• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam kegiatan perayaan hari raya gerejawi, GKJ Argomulyo memilih melakukan kegiatan diakonia berupa bakti sosial atau pelayanan sosial yang ditujukan untuk masyarakat umum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Dalam kegiatan perayaan hari raya gerejawi, GKJ Argomulyo memilih melakukan kegiatan diakonia berupa bakti sosial atau pelayanan sosial yang ditujukan untuk masyarakat umum"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

Gereja dalam perjalanannya tentu tidak lepas dari hari raya gerejawi, seperti Natal, Jumat Agung, Paskah, Kenaikan Tuhan Yesus Kristus, dan Pentakosta. Namun masih ada beberapa denominasi gereja tertentu yang memperingati hari raya gerejawi secara khusus dalam lingkup lokal, seperti hari raya persembahan atau yang biasa disebut undhuh-undhuh oleh beberapa denominasi gereja Jawa, seperti GKJ dan GKJW (Greja Kristen Jawi Wetan), hari jadi Sinode, dan hari jadi gereja lokal atau gereja setempat. Ada banyak cara yang dilakukan gereja dalam menyambut momen-momen sakral tersebut, khususnya yang dilakukan oleh Gereja Kristen Jawa (GKJ) Argomulyo, yang beralamat di Jl. Soekarno Hatta Km. 6, Dusun Sukoharjo RT.01/RW.6, Kelurahan Cebongan, Kecamatan Argomulyo, Kota Salatiga sebagai lokasi penelitian ini. Jika biasanya gereja-gereja lain melaksanakan perayaan dengan cara ibadah dan makan bersama seluruh anggota jemaat, lain halnya dengan jemaat GKJ Argomulyo. Dalam kegiatan perayaan hari raya gerejawi, GKJ Argomulyo memilih melakukan kegiatan diakonia berupa bakti sosial atau pelayanan sosial yang ditujukan untuk masyarakat umum. Artinya, bakti sosial itu tidak hanya untuk anggota gereja, tetapi juga ditujukan kepada warga masyarakat di sekitar gereja yang membutuhkan tanpa melihat agama tertentu.

Tentu ini hal ini menarik untuk diteliti karena apapun bentuknya, pada umumnya yang menjadi sasaran perayaan hari raya gerejawi adalah anggota jemaat. Jika demikian, mungkinkah diakonia yang dilakukan GKJ Argomulyo Salatiga merupakan “diakonia baru”?

Sebab hal ini nampaknya juga relevan dengan konteks masyarakat di Indonesia mengingat Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan keragamannya, terkhusus dalam hal keragaman agama. Kondisi ini membuat Indonesia menjadi negara yang rawan akan konflik antar agama. Maka dari itu sudah selayaknya gereja yang hadir di Indonesia juga menyesuaikan dirinya dan ikut ambil bagian dalam memelihara keharmonisan antar umat beragama. Pada konteks masyarakat seperti ini, sudah bukan lagi saatnya gereja memikirkan dirinya sendiri dan berada pada zona nyaman. Gereja harus keluar untuk memancarkan kasihnya kepada siapapun yang membutuhkan, tanpa batasan apapun. Tidak hanya membangun narasi perdamaian, tetapi gereja perlu menunjukkan aksi nyata melalui pelayanan dengan penuh kasih seperti Yesus Kristus.

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis ingin mengkaji topik penelitian ini dengan menggunakan teori Avery Dulles tentang model gereja sebagai hamba. Sebuah teori yang memiliki cara pandang unik tentang relasi gereja dan dunia. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami diakonia lintas iman yang dilakukan GKJ Argomulyo

(2)

Salatiga dalam perspektif model gereja sebagai hamba. Tentu penelitian ini menjadi penting agar gereja dapat memahami dirinya, terlebih dapat menginspirasi gereja-gereja di sekitar Salatiga atau bahkan gereja-gereja di daerah lain untuk dapat melakukan hal yang serupa mengingat Indonesia adalah negara yang majemuk. Penelitian ini juga berguna dalam rangka memberikan sumbangsih pemahaman eklesiologi baik dalam ranah akademik maupun gereja.

Dengan penelitian ini penulis ingin membantu gereja memahami dan merefleksikan siapa dirinya, untuk apa dan untuk siapa dia ada, sehingga gereja dapat terus bertumbuh sesuai konteks lingkungan dimana dia hidup.

METODE PENELITIAN

Penelitian ilmiah merupakan proses bertanya-menjawab dengan memperhatikan fenomena empiris dalam kerangka berfikir secara teoritis.1 Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif sendiri merupakan metode atau prosedur penelitian yang dilakukan guna menghasilkan data yang bersifat deskriptif baik berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.2 Penelitian kualitatif ini juga merupakan upaya untuk menyajikan dunia sosial dan perspektifnya di dalam dunia dari segi konsep, perilaku, persepsi, dan persoalan tentang manusia yang diteliti.3 Sehingga tidak heran apabila penelitian kualitatif ini biasa digunakan dalam bidang sosial. Oleh karena itu, peneliti merasa bahwa pendekatan ini sangat cocok digunakan dalam topik yang akan diteliti, dimana topik ini berkaitan dengan bidang sosial.

Dalam penelitian kualitatif, ada beberapa macam metode yang digunakan, yaitu studi kasus, etnografi, fenomenologi, etnometodologi, dan lain sebagainya. Khusus dalam penelitian ini, peneliti menggunakan salah satu metode, yaitu etnografi. Sesungguhnya metode ini memiliki tujuan yang sama seperti metode-metode yang lainnya. Pendekatan etnografi dalam penelitian kualitatif bertujuan untuk menggambarkan suatu objek yang dikaji dalam penelitian, baik itu kelas sosial, status suatu kelompok maupun yang lainnya. Pengkajian tersebut berdasarkan hasil temuan baik tertulis maupun lisan dari kelompok orang yang diteliti..4

Guna memperoleh data yang lengkap dan valid, penulis menggunakan wawancara sebagai teknik pengambilan data. Wawancara adalah aktivitas percakapan yang dilakukan oleh dua

1 W. Gulo, Metode Penelitian,(Jakarta :Grasindo, 2002), 4.

2 Lexi, J. Moleong, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R & D, (Bandung: Alfabeta, 2009), 8.

3 Lexi, J. Moleong, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D, 8.

4 Lexy. J.Moleong, Metode Penelitian Kualitatif. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), 3

(3)

pihak (narasumber dan pewawancara) dengan maksud menggali informasi secara mendalam terkait topik atau tema tertentu.5 Dalam hal ini peneliti akan memberikan pertanyaan- pertanyaan mendalam Melalui teknik wawancara ini peneliti menggali data melalui pendeta, majelis gereja, dan jemaat GKJ Argomulyo Salatiga. Dengan adanya tiga sumber informasi data yang diperoleh akan lebih kuat dan seimbang, karena pendeta, majelis gereja, dan jemaat merupakan bagian dari GKJ Argomulyo Salatiga yang juga berperan baik aktif maupun pasif dalam kegiatan-kegiatan terkait perayaan hari raya gerejawi.

Dalam rangka menguraikan makna dari data yang sudah dikumpulkan, maka diperlukan adanya analisis data. Perlu diketahui bahwa analisis data merupakan upaya penelitian yang dilakukan dengan cara bekerja berdasarkan data, yang dimana data-data yang diperoleh akan dikumpulkan dan dikelola sedemikian rupa hingga menemukan pola dan pemahaman- pemahaman penting untuk kemudian dipelajari dan diungkapkan kepada orang banyak.6 Secara sederhana, penelitian dengan menggunakan teknik analisis ini membentuk kesimpulan selalu berdasarkan data-data yang telah terkumpul dan terkelola. Menurut Miles dan Haberman (1984) tahapan teknik analisis data ini meliputi: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi. Dengan demikian kesimpulan akan lebih bersifat terbuka dan objektif.

LANDASAN TEORI Gereja

Ada beberapa pengertian tentang gereja. Menurut Jan Aritonang, secara umum gereja merupakan kumpulan atau persekutuan orang-orang percaya yang telah dipanggil keluar oleh Allah untuk menjadi umat milikNya dan diutus untuk menghadirkan Kerajaan Allah di dalam dunia.7 Gereja juga sering dimaknai sebagai sebuah lembaga atau institusi yang terdiri dari persekutuan orang-orang percaya dimana Allah di dalam Yesus Kristus sebagai pemimpinnya.

Dalam kitab Perjanjian Baru, melainkan ada banyak istilah-istilah lain yang diperkirakan diambil dari kitab Perjanjian lama, seperti misalnya “umat Allah”, “orang-orang beriman”,

“rumah Allah”, “mempelai/kekasih Kristus”, “orang-orang kudus”, “kawanan domba”, dan

5 Lexi, J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung; Remaja Rosdakarya, 2013), 232.

6 Lexi, J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung; Remaja Rosdakarya, 2013), 248.

7 Dr. Jan S. Aritonang dan Dr. Chr. De Jonge, Apa dan Bagaimana Gereja?; Pengantar Sejarah Eklesiologi,(Jakarta:

BPK Gunung Mulia, 2009), hlm. 5

(4)

seterusnya.8 Begitu banyak model dalam menjelaskan hakekat gereja. Hal ini membuktikan bahwa gereja merupakan sesuatu yang dinamis, sehingga tidak mudah untuk memberikan pengertian yang seragam. Bukan tidak mungkin bila di masa-masa yang akan datang akan semakin banyak pula model yang digunakan untuk menjelaskan hakekat gereja. Sebab semakin dekat sebuah model dengan kehidupan jemaat, maka model tersebut semakin efektif dalam menjelaskan hakekat gereja.

Secara sederhana, pengertian gereja dapat dilihat dari tiga perspektif, yaitu historis, sosiologis, dan pengertian dirinya sendiri. Secara historis, gereja pada masa kini meyakini bahwa dirinya merupakan kelanjutan dari gereja mula-mula.9 Gereja mula-mula yang dimaksud adalah sekelompok murid Yesus dari Galilea dan mereka yang menyambut pewartaan para rasul di Yerusalem. Sedangkan secara sosiologis, gereja dimaknai sebagai persekutuan keagamaan orang-orang Kristen yang membentuk suatu organisasi, berkembang, dan berperan dalam masyarakat. Ada beberapa jabatan yang dapat ditemui dalam gereja pada masa Perjanjian Baru, yaitu presbiter (penatua atau imam), dan epikos (penilik atau uskup).10 Dalam kitab Perjanjian Baru diungkapkan bahwa mereka mengalami perkembangan yang cukup pesat meskipun mengalami penderitaan. Pemberitaan Injil dengan menggunakan bahasa serumpun, simbol-simbol yang sangat kontekstual, dan mati syahid menjadi beberapa faktor yang membuat gereja mula-mula bisa berkembang dengan pesat.11

Pada masa kini, gereja berada pada zaman, konteks, dan pergumulan yang jauh berbeda dengan gereja mula-mula. Oleh sebab itu, harus ada penyesuaian perspektif dengan situasi dan kondisi gereja pada masa kini. Gereja juga harus bisa memandang dirinya bukan hanya secara sosiologis dan historis, namun juga dari sudut pengertian dirinya sendiri. Tujuannya agar gereja dapat memahami apa hakikat dan perannya dalam dunia ini.12 Adapun salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan melihat berbagai perumpamaan atau metafora yang digunakan oleh gereja masa lampau dan merefleksikannya bagi gereja masa kini sesuai dengan situasi, kondisi, dan konteks yang dihadapi.

Gereja Kristen Jawa (GKJ) melalui dokumen Pokok-Pokok Ajaran Gereja mendefinisikan gereja sebagai suatu kehidupan bersama religius yang berpusat pada Yesus

8 A. Heuken SJ, Ensiklopedi Gereja Seri A-G, (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1991), 344.

9 A. Heuken SJ, Ensiklopedi Gereja Seri A-G, 344.

10 A. Heuken SJ, Ensiklopedi Gereja Seri A-G, 344.

11 David J. Hesselgrave dan Edward Rommen, Kontekstualisasi: Makna, Metode dan Model, (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2009), 31.

12 A. Heuken SJ, Ensiklopedi Gereja Seri A-G, 345.

(5)

Kristus, yang sekaligus merupakan buah pekerjaan penyelamatan Allah dan jawaban manusia terhadap penyelamatan Allah, yang di dalamnya Roh Kudus bekerja dalam rangka pekerjaan penyelamatan Allah.13 Sinode GKJ sepakat bahwa gereja merupakan wadah dan saluran untuk menyatakan sikap percaya, serta untuk menghayati dan mengungkapkan hubungan orang percaya dengan Allah. Dalam hal ini Sinode GKJ sebenarnya ingin menonjolkan kehidupan bersama antar individu. Karena Sinode meyakini bahwa manusia pada dasarnya merupakan makhluk yang tidak bisa hidup sendiri. Ia selalu membutuhkan orang lain untuk menjalani kehidupannya. Tapi tentunya Sinode GKJ tidak pernah menganggap bahwa gereja merupakan hasil pekerjaan manusia, namun gereja terbentuk karena campur tangan Tuhan.

Avery Dulles dan Model Gereja Sebagai Hamba

Avery Robert Dulles atau biasa dikenal Avery Dulles merupakan seorang imam Yesuit, teolog, dan kardinal Gereja Katolik yang lahir di Auburn, New York, Amerika Serikat pada 1918 dan wafat di Bronx, New York, Amerika Serikat pada 12 Desember 2008. Ia dibesarkan sebagai seorang Protestan Presbiterial. Namun dalam perjalanannya ia beralih menjadi Katolik dan mulai memberikan sumbangsih pemikirannya di bidang eklesiologi. Ia mengajar di berbagai tempat, seperti Woodstock College (1960-1974), Catholic University of America(1974-1988), dan menjadi Laurence J. McGinley Professor of Religion and Society di Fordham University (1988-2008). Terkhusus, ia dipengaruhi oleh pemikiran kakeknya, Allen Macy Dulles, seorang pengajar di Auburn Theological Seminary, sebuah lembaga pendidikan presbiterian. Kakeknya tersebut juga seorang yang menerbitkan karya-karyanya di bidang eklesiologi.14

Meski merupakan tokoh Katolik, pemikiran Avery Dulles masih sangat layak dipakai dalam mengkaji topik-topik yang berkaitan dengan gereja protestan. Terlepas dari latar belakangnya yang dibesarkan sebagai seorang protestan presbiterial, pemikiran-pemikiran eklesiologi Avery Dulles sendiri juga sangat universal. Artinya, tidak selalu berafiliasi pada denominasi tertentu. Hal ini terlihat dari pemikirannya tentang gereja. Menurut Avery Dulles, selain harus terbuka bagi orang lain gereja juga harus bersifat am atau katolik. Bersifat katolik artinya gereja harus terbuka kepada semua kebenaran Allah tanpa memperdulikan siapa yang

13 Sinode GKJ, Pokok-Pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa edisi 2019, (Salatiga; Sinode GKJ, 2019), 49.

14 Biography of Avery Dulles Diarsipkan August 28, 2006, di Wayback Machine., Catholic Pages.com, https://profilpelajar.com/Avery_Dulles diakses pada 17 Juni 2022 pukul 12.00 WIB.

(6)

mengatakannya.15 Pemikiran ini didasarkan pada Filipi 4:8, bahwa “semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan harus diterima”.

Avery Dulles membagi atau mengkategorikan gereja menjadi enam model, diantaranya model gereja sebagai institusi, gereja sebagai persekutuan mistis, gereja sebagai sakramen, gereja sebagai pewarta, gereja sebagai hamba, dan gereja sebagai persekutuan murid.16 Pemakaian istilah “model” dalam ilmu teologi, terlebih dalam pemikiran Avery Dulles tidak seperti yang dipakai oleh ilmu-ilmu eksakta dan ilmu sosial. Ilmu-ilmu eksakta menggunakan istilah “model” sebagai piranti untuk memperoleh titik acuan dalam menjelaskan sebuah fenomena, seperti maket yang dipakai dalam bidang ilmu arsitektur. Istilah tersebut memiliki sifat skematis dan merupakan kenyataan yang memiliki kesamaan fungsional dengan objek yang dipelajari, sehingga model-model tersebut dapat memberikan kosakata serta sarana konseptual.17 Berbeda dengan hal tersebut, model-model yang digunakan dalam ilmu teologi adalah model penyingkap yang memiliki sifat eksplanatif (menjelaskan) dan eksploratif (meneliti).18

Menurut Dulles, dalam empat model awal (gereja sebagai institusi, gereja sebagai persekutuan mistis, gereja sebagai sakramen, gereja sebagai pewarta) ada kesenjangan relasi antara gereja dan dunia. Relasi antara gereja dan dunia layaknya subjek dan objek, di mana gereja sebagai subjek harus memberi pengaruh kepada dunia, sebaliknya dunia yang merupakan objek harus tunduk dan mendengarkan nasehat gereja.19 Oleh sebab itu, model ke- 5 muncul, yaitu model gereja sebagai hamba. Model gereja sebagai hamba ini memang tidak secara langsung memiliki dasar di dalam teks Alkitab. Meski demikian, Avery Dulles mengungkapkan bahwa madah hamba Tuhan dalam kitab Nabi Yesaya dan contoh kehidupan pelayanan yang ditampakkan Yesus sebagai yang datang untuk melayani dan bukan untuk dilayani dapat dijadikan sebagai dasar atau pondasi yang cukup kuat bagi model ini.20

Kata “hamba” sendiri diperoleh dari salah satu dokumen Vatikan II yang berupa surat pastoral yang berjudul “The Servant Church”, yang dikeluarkan oleh Kardinal Cushing dari

15 Avery Dulles, Model-Model Gereja, (Nusa Tenggara Timur: Penerbit Nusa Indah, 1990), 8.

16 Avery Dulles, Model-Model Gereja, 84.

17 A. R. Murniati dan Nasir Usman, Implementasi Manajemen Stratejik dalam Pemberdayaan Sekolah Menengah Jurusan (Bandung: Ciptapustaka Media Printis, 2009), 188.

18 Avery Dulles, Model-Model Gereja, 24-25.

19 Avery Dulles, Model-Model Gereja, 84.

20 Avery Dulles, Model-Model Gereja, 93.

(7)

25 Avery Dulles, Model-Model Gereja, 91.

26 Avery Dulles, Model-Model Gereja, 87-88.

Boston pada Adventus tahun 1966.21 Surat pastoral ini menggambarkan Yesus sebagai sosok yang datang ke dunia bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani, mendamaikan dan memberi diri untuk kepentingan seluruh ciptaan. Afra Siauwardjaja, dalam bukunya yang berjudul “Membangun Gereja Indonesia: Model-Model Gereja Katekese Umat Indonesia”

menuangkan apa yang telah dikatakan oleh Kardinal Chusing, bahwa Yesus hadir ke dunia tidak semata-mata memproklamasikan eksistensi Kerajaan Allah, tetapi juga menyerahkan diri-Nya sebagai pengejawantahan dari Kerajaan Allah.22 Ia hadir untuk melayani, bukan untuk dilayani. Ia hadir untuk menyembuhkan, mendamaikan, dan membalut luka-luka.23 Yesus dalam arti khusus disamakan dengan orang Samaria yang baik hati. Ialah yang menyertai kita dalam setiap aspek kehidupan kita. Ia sungguh-sungguh mati supaya kita bisa hidup, dan ia melayani kita supaya kita disembuhkan. Gereja sebagai hamba merupakan penjelmaan dalam usaha pengejawantahan apa yang sudah dilakukan oleh Yesus Kristus, menjadi tubuh Kristus, menjadi hamba yang rela berkorban dan menderita. Dengan demikian, Gereja tidak semata- mata memproklamasikan eksistensi Kerajaan Allah melalui pemberitaan dan pemakluman, melainkan melalui tindakan konkret dalam kontribusi perdamaian, dalam membasuh luka-luka, dalam pelayanan penderitaan, dalam penyembuhan. Seperti Yang Mahakuasa telah menjadi

“manusia bagi yang lain”, demikian pula Gereja haruslah semakin menjadi “persekutuan bagi yang lain”.24 Gereja harus menghidupkan harapan dan aspirasi manusia akan kerajaan Allah beserta nilai-nilainya.25

Ciri khas dari hamba adalah hidup di rumah orang lain (dunia), sehingga gereja ada bukan untuk menguasai apapun di sekitarnya, melainkan harus melayani sesamanya. Gereja hanya layak menjadi gereja jika ia berada bagi orang lain, karena Tuhan adalah manusia bagi sesamanya dan gereja seharusnya menjadi persekutuan bagi sesamanya.26 Sangat jelas sekali bahwa pada model ini Dulles menekankan gereja pada sisi pelayanannya. Gereja dalam model ini tidak bertindak layaknya orang tua di mana dunia selalu diposisikan sebagai anak nakal yang harus terus menerus diberi nasehat, melainkan lebih seperti sahabat yang saling melayani dan selalu ada bagi sesamanya. Ia adalah Tubuh Kristus, yang ada untuk melayani seperti

21 Avery Dulles, Model-Model Gereja, 86.

22 Afra Siauwardjaja, Membangun gereja Indonesia: Model-model gereja katekese umat Indonesia, (Yogyakarta:

Kanisius, 1987), 42-43.

23 Avery Dulles, Model-Model Gereja, 86-87..

24 Afra Siauwardjaja, Membangun gereja Indonesia: Model-model gereja katekese umat Indonesia, 42-43.

(8)

halnya Yesus Kristus. Karena orang-orang Kristen pada hakikatnya dipanggil untuk melayani sesamanya.27

Melihat pemahaman tersebut, dapat disimpulkan bahwa model gereja sebagai hamba ini sangat kontras dengan model-model lainnya dalam memandang dunia. Jika dalam model- model yang lain, dunia lebih dipandang sebagai objek, dengan gereja sebagai subjeknya, model ini memahami bahwa gereja juga bagian dari masyarakat yang memiliki kedudukan yang setara. Model gereja sebagai hamba ini juga bersifat sekuler dan dialogal.28 Bersifat sekuler artinya, gereja harus menjadikan dunia sebagai tempat untuk berteologi serta berusaha peka dalam memperhatikan tanda-tanda zaman. Sedangkan bersifat dialogal artinya gereja bekerja pada batas antara dunia kontemporer dan tradisi Kristen. Artinya, model ini memberi perhatian tidak hanya pada keterhubungan iman gereja dengan Tuhan, namun juga pada keterhubungan sosial dan kemasyarakatan dari gereja.

Sejalan dengan itu, Avery Dulles dalam bukunya “The Catholicity of The Church”

menyebutkan bahwa persekutuan orang-orang Kristen atau gereja juga harus dipahami sebagai komunitas yang luas dan inklusif.29 Dalam pengertian ini ia menentang perpecahan, sektarianisme, dan apa pun yang cenderung membatasi atau mengisolasi orang Kristen dalam kelompok tertutup dan partikularis. Kepenuhan karunia Allah di dalam dan melalui Gereja dipahami sebagai karunia untuk mengkomunikasikan dirinya sendiri tanpa batas kepada orang- orang dari segala jenis dan kondisi. Tentu hal ini merujuk pada tulisan-tulisan dalam Perjanjian Baru di mana para penulisnya yakin bahwa Yesus telah menyerahkan nyawa-Nya bukan untuk satu bangsa saja, tetapi untuk mengumpulkan dan mempersatukan anak-anak Allah yang tercerai berai (Yohanes 11:52).30 Avery Dulles juga merujuk pada tindakan Rasul Paulus yang sangat terkesan berupaya mengatasi semua diskriminasi dan permusuhan karena perbedaan sosial.31

Hal ini sejalan dengan pemikiran Avery Dulles yang dipengaruhi oleh Yohanes Paulus II bahwa imanlah yang menggerakkan akal untuk bergerak melampaui semua isolasi dan rela mengambil risiko sehingga dapat mencapai apa pun yang indah, baik, dan benar. Iman dengan demikian menjadi pendukung akal yang yakin dan meyakinkan.32 Di satu sisi, Dulles memeluk

27 Pdt. Yusak B. Setyawan, Buku Ajar Eklesiologi, (Salatiga: Fakultas Teologi UKSW Press, 2013), 75.

28 Avery Dulles, Model-Model Gereja, 86.

29 Avery Dulles, The Catholicity of the Church, (Oxford: Clarendon Press, 1987), 68.

30 Avery Dulles, The Catholicity of the Church, 69.

31 Avery Dulles, The Catholicity of the Church, 71.

32 Avery Dulles, John Henry Newman, (London: Continuum, 2002), 45.

(9)

fides et rasio sebagai konfirmasi dari apa yang telah dia ajarkan selama bertahun-tahun tentang sifat hubungan antara iman dan akal. Dulles juga menerima pluralisme dalam mendekati disiplin teologi suci yang dibawa oleh Vatikan II. Karena itu, dia bereksperimen dengan model- model yang sekarang terkenal di hampir setiap aspek teologi yang dia tangani. Hal tersebut mengartikan bahwa iman kepada Kristus seharusnya tidak membuat gereja acuh dengan realitas yang ada di sekitarnya. Iman kepada Kristus seharusnya mendorong gereja untuk menggunakan akal budinya dengan cara membuka mata, keluar dari zona nyaman, mendobrak sekat-sekat yang dibentuk oleh pemahaman yang eksklusif dan berani berkorban melalui tindakan konkret menjamah dunia yang sedang membutuhkan perhatian dan pertolongan.

Beberapa teolog seperti Teilhard de Chardin, Dietrich Bonhoeffer, dan Gibson Winter juga memiliki pemikiran yang senada dengan model gereja sebagai hamba yang dicetuskan oleh Avery Dulles ini. Bagi Teilhard de Chardin, seluruh energi dalam alam semesta pada akhirnya akan terarah pada Kristus. Oleh sebab itu, pada hakekatnya gereja dipanggil Allah untuk menjadi masyarakat yang progresif dan menjadi teladan dalam poros evolusi.33 Artinya, gereja harus terbuka terhadap segala sesuatu yang baik, yang muncul dari dinamisme roh manusia yang terkandung dalam ilmu pengetahuan dan teknologi guna memenuhi panggilan Allah. Tidak berbeda dengan Teilhard de Chardin, Gibson Winter juga memiliki pemahaman yang demikian. Gereja sudah selayaknya mengabdi sebagaimana gereja yang merupakan komunitas di dalam struktur-struktur duniawi dan memiliki tanggung jawab historis dan yang mengenal dan mengakui karya Allah bagi manusia.34 Bahkan menurut Dietrich Bonhoeffer gereja harus ambil bagian dalam proses-proses sekular dari kehidupan manusia, tidak dengan menguasainya tetapi dengan menolong dan melayaninya.35 Lebih dari itu, Bonhoeffer juga berpendapat dalam kaitannya dengan relasi lintas iman bahwa sasaran pelayanan gereja tidak hanya ditujukan untuk umat Kristen, melainkan bagi orang-orang beragama lain. Oleh sebab itu, gereja harus bergerak dan memperkenalkan Kristus tanpa simbol-simbol agama.36

Keberimbangan antara sisi vertikal dan horisontal dalam model ini juga menarik untuk diperhatikan dalam model gereja sebagai hamba. Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo mengungkapkan bahwa dalam model ini, keberadaan gereja tidak hanya untuk Tuhan dan

33 Pdt. Yusak B. Setyawan, Buku Ajar Eklesiologi, 76.

34 Pdt. Yusak B. Setyawan, Buku Ajar Eklesiologi, 76.

35 Pdt. Yusak B. Setyawan, Buku Ajar Eklesiologi, 76.

36 Dietrich Bonhoeffer, Letters and Papers from Prison, Ed. Ebehard Bethge, (New York: Mcmillan, 1972), 279.

(10)

sorga, melainkan juga untuk sesama dan dunia.37 Artinya, gereja juga merupakan agen Allah untuk membangun dunia dan manusia seturut dengan nilai-nilai luhur yang diperkenankan Allah. Tentu hal ini menjadi sangat penting terlebih melihat realitas Indonesia dan Asia yang pada umumnya diwarnai dengan kemiskinan, ketidakadilan, dan penindasan.38

Diakonia

Salah satu wujud paling konkret dari model gereja sebagai hamba adalah pelayanan diakonia. Secara harfiah kata “diakonia” sendiri berarti “memberi pertolongan atau pelayanan”.

Kata ini berasal dari kata Yunani diakonia (pelayanan), diakonein (melayani), diakonos (pelayan).39 Diakonia merupakan salah satu dari “Tri Tugas Gereja”, yaitu persekutuan (koinonia), bersaksi (marturia), dan pelayanan (diakonia). Meski memiliki porsi masing- masing, ketiga hal tersebut harus dilihat secara utuh, tidak terpisah-pisah.40 Ketiga tugas gereja tersebut bila dihubungkan dengan misi gereja di dunia ini, maka gereja sebenarnya menekankan kesaksian dan pelayanan sebagai misi atau tugas panggilan gereja sebagai persekutuan.41 Pelayanan kasih atau yang biasa disebut diakonia harus benar-benar menjadi komitmen dan cara hidup yang baru bagi setiap anggota gereja dimanapun mereka berada.

Menyentuh sisi jasmani dan rohani orang-orang di sekitarnya.42 Sebab sejatinya diakonia melekat dalam jati diri gereja yang pada hakikatnya merupakan persekutuan murid-murid Kristus yang dipanggil untuk saling mengasihi, datang untuk melayani bukan untuk dilayani.43 Hal ini tentu sejalan dengan pandangan John Stott yang menyatakan bahwa setiap orang yang dipanggil menjadi milik Allah harus bersedia diutus kembali ke dunia untuk menjadi saksi dan melayani.44 Oleh sebab itu, diakonia menjadi sangat vital dalam gereja. gereja bisa saja hidup

37 Pdt. Ebenhaizer I Nuban Timo, Gereja Lintas Agama: Pemikiran-Pemikiran Bagi Pembaharuan Kekristenan di Asia, (Salatiga: Satya Wacana Unversity Press, 2013), 302.

38 Pdt. Ebenhaizer I Nuban Timo, Anak Matahari: Teologi Rakyat Bolelebo Tentang Pembangunan, (Maumere:

Penerbit Ledalero, 1994), 12.

39 Dr. A. Noordegraaf, Orientasi Diakonia Gereja: Teologi Dalam Perspektif Reformasi (Jakarta: Gunung Mulia, 2004), 2.

40 Widi Artanto, Gereja dan Misi-Nya: Mewujudkan Kehadiran Gereja dan Misi-Nya di Indonesia, (Yogyakarta:

Yayasan Taman Pustaka Indonesia, 2016), 24.

41 Krido Siswanto, “Tinjauan Teoritis Dan Teologis Terhadap Diakonia Transformatif Gereja”, (Ungaran: Jurnal STT Simpson Ungaran, 2016), 95.

42 J.I., Ch. Abineno, Diaken: Diakonia dan Diakonat Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 2.

43 Martin Chen dan Agustinus Manfred Habur, Diakonia Gereja: Pelayanan Kasih Bagi Orang Miskin dan Marginal, (Jakarta: Obor, 2020), 6.

44 John R.W. Stott, The Living Church: Menggapai Pesan Kitab Suci Yang Bersifat Tetap Dalam Budaya Berubah, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 2.

(11)

tanpa adanya bangunan atau gedung, tetapi gereja tidak dapat hidup tanpa praktik diakonia di dalamnya.45

Widi Artanto mendefinisikan diakonia dengan sangat baik sesuai dengan konteks Indonesia. Dengan mengacu pada pelayanan Kristus, menurutnya ada empat pemahaman diakonia yang harus dipahami dan dikembangkan oleh gereja.46 Yang pertama, diakonia harus dipahami sebagai tanda kehidupan gereja atau setiap orang Kristen. Artinya, diakonia atau pelayanan harus menjadi gaya hidup, ciri khas, dan warna yang membedakan orang Kristen dengan orang-orang lainnya. Yang kedua adalah diakonia harus dipahami sebagai pemberian diri. Artinya, kegiatan atau aktivitas baru dapat disebut sebagai pelayanan apabila sungguh- sungguh dilakukan dalam rangka memberikan dirinya. Yang ketiga, diakonia harus demi kepentingan orang lain dan orang banyak. Artinya, diakonia atau pelayanan bukan hanya berdiri sebagai program gereja, tetapi haruslah berorientasi pada kebutuhan manusia. Ini menegaskan bahwa diakonia seharusnya juga ditujukan untuk orang lain di luar anggota gereja.

Jika diakonia atau pelayanan kepada anggota gereja merupakan upaya untuk memelihara persekutuan, maka diakonia kepada non anggota gereja merupakan upaya supaya mereka turut mengalami dan merasakan cinta kasih Allah, bukan dalam rangka Kristenisasi. Yang keempat, diakonia tidak boleh dimaknai sebagai alat penginjilan, tetapi pemberitaan Injil atau kabar baik yang diwujudkan dalam bentuk tindakan pelayanan kasih tanpa batas agama atau kelompok.

Dari keempat hal ini sangat nampak sekali bahwa Widi Artanto ingin mengajak gereja-gereja, khususnya di Indonesia untuk menjadikan diakonia sebagai pelayanan yang melampaui batas- batas golongan, sesuai dengan konteks masyarakat di Indonesia. Hal ini sejalan dengan Joseph P. Widyatmadja yang berpendapat bahwa gereja adalah diakonia, yang dalam aktualisasinya tidak boleh ada unsur keinginan untuk menambah anggota gereja, melainkan bermaksud untuk membebaskan masyarakat dari berbagai keterpurukan sebagaimana yang telah diteladankan oleh Kristus.47

Senada dengan itu, Sinode GKJ melalui dokumen Pokok-Pokok Ajaran Gereja mengungkapkan bahwa gereja sebagai perwujudan sikap percaya tidak hanya dinyatakan melalui kehidupan religius sebagai wujud hubungan manusia dengan Allah. Sinode GKJ menyadari bahwa secara kodrati manusia juga menjalani kehidupannya di dalam kebersamaan

45 Joseph Purnama Widyatmadja, Yesus dan Wong Cilik: Praksis Diakonia Transformatif dan Teologi Rakyat di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 1.

46 Widi Artanto, Gereja dan Misi-Nya; Mewujudkan Kehadiran Gereja dan Misi-Nya di Indonesia, 26-27.

47 Joseph P. Widyatmadja, Diakonia Sebagai Misi Gereja: Praksis dan Refleksi Diakonia Transformatif, (Yogyakarta: PT. Kanisius, 2009), 6.

(12)

dengan sesamanya, maka kehidupan religius orang-orang percaya juga diwujudkan dalam kehidupan bersama dengan sesamanya [Mat.16:18 (baca ayat 13-18); 18:17; Kis.1:14;

1Kor.1:2].48 Dalam relasinya dengan agama lain Sinode GKJ juga mengajarkan bahwa gereja harus mengakui dan menghormati hak hidup agama lain, termasuk di dalamnya hak untuk dianut, diamalkan dan disiarkan, tanpa perlu jatuh ke dalam kesalahan menyamakan semua agama. Bila perlu, orang percaya membela hak-hak agama lain yang diperlakukan tidak adil.49 Meski demikian, pemberitaan penyelamatan Allah tetap didengungkan kepada siapapun tanpa terkecuali. Namun, motif pemberitaan penyelamatan Allah adalah demi keselamatan manusia, bukan untuk meniadakan agama lain dan berjalan di atas prinsip kebebasan, bukan paksaan [Rm.10:14-15].50 Dengan demikian secara eksplisit Sinode GKJ tidak menutup mata terkait kepelbagaian yang ada di sekitarnya. Sinode GKJ menyadari bahwa dirinya bukanlah satu- satunya lembaga yang berdiri sendiri, melainkan hidup di tengah-tengah dan menjadi bagian dari masyarakat. Oleh sebab itu berdasarkan pokok-pokok ajaran gereja, arah pelayanan sinode GKJ tidak hanya ke dalam, tetapi juga ke luar dari komunitas.

Hari Raya Gerejawi

Gereja (bahasa Yunani ekklesia) dipahami sebagai sekumpulan orang yang dipanggil keluar tentu tidak pernah lepas dengan perayaan-perayaan hari raya gerejawi. Ada beberapa hari raya gerejawi yang setiap tahun dirayakan atau diperingati oleh gereja di seluruh dunia, seperti hari raya Advent, Natal, Epifani, Jumat Agung, Paskah, Kenaikan Tuhan Yesus Kristus ke sorga, dan Pentakosta.51 Seluruh hari raya gerejawi tersebut dilaksanakan di dalam rangkaian tahun gerejawi yang sudah diatur secara khusus dalam periode dua belas bulan (tahun masehi) pada hari-hari Minggu. Namun masih ada beberapa denominasi gereja tertentu yang memperingati hari raya gerejawi secara khusus dalam lingkup lokal, seperti hari raya persembahan atau yang biasa disebut undhuh-undhuh oleh beberapa denominasi gereja Jawa, seperti GKJ dan GKJW (Greja Kristen Jawi Wetan), hari jadi Sinode, dan hari jadi gereja lokal atau gereja setempat. Pada umumnya hari raya gerejawi dirayakan dengan cara-cara yang kreatif sesuai dengan konteks dan tempat di mana gereja tersebut berkembang. Tidak jarang beberapa gereja menggunakan momen kemeriahan hari raya gerejawi dengan melakukan

48 Sinode GKJ, Pokok-Pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa edisi 2019, (Salatiga; Sinode GKJ, 2019), 48-49.

49 Sinode GKJ, Pokok-Pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa edisi 2019, 94.

50 Sinode GKJ, Pokok-Pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa edisi 2019, 94-95.

51 Widdwissoeli M. Saleh, Hari Raya & Simbol Gerejawi, 9.

(13)

kegiatan diakonia seperti salah satunya GKJ Argomulyo yang menjadi subjek dari topik penelitian ini.

Pada hakekatnya hari raya gerejawi ini merupakan warisan dari tradisi Kristen baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.52 Hari raya gerejawi adalah hari khusus yang dirayakan oleh gereja atau umat Kristen di seluruh dunia dalam rangka memelihara iman Kristen dan menyaksikan karya penyelamatan Allah kepada dunia melalui Yesus Kristus.53 Artinya, dengan diperingatinya atau dirayakannya hari raya gerejawi, jemaat diajak untuk mengingat, menghayati, dan merefleksikan kembali karya Allah di sepanjang sejarah kehidupan manusia dan seluruh ciptaan lainnya.

DATA HASIL PENELITIAN

Data penelitian ini diperoleh penulis dengan cara melakukan wawancara terhadap 6 narasumber. Kelima narasumber ini dipilih berdasarkan keterlibatannya dalam kegiatan perayaan hari raya gerejawi, terkhusus pendeta, majelis gereja, panitia pelaksana, dan juga jemaat GKJ Argomulyo Salatiga. Wawancara dilakukan secara langsung dan nonformal di momen perayaan hari masa paskah dan pentakosta beserta undhuh-undhuh pada hari Minggu, 5 Juni 2022. Hal ini dirasa penting agar penulis bisa mendapatkan data yang utuh terkait topik yang diangkat atau dibahas dalam tulisan ini. Berikut biodata singkat narasumber dan hasil wawancara:

No. Nama Narasumber Jenis

Kelamin Keterangan

1. Pdt. Kurniawan, S.Si -Teol L Pendeta

2. Suwasono L Majelis Gereja

3. Yonathan Prihantara L Ketua Panitia Masa Paskah dan Pentakosta

4. Siti Widyastuti P Majelis Gereja

5. Yovita Violeta P Majelis Gereja

6. Atik Krisnawati P Warga Jemaat

52 Widdwissoeli M. Saleh, Hari Raya & Simbol Gerejawi, (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2008), 1-2.

53 Widdwissoeli M. Saleh, Hari Raya & Simbol Gerejawi, 1-2.

(14)

Gereja dan Diakonia Lintas Iman

Berdasarkan wawancara yang sudah dilakukan, penulis menemukan hasil bahwa GKJ Argomulyo memaknai gereja sebagai sekelompok atau sekumpulan orang percaya yang dipanggil keluar untuk memberitakan kabar keselamatan kepada dunia.54 Artinya, gereja harus berani keluar menyentuh orang-orang yang ada di sekitarnya. Pdt. Kurniawan mengatakan bahwa pemahaman semacam ini yang selalu ditanamkan di GKJ Argomulyo. Beliau juga mengatakan bahwa dengan pemahaman tentang gereja yang demikian, gereja akan lebih inklusif dan menyadari bahwa dirinya harus hadir di tengah-tengah masyarakat, terlebih masyarakat yang majemuk. Oleh sebab itu, sasaran diakonia atau pelayanan yang merupakan salah satu dari bagian tri tugas gereja tidak hanya mengarah ke dalam komunitas gereja sendiri, melainkan juga mengarah ke luar gereja, baik lintas denominasi maupun lintas iman layaknya Kristus yang datang untuk melayani, bukan untuk dilayani.55

Dasarnya ada dalam PPAG (Pokok-Pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa), bahwa Sinode GKJ menyadari secara kodrati manusia juga menjalani kehidupannya di dalam kebersamaan dengan sesamanya, maka kehidupan religius orang-orang percaya juga diwujudkan dalam kehidupan bersama dengan sesamanya.56 Bapak Pdt. Kurniawan mengaku bahwa GKJ Argomulyo sangat memegang erat pokok-pokok ajaran gereja tersebut. Senada dengan itu, salah satu narasumber lain, Bapak Suwasono juga mengungkapkan bahwa kegiatan diakonia adalah kegiatan pelayanan umum yang tidak bersifat normatif yang artinya diakonia bisa dilakukan ke dalam dan ke luar komunitas gereja secara seimbang, terlebih GKJ Argomulyo hidup di tengah masyarakat Kota Salatiga yang majemuk.57 Suwasono juga menambahkan bahwa hal ini juga merupakan upaya untuk menjaga kedamaian dan keharmonisan relasi antar umat beragama di sekitar gereja. Pelayanan diakonia dimaknai dan dipahami sebagai bentuk pengajaran kasih dan pengorbanan yang dilakukan dengan setulus hati oleh gereja kepada anggotanya dan juga kepada masyarakat di sekitarnya.58 Sedangkan secara singkat, makna diakonia menurut Yonathan Prihantara, sebagai ketua panitia masa Paskah dan Pentakosta GKJ Argomulyo 2022 adalah memberi dan melayani tanpa pamrih layaknya hamba sebagai bentuk ungkapan syukur karena sudah menerima anugerah keselamatan.59

54 Hasil wawancara dengan Pdt. Kurniawan, S.Si-Teol pada 5 Juni 2022.

55 Hasil wawancara dengan Pdt. Kurniawan, S.Si-Teol.

56 Hasil wawancara dengan Pdt. Kurniawan, S.Si-Teol.

57 Hasil wawancara dengan Suwasono pada 5 Juni 2022.

58 Hasil wawancara dengan Suwasono.

59 Hasil wawancara dengan Yonathan Prihantara pada 5 Juni 2022.

(15)

65 Hasil wawancara dengan Pdt. Kurniawan, S.Si-Teol.

Diakonia Lintas Iman dalam Momen Perayaan Hari Raya Gerejawi

Beberapa hal terkait pemahaman tentang gereja dan diakonia yang sudah dikatakan oleh ketiga narasumber di atas tentu tidak hanya berhenti pada tataran praksis, melainkan sampai pada tindakan praktis melalui kegiatan yang dilakukan oleh seluruh jemaat GKJ Argomulyo.

Seluruh narasumber mengatakan benar adanya jika GKJ Argomulyo setiap tahun merayakan hari raya gerejawi dengan melakukan kegiatan bakti sosial. Menurut salah seorang narasumber yang juga merupakan majelis gereja, yaitu Yovita Violeta, kegiatan bakti sosial dipilih karena cakupannya yang luas, tidak pandang agama apa dan siapapun boleh ikut.60 Beliau menambahkan bahwa bakti sosial adalah aksi yang paling nyata sebagai wujud empati terhadap masyarakat di sekitar lingkungan gereja, daripada hanya sekedar bersimpati tanpa aksi.

Kegiatan bakti sosial juga merupakan bentuk kesadaran jemaat bahwa hidup bermasyarakat harus saling tolong menolong sebagai wujud nyata penerapan kasih Tuhan dalam kehidupan keseharian.61 Yesus datang sebagai hamba untuk melayani dunia, begitu juga seharusnya gereja yang juga sebagai hamba, sehingga pelayanannya harus ditujukan kepada dunia atau semua orang.62

Berdasarkan keterangan dari narasumber diketahui bahwa tidak semua perayaan hari raya gerejawi dilakukan dengan mengadakan bakti sosial. Secara khusus momen yang dipilih untuk dilakukannya diakonia berupa bakti sosial kepada masyarakat sekitar adalah Paskah, Pentakosta, dan Undhuh-undhuh yang mana perayaan tersebut dirangkai menjadi satu pada hari Pentakosta.63 Meski demikian GKJ Argomulyo juga pernah melakukan bakti sosial pada perayaan Natal, seperti contohnya di awal tahun 2020 dengan melakukan pelayanan dan pemberian bantuan di salah satu panti asuhan di Kota Salatiga.64 Selebihnya, kegiatan perayaan hari raya gerejawi lainnya hanya dilakukan dengan cara menggelar ibadah, pentas seni, makan bersama, dan kegiatan internal lainnya. Seluruh kegiatan diakonia berupa bakti sosial dalam rangka perayaan hari raya gerejawi juga sempat terhenti pada tahun 2020 hingga awal 2022 akibat pandemi Covid-19, namun pada bulan Mei 2022 ini kegiatan bakti sosial tersebut mulai dilaksanakan kembali.65 Bagi narasumber hari raya gerejawi dipilih sebagai momen untuk

60 Hasil wawancara dengan Yovita Violeta pada 5 Juni 2022.

61 Hasil wawancara dengan Siti Widyastuti pada 5 Juni 2022.

62 Hasil wawancara dengan Siti Widyastuti.

63 Hasil wawancara dengan Yonathan Prihantara.

64 Hasil wawancara dengan Pdt. Kurniawan, S.Si-Teol.

(16)

melaksanakan bakti sosial tidak lain adalah agar jemaat semakin menghayati penyelamatan Allah kepada dunia melalui Yesus Kristus melalui tindakan nyata.66

Bentuk kegiatan bakti sosial yang dilakukan beranekaragam, seperti misalnya potong rambut gratis, cek kesehatan gratis, donor darah, penjualan sembako murah bagi masyarakat sekitar yang kurang mampu, dan pembagian sembako kepada masyarakat sekitar yang kurang mampu, baik anggota jemaat maupun di luar anggota jemaat.67 Beberapa bentuk bakti sosial tersebut sengaja dipilih dengan melihat kebutuhan dasar masyarakat sekitar.68 Rangkaian acara ini melibatkan banyak pihak.69 Sejumlah panitia pelaksana diterjunkan secara khusus untuk mensurvei dan mendata masyarakat sekitar gereja yang dirasa kurang mampu untuk selanjutnya dijadikan target pembagian sembako atau tiket sembako murah.70 Sasaran utama pendataan adalah warga masyarakat di luar gereja, baik itu dari gereja lain seperti jemaat GKJTU Tugu maupun warga non kristen.71 Bapak Suwasono menambahkan bahwa jemaat GKJ Argomulyo cukup totalitas dalam melakukan kegiatan bakti sosial sebagai bentuk diakonia ini, sama seperti Yesus yang secara totalitas melayani semua orang. Beliau mengambil contoh saat Yesus membasuh kaki murid-muridnya dan kematian Yesus sebagai wujud pelayanan yang totalitas.

Adapun dilaksanakannya kegiatan ini sudah menjadi tradisi sejak pertama kali GKJ Argomulyo menjadi gereja dewasa pada tahun 2015.72 Bapak Pdt. Kurniawan menjelaskan bahwa selama ini belum ada komplain yang diterima oleh GKJ Argomulyo dari masyarakat dalam melaksanakan kegiatan bakti sosial ini. Bahkan masyarakat sangat menunggu momen- momen kegiatan ini karena sangat bermanfaat bagi mereka. Tidak pernah ada anggapan bahwa GKJ Argomulyo melakukan tindakan Kristenisasi. Hal ini bisa terjadi karena memang tidak pernah ada motivasi itu yang ditanamkan kepada jemaat. Kegiatan bakti sosial ini dilandasi dengan motivasi melayani dengan setulus hati kepada masyarakat di sekitar gereja, tidak membawa embel-embel kekristenan terlebih ajakan untuk pindah agama.73

66 Hasil wawancara dengan Yovita Violeta.

67 Hasil wawancara dengan Atik Krisnawati pada 5 Juni 2022.

68 Hasil wawancara dengan Suwasono dan Yonathan Prihantara.

69 Hasil wawancara dengan Suwasono dan Yonathan Prihantara.

70 Hasil wawancara dengan Suwasono dan Yonathan Prihantara.

71 Hasil wawancara dengan Suwasono dan Yonathan Prihantara.

72 Hasil wawancara dengan Atik Krisnawati.

73 Hasil wawancara dengan Pdt. Kurniawan, S.Si-Teol.

(17)

Dalam wawancara, penulis menemukan keterangan bahwa sebenarnya kegiatan diakonia yang melibatkan masyarakat di luar gereja tidak hanya dilakukan ketika momen perayaan hari raya gerejawi saja. GKJ Argomulyo memiliki anggaran khusus untuk mendukung kegiatan masyarakat sekitar gereja, secara khusus bantuan berupa sejumlah uang untuk keluarga non warga gereja yang meninggal dunia.74 Setiap komisi kategorial, seperti komisi adiyuswa, komisi perempuan, komisi sekolah minggu dan pemuda remaja juga memiliki program tersendiri untuk melakukan kegiatan bakti sosial sebagai wujud diakonia gereja. Sebagian besar aksi kategorial tersebut juga tidak melulu menyasar pada sesama warga gereja, tetapi juga mencakup warga masyarakat secara umum.75

ANALISA HASIL PENELITIAN

Pengenalan dan Pemaknaan Gereja dalam Konteks Masyarakat Multikultural

Hidup dan berkarya dalam lingkungan masyarakat yang multikultural, baik dalam segi keagamaan maupun kemampuan ekonomi membuat gereja harus lebih peka dan terbuka terhadap kondisi masyarakat yang ada di sekitarnya. Dalam hal ini gereja tidak hanya berjalan pada jalur religius, tetapi juga pada jalur humanis atau kemanusiaan. Untuk mencapai tahapan tersebut gereja membutuhkan pengenalan dan pemaknaan yang mendalam terhadap hakikat dan keberadaan dirinya. Pemahaman dan pemaknaan tersebut yang akan mempengaruhi arah karya pelayanan yang dilakukannya. Hingga pada akhirnya gereja tidak lagi terjatuh pada kesibukan yang berkaitan dengan peribadatan semata, namun juga membuka mata, melangkahkan kaki, dan mengulurkan tangan pada orang-orang yang ada di sekitarnya.

Sejalan dengan itu, Sinode GKJ melalui dokumen Pokok-Pokok Ajaran Gereja mengungkapkan bahwa gereja sebagai perwujudan sikap percaya tidak hanya dinyatakan melalui kehidupan religius sebagai wujud hubungan manusia dengan Allah. Sinode GKJ menyadari bahwa secara kodrati manusia juga menjalani kehidupannya di dalam kebersamaan dengan sesamanya, maka kehidupan religius orang-orang percaya juga diwujudkan dalam kehidupan bersama dengan sesamanya [Mat.16:18 (baca ayat 13-18); 18:17; Kis.1:14;

1Kor.1:2].76 Dengan melihat hasil wawancara terhadap pendeta, majelis gereja, dan juga jemaat, penulis menganalisa bahwa GKJ Argomulyo sudah dengan baik mengenal dan memaknai dirinya sebagai gereja sesuai dengan pokok-pokok ajarannya. Hal ini nampak pada

74 Hasil wawancara dengan Suwasono.

75 Hasil wawancara dengan Suwasono.

76 Sinode GKJ, Pokok-Pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa edisi 2019, (Salatiga; Sinode GKJ, 2019), 48-49.

(18)

penanaman makna gereja yang dilakukan oleh pendeta kepada jemaat bahwa gereja merupakan sekelompok atau sekumpulan orang percaya yang dipanggil keluar untuk memberitakan kabar keselamatan kepada dunia.77 Hal ini mengisyaratkan bahwa gereja harus keluar menyentuh orang-orang yang ada di sekitarnya. Pemahaman yang demikian membuat GKJ Argomulyo menjadi lebih inklusif dan menyadari bahwa dirinya harus hadir di tengah-tengah masyarakat, terlebih masyarakat multikultural.

Diakonia Gereja sebagai Wujud Gereja sebagai Hamba

Menurut hemat penulis, pengenalan dan pemaknaan GKJ Argomulyo tentang hakikat dan keberadaan dirinya menciptakan corak pelayanan yang khas. Dengan mengacu pada landasan teori dan analisa hasil wawancara, maka dalam hal ini konsep atau model gereja sebagai hamba terlihat jelas pada jemaat GKJ Argomulyo. Menurut Avery Dulles, model ini memahami bahwa gereja juga bagian dari masyarakat yang memiliki kedudukan yang setara.78 Model gereja sebagai hamba ini bersifat sekuler dan dialogal. Bersifat sekuler artinya, gereja harus menjadikan dunia sebagai tempat untuk berteologi serta berusaha peka dalam memperhatikan tanda-tanda zaman. Sedangkan bersifat dialogal artinya gereja bekerja pada batas antara dunia kontemporer dan tradisi Kristen. Artinya, model ini memberi perhatian tidak hanya pada keterhubungan iman gereja dengan Tuhan, namun juga pada keterhubungan sosial dan kemasyarakatan dari gereja. Gereja hanya layak menjadi gereja jika ia berada bagi orang lain, karena Tuhan adalah manusia bagi sesamanya dan gereja seharusnya menjadi persekutuan bagi sesamanya.79 Sangat jelas sekali bahwa pada model ini Dulles menekankan gereja pada sisi pelayanannya. Gereja dalam model ini tidak bertindak layaknya orang tua di mana dunia selalu diposisikan sebagai anak nakal yang harus terus menerus diberi nasehat, melainkan lebih seperti sahabat yang saling melayani dan selalu ada bagi sesamanya. Ia adalah Tubuh Kristus, yang ada untuk melayani seperti halnya Yesus Kristus. Karena orang-orang Kristen pada hakikatnya dipanggil untuk melayani sesamanya.80

Dalam pelayanan bakti sosialnya, GKJ Argomulyo mencoba menampakkan dan menghadirkan sosok Yesus sebagai pribadi yang datang bukan untuk dilayani, melainkan melayani. Temuan hasil wawancara menunjukkan bahwa kegiatan bakti sosial juga merupakan

77 Hasil wawancara dengan Pdt. Kurniawan, S.Si-Teol pada 5 Juni 2022.

78 Avery Dulles, Model-Model Gereja, 86-87.

79 Avery Dulles, Model-Model Gereja, 87-88.

80 Pdt. Yusak B. Setyawan, Buku Ajar Eklesiologi, (Salatiga: Fakultas Teologi UKSW Press, 2013), 75.

(19)

bentuk kesadaran jemaat bahwa hidup bermasyarakat harus saling tolong menolong sebagai wujud nyata penerapan kasih Tuhan dalam kehidupan keseharian.81 Yesus datang sebagai hamba untuk melayani dunia, begitu juga seharusnya gereja yang juga sebagai hamba, sehingga pelayanannya harus ditujukan kepada dunia atau semua orang.82 Dari analisa terhadap jawaban-jawaban narasumber menegaskan bahwa dalam konsep eklesiologinya sisi pelayanan sangat ditekankan oleh jemaat GKJ Argomulyo. Jemaat GKJ Argomulyo telah menyadari bahwa dunia ini adalah sebagai tempat untuk berteologi, bukan sebagai objek belaka, sehingga mereka terus dituntut untuk peka terhadap tanda-tanda zaman yang dalam hal ini berkaitan dengan konteks dimana gereja tinggal. Keseimbangan hubungan vertikal dan horizontal antara iman gereja dengan Kristus dan gereja dengan masyarakat berjalan sangat baik. Sebagai pendukung argumen tersebut penulis juga meminjam pemikiran Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo yang selaras dengan model gereja sebagai hamba. Ia mengungkapkan bahwa dalam model ini, keberadaan gereja tidak hanya untuk Tuhan dan surga, melainkan juga untuk sesama dan dunia.83 Dengan demikian akan tampak semakin jelas bahwa GKJ Argomulyo memiliki sifat sekuler yang ada pada model gereja sebagai hamba.

Perayaan Hari Raya Gerejawi sebagai Momen Diakonia Lintas Iman

Berkaitan dengan waktu atau pemilihan momen pelaksanaan diakonia, bukan tanpa sebab GKJ Argomulyo memilih hari raya gerejawi sebagai momen diakonia lintas iman.

Momen perayaan hari raya gerejawi dipilih dengan tujuan agar jemaat semakin menghayati penyelamatan Allah kepada dunia melalui Yesus Kristus melalui tindakan nyata.84 Hal ini sesuai dengan makna adanya hari raya gerejawi menurut Widdwisoelie yang mengatakan bahwa hari raya gerejawi adalah hari khusus yang dirayakan oleh gereja atau umat Kristen di seluruh dunia dalam rangka memelihara iman Kristen dan menyaksikan karya penyelamatan Allah kepada dunia melalui Yesus Kristus.85 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemilihan momen hari raya gerejawi semakin mempertegas maksud dan pemaknaan adanya diakonia yang dilakukan oleh GKJ Argomulyo.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis ditemukan bahwa menurut GKJ Argomulyo sasaran diakonia atau pelayanan yang merupakan salah satu dari bagian tri tugas

81 Hasil wawancara dengan Siti Widyastuti pada 5 Juni 2022.

82 Hasil wawancara dengan Siti Widyastuti.

83 Pdt. Ebenhaizer I Nuban Timo, Gereja Lintas Agama: Pemikiran-Pemikiran Bagi Pembaharuan Kekristenan di Asia, (Salatiga: Satya Wacana Unversity Press, 2013), 302.

84 Hasil wawancara dengan Yovita Violeta.

85 Widdwissoeli M. Saleh, Hari Raya & Simbol Gerejawi, (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2008), 1.

(20)

91 Sinode GKJ, Pokok-Pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa edisi 2019, 94-95.

gereja tidak hanya mengarah ke dalam komunitas gereja sendiri, melainkan juga mengarah ke luar gereja, baik lintas denominasi maupun lintas iman layaknya Kristus yang datang untuk melayani, bukan untuk dilayani.86 Senada dengan itu, salah satu narasumber lain, Bapak Suwasono juga mengungkapkan bahwa kegiatan diakonia adalah kegiatan pelayanan umum yang tidak bersifat normatif yang artinya diakonia bisa dilakukan ke dalam dan ke luar komunitas gereja secara seimbang, terlebih GKJ Argomulyo hidup di tengah masyarakat Kota Salatiga yang majemuk.87 Bapak Suwasono juga menambahkan bahwa hal ini juga merupakan upaya untuk menjaga kedamaian dan keharmonisan relasi antar umat beragama di sekitar gereja. Pelayanan diakonia juga dimaknai sebagai bentuk pengajaran kasih dan pengorbanan yang dilakukan dengan setulus hati oleh gereja kepada anggotanya dan juga kepada masyarakat di sekitarnya.88 Sedangkan secara singkat, makna diakonia menurut Yonathan Prihantara, sebagai ketua panitia masa Paskah dan Pentakosta GKJ Argomulyo 2022 adalah memberi dan melayani tanpa pamrih sebagai bentuk ungkapan syukur karena sudah menerima anugerah keselamatan.89

Melalui kegiatan bakti sosialnya tersebut GKJ Argomulyo sedang menembus sekat-sekat antar agama. Hal ini menunjukkan bahwa GKJ Argomulyo sedang menghidupi pokok-pokok ajaran gerejanya terkait dengan keberadaan dan relasinya terhadap agama lain. Dalam relasinya dengan agama lain Sinode GKJ mengajarkan bahwa gereja harus mengakui dan menghormati hak hidup agama lain, termasuk di dalamnya hak untuk dianut, diamalkan dan disiarkan, tanpa perlu jatuh ke dalam kesalahan menyamakan semua agama.90 Meski demikian, pemberitaan penyelamatan Allah tetap didengungkan kepada siapapun tanpa terkecuali. Namun, motif pemberitaan penyelamatan Allah adalah demi keselamatan manusia, bukan untuk meniadakan agama lain dan berjalan di atas prinsip kebebasan, bukan paksaan [Rm.10:14-15].91 Dengan demikian secara eksplisit Sinode GKJ tidak menutup mata terkait kepelbagaian yang ada di sekitarnya. Sinode GKJ menyadari bahwa dirinya bukanlah satu-satunya lembaga yang berdiri sendiri, melainkan hidup di tengah-tengah dan menjadi bagian dari masyarakat. Oleh sebab itu berdasarkan pokok-pokok ajaran gereja, arah pelayanan sinode GKJ tidak hanya ke dalam, tetapi juga ke luar dari komunitas. Hal ini yang juga dilakukan oleh GKJ Argomulyo hingga

86 Hasil wawancara dengan Pdt. Kurniawan, S.Si-Teol.

87 Hasil wawancara dengan Bapak Suwasono pada 5 Juni 2022.

88 Hasil wawancara dengan Bapak Suwasono.

89 Hasil wawancara dengan Yonathan Prihantara pada 5 Juni 2022.

90 Sinode GKJ, Pokok-Pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa edisi 2019, 94.

(21)

mau membentuk tim khusus untuk mendata masyarakat yang membutuhkan bantuan sembako saat perayaan hari raya gerejawi.

Hal ini tentu sejalan dengan pemikiran Avery Dulles dalam bukunya “The Catholicity of The Church” yang mendukung model gereja sebagai hamba. Avery Dulles menyebutkan bahwa persekutuan orang-orang Kristen atau gereja juga harus dipahami sebagai komunitas yang luas dan inklusif.92 Dalam pengertian ini ia menentang perpecahan, sektarianisme, dan apa pun yang cenderung membatasi atau mengisolasi orang Kristen dalam kelompok tertutup dan partikularis. Kepenuhan karunia Allah di dalam dan melalui Gereja dipahami sebagai karunia untuk mengkomunikasikan dirinya sendiri tanpa batas kepada orang-orang dari segala jenis dan kondisi. Iman kepada Kristus mendorong gereja, khususnya GKJ Argomulyo untuk menggunakan akal budinya dengan cara membuka mata, keluar dari zona nyaman, mendobrak sekat-sekat yang dibentuk oleh pemahaman yang eksklusif dan berani berkorban melalui tindakan konkret menjamah dunia yang sedang membutuhkan perhatian dan pertolongan. Hal ini didasarkan pada pemikiran Avery Dulles yang dipengaruhi oleh Yohanes Paulus II bahwa imanlah yang menggerakkan akal untuk bergerak melampaui semua isolasi dan rela mengambil risiko sehingga dapat mencapai apa pun yang indah, baik, dan benar. Iman dengan demikian menjadi pendukung akal yang yakin dan meyakinkan.93

Diakonia lintas iman yang dilakukan oleh GKJ Argomulyo juga senada dengan teori Widi Artanto. Hal ini terlihat dari bagaimana jemaat GKJ Argomulyo memahami diakonia dan pemilihan bakti sosial sebagai cara untuk mewujudkannya. Dari analisa jawaban mereka, diakonia atau pelayanan merupakan tugas dan panggilan gereja yang tidak hanya ditujukan pada anggota gereja, tetapi juga warga di luar anggota gereja. Artinya, diakonia harus demi kepentingan orang lain dan orang banyak tanpa adanya batasan golongan. Ini selaras dengan konsep diakonia yang ketiga dari Widi Artanto, dimana diakonia tidak hanya sekedar menjadi program gereja, tetapi juga harus dilakukan dengan aksi nyata dan dengan memperhatikan kebutuhan manusia tanpa melihat golongan tertentu. Hal ini dilakukan agar semua orang dapat ikut merasakan kasih Allah melalui gereja. Konsep diakonia GKJ Argomulyo dalam kegiatan bakti sosialnya juga nampak selaras dengan konsep diakonia keempat dari Widi Artanto, dimana diakonia bukanlah alat untuk penginjilan, tetapi pemberitaan Kabar Baik melalui tindakan yang diwujudkan dalam bentuk tindakan pelayanan kasih tanpa batas agama atau kelompok. Dengan aksi yang dilakukan oleh GKJ Argomulyo menunjukkan bahwa mereka

92 Avery Dulles, The Catholicity of the Church, (Oxford: Clarendon Press, 1987), 68.

93 Avery Dulles, John Henry Newman, (London: Continuum, 2002), 45.

(22)

telah memperkenalkan Kristus tanpa simbol-simbol agama. Hal ini juga sejalan dengan Dietrich Bonhoeffer yang mendukung pemikiran Avery Dulles tentang model gereja sebagai hamba yang menyatakan bahwa gereja harus bergerak dan memperkenalkan Kristus tanpa simbol-simbol agama.94

Pelayanan kasih atau yang biasa disebut diakonia harus benar-benar menjadi komitmen dan cara hidup yang baru bagi setiap anggota gereja dimanapun mereka berada. Seperti ciri khas hamba yang melayani dimanapun dunia membutuhkan. Menyentuh sisi jasmani dan rohani orang-orang di sekitarnya.95 Sebab sejatinya diakonia melekat dalam jati diri gereja yang pada hakikatnya merupakan persekutuan murid-murid Kristus yang dipanggil untuk saling mengasihi, datang untuk melayani bukan untuk dilayani.96 Hal ini tentu sejalan dengan pandangan John Stott yang menyatakan bahwa setiap orang yang dipanggil menjadi milik Allah harus bersedia diutus kembali ke dunia untuk menjadi saksi dan melayani.97 Oleh sebab itu, diakonia menjadi sangat vital dalam gereja. gereja bisa saja hidup tanpa adanya bangunan atau gedung, tetapi gereja tidak dapat hidup tanpa praktik diakonia di dalamnya.98 GKJ Argomulyo telah secara sadar menghidupi relasi vertikal dan horizontal. Iman yang dibangun tidak hanya sebatas intensitas dalam menjalankan ritus-ritus peribadatan, tetapi juga keluar sebagai hamba yang melayani dunia. Memang ruang lingkup yang dikerjakan oleh GKJ Argomulyo bukanlah lingkup yang luas, namun dengan aksi yang nyata dan dikerjakan dengan penuh totalitas tersebut sudah sangat membuktikan bahwa model gereja sebagai hamba nampak begitu jelas dalam tubuh mereka.

KESIMPULAN

Dari proses penelitian yang telah dilakukan, peneliti mengambil kesimpulan bahwa ada keselarasan antara GKJ Argomulyo dengan Avery Dulles mengenai model Gereja sebagai hamba. Kegiatan pelayanan atau diakonia melalui bakti sosial yang dilakukan GKJ Argomulyo dalam perayaan hari raya gerejawi sangat jelas menggambarkan bahwa gereja sebagai Tubuh Kristus memang seharusnya hadir sebagai hamba yang melayani, bukan dilayani. Hal ini sama

94 Dietrich Bonhoeffer, Letters and Papers from Prison, Ed. Ebehard Bethge, (New York: Mcmillan, 1972), 279.

95 J.I., Ch. Abineno, Diaken: Diakonia dan Diakonat Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 2.

96 Martin Chen dan Agustinus Manfred Habur, Diakonia Gereja: Pelayanan Kasih Bagi Orang Miskin dan Marginal, (Jakarta: Obor, 2020), 6.

97 John R.W. Stott, The Living Church: Menggapai Pesan Kitab Suci Yang Bersifat Tetap Dalam Budaya Berubah, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 2.

98 Joseph Purnama Widyatmadja, Yesus dan Wong Cilik: Praksis Diakonia Transformatif dan Teologi Rakyat di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 1.

(23)

seperti kedatangan Yesus di dunia sebagai pelayan, bukan sebagai tuan. Dari kegiatan bakti sosial GKJ Argomulyo yang ditujukan untuk semua orang tanpa batasan golongan juga sangat jelas menunjukkan bahwa memang seharusnya menyadari bahwa dirinya berada di tengah- tengah masyarakat, dan harus menyadari bahwa dirinya dipanggil untuk menghadirkan kasih Tuhan di tengah-tengah masyarakat. Seperti Yesus yang datang di dunia untuk memberitakan Kabar Baik bagi semua orang melalui tindakan nyata, begitupun gereja seharusnya berada.

Dengan demikian diakonia yang dikerjakan oleh GKJ Argomulyo dalam rangka merayakan hari raya gerejawi bukanlah sesuatu yang baru, melainkan suatu diakonia yang sudah lama ada namun terabaikan oleh gereja. Oleh sebab itu, kegiatan yang dilakukan GKJ Argomulyo seharusnya dimaknai sebagai pengingat bagi gereja-gereja yang ada di sekitarnya.

(24)

DAFTAR PUSTAKA

Abineno, J.I., Ch. 2003. Diaken: Diakonia dan Diakonat Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Aritonang, & de Jonge, Chr. 2009. Apa & Bagaimana Gereja?Jakarta: Gunung Mulia.

Artanto, Widi. 2016. Gereja dan Misi-Nya: Mewujudkan Kehadiran Gereja dan Misi-Nya di Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Taman Pustaka Indonesia.

Bonhoeffer, Dietrich. 1972. Letters and Papers from Prison, Ed. Ebehard Bethge. New York:

Mcmillan.

Chen, Martin, & Habur, A.M. 2020. Diakonia Gereja: Pelayanan Kasih Bagi Orang Miskin dan Marginal. Jakarta: Obor.

Dulles, Avery. 1987. The Catholicity of the Church. Oxford: Clarendon Press.

2002. Model-Model Gereja, Yogyakarta: Kanisius.

2002. John Henry Newman. London: Continuum.

Gulo, W. 2002. Metode Penelitian. Jakarta :Grasindo.

Heuken, A. SJ. 1991. Ensiklopedi Gereja Seri A-G. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka.

Hesselgrave, J. David dan Edward Rommen. 2009. Kontekstualisasi: Makna, Metode dan Model. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.

Moleong, J. Lexi. 2000. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R & D. Bandung: Alfabeta.

. 2013. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Murniati, A.R dan Nasir Usman. 2009. Implementasi Manajemen Stratejik dalam Pemberdayaan Sekolah Menengah Jurusan. Bandung: Ciptapustaka Media Printis.

Nainggolan, D.M. 2021. “Diakonia Lintas Agama dan Lintas Gender: Suatu Pengantar Teologi Kristiani dalam Praktik Diakonia Lintas Agama dan Lintas Gender”. Yogyakarta:

Universitas Kristen Duta Wacana.

https://ejournal.stte.ac.id/index.php/scripta/article/view/122 diakses pada 5 April 2022 pukul 12.00 WIB.

Noordegraaf, A. 2004. Orientasi Diakonia Gereja: Teologi Dalam Perspektif Reformasi.

Jakarta: Gunung Mulia.

Sairin, Weinata. 2020. Menjadi Gereja di Tengah Dunia yang Terluka, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Saleh, Widdwissoeli M. 2008. Hari Raya & Simbol Gerejawi. Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen.

Setyawan, B. Yusak. 2013. Buku Ajar Eklesiologi. Salatiga: Fakultas Teologi UKSW Press.

(25)

Sinode GKJ. 2019. Pokok-Pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa edisi 2019. Salatiga; Sinode GKJ.

Siauwardjaja, Afra. 1987. Membangun gereja Indonesia: Model-model gereja katekese umat Indonesia. Yogyakarta: Kanisius, 1987.

Siswanto, K. 2016. “Tinjauan Teoritis Dan Teologis Terhadap Diakonia Transformatif Gereja”. Ungaran: Jurnal STT Simpson Ungaran.

Stott, John. R.W. 2010. The Living Church: Menggapai Pesan Kitab Suci Yang Bersivat Tetap Dalam Budaya Berubah. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Sulaksana, A.A.Z. 2020. “Padepokan Mardika Sebagai Upaya Diakonia GKJ Purwodadi yang Transformatif di tengah Keberagaman Agama”. Yogyakarta: Universitas Kristen Duta Wacana. https://katalog.ukdw.ac.id/2203/ diakses pada 5 April 2022 pada pukul 12.00 WIB.

Timo, Ebenhaizer I.N. 1994. Anak Matahari: Teologi Rakyat Bolelebo Tentang Pembangunan, Maumere: Penerbit Ledalero, 1994.

2013. Gereja Lintas Agama: Pemikiran-Pemikiran Bagi Pembaharuan Kekristenan di Asia. Salatiga: Satya Wacana Unversity Press.

Widyatmadja, P. Joseph. 2009. Diakonia Sebagai Misi Gereja: Praksis dan Refleksi Diakonia Transformatif. Yogyakarta: PT. Kanisius.

. 2010. Yesus dan Wong Cilik: Praksis Diakonia Transformatif dan Teologi Rakyat di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Referensi

Dokumen terkait

Adapun tujuan penelitian adalah sebagai berikut, (1) untuk mendeskripsikan jenis jajan pasar yang masih terjual di pasar-pasar tradisional Kabupaten Bantul, dan (2)

Dengan mengucapkan puji syukur Alhamdulilah, akhirnya saya dapat menyeleseikan proposal skripsi dengan judul “Studi Literatur : Intervensi Kontrol Glukosa Darah

Hasil analisis uji coba paket tes B yang diujikan kepada 35 siswa SMP menunjukkan hasil bahwa paket tes B ini mempunyai nilai reliabilitas yang cukup baik, 3

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pergeseran bentuk dan makna yang terjadi dalam penerjemahan klausa pasif novel Le Fantôme de l’Opéra karya Gaston Leroux serta novel

Hasil dari penelitian yang telah dilakukan adalah kepuasan pengguna pada aplikasi chatting lebih cenderung pada aplikasi WhatsApp dengan data latih 300 kalimat

Dari hasil perhitungan dengan program geoslope/w didapatkan bentuk bidang longsor pada lereng dengan kemiringan 68 o , yang kemudian titik koordinat dari..

2) Empat roda dari suatu sumbu (bogie atau pasangan roda gerbong) harus sebidang. 3) Bila pada suatu rel terdapat penurunan oleh karena angkatan yang tidak baik, roda

U ntuk aplikasi model KAI dilakukan dengan menggunakan tren pertumbuhan industri serta dengan menyusun suatu skenario sebagai ilustrasi untuk menduga kebutuhan air