jawara yang berkembang di masyarakat.

(7)

ABSTRACT

Arya Dwi Cahyo. NIM 6662121464/2016. THESIS. Representation Meaning of Jawara in the Film Jawara Kidul (Semiotic Analysis of Roland Barthes). University-level instructor I: Neka Fitria, S.Sos, M.Si. University-level instructor II: Teguh Iman Prasetya, S.E, M.Si.

Focus of this thesis is based on social reality in Banten, namely Jawara Banten. Jawara is local elite who has grown from the colonial period until nowdays. Jawara as local elite has strong influence in the field of culture and traditional customs. In

the Jawara’s expansion appears various stigma in society that caused the changes in

the meaning of a Jawara. The purpose of this research is to identify the characteristic of Jawara and understand the meaning of Jawara in the film Jawara Kidul. This film represents how characters Jawara as local elite in Banten which wrapped with genre drama action. This research based on the semiotic analysis of Roland Barthes to analyze with three stages, namely denotation, the connotation, and myths. The meaning of denotation understood as meaning literally or the meaning of truth. While the meaning of the connotation is the meaning of the hidden or implicit. And the meaning of the myth is the meaning of the justification for a dominant value that occurs on a period. The research method used is qualitative research with semiotic analysis. The Unit of analysis used in this research is the film Jawara Kidul overall as the research object which will be examined related to cinematography, the appearance of the casts, sound and production design (location property, and costume). This research concluded that in the denotation, Jawara was described as a member of the society who play an important role in maintaining a village and protect the weak peoples. In the connotation, Jawara was described as someone who has the charismatic personality, physical and supernatural abilities also has the basic of the religious knowledge. And the myth that was built in the film is associated with various negative stigma in the society about a Jawara.

(8)

KATA PENGANTAR

Assalamu‟alaikum Wr. Wb

Puji syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT atas Rahmat dan Berkah-Nya ,yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi yang berjudul “Representasi Makna Jawara Dalam Film Jawara Kidul”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana strata satu (S1) pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

Skripsi ini memiliki banyak tantangan dalam proses penyelesaiannya. Namun, berkat bantuan serta motivasi dari berbagai pihak akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati pada kesempatan ini penulis menggucapkan rasa terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Soleh Hidayat, M.Pd selaku Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

2. Bapak Dr. Agus Sjafari, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

3. Ibu Dr. Rahmi Winangsih, M.Si, selaku Kepala Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

4. Bapak Darwis Sagita, S.I.Kom., M.I.Kom, selaku Sekertaris Jurusan Program Studi Ilmu Komunikasi.

(9)

5. Ibu Neka Fitriyah, S.Sos., M.Si, selaku Pembimbing I skripsi yang telah banyak membantu dalam memberikan masukan dan saran kepada Penulis dalam proses penyusunan skripsi ini.

6. Bapak Teguh Iman Prasetya, SE., M.Si, selaku Pembimbing II skripsi yang telah banyak membantu memberikan arahan dan masukan kepada Penulis dalam proses menyelesaikan skripsi ini.

7. Ibu Isti Nursih, S.IP., M.I.Kom. selaku dosen pembimbing akademik

8. Seluruh dosen Program Studi Ilmu Komunikasi yang telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat.

9. Semua staff dan pegawai di Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang telah membantu Penulis dalam proses penyusunan skripsi ini.

10.Mama, Papa, Kakak, dan keluarga besar yang selalu memberikan doa, dukungan dan semangatnya kepada Penulis dari awal hingga akhir penyusunan skripsi ini.

11.Bayu, Hari, Juhendi dan Revandhika, Irma, Abdul, Deni, Erlin dan Ijong sebagai sahabat seperjuangan mulai dari awal perkuliahan hingga saat ini. 12.Rekan-rekan Himabe 2012 yang seru, menyenangkan dan selalu

bersama-sama selama berkuliah.

13.Seluruh teman seperjuangan angkatan 2012 Program Studi Ilmu Komunikasi Untirta yang selalu memberikan semangat dan pelajaran dalam hidup di dunia perkuliahan.

(10)

14.Komunitas Film Kremov Banten yang dengan sangat baik telah membantu penulis dalam proses penyusunan skripsi ini.

15.Seluruh pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh Penulis yang telah membantu hingga selesainya penyusunan skripsi ini.

Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan hidayahnya kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini. Demikian yang dapat Penulis sampaikan. Mohon maaf jika masih terdapat banyak kekurangan dalam skripsi ini. Akhir kata Penulis ucapkan terima kasih.

Serang, November 2016

Penulis

(11)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ORISINALITAS LEMBAR PERSETUJUAN LEMBAR PENGESAHAN MOTTO

ABSTRAK ABSTRACT

KATA PENGANTAR ... i

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... vii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 10

1.3 Identifikasi Masalah ... 10

1.4 Tujuan Penelitian ... 11

1.5 Manfaat Penelitian... 11

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ... 12

2.1 Komunikasi Massa ... 12

2.2 Film ... 15

(12)

2.3 Representasi ... 19

2.4 Jawara Banten ... 21

2.4.1 Perkembangan Jawara Banten ... 23

2.4.2 Kedudukan dan Peran Jawara ... 25

2.5 Semiotika Film ... 28

2.6 Semiotika Roland Barthes ... 32

2.7 Kerangka Berpikir ... 40

2.8 Penelitian Terdahulu... 42

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN ... 49

3.1 Metode Penelitian ... 49

3.2 Paradigma Penelitian ... 50

3.3 Unit Analisis ... 51

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 55

3.4.1 Observasi ... 56

3.4.2 Dokumentasi ... 56

3.4.3 Studi Pustaka ... 57

3.5 Teknik Analisis Data ... 57

3.6 Instrumen Penelitian ... 59

3.7 Jadwal Penelitian ... 60

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 61

4.1 Deskripsi Subjek Penelitian ... 61

4.1.1 Profil Film ... 61

(13)

4.1.2 Penokohan dalam Film ... 62

4.1.3 Sinopsis Film ... 63

4.2 Deskripsi Hasil Penelitian ... 64

4.2.1 Analisis Tanda Makna dalam Film Jawara Kidul ... 62

4.3 Deskripsi Analisis Analisis Semiotik ... 84

4.3.1 Makna Denotasi ... 84

4.3.2 Makna Konotasi ... 86

4.3.3 Makna Mitos ... 88

4.4 Pembahasan ... 89

4.4.1 Film Sebagai Sarana Merepresentasikan Makna Jawara ... 89

4.4.2 Perlawanan Stigma Negatif Jawara Melalui Film ... 94

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 98

5.1 Kesimpulan ... 98

5.2 Saran ... 99

DAFTAR PUSTAKA ... 101 DAFTAR LAMPIRAN

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

\

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Rumusan Konsep Pemaknaan Berger 30

Tabel 2.2 Penelitian Terdahulu 46

Tabel 3.1 Bahan Scene Analisis 52

Tabel 3.2 Jadwal Penelitian 60

Tabel 4.1 Scene 1 Arena Sayembara 65

Tabel 4.2 Scene 2 Arena Sayembara 68

Tabel 4.3 Scene 3 Jalan Setapak 71

Tabel 4.4 Scene 4 Pendopo Kadusunan Kidul 73

Tabel 4.5 Scene 5 Pendopo Kadusunan Kidul 76

Tabel 4.6 Scene 6 Pendopo Kadusunan Kidul 79

Tabel 4.7 Scene 7 Lanpangan Terbuka 82

(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Signifikansi Dua Tahap Roland Barthes 34

Gambar 2.2 Peta Tanda Roland Barthes 39

Gambar 2.3 Kerangka Berpikir 42

Gambar 3.1 Signifikansi Dua Tahap Roland Barthes 58

Gambar 4.1 Poster Film Jawara Kidul 61

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Banten sebagai wilayah yang terletak di bagian barat pulau Jawa, dikenal karena sejarahnya yang berkaitan dengan berbagai hal mistis, pemberontakan, dan juga orientasi keislaman masyarakatnya. Sepanjang sejarahnya terdapat tiga elit lokal Banten yang cukup terkenal yaitu ulama, umaro dan jawara. Mereka menjadi elemen penting di dalam masyarakat, tidak hanya pada masa kolonial, namun juga pada masa kemerdekaan hingga saat ini.

Dalam perannya ulama dan jawara memiliki suatu otoritas tertentu yang tidak dipunyai oleh para pemimpin formal (umaro), seperti Kepala Desa, dan Camat. Meskipun demikian telah terjadi hubungan yang kuat dalam sistem pemerintahan dan kemasyarakatan antara ketiga elite tersebut. Ketiga kekuatan yaitu ulama, jawara dan umaro menjadi suatu konfigurasi kepemimpinan yang satu sama lain saling menunjang. Ulama memiliki pengaruh kuat dalam bidang keagamaan, jawara

(17)

memiliki pengaruh kuat dalam bidang adat dan umaro memiliki pengaruh kuat dalam jaringan kekuasaan pemerintahan.1

Namun dari ketiganya, jawara merupakan tokoh yang terbentuk dari perpaduan pengaruh budaya lokal dan keagamaan yang kuat di wilayah Banten. Jawara sebagai realitas sosial masyarakat Banten, yang telah menjadi suatu subkultur di masyarakat. Sosoknya sudah mulai ada semenjak masa kolonial dan terus berkembang hingga saat ini. Dalam perkembangannya kehadiran sosok jawara mulai mengalami perubahan persepsi dalam masyarakat, hal tersebut didasari berbagai stigma negatif yang muncul, tidak heran bahwa sebagian masyarakat memandang bahwa jawara itu memiliki sifat yang buruk, selalu ingin menang sendiri dan untuk mewujudkan keinginannya, mereka melakukannya dengan kekerasan fisik. Sehingga Ia dikenal sebagai subkultur of violence dalam masyarakat Banten.2 Pergeseran makna jawara yang terkontaminasi dengan hal yang negatif terjadi pada abad ke 19 ketika Banten dan sekitarnya diwarnai oleh kekacauan dan perampokan. Setidaknya terjadi lebih dari 6 pemberontakan besar di Banten yang melibatkan kaum jawara antara lain perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa, pemberontakan Pandeglang (1811 M), peristiwa geger Cilegon atau dikenal dengan pemberontakan Petani banten (1888 M), Cikande Udik (1845 M), Peristiwa Kolelet (1866 M), pemberontakan Wakhia

1

Sunatra. Integrasi dan Konflik.Kedudukan Politik Jawara dan Ulama dalam Budaya Lokal. Srudi Kasus Kepemimpinan Di Banten (Bandung: PPs Unpad, 1997), hal 124.

2Atu Karomah, “Jawara dan Budaya Kekerasan Pada Masyarakat Banten”, Alqalam Jurnal keagamaan dan

(18)

(1850 M), sampai dengan pemberontakan Kommunis di Banten ( 1926 M).3 Hal ini kemudian oleh pemerintah kolonial Belanda dimanfaatkan untuk membentuk stigma negatif kepada para pejuang dari kalangan pendekar persilatan dan kaum ulama. Stigma negatif ini sengaja diciptakan Belanda dalam upaya memprovokasi masyarakat untuk menganggap mereka sebagai pembuat onar, pengacau, dan perampok.

Peranan jawara dalam kehidupan masyarakat Banten dapat ditelusuri hingga pada masa akhir keruntuhan Kesultanan Banten, dan kekuasaan kolonial sudah tidak lagi efektif pada abad ke 19 M. Pasca dihapusnya pemerintahan Kesultanan Banten oleh Dandles, tekanan pemerintah Hindia Belanda terhadap masyarakat pribumi semakin besar sehingga memunculkan konflik di masyarakat. Di sejumlah wilayah Banten terjadi kekosongan pemerintahan yang menyebabkan kekacauan, dari konflik dan kekacauan inilah berakibat pada pemberontakan-pemberontakan yang dipimpin oleh tokoh masyarakat khususnya para kiai. Dari kondisi seperti inilah jawara muncul dan tampil bersama para kiai sebagai pemimpin informal masyarakat. Hal ini dimungkinkan karena jawara memiliki keterampilan beladiri, silat, ilmu magis sebagai keterampilan untuk menghadapi situasi yang kacau dalam menghadapi pemberontakan terhadap pemerintahan Hindi Belanda.4

3

Fahmi Irfani. Jawara Banten Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya. (Jakarta: YPM Press (Young Progressive Muslim), 2011), hal 43

4

(19)

Jawara sendiri didefinisikan sebagai seseorang yang dekat dengan kiai karena selain sebagai muridnya kiai, ia juga memiliki ilmu-ilmu kesaktian dan menguasai ilmu persilatan.5 Kedudukan peran dan jaringan jawara menciptakan kultur tersendiri yang agak berbeda dengan kultur dominan masyarakat Banten, Sehingga jawara tidak hanya menggambarkan suatu sosok tetapi juga telah menjadi kelompok yang memiliki norma, nilai dan pandangan hidup yang khas. Selanjutnya karakter yang dimiliki oleh para jawara merupakan hasil suatu rekonstruksi kultur budaya yang ditanamkan melalui interaksi sosial antar budaya. Dalam proses interaksi tersebut terjadi penanaman dan pewarisan nilai-nilai kultur tradisi budaya kejawaraan.6

Berpijak dari realitas di atas, kehadiran sebuah film yang mengangkat nilai-nilai kebudayaan daerah yang kuat, khususnya provinsi Banten yang identik dengan sosok jawara menjadi suatu hal yang menarik, karena jarang sudah jarang ditemui. Film Kremov Pictures sebagai salah satu rumah produksi asal Banten membuat sebuah karya film berjudul “Jawara Kidul”, yang merupakan suatu film yang mengangkat ciri khas kedaerahan. Film ini diproduksi oleh Kremov Pictures pada tahun 2015, dengan genre aksi drama. Dalam film ini menceritakan tentang kisah sebuah kadusunan kidul yang dipimpin oleh Abah Sugidiraja (Cak Purwo), suatu ketika Abah membuka sayembara calon menantu khusus para jawara untuk puterinya, Nyimas Ayu (Fauzyyah Angela) dengan tujuan agar Kadusunan Kidul terjaga dan

5

Tihami “Kiai dan Jawara di Banten” (Tesis Master, Universitas Indonesia, Jakarta,1992).

6

(20)

tidak lagi timbul konflik. Sakti (Anton Chandra) dan Prabu (Tubagus Dian Kurniawan) merupakan jawara yang bertarung memperebutkan Nyimas Ayu, namun Abah akan memilih salah satu dari mereka yang merupakan jawara sesungguhnya. Dan Pertarungan panjang dalam sayembara beralih menjadi dendam saat Abah memutuskan memilih salah satu pemenangnya.7

Film Jawara Kidul ini merupakan film yang mencoba untuk memberikan gambaran mengenai sosok jawara yang sudah cukup lama berkembang di wilayah Banten. Terlebih seiring perjalanannya, pandangan masyarakat terhadap sosok jawara perlahan berubah dan mulai dibayang-bayangi dengan berbagai stigma negatif yang muncul mengenai sosok jawara. Melalui film ini masyarakat dapat melihat berbagai pesan terkait nilai-nilai kejawaraan, yang dapat memberikan pemahaman berbeda mengenai sosok jawara.

Film merupakan salah satu media massa yang berbentuk audio visual yang begitu populer saat ini. Media massa sebagai saluran komunikasi massa secara sederhana memiliki fungsi untuk menyebarkan informasi (to inform), mendidik (educate), dan menghibur (entertaint).8 Dengan fungsinya yang begitu kompleks, media massa seperti surat kabar, majalah, film, novel dan bentuk komunikasi lain dapat berperan dalam segala aktivitas individual, maupun organisasi, termasuk

7

(http://www.kremovpictures.com/2015/02/jawara-kidul-produksi-terbaru-kremov.html, diakses tanggal 18

februari 2016).

8

(21)

sebagai sumber informasi yang menciptakan suatu kerangka berpikir bagi masyarakat. Media massa meneruskan pengetahuan dan nilai-nilai dari generasi terdahulu.9 Selain itu media massa juga dapat menjadi suatu wadah penyampaian informasi, media hiburan dan pendidikan, juga berfungsi sebagai kontrol sosial. Oleh karena itu media massa memiliki peran yang begitu besar dalam melakukan perubahan sosial di masyarakat, melalui pesan yang disebar luaskan oleh media massa.

Film berperan sebagai sarana yang digunakan untuk menghibur malalui jalan cerita yang dihadirkan. Setiap film yang dibuat atau diproduksi tentu menawarkan suatu pesan kepada para penontonnya, jika dikaitkan dengan kajian komunikasi, sebuah film yang ada seharusnya memiliki efek yang sesui dengan pesan yang diharapkan, agar inti pesan yang terkandung dapat tersampaikan kepada penontonnya. Berkaitan dengan prasangka, peran media sangatlah penting dalam pembentukan presepsi dalam suatu kelompok. Baik itu media cetak ataupun media elektronik, keduanya merupakan sarana pendukung yang sangat dominan dalam membentuk suatu prasangka di dalam masyarakat terlebih pada waktu sekarang ini.

Sebuah film bisa menjadi sebuah komunikator atau sebagai perantara dalam komunikasi, hal ini dikarenakan sebuah film bisa berhubungan langsung dengan para penontonnya. Bahkan dalam hal ini film bisa dibuat menjadi bahan representasi,

9

Alex Sobur, Analisis Teks Media Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, Analisis Framing,

(22)

terlebih lagi dengan adanya alur, setting, pakaian, bahasa, gesture dan karakter dalam tokoh yang kemudian mewakili atau disesuaikan dengan tema yang diangkat, membuat film menjadi media yang menarik dan mudah dipahami. Hal ini berarti di satu sisi media dapat digunakan sebagai alat penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi dan alat pengontrol wacana publik. Namun, disisi lainnya media dapat digunakan sebagai alat untuk membangun suatu kultur dan menjadi alat dimana berbagai ideologi direpresentasikan. Film yang juga merupakan media komunikasi, tidak mencerminkan atau bahkan merekam realitas seperti medium representasi yang lain, film hanya mengkonstruksi dan “menghadirkan kembali” gambaran dari

realitas melalui kode-kode, konvensi-konvensi, mitos dan ideologi-ideologi dari kebudayaannya sebagai cara praktik signifikasi yang khusus dari medium.10

Keterwakilan terhadap sesuatu yang dimaknai merupakan hal yang dapat dikaji, hal tersebut menyangkut mindset atau pola pikir khalayak kedepannya sebagai orang yang akan memaknai kembali atas apa yang sudah coba dimaknai terlebih dahulu. Dengan mengkaji, diharapkan dapat menggali lebih dalam akan semua makna atau pesan, karena banyak pesan tak kasat mata yang perlu digali oleh peneliti sehingga pesan yang diangkat ke khalayak melalui media massa khususnya film ini dapat diambil secara maksimal. Dalam hal ini, film dijadikan bahan representasi karena unsur-unsur didalam suatu film banyak memiliki nilai-nilai yang selalu disandingkan dengan makna, mulai dari bahasa, atribut, latar atau setting dan lainnya.

10

(23)

Representasi adalah proses pengkodean (encoding) dan memperlihatkan (display) bentuk-bentuk simbolik yang mencerminkan posisi ideologis.11 Secara lebih tepat representasi didefinisikan sebagai penggunaan tanda-tanda untuk menampilkan ulang sesuatu yang diserap, diindra, dibayangkan atau dirasakan dalam bentuk fisik. 12 Setiap orang dapat merepresentasikan sesuatu sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. Juga dapat merepresentasikan sesuatu berdasarkan tujuan dan kebutuhan seseorang. Akan tetapi dalam praktiknya tidak semudah itu, karena banyak hal yang dapat mempengaruhi seseorang agar mampu dalam merepresentasikan sesuatu hal. Terdapat nilai-nilai kebudayaan dalam suatu kehidupan masyarakat yang begitu kompleks dengan berbagai kebiasaan dan pemikiran yang cenderung homogen dalam memandang suatu hal. Membuat representasi atas suatu hal memerlukan pengkajian yang mendalam, karena menyangkut suatu pemikiran seseorang terhadap sesuatu. Dengan pengkajian yang dilakukan, diharapkan dapat menggali suatu pesan atau makna yang terkandung. Karena pesan tidak selalu terlihat dengan kasat mata dan memerlukan suatu analisis agar pesan yang disampaikan pada khalayaknya melalui media massa khususnya dalam film dapat tersampaikan secara menyeluruh.

Sebagaimana film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Yang paling penting dalam film adalah gambar dan suara. Kata yang diucapkan, ditambah dengan

11 James Lull. Media Komunikasi kebudayaan, Suatu Pendekatan Global. Terjemahan oleh A. Setiawan Abadi.

(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998).

12

(24)

suara lain yang serentak mengiringi gambar-gambar dan musik film. Sistem semiotika yang lebih penting lagi dalam film adalah digunakannya tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu.13 Tanda-tanda dapat berupa audio (suara, bahasa verbal, dialog tokoh, musik, sound effect), serta tanda visual (gambar, bahasa nonverbal/ gesture/ mimik wajah juga latar).

Jika dicermati lebih mendalam terkait dengan tanda-tanda yang dibagun dalam film Jawara Kidul, terdapat tanda-tanda atau simbol yang menggambarkan hal yang mengandung unsur nilai-nilai kejawaraan yang ditampilkan, baik oleh tokoh maupun suasana yang dibangun dalam film tersebut. Setiap pesan yang disampaikan dalam film tersebut meliputi pesan verbal dan non verbal yang bersifat simbolis dan terdiri dari jaringan atau rangkaian tanda-tanda yang kompleks, hal tersebut dapat terlihat dari berbagai adegan-adegan yang ditampilkan.

Secara keseluruhan, film Jawara Kidul penuh dengan simbol-simbol atau makna tentang sosok seorang Jawara yang dibangun dalam film ini. Hal itulah yang membuat peneliti merasa tertarik untuk menelitinya lebih lanjut. Pada penelitian ini digunakanlah analisis semiotika dari Roland Barthes sebagai alat analisis, yaitu sebuah metode yang mempelajari tentang tanda dan lambang. Penggunaan metode ini didasarkan atas kenyataan bahwa film adalah suatu bentuk pesan komunikasi.

13

(25)

Berdasarkan latar belakang di atas, membuat peneliti tertarik untuk mengeksplorasi lebih mendalam tentang bagaimana representasi makna jawara dalam film “Jawara Kidul”. Film ini memiliki banyak unsur-unsur untuk diteliti, dan dianalisis dengan menggunakan pendekatan semiotika sebab film merupakan suatu bidang komunikasi yang cukup relevan untuk dianalisis dengan teori semiotika. Setiap pesan yang disampaikan dalam film dapat meliputi pesan verbal dan non verbal yang bersifat simbolis dan terdiri dari rangkaian tanda-tanda yang kompleks serta memiliki arti.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan, Penulis membuat rumusan masalah penelitian sebagai berikut:

“Bagaimana representasi makna jawara dalam film Jawara Kidul?”

1.3Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang, maka dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana makna denotasi sosok jawara dalam film Jawara Kidul?

2. Bagaimana makna konotasi sosok jawara dalam film Jawara Kidul?

(26)

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah

1. Untuk mengetahui makna denotasi sosok jawara dalam film Jawara Kidul.

2. Untuk mengetahui makna konotasi sosok jawara dalam film Jawara Kidul.

3. Untuk mengetahui makna mitos sosok jawara dalam film Jawara Kidul.

1.5Manfaat Penelitian

1.5.1 Aspek Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk perkembangan ilmu komunikasi, terutama dalam kajian media massa yang akan mengkaji bagaimana sebuah film merepresentasikan sesuatu.

1.5.2 Aspek Praktis

(27)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Komunikasi Massa

Menurut Gerbner yang dikutip oleh Jalaludin Rakhmat, komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang.14 Sementara itu, menurut Black dan Whitney (1988) dalam Nurudin disebutkan, Komunikasi massa adalah sebuah proses di mana pesan-pesan yang diproduksi secara massal itu disebarkan kepada massa penerima pesan yang luas, anonim, dan heterogen.15

Ada satu definisi komunikasi massa yang dikemukakan Michael W. Gamble dan Teri Kwal Gamble (1986) akan semakin memperjelas apa itu komunikasi massa. Menurut mereka sesuatu bisa didefinisikan sebagai komunikasi massa jika mencangkup hal-hal sebagai berikut:16

a.Komunikator dalam komunikasi massa mengandalkan peralatan modern untuk menyebarkan atau memancarkan pesan secara cepat kepada khalayak

14

Jalalludin Rakhmat. Psikologi Komunikasi. ( Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), hal 188.

15

Nurudin. Pengantar Komunikasi Massa. (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hal 12

16

Ibid, hal 8-9.

(28)

yang luas dan tersebar. Pesan itu disebarkan melalui media modern pula antara lain surat kabar, majalah, televisi, film, atau gabungan di antara media tersebut.

b.Komunikator dalam komunikasi massa dalam menyebarkan pesan-pesannya bermaksud mencoba berbagi pengertian dengan jutaan orang yang tidak saling kenal atau mengetahui satu sama lain. Anonimitas audience dalam komunikasi massa inilah yang membedakan pula dengan jenis komunikasi yang lain. Bahkan pengirim dan penerima pesan tidak saling mengenal satu sama lain.

c.Pesan adalah milik publik. Artinya bahwa pesan ini bisa didapatkan dan diterima oleh banyak orang. Karena itu diartikan milik publik.

d.Sebagai sumber, komunikator massa biasanya organisasi formal seperti jaringan, ikatan, atau perkumpulan. Dengan kata lain, komunikatornya tidak berasal dari seseorang, tetapi lembaga. Lembaga ini pun biasanya berorientasi pada keuntungan, bukan organisasi suka rela atau nirlaba.

(29)

komunikasi massa itu ikut berperan dalam membatasi, memperluas pesan yang disiarkan.

f. Umpan balik dalam komunikasi massa sifatnya tertunda. Kalau dalam jenis komunikasi lain, umpan balik bisa bersifat langsung. Misalnya, dalam komunikasi antar personal. Dalam komunikasi ini umpan balik langsung dilakukan, tetapi komunikasi yang dilakukan lewat surat kabar tidak bisa langsung dilakukan alis tertunda (delayed).

Komunikasi massa memiliki beberapa fungsi bagi masyarakat, menurut Black dan Whitney yang dikutip oleh nurudin, yaitu (1) to inform (menginformasikan), (2) to entertain (memberi hiburan), (3) to persuade (membujuk), (4) transmission of the culture (transmisi budaya).17 Lalu jika dipandang dari segi efeknya, komunikasi massa dapat dibagi menjadi beberapa bagian. Secara Sederhana Stamm dan Bowes (1990 dalam Nurudin) membagi kedua bagian dasar yaitu:18

Pertama, efek primer meliputi terpaan, perhatian, dan pemahaman. Terpaan media massa yang mengenai audience menjadi salah satu bentuk efek primer. Akan tetapi lebih bagus lagi jika audience tersebut memperhatikan pesan-pesan media massa tersebut dengan baik media cetak maupun media elektronik. Ketika kita memperhatikan berarti ada efek primer yang terjadi dalam diri kita. Bahkan jika kita

17

Ibid, hal 64.

18

(30)

memahami apa yang disiarkan oleh media massa itu sama saja semakin kuat efek primer yang terjadi.

Kedua, efek sekunder meliputi perubahan tingkat kognitif (perubahan pengetahuan dan sikap), dan perubahan perilaku (menerima dan memilih). Menurut Bittner, fokus utama efek ini adalah tidak hanya bagaimana media memengaruhi audiens, tetapi juga bagaimana audiens mereaksi pesan-pesan media yang sampai pada dirinya. Efek sekunder itu adalah perilaku penerima yang ada di bawah kontrol langsung komunikator.

2.2 Film

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian film secara fisik berarti selaput tipis yang terbuat dari seluloid untuk gambar negatif (yang akan dibuat potret) atau untuk tempat gambar positif (yang dimainkan di bioskop).19 Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang perfilman, menyatakan film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan.

19

(31)

Oey Hong Lee dalam Sobur menyebutkan:

“film sebagai alat komunikasi massa yang kedua muncul di dunia,

mempunyai massa pertumbuhannya pada akhir abad ke-19, dengan perkataan lain pada waktu unsur-unsur yang merintangi perkembangan surat kabar sudah dibikin lenyap. Ini berarti bahwa dari permulaan sejarahnya film dengan lebih mudah dapat menjadi alat komunikasi yang sejati , karena ia tidak mengalami unsur-unsur teknik, politik, ekonomi, sosial dan demografi yang merintangi kemajuan surat kabar pada masa pertumbuhannya dalam abad ke-18 dan permulaan abad ke-19. Dan mencapai puncaknya diantara Perang Dunia I dan Perang Dunia II, namun kemudia merosot tajam setelah tahun 1945, seiring dengan munculnya medium televisi”.20

Seperti dikemukakan oleh Van Zoest, bahwa film dibangun dengan tanda semata-mata. Tanda-tanda itu termasuk sebagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan. Berbeda dengan fotografi statis, rangkaian gambar dalam film menciptakan imaji dan sistem penandaan. Karena itu, bersamaan dengan tanda-tanda arsitektur, terutama indeksikal, pada film terutama digunakan tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu.21

20

Alex Sobur, Op.Cit, hal. 126.

21

(32)

Film secara struktur terbentuk dari sekian banyak shot, scene dan sequence. Tiap shot membutuhkan penempatan kamera pada posisi yang paling baik bagi pemandangan mata penonton dan bagi setting secara action pada saat tertentun dalam perjalanan cerita, itulah sebabnyaseringkali film disebut gabungan dari gambar-gambar yang dirangkai menjadi satu kesatuan yang utuh yang bercerita kepada penontonnya. Sebagai alat komunikasi massa untuk bercerita film memiliki beberapa struktur, yaitu22:

a. Shot selama produksi film memiliki arti proses perekaman gambar sejak kamera diaktifkan (on) hingga kamera dihentikan (off) atau juga diistilahkan satu kali take (pengambilan gambar). Sementara shot setelah film telah jadi (pasca produksi) memiliki arti rangkaian gambar utuh yang tidak terinterupsi oleh potongan gambar (editing).

b. Adegan (scene), adegan adalah satu segmen pendek dari keseluruhan cerita yang memperlihatkan satu aksi berkesinambungan yang diikat oleh ruang , waktu, isi (cerita), tema, karakter, atau motif. Satu adegan umumnya terdiri dari beberapa shot yang berhubungan.

c. Sequen (sequence), salah satu adegan besar yang memperlihatkan satu rangkaian peristiwa yang utuh. Satu sekuen umumnya terdiri dari beberapa adegan saling berhubungan.

22

(33)

Dalam pembuatan film diperlukan proses pemikiran dan proses teknis. Proses pemikiran berupa pencarian ide, gagasan atau cerita yang akan dikerjakan. Sedangkan proses teknis berupa keterampilan artistik untuk mewujudkan segala ide, gagasan atau cerita menjadi film yang siap ditonton. Sebagai seorang pembuat film yang akan menuangkan ide dalam sebuah karya film, penting untuk mengetahui jenis-jenis film sesuai karakteristiknya. Adapun pengelompokan film menurut Ardianto dan Komala antara lain:23

a. Film Cerita, jenis yang mengandung suatu cerita yang lazim dipertunjukan di gedung-gedung bioskop dengan bintang film tenar dan didistribusikan sebagai barang dagangan.

b. Film Berita, film mengenai fakta, peristiwa yang benar-benar terjadi, terdapat nilai berita yang penting dan menarik bagi khalayak.

c. Film Dokumenter, karya ciptaan mengenai kenyataan, hasil interpretasi pembuatnya mengenai kenyataan dari film tersebut.

d. Film Kartun, film animasi yang segmentasi utamanya adalah anak-anak. Namun semua kalangan juga menyukai dikarenakan sisi kelucuan yang biasanya tak lepas hadir dalam tiap tayangannya.

Sebagai media massa umumnya film merupakan cermin atau jendela masyarakat dimana media massa itu berada. Nilai, norma, dan gaya hidup yang berlaku pada

23

(34)

masyarakat akan disajikan dalam film yang diproduksi. Film juga berkuasa menetapkan nilai-nilai budaya yang “penting” dan “perlu” dianut oleh masyarakat, bahkan nilai-nilai yang merusak sekalipun.24 Film juga sebagai satu bentuk komunikasi massa yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari cerita yang ditayangkan.

2.3 Representasi

Representasi dalam Kamus Modern Bahasa Indonesia merupakan gambaran atau perwakilan.25 Representasi adalah bagaimana dunia ini dikonstruksikan dan direpresentasikan secara sosial kepada dan oleh kita.26 Representasi secara definisi lain adalah proses merekam ide, pengetahuan atau pesan dalam beberapa cara fisik.27 Representasi bukanlah suatu kegiatan atau proses statis tapi merupakan proses dinamis yang terus berkembang seiring dengan kemampuan intelektual dan kebutuhan para pengguna tanda yaitu manusia itu sendiri yang juga terus bergerak dan berubah.28

Istilah representasi merupakan penggambaran (perwakilan) kelompok-kelompok dan institusional sosial. Penggambaran itu tidak hanya berkenaan dengan

24

Deddy Mulyana. 2008. Komunikasi Massa Kontroversi, Teori, dan Aplikasi. Bandung: Widya Padjajaran. Hal. 89

25

M. Dahlan Al-Barry, Kamus Modern Bahasa Indonesia, Yogyakarta: Arkola, 1994), hal 574.

26

Chris Baker. Cultural Studies Theory and Practice. (London: Sage Publication, 2000), hal 8.

27

Indiawan Seto Wahyu Wibowo. Semiotika Komunikasi Aplikasi Praktis Bagi Penelitian Skripsi Komunikasi, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2011), hal 122.

28

(35)

tampilan fisik (appearance) dan deskripsi, melainkan juga terkait dengan makna (atau nilai) dibalik tampilan fisik. Tampilan fisik representasi adalah suatu jubah yang menyembunyikan bentuk makna seseungguhnya dibalik yang ada di baliknya29

Representasi merujuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan, atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan. Dalam kajian semiotika, istilah representasi menjadi suatu hal yang sangat penting. Karena semiotik bekerja dengan menggunakan tanda (gambar, bunyi, dan lain-lain) untuk menggabungkan, menggambarkan, memotret, atau mereproduksi sesuatu yang dilihat, diindra, dibayangkan, atau dirasakan dalam bentuk fisik tertentu.30

Representasi dapat didefinisikan lebih jelasnya sebagai penggunaan tanda (gambar, bunyi, dan lain-lain) untuk menghubungkan, menggambarkan, memotret atau memproduksi sesuatu yang dilihat, diinderakan, dibayangkan. Dengan atau dirasakan dalam benda fisik tertentu. Menentukan makna bukanlah perkara yang mudah, konteks sejarah dan sosial saat representasi dibuat , tujuan pembuatannya dan sebagainya, merupakan faktor kompleks yang masuk dalam sebuah lukisan.

Representasi merupakan bentuk konkret (petanda) yang berasal dari konsep abstrak. Beberapa diantaranya dangkal atau tidak kontroversial. Akan tetapi, beberapa representasi merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan budaya dan politik. Karena representasi tidak terhindar untuk terlibat dalam proses seleksi sehingga

29

Burton, Graeme. Membicarakan Televisi, (Yogyakarta & Bandung: JalaSutra, 2007), hHal. 41-42

30

Marcel Danesi. Pesan, Tanda, dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi,

(36)

beberapa tanda tertentu lebih istimewa dari pada yang lain, ini terkait dengan bagaimana konsep tersebut direpresentasikan dalam media berita, film, atau bahkan dalam percakapan sehari-hari.31

2.4 Jawara Banten

Asal kata “jawara” berarti juara atau jagoan yang berarti pemenang, yang

ingin dipandang hebat.32 Sejarah munculnya Banten tidak bisa dilepaskan dari persoalan kaum jawara. Munculnya kelompok masyarakat yang hingga sekarang masih dikenal, telah melalui proses sejarah yang panjang. Pada abad ke19, ketika tekanan pemerintah kolonial terhadap masyarakat pribumi semakin besar, muncul perlawanan-perlawanan yang melibatkan para kiai. Para kiai umumnya mempunyai dua kelompok santri yang berkembang sesuai dengan kemampuannya. Pertama adalah santri yang mempunyai kemampuan atau bakat dibidang ilmu agama. Dan yang kedua adalah para santri yang mempunyai bakat yang berkaitan dengan ilmu beladiri. Oleh karena itu mereka dibina dalam hal kekuatan fisik. Golongan santri kedua inilah yang kemudian disebut jawara.33

31

John Hartley. Communication, Cultural, and Media Studies: Konsep Kunci, (Yogyakarta, Jalasutra, 2009), hal 256-257.

32

Pius A. Parttanto dan M Dahlan Al Barry. Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: ARKOLA, 2001), hal 284.

33

(37)

Jawara dalam kehidupan sosial dan kultur budaya Banten dapat dikatakan sebagai simbol budaya lokal. Sebagai sebuah kelompok yang bersumber dari tradisi lokal, komunitas jawara mencerminkan kultur dan budaya yang berbeda dari daerah-daerah lain di Indonesia. Peranan sosial yang dilakukan jawara adalah seputar kepemimpinan tradisional informal antara lain: berperan sebagai Kepala Desa (Jaro), penjaga keamanan, kiai ilmu hikmah, pemain debus dan guru silat.34 Karakter jawara dapat diamati dari tampilan yang militan, patriotik, dan bahkan fanatik yang memunculkan sikap membela dan berani yang memotivasinya untuk kepentingan bersama dalam menegakan kebenaran dan keadilan yang dilandasi oleh sifat kesatria, jujur, patuh, konsisten, ulet yang dilandasi oleh nilai-nilai ajaran agama dan moralitas warisan leluhurnya.

Sosok jawara memiliki karakter yang khas, ia cukup terkenal dengan seragam hitamnya dan kecenderungan terhadap penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan setiap persoalan. Karena itu, bagi sebagian masyarakat, jawara dipandang sebagai sosok yang memiliki keberanian, agresif, sompral (tutur kata yang keras dan terkesan sombong), terbuka dengan bersenjatakan golok, untuk menunjukan bahwa ia memiliki kekuatan fisik dan supranatrual.35 Jawara sendiri dapat didefinisikan sebagai murid kiai yang memiliki keberanian dan kemampuan bela diri dalam mengolah

(38)

kanuragaan, kekuatan magis dan kewibawaan kharisma, selain itu Ia melakukan aktivitas kegiatan sosial dengan spirit perjuangan, membela rakyat lemah dan semagat heroisme.36

Dalam proses dinamika masyarakat Banten terdapat salah satu tokoh atau pemimpin tradisional yang sangat berpengaruh dan memiliki status sosial yang dihormati dan disegani yakni jawara. Oleh karena itu Banten sering diidentikan dengan kejawaraannya dan masyarakatnya yang religius, ditandai dengan komitmennya pada praktek ritual dan simbol-simbol keislaman. Demikian pula dengan nilai-nilai kejawaraan yang ditanamkan seperti keberanian menghadang musuh, tidak pantang menyerah, kesetiaan terhadap kelompok, kewajiban untuk menjaga kehormatan atau harga diri.37

2.4.1 Perkembangan Jawara Banten

Dari semenjak kemunculannya pada masa kolonial, Jawara berkembang dan terus menunjukan eksistensinya dari masa ke masa hal tersebut dapat dilihat sebagai berikut:

36

Fahmi Irfani. Op.Cit, hal 25

37

(39)

a. Jawara Pada Masa Kolonial

Pada hakikatnya jawara ini umumnya merupakan kelompok para kiai yang mempunyai dua kelompok santri yang berkembang sesuai kemampuan mereka. Pertama, yang mempunyai kemampuan atau bakat di bidang ilmu agama sehingga kelak menjadi ulama. Kedua, para santri yang memiliki kemampuan yang berkaitan dengan beladiri. Karakter jawara pada awalnya merupakan ekspresi ketundukan kepada kiai, karena pada abad ke-19 Jawara bermula dari murid kiai. Oleh karenanya, menjadi hukum pantangan (kwalat) bagi Jawara manakala Ia melawan kiai yang akan menyebabkan kehilangan kekuatan magi. Hubungannya kyai dan jawara seperti hubungan anak-orang tua, sehingga guru harus ditunduki dan dihormati.38

b. Jawara Pada Masa Orde Baru

Pada rezim Orde Baru jawara dilirik sebagai entitas lokal yang memiliki peranan sosial kepemimpinan tradisional dalam masyarakat Banten. Jika kiai dilirik sebagai mesin politik dalam domain religiusitas kepemimpinan, maka jawara memiliki potensi dalam bidang keamanan, kepemimpinan, dan menjaga stabilitas politik di daerah tersebut. Dimana bahwa kekuatan yang

38

(40)

cukup dominan di Banten bukan hanya sekedar para kiai melainkan jawara juga merupakan sumber kekuatan politik.39

c. Jawara Pada Masa Reformasi

Setelah runtuhnya rezim Orde Baru kelompok jawara Banten melebarkan sayap pengaruh dan posisinya. Kelompok Jawara dekat dengan kalangan penguasa. Kedekatan ini tidak lepas dari rekayasa politik Orde Baru yang memainkan peran sentral dalam mengkondisikan peranan jawara. Pada era reformasi ini, relasi hubungan terjalin antara kelompok jawara dengan pemerintahan lokal setempat, dapat dikatakan mendominasi.40

2.4.2 Kedudukan dan Peran Jawara

Jawara dalam perkembangannya memiliki kedudukan dan peran yang cukup penting dalam sejarah Banten. Diantaranya kedudukan tersebut adalah:

a. Jawara Sebagai Pemimpin Guru Silat

Sejarah ilmu persilatan di Banten memiliki akar yang sangat panjang. Di dalam Serat Centhini disebutkan bahwa pada masa pra-Islam telah dikenal istilah “peguron” atau”padepokan” di daerah dekat sekitar Gunung Karang,

39

Fahmi Irfani. Op.Cit, hal 117

40

(41)

Pandeglang.41 Pada masa lalu tradisi persilatan nampaknya menjadi kebutuhan bagi individu-individu tertentu untuk mempertahankan kehidupan dirinya dan kelompoknya. Oleh karena itu pada masa lalu masyarakat yang tinggal di daerah-daerah terpencil dan sangat rawan tentunya membutuhkan keberanian dan memiliki kekuatan fisik yang baik. Inilah yang yang medorong setiap individu berusaha membekali dirinya dengan kemampuan beladiri dengan belajar persilatan. Jawara yang juga dimaknai “juara” atau

“pemenang” dikenal sebagai sosok yang ditakuti oleh lawan dan kawan dapat

dipastikan karena memiliki keunggulan dalam keberanian menaklukan lawan-lawannya. Kemampuan untuk itu pasti ditunjang oleh kelihayan dalam ilmu persilatan atau bela diri serta dalam memainkan senjata yang dimilikinya yaitu golok. jawara yang malang melintang dalam dunia persilatan, pada masa tuanya mendirikan peguron atau padepokan persilatan di dekat tempat tinggalnya. Hal ini dimaksudkan untuk mengajari ilmu-ilmu persilatan kepada anak-anak muda yang berada disekitar tempat tinggalnya.42

b. Jawara Sebagai Pemimpin Guru Ilmu Batin (Magis)

Seorang jawara yang menjadi guru ilmu-ilmu biasanya sudah dikenal kesaktiannya di kalangan jawara dan masyarakat. Oleh karena itu banyak

41

Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam Di Indonesia, (Bnadung:Mizan, 1999), hal 25.

42Atu Karomah, “Jawara dan Budaya Kekerasan Pada Masyarakat Banten”. Alqalam Jurnal Keagamaan dan

(42)

masyarakat setempat yang berguru mempelajari ilmu persilatan atau meminta pertolongan dalam hal pengobatan. Sumber-sumber magi itu bersumber dari tarekat-tarekat yang populer dan sebagian lain dari tradisi animisme. Bentuk-bentuk ilmu yang sering dipergunakan oleh para jawara adalah brajamusti (kemampuan untuk melakukan pukulan dahsyat), ziyad (pengendali sesuatu jarak jauh), jimat atau rajah untuk mencari kewibawaan, kekayaan atau dicintai seseorang, putter gilling (untuk memutar kembali atau menemukan kembali orang yang hilang atau kabur) dan sebagainya.43

c. Jawara sebagai pemimpin debus (sebi budaya Banten)

Kepemimpinan jawara yang masih dekat dengan kesaktian adalah kesenian debus. Permainan debus ini banyak dilakukan oleh para jawara, yang dianggap sudah memiliki kesaktian yang cukup. Debus berasal dari kata “dabbus” yang artinya jarum tusuk, yakni permainan yang menunjukan

kekebalan tubuh seseorang terhadap senjata tajam dan api. Kepemimpinan jawara dalam kesenian debus harus bertanggung jawab atas keseluruhan anggota dalam suatu pertunjukan. Dari tahap persiapan, pemimpin menentukan siapa yang akan turun dalam suatu pertunjukan, ia adalah orang

43

(43)

yang dituakan dan disepuhkan di kelompoknya, dan memiliki ilmu lebih tinggi dibandingkan dengan yang lainnya.44

2.5 Semiotika Film

Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis struktural atau semiotika. Seperti dikemukakan oleh Van Zoest, film dibangun dengan tanda semata-mata. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan. Berbeda dengan fotografi statis, rangkaian gambar dalam film menciptakan imaji dan sistem penandaan.45

(44)

komunikasi yang berada dalam wilayah tanda, dapat digunakan sebagai suatu cara untuk mengkaji terkait film. Pengkajian film dilakukan melalui sistem tanda, yang terdiri dari bentuk verbal maupun nonverbal.

Dari berbagai tanda dalam semiotika film, dikenal pula istilah mise en scene yang terkait dengan penempatan posisi dan pergerakan aktor pada set (blocking), serta sengaja dipersiapkan untuk menciptakan sebuah adegan (scene) dan sinematografi yang berkaitan dengan penempatan kamera. Mise en scene berarti menempatkan sesuatu pada layar, unsur-unsurnya antara lain actor‟s performance yang terdiri dari script adalah sebuah naskah yang berisi semua kalimat yang diucapkan oleh pemain film, dan movement yaitu semua hal dan berbagai tindakan yang dilakukan oleh pemain film.47

Selain itu mise en scene juga terdiri dari unsur suara (sound). Sound yaitu latar belakang suara pemain, lagu, sound effect, atau nat sound (suara di sekeliling pemain film). Suara yang dapat didengar mendampingi visualisasi gambar pada layar. Adapun kategori suara antara lain: spoken word berupa perkataan, komentar, dialog, maupun monolog dari seorang pemain film. Natural sound berupa semua suara selain ucapan pemain film dan musik yang berfungsi sebagai ilusi realitas dan simbolisasi keadaan. Serta, music berupa instrumen atau nyanyian yang berfungsi untuk membantu transisi antara sequence, membentuk susana latar tempat, membentuk kesan emosi pemain lebih hidup, untuk membentuk atmosfer, menambah kesan

47

(45)

dramatis ataupun sekedar menyampaikan pesan non verbal.48 Unsur selanjutnya dalam mise en scene yaitu production design. Production design yang terdiri dari setting berupa lokasi pengambilan gambar, property berupa segala peralatan atau barang yang mendukung pelaksanaan produksi film, dan costume berupa segala pakaian yang dipakai oleh pemain film.49

Penerapan metode semiotika dalam film berkaitan erat pula dengan media televisi. Karena televisi merupakan medium yang kompleks yang menggunakan bahasa verbal, gambar dan suara untuk menghasilkan impresi dan ide-ide pada orang. Aspek-aspek yang diperhatikan dari medium yang berfungsi sebagai tanda, untuk membedakan sebagai pembawa tanda. Apa yang menarik dari TV adalah pengambilan gambar dari kamera yang dilakukan.50

Tabel 2.1 Rumusan Konsep Pemaknaan Berger Penanda

(pengambilan gambar)

Definisi Penanda (makna)

Close Up Hanya Wajah Keintiman

Medium Shoot Hampir Seluruh Tubuh Hubungan Personal Long Shoot Setting Karakter Konteks, skope, jarak

Semiotika film publik

(46)

Full Shoot Seluruh Tubuh Hubungan sosial

Penanda (penggerakan kamera)

Definisi Penanda (makna)

Pan Down Kamera mengarah ke

bawah

Kekuasaan, kewenangan Pan Up Kamera mengarah ke atas Kelemahan, pengecilan Dolly In Kamera mengarah ke dalam Observasi, fokus

Penanda (teknik penyutingan)

Definisi Petanda (makna)

Fade In Gambar kelihatan pada layar kosong Permulaan Fade Out Gambar di layar menjadi hilang Penutupan

Cut Pindah dari gambar satu ke yang lain Kebersambungan, menarik

Wipe Gambar terhapus dari layar “Penutupan”

kesimpulan Sumber: Arthur Asa Berger, 2000. Media Analisis Techniques. Hal 34-35.

Hal di atas menunjukan semacam “tata bahasa” televisi seperti pengambilan

(47)

mungkin juga menarik, seperti teknik pencahayaan, penggunaan warna, efek suara, dan musik. Semua penanda tersebut dapat menolong untuk menerjemahkan apa yang dilihat dan yang didengar dari televisi.

2.6 Semiotika Roland Barthes

Kata “Semiotika” berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti “tanda”

atau seme, yang berarti “penafsir tanda”. Semiotika berakar dari studi klasikdan skolastik atas seni logika, retorika, dan poetika. “Tanda” pada masa itu masih

bermakna sesuatu hal yang menunjukan pada adanya hal lain.51 Semiotika berusaha mengali hakikat yang beranjak keluar kaidah tata bahasa dan sintaksis dan yang mengatur arti teks yang rumit, tersembunyi dan bergantung pada kebudayaan. Hal ini kemudian menimbulkan perhatian pada makna tambahan (connotative) dan arti penunjuk (denotative). Salah satu pakar semiotik yang memfokuskan permasalahan semiotik pada dua makna tersebut adalah Roland Barthes.

Barhes adalah pakar semiotik Prancis yang pada tahun 1950-an menarik perhatian dengan telaahnya tentang media dan budaya pop menggunakan semiotik sebagai alat teoritisnya. Tesis tersebut mengatakan bahwa struktur makna yang terbangun di dalam produk dan genre media diturunkan dari mitos mitos kuno, dan berbagai peristiwa media ini mendapatkan jenis signifikansi yang sama dengan signifikansi yang secara tradisional hanya dipakai dalam ritual-ritual keagamaan. Semiotika dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari

51

(48)

bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini dapat dicampur adukan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda.52

Representasi menurut Barthes menunjukan bahwa pembentukan makna tersebut mencangkup sistem tanda menyeluruh yang mendaur ulang berbagai makna yang tertanam dalam-dalam di budaya barat misalnya, dan menyelewengkannya ke tujuan komersil. Hal ini kemudian disebut sebagai struktur.53 Sehingga dalam semiotik Barthes, proses representasi itu berpusat pada makna denotasi, konotasi, dan mitos. Ia mencontohkan, ketika mempertimbangkan sebuah berita atau laporan, akan mengenai bagaimana berita itu direpresentasikan (seperti tata letak / lay out, rubrikasi, dsb) tidaklah sesederhana mendenotasikan sesuatu hal, tetapi juga menciptakan tingkat konotasi yang dilampirkan pada tanda. Barthes menyebut fenomena ini membawa tanda dan konotasinya untuk membagi pesan tertentu sebagai penciptaan mitos.

Untuk itulah, Barthes meneruskan pemikiran Saussure dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh

52

Ibid, hal 15

53

(49)

penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “Two Order of Signification”

(Signifikansi Dua Tahap).

Gambar 2.1 Signifikasi Dua Tahap Roland Barthes

Sumber: John Fiske, Introduction to Communication Studies, 1990, hal 88

Melalui gambar di atas, Barthes seperti dikutip Fiske, menjelaskan signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified didalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutkan sebagai denotasi. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaan. Pada signifikasi tahap kedua yang berkaitan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos.54

54

(50)

a. Makna Denotasi:

Makna denotasi adalah makna awal utama dari sebuah tanda, teks, dan sebagainya. Makna ini tidak dibisa dipastikan dengan tepat, karena makna denotasi merupakan generalisasi. Dalam terminologi Barthes, denotasi adalah sistem signifikansi tahap pertama. Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal, dan dalam semiotika Barthes, ia menyebutnya sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari tanda. Maka dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Dalam hal ini, denotasi diasosiasikan dengan ketertutupan makna55. Menurut Lyons, denotasi adalah hubungan yang digunakan dalam tingkat pertama pada kata yang secara bebas memegang peranan penting di dalam ujaran56. Denotasi dimaknai secara nyata. Nyata diartikan sebagai makna harfiah, makna yang sesungguhnya atau terkadang dirancukan dengan referensi atau acuan. Proses signifikasi denotasi biasanya mengacu pada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap. Dalam semiologi Roland Barthes, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, yang kemudian dilanjutkan oleh sistem signifikasi konotasi yang berada di tingkat kedua.

55

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Jakarta, Remaja Rosdakarya, 2009, hlm 70.

56Ibid,

(51)

b. Makna Konotasi:

Makna yang memiliki sejarah budaya di belakangnya yaitu bahwa ia hanya bisa dipahami dalam kaitannya dengan signifikansi tertentu. Konotasi adalah mode operatif dalam pembentukan dan penyandian teks kreatif seperti puisi, novel, komposisi musik, dan karya-karya seni. Istilah konotasi digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Kata “konotasi” sendiri berasal dari bahasa Latin, “connotare” yang memiliki arti “menjadi tanda”

(52)

yang berhubungan dengan emosional. Makna konotatif bersifat subjektif dalam pengertian bahwa terdapat pergeseran dari makna umum (denotatif) karena sudah ada penambahan rasa dan nilai tertentu57. Kalau makna denotatif hampir bisa dimengerti banyak orang, maka makna konotatif hanya bisa dicerna oleh mereka yang jumlahnya lebih kecil.

c. Mitos:

Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebut dengan mitos, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu, jadi mitos memiliki tugasnya untuk memberikan sebuah justifikasi ilmiah kepada kehendak sejarah, dan membuat kemungkinan tampak abadi. Dalam Alex Sobur (2009:71) Budiman mengatakan pada kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi yang disebutnya sebagai mitos dan memiliki fungsi untuk memberikan pembenaran bagi nilai nilai dominan yang berlaku pada periode tertentu58. Selain itu, dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda dan tanda. Mitos biasanya dianggap sama dengan dongeng, dan dianggap sebagai cerita yang aneh serta sulit dipahami maknanya katau diterima kebenarannya karena kisahnya irasional (tidak masuk akal). Namun, berangkat dari ketidakmasuk akalan tersebut lah

57

Ibid

58

(53)

akhirnya muncul banyak penelitian tentang mitos yang melibatkan banyak ilmuwan Barat. Mereka menaruh minat untuk meneliti teks-teks kuno dan berbagai mitos yang telah mereka kumpulkan dari berbagai tempat dan berbagai suku bangsa di dunia. Dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda. Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai „mitos‟, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda, namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau, dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran kedua.59 Barthes menegaskan bahwa cara kerja pokok mitos adalah untuk menaturalisasikan sejarah. Ini menunjukkan kenyataan bahwa mitos sebenarnya merupakan produk kelas sosial yang mencapai dominasi melaui sejarah tertentu maknanya, peredaran mitos mesti dengan membawa sejarahnya, namun operasinya sebagai mitos membuatnya mencoba menyangkal hal tersebut, dan menunjukkan maknanya sebagai alami, dan bukan bersifat historis atau sosial.60 Segala sesuatu bisa menjadi mitos asalkan disajikan oleh sebuah wacana. Dalam mitos, sekali lagi kita mendapati pola

59

Alex Sobur, Op.Cit, hal 71.

60

(54)

tiga dimensi yang disebut Barthes sebagai: penanda, petanda, dan tanda. Ini bisa dilihat dalam peta tanda Barthes berikut ini:

Gambar 2.2 Peta Tanta Roland Barthes

Sumber: Paul Cobley & Litza Jansz dalam Sobur (2006: 69).

Dari peta Barthes diatas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material: hanya jika Anda mengenal tanda “singa”, barulah konotasi seperti harga diri,

kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin.

Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekadar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang juga

1. Signifier 2. Signified

(penanda) (petanda)

3. Denotative Sign (tanda Denotatif)

4. Connotative Signifier

5. Connotative Signified

(penanda Konotatif) (petanda konotatif

(55)

melandasi keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan Semiologi Saussure, yang berhenti pada penandaan dalam tataran denotatif.61

2.7 Kerangka Berpikir

Kerangka berpikir merupakan suatu hal yang penting untuk memberikan arah penelitian dalam proses penelitiannya.62 Kerangka berpikir penelitian ini menjabarkan realitas sosok jawara yang menjadi suatu subkultur masyarakat Banten. Realitas yang ada disekitar kita tidak hanya dapat dilihat secara real, tetapi yang ada juga dapat diangkat kedalam media massa seperti film. Film merupakan salah satu media komunikasi yang tepat dalam penyampaian pesan melaui audi-visualnya. Kita dapat menyaksikan representasi dari sebuah realitas yang terjadi di masyarakat dalam bentuk karya yang disebut film. Disetiap karya film, terkandung pesan-pesan yang sengaja ingin disampaikan oleh sang pembuat film.

Dibawah ini merupakan kerangka berpikir peneliti dalam melakukan penelitian yang berjudul Representasi Makna Jawara dalam Film Jawara Kidul. Dalam film Jawara Kidul ditemukan adegan-adegan yang mempunyai makna tertentu. Berdasarkan analisis semiotika Roland Barthes ditemukan sejumlah penanda (signifier) dan petanda (signified) berupa setting lokasi, properti, aktor dan kostum (mise en scene) dan penempatan kamera (sinematografi) dengan didukung dari audio,

61

Alex Sobur, Op.Cit, hal 69.

62

(56)

visual dan sejumlah tanda lainnya yang menunjukan representasi sosok jawara dalam film tersebut.

Selanjutnya film yang telah dipilih peneliti sebagai objek penelitian akan di analisis dengan menggunakan analisis semiotika model Roland Barthes, dengan fokus perhatian tertuju pada gagasan tentang signifikasi dua tahap (two order of signification). Signifikansi tahap pertama merupakan hubungan antara penanda dan petanda dalam sebuah realitas. Barthes menyebutnya sebagai makna denotasi yaitu makna yang nyata dari sebuah tanda. Peneliti melihat visual dan audio-visual berupa perkataan dari tokoh.

(57)

Gambar 2.3 Kerangka Berpikir

2.8 Penelitian Terdahulu

Untuk menghindari kesamaan terhadap penelitian yang telah ada sebelumnya, maka peneliti mengadakan peninjauan terhadap penelitian yang telah ada sebelumnya, sebagai berikut:

1. Skripsi yang berjudul “Representasi Ibu dalam Film (Analisis Semiotika Film Rindu Kami karya Garin Nugroho)”, yang disusun oleh Shuvia Rahma tahun 2007,

jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Realitas Sosial Jawara Banten

Film Jawara Kidul

Semiotika Film

Semiotika Roland Barthes

Denotasi Konotasi Mitos

(58)

Muhammadiyah Malang. Penelitian ini termasuk jenis penelitian studi deskriptif-kualitatif. Subjek penelitiannya adalah film “Rindu Kami”. Objek penelitiannya

adalah scene yang menandakan bagaimana sosok seorang Ibu . Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis semiotik dengan mengambil teori dari Roland Barthes. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana sosok Ibu yang direpresentasikan dalam film Rindu Kami.

Film yang diangkat dalam penelitian ini merupakan film religi yang berkisah tentang pencarian sosok Ibu oleh anak-anak disebuah pasar. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat tanda-tanda penggambaran sosok Ibu dalam scene dan tanda verbal yang ada dalam film Rindu Kami. Dari hasil analisis dapat dikemukakan bahwa dalam film Rindu Kami PadaMu, Ibu direpresentasikan sebagai sosok yang sangat menyayangi anaknya, penuh kehangatan, dan keramahan. Ibu juga direpresentasikan sebagai sosok yang mampu mengerti kebutuhan dan keinginan anak-anaknya. Dari representasi tersebut dapat disimpulkan bahwadalam film ini Ibu direpresentasikan sebagai sosok dominan dalam rumah tanggayang selalu bisa diandalkan oleh anggota keluarga lainnya. Petuah-petuah yang diajarkan Ibu kepada anaknya menjadikan Ibu sebagai simbol moralitas bagi anaknya.

(59)

bagaimana sosok Waria yang ditunjukan melalui berbagai dialog atau adegan yang ada dalam film Minggu Pagi di Victoria Park. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis semiotik dengan mengambil teori semiotika Roland Barthes. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana sosok Waria yang direpresentasikan dalam film a PLur.

Dalam Minggu Pagi di Victoria Park menceritakan tentang kehidupan dan permasalahan para TKW yang mengadu nasib di negeri Hongkong. Dalam film ini menceritakan bagaimana suka dan duka serta pejuangan para TKW dalam menyelesaikan permasalahan yang menimpanya ditengah keterbatasan hidup di negeri orang. Film ini merupakan film berdurasi 100 menit yang diproduksi oleh Pic[k]lock Production pada tahun 2012.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat tanda-tanda mengenai sosok TKW yang direpresentasikan dalam scene dam tanda verbal yang ada dalam film Minggu Pagi di Victoria Park. Film ini menunjukan bahwa pertama, TKW bukan hanya sosok yang identik dengan korban kekerasan melainkan terlihat bahagia dan nyaman dengan pekerjaannya. Kedua, memperlihatkan sosok TKW yang modis dan adanya fenomena lesbian diantara mereka. Ketiga, sosok TKW digambarkan bukan hanya sebagai pahlawan devisa bagi negara tetapi juga pahlawan bagi keluarganya. 3. Skripsi yang berjudul “Makna Tanda Representasi Waria Dalam Film Kinky Boots” (Analisis Semiotika Terhadap Film Kinky Boots Karya Julian Jarrold), yang

(60)

jenis penelitian studi deskriptif-kualitatif subjek penelitiannya adalah film “Kinky Boots”. Objek penelitiannya adalah scene yang menandakan sosok Waria yang ada dalam film Kinky Boots. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis semiotika Roland Barthes. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah representasi sosok Waria yang dimunculkan dalam Film Kinky Boots.

Dalam film Kinky Boots menceritakan menceritakan perjalanan seorang anak muda, Charlie Prince yang berusaha untuk memperjuangkan kelangsungan sebuah bisnis pabrik sepatu dari ayahnya yang hampir bangkrut. Awalnya dia tidak menyukai bisnis ini, akhirnya dia terpaksa harus melanjutkan pabrik ayahnya karena kematian ayahnya. Banyak hal yang telah terjadi dalam kehidupan perusahaan dan kehidupannya sendiri. Memiliki masalah terhadap pegawainya, masalah dengan pasangannya, sampai memiliki kenalan seorang Waria yang bernama Lola. Dari banyak hal terjadi itu, tentunya membuat banyak perubahan besar dalam hidupnya dan perusahaannya.

(61)

Tabel 2.2 Penelitian Terdahulu

1. Nama Shuvia Rahma Faiza Malia Siti Khomsah

(62)

Gambar

Tabel 2.1 Rumusan Konsep Pemaknaan Berger
Gambar kelihatan pada layar kosong
Gambar 2.1 Signifikasi Dua Tahap Roland Barthes
Gambar 2.2 Peta Tanta Roland Barthes
+7

Referensi

Dokumen terkait

senam ergonomik merupakan olahraga ringan dan mudah dilakukan yang merupakan gerakan senam seperti gerakan sholat dengan kombinasi antara pernafasan dan otot,

Kegiatan perencanaan lalu lintas meliputi inventarisasi dan Kegiatan perencanaan lalu lintas meliputi inventarisasi dan evaluasi tingkat pelayanan. Maksud inventarisasi

Pada kelompok intervensi, sebelum dilakukan penelitian terlebih dahulu dilakukan pre test kepada bidan mengenai efektivitas penggunaan buku KIA dalam mendeteksi

L adalah halusinasi pendengaran yang didukung dengan data subjektif: Sdr.L mendengar bisikan – bisikan yang menyuruhnya untuk mengamuk orang tuanya, dan linkungan rumahnya,

hasil klasifikasi tema pendekatan-pendekatan perancangan bangunan yang sejalan dengan standar kompetensi yang ditetapkan hasil analisis seluruh metode-metode membangun yang

Mbak Mirta (Public Relations Officer Hyatt Regency Yogyakarta) dan Sekar (Public Relations Coordinator Sheraton Mustika Hotel) yang telah memberikan waktu untuk interview

Oleh karena itu dengan kondisi pelemahan ekonomi global yang berdampak pada kondisi ekonomi domestik Indonesia, sehingga mengakibatkan Pemerintah Republik

 Terwujudnya inovasi teknologi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) skala kecil  Terwujudnya Rintisan Technopark Baron  Terwujudnya inovasi teknologi