128 HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PERAN JENIS ANDROGINI DENGAN PENCAPAIAN STATUS IDENTITAS ACHIEVEMENT MAHASISWI
Nurul Imam Rizky Hartono Sri Widyawati
Fakultas Psikologi Universitas Semarang
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara empiris hubungan antara persepsi terhadap peran jenis androgini dengan pencapaian status identitas achievement mahasiswi. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara persepsi terhadap peran jenis androgini dengan pencapaian status identitas achievement pada mahasiswi. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 58 orang mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Semarang angkatan 2010 dan angkatan 2011. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik proportionate clasified sampling.
Data penelitian dikumpulkan dengan menggunakan dua skala yaitu Skala Pencapaian Status Identitas Diri Achievement dan Skala Persepsi terhadap Peran Jenis Androgini. Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik Korelasi Product Moment. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara persepsi terhadap peran jenis androgini dengan pencapaian status identitas achievement yang ditunjukkan dengan nilai rxy = 0,665 dan (p < 0,01), sehingga hipotesis dalam penelitian ini diterima.
Kata Kunci : pencapaian status identitas achievement, persepsi terhadap peran jenis androgini
The Relation Between the Perception of Androgyny Sex Role and Female Students Achievement Identity Status
The Faculty of Psychology the University of Semarang Abstract
The purpose of this study was to empirically know the relationship between the perception toward the androgyny sex role and accomplishment of female students identity status achievement. The purposed hypothesis in this study says that there is a relationship between the perception toward androgyny sex role and identity status accomplishment of female students identity status achievement. Respondents in this study consisted of 58 female students of the Faculty of Psychology, Universitas Semarang, batches of 2010 and 2011. The samples were taken by using proportionate classified sampling techniques.
Data in this study were collected using two scales i.e. the Achievement Identity Status scale and the Perception Scale toward the Androgyny Sex Role. Data were analysized by using a Correlation Product Moment technique. The results showed that there was a very significant positive relationship between the perception toward the androgyny sex role and the identity status achievement, which was indicated by the value of rxy = 0,665 and (p < 0.01), so the hypothesis in this study was received.
Keywords: achievement status identity, perceptions of androgyny sex role
129 Pendahuluan
Pembentukan identitas merupakan tugas utama dalam perkembangan kepribadian yang diharapkan tercapai pada akhir masa remaja yaitu pada umur 18- 21 tahun (Desmita, 2006:
212). Meskipun tugas pembentukan identitas ini telah mempunyai akar-akarnya pada masa anak-anak, namun pada masa remaja ia menerima dimensi-dimensi baru karena berhadapan dengan perubahan-perubahan fisik, kognitif, dan relasional. Selama masa remaja ini, kesadaran akan identitas menjadi lebih kuat, karena remaja berusaha mencari identitas dan mendefinisikan kembali
“siapakah” ia saat ini dan akan menjadi
“siapakah” ia pada masa yang akan datang.
Perkembangan identitas selama masa remaja ini juga sangat penting karena memberikan suatu landasan bagi perkembangan psikososial dan relasi interpersonal pada masa dewasa.
Gunarsa dan Gunarsa (2007: 84) menyatakan bahwa identitas diri merupakan inti pribadi yang tetap ada, walaupun mengalami perubahan bertahap dengan pertambahan umur dan perubahan lingkungan.
Proses pencapaian identitas yang diawali dengan masa eksplorasi dimulai pada masa remaja. Diharapkan, pada tahap perkembangan selanjutnya remaja telah memiliki suatu komitmen yang menandakan dimilikinya suatu status identitas tertentu.
Seringkali diantara masa eksplorasi dan pembentukan komitmen, terjadi hal-hal (peristiwa) besar yang tidak diharapkan
sehingga seseorang harus menyusun kembali apa yang telah dibentuknya. Proses pencapaian identitas berawal dengan berakhirnya pengidentifikasian diri individu terhadap orang tua atau orang dewasa di sekeliling individu.
Individu tidak lagi mengidentifikasi dirinya dengan anggota tubuh, penampilan dan orang tuanya. Proses pencapaian identitas tergantung pada keadaan masyarakat dimana ia tinggal, sehingga kemudian masyarakat mengenalnya sebagai individu yang telah menjadi dirinya sendiri dengan caranya sendiri Menurut Josselson (dalam Desmita, 2006: 211-212), proses pencarian identitas diri adalah proses dimana seorang remaja mengembangkan suatu identitas personal yang unik, yang berbeda dan terpisah dari orang lain dan disebut dengan individuasi.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Widyawati dan Gusti (2012: 36) terhadap mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Semarang diketahui bahwa sebesar 46% atau 38 mahasiswi tahun ajaran 2011/2012 masih tersebar dalam diffusion of identity, foreclosure, dan moratorium of identity, Kondisi tersebut mencerminkan mahasiswi yang kesulitan membuat komitmen apapun, belum mengalami krisis identitas yang membuat mahasiswi kurang mengetahui norma, nilai, tata cara serta adat istiadat baru yang berlaku di lingkungan sekitarnya, serta belum memiliki komitmen yang jelas terhadap identitas tertentu. Menurut Piaget (dalam Syamsu 2010: 79) masa remaja mencapai
130 tahap operasi formal mengenai kegiatan-
kegiatan mental tentang berbagai gagasan.
Remaja secara mental telah dapat berpikir logis tentang berbagai gagasan abstrak.
Berfikir operasi formal lebih bersifat hipotetis dan abstrak, serta sistematis dan ilmiah dalam memecahkan masalah dari pada berpikir konkret. Seharusnya mahasiswi diharapkan telah mencapai tahap achievement of identity.
Salah satu faktor yang berperan dalam pembentukan identitas diri adalah faktor lingkungan (Perdana, dalam Dariyo, 2004:
114). Individu berusaha untuk menemukan lingkungan pergaulannya sebagai tempat mengekspresikan identitas dirinya.
Lingkungan masyarakat seringkali memberikan label atau penilaian yang cenderung merugikan peran jenis tertentu.
Semua persoalan kesenjangan atau ketimpangan peran jenis berawal dari persepsi terhadap peran jenis yang bias karena dibentuk oleh budaya yang secara turun- temurun dan sudah terinternalisasi sejak berabad-abad dan bias pada salah satu jenis kelamin.
Gambaran tentang ciri sifat maupun peran laki-laki dan wanita sering disebut sebagai peran jenis. Istilah peran jenis digunakan untuk menguraikan aspek sosiologis, antropologis, atau kulturan dari peran maskulin versus feminin. Peran jenis adalah apa yang diharapkan, ditentukan, atau dilarang bagi suatu jenis kelamin tertentu (Handayani
dan Novianto, 2004: 161). Tidak ada yang membantah bahwa beberapa sifat (trait) kepribadian tampaknya lebih dominan pada salah satu jenis kelamin dibanding jenis kelamin lain.
Santrock (2003: 381) menyatakan bahwa individu diklasifikasikan memiliki salah satu dari orientasi peran gender maskulin, feminin, androgini, dan undifferentiated. Peran jenis maskulin merupakan individu yang memiliki taraf tinggi untuk sifat-sifat instrumental dan rendah untuk sifat-sifat ekspresif, sedangkan peran jenis feminin memiliki taraf yang tinggi untuk sifat-sifat feminin. Peran jenis androgini merupakan peran yang ada dalam diri individu, dimana individu androgin adalah seorang perempuan atau seorang laki-laki yang memiliki taraf sifat feminin (ekspresif) dan sifat maskulin (instrumental) yang tinggi.
Orientasi peran jenis juga menemukan adanya peran jenis undifferentiated, yaitu individu yang memiliki kualitas rendah pada sifat yang feminin dan maskulin. Individu dengan peran jenis undifferentiated adalah individu yang paling tidak kompeten (Santrock, 2007: 236).
Fokus kajian dalam penelitian ini adalah peran jenis androgini. Individu yang androgini digambarkan lebih fleksibel dan lebih sehat mentalnya daripada individu yang hanya maskulin atau feminin saja. Dalam hubungan yang dekat, peran gender androgini lebih disukai (Santrock, 2003: 381). Individu androgini lebih fleksibel dan lebih sehat secara
131 mental daripada individu maskulin atau
feminin. Dalam sebuah hubungan, gender feminin dan androgini lebih diinginkan karena mereka lebih ekspresif dalam sebuah hubungan. Peran jenis androgini kemungkinan akan dipersepsikan secara berbeda oleh masing-masing individu.
Rakhmat (2005: 51) mendefinisikan bahwa persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Kebutuhan wanita Indonesia di masa lalu pada umumnya terbatas pada kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman serta kebutuhan akan cinta dan
“belonging”. Peran wanita hanya terbatas pada kehidupan rumah tangga saja. Pada masa lalu hanya sedikit wanita yang mengikuti pendidikan, bekerja di kantor atau menduduki jabatan kepemimpinan karena hal tersebut tidak merupakan previlage bagi wanita.
Berdasarkan hasil penyebaran kuesioner persepsi terhadap peran jenis androgini yang dilakukan peneliti pada tanggal 20 April 2012 terhadap 17 orang mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Semarang, diketahui bahwa mahasiswa telah dapat mempersepsikan secara positif peran jenis androgini. Satu sisi dari segi feminitas, mahasiswa menganggap bahwa wanita adalah sosok yang harus tampil feminin dan teman- teman menunjukkan rasa senang penampilan feminin tersebut. Sedangkan dari segi
maskulin, mahasiswa menganggap bahwa penampilan seorang wanita yang feminin atau maskulin bukanlah hal utama dalam kesuksesan seseorang. Mahasiswi menunjukkan keyakinan yang tinggi bahwa seorang wanita dapat bersaing dengan laki- laki. Mahasiswa menganggap bahwa sisi feminitas yang dimiliki wanita dan disertai dengan adanya kerja keras dapat menjadikannya mampu menunjukkan kompetensi yang dimiliki kepada masyarakat.
Persepsi positif terhadap peran jenis androgini kemungkinan akan menjadikan mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Semarang mampu memahami diri dan peran yang ada pada dirinya. Mahasiswi tidak akan merasa rendah diri, sehingga berpengaruh terhadap pembentukan identitas dirinya.
Mahasiswi dengan persepsi positif terhadap peran jenis androgini diharapkan dapat mencapai tahap achievement of identity, yang ditandai dengan kemampuan untuk membuat keputusan-keputusan dengan tegas tentang pendidikan dan pekerjaan yang nantinya akan dilakukan. Individu itu yakin bahwa keputusan-keputusan itu dibuat berdasarkan pertimbangan yang matang. Berdasarkan permasalahan tersebut peneliti tertarik untuk mengetahui apakah ada hubungan antara persepsi terhadap peran jenis androgini dengan pencapaian status identitas diri achievement mahasiswi?
Pencapaian status identitas achievement
132 Shafer (2005: 190) menyatakan bahwa
identitas achievement dicapai individu setelah berbagai masalah terselesaikan dengan membuat komitmen pribadi untuk tujuan tertentu, keyakinan, dan nilai. Sebagai contoh, individu mengerti apa yang dipercaya dan apa yang tidak dipercaya mengenai sebuah agama.
Kroger dan Marcia (dalam Papalia, Olds, dan Feldman, 2009: 69) menyatakan bahwa individu yang berada pada status identitas achievement lebih matang dan lebih kompeten secara sosial dibandingkan dengan orang dalam ketiga kategori yang lain. Syamsu (2010: 101) menyatakan bahwa identitas achievement berarti bahwa setelah remaja memahami pilihan yang realistik, maka remaja harus membuat pilihan dan berperilaku sesuai dengan pilihannya.
Dalam penelitian ini pencapaian status identitas achievement merupakan pencapaian status identitas terbaik yang mencerminkan bahwa remaja telah membentuk identitas dirinya secara mantap sehingga lebih matang dan lebih kompeten secara sosial dibandingkan dengan individu dalam ketiga status identitas diri yang lain.
Marcia (dalam Papalia, dkk, 2009: 69) menyatakan bahwa ciri-ciri individu yang telah mencapai status identity achievement, antara lain:
a. Telah menyelesaikan krisis identitas Krisis merupakan periode pembuatan keputusan secara sadar. Selama masa
krisis, remaja menghabiskan banyak waktu untuk berpikir dan berjuang secara emosional dalam mengatasi masalah- masalah yang berat dalam hidupnya.
b. Komitmen untuk menjalani berbagai pilihan yang dibuat setelah krisis.
Komitmen merupakan investasi pribadi dalam pekerjaan atau sistem keyakinan (ideologi). Orangtua mendorong untuk membuat keputusan sendiri.
Pencapaian identitas (identity achievement) oleh Santrock (2003: 345) ditandai oleh ciri- ciri sebagai berikut:
a. Remaja telah melewati krisis
Krisis (crisism) didefinisikan sebagai suatu masa perkembangan identitas di mana remaja memilah-milah alternatif-alternatif yang berarti dan tersedia.
b. Remaja telah membuat komitmen
Komitmen didefinisikan sebagai membuat keputusan yang sesuai atau tidak namun tidak disertai dengan adanya keterlibatan diri pada proyek tertentu yang berlaku sepanjang hidup.
Penulis akan memakai pendapat yang diutarakan oleh Marcia (dalam Papalia, dkk, 2009: 69) bahwa ciri-ciri individu yang telah mencapai identitas achievement adalah telah menyelesaikan krisis identitas dan komitmen untuk menjalani berbagai pilihan yang dibuat setelah krisis.
Persepsi terhadap peran jenis androgini
133 Robbins (2002: 46) memandang persepsi
sebagai suatu proses dimana individu mengorganisasikan dan menginterpretasikan kesan sensori mereka untuk memberi arti pada lingkungan mereka. Riset tentang persepsi secara konsisten menunjukkan bahwa individu yang berbeda dapat melihat hal yang sama tetapi memahaminya secara berbeda. Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses penginderaan, yaitu merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera atau juga disebut proses sensori (Walgito, 2004: 87-88).
Sarwono (2002: 94) bahwa persepsi adalah proses pencarian informasi untuk dipahami, alat untuk mencari tersebut adalah penginderaan dan alat untuk memahami adalah kesadaran atau kognisi. Persepsi (perception) dalam arti sempit adalah penglihatan, bagaimana cara seseorang melihat sesuatu, sedangkan dalam arti luas adalah pandangan atau pengertian, yaitu bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu (Leavit, dalam Sobur, 2003: 445). Lebih lanjut Kartono dan Gulo (2004: 203) mendefinisikan persepsi sebagai proses dimana seseorang menjadi sadar akan segala sesuatu dan lingkungannya melalui indera-indera yang dimilikinya, pengetahuan lingkungan yang diperoleh melalui interpretasi data indera. Rakhmat (2005: 51) mendefinisikan bahwa persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau
hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.
Berdasarkan uraian tersebut diketahui bahwa persepsi adalah cara seseorang memandang, menafsirkan dan mengartikan dengan penuh pemahaman hasil pengamatan suatu objek, yang merupakan pengalaman seseorang secara sadar melalui indera sensori.
Gambaran tentang ciri sifat maupun peran laki-laki dan wanita sering disebut sebagai stereotip gender. Istilah peran jenis digunakan untuk menguraikan aspek sosiologis, antropologis, atau kulturan dari peran maskulin versus feminin. Peran jenis adalah apa yang diharapkan, ditentukan, atau dilarang bagi suatu jenis kelamin tertentu (Handayani dan Novianto, 2004: 161). Individu yang androgini digambarkan lebih fleksibel dan lebih sehat mentalnya daripada individu yang hanya maskulin atau feminin saja.
Sadli (2010: 95) menyatakan bahwa peran jenis androgini berarti bahwa seseorang memiliki karakteristik psikologi feminin dan maskulin (andro = laki-laki, dan gyn = perempuan). Proses mengembangkan ciri-ciri androgini berarti seksualitas tidak dibatasi oleh stereotip yang berlaku tentang peran gender, sehingga memberikan seseorang kebebasan untuk memiliki ciri-ciri yang dimiliki oleh gender yang lain. Konsep peran jenis androgini menempatkan manusia yang mempunyai ciri- ciri feminin sekaligus maskulin. Individu
134 androgin memiliki kemampuan yang dominan,
namun juga pribadi yang hangat dalam melakukan hubungan antar manusia (Murniati, 2004: 113). Ketika mendengarkan persoalan dari teman-temannya, individu androgin berlaku secara feminin dengan berempati dan perhatian (Fox dan Isaac, 2000: 254).
Dalam penelitian ini persepsi terhadap peran jenis androgini adalah cara seseorang memandang, menafsirkan dan mengartikan dengan penuh pemahaman terhadap pembagian peran yang sama dalam karakter maskulin dan feminin pada saat yang bersamaan yang merupakan pengalaman seseorang secara sadar melalui indera sensori.
Walgito (2004: 87) menyatakan bahwa terdapat beberapa aspek yang diperlukan agar seseorang dapat mempersepsikan sesuatu antara lain:
a. Aspek kognisi, yaitu menyangkut pengenalan, cara mendapatkan pengetahuan atau cara berpikir dan pengalaman masa lalu. Hal ini berpengaruh pada pandangan individu terhadap atau berdasarkan dari keinginan atau pengharapan atau dari cara individu tersebut memandang sesuatu berdasarkan pengalaman yang pernah didengar atau dilihat dalam kehidupan sehari-hari.
b. Aspek afeksi, menyangkut perasaan individual, pendidikan moral dan etika yang diperoleh sejak kecil dalam mengekspresikan diri dengan sekitarnya.
c. Aspek konasi, yaitu motif, sikap, perilaku dan aktivitas. Pandangan individu terhadap sesuatu yang berhubungan dengan motif atau tujuan timbulnya perilaku yang diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam penelitian ini aspek-aspek persepsi adalah aspek kognisi, afeksi dan konasi.
Akbar dan Hawadi (2004: 69) menyatakan bahwa ciri-ciri individu androgini adalah sebagai berikut:
a. Dapat bertingkah laku feminin atau seperti ekspresif, seperti lembut, sensitif, hangat dan penuh pengertian.
b. Dapat bertingkah laku maskulin, seperti mandiri, tegas dan agresif.
Santrock (2007: 236) menyatakan bahwa karakteristik individu androgini, yaitu:
a. Memperlihatkan praktik hidup yang lebih sehat
b. Memiliki ekspektasi yang lebih tinggi mengenai kemampuannya untuk mengontrol hasil dari upaya akademis.
Berdasarkan uraian tersebut diketahui bahwa ciri-ciri peran jenis androgini adalah memiliki pemikiran yang logis dan masuk akal, dapat bertingkah laku feminin seperti ekspresif, seperti lembut, sensitif, hangat dan penuh pengertian; dapat bertingkah laku maskulin seperti mandiri, tegas dan agresif;
memperlihatkan praktik hidup yang lebih sehat, serta memiliki ekspektasi yang lebih tinggi dalam bidang akademis.
Metode Penelitian
135 Populasi dalam penelitian ini adalah
mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Semarang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu proportionate clasified sampling. Peneliti sebelumnya secara random telah menetapkan 58 orang mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Semarang angkatan 2010 dan angkatan 2011 sebagai subjek penelitian yang berjumlah 108. Peneliti menggunakan teknik pengumpulan data melalui metode skala, yaitu Skala Pencapaian Status Identitas Diri Achievement dan Skala Persepsi terhadap Peran Jenis Androgini
Hipotesis yang diajukan diuji secara statistik dengan menggunakan teknik korelasi Product Moment. Semua perhitungan statistik dalam penelitian ini menggunakan program SPSS.
Hasil dan Pembahasan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara persepsi terhadap peran jenis androgini dengan pencapaian status identitas diri achievement yang ditunjukkan dengan nilai rxy
= 0,665 dan (p < 0,01),. Semakin positif persepsi terhadap peran jenis androgini maka mahasiswi akan mencapai status identitas achievement, dan sebaliknya. Sehingga hipotesis dalam penelitian ini diterima.
Hasil penelitian ini mendukung pendapat Perdana (dalam Dariyo, 2004: 114) yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang
berperan dalam pembentukan identitas diri adalah faktor lingkungan. Individu berusaha untuk menemukan lingkungan pergaulannya sebagai tempat mengekspresikan identitas dirinya. Lingkungan masyarakat seringkali memberikan label atau penilaian yang cenderung merugikan peran jenis tertentu.
Semua persoalan kesenjangan atau ketimpangan peran jenis berawal dari persepsi terhadap peran jenis yang bias karena dibentuk oleh budaya yang secara turun-temurun dan sudah terinternalisasi sejak berabad-abad dan bias pada salah satu jenis kelamin.
Rakhmat (2005: 51) mendefinisikan bahwa persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Kebutuhan wanita Indonesia di masa lalu pada umumnya terbatas pada kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman serta kebutuhan akan cinta dan
“belonging”. Peran wanita hanya terbatas pada kehidupan rumah tangga saja. Pada masa lalu hanya sedikit wanita yang mengikuti pendidikan, bekerja di kantor atau menduduki jabatan kepemimpinan karena hal tersebut tidak merupakan previlage bagi wanita.
Persepsi positif terhadap peran jenis androgini akan menjadikan wanita menganggap bahwa peran jenis sebagai wanita bukanlah penghambat bagi dirinya untuk berkarir seperti halnya kaum laki-laki. Persepsi positif terhadap peran jenis androgini akan
136 menjadikan wanita mampu menumbuhkan
penilaian diri yang positif dalam menjalani tantangan dalam kehidupan, sehingga dapat mencapai status identitas diri achievement.
Sumbangan efektif variabel persepsi terhadap peran jenis androgini terhadap pencapaian status identitas diri achievement, yaitu 44,2%. Sisanya sebesar 55,8% dari variabel lain seperti faktor keluarga, pendidikan, eksplorasi, komitmen, peran, tingkat keterbukaan, tokoh idola, peluang pengembangan diri, serta tingkat kepribadian.
Simpulan
Ada hubungan yang positif antara persepsi terhadap peran jenis androgini dengan pencapaian status identitas achievement pada mahasiswi. Semakin positif persepsi terhadap peran jenis androgini maka mahasiswi akan mencapai status identitas achievement, dan sebaliknya sehingga hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini diterima.
Daftar Pustaka
Akbar, R., dan Hawadi. 2004. Psikologi Perkembangan Anak. Jakarta: Grasindo.
Dariyo, A. 2004. Psikologi Perkembangan Remaja. Bogor: Ghalia Indonesia.
Desmita. 2006. Psikologi Perkembangan.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Fox, D., dan Isaac, P. 2000. Psikologi Kritis.
Jakarta: Teraju.
Gunarsa, Y. S., Gunarsa, S. D. 2007. Psikologi Remaja. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.
Handayani, C. S., dan Novianto, A. 2004.
Kuasa Wanita Jawa. Yogyakarta: PT.
LKiS Pelangi Aksara Yogyakarta.
Kartono, K, dan Gulo, D. 2003. Kamus Psikologi. Bandung : Pionir Jaya.
Murniati, A. N. P. 2004. Getar Gender.
Magelang: Yayasan Indonesia Tera.
Papalia, D. E., Olds, S. W., dan Feldman, R. D.
2009. Human Development:
Perkembangan Manusia. Alih Bahasa:
Brian Marwensdy. Jakarta: Salemba Humanika.
Rakhmat, J. 2005. Psikologi Komunikasi.
Bandung: Remadja Karya.
Robbins, S.P. 2002. Prinsip-prinsip Perilaku Organisasi. Edisi 10. Alih Bahasa : Halida dan Dewi Sartika. Klaten: Intan Sejati.
Sadli, S. 2010. Berbeda Tetapi Setara. Jakarta:
PT. Kompas Media Nusantara.
Santrock, J. W. 2003. Adolescence. Edisi Keenam. Alih Bahasa : Drs. Shinto B.
Adelar dan Sherly Saragih. Jakarta:
Erlangga.
––––––––––––. 2007. Adolescende. Edisi Kesebelas. Alih Bahasa: Benedictine Widyasinta. Jakarta: Erlangga.
Sobur, A. 2003. Psikologi Umum. Bandung:
CV. Pustaka Setia.
Syamsu, Y. L. N. 2010. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Walgito, B. . 2004. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: ANDI.
Widyawati, S., dan Gusti, Y.A. 2012. Studi Deskriptif: Kemandirian dan Status Identitas Mahasiswa Baru di Fakultas Psikologi Universitas Semarang. Laporan Penelitian. Semarang: Fakultas Psikologi
Universitas Semarang