Volume 16 Issue 1 Article 5
2020
Pengaruh Asimetris Nilai Tukar terhadap Ekspor: Kasus Ekspor Pengaruh Asimetris Nilai Tukar terhadap Ekspor: Kasus Ekspor Industri Indonesia Tahun 2007-2016
Industri Indonesia Tahun 2007-2016
Welldy Welldy
Kementerian Perindustrian, Jakarta Diah Widyawati
Pascasarjana Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia
Follow this and additional works at: https://scholarhub.ui.ac.id/jke
Part of the Economics Commons, Public Affairs, Public Policy and Public Administration Commons, and the Urban Studies and Planning Commons
Recommended Citation Recommended Citation
Welldy, Welldy and Widyawati, Diah (2020) "Pengaruh Asimetris Nilai Tukar terhadap Ekspor: Kasus Ekspor Industri Indonesia Tahun 2007-2016," Jurnal Kebijakan Ekonomi: Vol. 16 : Iss. 1 , Article 5.
Available at: https://scholarhub.ui.ac.id/jke/vol16/iss1/5
This Article is brought to you for free and open access by the Faculty of Economics & Business at UI Scholars Hub.
It has been accepted for inclusion in Jurnal Kebijakan Ekonomi by an authorized editor of UI Scholars Hub.
Pengaruh Asimetris Nilai Tukar terhadap Ekspor: Kasus Ekspor Industri Indonesia Tahun 2007-2016
Welldy 1, Diah Widyawati Kementerian Perindustrian, Jakarta
Pascasarjana Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia Abstract
This study aims to see whether appreciation and depreciation have asymmetric impact on Indonesia's industrial exports and which impact is greater. The researcher uses disaggregated panel of Indonesian industrial product export HS Code 10 digit level with all partner country of export. Acquired domestic appreciation has a negative impact and depreciation has a positive impact on exports, where the impact is both asymmetric. The negative impact of appreciation is greater than the positive impact of depreciation. While domestic appreciation, export demand is more elastic due to competition in international markets which makes other countries turn to domestic products in their destination countries or even import goods from other countries and export supply less elastic or less elasticity due to avoiding risk due to reduced export demand even though the price of imported goods is cheaper. Meanwhile, when the depreciation due to competition in the international market resulted in an increase in elasticity of export demand is smaller than when domestic appreciation occurs. In addition, the export supply become more elastic as the industry sees imported goods becoming more expensive which can increase production costs.
Key words:
Asymmetric, appreciation, depreciation, export, exchange rate, industry JEL Classification:
F1, F4
Abstrak
Penelitian ini bertujuan melihat apakah apresiasi dan depresiasi berdampak asimetris terhadap ekspor industri Indonesia dan dampak manakah yang lebih besar. Peneliti menggunakan panel disagregat ekspor produk industri Indonesia level kode HS 10 digit dengan seluruh negara partner ekspor. Diperoleh apresiasi domestik berdampak negatif dan depresiasi berdampak positif terhadap ekspor, dimana dampak keduanya asimetris. Dampak negatif apresiasi lebih besar daripada dampak positif depresiasinya. Ketika apresiasi domestik permintaan ekspornya lebih elastis karena adanya persaingan di pasar internasional yang membuat negara lain beralih ke produk domestik di negara tujuan mereka atau bahkan mengimpor barang dari negara lain dan penawarannya kurang elastis atau elastisitasnya lebih kecil karena upaya menghindari risiko akibat permintaan ekspor yang berkurang meskipun harga barang impor lebih murah.
Sedangkan ketika depresiasi karena persaingan di pasar internasional mengakibatkan elastisitas peningkatan permintaan ekspornya lebih kecil dibandingkan ketika terjadi apresiasi domestik.
Selain itu, penawaran ekspornya menjadi lebih elastis karena industri melihat barang impor menjadi lebih mahal yang dapat meningkatkan biaya produksi.
Kata Kunci:
Asimetris, apresiasi, depresiasi, ekspor, nilai tukar, industry Klasifikasi JEL: F1, F4 PENDAHULUAN
Kontribusi industri pengolahan terhadap total PDB (Produk Domestik Bruto) di
1 Alamat korespondensi: welldy84@gmail.com
Indonesia seiring berjalannya waktu dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2017 cenderung menurun. Meskipun begitu, sektor tersebut memiliki kontribusi terbesar
terhadap PDB dibandingkan sektor lainnya.
Oleh karenanya, sektor industri memegang peranan penting terhadap pertumbuhan PDB di Indonesia. Sedangkan ekspor di Indonesia cenderung menurun dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2017 dengan kenaikan terjadi
pada tahun 2011 dan 2017.
Penelitian terkait banyak yang melihat pengaruh signifikansi dari nilai tukar terhadap ekspor dengan hasil yang bervariasi. Sharma (2003), Kemal dan Qadir (2005), Fang et al. (2006), Abidin et al (2013), Cheung dan Sengupta (2013), Karagoz (2016), Adam et al (2017) meneliti bahwa nilai tukar berpengaruh negatif terhadap ekspor. Beberapa penelitian Hooy et al (2015), Caglayan dan Demir (2013) menemukan bahwa nilai tukar berpengaruh positif terhadap ekspor. Sedangkan Fountas dan Aristotelous (2005), Fang dan Miller (2007), Nyeadi et al. (2014) menemukan bahwa nilai tukar dalam jangka panjang tidak memiliki dampak terhadap ekspor.
Perbedaan tersebut tergantung dari kondisi
negara atau ekonomi negara yang dijadikan objek penelitian dan periode waktu yang digunakan.
Penelitian di atas mengasumsikan bahwa dampak nilai tukar terhadap ekspor adalah sama (simetris), baik ketika terjadi apresiasi
dan depresiasi. Sedangkan pada kenyataannya apresiasi ataupun depresiasi dapat memiliki dampak yang berbeda (asimetris). Jika saat apresiasi sebesar x%
dalam nilai tukar ekspor akan berkurang sebesar y%, maka saat terjadi depresiasi nilai tukar sebesar x% peningkatan ekspornya bisa tidak sama dengan y% atau dampak dari apresaisi dan depresiasinya asimetris.
Sama halnya dengan dampak nilai tukar terhadap ekspor, hasil yang diperoleh dari studi dampak asimetris nilai tukar terhadap ekspor juga memiliki hasil yang berbeda.
Hal tersebut tergantung pada pilihan periode atau waktu sampel, spesifikasi model, bentuk perdagangan (bilateral negara dengan negara, bilateral negara-kawasan,
Sumber : BPS (diolah)
Grafik 1. Distribusi PDB Menurut Lapangan Usaha Tahun 2010-2017
19 19.5 20 20.5 21 21.5 22 22.5
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Industri Pengolahan
dll), serta negara-negara yang dijadikan objek penelitian (negara maju, negara berkembang atau negara tidak berkembang).
Seperti misalnya Arize et al (2017) meneliti pengaruh apresiasi dan depresiasi nilai tukar terhadap trade balance secara agregat di 8 negara, dimana apresiasi berdampak positif di negara Cina, Israel, Korea, Pakistan, Rusia, dan Singapura dan berdampak negatif di negara Malaysia dan Filipina.
Sedangkan depresiasi berdampak positif hanya di negara Korea, Pakistan, dan Rusia dan berdampak negatif di negara Cina, Singapura, Israel, Malaysia, dan Filipina.
Bahmani-Oskooee dan Baek (2016), Bahmani-Oskooee dan Aftab (2017a), Bahmani-Oskooee dan Aftab (2017d), dan
Bahmani-Oskooee dan Halcioglu (2017) meneliti dampak asimetris apresiasi dan depresiasi nilai tukar terhadap perdagangan bilateral sektor industri di suatu negara.
Sedangkan Bahmani-Oskooee dan Aftab (2017b) dan Bahmani-Oskooee dan Aftab (2017c) meneliti perdagangan bilateral
sektor industri suatu negara dengan kawasan perdagangan. Hasil yang diperoleh dari keduanya adalah apresiasi dan depresiasi nilai tukar memiliki tanda dan besaran dampak yang berbeda terhadap trade balance di setiap sektor industri, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Selain itu, faktor lain yang menyebabkan studi-studi seperti di atas memiliki hasil yang berbeda tergantung bagaimana reaksi dan karakteristik eksportir dan importir di suatu negara dalam melakukan perdagangan. De Grauwe (1998) meneliti bahwa dampak asimetris dapat disebabkan oleh karakteristik trader apakah sangat risk averse (menghindari risiko) atau sedikit risk averse dalam melakukan perdagangannya.
Apabila risiko nilai tukar meningkat, maka expected marginal utility pendapatan dari ekspor untuk individu yang sangat risk averse semakin meningkat. Akibatnya mereka harus meningkatkan ekspornya untuk menutupi kemungkinan kerugian terhadap pendapatan ekspornya. Sedangkan
Sumber : BPS (diolah)
Grafik 2. Distribusi PDB Menurut Pengeluaran Tahun 2010-2017
0 5 10 15 20 25 30
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Ekspor Barang dan Jasa
individu yang sedikit risk averse kurang memperhatikan pengurangan pendapatan dari ekspornya. Ketika mereka melihat pengembalian dari ekspor sekarang menjadi berkurang karena adanya risiko nilai tukar yang meningkat, maka mereka memutuskan untuk mengurangi ekspornya.
Perilaku dan karakter tersebut dapat mempengaruhi penawaran dan permintaan ekspor dan menyebabkan dampak yang asimetris antara apresiasi dan depresiasi.
Misalkan apabila penawaran ekspor berkurang dan sangat elastis dengan adanya depresiasi, maka dapat membuat peningkatan ekspornya menjadi lebih berkurang daripada apresiasi. Apabila permintaan ekspor di negara tujuan meningkat dan sangat elastis saat depresiasi, maka peningkatan ekspornya bisa menjadi lebih besar daripada apresiasi
Meskipun begitu, penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya membahas tentang dampak asimetris apresiasi dan depresiasi terhadap ekspor suatu negara secara agregat dan disagregat sektor komoditas atau sektor industri di negara maju atau industri maju, negara berkembang, negara tidak berkembang, dan juga perdagangan bilateral antara satu negara dengan masing-masing negara partner utama ataupun bilateral negara-kawasan. Hasil yang diperoleh dari studi-studi tersebut juga berbeda tergantung dari objek, waktu, dan metode yang digunakan. Oleh karena itu, peneliti ingin melakukan studi dengan melihat pengaruh nilai tukar terhadap ekspor industri Indonesia pada level yang lebih detail atau rinci dengan menggunakan data disagregat
ekspor pada level kode HS 10 digit dan dengan seluruh negara partner Indonesia selama tahun 2007-2016.
Hipotesis penelitian ini adalah apresiasi nilai tukar domestik memiliki dampak negatif terhadap ekspor (apresiasi domestik < 0) dan depresiasi nilai tukar domestik memiliki dampak positif terhadap ekspor industri di Indonesia (depresiasi domestik > 0). Selain itu, hipotesis dampak yang ditimbulkan dari apresiasi dan depresiasi terhadap ekspor adalah asimetris dengan menggunakan hipotesis H0: apresiasi domestik+depresiasi domestik = 0 dan H1: apresiasi domestik+depresiasi domestik 0.
Diperoleh apresiasi domestik berdampak negatif dan depresiasi berdampak positif terhadap ekspor, dimana dampak keduanya asimetris. Dampak negatif apresiasi lebih besar daripada dampak positif depresiasinya. Ketika apresiasi domestik permintaan ekspornya lebih elastis karena adanya persaingan di pasar internasional yang membuat negara lain beralih ke produk domestik di negara tujuan mereka atau bahkan mengimpor barang dari negara lain dan penawarannya kurang elastis atau elastisitasnya lebih kecil karena upaya menghindari risiko akibat permintaan ekspor yang berkurang meskipun harga barang impor lebih murah. Sedangkan ketika depresiasi karena persaingan di pasar internasional mengakibatkan elastisitas peningkatan permintaan ekspornya lebih kecil dibandingkan ketika terjadi apresiasi domestik. Selain itu, penawaran ekspornya menjadi lebih elastis karena industri melihat
barang impor menjadi lebih mahal yang dapat meningkatkan biaya produksi.
TINJAUAN TEORETIS
Perdagangan dapat menjadi kekuatan utama dalam hubungan ekonomi antar negara dan dengan adanya perdagangan internasional terjadi pertukaran komoditi antar negara.
Apabila perdagangan tersebut tidak ada, maka masing-masing negara harus mengkonsumsi hasil produksinya sendiri.
Perdagangan dapat memberikan keuntungan bagi masing-masing negara yang melakukannya karena perdagangan akan mendorong spesialisasi produksi pada komoditi tertentu yang memiliki keunggulan komparatif, sehingga negara yang bersangkutan dapat memusatkan rosorces-nya pada sektor tersebut dan mengekspor sebagian outputnya untuk memperoleh keuntungan dari komoditi lain yang keunggulan komparatifnya tidak ia kuasai. Pada dasarnya beberapa faktor yang mendorong timbulnya perdagangan internasional suatu negara dari negara lain bersumber dari keinginan memperluas pasaran komoditi ekspor, memperbesar penerimaan devisa untuk kegiatan pembangunan, perbedaan penawaran dan permintaan antar negara, dan adanya perbedaan biaya relatif dalam menghasilkan komoditi tertentu.
Mekanisme perdagangan internasional antara dua negara atau lebih dapat terjadi seperti gambar 1. Suatu negara, misalnya Indonesia akan mengekspor suatu komoditi ke negara lain. Misalkan harga domestik di Indonesia adalah PI dan harga domestik di
negara lain adalah PU. Harga yang terjadi di Indonesia lebih rendah karena produksi domestiknya lebih besar daripada konsumsi domestiknya, sehingga di Indonesia terjadi excess supply (kelebihan produksi). Dengan demikian, Indonesia memiliki peluang untuk menjual kelebihan produksinya ke negara lain. Di negara lain terjadi kekurangan supply karena konsumsi domestiknya lebih besar daripada produksi domestiknya (excess demand), sehingga harga yang terjadi di negara lain lebih tinggi.
Akibatnya negara lain tersebut berkeinginan untuk membeli produk dari Indonesia dengan harga yang relatif lebih murah.
Gambar 1 memperlihatkan sebelum terjadinya perdagangan internasional harga di Indonesia sebesar PI, sedangkan di negara lain sebesar PU. Penawaran di pasar internasional akan terjadi jika harga internasional lebih tinggi dari PI, sedangkan permintaan di pasar internasional akan terjadi jika harga internasional lebih rendah dari PU. Pada saat harga internasional sama dengan PI atau PU maka tidak terjadi perdagangan antar negara. Apabila harga internasional lebih besar dari PI maka terjadi excess supply (ES) di Indonesia dan apabila harga internasional lebih rendah dai PU maka terjadi excess demand (ED) di negara lain. Dengan demikian, dari keseimbangan supply dan demand Indonesia dan negara lain akan terbentuk kurva ES dan ED di pasar internasional, dimana perpotongan antara keduanya akan menentukan harga yang terjadi di pasar internasional, yaitu sebesar P.
Dalam melakukan perdagangan internasional suatu negara dengan negara lain terdapat nilai tukar atau exchange rate yang menunjukkan tingkat harga yang disepakati dalam melakukan pembayaran antara kedua negara tersebut. Nilai tukar tersebut biasanya diterbitkan berupa nilai tukar nominal, yaitu tingkat harga relatif antara mata uang kedua negara. Misalkan nilai tukar antara Rupiah dengan USD adalah 13700 Rupiah per US Dollar, berarti bahwa kita dapat memiliki 1 USD dengan membayar 13700 Rupiah mata uang kita.
Dapat dikatakan juga 1 Rupiah yang kita miliki dapat ditukarkan dengan 1/13700 US Dollar (0,0000729927 US Dollar).
Begitupun sebaliknya, orang asing akan mendapatkan 13700 Rupiah dari setiap 1 USD yang dikeluarkannya atau mendapatkan 1 Rupiah dari 0,0000729927 US Dollar yang ditukarkannya.
Adanya kenaikan atau penguatan dalam nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang negara lain disebut apresiasi, dan sebaliknya penurunan atau pelemahan disebut juga depresiasi. Apresiasi mata uang domestik menunjukkan daya belinya terhadap mata uang luar negeri meningkat, dan sebaliknya. Jadi, apabila terjadi apresiasi mata uang domestik, maka katakanlah nilai tukar Rupiah dengan US Dollar mengalami penguatan dari 1 Rupiah per 0,0000729927 per USD menjadi 1 Rupiah per 0,00008 USD atau 1 USD per 12500 Rupiah. Begitupun jika terjadi depresiasi, katakanlah nilai tukar Rupiah dengan US Dollar mengalami pelemahan dari 1 Rupiah per 0,0000729927 per USD
menjadi 1 Rupiah per 0,00007 per USD atau 1 USD per 14285 Rupiah.
Dalam melakukan perdagangan antara barang domestik dengan luar negeri tergantung dari harga barang domestik tersebut dalam mata uang domestik dan pada nilai tukar yang berlaku. Saat apresiasi atau nilai tukar Rupiah terhadap USD meningkat, katakanlah seperti contoh di atas 1 Rupiah per 0,00008 USD atau 1 USD per 12500 Rupiah. Barang-barang domestik (dalam harga Rupiah) dapat dibeli dengan nilai USD yang semakin besar dibandingkan sebelumnya. Akibatnya, orang asing akan melihat harga barang domestik di negara kita menjadi relatif lebih mahal dari barang di negaranya atau dapat menyebabkan ekspor negara kita menjadi berkurang.
Begitupun, penduduk domestik melihat harga barang-barang di luar negeri menjadi relatif lebih murah dibandingkan harga barang domestik karena barang luar negeri dapat dibeli dengan menukarkan lebih sedikit nilai Rupiah-nya dibandingkan sebelumnya. Akibatnya, penduduk domestik akan melihat harga barang luar negeri menjadi relatif lebih murah daripada barang di negaranya sendiri. Kondisi tersebut dapat menyebabkan impor kita menjadi lebih tinggi. Kondisi sebaliknya terjadi apabila Rupiah mengalami depresiasi terhadap US Dollar.
Dampak Apresiasi Mata Uang Rupiah- US Dollar terhadap Ekspor
Misalkan P1 adalah harga ekspor yang diterapkan negara Indonesia terhadap negara tujuan. Kurva permintaan dan
penawaran ekspor negara Indonesia adalah D1 dan S1. Kurva permintaan dan penawaran ekspor negara tujuan adalah D2 dan S2. Saat terjadi apresiasi mata uang domestik, harga barang Indonesia (dalam US Dollar) di luar negeri menjadi lebih mahal dibandingkan sebelumnya, sehingga permintaan ekspor dari negara tujuan berkurang (garis D2 bergeser ke kiri dari D2 menjadi D2*). Hal tersebut mengakibatkan jumlah permintaan ekspor di negara tujuan berkurang dari QD2 menjadi QD2*. Oleh karenanya, terjadi penurunan ED sebesar
EDapr.
Di sisi lain, harga barang di luar negeri relatif lebih murah. Karena industri Indonesia lebih banyak mengimpor bahan baku untuk produksi industri, maka eksportir lokal merespon apresiasi tersebut dengan meningkatkan penawaran (garis S1 bergeser ke kanan dari S1 menjadi S1*). Hal tersebut mengakibatkan jumlah penawaran ekspor domestik meningkat dari QS1 menjadi QS1*. Oleh karenanya, terjadi peningkatan ES sebesar ESapr. Dan secara keseluruhan ekspor Indonesia berkurang dari QDw menjadi QDw* seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.
Dampak Depresiasi Mata Uang Rupiah- US Dollar terhadap Ekspor
Saat terjadi depresiasi mata uang domestik, harga barang Indonesia (dalam US Dollar) di luar negeri menjadi lebih murah dibandingkan sebelumnya, sehingga permintaan ekspor dari negara tujuan meningkat (garis D2 bergeser ke kanan dari D2 menjadi D2*). Hal tersebut
mengakibatkan jumlah permintaan ekspor di negara tujuan meningkat dari QD2 menjadi QD2*. Oleh karenanya, terjadi peningkatan ED sebesar EDdepr.
Di sisi lain, harga barang di luar negeri relatif lebih mahal dan karena industri Indonesia mengimpor bahan baku, maka eksportir lokal merespon depresiasi tersebut dengan mengurangi penawaran (garis S1 bergeser ke kiri dari S1 menjadi S1*). Hal tersebut mengakibatkan jumlah penawaran ekspor domestik berkurang dari QS1 menjadi QS1*. Apabila Oleh karenanya, terjadi penurunan ES sebesar ESdepr. Dan secara keseluruhan ekspor Indonesia meningkat dari QDw menjadi QDw* seperti yang ditunjukkan pada gambar 3.
Dampak Asimetris Nilai Tukar terhadap Ekspor
Kedua gambar sebelumnya menunjukkan bahwa peningkatan dan penurunan ekspor simetris atau sama ketika terjadi apresiasi dan depresiasi domestik. Apabila elastisitas penawaran dan permintaan ekspor saat apresiasi dan depresiasi di domestik dan negara tujuan berbeda mengakibatkan dampak tersebut juga berbeda atau asimetris terhadap ekspor. Misalkan ketika depresiasi Rupiah-US Dollar penawaran ekspor lebih elastis (karena biaya produksi akibat impor meningkat) dibandingkan saat apresiasi (ES depresiasi > ES apresiasi), maka dapat menyebabkan ES depresiasi > ES apresiasi. Apabila misalkan elastisitas permintaan ekspornya di negara tujuan sama ketika terjadi apresiasi dan depresiasi
domestik, maka ketika depresiasi peningkatan jumlah ekspornya menjadi lebih kecil dibandingkan ketika apresiasi, yang menurunkan ekspornya jauh lebih besar. Secara garis besar dampaknya dapat dilihat pada gambar 4.
Meskipun begitu, dampak asimetris yang ditimbulkan tetap harus melihat dari sisi permintaan ekspornya. Apabila elastisitas permintaan ekspornya di negara tujuan juga berbeda ketika apresiasi dan depresiasi domestik, maka jumlah ekspornya pun dapat memiliki hasil yang berbeda. Untuk mempermudah dalam melihat dampaknya asimetris atau tidak, cukup dengan melihat dari salah satu sisi saja (misalkan dari penawaran ekspor domestik).
TINJAUAN EMPIRIS
Beberapa studi telah meneliti tentang dampak asimetris apresiasi dan depresiasi nilai tukar terhadap ekspor. Bahmani- Oskooee dan Baek (2016) meneliti dampak asimetris apresiasi dan depresiasi nilai tukar terhadap trade balance bilateral Korea dengan US di 79 sektor industri level 3 digit pada tahun 1989-2014. Hasil yang diperoleh adalah apresiasi dan depresiasi nilai tukar memiliki besaran dan dampak yang berbeda terhadap trade balance di setiap sektor.
Dalam jangka pendek dampak asimetris apresiasi dan depresiasi hanya signifikan di 21 sektor industri dan dalam jangka panjang signifikan pada 42 sektor industri. Dia juga membuktikan bahwa apresiasi dan depresiasi lebih berdampak signifikan terhadap perdagangan dibandingkan dengan penggunaan model nilai tukar yang simetris.
Arize et al (2017) meneliti pengaruh apresiasi dan depresiasi nilai tukar terhadap trade balance secara agregat di masing- masing negara Rusia, Cina, Singapura, Israel, Pakistan, Korea, Malaysia, dan Filipina tahun 1980-2013. Dalam jangka panjang trade balance di semua negara dipengaruhi oleh apresiasi dan depresiasi dan dampaknya asimetris. Apresiasi berdampak positif di negara Cina, Israel, Korea, Pakistan, Rusia, dan Singapura dan berdampak negatif di negara Malaysia dan Filipina. Sedangkan depresiasi berdampak positif hanya di negara Korea, Pakistan, dan Rusia dan berdampak negatif di negara Cina, Singapura, Israel, Malaysia, dan Filipina.
Bahmani-Oskooee dan Aftab (2017a) meneliti dampak asimetris nilai tukar terhadap trade balance bilateral Malaysia- Cina pada 59 sektor industri tahun 2001- 2015. Dia membuktikan bahwa dengan menggunakan model non linear hampir sepertiga sektor industri terpengaruh dengan depresiasi ringgit terhadap yuan, dengan hasil yang asimetris. Sektor industri terbesar, yang menyumbang lebih dari 25%
perdagangan, mendapat keuntungan dari depresiasi tersebut dan tidak merasakan dampak oleh adanya apresiasi. Dia membuktikan penelitian sebelumnya yang bias karena menggunakan agregasi trade balance dan tidak menemukan hubungan jangka panjang yang signifikan.
Bahmani-Oskooee dan Aftab (2017b) menggunakan model non linear dengan membedakan dampak antara apresiasi dan depresiasi nilai tukar terhadap trade balance
bilateral Malaysia-Uni Eropa di 63 sektor industri tahun 2000-2013 untuk membuktikan fenomena kurva-J ketika terjadi depresiasi. Hasil yang didapatkan adalah perubahan nilai tukar (apresiasi dan depresiasi) memiliki dampak jangka pendek yang signifikan dan asimetris terhadap trade balance hampir di seluruh sektor industri.
Lebih lanjut mereka juga menemukan pembuktian dari adanya fenomena kurva-J pada beberapa sektor industri, yaitu dengan adanya depresiasi nilai tukar trade balance berkurang dalam jangka pendek, tetapi akan meningkat dalam jangka panjang.
Bahmani-Oskooee dan Aftab (2017c) meneliti dampak apresiasi dan depresiasi nilai tukar terhadap bilateral ekspor dan impor sektor industri di Malaysia dengan Uni Eropa tahun 2000-2013. Sektor industri untuk ekspor terdiri dari 81 sektor dan dan 66 sektor untuk impor. Hasil yang diperoleh adalah dalam jangka panjang apresiasi atau depresiasi hanya berpengaruh signifikan pada 36 sektor ekspor industri dan 25 sektor impor industri dan trade flow-nya memiliki reaksi yang berbeda (asimetris) terhadap apresiasi dan depresiasi.
Selanjutnya, Bahmani-Oskooee dan Aftab (2017d) meneliti dampak apresiasi dan depresiasi nilai tukar terhadap bilateral ekspor dan impor sektor industri di Malaysia dengan US tahun 2001-2015. Sektor industri untuk ekspor terdiri dari 54 sektor dan 63 sektor untuk impor. Hasil yang diperoleh adalah dalam jangka pendek dan jangka panjang apresiasi dan depresiasi memiliki dampak yang signifikan dan asimetris terhadap sepertiga dari sektor (ekspor dan
impor) industri di Malaysia dengan besaran dan tanda yang berbeda pada masing- masing sektor. Dia berpendapat bahwa dampak asimetris dapat dikarenakan perubahan ekspektasi traders, dimana traders memilih untuk mengurangi perdagangannya ketika ketidakpastian karena perubahan nilai tukar meningkat sampai dengan perubahan nilai tukar menjadi lebih stabil.
Bahmani-Oskooee dan Halcioglu (2017) meneliti agregat perdagangan bilateral Turki dengan masing-masing negara partner utama (Kanada, Denmark, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, dan Belanda, Portugal, Spanyol, Inggris, dan US) pada tahun 1980- 2014. Dia kemudian memisahkan dampak apresiasi dan depresiasi nilai tukar dan mendapatkan bahwa depresiasi memberikan dampak positif terhadap trade balance Turki dengan negara Perancis, Jerman, Italia, Portugal, dan Inggris. Sedangkan apresiasinya tidak signifikan terhadap trade balance-nya.
Studi sebelumnya tentang dampak asimetris nilai tukar terhadap ekspor dilakukan di beberapa negara maju atau industri maju, negara berkembang, negara tidak berkembang, dan juga perdagangan bilateral antara satu negara dengan masing-masing negara partner utama ataupun bilateral- kawasan serta menggunakan data agregat ataupun disagregat sektor komoditas atau sektor industri. Hal tersebut dapat menghilangkan informasi tentang karakteristik masing-masing barang yang diekspor secara detail, begitupun dengan karakteristik atau perilaku serta kondisi
perekonomian seluruh negara partner-nya.
Oleh karena itu, peneliti ingin melakukan studi tentang pengaruh nilai tukar terhadap ekspor industri Indonesia dengan seluruh negara partner Indonesia selama tahun 2007-2016 menggunakan data disagregat pada level kode HS 10 digit.
Disini peneliti ingin meneliti pengaruh apresiasi dan depresiasi terhadap ekspor industri di Indonesia dan apakah keduanya memiliki dampak asimetris terhadap ekspor industri di Indonesia. Kemudian melihat dampak tersebut manakah yang lebih besar antara apresiasi dan depresiasi terhadap ekspor.
SUMBER DATA
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data ekspor dan impor industri dari Indonesia ke seluruh negara tujuan, nilai tukar Indonesia dengan mata uang US Dollar, nilai tukar negara tujuan ekspor dengan mata uang US Dollar, Gross Domestic Product (GDP) atau Produk Domestik Bruto (PDB) seluruh negara tujuan ekspor, inflasi pada negara tujuan
ekspor, populasi negara tujuan ekspor, dan jarak antara Indonesia dengan negara tujuan ekspor.
Data ekspor dan impor industri diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang mana merupakan data disagregat ekspor dan impor industri bulanan dari tahun 2007 sampai tahun 2016 dengan kode HS level 10
digit. Data nilai tukar Indonesia dan negara tujuan ekspor terhadap US Dollar diperoleh dari International Monetary Fund (IMF) yang merupakan rata-rata bulanan nilai tukar tahun 2007 sampai dengan tahun 2016.
PDB tahunan negara tujuan ekspor diperoleh dari World Integrated Trade Solution (WITS). Inflasi negara tujuan dan populasi negara tujuan ekspor diperoleh dari World Bank dan jarak Indonesia dengan negara tujuan ekspor diperoleh dari CEPII database.
MODEL PENELITIAN
Variabel utama yang akan dianalisis dan dilihat pengaruhnya terhadap ekspor adalah nilai tukar Rupiah dengan US Dollar ketika terjadi apresiasi dan depresiasi. Apresiasi dan depresiasi diperoleh dengan mengadopsi metode yang digunakan oleh Bahmani-Oskooee dan Baek (2016) dan Bahmani-Oskooee dan Aftab (2017a, 2017c), yaitu:
Aprt (Deprt) adalah apresiasi (depresiasi) mata uang Indonesia-US Dollar pada waktu ke-t, dimana merupakan jumlah parsial
ketika terjadi perubahan positif (negatif) dari nilai tukar antara tahun ke-t dengan tahun sebelumnya. Dikarenakan dalam memproduksi sektor industri membutuhkan waktu untuk proses, stok barang, logistik dan lain-lain, maka apresiasi dan depresiasi nilai tukar yang dilihat adalah apresiasi dan depresiasi pada bulan sebelumnya atau t-1.
𝐴𝑝𝑟𝑡=∑𝑡𝑗=1∆𝐿𝑛𝐸𝑅+=∑𝑡𝑗=1𝑚𝑎𝑥(∆𝐿𝑛𝐸𝑅, 0)……….… (1) 𝐷𝑒𝑝𝑟𝑡= ∑𝑡𝑗=1∆𝐿𝑛𝐸𝑅−=∑𝑡𝑗=1𝑚𝑖𝑛(∆𝐿𝑛𝐸𝑅, 0)……… (2)
Disini apresiasi dan depresiasi yang diperhitungkan selain apresiasi dan depresiasi mata uang Rupiah-US Dollar adalah apresiasi dan depresiasi mata uang negara tujuan ekspor terhadap US Dollar.
Hal ini dikarenakan dalam melakukan transaksi perdagangan, baik di Indonesia ataupun di negara tujuan ekspor, mata uang yang digunakan adalah US Dollar.
Indonesia menerima US Dollar sebagai hasil dari penjualan ekspor barangnya, sedangkan negara tujuan membeli barang dan membayarnya dalam mata uang US Dollar.
Sehingga yang mempengaruhi transaksi perdagangan (ekspor) adalah mata uang Rupiah dengan US Dollar dan mata uang masing-masing negara tujuan dengan US
Dollar. Perhitungan untuk apresiasi dan depresiasi negara tujuan hampir sama dengan persamaan (1) dan (2) di atas, yaitu:
Variabel kontrol adalah impor komoditas industri di Indonesia, yaitu total impor bulanan pada level HS 2 digit. Misalkan untuk ekspor produk HS 10 digit tertentu dipengaruhi oleh impor komoditasnya pada level HS 2 digit. Hal tersebut dikarenakan sektor industri di Indonesia masih mengandalkan impor bahan baku dan penolong untuk memproduksi yang dapat ditunjukkan melalui grafik impor bahan baku dan penolong tersebut.
Impor bahan baku dan penolong untuk sektor industri dari tahun ke tahun menunjukkan kecenderungan meningkat.
Secara rata-rata dari tahun 1989 s.d. 2016 impor bahan baku dan penolong mencapai 74% dibandingkan dengan impor barang modal 19% dan barang konsumsi 7%. Hal tersebut menunjukkan bahwa sektor industri di Indonesia memang sangat tergantung kepada impor bahan baku dan penolong dalam memproduksi. Semakin besar impor industri di Indonesia semakin besar kemampuan industri lokal dalam memproduksi dan mengekspor.
GDP negara tujuan ekspor menunjukkan kemampuan negara tujuan dalam mengimpor barang-barang dari Indonesia.
Semakin besar GDP negara tujuan semakin meningkat juga daya beli impornya,
𝐴𝑝𝑟𝑗,𝑡= ∑𝑡𝑗=1∆𝐿𝑛𝐸𝑅𝑗+ = ∑𝑡𝑗=1𝑚𝑎𝑥(∆𝐿𝑛𝐸𝑅𝑗, 0)……… (3) 𝐷𝑒𝑝𝑟𝑗,𝑡 = ∑𝑡𝑗=1∆𝐿𝑛𝐸𝑅𝑗− = ∑𝑡𝑗=1𝑚𝑖𝑛(∆𝐿𝑛𝐸𝑅𝑗, 0) ….… (4)
sehingga ekspor Indonesia menjadi meningkat. Populasi negara tujuan yang semakin meningkat dapat menyebabkan permintaan atau konsumsi di negara tujuan ikut meningkat. Inflasi menunjukkan perubahan kenaikan harga barang yang terjadi di suatu negara. Semakin meningkat inflasi di negara tujuan membuat harga- harga barang di negara tujuan menjadi semakin mahal, sehingga permintaannya impornya atau ekspor Indonesia meningkat.
Sedangkan jarak menentukan biaya atau cost yang berdampak pada harga barang.
Semakin jauh jarak Indonesia dengan negara
tujuan, maka harga barang juga semakin mahal karena biaya transportasi yang semakin mahal. Akibatnya permintaan ekspor dapat berkurang. Untuk variabel waktu merupakan proxy dari harga relatif barang domestik terhadap barang luar negeri yang semakin lama semakin meningkat.
Variabel kontrol dalam model penelitian,
seperti GDP, inflasi, dan populasi yang digunakan diambil dari sisi negara tujuan, karena dari sisi domestik variabel tersebut tidak memiliki cukup variasi. Secara ringkas model penelitian yang digunakan adalah model panel ekspor dengan mengadopsi model gravitasi Dell’Ariccia (1999), Abidin et al. (2013), dan Karagoz (2016) sebagai berikut:
dimana:
Xi,j,t = ekspor dengan kode HS i ke
negara tujuan j pada bulan ke-t;
Mt = impor komoditas industri
Indonesia pada bulan ke-t;
APRINDt-1 = apresiasi Rupiah terhadap US Dollar pada bulan ke-t-1;
DEPRINDt-1 = depresiasi Rupiah terhadap US Dollar pada bulan ke-t-1;
APRNGRj,t = apresiasi mata uang negara tujuan terhadap US Dollar pada bulan ke-t;
𝑙𝑛𝑋𝑖,𝑗,𝑡= 𝛼0+ 𝛼1𝑙𝑛𝑀𝑡+ 𝛼2𝐴𝑃𝑅𝐼𝑁𝐷𝑡−1+ 𝛼3𝐷𝐸𝑃𝑅𝐼𝑁𝐷𝑡−1+ 𝛼4𝐴𝑃𝑅𝑁𝐺𝑅𝑗,𝑡+ 𝛼5𝐷𝐸𝑃𝑅𝑁𝐺𝑅𝑗,𝑡+ 𝛼6𝑙𝑛𝐺𝐷𝑃𝑗,𝑡+ 𝛼7𝐼𝑁𝐹𝑁𝐺𝑅𝑗,𝑡+ 𝛼8𝑙𝑛𝑃𝑂𝑃𝑈𝐿𝑗,𝑡+ 𝛼9𝐷𝐼𝑆𝑇𝑗 + 𝑇 +
𝜀𝑖,𝑗,𝑡…..(5)
Sumber : BPS (diolah)
Grafik 3. Impor bahan baku dan penolong, barang modal, dan komsumi (juta USD)
0.00 50 000.00 100 000.00 150 000.00 200 000.00 250 000.00
1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Barang Konsumsi Bahan Baku dan Barang Penolong Barang Modal Jumlah
𝑙𝑛𝑋𝑖,𝑗,𝑡 = 𝛼0+ 𝛼1𝑙𝑛𝑀𝑡+ 𝛼2𝐴𝑃𝑅𝐼𝑁𝐷𝑡−1+ 𝛼3𝐷𝐸𝑃𝑅𝐼𝑁𝐷𝑡−1+ 𝛼4𝐴𝑃𝑅𝑁𝐺𝑅𝑗,𝑡+ 𝛼5𝐷𝐸𝑃𝑅𝑁𝐺𝑅𝑗,𝑡+ 𝛼6𝑙𝑛𝐺𝐷𝑃𝑗,𝑡+ 𝛼7𝐼𝑁𝐹𝑁𝐺𝑅𝑗,𝑡+ 𝛼8𝑙𝑛𝑃𝑂𝑃𝑈𝐿𝑗,𝑡+ 𝛼9𝐷𝐼𝑆𝑇𝑗 + 𝑇 + 𝜀𝑖,𝑗,𝑡
….. (5)
DEPRNGRj,t = depresiasi mata uang negara tujuan terhadap US Dollar pada bulan ke-t;
GDPj,t = GDP negara tujuan j pada tahun ke-t;
INFNGRj,t = inflasi negara tujuan j pada tahun ke-t;
POPULj,t = populasi negara tujuan j pada tahun ke-t;
DISTj = jarak Indonesia dengan negara tujuan j;
T = waktu
i,j,t = error term.
HASIL DAN ANALISIS
Estimasi Koefisien Fungsi Ekspor
Estimasi dari nilai koefisien fungsi ekspor menggunakan persamaan (5). Dataset yang akan digunakan untuk proses estimasi merupakan unbalanced panel data dengan observasi dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2016. Statistik deskriptif untuk fungsi ekspor industri (dalam bentuk logaritma natural) yang diobservasi dapat dilihat pada tabel 1.
Peneliti menggunakan software Stata versi 12.0 dan hasil dari pengujian metode fixed effect (FE) pada gambar 5 didapatkan Prob>F=0.0000 lebih kecil dari alpha (sangat signifikan secara statistik). Hal ini menunjukkan hipotesis nol (tidak ada individual effect) ditolak, sehingga metode FE lebih baik dari OLS Pooled. Kemudian, untuk menentukan mana yang lebih baik antara metode Random Effect (RE) dan FE digunakan pengujian Hausman seperti pada gambar 6 dan 7.
Hasil yang diperoleh dari pengujian Hausman pada lampiran diperoleh Prob>chi
= 0.0000, yang menunjukkan hipotesis nol (tidak ada korelasi individual effect dengan variabel bebas) ditolak. Dengan demikian, metode RE tidak tepat karena individual effect atau unobserved component kemungkinan terkorelasi dengan satu atau lebih variabel bebas. Dalam hal ini, metode FE lebih baik daripada RE. Hasil estimasi koefisien fungsi ekspor tersebut ditunjukkan dalam tabel 2.
Pada tabel 2 dapat dilihat bahwa level signifikansi pada estimator FE berbeda, dimana semua variabel signifikan pada level 0,1% kecuali impor komoditas signifikan pada level 1% dan variabel waktu sebagai proxy dari harga relatif yang tidak signifikan. Untuk jarak karena tidak bervariasi antar waktu (time invariants) dan metode yang digunakan adalah metode FE, maka variabel jarak harus dikeluarkan pada model (omitted variabel).
Selain itu, dapat dilihat bahwa peningkatan impor sebesar 1% akan meningkatkan ekspor industri sebesar 0,0055% (ceteris paribus). Peningkatan GDP negara tujuan sebesar 1% akan meningkatkan ekspor industri sebesar 0,42% (ceteris paribus).
Peningkatan populasi di negara tujuan sebesar 1% akan meningkatkan ekspor sebesar 0,056% dan peningkatan inflasi di negara tujuan sebesar 1% akan meningkatkan ekspor sebesar 0,007%
(ceteris paribus).
Peningkatan apresiasi Rupiah dengan US Dollar sebesar 1% akan menurunkan ekspor
industri sebesar 1,8% (ceteris paribus) dan peningkatan depresiasi Rupiah dengan US Dollar sebesar 1% akan meningkatkan ekspor industri sebesar 1,16% (ceteris paribus). Peningkatan apresiasi mata uang negara tujuan dengan US Dollar sebesar 1%
akan meningkatkan impor negara tujuan atau ekspor Indonesia sebesar 0,64% (ceteris paribus) dan peningkatan depresiasi mata uang negara tujuan dengan US Dollar sebesar 1% akan mengurangi impor negara tujuan atau ekspor Indonesia sebesar 0,8%
(ceteris paribus).
Analisis Koefisien Fungsi Ekspor
Koefisien fungsi ekspor yang didapatkan dari estimasi sesuai dengan yang diharapkan, kecuali waktu sebagai proxy dari harga relatif yang tidak signifikan.
Dampak dari impor komoditas adalah positif dan signifikan terhadap ekspor. Hal ini dikarenakan semakin tinggi impor komoditas industri semakin meningkat produksi industri dalam negeri, sehingga semakin besar produksi yang dihasilkan untuk di ekspor. Dampak dari GDP negara tujuan juga positif dan signifikan terhadap ekspor industri. Artinya semakin tinggi GDP negara tujuan, semakin meningkat daya beli dan kemampuan negara tujuan tersebut untuk mengimpor produk industri dari Indonesia, sehingga nilai ekspor Indonesia semakin meningkat.
Dampak populasi negara tujuan adalah positif dan signifikan terhadap ekspor yang menunjukkan bahwa semakin meningkat jumlah penduduk di negara tujuan, maka semakin meningkat permintaan impor dari
negara tersebut. Dengan kata lain, meningkatnya impor negara tujuan dapat meningkatkan ekspor Indonesia. Dampak inflasi negara tujuan adalah positif dan signifikan terhadap ekspor. Semakin meningkat inflasi di negara tujuan membuat harga barang di negara tujuan menjadi semakin mahal, sehingga meningkatkan permintaan impor barang luar negeri di negara tujuan atau meningkatkan ekspor Indonesia.
Apresiasi mata uang negara tujuan dengan US Dollar berdampak positif dan signifikan terhadap ekspor. Ini dapat disebabkan karena apresiasi membuat harga barang di negara tujuan relatif lebih mahal, sehingga mereka memilih untuk mengimpor barangnya dari negara lain. Selain itu, penduduk asing membeli barang impor dari Indonesia berupa US Dollar, sedangkan karena adanya apresiasi mata uang mereka, membuat mereka dapat membeli US Dollar dengan murah untuk membayar barang impor. Sehingga kemampuan mereka akan meningkat dalam melakukan impor atau permintaan ekspor Indonesia di negara tujuan akan meningkat. Begitupun sebaliknya ketika terjadi depresiasi di negara tujuan.
Untuk variabel utama apresiasi Rupiah dengan US Dollar didapatkan hubungan negatif dan signifikan terhadap ekspor industri. Hal ini dikarenakan adanya apresiasi membuat harga barang Indonesia (dalam US Dollar) di luar negeri menjadi lebih mahal dibandingkan sebelumnya, sehingga permintaan ekspor dari negara tujuan dapat berkurang. Semakin besar
apresiasi nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar, maka ekspor industri semakin berkurang.
Untuk depresiasi Rupiah dengan US Dollar didapatkan hubungan positif dan signifikan terhadap ekspor industri. Hal ini dikarenakan adanya depresiasi membuat harga barang kita di negara tujuan menjadi lebih murah dari sebelumnya, sehingga permintaan ekspor negara tujuan meningkat.
Semakin meningkat nilai depresiasi, maka ekspor Indonesia akan semakin meningkat.
ANALISIS DAMPAK ASIMETRIS NILAI TUKAR TERHADAP EKSPOR Untuk melihat apakah dampak apresiasi dan depresiasi Rupiah terhadap US Dollar berbeda atau asimetris terhadap ekspor industri, peneliti menggunakan Wald-test dengan hipotesis nol H0 adalah dampak dari apresiasi dan depresiasi simetris dan H1
adalah asimetris. Hasil pada gambar 8 menunjukkan Prob>F=0.0000 lebih kecil dari alpha atau signifikan secara statistik.
Hal ini menunjukkan hipotesis nol ditolak atau dengan kata lain dampak apresiasi dan depresiasinya asimetris.
Dari tabel 2 menunjukkan bahwa dampak peningkatan apresiasi domestik sebesar 1%
akan berdampak pada penurunan ekspor industri sebesar 1,8% (ceteris paribus) dan peningkatan depresiasi sebesar 1% akan berdampak pada peningkatan ekspor industri sebesar 1,16% (ceteris paribus).
Dengan kata lain, dampak negatif apresiasi lebih besar daripada dampak positif depresiasinya. Elastisitas penawaran dan permintaan ekspor saat apresiasi dan
depresiasi yang berbeda menyebabkan adanya dampak asimetris tersebut terhadap ekspor.
Ketika terjadi apresiasi domestik membuat barang di Indonesia relatif lebih mahal.
Dengan adanya peningkatan harga barang di Indonesia, negara tujuan akan merespon peningkatan harga tersebut. Dengan adanya persaingan di pasar internasional sedikit kenaikan harga barang di Indonesia membuat negara tujuan beralih ke produk domestik di negara tujuan mereka atau bahkan mengimpor barang dari negara lain.
Akibatnya permintaan ekspornya lebih elastis ketika apresiasi domestik. Sedangkan karena industri Indonesia banyak mengimpor bahan baku mereka melihat barang impor lebih murah, sehingga peningkatan penawarannya kurang elastis atau elastisitasnya lebih kecil karena mereka berupaya menghindari risiko akibat permintaan ekspor yang berkurang.
Akibatnya apresiasi domestik berdampak mengurangi ekspor lebih besar karena permintaan ekspornya yang menurun lebih elastis.
Ketika terjadi depresiasi domestik membuat barang di dalam negeri lebih murah, sehingga permintaan ekspor di negara tujuan meningkat. Akan tetapi, apabila terjadi persaingan di pasar internasional mengakibatkan elastisitas peningkatan permintaan ekspornya lebih kecil dibandingkan ketika terjadi apresiasi domestik. Sedangkan karena barang di luar negeri relatif lebih mahal dan karena industri Indonesia banyak mengimpor bahan baku, industri melihat barang impor menjadi lebih
mahal. Hal tersebut mengakibatkan penawaran ekspornya menjadi lebih elastis dalam merespon depresiasi dibandingkan elastisitas permintaan ekspor ketika apresiasi. Oleh karena itu, ketika depresiasi domestik dampak meningkatkan ekspornya lebih sedikit karena penawaran ekspornya lebih elastis dibandingkan permintaannya.
KESIMPULAN
Hasil yang didapatkan dari penelitian ini didapatkan bahwa impor komoditas industri, GDP negara tujuan, populasi negara tujuan, apresiasi mata uang negara tujuan, dan inflasi negara tujuan memberikan dampak yang signifikan positif terhadap ekspor industri Indonesia. Sedangkan depresiasi mata uang negara tujuan memberikan dampak yang signifikan negatif terhadap ekspor industri Indonesia.
Hasil utama diperoleh bahwa apresiasi mata uang domestik dapat mengurangi ekspor industri dan depresiasi meningkatkan ekspor industri, dimana dampak keduanya berbeda (asimetris) terhadap ekspor industri.
Dampak negatif apresiasi lebih besar daripada dampak positif depresiasinya.
Ketika apresiasi domestik permintaan ekspornya lebih elastis karena adanya persaingan di pasar internasional yang membuat negara lain beralih ke produk domestik di negara tujuan mereka atau bahkan mengimpor barang dari negara lain dan penawarannya kurang elastis atau elastisitasnya lebih kecil karena upaya menghindari risiko akibat permintaan ekspor yang berkurang meskipun harga barang impor lebih murah. Sedangkan
ketika depresiasi karena persaingan di pasar internasional mengakibatkan elastisitas peningkatan permintaan ekspornya lebih kecil dibandingkan ketika terjadi apresiasi domestik. Selain itu, penawaran ekspornya menjadi lebih elastis karena industri melihat barang impor menjadi lebih mahal yang dapat meningkatkan biaya produksi.
Penelitian ini memiliki keterbatasan dalam meneliti pengaruh kebijakan perdagangan, baik yang berlaku di dalam negeri maupun di negara tujuan ekspor seperti tarif bea keluar ataupun tarif bea masuk yang berlaku di negara tujuan ekspor, perjanjian perdagangan bilateral atau perdagangan dalam suatu kawasan tertentu seperti AFTA, AC-FTA dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, I.S.H., et al (2013). The Determinant of Exports between Malaysia and the OIC Member Countries: A Gravity Model Approach. Procedia Economics and Finance 5, 12-19.
Adam, P., et al (2017). A Model of the Dynamic of the Relationship between Exchange Rate and Indonesia’s Export. International Journal of Economics and Financial Issues 7(1), 255-261.
Arize, A.C., et al. (2017). Do exchange rate changes improve the trade balance:
An Asymmetric Nonlinear Cointegration Approach.
International Review of Economics and Finance 49, 313-326.
Bahmani-Oskooee M. dan Baek, J. (2016).
Do exchange rate changes have symmetric or asymmetric effects on the trade balance? Evidence from U.S.–Korea commodity trade Small.
Journal of Asian Economics 45, 15- 30.
aBahmani-Oskooee M. dan Aftab, M.
(2017). Asymmetric effects of exchange rate changes on the Malaysia-China Commodity Trade.
Economic Systems.
bBahmani-Oskooee M. dan Aftab, M.
(2017). Asymmetric effects of exchange rate changes on the Malaysia-EU trade: evidence from industry data. Empirica 44, 339-365.
cBahmani-Oskooee M. dan Aftab, M.
(2017). Malaysia-EU trade at the industry level: Is there an asymmetric response to exchange rate volatility?
Empirica.
dBahmani-Oskooee M. dan Aftab, M.
(2017). On the asymmetric effects of exchange rate volatility on trade flows: New evidence from US- Malaysia trade at the industry level.
Economic Modelling 63, 86-103.
Bahmani-Oskooee M. dan Halicioglu, F.
(2017). Asymmetric effects of exchange rate changes on Turkish bilateral trade balances. Economic Systems 41, 279-296.
Caglayan, M. dan Demir, F. (2013). Firm productivity,exchange rate movements, source of finance, and export orientation. World Development 54, 204-219.
Cheung, YW. dan Sengupta, R. Impact of exchange rate movements on exports:
An analysis of Indian non-financial sector firms. Journal of International Money and Finance 39, 231-245.
De Grauwe, P. (1988). Exchange Rate Variability and the Slowdown in Growth of International Trade. Staff Papers (International Monetary Fund) 35 (1), 63-84.
Fang, W.S., Lai, Y., dan Miller, S. M.
(2006). Export Promotion through Exchange Rate Changes: Exchange Rate Depreciation or Stabilization?
Southern Economic Journal 72 (3), 611-626.
Fountas, S. dan Aristotelous, K. (2005). The impact of the exchange rate regime on exports: Evidence from the European monetary systems. Journal of Economic Integration 20(3), 567-589.
Hooy, C. W., et al (2015). The impact of the Renminbi real exchange rate on ASEAN disggregated exports to China. Economic Modelling 47, 253- 259.
Karagoz, K. (2016). Determining Factors of Turkey’s Export Performance:an Empirical Analysis. Procedia Economics and Finance 38, 446-457.
Kemal, M.A. dan Qadir, U. (2005). Real exchange rate, exports, and imports movements: A trivariate analysis. The Pakistan Development Review, 44(2), 177-195.
Nyeadi, J.D., et al. (2014). The impact of exchange rate movement on export:
Empirical evidence from Ghana.
International Journal of Academic Research in Accounting, Finance, and Management Sciences 4(3), 41-48.
Sharma, K. (2003). Factors determining India’s export performance. Journal of Asian Economics 14, 435-446.
Tabel 1. Statistik Deskriptif Fungsi Ekspor (2007 s.d. 2016)
Variable Mean Std. Dev. Min Max Observations
X 9.555401 3.010892 -5.521461 22.08772 2816388
M 22.64156 0.7976239 20.61756 24.29695 9167907
APRIND-1 0.0062436 0.123481 0 0.0721154 9123299
DEPRIND-1 -0.0092559 0.174132 -0.1531329 0 9123299
APRNGR 0.0066353 0.011655 0 0.1294023 6465192
DEPRNGR -0.0078894 0.0153056 -0.649233 0 6469100
GDP 27.04038 2.047165 17.11247 30.55252 8610969
POPUL 6.031369 0.9733145 4.751862 10.86387 8742163
INFNGR 3.461509 87.92555 -35.83668 24411.03 8498391
T 201198.3 269.7565 200701 201612 9167907
DIST 8.717984 0.8054622 6.194654 9.892039 9136635
Tabel 2. Hasil Estimasi Fungsi Ekspor
Gambar 1. Kurva Perdagangan Internasional Sumber : (Salvatore, 1997)
Gambar 6. Kurva Perdagangan Internasional
Gambar 6 memperlihatkan sebelum terjadinya perdagangan internasional harga di Indonesia sebesar PI sedangkan di Uni Eropa sebesar PU. Penawaran di pasar internasional akan terjadi jika harga internasional lebih tinggi dari PI sedangkan permintaan di pasar internasional akan terjadi jika harga internasional lebih rendah dari PU. Pada saat harga internasional sama dengan PI atau PU maka tidak terjadi perdagangan internasional. Apabila harga internasional lebih besar dari PI maka terjadi excess supply (ES) di Indonesia dan apabila harga internasional lebih rendah dai PU maka terjadi excess demand (ED) di Uni Eropa.
Dengan demikian, dari keseimbangan di Indonesia dan keseimbangan di Uni Eropa akan terbentuk kurva ES dan ED di pasar internasional, dimana perpotongan antara kurva ES dan ED akan menentukan harga yang terjadi di pasar internasional yaitu sebesar P.
2.3.2 Teori Permintaan Ekspor
Teori permintaan ekspor bertujuan untuk menentukan faktor yang mempengaruhi permintaan. Permintaan ekspor suatu negara merupakan selisih antara produksi atau penawaran domestik dikurangi dengan konsumsi atau
P
Indonesia Uni Eropa
Harga Harga
PI
PU ES
ED Du
Di
Su
Ekspor Si
Impor Harga
Gambar 2. Dampak Apresiasi Rupiah-US Dollar terhadap Ekspor
P1
QD1 QS1
QS2 QD2
QDWQDW* QD2*
S1
ES
ED
ED* D2* D2
D1
S2
Indonesia Dunia Negara Tujuan
ES*
S1*
QS1*
D ES apr D ED apr
Gambar 4. Dampak Asimetris karena Depresiasi (atas) dan Apresiasi (bawah) terhadap Ekspor
P1
QD1 QS1
QS2 QD2 QDW QDW*
QS1*
QD2*
S1* S1
ES ES*
ED ED*
D2 D2*
D1
S2
Indonesia Dunia Negara Tujuan
D ES depr D ED depr
P1
QD1 QS1
QS2 QD2
QDWQDW* QD2*
S1
ES
ED
ED* D2* D2
D1
S2
Indonesia Dunia Negara Tujuan
ES*
S1*
QS1*
D ES apr D ED apr
Gambar 3. Dampak Depresiasi Rupiah-US Dollar terhadap Ekspor
P1
QD1 QS1
QS2 QD2 QDW QDW*
QS1*
QD2*
S1* S1
ES ES*
ED ED*
D2 D2*
D1
S2
Indonesia Dunia Negara Tujuan
D ES depr D ED depr
Gambar 5. Regresi FE
Gambar 6. Regresi RE
Gambar 7. Pengujian Hausman FE-RE
Gambar 8. Wald-Test Asimetris Apresiasi dan Depresiasi