• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

6 BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS

A. Kajian Pustaka 1. Perkembangan Sosial Emosional Anak Usia Dini

Perkembangan anak berkaitan dengan berbagai perubahan fungsional yang sifatnya kualitatif, baik dari fungsi fisik maupun mental yang di pengaruhi oleh lingkungan. Perkembangan juga sebagai suatu urutan perubahan yang bersifat sistematis dan saling mempengaruhi pada setiap aspek perkembangan anak.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menyatakan bahwa anak mengalami perkembangan yang paling pesat sepanjang sejarah kehidupannya yaitu pada masa usia emas yang berada pada usia 0 hingga 6 tahun. Masa ini membantu anak melewati tugas perkembangan untuk mencapai aspek perkembangan anak, adapun aspek perkembangan anak meliputi aspek Nilai Agama dan Moral (NAM) , Fisik Motorik, Kognitif, Bahasa, Sosial Emosional, dan Seni.

Perkembangan sosial anak merupakan salah satu perkembangan yang cukup penting untuk diperhatikan. (Hurlock, 2000) mengatakan bahwa perkembangan sosial adalah perolehan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial. Perkembangan sosial menurut Allen dan Marotz (2010) adalah kemampuan yang mengacu pada perilaku dan respon individu terhadap orang lain. Perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial (Susanto, 2011). Kematangan sosial anak akan mengarahkan pada keberhasilan anak untuk lebih mandiri dan terampil dalam membangun hubungan sosial. Perkembangan Sosial Emosional (Feeney &

Collins, 2015) meliputi kompetensi sosial, kemampuan sosial, kognisi sosial, perilaku prososial serta penguasaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan moralitas.

(2)

Menurut Permendikbud No. 137 tahun 2014 tentang standar nasional PAUD di (Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2014), perkembangan sosial anak usia 5-6 tahun sebagai berikut :

Tabel 1. Standar Tingkat Pencapaian Perkembangan Anak Usia 5-6 Tahun (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2014) ASPEK PERKEMBANGAN STANDAR PENCAPAIAN

A. Kesadaran Diri 1. Memperlihatkan kemampuan diri untuk menyesuaikan dengan situasi

2. Memperlihatkan kehati-hatian kepada orang yang belum dikenal (menumbuhkan kepercayaan pada orang dewasa yang tepat)

3. Mengenal perasaan sendiri dan mengelolanya secara wajar (mengendalikan diri secara wajar)

B. Rasa tanggung jawab untuk diri sendiri dan orang lain

1. Tahu akan hak nya

2. Mentaati aturan kelas (kegiatan, aturan) 3. Mengatur diri sendiri

4. Bertanggung jawab atas perilakunya untuk kebaikan diri sendiri

C. Perilaku Prososial 1. Bermain dengan teman sebaya

2. Mengetahui perasaan temannya dan merespon secara wajar

3. Berbagi dengan orang lain

Paparan diatas menyimpulkan bahwa perkembangan anak usia dini yang memiliki peran penting salah satunya adalah perkembangan sosial emosional, yang akan mempengaruhi anak dalam melakukan interaksi efektif, berperilaku sesuai norma dan aturan sehingga tidak melanggar nilai tradisi

(3)

yang berlaku dalam masyarakat, dan mengetahui cara bersosialisasi yang benar dengan teman sebaya dan orang dewasa di sekitar lingkungan anak.

2. Kompetensi Sosial

a. Pengertian Kompetensi Sosial

Kompetensi sosial berfungsi sebagai salah satu indikator paling menonjol dari fungsi sosial emosional anak, sehingga perkembangan kompetensi sosial penting untuk anak usia dini. Keberhasilan individu dalam berinteraksi dengan orang lain merupakan indikator utama pada kompetensi sosial anak (Denham, 2006). Pembentukan kompetensi sosial pada anak usia prasekolah dianggap penting, karena anak yang mengalami kesulitan sosial akan menghadapi masalah sosial, emosional, dan perilaku yang tidak sesuai dengan tahap perkembangan anak yang akan berdampak pada kehidupan anak hingga dewasa. Anak yang menunjukkan masalah sosial seperti membangkang saat di sekolah akan membuat guru dan teman merasa tidak nyaman dengan perilaku anak (Fantuzzo, dkk., 2005).

Pellegrini dan Glickman (1991) mendefinisikan kompetensi sosial anak sebagai kemampuan anak untuk beradaptasi dengan lingkungan rumah maupun lingkungan sekolah (Tarsidi, 2001). Lamb dan Baumrind (1985) mengemukakan bahwa anak yang mampu merespon orang lain, ramah terhadap teman dan orang dewasa, mudah beradaptasi dengan lingkungan merupakan karakteristik anak yang memiliki kompetensi sosial. Kompetensi sosial juga mencakup kualitas pribadi yang fleksibel, mampu bergaul dengan orang lain yang memiliki perbedaan latar belakang budaya, memiliki rasa empati, keterampilan komunikasi, dan memiliki selera humor (Bernard, 1995).

Cavell (2003) menyebutkan kompetensi sosial sebagai kemampuanuntuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, penampilan sosial, dan keterampilan sosial (Luxemburg, 2018). Ogden (2006) menyatakan kompetensi sosial secara luas digambarkan sebagai

(4)

semua kemampuan yang berhubungan dengan interaksi sosial, dan secara sempit diartikan sebagai sebuah keterampilan atau karakter individu yang berkaitan dengan caranya berhubungan dengan orang lain.

Pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa kompetensi sosial adalah kemampuan individu untuk beradaptasi dan berinteraksi dengan lingkungan sosial, baik lingkungan rumah, sekolah atau masyarakat.

b. Aspek Kompetensi Sosial

Stefan, dkk (2009) menyebutkan ada tiga aspek dalam kompetensi sosial anak yaitu : 1) Kepatuhan terhadap aturan, kepatuhan terhadap aturan dianggap sebagai salah satu tugas perkembangan utama anak prasekolah (Wilburn, 2000). 2) Keterampilan interpersonal, keterampilan interpersonal mencerminkan kemampuan interaksi anak usia dini terhadap teman sebaya ataupun orang dewasa (Blankemeyer, Flannery, & Vaszonyi, 2002). Anak usia 5 tahun biasanya aktif dan senang berpartisipasi dalam bermain kooperatif. Anak senang melakukan interaksi dan bertukar gagasan tentang sebuah permainan dan menentukan peralatan apa saja yang akan mereka gunakan untuk bermain (Wilburn, 2000).

Bermain kooperatif berasal dari pemahaman anak tentangtimbal balik, sebagai dasar membangun dan memelihara persahabatan. 3) Perilaku prososial, perilaku prososial mencakup berbagai tindakan sukarela, yang diarahkan untuk kepentingan orang lain (Krueger, Hicks, & McGrue, 2001). Perilaku yang menunjukkan sikap prososial adalah anak mau berbagi mainan dan benda lainnya, mau menunggu giliran, memberi dan meminta bantuan (Warnes, Sheridan, Geske, & Warnes, 2005).

Kemampuan perilaku prososial anak tergantung pada sejauh mana orang dewasa memberi dukungan dan mengingatkan mereka bagaimana mereka harus bertindak dalam situasi tertentu (Zanolli, Paden, & Cox, 1997).

(5)

3. Faktor Yang Mempengaruhi Kompetensi Sosial

(Susanto, 2011) menjelaskan bahwa proses perkembangan anak dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor internal merupakan faktor dalam individual, yang berupa bawaan atau pengalaman anak. Adapun faktor internal sebagai berikut: 1) sifat turunan dari orangtua, 2) unsur berpikir dan kemampuan intelektual, 3) keadaan unsur hormonal, 4) emosi dan sifat temperamen. Sedangkan faktor eksternal atau faktor yang diperoleh anak dari luar dirinya, seperti faktor keluarga, faktor ekonomi, pola asuh, kebiasaan, dan teman di sekitar anak. Keluarga memiliki pengaruh yang kuat dalam membentuk kompetensi sosial anak.

(Tarsidi, 2010) menjelaskan tentang berbagai masalah sosial dalam keluarga, yaitu terjadinya pertikaian dalam sebuah keluarga, perceraian, dan tingkat ekonomi rendah dapat berpengaruh pada perkembangan kompetensi sosial anak. Masalah yang terjadi padakeluarga menyebabkan berkurangnya waktu yang dimiliki orangtua untuk berinteraksi dengan anak. Sejalan dengan pendapat tersebut, menurut Soetarno (Khairani, 2013) faktor yang mempengaruhi kompetensi sosial anak adalah lingkungan keluarga yang berkaitan dengan status sosial ekonomi keluarga, keutuhan keluarga, serta sikap dan kebiasaan orangtua dalam keluarga.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi kemampuan sosial anak prasekolah yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari keturunan orang tua, kemampuan intelektual, hormon, emosi, dan sifat-sifat bawaan. Sedangkan faktor eksternal terdiri dari faktor keluarga, pola asuh orang tua, kondisi ekonomi, budaya, teman sebaya, sekolah, maupun masyarakat sekitar. Salah satu faktor yang berpengaruh pada pembentukan kompetensi sosial anak yaitu faktor keluarga, karena keluarga merupakan madrasah pertama bagi anak untuk belajar keterampilan sosial dengan adanya keterlibatan anak dalam interaksi dengan orang tua (Dunham, Tran, & Akhtar, 1991) dan lingkungan rumah merupakan tempat di mana anak belajar bagaimana menanggapi isyarat sosial dan bagaimana berperilaku dalam situasi sosial (Dumas dkk, 2011).

(6)

4. Kompetensi Sosial Anak Usia Dini

Perkembangan kompetensi sosial dimulai sejak anak lahir dan pada usia prasekolah akan berkembang dengan pesat (McClellan & Katz, 2001).

Pellegrini dan Glickman (1991) mendefinisikan kompetensi sosial merupakan kemampuan anak untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan rumah dan sekolah. Seperangkat perilaku verbal dan nonverbal harus dimiliki anak agar mampu beradaptasi dengan lingkungan (Rinn & Markle, 1985).

Vaughn dan Waters (Sroufe dkk, 1996) Kompetensi sosial adalah kemampuan anak untuk merespon secara positif terhadap orang lain, tertarik menjalin hubungan pertemanan dengan teman sebaya, dapat memimpin dan dipimpin, memiliki sikap mau memberi dan menerima saat berinteraksi dengan teman lain. Hart menyebutkan bahwa pada umumnya anak usia prasekolah akan memilih teman bermain yang berperilaku proporsional (Papalia dkk, 2002 ).

Peran penting kompetensi sosial adalah untuk penyesuaian diri anak ketika di sekolah dan keberhasilan dalam pencapaian akademik (McClelland dkk., 2006). Kompetensi sosial dinyatakan sebagai pondasi dalam menjaga relasi positif dengan teman sebaya dan guru (Webster-stratton & Reid, 2004).

Kompetensi sosial berkaitan dengan kesiapan anak memasuki dunia sekolah, maka perlu untuk dikembangkan sejak dini (Huffman & Mehlinger, 2000).

Brooks dan DuBois (1995) menyatakan kompetensi sosial pada dasarnya memiliki hubungan yang signifikan terhadap kemampuan akademik anak.

Ogden (1987) menyatakan anak dapat belajar membedakan berbagai macam hubungan pertemanan melalui lingkungan pertemanan dirumah, sekolah, dan lingkungan yang lebih luas yaitu masyarakat. Ketrampilan interaksi sosial dan pengetahuan tentang diri terhadap orang lain dapat diperoleh anak dari pengalaman sosial dengan membangun hubungan dengan teman sebaya. Sosialisasi anak tidak hanya difasilitasi oleh orang tua saja, tetapi juga melibatkan seluruh anggota keluarga yang berperan memperkuat penanaman nilai dan norma budaya pada diri anak. Namun, keluarga utama atau orang tua memiliki pengaruh yang kuat dalam pembentukan kompetensi

(7)

sosial anak. Orang tua merupakan teman terdekat anak saat berada dirumah.

Hubungan yang lekat antara anak dengan orang tua dalam keluarga utuh mendukung terbentuknya perilaku positif yang dapat membantu anak dalam menyesuaikan diri dengan kelompok sosial (Demby dkk., 2017)

Disimpulkan bahwa kompetensi sosial penting untuk dikembangkan sejak usia dini, karena kompetensi sosial merupakan kemampuan yang dimiliki anak untuk beradaptasi dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar yang dipengaruhi oleh orang tua, saudara dan teman sebaya.

5. Keluarga

a. Pengertian Keluarga

Keluarga adalah sekelompok orang atau sepasangan individu yang hidup bersama dengan adanya hubungan darah dan pernikahan (Ozkalp, 2003). Keluarga didefinisikan sebagai struktur paling kompleks yang memiliki sejarah bersama, kebersamaan, berbagi ikatan emosi untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga dari konstruksi sosial (Nazli, 2003). Selain definisi tersebut, keluarga adalah salah satu lembaga efektif yang membimbing anak-anak untuk berkembang, integrasi dan sosialisasi (Yavuzer, 2001). Struktur normal keluarga dipengaruhi oleh adanya kebersamaan ayah, ibu dan saudara kandung, sedangkan keluarga dengan struktur tidak normal adalah keluarga yang mengalami perceraian, perpisahan, dan kematian yang disebut sebagai keluarga tunggal (Senturk, 2006).

Berdasarkan paparan diatas dapat disimpulkan bahwa sekumpulan atau kelompok yang terdiri dari ayah dan ibu dalam ikatan pernikahan beserta anak yang hidup dalam satu atap rumah disebut keluarga.

b. Jenis Keluarga

Kamanto Sunarto (1993), menyebutkan bahwa keluarga terbagi menjadi beberapa bentuk. 1) Keluarga berdasarkan keanggotaan, yaitu keluarga batih dan keluarga luas. 2) Keluarga berdasarkan garis keturuan,

(8)

terdiri dari keluarga patrilineal, keluarga matrilineal, dan keluarga bilateral. 3) Keluarga berdasarkan pemegang kekuasaan, terdiri dari keluarga patriarhat, keluarga matriarhat, dan keluarga equalitarian. 4) Keluarga berdasarkan bentuk perkawinan,yaitu keluarga monogami, keluarga poligami, dan keluarga poliandri. 5) Keluarga berdasarkan status sosial ekonomi, terdiri atas keluarga golongan rendah, keluarga golongan menengah, dan keluarga golongan tinggi. 6) Keluarga berdasarkan keutuhan, terdiri dari keluarga utuh, keluarga tidak utuh atau bercerai.

1. Keluarga Utuh

Keluarga utuh adalah keluarga yang memiliki struktur lengkap yaitu hadirnya ayah, ibu dan anak yang hidup dan tinggal bersama dalam satu atap rumah. Keluarga utuh lebih diyakini sebagai keluarga yang baik-baik saja dan harmonis.

Gunarsa (2004) keluarga harmonis merupakan keluarga bahagia, yang terjalin dalam ikatan kekeluargaan dan memberikan rasa aman, tenteram bagi setiap anggota keluarga. Keluarga harmonis ditandai dengan adanya bentuk interaksi dua arah antara orang tua dengan anak, sehingga tidak hanya orangtua saja yang aktif berpendapat saat melakukan interaksi dengan anak, tetapi anak juga diberikan kesempatan untuk mengungkapkan pendapat. Sikap terbuka, jujur, dan saling memperhatikan antara orang tua dan anak menjadi faktor terjalinnya komunikasi yang sehat.

Individu yang memiliki keterampilan komunikasi dan perilaku yang dapat membimbing dalam melakukan interaksi sosial cenderung merupakan hasil dari sebuah keluarga yang harmonis. Keluarga memiliki fungsi dan peran strategis dalam pembentukan kepribadian anak secara utuh. Secara alamiah anak mengalami pembentukan kepribadian dari keluarga. Sikap, nilai dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat dipelajari oleh anak melalui kedua orang tuanya.

(9)

2. Keluarga Tidak Utuh

Keluarga tidak utuh karena bercerai diartikan dengan kondisi keluarga yang berjalan tidak sesuai seperti keluarga yang harmonis, hidup rukun, damai, dan sejahtera karena seringnya terjadi perselisihan yang menyebabkan pertengkaran dan berakhir pada perpisahan. Sesuai dengan pendapat Gerungan (2010) menyatakan apabila orang tua yang sering berselisih pendapat, saling bermusuhan disertai tindakan yang kasar dan agresif tidak dapat disebut sebagai keluarga utuh.

Willis (2011), menyatakan suatu keluarga tidak utuh dapat dilihat dari dua aspek : 1) keluarga pecah karena berubahnya strukturyang disebabkan salah satu dari orang tua meninggal dunia atau telah bercerai, 2) Orang tua tidak bercerai akan tetapi salah satu orangtua harus terpisah jarak dalam beberapa waktu karena tuntutan pekerjaan, atau dalam keluarga tidak menunjukkan kasih sayang dan sikap saling melindungi.

Perceraian adalah proses dua pihak atau salah satunya memiliki keinginannya untuk mengakhiri pernikahan sesuai dengan norma atau tradisi yang berlaku masyarakat (Ozkalp, 2003). Perceraian adalah kulminasi dari penyesuaian perkawinan yang buruk dan terjadi jika pasangan suami dan istri sudah tidak mampu lagi mencari cara penyelesaian masalah yang dapat memuaskan kedua belah pihak (Hurlock, 1990). Perceraian terjadi karena pasangan suami istri sudah tidak ada lagi kecocokan. Penyebab terjadinya perceraian yaitu adanya perselingkuhan yang dilakukan oleh salah satu pihak atau bahkan keduanya, kekerasan dalam rumah tangga, poligami, masalah ekonomi, penyalahgunaan obat terlarang dan miras, pernikahan dini, jarak suami istri yang terlalu jauh misal salah satu pihak bekerja di luar pulau atau luar negeri, kurangnya komunikasi dan kejujuran, selalu bertengkar, atau tidak ada interaksi yang sehat. Permasalahan yang muncul pada sebuah keluarga yang diiringi dengan konflik sehingga menyebabkan perubahan perilaku menjadi negatif, tidak mampu berkomunikasi dengan baik antara pasangan suami istri memicu terjadinya perceraian. Perceraian

(10)

berpengaruh pada kelangsungan hidup anak karena setelah perceraian terjadi, anak merasa diri mereka tidak aman dan menderita batin serta perasaan sehingga ada anak yang mengalami depresi dini.

Perpisahan karena bercerai menyebabkan struktur keluarga menjadi tidak utuh lagi dan menjadikan peran orang tua sebagai orang tua tunggal. Keluarga dikatakan tidak utuh apabila anak tidak hidup bersama kedua orang tua biologis pada masa kanak-kanak karena adanya perpisahan orang tua atau orang tua lajang yang tidak melangsungkan pernikahan (Amato & Keith, 1991). Keluarga dengan orang tua tunggal adalah konsep yang mendefinisikan keluarga yang ayah atau ibu tidak ada karena perceraian, perpisahan perkawinan, kehamilan di luar nikah, atau kematian (Greenberg, 2002).

Gerungan (2009) menyebutkan bahwa sebagian besar anak yang tidak patuh pada norma sosial berasal dari keluarga yang strukturnya tidak utuh lagi. Ketidakutuhan keluarga dapat memberi pengaruh negatif terhadap perkembangan sosial anak, cara orangtua dalam mengasuh anak menentukan bagaimana anak tumbuh dan berperilaku. Anak dari keluarga yang tidak utuh secara signifikan lebih mungkin untuk mengekspresikan ketidakpuasan dengan kehidupan mereka (Furstenberg, 1994). Dagun (2002) keluarga yang bercerai menyebabkan anak mengalami tekanan mental, aktivitas fisik lebih agresif, kurang menunjukkan rasa senang, sulit mengontrol emosi, dan senang menyendiri.

Berdasarkan paparan diatas, kesimpulannya yaitu keluarga merupakan sekumpulan atau kelompok yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang hidup dan tinggal dalam satu atap rumah. Keluarga terdiri dari beberapa jenis, salah satu jenis keluarga yaitu keluarga ditinjau dari struktur keutuhan dan ketidakutuhan keluarga. Keutuhan keluarga merupakan kondisi keluarga yang hidup saling berdampingan antara satu anggota keluarga dengan lainnya sehingga dapat menciptakan suasana tentram dan rasa aman pada sebuah

(11)

keluarga, keharmonisan yang terjalin antara orang tua dan anak dapat membentuk kompetensi sosial yang lebih baik. Berbeda dengan kondisi keluarga tidak utuh yang di sebabkan oleh konflik keluarga sehingga menjadikan keluarga berpisah dan bercerai. Keluarga tidak utuh dapat memberikan dampak negatif pada perkembangan anak terutama pada kompetensi sosial anak.

c. Peran Keluarga dalam Pembentukan Kompetensi Sosial Anak Usia Dini Keluarga sebagai institusi sosial yang penting untuk kelangsungan hidup dan masa depan masyarakat. Rodgers dan Rose (2002) menyatakan bahwa faktor penting yang dapat mempengaruhi kompetensi sosial pada anak adalah keluarga. Ditinjau dari fungsi keluarga, Zanden (1986) menyatakan bahwa fungsi keluarga sebagai tempat proses terjadinya sosialisasi antara individu dengan masyarakat. Menurut Demby, Riggs, dan Kaminski ( 2017) hubungan yang lekat antara anak dengan ayah dan ibu sebagai pendukung terbentuknya perilaku positif pada anak yang berperan dalam penyesuaian diri anak terhadap lingkungan sosial. Adanya komunikasi intensif antara orang tua dan anak, penerapan kontrol yang dilakukan ayah dan ibu terhadap anak akan mendukung terbentuknya kompetensi sosial pada anak (Barbarin & Jean- Baptiste, 2013)

Orang tua memiliki peran penting dalam perkembangan anak. Sosok ibu dan ayah memiliki peran yang berbeda dalam hal pengasuhan anak.

Keikutsertaan ayah dalam proses pengasuhan berfungsi untuk memberikan sosok yang berbeda dari sosok ibu, yaitu sosok yang saling melengkapi bagi anak. Dalam sebuah permainan, ayah cenderung memilih permainan yang bersifat motorik (kasar) dan interaktif, sementara ibu mengandalkan komunikasi verbal dalam sebuah permainan. Bersama ayah, anak belajar tentang cara menyelesaikan suatu masalah, menjalin relasi dengan kelompok sosial, dan mengeksplorasi dunia luar. Ayah memiliki peran dalam menstimulasi kompetensi dan rasa percaya diri, proses pendewasaan, tanggung jawab, dan kemandirian anak. Ibu berperan untuk mengasah

(12)

kemampuan verbal, empati, dan perasaan. Ayah dan ibu memiliki peran yang saling melengkapi dalam merangsang perkembangan anak. Oleh karena itu, keterlibatan ayah dan ibu harus seimbang dalam pengasuhan anak agar menghasilkan perkembangan yang optimal.

Hasil penelitian oleh Riany (2018) menunjukkan adanya hubungan positif antara peran pengasuhan ayah dengan perkembangan anak yang meliputi perkembangan kognitif, emosional, dan sosial anak. Namun pada kenyataannya tanggungjawab pengasuhan anak diserahkan kepada ibu karena ayah sibuk bekerja dan memiliki keterbatasan waktu untuk mendampingi anaknya. Terbentuknya kompetensi sosial anak dipengaruhi oleh dukungan aktif ayah dalam pengasuhan. Sosok ayah dapat membantu anak belajar agar memiliki pandangan dalam hidup dan kepercayaan diri untuk mengeksplorasi dunia luar, keberanian menyampaikan gagasan dan opini, dan memiliki gambaran mengenai cara berinteraksi dengan orang lain. Adanya dukungan emosi sosial dari seorang ayah dapat memberi rasa nyaman, aman, dan anak menjadi lebih percaya diri yang berdampak positif bagi perkembangan kompetensi sosial anak. Penelitian membuktikan bahwa anak yang kehilangan dukungan emosi sosial dari seorang ayah dapat menyebabkan anak memiliki masalah pada kemampuan penyelesaian masalah (problem solving), kecemasan, dan tingkat stress yang tinggi. Peran kooperatif seorang ayah dalam pengasuhan anak sangat dianjurkan, agar anak memiliki perkembangan yang optimal dalam segala aspek termasuk juga aspek perkembangan kompetensi sosial anak. Adanya dukungan ayah dalam pengasuhan, anak dapat tumbuh menjadi pribadi yang mudah bersosialisasi dengan orang lain. Interaksi yang intensif antara ayah dan anak sejak dini merupakan stimulasi agar dapat memahami perilaku dalam bersikap saat anak berada diluar rumah.

Keluarga dengan struktur yang utuh dan harmonis cenderung menghasilkan individu yang memiliki keterampilan sosial yang akan membimbingnya dalam berinteraksi dengan lingkungan. Keluarga memiliki fungsi dan peran dalam pembentukan kepribadian dan sosialisasi anak secara

(13)

utuh. Secara alamiah anak mengalami pembentukan kepribadian dari keluarga. Sikap, nilai dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat dipelajari oleh anak melalui kedua orang tuanya. Anak belajar dan meniru orang tuanya yang dianggap sebagai sosok ideal dalam keluarga. Kebiasaan yang berlaku dalam keluarga akan menjadi rutinitas bagi anak yang akan berlangsung dengan sendirinya dan terinternalisasi menjadi pribadi yang berkualitas, komunikatif, dan terampil agar anak mampu menyesuaikan diri dalam menghadapi lingkungan yang berasal dari berbagai kultur yang berbeda tanpa kehilangan identitas dan jati dirinya (Gowi, 2011). Sesuai dengan hasil penelitian Ryan, Martin, dan Brooks-gunn (2006) yang menyatakan anak yang diasuh dengan dua orang tua yang suportif mendapat nilai lebih tinggi pada tugas-tugas akademik.

Kehilangan salah satu orang tua menyebabkan anak kehilangan role model orang dewasa, anak merasa kehilangan kasih sayang, kehilangan pendidik atau pemimbing yang sangat berpengaruh pada perkembangan anak.

Maryanti dan Rosmiani (2007), mengungkapkan bahwa retaknya struktur keluarga disebabkan karena fungsi keluarga yang tidak berjalan semestinya yang berujung pada perceraian, perceraian memiliki pengaruh pada keluarga terutama anak. Adapun dampak dari peceraian yang sering kali dialami oleh anak adalah : 1). Interaksi anak dengan salah satu orang tua menjadi terhambat, 2). Anak merasa bingung dan tidak terarah karena pengasuhan tidak berjalan seimbang, 3). Kurangnya perhatian fisik dan psikis anak seperti sandang, pangan, pendidikan, kasih sayang dan interaksi sosial.

Kesimpulan dari paparan diatas adalah keluarga memiliki hubungan erat dengan kompetensi sosial yang berpengaruh pada pencapaian akademik.

Apabila seorang anak berada dalam keluarga yang berfungsi secara normal, maka anak dapat belajar cara berkomunikasi dengan baik, belajar untuk mengambil keputusan dengan tepat, dan dapat menyelesaikan masalah secara mandiri. Ibu dan ayah memiliki peran yang berbeda dalam pengasuhan anak.

Peran keduanya harus berjalan secara seimbang untuk menunjang perkembangan yang optimal. Anak yang menjadi korban perceraian

(14)

cenderung mengalami pengasuhan yang tidak seimbang, sehingga anak lebih mudah mengalami kebingungan yang menyebabkan ketrampilan sosial anak berkembang kurang optimal, anak mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungan, dan suka menyendiri.

B. Kerangka Berpikir

Kompetensi sosiala dalah kemampuan anak untuk beradaptasi dengan lingkungan yang ditunjukkan dengan kemampuan anak dalam melakukan interaksi, membangun relasi, serta berempati pada orang lain. Kompetensi sosial terdiri dari beberapa aspek, yaitu kepatuhan terhadap peraturan, keterampilan interpersonal, dan perilaku prososial. Kompetensi sosial anak usia dini dipengaruhi beberapa faktor yaitu faktor ekonomi, pola asuh, dan faktor keluarga. Beberapa ahli menyatakan bahwa keluarga memiliki pengaruh dalam membentuk kompetensi sosial anak.

Keluarga dinyatakan sebagai lingkungan pendidikan yang utama bagi anak. Keluarga yang memiliki peran terpenting dalam kehidupan anak adalah orang tua. Struktur keluarga memiliki pengaruh terhadap terbentuknya kompetensi sosial anak. Keluarga utuh dengan keberadaan ibu dan ayah memiliki pengaruh positif terhadap kompetensi sosial anak, akan tetapi struktur keluarga yang tidak utuh (bercerai) dianggap akan memberikan dampak negatif dalam pembentukan kompetensi sosial anak. Oleh karenanya peneliti ingin melakukan penelitian bertujuan untuk mengkaji perbedaan kompetensi sosial anak usia 5-6 tahun pada keluarga utuh dan tidak utuh.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dilihat gambaran kerangka berpikir berikut:

Keluarga utuh (ayah, ibu dan anak hidup satu

rumah)

Keluarga tidak utuh (bercerai)

Kompetensi sosial anak usia 5-6 tahun Gambar 1. Kerangka berpikir

(15)

C. Hipotesis Hipotesis pada penelitian ini sebagai berikut:

Ho : Tidak ada perbedaan kompetensi sosial anak usia 5-6 tahun pada keluarga utuh dan tidak utuh.

Ha : Ada perbedaan kompetensi sosial anak usia 5-6 tahun pada keluarga utuh dan tidak utuh.

Referensi

Dokumen terkait

Secara parsial harga jagung, jumlah penduduk, pendapatan perkapita, jumlah industri untuk konsumsi berpengaruh signifikan terhadap permintaan kedelai di Provinsi

Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah dua kelas dari jumlah populasi yang ada, yaitu kelas XI TP 3 sebagai kelas eksperimen dan XI TP 2 sebagai kelas kontrol..

Pada halaman ini pengunjung bisa melihat beberapa hasil produk Kerajinan adat Bali langsung dengan harganya bila mau melakukan order maka cara bertransaksi

Pembiayaan gadai ( rahn ) di Bank Syariah Mandiri, yaitu berupa emas, Bank Syariah Mandiri melontarkan persyaratan kepada nasabah yaitu biaya ongkos administrasi, biaya

Mengingat kemungkinan gangguan listrik pada Sistem Kelistrikan RSG-GAS berupa terputusnya pasokan daya listrik baik dari sumber penyedia daya utama PLN maupun sumber penyedia

Puji syukur Penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan Tugas Akhir dengan judul “ Sistem

Cara yang paling umum digunakan untuk model ini adalah biaya per seribu tayangan( Cost per Mille atau Cost per Thousand ). Pengiklan menghitung biaya untuk.. Metode

Kemudian setiap kelompok sudah melakukan percobaan dengan baik sesuai yang tertera pada LKK; (3) pada tahap keterampilan mengamati, Setiap siswa dalam kelompoknya