• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN PENGGUNA JASA ANGKUTAN UDARA DALAM HAL GANTI RUGI.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENDAHULUAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN PENGGUNA JASA ANGKUTAN UDARA DALAM HAL GANTI RUGI."

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG

Transportasi atau pengangkutan merupakan bidang kegiatan yang

sangat penting untuk memperlancar roda pembangunan, perekonomian, serta kehidupan masyarakat di seluruh dunia termasuk di negara Indonesia. Pentingnya transportasi bagi masyarakat Indonesia disebabkan oleh beberapa

faktor antara lain, keadaan geografis Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau kecil dan besar, perairan yang terdiri dari sebagian besar laut, sungai dan danau

yang memungkinkan pengangkutan dilakukan melalui darat, perairan, dan udara guna menjangkau seluruh wilayah Indonesia (Abdulkadir M, 1998:7).

Hal lain yang juga tidak kalah pentingnya akan kebutuhan alat

transportasi adalah kebutuhan kenyamanan, keamanan, dan kelancaran pengangkutan yang menunjang pelaksanaan pembangunan yang berupa

penyebaran kebutuhan pembangunan, pemerataan pembangunan, dan distribusi hasil pembangunan diberbagai sektor ke seluruh pelosok tanah air misalnya, sektor industri, perdagangan, pariwisata, dan pendidikan (ibid, 1998:7).

Berdasarkan data statistik dari Direktorat Hubungan Udara Departemen Perhubungan pada Tahun 2010 terdapat 33.808.928 (tiga puluh

(2)

puluh dua juta Sembilan puluh tujuh ribu lima puluh sembilan) penumpang (www.dephub.go.id).

Terdapat beberapa alasan mengapa masyarakat menggunakan jasa transportasi udara, diantaranya untuk kepentingan bisnis, kepentingan

pariwisata, dan berbagai urusan lainnya.

Dilihat dari aspek penyelenggaraan penerbangan terdapat 2 (dua) bentuk kegiatan penerbangan, yaitu penerbangan komersiil dan penerbangan

bukan komersiil, penerbangan komersiil atau niaga merupakan bentuk jasa transportasi udara yang mengenakan biaya bagi pengguna jasa tersebut. Jenis

penerbangan ini dibedakan lagi menjadi dua bentuk, yaitu penerbangan niaga berjadwal dan penerbangan niaga tidak berjadwal, dengan bertambah pesatnya perkembangan jumlah perusahaan penerbangan di satu sisi menguntungkan

bagi para pengguna jasa transportasi udara (penumpang) dikarenakan semakin banyak pilihan tujuan penerbangan yang ditawarkan oleh perusahaan jasa

transportasi udara.

Semakin pesat perkembangan penerbangan membuat kompetisi antara

perusahaan jasa transportasi udara makin bersaing ketat, sehingga perusahaan jasa transportasi memberikan banyak penawaran tarif tiket yang murah, dengan maksud dapat menarik penumpang sebanyak-banyaknya, namun disisi lain,

dengan tarif yang murah tersebut sering membuat menurunnya kualitas pelayanan (service) yang diberikan, bahkan yang lebih mengkhawatirkan lagi

(3)

pesawat, sehingga akan memberikan dampak kurang baik terhadap keamanan, kenyamanan dan perlindungan konsumen (Saefullah, 2006 : 5-6).

Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, jumlah perusahaan jasa angkutan udara semakin berlipat ganda, di satu sisi memberikan implikasi

positif bagi masyarakat pengguna jasa penerbangan, yaitu banyak pilihan atas operator jasa angkutan udara dengan berbagai ragam pelayanan yang diberikan. Selain hal tersebut, dengan menjamurnya jasa angkutan udara di Indonesia,

telah menciptakan iklim yang kompetitif antara satu angkutan udara dengan angkutan udara lainnya, yang pada akhirnya melahirkan tiket murah yang

diburu masyarakat secara antusias, namun kompetisi ini jika dilihat dari sisi lain juga menimbulkan kekhawatiran bahwa harga tiket murah akan berdampak pada kualitas layanan, khususnya layanan atas perawatan pesawat

kekhawatiran tersebut muncul akibatnya sering terjadinya kecelakaan pesawat terbang (Wagiman, 2006:13).

Setiap terjadinya kecelakaan penerbangan maupun keterlambatan jadwal pengangkutan udara selalu menimbulkan kerugian bagi para

penumpang, yang tentu saja dapat menimbulkan permasalah hukum. Akan tetapi tidak ada upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap permasalahan tersebut, dikarenakan terbatasnya pengetahuan konsumen mengenai hak-hak

mereka (Ridwan Khairandy, 2006:20-21).

Ada beberapa contoh kasus terjadinya kecelakaan yang dialami oleh

(4)

ke Surabaya, pihak Lion Air mengatakan pendaratan di Surabaya disebabkan oleh masalah cuaca, namun beberapa penumpang melaporkan bahwa telah

diumumkan pesawat mengalami gangguan dan akan segera melakukan pendaratan darurat di perairan, seluruh penumpang telah bersiap memakai

pelampung dan beberapa dari mereka tidak kebagian pelampung. Contoh lain yaitu Pesawat Garuda Indonesia Boeing 737-400 PK-GZC, terbakar setelah mendarat dan tidak dapat berhenti dengan sempurna di ujung landasan,

Bandara Internasional Adi Sutjipto, Yogyakarta, diperkirakan kejadian ini disebabkan oleh beberapa kemungkinan seperti, pilot error atau assymetry flap

yang menyebabkan pendaratan kecepatan tinggi atau hal lainnya, dilaporkan 22 penumpang tewas, dari 140 penumpang dan awak pesawat yang ada saat itu.

Kecelakaan dalam dunia penerbangan tidak pernah disebabkan oleh

faktor tunggal (single factor) yang berdiri sendiri, tetapi ada berbagai faktor pendukung penyebab kecelakaan, seperti faktor kesalahan manusia (human

error), pesawat terbang itu sendiri (machine), lingkungan (environment), penggunaan pesawat udara (mission) dan pengelolaan (management) (Martono,

1995: 145).

Kerugian-kerugian yang ditimbulkan dari kecelakaan seharusnya ada pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap kejadian tersebut. Tanggung

jawab atas pemakai jasa angkutan udara didasarkan perjanjian antara pengangkut dengan penumpang, sehingga apabila terjadi suatu hal yang

(5)

beserta isinya ada di tangan pengangkut, oleh sebab itu, apabila dalam pengangkutan udara terjadi musibah atau kecelakaan, kerugian yang timbul

dari keadaan tersebut menjadi tanggung jawab pengangkut, demikian pula dengan kerugian yang timbul karena kehilangan atau kerusakan barang atau

bagasi dan keterlambatan pesawat juga merupakan tanggung jawab pengangkut.

Pada kegiatan angkutan udara terdapat beberapa ketentuan yang

berkaitan dengan tanggung jawab pengangkut udara terhadap pengguna jasa, baik yang bersumber pada hukum nasional maupun yang bersumber pada

hukum internasional. Ketentuan hukum nasional yang secara khusus mengatur tentang kegiatan penerbangan saat ini adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, dan beberapa peraturan pelaksananya, Sedangkan

ketentuan yang secara khusus mengatur tentang kegiatan penerbangan komersial domestik adalah Luchtvervoer Ordonantie (Stbl. 1939:100) atau

ordonansi 1939 yang biasa disingkat OPU 1939, ketentuan dalam OPU tersebut ditegaskan tentang tanggung jawab pengangkut. Ketentuan hukum

internasional yang terkait erat dengan kegiatan penerbangan sipil adalah Konvensi Warsawa 1929.

Seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28D

ayat (1) bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”,

(6)

memiliki fungsi sebagai regulator (de stuurende), maka peran negara berfungsi untuk mengatur perekonomian menuju kesejahteraan rakyat (Gunarto Suhardi,

2007 : 9).

Tanggung Jawab Pengangkut Menurut Pasal 1 ayat (22) dalam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan adalah wajib untuk mengganti kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang serta pihak ketiga. Lebih lanjut dijelaskan di dalam Pasal 141 ayat (1),

apabila terjadi peristiwa atau keadaan yang menimbulkan kerugian bagi penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang diakibatkan

kejadian angkutan udara di dalam pesawat dan/atau naik turun pesawat udara, maka seharusnya pengangkut bertanggung jawab untuk mengganti kerugian yang dialami oleh penumpang, akan tetapi dalam kenyataan yang terjadi,

konsumen selaku pengguna jasa angkutan udara mengalami kesulitan untuk memperjuangkan hak yang seharusnya diberikan kepada mereka sebagai

konsumen.

Tanggung jawab terkait ganti kerugian merupakan kewajiban bagi

para pelaku usaha yaitu perusahaan jasa angkutan udara, semua ini sudah diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yang menentukan bahwa:

(1)Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

Memperhatikan substansi Pasal 19 ayat (1) dapat diketahui bahwa tanggung

(7)

a. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan. b. Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran, dan

c. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen.

Kegiatan jasa pengangkutan udara pada dasarnya terdapat dua pihak,

yaitu pengangkut dalam hal ini adalah perusahaan atau maskapai penerbangan dan pihak pengguna jasa atau konsumen. Para pihak tersebut terikat oleh suatu perjanjian, yaitu perjanjian pengangkutan. Sebagaimana layaknya suatu

perjanjian yang merupakan manisfestasi dari hubungan hukum yang bersifat keperdataan maka di dalamnya terkandung hak dan kewajiban yang harus

dilaksanakan dan dipenuhi.

Terkait dalam hal kegiatan pengangkutan udara, diperlukan campur tangan pemerintah dalam menentukan kebijakan-kebijakan atau regulasi yang

berhubungan dengan kegiatan pengangkutan udara, karena seperti yang diketahui bahwa pada prinsipnya kegiatan pengangkutan udara merupakan

hubungan hukum yang bersifat perdata sehingga seharusnya kepentingan pengguna jasa transportasi udara dapat terlindungi.

Meskipun perjanjian pengangkutan pada hakekatnya telah tunduk pada pasal-pasal yang terdapat dalam hukum perjanjian Burgerlijk Wetboek (KUH Perdata), akan tetapi oleh undang-undang telah ditetapkan berbagai

peraturan khusus yang bertujuan untuk kepentingan umum membatasi kebebasan dalam hal membuat perjanjian pengangkutan, yaitu meletakkan

(8)

Berkenaan dengan hal tersebut menurut Sri Redjeki Hartono (Sri Redjeki H, 2007:132) negara mempunyai kewajiban untuk mengatur agar

kepentingan-kepentingan yang berhadapan harus dapat dipertemukan dalam keselarasan dan harmonisasi yang ideal.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diharapkan menciptakan kegiatan usaha perdagangan yang adil, tidak hanya bagi kalangan pelaku usaha, melainkan secara langsung untuk

kepentingan konsumen, baik selaku pengguna, pemanfaat maupun pemakai barang dan/atau jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha (Gunawan Widaja

dkk, 2003: ix). Tujuan dibentuknya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 ini, untuk melindungi masyarakat selaku konsumen agar terciptanya keadilan.

Pada prinsipnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen tidak semata-mata memberikan perlindungan hanya kepada konsumen saja, tetapi memberikan perlindungan kepada masyarakat (

publik ) pada umumnya, dengan mengingat bahwa setiap orang adalah konsumen. Undang-Undang ini secara mendasar memberikan keseimbangan

dalam beberapa hal (Abdul H, 2010:78), yaitu: 1. Kedudukan pelaku usaha dan konsumen mengenai:

a) harmonisasi mengenai pelaku usaha dengan konsumen, keduanya saling

membutuhkan yang satu tidak mungkin memutuskan hubungan dengan pihak lain.

(9)

2. menyadarkan masyarakat bahwa ada hak-hak sendiri yang dapat dipertahankan dan dituntut kepada pihak lain mengenai:

a) tata cara menyelesaikan sengketa, termasuk hukum acaranya.

b) apa yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan baik oleh pelaku

usaha maupun oleh konsumen.

c) informasi apa saja yang harus diberikan oleh pelaku usaha kepada konsumen, demikian juga sebaliknya.

3. menyadarkan kepada pelaku usaha dan konsumen bahwa kedudukan mereka adalah seimbang dengan tidak saling membebani satu terhadap yang lain.

Seyogyanya hubungan hukum antara produsen dengan konsumen merupakan hubungan yang bersifat ketergantungan (Sri Redjeki H, 2000:81), produsen sangat membutuhkan dan bergantung atas dukungan konsumen

sebagai pelanggan, dan juga sebaliknya, kebutuhan konsumen sangat bergantung dari hasil produksi produsen, dengan terciptanya hubungan itu

membuat saling ketergantungan antara produsen dengan konsumen sehingga bersifat terus-menerus dan berkesinambungan, sepanjang konsumen masih

membutuhkan barang/jasa yang diproduksi dari produsen tersebut.

Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, dalam kegiatan jasa pengangkutan udara terdapat

hubungan hukum antara produsen dan konsumen. Produsen dalam hal ini adalah perusahaan atau maskapai penerbangan yang bertindak sebagai pelaku

(10)

Mengenai hak dan kewajiban pelaku usaha dengan konsumen dalam fakta yang terjadi selama ini, hak dan kewajiban para pihak dalam kegiatan

transportasi udara sering tidak berjalan secara seimbang, karena konsumen berada di posisi yang lemah dan tidak berdaya jika dibandingkan dengan posisi

pelaku usaha yang posisi lebih kuat. Implementasi yang seharusnya posisi para pihak harus seimbang dan sejajar, karena pada prinsipnya mereka saling membutuhkan dan bersifat ketergantungan, berkaitan dengan hal tersebut yang

menarik untuk dilakukan pengkajian-pengkajian dalam rangka untuk pendidikan konsumen.

Tetapi pada kenyataan yang terjadi, walaupun pemerintah sudah mengeluarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dapat ditemukan dalam implementasi penerbangan di Indonesia

masih saja konsumen pengguna jasa angkutan udara dirugikan dan tidak bisa mendapatkan hak-hak yang seharusnya diberikan kepada konsumen tersebut.

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka peneliti melakukan penelitian dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen

Pengguna Jasa Angkutan Udara Dalam hal Ganti Rugi”.

B.Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang hendak dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

(11)

Konsumen belum dapat memberikan Perlindungan Hukum terhadap konsumen pengguna jasa angkutan udara ?

C.Batasan Konsep

Pelaksanaan Ganti Rugi diatur dalam Pasal 4 huruf h Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun dalam

prakteknya masih menimbulkan permasalahan hukum. Dalam pelaksanaannya, pemberian hak ganti rugi kepada konsumen sangat sulit untuk dilaksanakan.

Seharusnya dibuatnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen memiliki tujuan utama untuk melindungi konsumen, sehingga hak-hak yang dimiliki konsumen dapat terpenuhi dan diberikan oleh

pelaku usaha. Implementasi Perlindungan Konsumen terdapat beberapa kelemahan atas perlindungan hukum, tidak dijelaskan dalam Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen bagaimana tata cara penyelesaian ganti rugi, pemberian ganti rugi berbentuk apa, berapa besar ganti

rugi yang diberikan oleh pelaku usaha kepada konsumen dan lain-lain.

Pemberian ganti rugi sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen menurut penulis menjadi sangat penting untuk diteliti, sehingga peneliti mengangkat judul “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Pengguna Jasa Angkutan Udara Dalam hal Ganti Rugi”. Dari judul tersebut

(12)

1. Perlindungan Hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif

maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi

hukum.

2. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun

mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

3. Pengguna adalah Orang yang memakai, mengambil manfaatnya,melakukan

sesuatu, bagi kepentingan umum.

4. Jasa adalah seluruh ativitas ekonomi dengan output selain produk dalam pengertian fisik, dikomsumsi dan diproduksi pada saat bersamaan,

memberikan nilai tambah dan secara prinsip tidak berwujud bagi pembeli pertamanya.

5. Angkutan Udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan pos untuk satu perjalanan

atau lebih dari satu bandar udara kebandar udara yang lain atau beberapa bandar udara

6. Ganti Kerugian adalah Hak seseorang untuk mendapat pemenuhan atas

tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan Undang-Undang atau

(13)

D.Keaslian Penelitian

Berdasarkan pengetahuan penulis pada hasil penelusuran beberapa tesis tentang “Perlindungan Hukum terhadap konsumen Pengguna Jasa

Angkutan Udara dalam hal Ganti Rugi”, sudah pernah ada yang mengangkat

dan memaparkan. Ada beberapa tesis yang mengangkat tentang “Perlindungan Konsumen” namun berbeda objek rumusan masalah yang diteliti, yaitu:

1.Tesis yang ditulis oleh Ronald Lumban Toruan, No. Mhs. 6502021033, mahasiswa Magister Hukum Universitas Indonesia, pada tahun 2004,

menulis tentang Perlindungan Konsumen Terhadap Pengguna Jasa Angkutan Udara di Indonesia (Khususnya masalah ganti rugi) dengan tujuan penelitian untuk mengetahui Bagaimana Proses Penyelesaian ganti Kerugian

dalam pengangkutan udara di Indonesia. Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis empiris.

2.Tesis yang ditulis oleh Sri Ambarwati, No. Mhs. 0004288, mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Negeri Surakarta, pada tahun 2008, menulis tentang perlindungan konsumen dengan judul “Realisasi Tanggung

Jawab Perdata Pengangkut Udara Terhadap Penumpang Penerbangan Domestik Pada PT. Garuda Indonesia (PERSERO)”. Tujuan penelitian

untuk mengetahui

(14)

b. Untuk mengetahui realisasi tanggung jawab dan Faktor-faktor apa saja yang menjadi hambatan-hambatan realisasi tanggung jawab PT. Garuda

Indonesia terhadap penumpang domestik.

Sehingga judul tesis “Perlindungan Hukum terhadap konsumen Pengguna Jasa Angkutan Udara dalam hal Ganti Rugi” merupakan karya asli bukan

plagiasi atau duplikasi dari karya tesis orang lain.

E.Manfaat Penelitian

Peneliti berharap penulisan tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, manfaat tersebut antara lain:

1. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis diharapkan:

a. Dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan,

khususnya cabang ilmu hukum yaitu politik hukum, Perlindungan Hukum terhadap konsumen Pengguna Jasa Angkutan Udara dalam hal

Ganti Rugi, untuk disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan praktis negara Indonesia.

b. Dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengenai Perlindungan

Konsumen

c. Dapat menjadi tambahan literatur-literatur yang ada, bagi yang hendak

mempelajari masalah dibidang hukum khususnya Perlindungan Konsumen.

2. Manfaat Praktis

(15)

a. Dapat memberi kontribusi bagi pemerintah untuk konsisten menegakkan peraturan perundang-undangan terkait dengan Perlindungan Hukum

terhadap konsumen Pengguna Jasa Angkutan Udara dalam hal Ganti Rugi sehingga tercipta kondisi yang harmonis dalam sistem

perekonomian nasional.

b. Dapat memberikan masukan atau sumbangan pemikiran bagi masyarakat luas mengenai hal-hal yang berhubungan dengan perlindungan konsumen

untuk dapat digunakan pada penelitian selanjutnya.

F. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian merupakan sarana yang ingin dicapai atas permasalahan yang dihadapi. Berdasarkan permasalahan yang dirumuskan, maka tujuan penelitian adalah :

Untuk mengevaluasi dan menganalisis mengapa formulasi isi dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 mengenai ganti rugi belum dapat

memberikan perlindungan hukum kepada konsumen pengguna jasa angkutan udara.

G.Sistematisasi Penulisan

Penyusunan penelitian hukum ini, peneliti membahas dan menguraikan masalah yang dibagi ke dalam lima bab. Adapun maksud dari

(16)

Bab I : Bab pendahuluan ini memuat latar belakang, perumusan masalah, batasan masalah, keaslian penelitian, manfaat penelitian, manfaat

yang diharapkan, tujuan penelitian dan sistemtika penulisan.

Bab II : Di dalam tinjauan pustaka, menyajikan tinjauan mengenai

perlindungan hukum, tinjauan mengenai konsumen, tinjauan tentang hak dan kewajiban konsumen, tinjauan tentang pelaku usaha, tinjauan tentang hak dan kewajiban pelaku usaha, tinjauan

umum tentang jasa angkutan udara, tinjauan umum tentang ganti rugi.

Bab III : Metodologi penelitian memaparkan jenis penelitian, pendekatan penelitian, data penelitian, dan penilaian hukum positif. Pada data penelitian terdapat uraian mengenai data sekunder yang digunakan

sebagai data utama, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier, dan analisis data.

Bab IV : Bab ini memuat hasil penelitian dan pembahasan mengenai perbandingan hukum (comparative law) tentang formulasi isi

mengenai ganti rugi kepada konsumen menurut sistem hukum common law (Malaysia) dengan sistem hukum civil law (Indonesia) dan analisis mengenai Pasal mengenai Ganti rugi di

dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen.

Bab V : Di dalam bab ini merupakan penutup yang memuat kesimpulan

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian tersebut, maka suatu pernikahan yang walinya berpindah dari wali nasab (karena ketiadaannya) ke wali hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 23

Dari hasil penelitian didapati nilai koefisien kompensasi yang positif dan menunjukkan jika kompensasi ditingkatkan atau dilakukan dengan tepat maka akan dapat meningkatkan

merupakan Sistem operasi berbasis Debian yang dapat bebas dioptimalkan untuk perangkat keras Raspberry Pi , yang dirilis pada bulan Juli 2012.. Gambar 2.2 Diagram blok arsitektur

Faktor Peluangnya adalah: 1) Melalui pengembangan agroindustri serat sabut kelapa berkaret (sebutret) akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat petani (kelapa dan karet),

 Jumlah penumpang domestik yang berangkat dari Sumatera Utara melalui Bandara Internasional Kuala Namu selama bulan Maret 2015 mencapai 240.988 orang, atau naik sebesar 8,05

Wawancara yang dilakukan dengan Bapak Feri (Pemilik Batik Puspita Mekar) menunjukkan bahwa meskipun CSR yang dilakukan banyak dan sering tetapi tidak meningkatkan

Xaverius Gisting Tanggamus Lampung mengatasi kesulitan belajar matematika dalam memahami konsep luas permukaan dan volum kubus dan balok. Penelitian ini dilaksanakan di

Hasil analisis yang didapat dari penelitian ini adalah mekanisme yang diterapkan atas pemungutan maupun pemotongan pajak terutama atas Pajak Penghasilan Pasal 23