• Tidak ada hasil yang ditemukan

Case Report and Management of Blepharoconjunctivitis with Urethritis Symptom

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Case Report and Management of Blepharoconjunctivitis with Urethritis Symptom"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Case Report and Management of Blepharoconjunctivitis Gonorrhea with Urethritis Symptom

Abstract

Introduction: Blepharoconjuntivitis Gonorrhea is an ocular bacterial infection which caused by Neisseria gonorrhoeae. Neisseria gonorrhoeae causes urogenital, rectal, and pharyngeal infections, as well as hyperacute conjunctivitis, and can invade intact corneal epithelium, induce keratolysis of the corneal stroma, and perforate the cornea. Gonococcal conjunctivitis is often associated with STIs but can also present without evidence of concomitant genital infection. Early diagnosis and treatment of gonococcal conjunctivitis may prevent further complications, which threaten the eyesight.

Purpose: To report a case and a management of blepharoconjunctivitis gonorrhea with urethritis symptom.

Case Report: A 29 years old man came into the emergency room Cicendo Eye Hospital with chief complaint of edematous eyelid with discharge in the right eye since 12 hours before admission. He also had itchy, redness, and slight pain in his right eye. Patient was divorced, had a history of promiscuity, and a history of mucopurulent genital discharge. His distant visual acuity for the right eye was 0.25 and 0.8 for the left eye. There were blepharospasm, edematous and hyperemic palpebra with mucopurulent discharge. Anterior segment examinations showed a chemosis conjunctiva and positive fluorescein test with multiple punctate epithelial erosions in inferior region of the cornea. Patient also had some ulcerative lesion with crustae on his right forearm. Conjunctival swab examinations showed gram negative diplococcus bacteria coffeebean-like intracellular, extracellular, leukocytes, and epithelial cells. The patient was diagnosed as blepharoconjunctivitis gonorrhea. He was managed by intravenous ceftriaxone 2x1 gram, topical antibiotic, topical mydriatic agent, and artificial tear. The patient was advised to do the conjunctival swab every morning, to have a consultation with dermatovenereologist, and to be tested for HIV serologic.

Conclusions: Gonococcal infection can be transmitted by direct and indirect contact. Infection to ocular tissue can threaten visual function. Administrastion of Ceftriaxone 1gr/IM, additional treatment for chlamydial trachomatis, and multidiscipline management may give the patient a comprehensive management for the disease.

Keywords: blepharoconjunctivitis, gonorrhoeae, Neisseria gonorrhoeae

I. Pendahuluan

Konjungtivitis gonokokal merupakan infeksi mata yang disebabkan oleh bakteri Neisseria gonorrhoeae. Infeksi ini dapat terjadi pada neonatus atau orang dewasa yang aktif secara seksual. Kasus infeksi gonokokal diperkirakan terjadi

1

(3)

secara global sebanyak 87 kasus baru tiap tahunnya. World Health Organization (WHO) memperkirakan pada tahun 2012, 78 juta kasus baru terjadi di kalangan remaja dan orang dewasa. Sebuah survey yang dilakukan oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2013 melaporkan bahwa prevalensi infeksi gonokokal terus meninggi. Prevalensi gonokokal urogenital di populasi kota besar di Indonesia, yaitu Jakarta, Yogyakarta, dan Denpasar sangat tinggi. Populasi yang terlibat ialah laki-laki sebesar 56.2%, wanita sebesar 33%, dan transpuan sebesar 10%. 1–4

Neisseria gonorrhoeae menyebabkan infeksi urogenital, rektal, faringeal, dan konjungtivitis hiperakut. Bakteri ini juga dapat menyerang epitel kornea, menginduksi keratolisis stroma kornea, dan perforasi kornea. Konjungtivitis gonokokal biasanya menimbulkan gejala konjungtivitis mukopurulen yang berat disertai edema kelopak mata, nyeri tekan, dan limfadenopati preaurikular. Penyakit ini biasanya berkaitan dengan Penyakit Menular Seksual (PMS) tetapi juga dapat muncul tanpa adanya infeksi genital. Blefarokonjungtivitis gonokokal juga dapat terjadi setelah pengobatan sindrom uretritis selesai.1,5,6

Penyakit menular seksual termasuk penyakit yang berhubungan dengan kasus genitourinari telah meningkat insidensinya pada beberapa tahun terakhir, hal ini menyebabkan kasus konjungtivitis gonokokal pun tidak lagi jarang ditemukan pada orang dewasa. Riwayat seksual sangat penting untuk digali pada setiap pasien yang mengalami mata merah disertai sekret purulen. Riwayat ini dapat membantu dokter dalam penegakan diagnosis dan dalam menentukan tatalaksana yang tepat.

Tatalaksana awal yang tepat untuk menangani konjungtivitis gonokokal dapat mencegah komplikasi lebih lanjut yang dapat mengancam penglihatan.7,8 Laporan kasus ini dibuat untuk memaparkan kasus dan tatalaksana blefarokonjungtivitis gonokokal yang disertai gejala uretritis.

II. Laporan Kasus

Pasien Tn F laki-laki berusia 29 tahun datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) di Pusat Mata Nasional (PMN) Rumah Sakit (RS) Mata Cicendo pada tanggal 6 Desember 2021 dengan keluhan mata kanan bengkak dan keluar banyak kotoran

(4)

sejak 12 jam Sebelum Masuk Rumah Sakit (SMRS). Keluhan disertai rasa gatal, merah, dan nyeri sejak 1 hari SMRS. Riwayat penglihatan buram, terkena benda asing, penggunaan lensa kontak, trauma, riwayat dilakukan operasi pada mata disangkal pasien. Pasien sudah menggunakan tetes mata yang dibeli di apotek sebanyak 3x pada mata kanan namun tidak ada perubahan. Pasien saat ini tidak memiliki pekerjaan dan sudah bercerai dari istrinya.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 2. 1 Tampilan Klinis Mata Pasien Hari ke-1 (a), Mata Kanan pada Pemeriksaan Lampu Celah (b), Mata Kanan pada Pemeriksaan Flourescein (c), dan Ruam Kulit pada Lengan Kanan (d)

Pasien mengakui adanya riwayat hubungan seksual berisiko dengan seorang wanita pada Bulan September 2021. Pasien mengalami nyeri buang air kecil dan keluar nanah dari kelamin beberapa hari setelah hubungan seksual berisiko tersebut.

Pasien kemudian berobat ke mantri dan diberikan obat suntik berwarna bening di

(5)

bokong sebanyak 1x namun tidak menuntaskan pengobatannya karena dirasa sudah membaik. Pasien tidak mengetahui adanya riwayat keluhan yang sama pada pasangan seksualnya. Pasien juga memiliki riwayat gatal dan borok pada tangan sejak 1 bulan SMRS. Keluhan tersebut sempat diobati dengan salep yang dibeli di warung namun tidak membaik.

Pemeriksaan oftalmologi menunjukkan tajam penglihatan mata kanan 0.25 dengan pinhole 0.4 dan mata kiri 0.8 dengan pinhole 1.0. Posisi kedua mata ortotropia. Gerakan bola mata kanan dan mata kiri baik ke segala arah. Tekanan bola mata kanan 16 mmHg dan mata kiri 12 mmHg dengan pemeriksaan tonometer non kontak. Pemeriksaan segmen anterior mata kanan dengan menggunakan lampu celah ditemukan adanya palpebra hiperemis, edema palpebra, blefarospame, dan terdapat sekret mukopurulen pada kelopak mata. Konjungtiva pasien mengalami kemosis, pada kornea didapatkan fluorescein test positif dengan punctate epithelial erosion (PEE). Pemeriksaan segmen anterior mata kiri normal. Hasil pemeriksaan mikrobiologi pada sekret konjungtiva menunjukkan hasil gram negatif diplococcus seperti biji kopi intrasel 3-6 sel per lapang pandang dan ekstrasel 0-2 sel per lapang pandang, dengan jumlah sel leukosit berjumlah > 25 sel per lapang pandang, dan epitel < 5 sel per lapang pandang. Pemeriksaan generalis lain ditemukan adanya ulkus pada area lengan kanan bagian dalam disertai adanya krusta dengan nyeri tekan negatif.

Pasien didiagnosis blefarokonjungtivitis OD et causa gram negatif diplokokus gonore dan ulkus at regio distal antebrachialis anterior dextra. Pasien disarankan rawat inap untuk pemberian antibiotik ceftriaxone 2 x 1 gram melalui infus kemudian diberikan obat tetes mata levofloxacin 1 tetes per jam, obat tetes air mata natrium klorida dan kalium klorida sebanyak 1 tetes per jam, obat tetes mata sikloplegik 3 kali sehari, disarankan pembersihan sekret pada kelopak mata sesering mungkin, dan apus sekret konjungtiva setiap hari.

Perawatan pasien hari kedua tanggal 7 Desember 2021 tidak menunjukkan adanya keluhan. Pemeriksaan oftalmologi menunjukkan tajam penglihatan mata kanan 0.4 dengan pinhole 0.5 dan mata kiri 1.0. Pemeriksaan segmen anterior mata kanan dengan menggunakan lampu celah masih ditemukan adanya palpebra

(6)

hiperemis, edema palpebra, blefarospame, sekret mukopurulen minimal pada kelopak mata. Konjungtiva pasien mengalami kemosis dan pada kornea didapatkan fluorescein test positif dengan PEE minimal. Hasil pemeriksaan mikrobiologi pada sekret konjungtiva menunjukkan hasil gram negatif diplococcus seperti biji kopi intrasel 0-2 sel per lapang pandang dan ekstrasel 0-2 sel per lapang pandang, dengan jumlah sel leukosit berjumlah > 25 sel per lapang pandang. Pemberian ceftriaxone per infus dan terapi tetes mata topikal lain dilanjutkan. Pemeriksaan apus sekret konjungtiva masih dilanjutkan. Pasien disarankan untuk konsultasi ke dokter spesialis kulit dan kelamin dan untuk melakukan pemeriksaan HIV namun pasien menolak.

(a)

(b) (c)

Gambar 2. 2 Tampilan Klinis Mata Pasien Hari ke-3 (a), Mata Kanan pada Pemeriksaan Lampu Celah (b), Mata Kanan pada Pemeriksaan Flourescein (c)

Perawatan pasien hari ketiga tanggal 8 Desember 2021 tidak menunjukkan adanya keluhan. Pemeriksaan oftalmologi menunjukkan tajam penglihatan mata kanan 0.8 dengan pinhole 1.0 dan mata kiri 1.0. Pemeriksaan segmen anterior mata kanan dengan menggunakan lampu celah ditemukan adanya palpebra hiperemis

(7)

minimal, edema palpebra minimal, blefarospame minimal, dan tidak ditemukan sekret mukopurulen pada kelopak mata. Konjungtiva pasien mengalami kemosis minimal dan pada kornea masih didapatkan fluorescein test positif dengan PEE minimal. Hasil pemeriksaan mikrobiologi pada sekret konjungtiva menunjukkan hasil gram negatif diplococcus seperti biji kopi ekstrasel 0-1 sel per lapang pandang, dengan jumlah sel leukosit berjumlah 5-10 sel per lapang pandang. Pemberian ceftriaxone infus dan terapi tetes mata topikal lain dilanjutkan. Pasien akhirnya menyetujui untuk melakukan konsultasi pada dokter spesialis dermatovenereologi dan untuk melakukan pemeriksaan HIV. Diagnosis yang diberikan oleh dokter spesialis dermatovenereologi adalah ektima dengan blefarokonjungtivitis OD, kemudian pasien diberikan terapi krim mupirocin dan antibiotik levofloxacin 2x500mg per hari. Pemeriksaan serologis HIV menunjukkan hasil negatif.

(a)

(b) (c)

Gambar 2. 3 Tampilan Klinis Mata Pasien Hari ke-4 (a), Mata Kanan pada Pemeriksaan Lampu Celah (b), Mata Kanan pada Pemeriksaan Flourescein (c)

Perawatan pasien hari keempat tanggal 9 Desember 2021 tidak menunjukkan adanya keluhan. Pemeriksaan oftalmologi menunjukkan tajam penglihatan mata

(8)

kanan 0.8 dengan pinhole 1.0 dan mata kiri 1.0. Pemeriksaan segmen anterior mata kanan dengan menggunakan lampu celah ditemukan adanya palpebra hiperemis minimal, edema palpebra minimal, blefarospame minimal, dan tidak ditemukan sekret mukopurulen pada kelopak mata. Konjungtiva pasien mengalami kemosis minimal hanya pada area nasal dan pada kornea masih didapatkan fluorescein test positif dengan PEE minimal. Hasil pemeriksaan mikrobiologi pada sekret konjungtiva menunjukkan tidak ditemukan bakteri, dengan sel leukosit berjumlah

< 5 sel per lapang pandang. Pemberian ceftriaxone per infus dihentikan hingga pemberian ke-7. Pasien disarankan untuk rawat jalan dengan terapi obat tetes mata levofloxacin 1 tetes per jam, obat tetes air mata natrium klorida dan kalium klorida sebanyak 1 tetes per jam, obat tetes mata sikloplegik 3 kali sehari, dan ditambahkan dengan cefixime 200 mg dua kali sehari selama tujuh hari. Pasien disarankan kontrol ke poliklinik infeksi imunologi PMN RS Mata Cicendo 7 hari yang akan datang.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 2. 4 Tampilan Klinis Mata Pasien Saat Kontrol ke Poli Infeksi Imunologi (a), Mata Kanan pada Pemeriksaan Lampu Celah (b), Mata Kanan pada Pemeriksaan Flourescein (c), dan Ruam Kulit pada Lengan Kanan (d)

Pasien datang kembali ke poliklinik Infeksi Imunologi PMN RS Mata Cicendo 1 minggu kemudian, tanggal 16 Desember 2021. Pasien tidak menunjukkan adanya

(9)

keluhan. Pemeriksaan oftalmologi menunjukkan tajam penglihatan mata kanan 1.0 dan mata kiri 1.0. Pemeriksaan segmen anterior mata kanan dengan menggunakan lampu celah ditemukan adanya blefarospame minimal dan tidak ditemukan sekret mukopurulen pada kelopak mata. Konjungtiva pasien mengalami hiperemis minimal dan pada kornea masih didapatkan fluorescein test positif dengan PEE minimal. Pasien diberi terapi tetes mata levofloxacin 8x per hari dan air mata buatan 8x per hari. Pasien disarankan untuk kontrol kembali 2 minggu yang akan datang.

III. Diskusi

Bakteri Neisseria gonorrheae merupakan penyebab dari penyakit menular seksual gonore. Neisseria gonorrhoeae secara natural menginfeksi mukosa, seperti mukosa uretra, serviks, rektum, faring, dan konjungtiva. Bakteri ini dapat dikonfirmasi dari pemeriksaan apus konjungtiva dengan pewarnaan gram, kultur mikrobiologi dengan media agar coklat atau media Thayer Martin, dan pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR). Pewarnaan gram pada sample apus konjungtiva menunjukkan gram negatif diplokokus intrasel.3,9–11

Gambar 2.1 Hasil Pemeriksaan Gram pada Neisseria gonorrhoeae. Gambar pada huruf (a) menunjukkan gambaran bakteri gram negatif diplokokus intrasel.

Dikutip dari: Weisenthal, dkk10

Pemeriksaan apus sekret konjungtiva pertama pada pasien ini menunjukkan adanya bakteri gram negatif diplokokus berbentuk seperti biji kopi intrasel dan

a

(10)

ekstrasel. Hal tersebut mengonfimasi penyebab infeksi pada pasien ini merupakan bakteri Neisseria gonorrhoeae.

Gambar 2.2 Ulkus Kornea dan Perforasi pada Konjungtivitis Gonokokal Dikutip dari: Weisenthal, dkk10

Infeksi konjungtivitis gonokokal biasanya dapat terjadi pada neonatus dan pada orang dewasa yang melakukan aktivitas seksual berisiko. Gejala yang dirasakan juga biasanya didahului dengan gejala uretritis. Transmisi infeksi gonokokal dapat melalui transmisi secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan uretritis gonokokal ditransmisikan melalui perilaku seksual yang berisiko. Uretritis gonokokal merupakan manifestasi yang sering terjadi pada individu yang terinfeksi Neisseria gonorrhoeae. Periode inkubasi dari uretritis gonokokal memiliki rentang antara 2 hingga 10 hari, dengan rerata 2 hingga 10 hari. Nyeri saat berkemih dan keluar cairan dari uretra merupakan gejala yang paling sering dialami oleh individu yang terkena uretritis gonokokal.1,7,11,12 Pasien pada laporan kasus ini merupakan seorang pria berusia 29 tahun yang termasuk kedalam kriteria usia aktif secara seksual. Pasien ini sempat mengalami keluhan nyeri saat buang air kecil dan keluar nanah dari kelamin sekitar 4 bulan sebelum gejala pada matanya muncul. Pasien mengakui bahwa ia pernah melakukan hubungan seksual berisiko dengan seorang perempuan empat bulan lalu, namun tidak mengakui adanya hubungan seksual berisiko lagi setelahnya.

(11)

Pemeriksaan fisik menunjukkan injeksi konjungtiva, kemosis, perdarahan subkonjungtiva, dan banyak sekret mukopurulen. Apabila terdapat keterlibatan kornea pada blefarokonjungtivitis gonokokal, maka hal tersebut berkaitan defek epitel, infiltrat stroma yang bila tidak diberi pengobatan yang baik maka secara cepat dapat menimbulkan melting dan perforasi kornea. Kejadian ini dapat terjadi karena Neisseria gonorrhoeae memiliki kemampuan penetrasi agresif pada kornea dalam waktu 24 jam setelah pasien terinfeksi.5,10,11 Pasien pada kasus ini mengalami keluhan mata kanan menjadi merah, bengkak, dan keluar banyak sekret kental berwarna kekuningan. Pemeriksaan segmen anterior mata kanan ditemukan adanya blefarospasme, edema palpebra, sekret mukopurulen, kemosis konjungtiva, dan PEE pada kornea. Pasien ini tidak mengalami ulkus atau perforasi kornea yang menandakan bakteri Neisseria gonorrhoeae belum berpenetrasi kedalam jaringan kornea.

Center for Disease Control and Prevention (CDC) merekomendasikan dual terapi untuk konjungtivitis gonokokal yaitu 1 gram ceftriaxone intramuskular dan 100 mg doxycycline atau 1 gram azithromycin untuk kecurigaan adanya infeksi chlamydia. Pasien konjungtivitis gonokokal tanpa ulkus kornea dapat diberikan injeksi ceftriaxone intramuskular satu gram kemudian diperbolehkan rawat jalan.

Pasien infeksi gonokokal dengan ulkus kornea disarankan rawat inap untuk pemberian injeksi ceftriaxone intravena 1 gram per 12 jam selama tiga hari. Pasien yang memiliki alergi terhadap penisilin dapat diberikan terapi injeksi spectinomycine intramuskular 2 gram atau ciprofloxacin 2x500mg per oral atau ofloxacyn 2x400mg per oral selama lima hari. Terapi untuk pengobatan infeksi gonokokal sebaiknya ditambah dengan terapi untuk pengobatan Chlamydia trachomatis. Hal ini disebabkan 40-50% kasus infeksi gonokokal disertai dengan infeksi Chlamydia trachomatis. Terapi urethritis gonokokal yang disarankan adalah ceftriaxone 500 mg IM dosis tunggal, untuk individu dengan berat badan kurang dari 150kg. Tambahan terapi untuk pengobatan Chlamydia trachomatis ialah tablet doxycycline 100 mg 2 kali sehari selama 7 hari. Tatalaksana terapi infeksi gonokokal ini sebaiknya dilakukan secara multidisiplin dengan melibatkan dokter

(12)

spesialis dermatovenereologi agar dapat pasien dapat ditangani secara komprehensif.7,10,13,14

Terapi topikal juga digunakan sebagai terapi tambahan, dapat berupa obat- obatan topikal seperti salep mata erythromycin, bacitracin, gentamycin, dan ciprofloxacin. Tatalaksana pada kasus yang berat harus termasuk irigasi yang sering dan banyak (setiap 30-60 menit) dengan normal saline pada area konjungtiva yang memiliki banyak sekret purulent. Irigasi dapat berfungsi untuk mengeluarkan sel- sel inflamasi, protease, dan debris yang bersifat toksik pada permukaan okular, sehingga mencegah kerusakan pada kornea. 5,10

Pasien pada kasus ini mendapat terapi injeksi sebanyak satu kali pada saat mengalami nyeri buang air kecil dan keluar nanah dari kelamin. Pasien tidak mengetahui jenis obat yang disuntikkan padanya. Pasien mendapatkan terapi ini dari mantri di kampungnya. Pasien tiga bulan kemudian berobat ke IGD PMN RS Mata Cicendo dan disarankan untuk rawat inap untuk mendapatkan terapi injeksi ceftriaxone 2x 1gram intravena hingga hasil apus konjungtiva menghasilkan bakteri gram negatif ekstraselular. Pasien juga diberikan terapi tetes mata berupa levofloxacin sebanyak satu tetes per jam, tetes air mata buatan natrium klorida dan kalium klorida sebanyak 1 tetes per jam, obat tetes mata sikloplegik 3 kali sehari, disarankan pembersihan sekret pada kelopak mata sesering mungkin, dan apus sekret konjungtiva setiap hari. Pasien juga telah berkonsultasi pada dokter spesialis dermatovenereologi dan diberikan salep mupirocin untuk luka dan ruam di tangan kanannya juga obat minum antibiotik levofloxacin 2x500mg per hari.

Prognosis ad vitam pada pasien ini adalah ad bonam. Prognosis ad functionam pada pasien ini adalah ad bonam karena infeksi yang terjadi pada pasien tidak ada keterlibatan kornea. Prognosis ad sanationam pada pasien adalah dubia karena tingkat kekambuhan penyakit ini dapat menjadi tinggi jika pasien tetap melakukan aktivitas seksual yang beresiko yang dapat menyebabkan munculnya kembali infeksi gonokokal.8,9

(13)

IV. Simpulan

Neisseria gonorrhoeae menyebabkan infeksi urogenital, rektal, faringeal, dan konjungtiv hiperakut. Penegakkan diagnosis yang tepat pada infeksi gonokokal perlu dilakukan melalui serangkaian pemeriksaan klinis mulai dari anamnesa terstruktur yang menggali keluhan pasien hingga riwayat kontak seksual yang berisiko kemudian pemeriksaan fisik, dan hingga pemeriksaan laboratorium apus sekret melalui pewarnaan gram, kultur, atau pemeriksaan PCR. Terapi yang tepat dapat mencegah terjadinya komplikasi. Pemberian terapi injeksi ceftriaxone dan pengobatan tambahan untuk infeksi Chlamydia trachomatis menjadi terapi yang direkomendasikan oleh WHO dan CDC untuk menangani infeksi gonokokal.

Terapi topikal dapat diberikan sebagai terapi tambahan. Penanganan multidisiplin dapat memberikan tatalaksana menyeluruh yang mendukung keberhasilan pengobatan infeksi gonokokal bagi pasien.

(14)

Daftar Pustaka

1. Wang M-F, Wang L, Li L-F. Gonococcal conjunctivitis after incomplete treatment of gonococcal urethritis. Infection and Drug Resistance.

2019;12:1381–4.

2. Santesso N, Ryle T, Wiled T, Team W. WHO Guidelines for the treatment of Neisseria gonorrhoeae. World Health Organization Press. 2016;10–1.

3. Criss AK, Genco CA, Gray-Owen SD, Jerse AE, Seifert HS. Challenges and controversies concerning Neisseria gonorrhoeae-neutrophil interactions in pathogenesis. American Society for Microbiology mBio.

2021 Jun 29;12(3):1.

4. Hananta Y, van Dam AP, de Vries HJC. Gonorrhea in Indonesia: high prevalence of asymptomatic urogenital gonorrhea but no circulating extended spectrum cephalosporins-resistant Neisseria gonorrhoeae strains in Jakarta, Yogyakarta, and Denpasar, Indonesia. Sex Transm Dis.

2016;43(10):608--11.

5. Daniel Lai, Keith Ong. Adult gonococcal keratoconjunctivitis: early detection is key. Asian J Ophthalmol. 2020;17:30–4.

6. Peters RPH, Verweij SP, McIntyre JA, Schaftenaar E. Gonococcal conjunctivitis despite successful treatment of male urethritis syndrome.

Sexually Transmitted Diseases. 2016 Feb 1;43(2):120–1.

7. Bodurtha Smith AJ, Holzman SB, Manesh RS, Perl TM. Gonococcal conjunctivitis: a case report of an unusual mode of transmission. Journal of pediatric and adolescent gynecology. 2017 Aug 1;30(4):501–2.

8. Anuar N, Suhaila Idris N. Gonococcal conjunctivitis: A case report.

Malaysian Family Physician : the Official Journal of the Academy of Family Physicians of Malaysia. 2018;13(3):27.

9. Jane Quillin S, Steven Seifert H. Neisseria gonorrhoeae host adaptation and pathogenesis. Springer nature. 2018;16:220.

10. Weisenthal RW. Basic and clinical science course 2020-2021, section 8:

external disease and cornea. In 2020. p. 258–9.

11. Hoffman J, Ali B, Hoffman A, Sheikh I. Gonococcal conjunctivitis: the importance of good-quality conjunctival swabs. British Journal of General Practice. 2016;65:552–3.

12. Qian-Qiu Wang, Xiao-Hong Su, Yue-Ping Yin, Xiao-Fang Li, Xiang- Dong Gong, Guo-Jun Liang. National guidelines on diagnosis and treatment of gonorrhea. International Journal of Dermatology and Venereology. 2020;3(3):129–34.

13. Unemo M, Ross J, Serwin AB, Gomberg M, Cusini M, Jensen JS. 2020 European guideline for the diagnosis and treatment of gonorrhoea in adults. International Journal of STD & AIDS. 2020;0(0):1–3.

14. St Cyr S, Barbee L, Workowski KA, Bachmann LH, Pham C, Schlanger K, et al. Update to CDC’s treatment guidelines for gonococcal infection 2020. Morbidity and Mortality Weekly Report. 2020 Dec 18;69(50):1911–

6.

13

Referensi

Dokumen terkait

Pemeriksaan segmen anterior pada mata kiri didapatkan koloboma palpebra, konjungtiva sulit dinilai dan kornea keruh, terdapat keratopati eksposur.. Bilik mata

dilakukan dengan pemeriksaan klinis dan foto panoramik. Pemeriksaan klinis dengan inspeksi visual ditemukan adanya tonjolan pada sisi bukal hal ini berarti kaninus impaksi

Pemeriksaan segmen anterior saat pemeriksaan pada mata kanan tampak pupil bulat, dilatasi farmakologis dan tidak ada sinekia pada iris (A) serta pada pemeriksaan

Pemeriksaan segmen anterior mata kiri didapatkan hasil palpebra superior dan inferior blefarospasme, konjungtiva bulbi terdapat injeksi siliar, kornea donor intak dengan

Pada pemeriksaan mukosa kanan dan kiri, pada responden perempuan ditemukan mukosa hiperemis adalah 3 orang, mukosa dengan hiperemis hanya pada sebelah kiri adalah 1 orang,dan

Segmen anterior mata kanan pada gambar 1 didapatkan palpebra tenang, injeksi sklera di superior, bayangan koroid di superior dan superonasal, injeksi siliar, kornea memiliki

Gambar 2.2 Segmen anterior pasca operasi hari 1 Pada pemeriksaan oftalmologis satu minggu pasca operasi, didapatkan visus mata kiri 0,08 dengan pinhole 0,2f1, tekanan bola mata dengan

EK/36 tahun dengan pewarnaan fluorescein pada tanggal 28 Februari 2020 Pada pemeriksaan segmen anterior mata kanan dalam batas normal, pada pemeriksaan segmen anterior mata kiri