• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Sekolah

SDN Kebon Kopi 2 merupakan sekolah negeri dengan status akreditasi B yang terletak di jalan Kebon Kopi RT 04/09 Kelurahan Kebon Kelapa, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor. Sekolah ini berdiri sejak tahun 1973 dan memperoleh perubahan status akreditasi B pada tahun 2007. Bangunan sekolah terbagi menjadi ruang kepala sekolah, enam ruang kelas, ruang guru, UKS (Usaha Kesehatan Sekolah), rumah penjaga sekolah, mushola, WC, dan halaman sekolah. Fasilitas air dan listrik masing-masing berasal dari PDAM dan PLN.

Tenaga pengajar di SDN Kebon Kopi 2 terdiri dari guru tetap dan guru honorer yang berjumlah 10 orang yaitu 3 orang S1, 4 orang D2, 1 orang D1, 2 orang SPG, sedangkan untuk tenaga pendukung sebanyak 3 orang. Pada tahun pelajaran 2010/2011 sekolah memiliki 212 siswa yaitu 32 siswa kelas 1, 39 siswa kelas 2, 34 siswa kelas 3, 43 siswa kelas 4, 32 siswa kelas 5, dan 32 siswa kelas 6. Kegiatan belajar mengajar dilakukan pada pagi hari dimulai pukul 07.00 WIB dan berakhir pada pukul 10.00 WIB untuk kelas 1-2 dan pukul 12.30 WIB untuk kelas 3-6.

Karakteristik Contoh Jenis Kelamin dan Usia

Jumlah contoh dalam penelitian ini sebanyak 50 orang dengan persentase jenis kelamin laki-laki (50%) dan perempuan (50%). Sebaran jenis kelamin dan usia contoh dapat dilihat pada Gambar 3. Usia contoh berkisar antara 10-13 tahun dan sebagian besar contoh (92%) berada pada rentang usia 10-12 tahun. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kemendiknas (2010) yang menyebutkan bahwa usia sekolah dasar adalah usia dimana seorang anak mengikuti jenjang paling dasar pendidikan formal yang ditempuh dalam waktu enam tahun pada umumnya berusia 7-12 tahun. Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan uji beda t, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara usia contoh laki-laki dan perempuan (p>0.05).

(2)

Gambar 3 Sebaran contoh berdasarkan usia Besar Uang Jajan

Besar uang jajan adalah sejumlah uang dalam rupiah yang diterima anak sekolah per hari untuk membeli jajanan. Perolehan uang jajan menjadi suatu kebiasaan sehingga diharapkan anak dapat belajar bertanggung jawab untuk mengelola uang jajan yang dimiliki (Napitu 1994). Sebaran contoh berdasarkan uang jajan terdapat pada Gambar 4. Lebih dari separuh contoh (52%) memiliki besar uang jajan contoh <Rp 3.000,00. Rata-rata besar uang jajan contoh laki- laki dan perempuan sebesar Rp 3.404,00±1838,0. Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan uji beda t, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara besar uang saku contoh laki-laki dan perempuan (p>0.05).

Gambar 4 Sebaran contoh berdasarkan uang jajan

Hasil ini berbeda dengan penelitian di salah satu sekolah dasar di kota Bogor. Rata-rata besar uang saku siswa pada penelitian tersebut berkisar antara Rp 3.100,00-8.700,00 dengan persentase alokasi untuk jajan sebesar 40,9%

(Rodiah 2010). Besar uang jajan pada hasil penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan penelitian Rodiah (2010). Hal ini mungkin disebabkan

0 20 40 60 80 100

laki-laki perempuan total

96 88 92

4 12 8

Persentase (%) 10-12 tahun

13 tahun

0 20 40 60 80 100

laki-laki perempuan total 68

36

52

20

36 28

12

28 20

Persentase (%)

< Rp 3000 Rp 3000-5000

> Rp 5000

30

(3)

pendapatan keluarga pada penelitian ini hampir keseluruhan miskin sehingga berpengaruh terhadap besar uang jajan contoh yang lebih rendah.

Orang tua cenderung akan memberikan uang jajan untuk anaknya karena kesibukan mereka. Hal ini menyebabkan kebiasaan yang timbul adalah orang tua kurang memperhatikan asupan gizi anaknya, misalnya anak-anak tidak dibiasakan untuk sarapan pagi, anak hanya diberi uang jajan untuk membeli makanan di sekolah, membiasakan membeli makanan yang dijual di warung, sementara keseimbangan gizi dan kebersihannya kurang diperhatikan (Muasyaroh 2006).

Karakteristik Sosial Ekonomi Pendidikan Orang Tua

Salah satu unsur penting yang dapat mempengaruhi keadaan gizi keluarga adalah pendidikan orang tua. Sebaran contoh berdasarkan pendidikan orang tua terdapat pada Gambar 5 dan 6. Gambar 5 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan pendidikan ayah. Persentase pendidikan ayah contoh lebih besar (46%) pada tingkat SMA. Contoh laki-laki memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik dibandingkan contoh perempuan. Hal tesebut terlihat dari persentase ayah contoh laki-laki (57%) dengan tingkat pendidikan SMA lebih banyak dibandingkan persentase ayah contoh perempuan (33%). Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan uji beda mann-whitney u, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pendidkan ayah contoh laki-laki dan perempuan (p>0.05).

Salimar et al. (2010) menyebutkan sebagian besar tingkat pendidikan kepala keluarga (ayah) di perkotaan minimal SLTP. Hasil penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil Riskesdas (2010) karena masih ada ayah contoh yang tidak bersekolah. Hal ini diduga disebabkan kondisi sosial ekonomi yang rendah turut berpengaruh terhadap tingkat pendidikan orang tua.

31

(4)

Gambar 5 Sebaran contoh berdasarkan pendidikan ayah

Sebaran contoh berdasarkan pendidikan ibu terdapat pada Gambar 6.

Persentase pendidikan ibu contoh lebih besar (36%) pada tingkat SD. Contoh laki-laki memiliki tingkat pendidikan ibu lebih baik dibandingkan contoh perempuan. Hal tesebut terlihat dari persentase ibu contoh laki-laki (33%) dengan tingkat pendidikan SMA lebih banyak dibandingkan persentase ibu contoh perempuan. Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan uji beda mann- whitney u, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pendidikan ibu contoh laki-laki dan perempuan (p>0.05).

Gambar 6 Sebaran contoh berdasarkan pendidikan ibu

Hasil penelitian ini berbeda dengan Salimar et al. (2010) yang menyebutkan sebagian besar tingkat pendidikan ibu di perkotaan minimal SLTP.

Hasil penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil Riskesdas (2010) karena masih ada ibu contoh yang tidak bersekolah. Sama halnya dengan pendidikan ayah contoh, hal ini diduga disebabkan kondisi sosial ekonomi yang rendah turut berpengaruh terhadap tingkat pendidikan orang tua. Manadijah

0 20 40 60 80 100

laki-laki perempuan total

5 2

30 33 32

13

29

21 57

33

46

Persentase (%)

tidak sekolah SD

SMP SMA

0 20 40 60 80 100

laki-laki perempuan total

4 2

333333 3930 3632

26 30

Persentase (%)

tidak sekolah SD

SMP SMA

32

(5)

(2006) menyebutkan terdapat hubungan positif antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi cenderung mempunyai pengetahuan gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak yang baik

Pekerjaan Orang tua

Pekerjaan seseorang akan berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas makanan. Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan ayah dan ibu terdapat pada Gambar 7 dan 8. Gambar 7 menunjukkan persentase sebaran contoh berdasarkan pekerjaan ayah. Persentase pekerjaan ayah contoh lebih besar pada jenis pekerjaan seperti pedagang keliling (25%), supir angkut, ojek (23%), dan pegawai swasta (23%). Hasil ini serupa dengan penelitian Salimar et al.

(2010), yang menunjukkan bahwa sebagian besar pekerjaan ayah sebagai pedagang atau wiraswasta. Pedagang keliling memiliki persentase lebih besar (30%) untuk jenis pekerjaan contoh laki-laki sedangkan persentase pekerjaan ayah contoh perempuan lebih besar (29%) pada supir angkut dan pegawai swasta. Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan uji beda mann-whitney u, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pekerjaan ibu contoh laki-laki dan perempuan (p>0.05) .

Gambar 7 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan ayah

Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan ibu terdapat pada Gambar 8.

Sebagian besar (79%) ibu contoh hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga.

Persentase terbesar pekerjaan ibu baik contoh laki-laki (75%) dan perempuan (83%) adalah ibu rumah tangga. Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan uji beda mann-whitney u, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pekerjaan ibu contoh laki-laki dan perempuan (p>0.05).

0 10 20 30

laki-laki perempuan total 13

5

9

17 19 18

30

19

25 17

29

23 17

29

23

4 2

tidak bekerja buruh bangunan, angkut

Pedagang keliling Supir angkut,ojek

Pegawai swasta PNS

33

(6)

Hasil ini berbeda dengan penelitian Salimar et al. (2010). Salimar et al.

(2010) menyebutkan bahwa persentase ibu yang bekerja di Indonesia lebih besar dibandingkan yang tidak bekerja, sedangkan pada penelitian ini berbanding terbalik. Sebagian besar ibu contoh tidak bekerja kemungkinan yang menyebabkan kondisi ekonomi contoh sebagian besar miskin.

Gambar 8 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan ibu Besar keluarga

Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengeluaran sumberdaya yang sama (Sanjur 1982). Gambar 9 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan besar keluarga. Persentase tertinggi contoh laki-laki dan perempuan (46%) memiliki besar keluarga yang tergolong kecil (≤ 4 orang), sedangkan persentase terendah (4%) adalah besar keluarga dengan jumlah anggota lebih dari enam orang. Rata-rata besar keluarga contoh adalah 4,9±1,5 orang. Hasil ini hampir serupa dengan Riskesdas (2010) yang menunjukkan rata-rata besar keluarga anak usia sekolah di daerah perkotaan sebesar 4,8±1,4 orang.

Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan uji beda t menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara besar keluarga contoh laki-laki dan perempuan (p>0.05).

0 20 40 60 80 100

laki-laki perempuan total

4 17 9 6

4 11

4 4 4

75 83 79

pegawai swasta pedagang keliling

34

(7)

Gambar 9 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga

Anak-anak yang sedang tumbuh dari suatu keluarga miskin adalah yang paling rawan terhadap gizi kurang di antara semua anggota keluarga, anak yang paling kecil biasanya yang paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Situasi semacam ini sering terjadi sebab seandainya besar keluarga bertambah, maka pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orang tua tidak menyadari bahwa anak-anak yang sedang tumbuh memerlukan pangan kurang relatif tinggi daripada golongan yang lebih tua (Suhardjo 1989)

Pendapatan

Pendapatan adalah pendapatan rata-rata per bulan yang dihasilkan dari pekerjaan utama atau tambahan kepala keluarga atau anggota keluarga lain yang dinilai dengan rupiah. Pendapatan pada suatu keluarga dapat dikategori menjadi miskin dan tidak miskin dengan menggunakan garis kemiskinan menurut kabupaten/kota. Batas garis kemiskinan untuk kota Bogor pada tahun 2010 sebesar Rp 278.530,00 (BPS 2010). Sebaran contoh berdasarkan pendapatan keluarga terdapat pada Gambar 10.

Sebagian besar contoh laki-laki (76%) dan perempuan (88%) memiliki pendapatan keluarga yang termasuk dalam kategori miskin. Persentase pendapatan keluarga miskin untuk keseluruhan contoh sebesar 82%. Rata-rata pendapatan keluarga contoh sebesar Rp 165.637,00 ± 105.765,00. Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan uji beda t menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara pendapatan keluarga contoh laki-laki dan perempuan (p>0.05).

0 20 40 60 80 100

laki-laki perempuan total

48 44 46

36 44 40

16 12 14

Persentase (%)

kecil (< 4 orang) sedang (4-6 orang) besar (> 6 orang)

35

(8)

Gambar 10 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan

Rata-rata pendapatan keluarga yang didapatkan dalam penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Syafitri pada tahun 2010 di salah satu sekolah dasar negeri di Kota Bogor. Menurut Syafitri (2010), rata-rata pendapatan keluarga di sekolah dasar tersebut di atas Rp 3.000.000,00 atau termasuk dalam kategori cukup tinggi. Hal ini menunjukkan tidak semua keluarga di daerah perkotaan memiliki pendapatan yang homogen.

Pendapatan merupakan faktor yang menentukan kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Keluarga dengan pendapatan terbatas atau miskin akan kurang dapat memenuhi kebutuhan makanannya terutama untuk memenuhi kebutuhan zat gizi dalam tubuhnya (Fikawati & Syafiq 2007).

Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan uji beda t, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pendapatan keluarga contoh laki-laki dan perempuan (p>0.05).

Status Gizi Anak

Status gizi merupakan kondisi kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi), dan penggunaan (utilisasi) zat gizi makanan, dengan menilai status gizi seseorang atau sekelompok orang, maka dapat diketahui baik buruknya status gizinya (Riyadi 2003). Status gizi anak dapat diukur menggunakan indikator anthropometri seperti BB/U, TB/U, dan IMT/U.

BB/U

Indikator BB/U merupakan kombinasi antara BB dan U membentuk indikator BB menurut U yang disimbolkan dengan “BB/U”. Indikator BB/U membagi status gizi menjadi tiga kategori yaitu gizi kurang, normal, dan lebih.

0 20 40 60 80 100

laki-laki perempuan total 76

88 82

24

12 18

persentase (%)

miskin tidak miskin

36

(9)

Sebaran contoh berdasarkan BB/U dapat dilihat pada Gambar 11. Lebih dari separuh contoh laki-laki (56%) memiliki status gizi kurang. Contoh perempuan yang memiliki persentase status gizi baik (64%) lebih besar dibandingkan contoh laki-laki (44%). Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan uji beda t, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara status gizi BB/U contoh laki-laki dan perempuan (p>0.05).

Persentase status gizi normal pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan penelitian Hastuti (2003). Menurut Hastuti (2003) persentase status gizi berdasarkan indeks BB/U siswa sekolah dasar di kabupaten Sukaharjo sebagian besar normal (73%) dan sisanya (27%) berstatus gizi kurang. Hal ini kemungkinan disebabkan hampir seluruh contoh memiliki kondisi ekonomi yang miskin serta kuantitas dan kualitas konsumsi zat gizi contoh belum cukup baik sehingga berdampak pada status gizi kurang pada contoh. Menurut Supariasa et al. (2001), mengingat karakteristik berat badan yang labil, maka indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini (current nutritional status).

Gambar 11 Sebaran contoh berdasarkan BB/U TB/U

Tinggi badan dalam keadaan normal tumbuh bersamaan dengan bertambahnya umur. Indikator TB/U merupakan kombinasi antara TB dan U membentuk indikator TB menurut U yang disimbolkan dengan “TB/U”. Indikator TB/U membagi status gizi menjadi tiga kategori yaitu sangat pendek, pendek, dan normal (WHO 2007). Sebaran contoh berdasarkan TB/U dapat dilihat pada Gambar 12.

0 20 40 60 80 100

laki-laki perempuan total 56

36 44 46

64

54

Persentase (%)

kurang normal

37

(10)

Gambar 12 Sebaran contoh berdasarkan TB/U

Lebih dari separuh (68%) contoh memiliki status gizi normal menurut TB/U. Persentase contoh laki-laki (32%) dan perempuan (28%) dengan status gizi pendek juga cukup besar, sedangkan untuk kategori sangat pendek hanya terdapat pada contoh perempuan sebesar 4%. Pengaruh kurang gizi terhadap pertumbuhan tinggi badan baru terlihat dalam waktu yang cukup lama. Oleh karena itu indikator TB/U menggambarkan status gizi masa lampau (Soekirman 2000). Persentase status gizi pendek cukup besar pada contoh menunjukkan status gizi yang buruk pula pada masa lampau. Riskesdas (2010) menunjukkan prevalensi kependekan pada anak laki laki lebih tinggi yaitu 36,5% daripada anak perempuan yaitu 34,5%. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian kemungkinan disebabkan karena jumlah contoh yang lebih sedikit dibandingkan dengan Riskesdas tahun 2010. Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan uji beda t, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara status gizi TB/U contoh laki-laki dan perempuan (p>0.05)..

IMT/U

IMT menurut umur direkomendasikan sebagai indikator terbaik untuk remaja. Indikator ini memerlukan informasi tentang umur. Selain itu, indikator IMT/U juga telah divalidasi sebagai indikator lemak tubuh total pada persentil.

Sebaran contoh berdasarkan IMT terdapat pada Gambar 13. Persentase status gizi kurus pada keseluruhan contoh sebanyak 22%. Persentase contoh laki-laki dan perempuan berstatus gizi normal lebih banyak dibandingkan kurus dan sangat kurus. Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan uji beda t, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara status gizi IMT/U contoh laki-laki dan perempuan (p>0.05). Hal ini menunjukkan kondisi masalah gizi kurus masih banyak terdapat pada contoh baik laki-laki dan perempuan.

0 20 40 60 80 100

laki-laki perempuan total

4 2

32 28 30

68 68 68

persentase (%)

sangat pendek pendek normal

38

(11)

Gambar 13 Sebaran contoh berdasarkan IMT/U

Prevalensi kekurusan secara nasional anak laki laki lebih tinggi yaitu 13,2% daripada anak perempuan yaitu 11,2%. Hasil pada penelitian ini berbeda dengan prevalensi kekurusan nasional tersebut yaitu persentase contoh perempuan dengan status gizi kurus lebih tinggi dibandingkan contoh laki-laki.

Prevalensi kekurusan berhubungan terbalik dengan keadaan ekonomi rumah tangga, semakin baik keadaan ekonomi rumah tangga semakin rendah prevalensi kekurusannya (Riskesdas 2010). IMT/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya akut sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi dalam waktu yang tidak lama (singkat), misalnya terjadi wabah penyakit dan kekurangan makan (kelaparan) yang mengakibatkan anak menjadi kurus (Riskesdas 2010).

Konsumsi dan Tingkat Kecukupan

Konsumsi pangan merupakan banyaknya atau jumlah pangan secara tunggal maupun beragam yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, psikologis dan sosiologis.

Tujuan fisiologis adalah upaya untuk memenuhi keinginan makan (rasa lapar) atau untuk memperoleh zat-zat gizi yang diperlukan tubuh. Tujuan psikologis adalah untuk memenuhi kepuasan emosional atau selera, sedangkan tujuan sosiologis adalah untuk memelihara hubungan manusia dalam keluarga dan masyarakat (Sediaoetama 1991).

Penilaian konsumsi atau survei diet adalah salah satu metode yang digunakan dalam penentuan status gizi perorangan atau kelompok. Jenis Penilaian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kecukupan zat gizi dilakukan dengan membandingkan antar konsumsi zat gizi aktual (nyata) dengan

0 20 40 60 80 100

laki-laki perempuan total

12 4 8

20 24 22

68 72 70

Persentase (%)

sangat kurus kurus normal

39

(12)

kecukupan gizi yang dianjurkan. Hasil perhitungan kemudian dinyatakan dalam persen.

Energi

Energi merupakan salah satu hasil metabolisme karbohidrat protein dan lemak. Energi berfungsi sebagai zat tenaga untuk metabolisme, pertumbuhan, pengatur suhu dan kegiatan fisik. Kelebihan energi disimpan sebagai cadangan energi dalam bentuk glikogen sebagai cadangan energi jangka pendek dan dalam bentuk lemak sebagai cadangan jangka panjang (Hardinsyah &

Tambunan 2004).

Rata-rata konsumsi energi per hari contoh laki-laki dan perempuan berturut-turut sebesar 1138 Kal dan 1199 Kal. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) 2004 menetapkan kecukupan energi untuk usia 10-12 tahun baik laki-laki dan perempuan sebesar 2050 Kal, sedangkan usia 13-15 tahun sebesar 2400 (laki-laki) dan 2350 (perempuan). Jika dibandingkan dengan angka kecukupan, persentase tingkat kecukupan energi pada laki-laki dan perempuan hanya sebesar 61% dan 67%.

Rata-rata kecukupan konsumsi energi secara nasional anak umur 7–12 tahun (usia sekolah dasar) berkisar antara 71,6%-89,1% dan sebanyak 44,4%

anak mengkonsumsi energi di bawah kebutuhan minimal (Riskesdas 2010). Hasil penelitian serupa dilakukan Dewi (2010) pada siswa kelas 4, 5, dan 6 di kota Medan menunjukkan bahwa kecukupan energi 73,7%-88,2% siswa SD berada dalam kategori defisit. Tingkat kecukupan energi pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan Riskesdas (2010) dan penelitian Dewi (2010). Hal ini diduga disebabkan pengaruh kondisi ekonomi yang hampir sebagian besar miskin sehingga berpengaruh kuantitas zat gizi yang dikonsumsi contoh.

Gambar 14 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi 0

20 40 60 80 100

laki-laki perempuan total 76

52

64

8 8 8 8

16 12

8

24 16

0 0 0

Persentase (%)

defisit berat (<70% AKG)

defisit sedang (70-79%AKG) defisit ringan (80-89% AKG) normal (90-119% AKG)

di atas angka kecukupan (≥120% AKG) 40

(13)

Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi terdapat pada Gambar 14. Sebagian besar contoh mengalami defisit energi tingkat berat dengan persentase sebanyak 64%. Persentase defisit berat pada laki-laki (76%) lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan (52%). Tingkat kecukupan energi yang normal hanya mencapai 16% total contoh. Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan uji beda t, terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat kecukupan energi contoh laki-laki dan perempuan (p<0.05). Contoh laki-laki memiliki tingkat kecukupan energi yang lebih rendah dibandingkan dengan perempuan. Hal ini mungkin disebabkan karena angka kecukupan energi laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan sedangkan kebalikannya, konsumsi energi aktual laki-laki lebih rendah dibandingkan perempuan.

Konsumsi energi contoh tergolong defisit berat disebabkan konsumsi pangan sumber energi masih di bawah angka kecukupan yang dianjurkan.

Pangan sumber energi adalah pangan sumber lemak, karbohidrat, dan protein.

Pangan sumber energi yang kaya lemak antara lain gajih/lemak dan minyak, buah berlemak (alpukat), biji berminyak (biji wijen, bunga matahari dan kemiri), santan, coklat, kacang-kacangan dengan kadar rendah (kacang tanah dan kacang kedelai) dan serealia lainnya, umbi-umbian, tepung, gula, madu, buah dengan kadar air rendah (pisang, kurma dan lain-lain) dan aneka produk turunannya. Pangan sumber energi yang kaya protein antara lain daging, ikan, telur, susu, dan aneka produk turunannya (Hardinsyah & Tambunan 2004).

Kekurangan energi terjadi bila konsumsi energi melalui makanan kurang dari energi yang dikeluarkan. Tubuh akan mengalami keseimbangan energi negatif sehingga terjadi penurunan berat badan. Bila terjadi pada anak-anak akan menghambat pertumbuhan. Gejala yang ditimbulkan pada anak adalah kurang perhatian, gelisah, lemah, cengeng, kurang bersemangat, dan penurunan daya tahan terhadap penyakit infeksi (Almatsier 2001).

Protein

Protein merupakan komponen fungsional dan struktural utama sel-sel dalam tubuh. Semua enzim, zat pembawa (carrier) dalam darah, matriks intraseluler, dan sebagian besar hormon tersusun atas protein. Protein bagi anak usia sekolah memiliki peranan penting terutama untuk membangun jaringan baru terutama pada periode pertumbuhan serta berperan dalam transpor zat gzi, contohnya lipoprotein untuk transport, trigliserida, kolesterol, fosfolipida, dan vitamin larut lemak (Nasoetion & Damayanthi 2008).

41

(14)

Konsumsi protein rata-rata pada contoh laki-laki dan perempuan masing- masing sebesar 29 gram dan 28 gram. Angka kecukupan protein untuk usia 10- 12 tahun untuk laki-laki dan perempuan sebesar 50 gram, sedangkan usia 13-15 tahun sebesar 60 gram (laki-laki) dan 57 gram (perempuan) (WNPG 2004).

Tingkat kecukupan protein pada laki-laki (49%) lebih rendah dibandingkan dengan perempuan (60%).

Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan protein terdapat pada Gambar 15. Hampir seluruh contoh (82%) mengalami defisit protein tingkat berat.

Persentase protein defisit berat pada contoh laki-laki lebih tinggi dibandingkan contoh perempuan. Hal ini dikarenakan konsumsi pangan hewani dan nabati masih sangat rendah sehingga tidak mencukupi kecukupan protein. Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan uji beda t, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat kecukupan protein contoh laki-laki dan perempuan (p> 0.05). Hardinsyah dan Tambunan (2004) mengemukakan pada umumnya pangan hewani mempunyai mutu protein yang lebih baik dibandingkan pangan nabati. Kebutuhan protein berbanding lurus dengan berat badan seseorang (status gizi) sehingga apabila konsumsi protein yang diperoleh dari makanan memenuhi angka kecukupan protein yang dianjurkan maka akan diperoleh status gizi yang baik (Sutardji & Azinar 2007).

Gambar 15 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan protein

Rata-rata nasional kecukupan konsumsi protein anak usia 7-12 tahun berkisar antara 85,1%-137,4%. Persentase anak umur 7–12 tahun yang mengkonsumsi protein di bawah kebutuhan minimal adalah 30,6 %. Hasil Riskesdas (2010) tersebut lebih rendah apabila dibandingkan dengan hasil penelitian ini kemungkinan disebabkan jumlah contoh dalam penelitian lebih sedikit dan pendapatan keluarga yang lebih homogen (miskin). Kekurangan

0 20 40 60 80 100

laki-laki perempuan total 93

72

82

0 8 0 8 8 8 4

12 6

Persentase (%)

defisit berat (<70% AKG) defisit sedang (70-79%AKG) defisit ringan (80-89% AKG) normal (90-119% AKG)

di atas angka kecukupan (≥120% AKG) 42

(15)

protein banyak terdapat pada masyarakat sosial ekonomi rendah dan sering ditemukan secara bersamaan dengan kekurangan energi yang menyebabkan marasmus. Marasmus adalah penyakit kelaparan dan terdapat banyak di antara kelompok sosial ekonomi rendah di sebagian besar negara sedang berkembang (Almatsier 2001).

Zat besi (Fe)

Zat besi memiliki peranan penting dalam metabolisme tubuh. Sekitar dua pertiga zat besi tubuh berperan sebagai zat besi fungsional seperti hemoglobin (60%), mioglobin (15%), dan terikat dalam berbagai jenis enzim (5%). Adapun sepertiga lainnya zat besi disimpan dalam bentuk feritin (20%) dan hemosiderin (10%) (Gibney et al. 2002). Beberapa fungsi essensial zat besi di dalam tubuh, sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, sebagai alat angkut elektron di dalam sel, dan berbagai bagian terpadu berbagai reaksi enzim di dalam jaringan tubuh (Almatsier 2001).

WNPG (2004) menetapkan angka kecukupan zat besi untuk perempuan usia 10-12 tahun sebesar 19 mg dan 26 mg untuk usia 13 tahun, sedangkan untuk laki-laki usia 10-12 tahun sebesar 13 mg dan 19 mg untuk usia 13 tahun.

Rata-rata konsumsi zat besi contoh yaitu 6 mg/hari dengan tingkat kecukupan zat besi sebesar 41% (laki-laki) dan perempuan (40%).

Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan zat besi terdapat pada Gambar 15. Seluruh contoh laki-laki dan perempuan (100%) memiliki tingkat kecukupan zat besi termasuk dalam kategori kurang. Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan uji beda t, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat kecukupan zat besi contoh laki-laki dan perempuan (p> 0.05).

Tingkat kecukupan zat besi yang kurang pada contoh laki-laki dan perempuan disebabkan konsumsi terhadap pangan sumber zat besi sangat rendah. Sumber besi dari makanan hewani yaitu seperti daging, ayam, dan ikan.

Sumber lainnya yaitu telur, serealia tumbuk kacang-kacangan, sayuran hijau dan beberapa jenis buah. Kualitas besi (bioavailability) merupakan hal penting diperhatikan selain kuantitas besi dalam makanan (Almatsier 2001). Selain itu, menurut Arisman (2004) kebutuhan zat gizi memasuki tahap remaja akan meningkat khususnya zat besi karena merupakan komponen penting dalam proses pembentukan otot.

Kekurangan besi dapat berpengaruh terhadap produktivitas, penampilan kognitif, dan sistem kekebalan (Almatsier 2001). Anemia defisiensi besi 43

(16)

disebabkan oleh asupan zat besi tidak cukup dan penyerapannya tidak adekuat.

Tanda dan gejala anemia defisiensi besi biasanya tidak khas dan tidak jelas, seperti pucat, mudah lelah, berdebar, dan sesak nafas. Kepucatan bisa diperiksa pada telapak tangan, kuku, dan konjungtiva palpebra (Arisman 2004). Penelitian yang dilakukan Zukker et al. dalam Arisman (2004) membuktikan bahwa kepucatan pada pada kuku dan telapak tangan lebih sensitif dan spesifik (62%

dan 60%).

Vitamin C

Vitamin C merupakan kofaktor enzim yang larut dalam air dan sebagai antioksidan. Fungsi vitamin C dalam tubuh antara lain sintesis kolagen, carnitin, katekolamin, dan neurotransmiter, membantu metabolisme asam folat dan tirosin (Wolinsky & Driskell 1997). Rata-rata konsumsi vitamin C contoh laki-laki sebesar 5 mg dan perempuan sebesar 7 mg. WNPG (2004) menyebutkan kecukupan vitamin C sebesar 50 mg untuk laki-laki dan perempuan berusia 10-12 tahun sedangkan untuk 13 tahun sebesar 75 mg (laki-laki) dan 65 mg (perempuan).

Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan uji beda t, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat kecukupan vitamin C contoh laki-laki dan perempuan (p> 0.05).

Jika dibandingkan dengan angka kecukupan vitamin C, contoh laki-laki hanya mengkonsumsi sebesar 9% sedangkan perempuan sebesar 13%.

Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin C terdapat pada Gambar 16. Sama halnya dengan zat besi, tingkat kecukupan vitamin C seluruh contoh adalah kurang (<77% AKG). Kurangnya tingkat kecukupan vitamin C dikarenakan contoh sangat jarang mengkonsumsi sayur dan buah yang merupakan sumber vitamin C. Vitamin C pada umumnya hanya terdapat di dalam pangan nabati, yaitu sayur dan buah terutama yang asam, seperti jeruk, nenas, rambutan, pepaya, gandaria, dan tomat, vitamin C juga banyak terdapat di dalam sayuran daun-daunan dan jenis kol (Almatsier 2001).

Kekurangan vitamin C yang berat akan mengakibatkan gangguan pada fungsi sistem kolagen dan akan terlihat perdarahan terutama pada jaringan lunak, seperti gusi. Gejala ini disebut scurvy. Pada derajat yang lebih ringan, diduga kekurangan vitamin C berpengaruh pada sistem pertahanan tubuh dan kecepatan penyembuhan luka (Setiawan & Rahayuningsih 2004).

44

(17)

Gambar 16 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan fe dan vitamin C Kebiasaan Sarapan

Kualitas dan kuantitas sarapan meliputi frekuensi sarapan, waktu dan tempat sarapan, jenis makanan sarapan, serta sumbangan zat gizi terhadap konsumsi per hari dan kecukupan gizi. Frekuensi sarapan, waktu dan tempat ssarapan menggambarkan kuantitas sarapan, sedangkan jenis makanan sarapan dan sumbangan zat gizi makanan sarapan terhadap konsumsi sehari dan kecukupan gizi menggambarkan kualitas sarapan.

Frekuensi sarapan

Frekuensi sarapan contoh dalam satu minggu berkisar antara satu hingga tujuh kali. Gambar 17 menunjukkan sebaran siswa berdasarkan frekuensi sarapan. Lebih dari separuh contoh (52%) memiliki frekuensi sarapan 7 kali/minggu atau selalu sarapan. Persentase frekuensi sering sarapan pada contoh laki-laki (32%) lebih rendah dibandingkan contoh perempuan (40%).

Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan uji beda t, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara frekuensi sarapan contoh laki-laki dan perempuan (p> 0.05).

Gambar 17 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi sarapan 0

50 100

laki perempuan laki perempuan

TK Fe TK vitamin C

100 100 100 100

Persentase (%)

kurang <77% AKG

0 20 40 60 80 100

laki-laki perempuan total

52 52 52

32 40

34

16 8 14

Persentase (%)

selalu (7 kali/minggu) sering (4-6 kali/minggu) jarang (< 4 kali/minggu)

45

(18)

Penelitan Faridi (2002) di salah satu sekolah dasar di kota Jakarta menunjukkan proporsi siswa yang selalu sarapan sebesar 81.3% dan sisanya tidak sarapan pagi. Persentase frekuensi sarapan yang didapatkan dalam penelitian ini lebih rendah mungkin disebabkan karena tingkat pendapatan keluarga contoh yang hampir keseluruhan miskin sehingga berpengaruh terhadap frekuensi sarapan, serta metode pengambilan data yang berbeda.

Melewatkan makan pagi akan menyebabkan tubuh kekurangan glukosa (gula darah) dan hal ini menyebabkan tubuh lemah karena tidak adanya suplai energi. Jika hal ini terjadi, maka tubuh membongkar persediaan tenaga yang ada di jaringan lemak tubuh (Khomsan 2005). Penelitian yang dilakukan oleh Hernawati (2003) pada siswi SLTP di kota Bogor menunjukan siswi yang sarapan pagi memiliki prestasi belajar yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak sarapan pagi.

Waktu dan Tempat Sarapan

Waktu dan tempat sarapan merupakan dua hal penting yang menentukan ketersediaan sarapan. Sebaran contoh berdasarkan waktu dan tempat sarapan terdapat pada Tabel 6. Sebagian besar (80%) contoh melakukan sarapan di rumah dengan waktu sarapan (52%) pukul 06.00 s.d. <06.30. Contoh yang melakukan sarapan pada waktu 05.30 s.d. <6.00 biasanya dilakukan saat perjalanan ke sekolah.

Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan waktu dan tempat sarapan

Tempat Sarapan

Waktu Sarapan

Total 05.30 s.d. <06.00 06.00 s.d. <06.30 06.30-07.00

n % n % n % n %

Rumah 9 18 25 50 6 12 40 80

Sekolah 0 0 1 2 8 16 9 18

Perjalanan 1 2 0 0 0 0 1 2

Total 10 20 26 52 14 28 50 100

Berdasarkan hasil penelitian Nofitasari et al. (2009) pada siswa sekolah menengah pertama di kota Depok menunjukkan ketersediaan sarapan pagi berhubungan dengan perilaku sarapan pagi. Siswi dengan ketersediaan sarapan pagi di rumahnya cenderung melakukan sarapan pagi sebanyak 2.42 kali dibanding siswi yang tidak tersedia sarapan pagi di rumahnya. Ketersediaan sarapan pagi juga dapat dipengaruhi beberapa faktor, antara lain pekerjaan ibu, hal tersebut dikarenakan umumnya ibu yang tidak bekerja lebih mempunyai waktu menyiapkan makanan sarapan untuk anaknya.

46

(19)

Jenis Makanan Sarapan

Jenis makanan sarapan pada contoh terbagi menjadi 10 jenis makanan sarapan yaitu nasi+lauk pauk, nasi+lauk pauk+Susu Kental Manis (SKM), nasi uduk, nasi goreng, bihun goreng, mie goreng, bubur ayam, gorengan, dan roti atau kue, dan SKM. Sebaran contoh berdasarkan jenis makanan sarapan terdapat pada Gambar 18. Persentase jenis makanan sarapan yang paling sering (38%) dikonsumsi oleh contoh adalah nasi+lauk pauk. Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian Faridi (2002) yang menunjukkan sebagian besar siswa sekolah dasar (38%) mengkonsumsi nasi ditambah lauk pauk untuk sarapan pagi. Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan uji beda mann-whitney u, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara jenis makanan sarapan contoh laki- laki dan perempuan (p> 0.05).

Gambar 18 Sebaran contoh berdasarkan jenis makanan sarapan

Hidangan saat sarapan pagi sebaiknya terdiri dari makanan sumber zat tenaga, sumber zat pembangun, dan sumber zat pengatur dalam jumlah yang seimbang (Depkes 1995). Konsumsi pangan sumber karbohidrat (nasi) perlu disertai makanan lain sumber vitamin/mineral dari sayur dan buah sehingga mekanisme proses pencernaan menjadi lancar (Khomsan 2005). Hasil penelitian menunjukkan makanan sarapan yang dikonsumsi contoh belum memenuhi syarat gizi seimbang. Contoh lebih banyak mengkonsumsi pangan sumber karbohidrat seperti nasi, bihun, mie, dan lain-lain tanpa disertai makanan sumber vitamin dan mineral. Selain itu konsumsi pangan sumber protein pada saat sarapan masih sangat rendah dan kurang beragam. Pangan sumber protein

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

laki-laki perempuan total

44

32

38

12

4

8 12

8 10

4

8 6

0

4 2

4 4 4

8

20

14

0

4 2

16

0

8

Persentase (%)

nasi+lauk pauk nasi+lauk pauk+

SKMnasi uduk

nasi goreng bihun goreng mie goreng bubur ayam gorengan roti/kue SKM

47

(20)

nabati yang biasa dikonsumsi contoh berasal dari adalah tempe, tahu, dan oncom sedangkan untuk protein hewani seperti telur dan ikan asin.

Konsumsi dan kontribusi energi dan zat gizi makanan sarapan

Rata-rata konsumsi zat gizi makanan sarapan contoh terdapat pada Tabel 7. Konsumsi rata-rata energi, protein, zat besi (Fe), dan vitamin C dari makanan sarapan contoh masing-masing sebesar 277 Kal; 6.3 g; 1.6 mg; dan 0.7 mg.

Contoh laki-laki mempunyai rata-rata konsumsi energi, protein, dan zat besi yang lebih tinggi dibandingkan siswa perempuan, sebaliknya contoh perempuan mengkonsumsi rata-rata vitamin C dari makanan sarapan lebih besar dibandingkan contoh laki-laki.

Tabel 7 Rata-rata konsumsi zat gizi makanan sarapan Zat gizi Laki-laki Perempuan Rata-rata

Energi (Kal) 282 272 277

Protein (g) 6.6 5.9 6.3

Fe (mg) 1.7 1.5 1.6

Vitamin C (mg) 0.5 1 0.7

Depkes (1995) menyebutkan sarapan pagi sebaiknya menyediakan 20- 30% kebutuhan gizi sehari dan memenuhi syarat gizi seimbang dengan kuantitas dan kualitas yang cukup. Makanan pagi seperti pisang goreng, singkong, atau ubi terkadang dikonsumsi sebagai pengganti sarapan pagi. Makanan ringan seperti itu hanya menyumbangkan energi sebesar 5% dari kebutuhan dan proteinnya hanya cukup untuk memenuhi 2% dari kebutuhan sehari (Khomsan 2005).

Secara kuantitas sarapan harus dapat memenuhi kecukupan gizi yang dibutuhan setiap individu serta memenuhi syarat gizi seimbang. Hal ini karena setiap jenis zat gizi tersebut mempunyai waktu metabolisme yang berbeda-beda.

Pemecahan atau pembakaran karbohidrat akan berlangsung terlebih dahulu sampai 4 jam pertama, kemudian baru protein dan terakhir adalah lemak. Vitamin dan mineral akan membantu proses metabolisme tersebut. Jadi sarapan harus merupakan kombinasi yang baik diantara zat gizi yang ada di dalam makanan (Khomsan 2005).

Sebaran contoh berdasarkan kontribusi energi dan zat gizi dari makanan sarapan terdapat pada Gambar 19. Makanan sarapan hanya menyumbangkan sekitar 16% energi, 12% protein, 11% zat besi, dan 1% vitamin C terhadap kecukupan gizi. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi makanan sarapan belum memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi sekitar 20-30% yang dibutuhkan dari 48

(21)

makanan sarapan (Depkes 1995). Hasil penelitian ini hampir sama dengan penelitian Yuflida (2001) pada siswa sekolah dasar penerima PMT-AS di Sumatera Barat yang menunjukkan kontribusi energi terhadap kecukupan gizi dari makanan sarapan siswa sebesar 15.6% dan 11.5% untuk protein.

Gambar 19 Sebaran contoh berdasarkan kontribusi sarapan terhadap AKG Berdasarkan kontribusi energi dan zat gizi makanan sarapan terhadap AKG, persentase kontribusi energi, protein, dan vitamin C contoh perempuan lebih besar dibandingkan laki-laki sebaliknya untuk zat besi lebih besar persentase contoh laki-laki dibandingkan perempuan. Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan uji beda t, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara konsumsi dan tingkat kecukupan protein, zat besi, dan vitamin C makanan sarapan antara contoh laki-laki dan perempuan (p>0.05). Perbedaan yang signifikan (p<0.05) terdapat pada tingkat kecukupan energi makanan sarapan contoh. Contoh laki-laki memiliki tingkat kecukupan energi yang lebih rendah dibandingkan dengan perempuan.

Secara kuantitas sarapan harus dapat memenuhi kecukupan setiap individu serta memenuhi syarat gizi seimbang. Hal ini karena setiap jenis zat gizi tersebut mempunyai waktu metabolisme yang berbeda-beda. Pemecahan atau pembakaran karbohidrat akan berlangsung terlebih dahulu sampai 4 jam pertama, kemudian protein dan terakhir adalah lemak. Vitamin dan mineral akan membantu proses metabolisme tersebut. Jadi sarapan harus merupakan kombinasi yang baik diantara zat gizi yang di dalam makanan (Khomsan 2005).

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18

laki-laki perempuan total 15

17 16

1112 12 12

11 11

1 2

1

persentase (%)

Energi Protein Fe Vitamin C

49

(22)

Kebiasaan Olahraga

Berolahraga berarti melakukan aktivitas fisik. Olahraga adalah segala aktivitas fisik yang dilakukan dengan sengaja dan sistematis untuk mendorong, membina, dan mengembangkan potensi jasmani, rohani, dan sosial (Mutohir &

Maksum 2007). Kebiasaan olahraga terdiri frekuensi olahraga, jenis olahraga yang dilakukan, dan durasi atau lama berolahraga.

Frekuensi Olahraga

Frekuensi olahraga adalah berapa kali seminggu olahraga dilakukan agar memberi efek latihan bagi kesehatan (Kusmana 1997). Frekuensi olahraga terbagi menjadi dua kategori yaitu < 3 kali/minggu dan ≥ 3 kali/minggu. Sebaran contoh berdasarkan frekuensi olahraga terdapat pada Gambar 20. Lebih dari 70% contoh memiliki frekuensi olahraga < 3 kali/minggu. Rata-rata contoh memiliki frekuensi olahraga sebesar 2.8±1.2 kali/minggu. Contoh laki-laki memiliki persentase frekuensi ≥ 3kali/minggu lebih besar dibandingkan contoh perempuan. Hal ini menunjukkan contoh laki-laki lebih gemar berolahraga dibandingkan contoh perempuan. Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan uji beda t, terdapat perbedaan yang signifikan antara frekuensi olahraga contoh laki- laki dan perempuan (p< 0.05).

Gambar 20 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi olahraga

Olahraga teratur dapat membantu proses pencernaan, meningkatkan pernyimpanan kalsium tulang, serta menguatkan jantung sehingga zat gizi dapat diantarkan ke sel-sel dengan efisien (Bredbenner et al. 2009). Selain itu, kombinasi olahraga dan diet yang tepat sangat bermanfaat untuk pertumbuhan anak karena merangsang tubuh untuk mengaktifkan hormon pertumbuhan sehingga anak bisa mencapai potensi maksimal yang dimilikinya (Kurniasih et al. 2009)

0 20 40 60 80 100

laki-laki perempuan total 64

88

76

36

12

24

Persentase (%)

< 3 kali/minggu

≥ 3 kali/minggu 50

(23)

Jenis Olahraga

Olahraga sangat dibutuhkan untuk perkembangan tubuh anak, khususnya pertumbuhan tulang, sepanjang kalsium yang diperoleh sang anak tercukupi.

Menurut Kurniasih et al. (2009) olahraga bagi anak, terutama anak balita, tidak harus dalam bentuk gerakan terstruktur seperti senam jasmani, brain gym, atau bulutangkis. Kegiatan seperti bersepeda, bermain lompat tali, berlari-larian dengan teman-temannya juga sudah merupakan latihan jasmani bagi anak.

Jenis olahraga yang sering dilakukan contoh terbagi menjadi 5 kategori yaitu lari, sepak bola, lompat tali, senam, dan lainnya. Sebaran contoh berdasarkan jenis olahraga terdapat pada Gambar 21. Persentase untuk semua jenis olahraga pada setiap jenis olahraga rata-rata hampir sama. Persentase tertinggi jenis olahraga pada contoh laki-laki adalah sepak bola (56%), sedangkan pada contoh perempuan adalah lompat tali (48%). Karim (2002) menyebutkan bahwa olahraga sebaiknya dilakukan secara bervariasi, berganti- ganti jenisnya supaya tidak monoton. Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan uji beda mann-whitney u, terdapat perbedaan yang signifikan antara jenis olahraga contoh laki-laki dan perempuan (p<0.05). Contoh laki-laki lebih menyukai jenis olahraga sepak bola sedangkan contoh perempuan lebih menyukai olahraga lompat tali.

Gambar 21 Sebaran contoh berdasarkan jenis olahraga Durasi atau Lama Olahraga

Menurut Karim (2002), olahraga yang baik dan benar memiliki beberapa syarat antara lain olahraga dilakukan secara bertahap dimulai dari pemanasan 5- 10 menit, diikuti dengan latihan inti minimal 20 menit dan diakhiri dengan pendinginan selama 5-10 menit. Pada penelitian ini durasi atau lama olahraga terbagi menjadi 3 kategori yaitu <30 menit, 30-40 menit, dan >40 menit.

0 20 40 60 80 100

laki-laki perempuan total

0

48

24 56

0

28

0

20

10 32

8

20 12

24 18

persenatase (%)

lompat tali sepak bola senam lari lainnya

51

(24)

Gambar 22 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan durasi atau lama olahraga. Persentase contoh sebesar 46% melakukan olahraga rata-rata 30-40 menit setiap kali berolahraga. Rata-rata durasi olahraga contoh adalah 35±5 menit. Contoh laki-laki memiliki persentase yang lebih besar terhadap lama olahraga >40 menit dibandingkan contoh perempuan. Berdasarkan uji statitstik menggunakan uji t menunjukkan terdapat perbedaan antara durasi atau lama olahraga contoh laki-laki dan perempuan (p<0.05). Contoh laki-laki memiliki durasi olahraga yang lebih lama dibandingkan dengan contoh perempuan. Lama atau durasi berolahraga sebaiknya dilakukan semampunya kemudian ditambah secara perlahan-lahan. Seseorang untuk meningkatkan daya tahan tubuh (endurence) perlu waktu latihan atau olahraga antara ½-1 jam tiap harinya (Karim 2002).

Gambar 22 Sebaran contoh berdasarkan durasi atau lama olahraga Daya Tahan Paru-Jantung

Keluhan sering merasa lelah, lemah, letih, lesu, atau lalai (5L)

Keluhan sering merasa lelah, lemah, letih, lesu, atau lalai (5L) merupakan salah satu indikator untuk mengukur kebugaran secara subjektif. Gejala 5L merupakan salah satu gejala anemia akibat defisiensi zat gizi besi. Anemia merupakan suatu kondisi yang ditandai konsentrasi hemoglobin dalam darah yang lebih rendah dari normal. Oleh karena hemoglobin memegang peranan penting dalam fungsi transport oksigen dalam darah, maka anemia dapat mengurangi pengiriman oksigen ke jaringan tubuh, sehingga mengganggu proses metabolik aerobik jaringan. Konsentrasi hemoglobin yang rendah dapat mengurangi angka maksimal pengiriman oksigen ke jaringan, sehingga akan mengurangi VO2 max dan mengganggu kapasitas kebugaran jasmani (Pate 1982, diacu dalam Utari 2007).

0 10 20 30 40 50

laki-laki perempuan total 20

40

30

44 48 46

36

12

24

persentase (%)

<30 menit 30-40 menit

>40 menit

52

(25)

Sebaran contoh berdasarkan keluhan 5L terdapat pada Gambar 23. Lebih dari separuh contoh (60%) memiliki keluhan sering merasa 5L. Contoh perempuan memiliki persentase lebih banyak mengeluh sering merasa 5L dibandingkan contoh laki-laki. Hal ini mungkin disebabkan karena contoh perempuan memasuki usia remaja awal dan telah mengalami masa menstruasi sehingga sering merasakan gejala 5L. Menurut Hardinsyah (2004), gejala-gejala psikis dari keluhan menjelang menstruasi yang sering muncul adalah ketegangan, rasa cepat marah, lesu, gelisah. dan kurang konsentrasi Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan uji beda mann-whitney u, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara keluhan sering merasa 5L contoh laki- laki dan perempuan (p> 0.05).

Gambar 23 Sebaran contoh berdasarkan keluhan 5L Keluhan sering mengantuk

Keluhan sering mengantuk disebabkan tubuh kekurangan oksigen akibat merasa lapar atau kurang bugar. Kebugaran secara subjektif dapat diukur dengan indikator keluhan sering mengantuk. Sebaran contoh berdasarkan keluhan sering mengantuk terdapat pada Gambar 24. Persentase keluhan sering mengantuk pada contoh cukup tinggi sebesar 58%. Contoh laki-laki memiliki persentase keluhan sering mengantuk yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan uji beda mann-whitney u, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara keluhan sering mengantuk contoh laki-laki dan perempuan (p> 0.05).

0 20 40 60 80 100

laki-laki perempuan total 32

48 40

68

52 60

Persentase (%)

mengeluh tidak mengeluh

53

(26)

Gambar 24 Sebaran contoh berdasarkan keluhan mengantuk Rata-rata V02 max

VO2 max adalah volume maksimal O2 yang diproses oleh tubuh manusia pada saat melakukan kegiatan yang intensif. VO2 max ini adalah suatu tingkatan kemampuan tubuh yang dinyatakan dalam ml/menit/kg berat badan (Colan 1992). Tabel 8 menunjukkan rata-rata VO2 max contoh.

Tabel 8 Rata-rata VO2 max contoh Contoh VO2 max (ml/kg/menit)

Laki-laki 25.3 ± 4.6

Perempuan 20.6 ± 3.3

Rata-rata 22.9 ± 3.1

Rata-rata VO2 max laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan contoh perempuan. Hasil rata-rata VO2 max contoh masih jauh berbeda apabila dibandingkan besar VO2 max ideal untuk usia 10-19 tahun adalah 47-56 ml/kg/menit (laki-laki) dan 38-46 ml/kg/menit (perempuan) (Anonim 2010).

Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan uji beda t, terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata V02 max contoh laki-laki dan perempuan (p< 0.05).

Perempuan memiliki massa lemak yang lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Perputaran kosentrasi hemoglobin pada laki-laki sebesar 10-20% lebih tinggi daripada wanita sehingga meningkatkan kemampuan laki-laki dalam menghantarkan oksigen ke dalam otot (Macmurray & Ondrak 2008). Hasil penelitian Mahardika (2009) menyebutkan rata-rata VO2 max anak usia 7-13 tahun di Indonesia hanya mencapai 29 ml/kgBB/menit. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan VO2 max contoh dalam penelitian kemungkinan karena rentang usia yang lebih jauh dibandingkan usia pada contoh penelitian dan keadaan status gizi yang lebih baik.

0 20 40 60 80 100

laki-laki perempuan total 68

48

58

32

52

42

Persentase (%)

mengantuk tidak mengantuk

54

(27)

Tes Cooper

Tes Cooper 12 menit merupakan tes maksimal di lapangan, tes ini merupakan tes lapangan yang baik dan sering digunakan untuk tes daya tahan paru-jantung. Subjek yang akan dites diminta untuk menempuh jarak sejauh mungkin dalam waktu 12 menit, dengan cara berlari atau jalan, subjek tidak boleh berhenti diam atau istirahat di lintasan (Budiman 2007), kemudian dihitung jarak tempuhnya untuk menghitung tingkat kebugaran.Mahardika (2009) melakukan tes cooper untuk mengetahui profil kebugaran jasmani pada anak Indonesia berusia 7-13 tahun. Tabel 9 menunjukkan rata-rata jarak tempuh lari contoh.

Tabel 9 Jarak tempuh lari contoh Contoh Jarak tempuh lari (m)

Laki-laki 1618±226.4

Perempuan 1439±143.2

Rata-rata 1529±208.1

Rata-rata contoh memiliki jarak tempuh lari sebesar 1529±208.1 meter . Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan uji beda t terdapat perbedaan yang signifikan antara jarak tempuh lari contoh laki-laki dan perempuan (p<0.05).

Contoh perempuan memiliki jarak tempuh lari yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Sebaran contoh berdasarkan daya tahan paru-jantung (tes cooper) terdapat pada Gambar 25.

Gambar 25 Sebaran contoh berdasarkan daya tahan paru-jantung (cooper test) Sebagian besar contoh memiliki daya tahan paru-jantung yang sangat kurang sebesar 64%. Contoh perempuan dengan daya tahan paru-jantung sangat kurang lebih tinggi (84%) persentasenya dibandingkan dengan contoh laki-laki (44%). Penelitian yang dilakukan Mahardika (2009) pada 1805 anak

0 20 40 60 80 100

laki-laki perempuan total 56

16 44 36

84

64

Persentase (%)

kurang sangat kurang

55

(28)

Indonesia berusia 7-13 tahun ditemukan rata-rata kebugaran termasuk dalam kategori kurang berdasarkan kategori tes cooper. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan kelompok anak laki-laki ternyata memiliki VO2 max cenderung lebih tinggi dibandingkan anak perempuan (Mahardika 2009) Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan uji beda t, terdapat perbedaan yang signifikan antara daya tahan paru-jantung contoh laki-laki dan perempuan (p< 0,05).

Sebaran contoh berdasarkan daya tahan paru-jantung menurut usia contoh terdapat pada Gambar 26. Persentase daya tahan paru-jantung kurang pada contoh berusia 10-11 tahun sebesar 69% lebih tinggi dibandingkan yang berusia 12-13 tahun (57%), sedangkan contoh berusia 12-13 tahun memiliki persentase daya tahan paru-jantung sangat kurang yang lebih tinggi (43%) dibandingkan dengan contoh berusia 10-11 tahun (31%).

Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian Mahardika (2009).

Berdasarkan hasil penelitian Mahardika (2009) diketahui bahwa tidak ada satupun kelompok usia anak memiliki rata-rata VO2 max yang masuk kategori sedang, apalagi baik dan sangat baik. Semua kelompok usia memiliki VO2 max di bawah 34.1 ml/kg BB/menit. Kalaupun nampak ada kenaikan di setiap jenjang usia, ternyata rata-rata kenaikan VO2 max anak setiap tahunnya hanya 0.76 ml/kg BB/menit, bahkan nampak ada penurunan VO2 max sebesar 0,04 ml/kg BB/menit dari usia 10 tahun ke 11 tahun.

Gambar 26 Sebaran daya tahan paru-jantung (cooper test) berdasarkan usia contoh

Kondisi kebugaran seseorang merupakan salah satu faktor yang menentukan tingkat kesehatannya. Pada seorang yang mempunyai kebugaran jantung-paru yang baik, berbagai sistem dalam tubuhnya mampu mengambil oksigen dari udara secara optimal, mendistribusikannya ke seluruh tubuh dan

0 20 40 60 80

10-11 tahun 12-13 tahun 69

57

31

43

Persentase (%) kurang

sangat kurang

56

(29)

memanfaatkannya sesuai dengan kebutuhan tubuh pada saat tersebut (Departmen of Health and Human Service 2006)

Hubungan Karakteristik Contoh dan Daya Tahan Paru-Jantung Jenis Kelamin Contoh dan Daya Tahan Paru-Jantung

Hasil uji korelasi Spearman antara jenis kelamin contoh dengan daya tahan paru-jantung menunjukkan hubungan negatif yang signifikan (p<0.05, r= -0.417). Hal ini menunjukkan bahwa contoh laki-laki memiliki daya tahan paru- jantung yang lebih baik dibandingkan dengan contoh perempuan. Menurut Anonim (2010), nilai VO2 max (indikator daya tahan paru-jantung) laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Menurut Depkes (1997) VO2 max pada umumnya dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu faktor dari dalam dan luar.

Faktor dari dalam adalah sesuatu yang sudah terdapat dalam tubuhnya yang bersifat menetap, diantaranya keturunan, umur dan jenis kelamin.

Usia Contoh dan Daya Tahan Paru-Jantung

Hasil uji korelasi Spearman antara usia contoh dengan daya tahan paru- jantung menunjukkan hubungan yang tidak signifikan (p>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa usia contoh belum tentu menentukan baik buruknya daya tahan paru-jantung contoh. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Mahardika (2009) tidak terdapat hubungan signifikan antara usia contoh dengan VO2 max anak usia 7-12 tahun. Menurut Macmurray dan Ondrak (2008) sejalan dengan bertambahnya usia maka nilai V02 max akan secara normal turun.

Hubungan Status Gizi dan Daya Tahan Paru-Jantung

Sebaran contoh berdasarkan status gizi BB/U dan daya tahan paru- jantung terdapat pada Tabel 10. Sebagian besar contoh dengan status gizi kurang (28%) dan normal (36%) memiliki daya tahan paru-jantung dengan kategori sangat kurang.

Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan status gizi (BB/U) dan daya tahan paru- jantung

Daya Tahan Paru-Jantung

Status Gizi (BB/U)

Kurang Normal Total

n % n % n %

Sangat kurang 14 28 18 36 32 64

Kurang 9 18 9 18 18 36

Total 23 46 27 54 50 100

Hasil uji korelasi Spearman antara status gizi (BB/U) dengan daya tahan paru-jantung menunjukkan hubungan yang tidak signifikan (p>0,05). Hal ini

57

(30)

menunjukkan bahwa status gizi (BB/U) contoh belum dapat menentukan baik buruknya tingkat kebugaran. Selain itu, daya tahan paru-jantung contoh sebagian besar homogen dengan kategori sangat kurang sehingga apabila dihubungkan dengan indikator status gizi (BB/U) tidak menunjukan adanya hubungan yang signifikan. Hasil ini serupa dengan penelitian yang dilakukan Hastuti (2003) pada siswa sekolah dasar bahwa tidak terdapat hubungan signifikan antara status gizi (BB/U) dengan tingkat kesegaran jasmani.

Tabel 11 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan status gizi (TB/U) dan daya tahan paru-jantung. Persentase contoh dengan status gizi sangat pendek (2%), pendek (18%), dan normal (44%) sebagian besar memiliki daya tahan paru-jantung sangat kurang.

Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan status gizi (TB/U) dan daya tahan paru- jantung

Daya Tahan Paru-Jantung

Status Gizi (TB/U) Sangat

pendek

Pendek Normal Total

n % n % n % n %

Sangat Kurang 1 2 9 18 22 44 32 64

Kurang 0 0 6 12 12 24 18 36

Total 1 2 15 30 34 68 50 100

Hasil uji korelasi Spearman antara status gizi (TB/U) dengan daya tahan paru-jantung menunjukkan hubungan yang tidak signifikan (p>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa semakin baik status gizi (TB/U) contoh belum tentu daya tahan paru-jantung akan semakin baik. Penyebab lain adalah daya tahan paru- jantung contoh sebagian besar homogen dengan kategori sangat kurang sehingga apabila dihubungkan dengan indikator status gizi (TB/U) tidak menunjukan adanya hubungan yang signifikan. Penelitian yang dilakukan Hastuti (2003) menunjukan hasil serupa yaitu tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi (TB/U) dengan tingkat kesegaran jasmani.

Sebaran contoh berdasarkan status gizi (IMT/U) dan daya tahan paru- jantung terdapat pada Tabel 12. Sebagian besar contoh dengan status gizi sangat kurus (2%), kurus (4%), dan normal (44%) memiliki daya tahan paru- jantung yang sangat kurang. Hasil uji korelasi Spearman antara status gizi (IMT/U) dengan daya tahan paru-jantung menunjukkan hubungan yang tidak signifikan (p>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa semakin baik status gizi (IMT/U) contoh belum tentu daya tahan paru-jantung akan semakin baik.

58

(31)

Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan status gizi (IMT/U) dan daya tahan paru- jantung

Daya Tahan Paru-Jantung

Status Gizi (IMT/U) Sangat

kurus

Kurus Normal Total

n % n % n % n %

Sangat Kurang 1 2 7 14 22 44 32 64

Kurang 3 6 3 6 12 24 18 36

Total 4 8 10 20 36 72 50 100

Hasil ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Utari (2007). Menurut Utari (2007) terdapat hubungan positif antara IMT dengan cardiorespiratory endurance yang dinilai dengan tes lari jauh pada anak berusia 12-14 tahun. Hal ini mungkin disebabkan contoh dalam penelitian memiliki status gizi berdasarkan IMT/U dan daya tahan paru-jantung yang cenderung homogen serta jumlah contoh yang lebih sedikit sehingga tidak terlihat hubungan yang signifikan antara keduanya.

Hubungan Kebiasaan Sarapan dan Daya Tahan Paru-Jantung Frekuensi Sarapan dan Daya Tahan Paru-Jantung

Sebaran contoh berdasarkan frekuensi sarapan dan daya tahan paru- jantung terdapat pada Tabel 13. Sebagian besar contoh dengan frekuensi selalu sarapan (36%) dan sering sarapan (22%) memiliki daya tahan paru-jantung dengan kategori sangat kurang. Konsumsi zat gizi yang baik sesuai dengan kebutuhan gizi akan membuat kebugaran menjadi baik (Kartika 2006).

Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi sarapan dan daya tahan paru- jantung

Daya Tahan Paru-Jantung

Frekuensi Sarapan

Selalu Sering Jarang Total

n % n % n % n %

Sangat Kurang 18 36 11 22 3 6 32 64

Kurang 8 16 7 14 3 6 18 36

Total 26 54 18 36 6 12 50 100

Hasil uji korelasi Spearman antara frekuensi sarapan dengan daya tahan paru-jantung menunjukkan hubungan yang tidak signifikan (p>0.05). Hal ini kemungkinan disebabkan daya tahan paru-jantung yang sebagian besar homogen sangat kurang sehingga apabila dihubungkan dengan frekuensi sarapan tidak menunjukkan hubungan yang signifikan. Menurut Faridi (2002), siswa sekolah dasar yang memiliki frekuensi selalu sarapan memiliki kadar glukosa darah yang lebih tinggi dibandingkan dengan contoh yang jarang 59

(32)

sarapan. Kadar glukosa darah akan berpengaruh terhadap produktivitas anak selama mengikuti kegiatan belajar di sekolah.

Tingkat Kecukupan Energi, Protein, Zat Besi Makanan Sarapan dan Daya Tahan Paru-Jantung

Salah satu upaya untuk mendapatkan kebugaran jasmani yang baik diperlukan tingkat konsumsi yang cukup. Konsumsi zat gizi yang baik sesuai dengan kebutuhan gizi akan membuat kebugaran menjadi baik (Kartika 2006).

Sebaran contoh berdasarkan kontribusi energi makanan sarapan dan daya tahan paru-jantung berdasarkan Tabel 14. Sebagian besar contoh (44%) dengan daya tahan paru-jantung sangat kurang memiliki kontribusi energi makanan sarapan kurang dari 20% terhadap kecukupan gizi. Hasil uji korelasi Spearman antara tingkat kecukupan energi makanan sarapan dengan daya tahan paru-jantung menunjukkan hubungan yang tidak signifikan (p>0.05). Hasil ini menunjukan bahwa semakin baik tingkat kecukupan energi dari makanan sarapan contoh belum tentu semakin baik daya tahan paru-jantung. Hal ini mungkin disebabkan daya tahan paru-jantung sebagian besar homogen dengan kategori sangat kurang terdapat pada tiap kategori kontribusi energi sehingga tidak menunjukan hubungan yang signifikan.

Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan kontribusi energi makanan sarapan dan daya tahan paru-jantung

Daya Tahan Paru-Jantung

Kontribusi Energi Makanan Sarapan

< 20%

AKG

20-30%

AKG

> 30%

AKG

Total

n % n % n % n %

Sangat Kurang 22 44 8 16 2 4 32 64

Kurang 12 24 5 10 1 2 18 36

Total 34 68 13 26 3 6 50 100

Sebaran contoh berdasarkan kontribusi protein makanan sarapan dan daya tahan paru-jantung berdasarkan Tabel 15. Sebagian besar contoh (54%) dengan daya tahan paru-jantung sangat kurang memiliki kontribusi protein dari makanan sarapan kurang dari 20% terhadap kecukupan gizi. Hasil uji korelasi Spearman antara tingkat kecukupan protein makanan sarapan dengan daya tahan paru-jantung menunjukkan hubungan yang tidak signifikan (p>0.05). Hal ini menunjukan bahwa tingkat kecukupan protein dari makanan sarapan contoh belum tentu menentukan baik buruknya daya tahan paru-jantung. Hal ini diduga disebabkan hampir seluruh contoh (90%) memiliki kontribusi protein sarapan 60

(33)

<20% AKG sehingga tidak terlihat hubungan terhadap daya tahan paru-jantung contoh yang sebagian besar homogen dengan kategori sangat kurang.

Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan kontribusi protein makanan sarapan dan daya tahan paru-jantung

Daya Tahan Paru-Jantung

Kontribusi Protein Makanan Sarapan

< 20%

AKG

20-30%

AKG

> 30%

AKG

Total

n % n % n % n %

Sangat Kurang 27 54 4 8 1 2 32 64

Kurang 18 36 0 0 0 0 18 36

Total 45 90 4 8 1 2 50 100

Sebaran contoh berdasarkan kontribusi zat besi makanan sarapan dan daya tahan paru-jantung terdapat pada Tabel 16. Sebagian besar contoh dengan daya tahan paru-jantung sangat kurang (56%) memiliki kontribusi zat besi dari makanan sarapan kurang dari 20% terhadap kecukupan gizi. Hasil uji korelasi Spearman antara tingkat kecukupan zat besi makanan sarapan dengan daya tahan paru-jantung menunjukkan hubungan yang tidak signifikan (p>0.05).

Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan kontribusi zat besi makanan sarapan dan daya tahan paru-jantung

Daya Tahan Paru-Jantung

Kontribusi Zat Besi Makanan Sarapan

< 20%

AKG

20-30%

AKG

> 30%

AKG

Total

n % n % n % n %

Sangat Kurang 28 56 3 6 1 2 32 64

Kurang 14 28 3 6 1 2 18 36

Total 42 84 6 12 2 4 50 100

Hal ini menunjukan bahwa semakin baik tingkat kecukupan zat besi dari makanan sarapan contoh belum tentu semakin baik daya tahan paru-jantungnya.

Hal ini diduga disebabkan hampir seluruh contoh (90%) memiliki kontribusi zat besi sarapan <20% AKG sehingga tidak terlihat hubungan terhadap daya tahan paru-jantung contoh yang juga sebagian besar homogen dengan kategori sangat kurang.

Hubungan Kebiasaan Olahraga dan Daya Tahan Paru-Jantung Frekuensi Olahraga dan Daya Tahan Paru-Jantung

Sebaran contoh berdasarkan frekuensi olahraga dan daya tahan paru- jantung terdapat pada Tabel 17. Sebagian besar contoh (54%) dengan daya tahan paru-jantung sangat kurang memiliki frekuensi olahraga kurang dari 3 61

(34)

kali/minggu. Hasil uji korelasi Spearman antara frekuensi olahraga dengan daya tahan paru-jantung menunjukkan hubungan positif yang signifikan (p<0.05, r=

0.350). Hal ini menunjukkan semakin tinggi frekuensi olahraga maka akan semakin baik daya tahan paru-jantung contoh.

Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi olahraga dan daya tahan paru jantung

Daya Tahan Paru-Jantung

Frekuensi Olahraga

< 3 kali/minggu ≥ 3 kali/minggu Total

n % n % n %

Sangat Kurang 27 54 5 10 32 64

Kurang 11 22 7 14 18 36

Total 38 66 12 24 50 100

Kebugaran jasmani anak-anak meningkat sampai mencapai maksimal pada usia 25-30 tahun. Setelah itu, terjadi penurunan kapasitas fungsional dari seluruh tubuh, kira-kira sebesar 0,8-1% per tahun tetapi bila rajin berolahraga penurunan ini dapat dikurangi sampai separuhnya (Karim 2002).

Durasi olahraga dan Daya Tahan Paru-Jantung

Tabel 18 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan durasi olahraga dan daya tahan paru-jantung. Sebagian besar contoh (32%) dengan daya tahan paru-jantung sangat kurang memiliki durasi olahraga olahraga 30-40 menit.

Contoh dengan daya tahan paru-jantung kurang sebagian besar (14%) memiliki durasi olahraga pada kategori 30-40 menit dan lebih dari 40 menit. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan terdapat hubungan positif yang signifikan antara durasi olahraga terhadap daya tahan paru-jantung (p< 0.05, r= 0.455). Hal ini ditunjukan dengan semakin lama contoh melakukan olahraga akan semakin baik daya tahan paru-jantung contoh tersebut.

Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan durasi olahraga dan daya tahan paru- jantung

Daya Tahan Paru-Jantung

Durasi Olahraga

< 30 menit 30-40 menit > 40 menit Total

n % n % n % n %

Sangat Kurang 11 22 16 32 5 10 32 64

Kurang 4 8 7 14 7 14 18 36

Total 15 30 23 46 12 24 50 100

Hasil ini serupa dengan penelitian Isriati (2004) yaitu terdapat perbedaan tingkat kebugaran jasmani berdasarkan kebiasaan olahraga pada siswa SMA.

Menurut Karim (2002), intensitas olahraga akan mempengaruhi kemampuan jantung, paru dan pembuluh darah untuk berfungsi secara optimal pada waktu 62

Referensi

Dokumen terkait

Pd., Kepala Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan izin

Hal ini sebagaimana digambarkan oleh sikap K.H Hasyim Asy‟ari dalam film Sang Kiai pada durasi ke 00:15:04 (Gambar 1 pada lampiran) menjelaskan bahwa Sang Kiai

Berdasarkan surat nomor : 08/DKP/PP-LU.RKPLBBI/IX/2012 tanggal 20 September 2012 tentang Surat Penetapan Pemenang Pelelangan Paket Pekerjaan Rehab Kolam dan Pengecoran Lantai,

' This module file contains definitions, types, and declarations for accessing the ' functions provided by the Windows Win32

“Ya Allah yang mengetahui yang Ghaib dan yang Nyata, Wahai Rabb yang menciptakan langit dan bumi, Rabb segala sesuatu dan yang merajainya, Aku bersaksi tiada ilah yang berhak

Tugas dan tanggung jawab perawat pelaksana bagian interne Rumah Sakit “X” antara lain, memberikan obat dengan takaran yang tepat sesuai dengan arahan dokter bagi para

1. Proses implementasi kebijakan regrouping bersifat sentralistik, yaitu dari lembaga tertinggi tingkat kabupaten diturunkan ke lembaga di bawahnya sampai pada

Dari berbagai paparan tersebut, terlihat bahwa kajian tentang pemberitaan media massa yang terkait kriminologi --atau lebih spesifik lagi, terkait dengan viktimologi-- memang sudah