• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGUNGKAPAN NILAI-NILAI LUHUR DALAM SASTRA DAERAH (BALI l. PENDAHULUAN Sastra daerah merupakan salah satu hasil warisan budaya bangsa yang tersebar d

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENGUNGKAPAN NILAI-NILAI LUHUR DALAM SASTRA DAERAH (BALI l. PENDAHULUAN Sastra daerah merupakan salah satu hasil warisan budaya bangsa yang tersebar d"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

1

PENGUNGKAPAN NILAI-NILAI LUHUR DALAM SASTRA DAERAH (BALI

l. PENDAHULUAN

Sastra daerah merupakan salah satu hasil warisan budaya bangsa yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Di dalamnya banyak terkandung nilai luhur, seperti nilai agama, etika, kepemimpinan, kepahlawanan, kebersamaan, kejujuran, dan nilai kesetiaan. Nilai-nilai luhur itu mempunyai arti yang sangat penting bagi pembangunan bangsa, khususnya pembangunan karakter bangsa. Dengan mempelajari nilai-nilai luhur yang tersurat dan tersirat dalam sastra daerah, bisa dijadikan media untuk mengetahui alam pikiran, adat-istiadat, dan cita-cita para leluhur kita. Selain itu, nilai-nilai luhur tersebut dapat dijadikan sumber pengetahuan, baik bagi generasi kini maupun generasi yang akan datang. Dengan demikian, melestarikan sastra daerah merupakan suatu hal yang wajib dilaksanakan oleh para pemilik atau pendukungnya. Hal itu perlu dilakukan karena diyakini dapat mempertinggi harkat dan martabat bangsa Indonesia sebagai bangsa yang beradab.

Usaha-usaha untuk melestarikan sastra daerah adalah suatu usaha yang elegan dan bermartabat, seperti yang dilakukan oleh Panitia Kongres Bahasa-bahasa Daerah Sulawesi Selatan. Tema yang diangkat adalah “Mewujudkan Jadi Diri Masyarakat Melalui Revitalisasi Bahasa-bahasa Daerah di Sulawesi Selatan dalam Bentuk Penguatan, Pemantapan, dan Pelestarian sebagai Pemerkayaan Bahasa Nasional”.

Sehubungan dengan tema tersebut, saya diminta untuk menyajikan salah satu topik, yakni “Pengungkapan Nilai-nilai Luhur dalam Sastra Daerah”.

Topik tersebut sungguh menarik, terutama jika dikontekstualkan dengan gejolak sosial yang melanda bangsa Indonesia dewasa ini. Gejolak sosial, misalnya perilaku

(7)

2

arogansi, mengutamakan kepentingan sendiri dan kelompokkanya, tawuran dan tindakan-tindakan brutal lainnya sering kita saksikan, baik di media cetak maupun di media elektronik. Zaman seperti itu, dalam karya sastra disebut zaman “kali yuga”1 deperti tercermin dalam karya sastra, di antara Geguritan Purwa Sanghara dan Geguritan Bhuwana Winasa. Gejolak sosial itu sebenarnya dapat dikatakan sebagai suatu “penngingkaran” terhadap nilai-nilai luhur bangsa kita yang semestinya dijunjung tinggi, diteladani dan dijalankan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Pengingkaran terhadap nilai-nilai luhur tersebut sudah mencapai tingkatan krisis moral yang berkepanjangan dan pada akhirnya bisa menjerumuskan bangsa ini ke titik yang paling rendah, yakni kehancuran (shangara).

Tantangan lain bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia adalah egoisme dan kepicikan perasaan kedaerahan atau kesukubangsaan (etnisitas). Hal ini tidak bisa dilepaskan dari kenyataan bahwa bangsa Indonesia adalah multi kultur. Setiap etnik mempunyai atribut yang berbeda dilihat dari segi agama, bahasa, keturunan dan sebagainya (Atmadja, 2010:7). Oleh karena itu, nilai-nilai luhur dalam sastra daerah yang ada di Indonesia perlu diungkap, dikaji, disebarluaskan secara berkesinambungan, baik di tingkat regional, nasional maupun internasional, agar dapat dijadikan cermin dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Mengingat begitu banyaknya sastra daerah di Indonesia, seperti sastra daerah Sunda, Jawa, Bugis, sasak, dan Bali maka dalam kesempatan ini akan difokuskan pada sastra daerah Bali. Itu pun masih terbatas pada beberapa nilai luhur yang dianggap paling dominan yang menjadi kebudayaan nasional, yaitu kebudayaan yang bermutu tinggi

1 Zaman kali yuga adalah salah satu bagian dari catur yuga, yaitu masa kehidupan manusia yang terdiri dari empat masa, yaitu masa krta yuga (masa emas), traita yuga (masa perak), dwapara yuga (masa tembaga), dan kali yuga (masa besi) (Sudharta, 1976:261-263).

(8)

3

yang dapat memberi identitas kepada warga dari negaranya dan dapat menimbulkan rasa bangga kepada mereka dan bisa menyebabkan kebanggaan bangsa, terlepas dari soal daerah dan suku bangsa mana asalnya, yang penting hasil karya putra bangsa Indonnesia (Koentjaraningrat, 1990: 109-110). Lebih lanjut Koentjaraningrat (1990:25) mengatakan bahwa nilai luhur atau sering disebut nilai budaya merupakan tingkat yang paling abstrak dari adat. Nilai luhur itu terdiri atas konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Oleh karena itu, nilai luhur itu biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Demikian pula sistem tata kelakuan manusia yang tingkatnya lebih kongret, seperti aturan-aturan khusus, hukum, dan norma- norma, semuanya berpedoman pada nilai luhur itu.

Nilai-nilai luhur itu mempunyai peranan penting untuk membangun karakter bangsa. Oleh karena itu, dalam tulisan ini akan dicoba menelusuri bagaimana nilai-nilai luhur itu diungkapkan ke dalam karya-karya sastra daerah Bali, apa bentuknya, dan bagaimana bahasanya. Nilai-nilai luhur yang akan diungkap dalam kesempatan ini adalah nilai-nilai luhur yang dianggap paling dominan, yakni (1) Tri Hita Karana, (2) Tri Kaya Parisudha, (3), dan Karma Phala. Dalam aktualisasinya, ketiga nilai luhur itu dapat memunculkan nilai-nilai luhur paras paros sarpana ya, bhineka tunggal ika, dan kesetiaan, dan sebagainya.

2. SEKILAS TENTANG SASTRA DAERAH BALI

Sastra Bali memiliki cakupan yang sangat luas, baik sastra Bali klasik (purwa) maupun sastra Bali modern (anyar). Sastra Bali klasik memiliki bentuk dan isi yang beraneka ragam. Keanekaragaman itu dapat dilihat dalam pengelompokan naskah-naskah

(9)

4

Bali.2 Demikian pula halnya dengan sastra Bali modern. Ada yang ditulis dalam bentuk puisi maupun prosa seperti cerpen dan novel.

Keluasan cakupan sastra Bali klasik dapat dilihat dari dua aspek yaitu (1) aspek struktur formal, seperti pemakaian bahasa (Jawa dan Bali), persyaratan gurulaghu, dan padalingsa untuk karya sastra yang ditulis dalam bentuk puisi; (2) struktur naratif, seperti insiden, tema, dan latar. Agastia (1980:8) menyebut kedua aspek itu sebagai aspek fungsional dan aspek struktural. Aspek fungsional, maksudnya adalah semua hasil kesusastraan yang tersurat dengan menggunakan bahasa Jawa Kuna dimasukkan ke dalam kesusastraan Bali. Hal ini didasari atas pertimbangan bahwa hasil kesusastraan Jawa Kuna yang memakai bahasa yang sama (Jawa Kuna/Kawi) masih difungsikan oleh masyarakat Bali, terutama dalam upacara keagamaan, seperti kakawin, kidung, dan parwa.

Sastra Bali klasik meliputi (1) karya sastra Jawa Kuna mulai dari abad ke-9 yang umumnya diciptakan di tanah Jawa dalam bentuk kakawin dan parwa, yang kemudian disalin dan dilestarikan di Bali; (2) karya sastra Jawa Kuna yang diciptakan di Bali hingga saat ini, yang oleh masyarakat Bali dianggap memiliki kualitas dan nilai yang tinggi; (3) karya-karya sastra dalam bahasa Jawa Tengahan (seperti kidung), dan (4) karya sastra dalam bahasa Bali yang memiliki kualitas serta bernilai tinggi yang ditulis dalam tembang-tembang macepat (Sancaya, 2002:23).

Dilihat dari segi bentuk, sastra daerah Bali dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu (1) sastra Bali berbentuk prosa (disebut sastra gancaran), meliputi: parwa, babad,

2Kadjeng mengelompokkan naskah-naskah Bali, sebagai beerikut. (1) Weda meliputi (a) Weda, (b) Mantra, (c) Kalpasastra. (2) Agama meliputi (a) Palakerta, (b) Sasana, (c) Niti. (3) Wariga meliputi (a) Wariga, (b) Tutur, (c) Kanda, (d) Usada. (4) Itihasa meliputi (a) Parwa, (b) Kakawin, (c) Kidung, (d) Geguritan. (5) Babad meliputi (a) Pamancangah, (b) Usana, (c) Uwug. (6) Tantri meliputi (a) Tantri, (b) Satua. Setelah adanya pengelompokan itu, I Ketut Suwidja (t.th.:5) menambahkan lagi dengan kelompok (7) yang disebut Lelampahan (bdk. Cika, 2006:5).

(10)

5

tutur, dan satua dan (2) sastra Bali berbentuk puisi (disebut tembang), meliputi: kakawin, kidung, geguritan (parikan).

Parwa dan satua adalah karya sastra berbentuk prosa yang tidak terikat oleh prosodi (tembang, gurulaghu). Parwa menggunakan bahasa Jawa Kuna dan diselingi pula dengan bait-bait sloka berbahasa sansekerta. Parwa muncul sebagai istilah untuk menyebut bagian-bagian dari epos Mahabharata yang terdiri atas 18 parwa yang disebut Asta Dasa Parwa. Ke-18 parwa itulah yang sering digunakan sebagai sumber inspirasi untuk menciptakan karya sastra baru (transformasi).

Karya sastra berbentuk puisi (tembang) adalah kakawin, kidung, dan geguritan (parikan). Kakawin adalah genre puisi yang menggunakan bahasa Jawa Kuna yang terikat oleh prosodi metrum, seperti guru-laghu (berat-ringan, tinggi-rendah, panjang pendek suara), wreta (jumlah suku kata dalam satu baris), dan matra (komposisi guru- laghu dalam satu bait). Kidung genre karya sastra yang menggunakan metrum tengahan dan macapat. Aturan metrum tengahan terdiri atas bait kawitan (pembukaan) dan bait pangawak (batang tubuh) masing-masing dua bait, dan terdiri atas bait bawak (pendek) dan bait dawa (panjang), seperti terlihat dalam kidung Tantri. Geguritan (parikan) adalah genre sastra yang menggunakan tembang macapat atau pupuh. Aturan yang mengikat tembang macapat ini disebut padalingsa, yaitu jumlah suku kata (guru wilangan), jumlah baris dalam satu bait (guru gatra), dan suara akhir setiap baris (guru ding-dung) (Sugriwa, 1977:8-13;Suarka, 2008: 2-7).

3. PENGNGKAPAN NILAI-NILAI LUHUR DALAM SASTRA DAERAH BALI 1) Nilai Tri Hita Karana.

Tri Hita Karana, berasal dari kata “tri”, yang berarti tiga, “hita” berarti kebahagiaan, dan “karana” berarti penyebab. Jadi, Tri Hita Karana berarti tiga penyebab

(11)

6

kebahagiaan. Ketiga penyebab kebahagiaan itu adalah (1) hubungan manusia dengan sang Pencipta (dilukiskan dengan wujud parahyangan, tempat memuja kebesaran Tuhan), (2) hubungan manusia dengan sesama manusia, (disebut pawongan, masyarakat), (3) hubungan manusia dengan alam lingkungannya (palemahan).

(Suhardana, 2006:50). Penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan bermasyarakat adalah (1) hubungan antara manusia dengan Tuhannya diwujudkan dengan Dewa Yajnya (puja puji kepada Tuhan) (2) hubungan manusia dengan sesamanya diwujudkan dengan pitra, rsi, dan manusa yajnya (3) hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya diwujudkan dengan bhuta yajnya.

Nilai luhur Tri Hita Karana ini telah menjadi dasar tradisi budaya termasuk keberadaan lembaga atau pranata sosial budaya masyarakat Bali, baik itu lembaga pemerintahan maupun nonpemerintahan, seperti desa pakraman, banjar, dan subak. Di lembaga pemerintahan, baik itu di perkantoran maupun di lembaga-lembaga pendidikan, selalu ada pura atau tempat suci sebagai unsur parahyangan untuk memuja kebesaran Tuhan, para pegawai yang bekerja di lembaga itu sebagai unsur pawongan, dan tempat mereka bekerja sebagai unsur palemahan (wilayah tempat bekerja). Demikian pula di lembaga nonpemerintahan seperti subak. Pura Ulunsuwi sebagai pemujaan terhadap Dewi Sri sebagai unsur parahyangan; warga masyarakat yang tergabung dalam organisasi subak itu sebagai unsur pawongan, dan lahan pertanian sebagai unsur pelemahan.

Ketiga unsur tersebut (parahyangan, pawongan, palemahan) merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Hubungan yang harmonis dan seimbang antara ketiga unsur tersebut diyakini akan membawa manfaat maksimal bagi kesejahteraan hidup manusia lahir dan batin. Demikian pula

(12)

7

sebaliknya, hubungan yang tidak seimbang atau hanya mengutamakan aspek tertentu saja diyakini akan dapat mengganggu kesejahteraan hidup manusia (Ardana, 2007:60).

Semua manusia menyadari bahwa dirinya diciptakan oleh Tuhan karena di dalam dirinya ada jiwa yang merupakan percikan sinar suci dari sang Pencipta yang menyebabkan manusia itu dapat hidup. Oleh karena itu manusia sesungguhnya berhutang nyawa kepada-Nya. Itulah sebabnya manusia wajib berterima kasih, berbakti, dan selalu sujud kepada-Nya. Dalam sastra Bali, sikap sujud bakti kepada Tuhan diwujudnyatakan dalam ucapan Om Awighnamastu nama sidham (ya Tuhan, semoga tidak ada rintangan).

Hampir semua karya sastra Bali diawali dengan ucapan seperti itu. Selain itu, ada pula bentuk manggala (ucapan puja dan puji syukur kepada Tuhan atas berkah yang diberikan sehingga dapat menyusun sebuah karya sastra). Manggala itu biasanya digunakan dalam karya sastra berbentuk kakawin, kidung, dan geguritan. Manggala itu ditulis di bagian awal karya sastra, sedangkan di bagian akhir kadang-kadang ditulis kadang-kadang tidak ditulis. Karya sastra merupakan suatu persembahan kepada Hyang Maha Kuasa (puja sastra), seperti terlihat dalam Geguritan Niti Raja Sasana di bawah ini.

Pangastawane ring Widi, Sang Hyang Parama Kewalia/ ya Widi taya suksmane, wiwitan mulaning jagat, Sang Wenang timitah, mawarana Siwa Guru, Bhatara Jagatkarana …. Panuhune ring Hyang Widi, miwah ring dewa samian, mangda sida karahayon…, sawewengkon Negara Badung, tatepenmu kamulian.

Dalam kutipan teks di atas, juga tampak unsur pawongan (masyarakat), yaitu masyarakat yang ada di wilayah Badung, dan unsur palemehan, yaitu wilayah Badung. Selain itu, nilai Tri Hita Karana dalam karya sastra Bali dapat dilihat melalui unsur-unsur intrinsik yang membangun karya itu, seperti dalam tema, amanat, alur, dan karakter.

Contoh kongkret yang mengungkapkan nilai Tri Hita Karana dalam sastra Bali sangatlah banyak, baik dalam bentuk prosa, seperti parwa, tutur, dan satua maupun

(13)

8

dalam bentuk puisi, seperti kakawin, kidung, dan geguritan (parikan). Salah satunya adalah geguritan Sapu Leger. Geguritan itu sangat terkenal di kalangan masyarakat Bali karena mempunyai hubungan erat dengan tradisi upacara ngeruwat. Dalam kaitannya dengan upacara ngeruwat, geguritan itu sering dijadikan lakon oleh dalang dalam pementasan wayang kulit. Upacara ngeruwat ini ditujukan kepada anak-anak yang lahir pada wuku Wayang, dengan harapan agar anak tersebut senantiasa selamat, terhindar dari bahaya gangguan Bhatara Kala (bdk. Kamajaya, 1992). Dalam upacara ngeruwat itu digunakan sesajen lengkap dengan segala sarana yang akan dipersembahkan kepada Tuhan dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Ringgit. Jadi, unsur parahyangan dalam geguritan tersebut, selain ditandai dengan adanya ucapan Om Awighnamstu nama sidham, dan manggala, juga ada bentuk sesajen yang akan dipersembahkan kepada Tuhan.

2) Nilai Tri Kaya Parisudha

Trikaya Parisudha berasal dari kata “tri” artinya tiga, “kaya” artinya tingkah laku (perbuatan), dan parisudha artinya mu lia (bersih). Jad i, Trikaya Parisudha artinya tiga perbuatan/tingkah laku yang mulia (bersih). (Su hardana, 2006:28-29). Tiga perbuatan tersebut adalah (1) manacika ‘berpikir yang baik dan su ci’, (2) wa cika ‘berkata yang baik dan benar’, dan (3) kayika ‘berbuat atau bertingkah laku yang baik d an jujur’.

Seseorang dapat dikatakan berpikir baik dan suci (manacika) apabila ia:

(1) tidak menginginkan sesu atu yang tidak halal; (2) tidak berpikir buruk kepad a sessama manu sia atau mahlu k lainnya; (3) yakin d an percaya terhadap hukum karma phala, dan sebagainya. Seseorang dapat dikatakan berkata baik dan benar (wacika) apabila ia: (1) tidak mencaci maki orang lain; (2) tidak

(14)

9

berkata-kata kasar kepada orang lain; (3) tidak memfitnah atau mengadu domba; (4) tidak ingkar janji. Seseorang dapat dikatakan berbuat baik dan jujur (kayika) ap abila ia: (1) tidak menyiksa, menyakiti, membunu h; (2) tidak berbuat curang, mencuri, merampok; (3) tid ak berzina, berselingkuh, d an lain- lain.

(1) Manacika (berpikir yang baik)

Pikiran yang b aik adalah sumber dari perkataan dan perbuatan. Sebelum berkata dan berbuat hendaknya dipikirkan terleb ih dahu lu apa yang harus diucap kan dan dikerjakan. Oleh karena itu, pikiran perlu dikendalikan karena pikiran itu sering tidak berketentuan jalannya. Sebagaimana tampak dalam contoh Geguritan Sarasamuscaya, sebagai berikut.

Daging ipun yan bawosang, manahe ya dados bibit, andele jeroning manah, saking andel bawos mesu, tumuli ya malaksana, wastu ra ris, manah kaba wos pradhana. Kraman ipun san kawastanin manah, bhranta lunga mrika-mriki,... makawinan,manahe patut tilikin.

(’Intinya jika dib icarakan, pikiranlah yang menjad i sumbernya, ambil sikap setelah berpikir, dari sikap baru lah keluar kata, lalu melakukan perbuatan, jika p enentuan pikiran telah terjad i, pikiran dikatakan pokok’. ’Biasanya yang d isebut pikiran,tidak berketentuan jalannya, ...

karena itulah, pikiran perlu diselidiki’).

Ada banyak cara yang dapat ditempu h agar dapat berpikir dengan baik, seperti su ka memaafkan, tidak menanam rasa permusuhan, percaya adanya hukum karma, menghilangkan rasa iri hati dan dengki, seperti terlihat antara lain dalam Geguritan Sarasamuscaya, d i bawah ini.

Jadma sane irihati, maring gelah anak liyan, doleg maring kasukane, jadmane kadi punika, doh para mamanggih suka, sakantune ipun idup,inggian maring paraloka. Awinan patut titenin, irihatine icalang, (’Orang yang iri hati, terhadap milik orang lain, dengki terhadap kebahagiaan orang, orang yang seperti itu, jauh dari kebahagiaan, semasih hidupnya, di dunia ini’. ’Karenanya patut d icermati, rasa iri hati dimusnahkan.

(15)

10 (2) Wacika ’berkata yang baik dan benar’

Perkataan dapat menyebabkan orang lain senang dan dapat pu la menyebabkan orang lain sakit hati. Hal itu dimuat dalam Kakawin Niti Sastra halaman 28 bait 3, sebagai berikut.

Wasita nimitanta manemu laksmi, wasita nimintanta pati kapangguh, wasita nimintanta manemu duhka, wasita nimitan ta manemu mitra artinya melalu i bahasa Anda menemukan kebahagiaan, melalui bahasa Anda bisa menemui ajal, melalui bahasa Anda b isa menemukan duka nestapa, melalui bahasa pulalah And a bisa mendapatkan sahab at.

Oleh karena itu, disarankan agar kita senantiasa berbicara yang baik dan benar. Tidak berkata menyakiti hati orang lain, karena kata-kata yang menyakiti hati orang ibarat anak panah yang menusuk sampai ke relung hati setiap orang (Bebawose sane hala, saksat panah sing kapurug mrasa sakit, ru mesep jeroning kayun.... ’Perkataan yang jahat, seperti anak panah setiap yang kena merasa sakit, meresap ke dalam hati).

(3) Kayika ’berbuat yang baik dan jujur’

Perbuatan yang baik dan ju jur cukup banyak ditemu kan dalam sastra daerah Bali, sebagai co ntoh di antaranya diamb il dari cerita Bhagawan Domya (termuat dalam Adi Parwa, hln. 20-26). Dieritakan, Bhagawan Domya punya tiga orang murid. Ketiga murid itu diberi tugas untuk bekerja sebagai tanda bakti kep ada sang guru, dengan catatan harus mandiri, tidak boleh meminta- minta, dan bertanggu ngjawab. Ketiga murid bekerja dengan baik dan jujur sesuai dengan p erintah gu ru nya. Oleh karena itu, mereka dinyatakan berhasil dengan baik oleh Bhagawan Dom ya, seperti tampak dalam kutipan berikut.

(16)

11

Anakku sang Arunika, atyanta ring dharaka pawangwat anaku, sang Udalaka ngarananta, apan manambakaken awa kta ring we, makanimitta bhaktinta ring guru ... (anakku sang Arunika, u let sekali kau bekerja, bangu nlah kau akan kuberi nama baru sang Udhalaka karena kau amat berani menjad ikan dirimu sebagai penahan banjir, berlandaskan rasa bakti kepada sang guru. Sakari karunya bhaga wan, wineh ta sang Utamanyu mantra Aswinodewa bhisak ucharakenanira, matangyan maryawuta, pan sa snghyang Aswinodewa bhisak sira, pinaka walyaning dewata... (sangat iba perasaan sang bhagawan, sang Utamanyu selanjutnya diberikan mantra Aswinodewa sebagai obat utuk menghilangkan butanya, karena Aswinodewa sebagai dukun para dewa).

... Saka ri baktinira sang Weda ring guru...yatna ri sapakonira, inanugrahanta sira sa rwwa widya saha weda mantra mwang sarwa jnanan... (oleh karena baktinya sang Weda kepad a sang guru, menuruti segala nasihat sang guru maka ia dianugrahi ilmu pengetahuan weda mantra dan ilmu kebatinan yang tinggi).

3) Karma phala

Kata karma phala berasal dari kata karma (kŗ) artinya perbuatan; dan phala berarti buah, hasil. Jadi, karma phala berarti buah atau hasil dari perbuatan (sebab- akibat). Apabila seseorang berbuat yang baik sesuai dengan dharma (kebenaran) maka hasilnya adalah kebahagiaan, sebaliknya setiap perbuatan yang dilandasi dengan adharma (kepalsuan) maka hasilnya adalah kesengsaraan. Dalam masyarakat Bali, wacana karma phala sudah umum diungkapkan dengan wacana “menanam jagung, buah jagunglah yang akan dipetik; menanam kelapa, buah kelapalah yang akan dipetik. Jadi, baik atau buruk hasil yang kita capai bergantung dari baik atau buruk perbuatan kita.

Ruang lingkup karma phala meliputi tiga “H”, yaitu (1) head (ide dan pikiran), (2) heart, hati, dan (3) hand, tangan yang melaksanakan pekerjaan (Jendra, 2006:11).

Orang yang baik dan jujur adalah orang yang memiliki kesejajaran dalam tiga “H” itu.

Apa yang ada dalam pikirannya, itulah yang diucapkan dan dilaksanakan. Ketiga “H” itu merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan jika ingin menjadi orang baik dan jujur. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa antara pikiran, perkataan, dan

(17)

12

perbuatannya tidak menyatu. Dalam hati dan pikiran berbeda dengan perbuatannya. Hal itulah yang akan mengantarkan seseorang menuju penderitaan (kehancuran). Wacana tidak penyatunya antara pikiran, pembicaraan dan perbuatan tidak hanya terjadi dalam karya sastra, tetapi juga sering kita saksikan sebagai fakta dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Wacana seperti itu banyak dijumpai dalam sastra daerah.

Dalam Geguritan Purwa Sanghara (GPS), diceritakan, kehancuran negeri Dwarawati disebabkan oleh perbuatan sang Samba dan Wabru membohongi tiga orang resi.

Samba berpakaian wanita dan berpura-pura hamil, lalu menanyakan kepada tiga resi tentang kelahiran anaknya. Ketiga resi tahu betul niat busuk sang Samba, tetapi tetap dijawab dengan baik. Samba dikatakan akan segera melahirkan, namun bukan anak yang dilahirkan, melainkan sebuah palu besi yang kelak akan menghancurkan Dwarawati (GPS, I, 14). Ternyata, apa yang dikatakan oleh ketiga resi itu menjadi kenyataan, Dwarawati menjadi tenggelam sehingga banyak penduduk yang mengungsi (GPS, VI. 9).

Nilai karma phala hampir muncul di semua satua Bali (dongeng), baik itu satua Bali asli maupun satua-satua yang berasal dari luar Bali yang disadur ke dalam bahasa Bali Kepara, seperti Dongeng Panji Bali dan satua-satua Bali asli, misalnya I Tuwung Kuning, I Belog Mantu, I Bawang teken I Kesuna, dan Men Tiwas teken Men Sugih. Semua satua itu

mengandung nilai karma phala, di mana kebenaran pada akhirnya akan mengalahkan kejahatan.

Salah satu contoh akan dikemukakan satua Men Tiwas teken Men Sugih. Men Tiwas adalah keluarga miskin dan Men Sugih adalah keluarga kaya. Suatu hari Men Tiwas tidak bisa memasak karena tidak punya beras. Melihat hal itu, Men Sugih menawarkan pekerjaan, disuruh menghilangkan kutu yang ada di kepalanya dengan upah yang cukup. Setelah selesai, ia diberi uang lalu dibelikan beras. Tidak berselang lama, Men Sugih menemukan kembali satu kutu di kepalanya, lalu ia marah dan mencari Men Tiwas. Beras yang tadinya telah diberikan diminta kembali. Keesokan harinya Men Tiwas dan anak-anaknya pergi ke hutan mencari kayu bakar. Di tengah hutan mereka bertemu dengan seekor kidang putih dan kidang itu minta Men Tiwas

(18)

13

memasukkan tangannya kepantat si kidang. Itu pun dilakukan. Ternyata dari pantat kidang itu keluar gelang, cincin, permata yang sangat banyak. Sejak itu Men Tiwas berubah menjadi kaya.

Pagi-pagi ia sudah bisa memasak, dan anak-anaknya memakai perhisan. Hal itu diketahui oleh Men Sugih. Men Sugih iri hati, lalu ia mencoba ke hutan mengikuti jejak Men Tiwas, meski sebelumnya sudah dilarang oleh suaminya tetapi tidak dihiraukan. Setelah tangannya dimasukan ke dalam perut kidang, bukannya emas permata yang didapat melainkan dia dibawa lari, diseret- seret, dan dibentur-benturkan ke pohon yang penuh duri. Men Sugih pun akhirnya menderita kesakitan.

(Mara pesan macelep liman Men Sugihe di jit kidange, lantas kijemanga. Men Sugih lantas pelaibanga. Men Sugih jerit-jerit kesakitan maered ludin antep- antepanga ... aliha lantas teken kurenane, tepukina lantas kesul-kesul di tengah punyan ketkete, gruguh-gruguh naanang sakit, awakne telah babak belur”(Bagus, 1978: 81).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Men Sugih yang kaya raya tetapi sombong, dengki, dan iri hati, akhirnya mendapat malu dan penderitaan, sebagai pahala dari perbuatan buruknya. Sebaliknya, Men Tiwas sebagai keluarga miskin yang terus dihina dan dicaci akhirnya mendapatkan kebahagiaan.

Dalam karya sastra yang lain pun banyak ditemui nilai karma phala, misalnya dalam Geguritan Siti Badariah (GSB). Diceritaskan bahwa Perdana Menteri merasa sangat kagum dan tergoda akan kecantikan Siti Badariah. Karena itu ia terus merayunya.

Akan tetapi, semua rayuan itu ditolak. Akibatnya, Siti Badariah difitnah dengan mengirim surat kepada Sultan Badur (ayah Siti Badariah) bahwa Siti Badariahlah yang menggoda Perdana Menteri. Selanjutnya, Sultan Badur mengutus anaknya, Syah Minan untuk membunuh Siti Badariah. Namun, usaha itu gagal karena setelah melihat wajah adiknya, Syah Minan menjadi iba. Akhirnya Syah Minan tetap melakukan dengan cara menutupi muka adiknya dengan kain putih agar tidak kelihatan wajahnya. Setelah itu langsung dipancung lehernya dengan sebilah keris. Setelah hari sudah terang ternyata

(19)

14

yang terpancung adalah seekor kancil, sedangkan Siti Badariah tetap utuh. Melihat kejadian itu, Syah Minan menjadi sadar bahwa yang biadab bukan Perdana Menteri, sedangkan Siti Badariah adalah orang yang benar (bait 30, 36).

“Syah Minan heran tercengang, sebab berlaku ajaib, Badariah tidak mati, hanya tinggal lelap tidur, dari kekuasaan Allah, adalah seekor kancil, yang terpancung ... Allah jua yang menulung, yang apa boleh buat, siapa ku sesal lagi, orang hidup memang berpagar bahaya”.

Pada akhirnya, Perdana Menteri mendapat pahala sesuai perbuatan yang dilakukan. Ia dihukum dimasukkan ke dalam penjara dan Siti Badariah mendapat hasil yang baik di mana ia dapat berkumpul kembali dengan orang-orang yang dikasihinya.

4. MEDIA PENGUNGKAPAN NILAI-NILAI LUHUR DALAM SASTRA DAERAH BALI

Media yang digunakan untuk mengungkapkan nilai-nilai luhur dalam sastra daerah Bali adalah media bahasa lisan dan tulisan. Suarka (2008:1) mengatakan bahwa dalam tradisi “nyastra” di Bali, seolah-olah tidak ada perbedaan antara tradisi lisan dan tulisan. Teks lisan ditulis ke dalam naskah, seperti terlihat pada naskah-naskah satua, dan sebaliknya teks tulisan dibacakan dalam mabebasan3 dan ada juga yang dilisankan dalam bentuk seni pertunjukan, seperti cerita Sapu Leger dalam pertunjukan wayang kulit.

Selain media bahasa, nilai-nilai luhur yang tersirat dan tersurat dalam daerah Bali, seperti telah disebutkan sebelumnya disampaikan melalui media sastra berbentuk prosa dan puisi. Genre prosa meliputi parwa dan satua, sedangkan genre puisi meliputi kakawin, kidung, dan geguritan (parikan). Dalam penyampaiannya, nilai-nilai luhur yang

3 Istilah mabebasan, secara morfologi dibentuk dari kata basa yang berarti ‘bahasa’ mendapat konfik dwipurwa be- dan akhiran –n, menjadi bebasan berarti ‘perihal berbahasa’ atau ‘cara mengartikan bahasa’.

Bentuk itu kemudian mendapat awalan ma- sehingga menjadi mabebasan dan secara leksikal kata itu berarti ‘menyanyikan kakawin dengan diberi arti atau terjemahan (Warna, dkk. 1978:75). Pada umumnya kegiatan mabebasan dilakukan oleh sekelompok orang, seorang membaca atau menyanyikan baiit-bait kakawin dan selanjutnya diberi komentar. Kegiatan itu dilakukan berganti-ganti dalam satu kelompok yang disebut kelompok pasantian. Selanjutnya diberi ulasan-ulasan oleh mereka yang duduk dalam kelompok tersebut (Rubinstein, 1996:145)

(20)

15

terkandung dalam Genre sastra, baik prosa maupun puisi diungkapkan dengan menggunakan media bahasa, baik lisan maupun tulisan. Ada yang menggunakan bahasa Kawi (Jawa Kuna), seperti yang terdapat dalam sastra kakawin dan parwa (lihat kutipan kakawin Niti Sastra dan Bhagawan Domya di atas); bahasa Kawi-Bali seperti ditemukan dalam sastra kidung, misalnya Kidung Tantri; bahasa Bali-Kawi, seperti ditemukan dalam karya-karya geguritan; dan bahasa Bali Kepara, seperti biasa digunakan dalam sebagaian geguritan dan satua (dongeng).

Selain bahasa-bahasa tersebut, ada juga karya sastra geguritan yang ditulis dengan menggunakan bahasa Melayu, yaitu Geguritan Siti Badariah (GSB). GSB merupakan satu-satunya geguritan yang memadukan dua genre sastra sekaligus, yaitu genre sastra geguritan dan genre syair. Bahasa yang digunakan pun campuran, dasarnya adalah bahasa Melayu dicampur dengan bahasa lain, seperti bahasa Arab (Allah, Alhamdulilah), Sansekerta (murka, dwitya), Belanda (Algemene, Vergadring), Jawa (bangat, candrasangkala), dan bahasa Bali (tolu, sisip). Oleh karena itu, geguritan Siti Badariah termasuk karya sastra geguritan yang unik. Unsur-unsur budaya yang disampaikan pun kompleks. Jika dilukiskan, tampak seperti gambar berikut.

GSB

ISI

Konv. Sas.: Geguritan & Syair

Konv. Bhs: Melayu, Arab, Sansek. Belanda, Jawa, Bali

Keb. Bali Keb. Melayu

Keb. Islam

(21)

16 5. PENUTUP

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat ditarik simpulan sebagai berikut.

Sastra Bali, khususnya sastra Bali klasik (tradisional) mengandung nilai-nilai luhur yang sangat relevan dengan pembangunan karakter bangsa Indonesia. Nilai-nilai luhur tersebut terungkap dalam sastra Bali, baik berbentuk prosa, seperti parwa dan satua maupun berbentuk puisi, seperti kakawin, kidung, dan geguritan (parikan). Nilai- nilai luhur yang terungkap dalam karya sastra itu, meliputi (1) nilai tri hita karana, (hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan, antara manusia dengan manusia, dan antara manusia dengan alam lingkungannya; (2) nilai tri kaya parisudha (berpikir yang baik dan suci, berkata yang baik dan benar, dan berbuat yang baik dan jujur); dan (3) nilai karma phala. Jika ketiga nilai luhur itu diimplementasikan dengan baik dan benar, tentu dapat menumbuhkan nilai-nilai luhur, seperti nilai kesetiaan, kejujuran, kebersamaan (paras paros sarpana ya), cinta kasih, dan tulus ikhlas. Demikian pula sebaliknya, jika tidak diimplementasikan dengan baik dan benar akan menimbulkan ketidakharmonisan. Keharmonisan (kebenaran) dan ketidakharmonisan (keburukan) merupakan dua hal yang tampak berbeda, namun sesungguhnya adalah satu. Itulah yang disebut dengan nilai rwa-bhineda (bhineka tunggal ika). Jadi, dalam satu cerita terdapat lebih dari satu nilai luhur yang dapat dijadikan pedoman dalam menjalankan kehidupan yang lebih beradab dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Bahasa yang digunakan untuk mengungkapkan nilai-niai luhur ke dalam karya sastra Bali adalah bahasa Jawa Kuna (bahasa Kawi), bahasa Kawi-Bali, bahasa Bali- Kawi, bahasa Bali Kepara, dan bahasa Melayu. Bahasa Jawa Kuna (Kawi) digunakan dalam karya sastra berbentuk kakawin, seperti Kakawin Niti Sastra dan parwa. Bahasa Kawi-Bali digunakan dalam karya sastra berbentuk kidung, seperti Kidung Tantri.

(22)

17

Bahasa Bali-Kawi digunakan dalam karya sastra geguritan. Bahasa Bali Kepara digunakan dalam karya sastra berbentuk geguritan (parikan) dan satua (dongeng). Dan, bahasa Melayu digunakan dalam karya sastra geguritan, seperti Geguritan Siti Badariah dan Geguritan Nengah Jimbaran.

Selain diungkapkan dalam bahasa tulis, nilai-nilai luhur dalam sastra Bali juga diungkapkan dengan menggunakan bahasa lisan, yaitu karya sastra yang dijadikan sebagai performing art, dalam bentuk mabebasan. Selain itu, karya sastra yang diangkat dalam bentuk pertunjukan, seperti pertunjukan wayang kulit.

(23)

18 6. DAFTAR PUSTAKA

Agastia, IBG. 2006. Cokorde Mantuk ring Rana Pemimpin yang Nyastra. Denpasar:

Yayassan Dharma Sastra.

Ardana, I Gusti Gede. 2007. Pemberdayaan Kearifan Lokal Masyarakat Bali dalam Menghadapi Budaya Global. Denpassar: Fakultas Sastra Unud.

Atmaja, Nengah Bawa. “(Re-)pancasila: Pembentukan Karakter Bangsa Melalui Pendidikan”. Makalah disampaikan dalam Simposium Restorasi Kebudayaan Nasional “Strategi Kebudayaan dalam Spirit Bhineka Tunggal Ika” yang diselenggarakan di Gedung Widya Sabha Fakultas Kodokteran Unud atas Kerja Sama Nasional demokrat dengan Pussat Kajian Bali Unud, tanggal 15 Desember 2010.

Bagus, I Gusti Ngurah dan I K. Ginarsa. 1978. “Kembang Rampe Kasustran Bali Purwa”. Singaraja: Balai Penelitian Bahasa, Depdikbud.

Bagus, I Gusti Ngurah, dkk. 1986. Dongeng Panji dalam Kesusastraan Bali. Denpasar:

Baliologi.

Cika, I Wayan. 2006. Kakawin Sabha Parwa: Analisis Filologis: Denpasar: Pustaka Larasan.

Cika, I Wayan. 2006. “Revitalisasi Sastra Bali Lewat Pesantian”. Makalah disajikan di Balai Bahasa Denpasar, 19 Oktober 2006.

Jendra, I Wayan. 2006. Karmaphala: Pedoman dan Tuntunan Moral, Hidup Sejahtera, Bahagia, dan damai. Denpasar: Empat Warna Komunikasi.

Kamajaya, H. Karkono, dkk. 1992. Ruwatan Murwakala Suatu Pedoman.Yogyakarta:

Duta Wacana University Press.

Koenjaraningrat. 1990. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Rubinstein, Raechelle. 1988. “Beyon the Realm of the Senses the Balinese Retual of Kakawin Composition”. A Thesis Submitted for the Degree of Philosophy in the Departement of Indonesian and Malayan Studies. Th University of Sydney.

Sancaya, IDG Windhu. 2002. “Yoga Sastra dan Konsepsi Estetika dalam Sastra Bali Klasik”. Cintamani. Edisi 10 Tahun I.

Suarka, I Nyoman. 2008. “Budi Pekerti dalam Sastra Bali”. Makalah Disajikan di Balai Bahasa Denpasar, 17 Juni 2008.

(24)

19

Sudharta, Cok. Rai. 1997. Slokantara: Untaian Ajaran Etika. Teks, Terjemahan, dan Ulasan. Denpasar: Upada Sastra.

Suhardana, KM. 2006. Pengantar Etika & Moralitas Hindu, Bahan Kajian untuk Memperbaiki Tingkah Laku. Surabaya: Paramita.

Warna, dkk. 1997. Adiparwa. Denpasar: Dinas Pendidikan Dasar Provinsi Bali.

Warna, dkk. 1978. Kamus Bali – Indonesia. Denpasar: Dinas Pendidikan Dasar Prov.

Bali.

Warna, . 1999. Nitisastra. Denpasar: Dinas Pendidikan Provinsi Bali.

Referensi

Dokumen terkait

Memperhatikan ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah serta berdasarkan hasil evaluasi terhadap seluruh

Laporan praktikum adalah laporan data praktikum mahasiswa pada satu acara praktikum yang harus memperoleh pengesahan asisten praktikum atau dosen pengampu

Pengaruh Mutasi Terhadap Semangat Kerja Pegawai Negeri Sipil Di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Kota Pematang Siantar. Sumber

Karena itu tidak mengherankan banyak acara siaran di televisi.. yang jika diukur dari segi agama dan moral menjadi

Komunikasi publik adalah proses menggunakan pesan untuk menghasilkan makna dalam situasi di mana satu sumber mengirimkan pesan ke banyak penerima yang disertai komunikasi

The accuracy of classification obtained using TFPC is, however, relatively sensitive to the choice of support and confidence thresholds used when mining the classification rules.. We

Terakhir, seorang pengamat mencari konsistensi dalam tindakan seseorang. Apakah orang itu merespons dengan cara yang sama sepanjang waktu? Datang terlambat 10 menit tidak

Aspek-aspek berpikir kritis diatas akan dicapai dengan optimal oleh seorang anak jika anak diberi kesempatan untuk mengeksplorasi dengan bimbingan, kebiasaan dan latihan