• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan Hukum Hindu Dalam Sistem Hukum Indonesia yang Bercorak Pluralis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Kedudukan Hukum Hindu Dalam Sistem Hukum Indonesia yang Bercorak Pluralis"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

Kedudukan Hukum Hindu Dalam Sistem Hukum Indonesia

yang Bercorak Pluralis

Wayan P. Windia

Disajikan dalam Studium General dan Seminar Jurusuan Dharma Sastra Program Studi Hukum Agama Hindu STAHN Gde Pudja Mataram,

Tangal 21 Oktober 2017

di Ruang Pertemuan STAHN Gde Pudja Jln. Pancaka 7 B Mataram

(2)

1. Mengembangkan dialog keilmuan hukum Hindu secara akademik didalam menemukan perumusan Pohon Keilmuan Hukum

Hindu, guna menggugah dan membangkitkan kembali

kesadaran, empati, dan apresiasi para praktisi, ilmuwan, peneliti, birokrasi dalam rangka pengembangan pemahaman hukum

Hindu ke depan dalam wilayah NKRI.

2. Meningkatkan pemahaman terhadap kedudukan hukum Hindu dalam sistem hukum di Indonesia yang bercorak pluralis.

3. Menggali nilai-nilai hukum Hindu dalam berbagai literatur untuk didokumentasikan dalam usaha pengembangan keilmuan pada program studi hukum Hindu.

4. Merumuskan rancangan naskah akademik pohon keilmuan hukum Hindu sebagai bentuk tanggungjawab akademik didalam membangun Program Studi Hukum Hindu di STAHN Gde Pudja Mataram.

(3)

• Hukum Hindu.

• Pluralisme hukum.

• Hukum Hindu dalam sistem hukum

Indonesia yang pluralis.

(4)

Hukum Hindu.

• Hukum Hindu adalah hukum yang bersumber pada ajaran agama (Hindu), yang kemudian bagian-bagian tertentu ada yang diundangkan menjadi undang-undang dan ada pula karena sifatnya dibiarkan sebagaimana halnya kewenangan dan kebebasan hakim untuk

menfasirkannya (Gde Pudja, 1977).

• Sumber hukum Hindu: Sruti, Smerti, Sila, Acara, dan Atmanistusti.

• Hukum Hindu dalam sumber-sumber tersebut, pada umumnya berwujud filosofi kehidupan, nilai kehidupan, dan asas hukum. Belum sepenuhnya berwujud norma hukum dengan “bahasa norma” seperti yang dikenal sekarang.

(5)

Pluralisme hukum.

• Pluralisme hukum, berlakunya lebih dari satu tertib hukum dalam satu wilayah (John Griffit, 1986).

• Pluralisme hukum digunakan untuk menjelaskan dua atau lebih sistem hukum berlaku secara

berdampingan (Nurjaya, 2008).

• Hukum negara (state law), hukum agama

(religius law), dan hukum kebiasaan (costomary

law). Bisa juga berwujud mekanisme pengaturan

lokal (inner order mekanism atau selfregulation),

(6)

• Munculnya pluralisme hukum.

- Masyarakat Indonesia yang multikultur.

- Warisan politik hukum jaman

pemerintahaan kolonial Belanda.

• Pasal 163 IS ttg Penggolongan Penduduk.

- Gol Eropa.

- Gol Timur Asing.

- Gol Bumi Putra (Indonesia Asli).

• Pasal 131 IS ttg hukum yang berlaku bagi asing-

masing golongan penduduk.

(7)

• Pluralisme hukum “lemah”, pluralisme hukum

“relatif”, pluralisme hukum “hukum negara”.

Artinya, aturan hukum yang dominan memberi ruang (eksplisit atau implisit), bagi jenis hukum yang lain, seperti hukum adat dan hukum

agama. Hukum negara mengakui dan

memasukan hukum yang lain ke dalam hukum negara.

• Pluralisme hukum “kuat” pluralisme hukum

“deskriptif”, pluralisme hukum “dalam”. Artinya, dua atau lebih sistem hukum hidup

berdampingan, masing-masing memiliki dasar

legitimasi keabsahannya.

(8)

Hukum Hindu dalam sistem hukum Indonesia yang pluralis.

• Secara konvensional, dikenal dua sistem hukum (tradisi hukum):

(1) Sistem hukum Eropa Kontinental (sistem

hukum sipil atau codified legal system). Dalam hal ini undang-undang menjadi sendi utama.

(2) Sistem hukum Anglo Sakson (case law system).

Dalam hal ini kasus-kasus kongkrit menjadi sendi utama untuk menarik asas-asas yang bersifat

umum. Putusan hakim memegang peranan penting.

• Indonesia (dulu Hindia Belanda) menganut sistem

hukum Eropa Kontinental, mengikuti sistem hukum yang dianut oleh pemerintah kolonial Belanda.

(9)

Konsekwensinya:

• Hukum dipandang identik dengan undang-undang.

• Penelitian hukum sesungguhnya adalah penelitian undang-undang.

• Tidak ada tindak pidana tanpa undang-undang terlebih dahulu (asas legalitas atau nullum delictum).

• Pelanggaran norma agama dan norma kesopanan (hukum adat) sulit dihukum, kecuali sudah diadopsi dalam aturan tertulis.

(10)

Pasal 7 U.U. Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

(1) Jenis dan herarhi Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:

a. UUD Negara RI 1945.

b. U.U/Peraturan Pemerintah Pengganti U.U.

c. Peraturan Pemerintah.

d. Peraturan Presiden.

e. Peraturan Daerah.

(2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:

a. Perda Provinsi dibuat oleh DPRD Prov. bersama Gubernur.

b. Perda Kabupaten/Kota dibuat oleh DPRD Kabupaten/Kota bersama Bupati/Wali Kota.

c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh Badan

Perwakilan Desa atau nama lainya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.

(11)

• Dimana kedudukan/posisi hukum Hindu dan juga hukum adat (Bali) dalam sistem hukum Indonesia?

• Hukum Hindu dan hukum adat (Bali) diatur dalam undang-undang dan tidak diatur dengan undang- undang, seperti:

- UUD Negara RI 1945.

- UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

- UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

- UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa.

- UU Darurat No. 1 Tahun 1951 Tentang...

- Rancangan KUHP Nasional.

(12)

Bagaimana negara mengatur masyarakat hukum adat, dalam hal ini desa pakraman?

Pasal 18 B

1. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan

pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. **)

2. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-

kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. **)

(13)

Pasal 28 I

3. Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional

dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

Pasal 32

1.Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. ****)

2.Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. ****)

(14)

• Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, ditentukan bahwa pembaruan

agraria dan pengelolaan sumber daya alam harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-

prinsip, antara lain: 1. Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi

keanekaragaman dalam unifikasi hukum; dan 2.

Mengakui, menghormati, dan melindungi hak

masyarakat hukum adat dan keragaman budaya

bangsa atas sumber daya agrarian/sumber daya

alam.

(15)

• Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 (RPJPN 2005- 2025), yakni: 1. Arah pembangunan

hukum harus memerhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku; dan 2.

Pengakuan terhadap hak-hak adat dan

ulayat atas sumber daya alam.

(16)

• Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Nasional Tahun 2004-2009 (RPJMN 2004-2009), yakni: 1. Penghormatan dan

penguatan kearifan lokal dan hukum adat dalam rangka mewujudkan tertib perundang-undangan;

dan 2. Peningkatan kapasitas kelembagaan

pengelola sumber daya alam dan lingkungan

hidup di pusat dan daerah, termasuk lembaga

masyarakat adat.

(17)

Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai “penafsir” konstitusi.

• Putusan Nomor 31/PUU-V/2007 tentang Pengujian UU Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual di Provinsi Maluku terhadap UUD 1945, 18 Juni 2008.

• Putusan ini menjadi rujukan putusan berikutnya yang dibacakan pada 19 Juni 2008, yakni pada Putusan Nomor 6/PUU-VI/2008 dalam perkara permohonan Pengujian UU Nomor 51 Tahun 1999 tentang

Pembentukan Kabupaten Buol, Kabupaten Morowali,

dan Kabupaten Banggai Kepulauan terhadap UUD 1945.

(18)

Disebutkan dalam putusan MK, bahwa berdasarkan sifatnya, KMHA di Indonesia dapat dibedakan:

• Genealogis, yang ditentukan berdasarkan kriteria hubungan keturunan darah;

• Fungsional, yang didasarkan atas fungsi-fungsi tertentu yang menyangkut kepentingan bersama yang

mempersatukan masyarakat hukum adat yang

bersangkutan dan tidak tergantung kepada hubungan darah ataupun wilayah, seperti Subak di Bali; dan

• Teritorial, yang bertumpu pada wilayah tertentu di mana anggota kesatuan masyarakat hukum adat yang

bersangkutan hidup secara turun-temurun dan melahirkan hak ulayat yang meliputi hak atas pemanfaatan tanah, air, hutan, dan sebagainya.

(19)

• Mengenai kriteria KMHA, Putusan MK menentukan: 1.

Masih hidup; 2. Sesuai dengan perkembangan

masyarakat; 3. Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan 4. Ada pengaturan berdasarkan undang-undang.

• Sudah dikemukakan bahwa suatu KMHA untuk dapat

dikatakan secara de facto masih hidup (actual existence) baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang

bersifat fungsional setidak-tidaknya mengandung unsur- unsur: 1. adanya masyarakat yang warganya memiliki perasaan kelompok (in-group feeling); 2. adanya pranata pemerintahan adat; 3. adanya harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan 4. adanya perangkat norma

hukum adat. Khusus pada kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial juga terdapat unsur yang ke- 5 yakni adanya wilayah tertentu.

(20)

• KMHA beserta hak-hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat apabila KMHA

tersebut: 1. Keberadaannya telah diakui berdasarkan undang-undang yang berlaku sebagai pencerminan perkembangan nilai-nilai yang dianggap ideal dalam masyarakat dewasa ini, baik undang-undang yang

bersifat umum maupun bersifat sektoral, seperti bidang agraria, kehutanan, perikanan, dan lain-lain maupun dalam peraturan daerah; dan 2. Substansi hak-hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh warga kesatuan masyarakat yang bersangkutan maupun masyarakat yang lebih luas, serta tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia.

(21)

• KMHA beserta hak-hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, apabila KMHA tersebut tidak

mengganggu eksistensi Negara Kesatuan

Republik Indonesia (NKRI) sebagai sebuah

kesatuan politik dan kesatuan hukum, dalam

artian: 1. Keberadaannya tidak mengancam

kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan

Republik Indonesia; dan 2. Substansi norma

hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan.

(22)

• Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 ada kentuan “…, yang diatur dalam Undang-undang”.

• Berdasarkan Putusan MK dalam Perkara Nomor

007/PUU-III/2005 tentang Pengujian UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional terhadap UUD 1945, ketentuan ini bermakna tidak harus dibentuk undang-undang yang khusus mengakui dan

menghormati KMHA beserta hak-hak tradisionalnya, melainkan pengakuan dan penghormatan negara atas KMHA beserta hak-hak tradisionalnya harus memenuhi ketentuan Undang-undang.

• Pengakuan dan penghormatan dapat dilakukan melalui Undang-undang sektoral. Sebagai contoh UU tentang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. UUPA, dll.

Referensi

Dokumen terkait

mengenai kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionilnya yang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik

Berangkat dari Pasal 18B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan- kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak

Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan

“Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.”

Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat apabila kesatuan masyarakat hukum adat tersebut: 10 (1)

Pasal 18B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan: “negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuia dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara

Dalam UUD 1945 pasal 18B sebagai dasar negara jelas disebutkan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang