HALAMAN PERNYATAAN ... i
KATA PENGANTAR... ii
UCAPAN TERIMA KASIH ... iii
ABSTRAK ... v
ABSTRACT ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR... xii
DAFTAR GRAFIK ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
BAB I PENDAHULUAN A. ... Latar Belakang ... 1
B. ... Identifikasi Masalah ... 8
C. ... Tujuan Penelitian ... 9
D. ... Metode Penelitian ... 10
E. ... Manfaat Penelitian………. ... 10
F. ... Struktur Organisasi Skripsi ... 12
Pustaka ... 14
1. ... Teori Problem Solving Appraisal ... 14
a. ... Definisi Problem Solving Appraisal ... 15
b. ... Aspek-aspek Problem Solving Appraisal……… ... 16
c. ... Effective Problem Solvers dan
Ineffective Problem Solvers………. 19 d. ...
Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Problem Solving Appraisal pada Remaja………. 20
2. ... Teori
Penyesuaian Diri……… ... 23 a. ... Definisi
Penyesuaian Diri……… ... 25 b. ...
Well-adjusted dan MalWell-adjusted……… ... 26
c. ... Karakteristi
k Penyesuaian Diri yang Efektif………… ... 28 d. ...
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses
Narapidana Anak……… ... 37
c. ... Permasalah an yang Dihadapi Napi Anak di
Lembaga Pemasyarakatan……….... 39
4. ... Penelitian Terdahulu yang Relevan dengan
Problem Solving Appraisal dan Penyesuaian Diri ... 45
B. ... Kerangka Berpikir ... 47
C. ... Hipotesis Penelitian ... 51
BAB III METODE PENELITIAN
A. ... Lokasi dan Pengembangan Instrumen Penelitian ... 60
Data ... 66
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. ... Hasil Penelitian ... 71
1. ... Gambaran Problem Solving Appraisal pada Napi Anak
Penghuni Lapas di Bandung ... 71
2. ... Gambaran Penyesuaian Diri pada Napi Anak
Penghuni Lapas di Bandung ... 85
3. ... Hubu ngan Antara Problem Solving Appraisal
dan Penyesuaian Diri Napi Anak Penghuni Lapas
di Bandung ... 104
B. ... Pembahasa n Hasil penelitian ... 109
dan Penyesuaian Diri Napi Anak Penghuni Lapas
di Bandung ... 128
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. ... Kesimpulan ... 135
B. ... Saran ... 136
DAFTAR PUSTAKA ... 140
LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 145
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Kriminalitas adalah sebuah permasalahan yang sering disajikan di berbagai
media, baik itu media elektronik sampai media cetak, yang terjadi baik di kota besar
sampai kota kecil, dari tindak kriminal ringan hingga berat, yang meresahkan
masyarakat. Tindak kriminal merupakan segala sesuatu tindakan yang melanggar
hukum atau sebuah tindak kejahatan.
Meskipun tingkat kriminalitas di Indonesia sudah menurun hingga 20,28%,
dari 344.942 kasus di tahun 2009 menjadi 274.999 kasus di tahun 2010
(tekno.kompas.com, 2011). Saat ini tingkat kriminalitas di kota-kota besar masih
tetap tinggi. Di kota Bandung, kondisi keamanan masih sangat meresahkan
masyarakat. Berdasarkan hasil catatan Kepolisian Daerah Jawa Barat (Polda Jabar),
sepanjang Januari hingga Juli 2012 tercatat angka kriminalitas wilayah hukum
Polrestabes Bandung menduduki peringkat tertinggi dibanding kota-kota lainnya di
Jawa Barat diantaranya adalah kasus pencurian dengan kekerasan (curas), pencurian
Kriminolog Erlangga Masdiono (2011) mengungkapkan bahwa tingginya
angka kriminalitas di Indonesia disebabkan oleh berbagai macam faktor, antara lain
kemiskinan, disfungsi norma dan hukum, ketidakharmonisan unsur terkait serta
karakter bangsa yang sudah bergeser, ditambah dengan sistem pendidikan yang tidak
lagi mengajarkan nilai-nilai etika termasuk pendidikan agama yang hanya
menekankan pada aspek kognitifnya (hankam.kompasiana.com, 2012).
Kriminalitas tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa, tapi bahkan oleh anak
sekalipun. Anak dalam hukum adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun
dan belum menikah termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut
adalah demi kepentingannya (UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia).
Anak akan dijatuhi hukuman pidana jika anak telah mencapai usia lebih dari 12
tahun yang dalam istilah psikologi sudah memasuki masa remaja (Soetedjo, 2006).
Berdasarkan laporan yang masuk ke Direktorat III Tindak Pidana Umum Bareskrim
Mabes Polri, tercatat 967 kasus anak yang berhadapan dengan hukum pada tahun
2011. Dari jumlah tersebut, perkara yang paling banyak menyeret anak ke rimba
hukum adalah penganiayaan (236 kasus). Tiga tindak pidana lain yang paling banyak
berturut-turut adalah pencurian (166 kasus), perbuatan cabul menurut KUHP (128),
dan pengeroyokan (64). Jumlah kasus pencurian bisa bertambah jika digabung
dengan percobaan pencurian (5) dan pencurian dengan kekerasan (36). Angka ini
bisa bertambah jika digabung dengan tindak pidana pencabulan menurut
Undang-Undang Perlindungan Anak (9), percobaan pemerkosaan (5), dan pemerkosaan (15)
Di Indonesia pelaku tindak kriminalitas yang mendapatkan hukuman pidana
dihukum dengan memasukan mereka dalam penjara. Penjara di Indonesia saat ini
menganut falsafah pembinaan narapidana yang dikenal dengan nama “pemasyarakatan”.
Sehingga istilah penjara kini telah diubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan. Menurut
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, fungsi sistem
pemasyarakatan adalah menyiapkan orang-orang yang dibina agar dapat berperan
kembali sebagai anggota masyarakat yang baik dan bertanggung jawab
(wikipedia.org, 2011).
Data terbaru dari sistem database pemasyarakatan, jumlah penghuni Lembaga
Permasyarakatan (Lapas) di Indonesia baik yang berstatus masih tahanan dan napi
saat ini mencapai 153.224 dan 5.532 diantaranya adalah anak. Sedangkan anak yang
berstatus napi anak saat ini sudah mencapai 3.335 anak, yaitu 3.282 diantaranya napi
anak lelaki dan 73 napi anak perempuan (smslap.ditjenpas.go.id, 2013). Berdasarkan
data bulan Januari 2013, jumlah napi anak yang berada baik di Lapas maupun di
Rutan (Rumah Tahanan) Bandung saat itu sudah mencapai 54 orang.
Masuk ke Lapas bagi napi anak berarti kehilangan kebebasan fisik, kehilangan
kontrol atas hidup, kehilangan keluarga, kehilangan barang dan jasa, kehilangan
keamanan, kehilangan hubungan heteroseksual, kurangnya stimulasi, dan gangguan
Menurut Irwanto (2011), Direktur Pusat Kajian Perlindungan Anak Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, kondisi lembaga pemasyarakatan
di Indonesia sangat memprihatinkan. Hal ini disebabkan karena masih banyak Lapas
yang belum memiliki sarana dan prasarana yang layak, sanitasi, layanan kesehatan
hingga kapasitas Lapas melampaui batas (vivanews.com, 2011). Selain itu,
berdasarkan data dari KPAI menunjukkan bahwa 80% anak yang masuk ke Lapas
pernah mengalami kekerasan (kompas.com, 2010). Salah satu contohnya adalah
kasus kematian seorang napi anak yang terjadi di Lapas Tulungagung bernama
Hisyam Dayu Firmansyah (15 tahun). Korban merupakan napi yang menempati Blok
F berada bersama 11 tahanan anak-anak lainnya dan polisi menduga korban tewas
akibat pengeroyokan (tempo.co, 2012).
Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Bantuan
Hukum (2012) di di Rumah Tahanan Pondok Bambu, LAPAS Kelas IIA Anak Pria
Tangerang, dan LAPAS Wanita Kelas IIB Tangerang. Hampir semua tahanan anak
mengalami kekerasan, bahkan pelecehan seksual, sebelum sampai di persidangan.
Sebanyak 98 persen anak mengaku disiksa saat menjalani pemeriksaan, 97 persen
mengaku dipukuli ketika penangkapan, dan 74 persen dihajar saat di dalam tahanan
(tempo.co, 2012). Penelitian ini menambah daftar panjang permasalahan yang harus
dihadapi napi anak saat berada di Lapas.
Fenomena di atas menunjukkan bahwa kondisi lingkungan Lapas dengan
peraturan-peraturan, sarana dan prasarana yang kurang memadai, juga lingkungan
diri di lingkungan tersebut. Lingkungan Lapas yang menjauhkan napi dari kebebasan
dan dukungan sosial dari orang terdekat, seperti keluarga dan teman terdekat, akan
membuat napi semakin rentan terhadap berbagai gangguan psikologis. Sehingga
tidak mengherankan beberapa napi anak di Indonesia memilih untuk bunuh diri saat
masih berada dalam tahanan karena penyesuaian diri merupakan salah satu
persyaratan penting bagi terciptanya kesehatan mental ((jurnaliswarga.com, 2011;
Mu’tadin, 2002).
Menurut Schneider (1964: 51), penyesuaian diri merupakan suatu proses,
yang melibatkan respon-respon mental dan perbuatan dalam upaya untuk memenuhi
kebutuhan. Individu berusaha keras agar berhasil mengatasi
kebutuhan-kebutuhan, dan mengatasi ketegangan, frustrasi, dan konflik secara sukses, serta
menghasilkan hubungan yang harmonis antara kebutuhan dirinya dengan norma atau
tuntutan lingkungan dimana dia hidup. Haber dan Runyon (1984: 10) mengatakan
bahwa penyesuaian diri adalah suatu proses yang akan terus berlangsung selama
hidup. Efektivitas penyesuaian diri dilihat dari bagaimana seseorang mengatasi
situasi yang terus berubah. Kualitasnya akan bervariasi dari waktu ke waktu dan dari
situasi ke situasi.
Salah satu aspek yang mempengaruhi penyesuaian diri di Lapas adalah
individu yang kurang memiliki kemampuan dalam problem solving baik pribadi dan
sosial cenderung mengembangkan penyesuaian yang menyimpang (maladjustment)
(Foster dan Ritchey, 1979; Jahoda, 1958; Spivack, Latt, dan Shure, 1967 dalam
Biggam dan Power, 1999).
Problem solving tidak akan efektif jika individu tidak melakukan penilaian
terlebih dahulu terhadap permasalahannya. Menurut Butler dan Meichenbaum
(dalam Heppner dkk, 2004) dalam penelitian mereka mengenai proses problem
solving, problem solving tidak hanya difokuskan pada proses pengaplikasian
pengetahuan sebagai solusi dalam memecahkan permasalahan tetapi pada variabel
yang mempengaruhi bagaimana mereka akan menyelesaikan permasalahan. Menurut
mereka, penilaian individu terhadap kemampuan mereka dalam problem solving
tidak hanya akan mempengaruhi pelaksaan problem solving itu sendiri (problem
solving performance) tetapi juga berbagai variabel yang mempengaruhi proses
problem solving.
Berdasarkan gagasan Butler dan Meichenbaum tersebut, Heppner dkk (1987)
mengembangkan konsep problem solving appraisal. Problem solving appraisal
didefinisikan sebagai proses seseorang dalam merespon masalah hidupnya,
khususnya bagaimana mereka menilai kemampuan pemecahan masalah dan apakah
mereka cenderung menyelesaikannya atau menghindari permasalahan. (Lee dan
Heppner, 2002).
Individu yang menilai dirinya sebagai effective problem solvers akan mampu
mampu menghadapi berbagai stressor, dan mampu untuk mengembangkan metode
yang efektif untuk meraih berbagai kebutuhan dan tujuan-tujuan hidupnya
Sebaliknya, individu yang menilai dirinya sebagai ineffective problem solvers akan
membawa seseorang pada ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri (Heppner,
Witty, dan Dixon, 2004).
Dalam konteks kehidupan di Lapas, napi yang menilai dirinya sebagai
effective problem solvers akan mampu menyesuaikan diri dengan berbagai
tuntutan-tuntutan atau situasi di dalam Lapas. Sebaliknya, napi yang menilai dirinya sebagai
ineffective problem solvers akan memiliki kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan
kehidupan di Lapas.
Berdasarkan uraian fenomena di atas peneliti bermaksud untuk meneliti
“Hubungan Problem Solving Appraisal dan Penyesuaian Diri Napi Anak” karena
masuknya remaja ke Lapas sebagai napi anak akan membawa berbagai perubahan
pada kehidupan mereka yang akan membuat mereka sulit untuk melakukan
penyesuaian diri. Dalam melakukan penyesuaian diri tersebut, napi menggunakan
problem solving appraisal sebagai bentuk upaya mereka dalam menghadapi berbagai
B. Identifikasi Masalah
Penyesuaian diri merupakan suatu proses, yang melibatkan respon-respon
mental dan perbuatan dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan, individu
berusaha keras agar berhasil mengatasi kebutuhan-kebutuhan, dan mengatasi
ketegangan, frustrasi, dan konflik secara sukses, serta menghasilkan hubungan yang
harmonis antara kebutuhan dirinya dengan norma atau tuntutan lingkungan dimana
dia hidup (Schneiders, 1964: 51). Penyesuaian diri adalah kemampuan individu
dalam mengatasi situasi dan lingkungan yang terus berubah (Haber dan Runyon,
1984: 10). Sedangkan problem solving appraisal didefinisikan sebagai proses
penilaian seseorang dalam merespon masalah hidup, khususnya bagaimana individu
menilai kemampuan pemecahan masalah dan apakah mereka cenderung
menyelesaikannya atau menghindari permasalahan. (Lee dan Heppner, 2002).
Masuknya remaja ke dalam Lembaga Permasyarakatan (Lapas) sebagai napi
anak akan membuat mereka mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri.
Perubahan lingkungan dari yang penuh dengan kebebasan dan dukungan sosial dari
orang sekitarnya ke lingkungan Lapas yang tidak bebas, keras, dan jauh dari
dukungan orang-orang terdekat akan membuat napi anak semakin rentan mengalami
berbagai gangguan psikologis. Tidak mengherankan jika mereka mungkin akan
mengalami stres, kecemasan, dan depresi.
Dalam mengatasi perubahan-perubahan tersebut napi anak menggunakan
problem solving appraisal sebagai proses penilaian baik dalam memecahkan berbagai
dirinya sebagai effective problem solvers akan mampu menyesuaikan diri dengan
berbagai tuntutan atau situasi di dalam Lapas. Sebaliknya, napi yang menilai dirinya
sebagai ineffective problem solvers akan memiliki kesulitan dalam menyesuaikan diri
dengan kehidupan di Lapas.
Berdasarkan pernyataan di atas rumusan permasalahan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran problem solving appraisal pada napi anak penghuni Lapas
di Bandung?
2. Bagaimana gambaran penyesuian diri pada napi anak penghuni Lapas di
Bandung?
Berdasarkan rumusan permasalahan di atas maka pertanyaan penelitian dalam
penelitian ini adalah “Apakah terdapat hubungan antara problem solving appraisal
dengan penyesuaian diri napi anak di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) di
Bandung?”
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat apakah terdapat hubungan
antara problem solving appraisal dengan penyesuaian diri napi anak penghuni
D. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian korelasional. Metode penelitian korelasi ini mengacu pada upaya
menghubungkan variabel dengan variabel lain (Latipun, 2002: 5). Prinsip dalam
penelitian korelasi adalah peneliti menghubungkan sejumlah variabel tetapi tidak
melakukan manipulasi terhadapnya (D’amato, 1970 dalam Latipun, 2002: 5).
Dalam variabel ini terdapat variabel X dan Y. Variabel X adalah problem
solving appraisal dan variabel Y adalah penyesuaian diri di Lapas. Pengujian
hipotesis akan dilakukan dengan teknik statistik korelasi Product Moment Pearson.
Instrumen yang akan digunakan meliputi intrumen problem solving appraisal yang
dimodifikasi dari Problem Solving Inventory (PSI) dari Heppner (1982) dan
instrumen penyesuaian diri di Lapas yang didasarkan pada karakteristik penyesuaian
diri Haber dan Runyon (1984).
E. Manfaat Penelitian
Manfaat dari hasil penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti adalah sebagai
berikut:
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini akan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu psikologi
terutama psikologi forensik dan memperkaya pengetahuan mengenai psikologi di
setting penjara atau Lapas Indonesia. Selain itu penelitian ini juga dapat
dan penyesuaian diri terutama problem solving appraisal dan penyesuaian diri di
Lapas.
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti adalah
sebagai berikut:
a. Bagi Pihak Lembaga Permasyarakatan
Melalui penelitian ini diharapkan pihak Lapas dapat mengembangkan
pelatihan-pelatihan atau pemberian jasa konseling baik untuk meningkatkan
kemampuan pemecahan permasalahan dan untuk dapat mendukung
penyesuaian diri napi anak. Pelatihan dan konseling ini diharapkan dapat
mencegah berkembangnya berbagai gangguan psikologis yang tidak
diharapkan dan mungkin akan merugikan bagi perkembangan mereka di masa
dewasa nanti mengingat mereka tetap berpotensi untuk menjadi penerus
bangsa.
b. Bagi Orang Tua
Melalui penelitian ini diharapkan orang tua dapat memberikan
dukungan sosial dan emosional yang lebih bagi napi anak dalam mendukung
napi anak menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi di Lapas demi
F. Struktur Organisasi Skripsi
Struktur organisasi skripsi atau rincian urutan penelitian skripsi yang
dilakukan adalah sebagai berikut:
Judul
Halaman Pengesahan
Pernyataan tentang Keaslian Karya Tulis
Kata Pengantar
Ucapan Terima Kasih
Abstrak
Daftar Isi
Daftar Tabel
Daftar Gambar
Daftar Lampiran
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Identifikasi Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Metode Penelitian
E. Manfaat Penelitian
F. Struktur Organisasi Skripsi
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Pustaka
C. Hipotesis Penelitian
BAB III METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Subjek Penelitian
B. Desain Penelitian
C. Definisi Operasional
D. Instrumen Penelitian
E. Proses Pengembangan Instrumen
F. Teknik Pengumpulan Data
G. Analisis Data
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
B. Pembahasan Hasil Penelitian
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Daftar Pustaka
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Subjek Penelitian
Penelitian dilakukan di tiga Lapas di Bandung, yaitu Rutan Tahanan Negara
Klas I Bandung, dan Lapas Sustik Klas IIA Bandung, dan Lapas Wanita Bandung
Klas IIA. Populas dalam penelitian ini adalah 48 napi anak laki-laki dan napi anak
wanita di Rutan Tahanan Negara Klas I Bandung, Lapas Sustik Klas IIA Bandung,
dan Lapas Wanita Bandung Klas IIA, yang memiliki karakteristik sampel penelitian
sebagai berikut:
a. Napi anak berumur 15-18 tahun karena pada umur tersebut individu
diasumsikan sudah masuk ke dalam tahap pemikiran operasional formal yang
dianggap lebih bersifat abstrak dibandingkan dengan pemikiran anak di usia
lainnya, sehingga mereka dapat melakukan penalaran induktif yang berperan
dalam pemecahan permasalahan (Santrock, 1983:11),
b. Menjalani warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) atau Rumah
Tahanan (Rutan) sebagai napi anak.
Teknik sampling yang digunakan adalah teknik purposive sampling. Teknik
purposive sampling yaitu pemilihan sampel berdasarkan ciri-ciri tertentu yang
dipandang memiliki sangkut paut erat dengan populasi yang diketahui sebelumnya
B. Desain Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yang akan diteliti adalah sebagai
berikut:
1. Variabel bebas (X)
Variabel yang mempengaruhi atau variabel bebas dalam penelitian ini adalah
problem solving appraisal.
2. Variabel terikat (Y)
Variabel yang dipengaruhi atau variabel terikat dalam penelitian ini adalah
penyesuaian diri di Lapas.
Dalam penelitian ini, peneliti akan menguji sejauh mana variabel bebas
mempengaruhi variabel terikat atau dalam penelitian ini sejauh mana variabel
problem solving appraisal mempengaruhi variabel penyesuaian diri (lihat gambar
3.1). Analisa data yang digunakan untuk mencapai tujuan penelitian ini adalah
dengan statistik korelasional Product Moment Pearson yang didasarkan pada data
yang dikumpulkan melalui kuesioner yang mengukur problem solving appraisal dan
penyesuaian diri.
Problem Solving Appraisal
X
Penyesuaian Diri
C. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kuantitatif. Penelitian
kuantitatif menekankan analisis pada data-data numerikal yang diolah dengan statistik
inferensial atau pengujian hipotesis sehingga diperoleh signifikansi hubungan antara
variabel yang diteliti (Azwar, 2004).
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
korelasional. Metode penelitian korelasi ini mengacu pada upaya menghubungkan
satu variabel dengan variabel lain (Latipun, 2002: 5). Prinsip dalam metode penelitian
korelasi adalah peneliti menghubungkan sejumlah variabel tetapi tidak melakukan
manipulasi terhadapnya (D’amato, 1970 dalam Latipun, 2002: 5).
D. Definisi Operasional
Definisi operasional dari dua variabel yang digunakan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Problem solving appraisal merupakan penilaian napi anak terhadap
kepercayaan dirinya dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah di Lapas,
kecenderungan untuk menghindari atau menyelesaikan masalah di Lapas, dan
kemampuan mengontrol diri dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah
di Lapas yang tergambar dari skor keseluruhan dari instrumen problem
solving appraisal. Skor keseluruhan yang tinggi menunjukkan bahwa napi
anak merupakan individu yang meyakini dirinya sebagai effective problem
anak merupakan individu yang meyakini dirinya sebagai ineffective problem
solvers. Aspek-aspek yang tercakup dalam problem solving appraisal adalah
sebagai berikut:
a. Problem solving confidence,
b. The approach-avoidance style, dan
c. Personal control.
2. Penyesuaian diri merupakan kemampuan napi anak dalam memenuhi
kebutuhan dan mengatasi ketegangan, frustrasi, serta konflik yang
dihadapinya di LAPAS yang tergambar dari instrumen penyesuaian diri napi
anak di LAPAS. Skor keseluruhan yang tinggi menunjukkan bahwa napi anak
dapat menyesuaikan diri dengan baik di LAPAS (well-adjustment), sebaliknya
skor keseluruhan yang rendah menunjukkan bahwa napi anak belum dapat
menyesuaikan diri dengan baik di LAPAS (maladjustment). Aspek-aspek
yang tercakup dalam penyesuaian diri adalah sebagai berikut:
a. Persepsi terhadap kenyataan,
b. Kemampuan untuk mengatasi stres dan kecemasan,
c. Citra diri (self-image),
d. Kemampuan untuk mengekspresikan perasaan, dan
E. Instrumen Penelitian
Berikut instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian mengenai
“hubungan antara problem solving appraisal dan penyesuaian diri pada napi anak
penghuni Lapas di Bandung”.
1. Instrumen Problem Solving Appraisal
Untuk mengukur problem solving appraisal, peneliti menggunakan
instrumen berupa questionnaire yang dimodifikasi dari The Problem Solving
Inventory (PSI) yang dibuat oleh Heppner (1982) untuk mengukur kesadaran
individu pada kemampuan problem solving secara umum. The Problem Solving
Inventory (PSI) merupakan inventory yang menggunakan tipe skala likert dengan
sistem penyekoran dari 1= sangat setuju sampai 6= sangat tidak setuju dan
item-item terdiri dari pernyataan-pernyataan yang bersifat positif dan negatif atau
disebut pula dengan istilah favorable dan unfavorable.
Tabel 3.1
Penyekoran Instrumen Problem Solving Appraisal
Item Nilai Pernyataan
SS CS AS ATS CTS STS
Favorable 6 5 4 3 2 1
Unfavorable 1 2 3 4 5 6
Keterangan:
SS : Sangat Setuju
CS : Cukup Setuju
AS : Agak Setuju
CTS : Cukup Tidak Setuju
STS : Sangat Tidak Setuju
Instrumen yang digunakan dimodifikasi dari Problem Solving Inventory
(PSI). Instrumen terdiri dari 33 item yaitu 11 item untuk mengukur problem
solving confidence, 16 item untuk mengukur the approach-avoidance style, dan 6
item untuk mengukur personal control. Tingginya nilai PSI diartikan bahwa
individu tidak yakin bahwa dirinya dapat memecahkan permasalahan secara
efektif (ineffective problem solvers) (Heppner dan Petersen, 1982).
Tabel 3.2
Kisi-kisi Instrumen Problem Solving Appraisal
No. Dimensi Indikator Item Jumlah
2. Instrumen Penyesuaian Diri di Lapas
Instrumen yang mengukur penyesuaian diri di Lapas merupakan instrumen
berupa questionnaire yang dibuat berdasarkan pada teori karakteristik
penyesuaian diri dari Harber dan Runyon (1984). Instrumen ini dibuat dengan
menggunakan pendekatan summated rating atau skala likert. Skala Likert
digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau
sekelompok orang tentang fenomena sosial karena skala ini berpusat kepada
subyek atau orang (Sugiyono, 2010: 93; Ihsan, 2009). Kisi-kisi dalam instrumen
penyesuaian diri sebelum dilakukan uji coba, yaitu:
Tabel 3.3
Kisi-kisi Instrumen Penyesuaian Diri di Lapas
Dimensi Indikator Item Jumlah
masalah-masalah yang
Item-item dibuat peneliti dengan pernyataan-pernyataan yang bersifat
positif dan negatif atau disebut pula dengan istilah favorable dan unfavorable.
Setiap pernyataan memiliki 5 alternatif jawaban berdasarkan kecenderungan
Keterangan:
SS : Sering Sekali
S : Sering
J : Jarang
P : Pernah
TP : Tidak Pernah
3. Kategorisasi Skala
Kategorisasi merupakan suatu usaha untuk menempatkan individu ke
dalam kelompok-kelompok yang terpisah secara berjenjang menurut suatu
kontinum berdasarkan atribut tertentu. Tujuan kategorisasi ini adalah
menempatkan individu ke dalam kelompok-kelompok yang terpisah secara
berjenjang menurut suatu kontinum berdasarkan variabel yang diukur (Azwar,
2008: 107). Dalam penelitian ini peneliti mengelompokkan hasil total skor subjek
menjadi dua kategori baik untuk problem solving appraisal dan untuk
penyesuaian diri.
Tabel 3.5
Kategorisasi Skala Rumus Dua Level
Kriteria Kategori
X ≥ µ (rata-rata populasi) Tinggi
X < µ (rata-rata populasi) Rendah
(Ihsan, 2009: 77)
Keterangan:
X = skor subjek
Kategorisasi dihitung berdasarkan analisis statistik deskriptif dari skor
mentah yang diperoleh oleh subjek di masing-masing variabel baik variabel
problem solving appraisal dan penyesuaian diri di Lapas. Analisis deskriptif
diolah dengan bantuan software SPSS 15,0 sehingga diperoleh hasil sebagai
berikut:
Tabel 3.6
Statistik Deskriptif Problem Solving Appraisal dan Penyesuaian Diri
N Minimal Maksimal
pengkategorisasian untuk problem solving appraisal dan penyesuaian diri di
Lapas adalah sebagai berikut:
Tabel 3.7
Kategorisasi Problem Solving Appraisal
Kriteria Kategori
X ≥ 76,31 (rata-rata populasi) Effective problem solvers
X < 76,31 (rata-rata populasi) Ineffective problem solvers
Tabel 3.8
Kategorisasi Penyesuaian Diri
Kriteria Kategori
F. Proses Pengembangan Instrumen Penelitian
Pengembangan instrumen penelitian dilakukan dengan uji coba untuk
mengukur sejauh mana instrumen penelitian dapat mengungkap dengan tepat variabel
yang akan diukur. Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian “hubungan
antara problem solving appraisal dan penyesuaian diri pada napi anak penghuni
Lapas di Bandung” adalah instrumen yang mengukur problem solving appraisal dan
penyesuaian diri napi anak di Lapas.
Uji coba instrumen dilaksankan pada 48 napi anak yang berada di Lembaga
Pemasyarakatan di daerah Bandung diantaranya adalah Rutan Tahanan Negara Klas I
Bandung, dan Lapas Sustik Klas IIA Bandung, dan Lapas Wanita Bandung Klas IIA.
Data kemudian diolah untuk dilakukan uji validitas dan reliabilitas. Uji coba
instrumen dalam penelitian ini bersifat uji coba terpakai sehingga pengambilan data
dilakukan hanya satu kali. Data yang terkumpul kemudian dilakukan pengolahan data
dengan menghilangkan item-item yang tidak valid ataupun reliabel. Uji coba terpakai
dilakukan karena mengingat populasi penelitian yang jumlahnya sangat terbatas.
Berikut langkah-langkah yang dilakukan dalm analisis dan seleksi item.
1. Analisis dan Seleksi Item
Dalam prosedur seleksi atau pemilihan item menyangkut beberapa tahap
kerja. Tahap pertama adalah analisis dan seleksi item berdasakan evaluasi
kualitatif atau validitas isi yang kedua adalah prosedur seleksi item melalui
analisis kuantitatif yang dalam hal ini peneliti dibantu dengan SPSS versi 15.0 for
a. Uji Validitas Isi
Pelaksanaan validitas isi diawali dengan menerjemahkan salah satu
intrumen modifikasi terlebih dahulu, yang dalam hal ini adalah instrumen
problem solving appraisal dengan bantuan salah satu dosen bahasa inggris,
yaitu Dr. Doddy Rusmono, MLIS.
Setelah penerjemahan salah satu instrumen selesai, peneliti melakukan
validitas isi melalui professional judgement yaitu pada dua dosen psikologi
Siti Chotidjah, MA.,Psi, dan Sri Maslihah, M.Psi. Validitas isi merupakan
validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap isi tes dengan analisis
rasional atau lewat professional judgement (Azwar, 1997: 48).
b. Analisis Item
Analisis item merupakan prosedur untuk meningkatkan validitas dan
reabilitas suatu alat tes dengan cara memilih item-item yang sesuai dengan
tujuan alat tes (Crocker dan Agina, 2005). Analisis item didasarkan dari data
empiris dengan melakukan analisis kuantitatif terhadap parameter-parameter
item seperti indeks kesukaran item, indeks diskriminasi item, analisis
reabilitas dan validitas alat ukur tersebut (Azwar, 2010: 56).
Setelah melakukan mengambilan data, peneliti melakukan pemilihan
layak jika memiliki koefisien korelasi r ≥ 0,30 tetapi jika jumlah item yang
lolos masih tidak mencukupi jumlah yang diinginkan, maka koefisien korelasi
dapat diturunkan dari 0,30 menjadi 0,25. Hal yang tidak disarankan adalah
jika menurunkan batas koefisien korelasi dibawah 0,20 (Azwar, 2010: 65).
Tabel 3.9
Kriteria Evaluasi Indeks Diskriminasi
Indeks Diskriminasi Evaluasi
> 0,40 Bagus sekali
0,30 ≥ 0,39 Lumayan bagus tapi masih perlu peningkatan
0,20 ≥ 0,29 Belum memuaskan, perlu diperbaiki
< 0,20 Jelek dan harus dibuang
(Ebel, 1979 dalam Azwar, 1996: 140)
Berdasarkan hasil analisis item secara kuantitatif melalui pengujian
daya diskriminasi item atau daya beda item yang dibantu dengan SPSS versi
15.0 for Windows maka terdapat 18 item yang layak dari 33 item pada
variabel problem solving appraisal dan 25 item yang layak dari 57 item pada
variabel penyesuaian diri.
Tabel. 3.10
Item-item yang Layak Instrumen Problem Solving Appraisal
No. Dimensi Item-item yang layak Total
Problem Solving Confidence 10,12,19,28,33 5 item The Approach-Avodance 1,2, 4, 14,16,18,30,29 8 item
Personal Control 3,8,11,25,32 5 item
Tabel 3.11
Item-item yang Layak Instrumen Penyesuaian Diri
No Dimensi Item-item yang Layak Total
1. Persepsi terhadap kenyataan 1,3,9 3 item 2. Kemampuan untuk mengatasi
stres dan kecemasan
5. Hubungan interpersonal 51,56 2 item
Jumlah Total 25 item
2. Uji Reliabilitas
Reliabilitas mengacu pada konsistensi atau keterpercayaan hasil ukur yang
mengandung makna kecermatan pengukuran sehingga reliabilitas dapat diartikan
sebagai tingkat keterpercayaan hasil suatu pengukuran (Azwar, 2010). Reliabilitas
menunjukkan sejauhmana konsistensi hasil pengukuran apabila pengukuran
dilakukan ulang pada kelompok subjek yang sama (Azwar, 2009: 8). Dalam
aplikasinya, reliabilitas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas (rxx) yang angkanya
berada dalam rentang dari 0 sampai dengan 1,00. Semakin tinggi koefisien
reliabilitas mendekati angka 1,00 berarti semakin tinggi reliabilitasnya.
Sebaliknya koefisien yang semakin rendah mendekati angka 0 berarti semakin
rendah reliabilitasnya (Azwar, 2010: 83). Dalam penelitian ini, koefisien
Tabel 3.12
Koefisien Reliabilitas Alpha Cronbach
Kriteria Koefisien
Sangat Reliabel >0,900
Reliabel 0,700-0,900
Cukup Reliabel 0,400-0,700
Kurang Reliabel 0,200-0,400
Tidak Reliabel <0,200
Tabel 3.13
Reliabilitas Instrumen Problem Solving Appraisal Sebelum Dilakukan Seleksi Item
Cronbach's
Alpha N of Items
.686 33
Tabel 3.14
Reliabilitas Instrumen Problem Solving Appraisal Setelah Dilakukan Seleksi Item
Pada tabel 3.13 dan 3.14 di atas, dapat dilihat hasil uji reliabilitas pada
instrumen problem solving appraisal sebelum dilaksanakannya seleksi item yaitu
sebesar 0,686 dan setelah seleksi item sebesar 0,785. Hal ini menunjukkan bahwa
reliabilitas instrumen problem solving appraisal mengalami perubahan dari
instrumen yang cukup reliabel menjadi instrumen yang reliabel. Cronbach's
Alpha N of Items
Tabel 3.15
Reliabilitas Instrumen Penyesuaian Diri Sebelum Dilakukan Seleksi Item
Cronbach's
Alpha N of Items
.822 57
Tabel 3.16
Reliabilitas Instrumen Penyesuaian Diri Setelah Dilakukan Seleksi Item
Pada tabel 3.15 dan 3.16 di atas, dapat dilihat hasil uji reliabilitas pada
instrumen penyesuaian diri sebelum dilaksanakannya seleksi item yaitu sebesar
0,822 dan setelah seleksi item sebesar 0,902. Hal ini menunjukkan bahwa
reliabilitas instrumen penyesuaian diri mengalami perubahan dari instrumen yang
reliabel menjadi instrumen yang sangat reliabel.
G. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data berupa pemberian
kuesioner. Kuesioner adalah suatu daftar yang berisikan rangkaian pernyataan Cronbach's
Alpha N of Items
mengukur problem solving appraisal yang dikembangkan dari Problem Solving
Inventory (PSI) (Heppner dan Petersen, 1982) dan penyesuaian diri di Lapas yang
dibuat berdasarkan teori karakteristik penyesuaian diri dari Harber dan Runyon
(1984).
Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala likert dengan pilihan
jawaban masing-masing 6 pilihan jawaban untuk problem solving appraisal dan 5
pilihan jawaban untuk penyesuaian diri. Responden diminta untuk memilih salah satu
dari keenam dan kelima jawaban dari masing-masing instrumen penelitian.
H. Analisis Data
Berikut ini pelaksanaan analisis data dalam penelitian mengenai hubungan
antara problem solving appraisal dengan penyesuaian diri.
1. Uji Normalitas
Uji normalitas adalah uji untuk mengukur apakah data berdistribusi
normal sehingga dapat dipakai statistik parametrik (statistik inferensial). Apabila
data berdistribusi normal maka teknik yang digunakan adalah teknik parametrik
sedangkan data yang berdistribusi tidak normal maka teknik yang digunakan
adalah teknik nonparametrik. Data dikatakan berdistribusi normal apabila nilai
probabilitasnya > 0,05. Sedangkan data berdistribusi tidak normal apabila nilai
probabilitasnya ≤ 0,05 (Sugiyono, 2008: 2010). Uji normalitas dilaksanakan oleh
Tabel 3.17
solving appraisal 0,947 dan penyesuaian diri sebesar 0,572. Kedua hasil tersebut
memiliki nilai > 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa variabel problem solving
appraisal dan penyesuaian diri berdisribusi normal.
2. Uji Linearitas
Uji linear digunakan untuk melihat apakah variabel problem solving
appraisal dan penyesuaian diri linear atau tidak dan digunakan untuk dapat
mengetahui taraf signifikansi penyimpangan dari linearitas hubungan tersebut.
Suatu hubungan dapat dikatakan linear apabila adanya kesamaan variabel, baik
Tabel 3.18 Hasil Uji Linearitas
Model
Sum of
Squares Df Mean Square F Sig.
1 Regression 2395.365 1 2395.365 7.692 .008(a)
Residual 14324.552 46 311.403
Total 16719.917 47
a Predictors: (Constant), Problem Solving Appraisal
b Dependent Variable: Penyesuaian Diri
Berdasarkan hasil analisis linearitas pada tabel 3.18 di atas, antara variabel
problem solving appraisal dan penyesuaian diri menunjukkan bahwa signifikansi
yang dihasilkan adalah sebesar 0,008 < 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa
problem solving appraisal berpengaruh pada penyesuaian diri napi anak di Lapas.
3. Uji Korelasi
Uji korelasi merupakan teknik statistik yang digunakan untuk menguji ada
atau tidaknya hubungan serta arah hubungan dari dua variabel atau lebih. Dalam
penelitian ini dilakukan uji korelasi untuk melihat apakah terdapat hubungan
antara variabel problem solving appraisal dan penyesuaian diri. Untuk data yang
berdistribusi normal dan linear digunakan uji korelasi product moment Pearson
sedangkan untuk data yang tidak berdistribusi normal dan linear maka digunakan
uji korelasi rank spearman.
Berdasarkan hasil uji normalitas dan linearitas variabel problem solving
appraisal dan penyesuaian diri menunjukkan bahwa data berdistribusi normal dan
Korelasi Product Moment digunakan untuk menguji hipotesis hubungan antara
satu variabel independen dengan satu variabel dependen. Setelah nilai koefisien
korelasi didapatkan, maka untuk menginterpretasikan koefisien korelasi tersebut
digunakan pedoman sebagai berikut (Arikunto, 2010):
Tabel 3.19 Interpretasi Nilai r
Interval Koefisien Tingkat Hubungan
0,000 – 0,199 Sangat rendah
0,200 – 0,399 Rendah
0,400 – 0,599 Sedang
0,600 – 0,799 Kuat
0,800 – 1,000 Sangat kuat
Uji korelasi ini kemudian akan dilakukan dengan menggunakan bantuan
SPSS versi 15.0 for Window.
4. Uji Koefisien Determinasi
Koefisien determinasi adalah seberapa besar kemampuan variabel bebas
dalam menjelaskan varians dari variabel terikatnya. Biasanya digunakan untuk
menganalisis seberapa besar kontribusi variabel bebas terhadap variabel terikat
yang dinyatakan dalam persentase (%). Secara sederhana koefisien determinasi
dihitung dengan menkuadratkan koefisien korelasi.
5. Uji Signifikansi
Uji signifikansi merupakan pengujian yang dilakukan untuk mengetahui
apakah terdapat korelasi yang signifikan antara variabel pertama dengan variabel
kedua. Berikut ini kriteria signifikansi korelasi:
Tabel 3.20
Kriteria Signifikansi Variabel
Kriteria
Probabilitas > 0,05 Ho diterima
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan antara problem solving
appraisal dan penyesuaian diri napi anak penghuni Lapas di Bandung dapat
disimpulkan bahwa:
1. Sebagian besar napi anak penghuni Lapas di Bandung meyakini dirinya
sebagai ineffective problem solvers. Hal ini menunjukkan bahwa napi anak
sebagian besar yang kurang mampu beradaptasi dengan mudah dalam
berbagai kondisi lingkungan seperti apapun, menghadapi berbagai
stressor, dan mengembangkan metode yang efektif untuk meraih berbagai
kebutuhan dan tujuan-tujuan hidupnya.
2. Sebagian besar napi anak penghuni Lapas di Bandung mampu
menyesuaikan diri dengan baik atau berperilaku well-adjusted. Hal ini
menunjukkan bahwa sebagian besar sudah mampu menyelesaikan
sebagian besar konflik, frustrasi, dan kesulitan-kesulitan baik yang ada di
dalam diri dan sosialnya di Lapas.
kenyataan, self image, dan hubungan dengan kemampuan
mengekspresikan perasaan. Napi anak yang menganggap dirinya mampu
memecahkan permasalahan secara efektif akan mampu untuk beradaptasi
dengan mudah dalam berbagai kondisi lingkungan Lapas, mampu
menghadapi berbagai konflik, frustrasi, dan stressor, dan mampu untuk
mengembangkan metode yang efektif untuk meraih berbagai kebutuhan
dan tujuan-tujuan hidupnya. Sebaliknya, napi anak yang tidak memiliki
kepercayaan diri dalam menyelesaikan permasalahan, cenderung
menghindari masalah, kurang mampu untuk mengontrol baik emosi dan
perilakunya, dan dia akan memiliki kesulitan dalam menyesuaikan diri.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan antara problem solving
appraisal dan penyesuaian diri napi anak penghuni Lapas di Bandung, maka
peneliti memberikan beberapa saran sebagai berikut:
1. Bagi napi anak
a. Sebaiknya napi anak berupaya untuk membangun rasa kepercayaan
diri terutama dalam menghadapi permasalahan dan dalam mengontrol
dirinya. Meningkatkan kepercayaan diri dalam menyelesaikan masalah
kecenderungan untuk menghindari masalah yang nantinya akan
mengganggu penyesuaian diri mereka di Lapas.
b. Masuk ke Lapas merupakan transisi yang sulit bagi napi anak sehingga
penyesuaian diri akan sangat diperlukan. Sebaiknya napi anak lebih
membangun berbagai aspek-aspek yang dapat mendorong penyesuaian
diri mereka menjadi lebih baik seperti membangun hubungan
interpersonal yang baik dengan penghuni Lapas lain, meningkatkan
persepsi mereka terhadap kenyataan yang akan mendukung mereka
dalam menilai situasi, masalah, atau keterbatasannya, dan tepat atau
tidaknya tindakan dalam menyelesaikan permasalahan di Lapas,
membangun citra diri yang positif, dan meningkatkan kemampuannya
untuk mengontrol emosi.
2. Bagi Orang Tua
a. Sebaiknya orang tua, lebih rajin untuk memberikan dukungan sosial
dan emosional pada anaknya di Lapas karena dukungan sosial dan
emosional akan dapat mendukung bagi peningkatan keyakinan diri
napi anak dalam menghadapi masalah dan menyesuaikan diri di Lapas.
3. Bagi Pihak Lembaga Pemasyarakatan
menyelesaikan permasalahan hidup. Pembinaan ini akan menjadi
bekal dan bermanfaat bagi napi anak dalam menghadapi kehidupan
tidak hanya di dalam Lapas bahkan di luar Lapas.
b. Pihak Lapas sebaiknya menyediakan pelayanan konseling untuk
menggali permasalahan yang dihadapi oleh napi anak selama mereka
menjalani hidup di Lapas. Konseling akan membantu mengurangi
stres dan kecemasan yang napi anak hadapi di Lapas sehingga
penyesuaian diri yang optimal dapat tercapai.
c. Pihak Lapas sebaiknya menyediakan fasilitas berupa pelatihan,
permainan, atau keterampilan, yang disesuaikan dengan hobi dan
kesenangan napi anak atau disesuaikan dengan karakteristik remaja.
Fasilitas seperti ini dapat bermanfaat selain bagi penyesuaian diri,
namun juga untuk mengasah kemampuan mereka dalam memecahkan
permasalahan dalam pelatihan, permainan, atau keterampilan sehingga
dapat bermanfaat bagi mereka kelak di luar Lapas.
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
a. Bagi penelitian selanjutnya diharapkan untuk melakukan penelitian
kualitatif untuk lebih menggali secara mendalam permasalahan napi
anak di Lapas, problem solving appraisal, dan penyesuaian diri napi
b. Bagi penelitian selanjutnya diharapkan untuk menggali aspek-aspek
lain selain problem solving appraisal yang dapat mendukung
terciptanya penyesuaian diri yang optimal bagi napi anak di Lapas.
c. Instrumen diharapkan dapat dikembangankan dan dimodifikasi agar
lebih sesuai dan lebih menggali dan mengukur baik problem solving
DAFTAR PUSTAKA
Ali, M., dan Asrori, M. (2011). Psikologi Remaja: Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT Bumi Aksara
Animasahun, R.A. (2010). “Intelligent Quotient, Emotional Intelligence and Spiritual Intelligence as Correlates of Prison Adjustment among Inmates in Nigeria Prisons”. Journal Social and Science, 22(2), 121-128.
Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta
Atkinson, R.L., Atkinson, R.C., dan Hilgard. E.R. (1996). Pengantar Psikologi. Jakarta: Erlangga.
Azwar, S. (2010). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Azwar, S. (2009). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Azwar, S. (1996). Tes Prestasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Bandura, A. (1997). Self-Efficacy: The Exercise of Control. New York: W. H. Freeman and company
Biggam, F.H., dan Power, K.G. (1999). “A Comparison of the Problem Solving Abilities and Psychological Distress of Suicidal, Bullied, and Protected Prisoners”. Criminal Justice and Behavior, 26, 196-216.
Calhoun, J.F., Acocella, J.R. (1990). Psychology of Adjustment and Human Relationship 3rd Edition. New York : Mac Graw-Hill. Inc.
Cooke, D. J., Baldwin, P. J., dan HowisonJ. (1990). Psychology in prisons. London: Routledge.
Dian, N. (2012, 13 Januari). Kematian Tahanan Anak di Lapas Tulung Agung.
Tempo [Online]. Tersedia:
http://www.tempo.co/read/news/2012/01/13/058377188/Kematian-Tahanan-Anak-di-Lapas-Tulungagung-Diusut. [19 Januari 2012].
Dic. (2012, 5 Agustus). Bandung Tertinggi Angka Kriminalistas: Tribun Jabar [Online]. Tersedia: http://m.tribunjabar.co.id/2012/08/05/bandung-tertinggi-angka-kriminalitas. [26 Desember 2012].
Ditjen.PAS. (2013). Data Terakhir Jumlah Penghuni Per-UPT pada Kanwil. Sistem
Data Base Pemasyarakatan [Online]. Tersedia:
http://smslap.ditjenpas.go.id/public/grl/current/monthly/kanwil/db5e00e0-6bd1-1bd1-913c-313134333039. [21 Desember 2013]
Furhmann, B. S. (1990). Adolescence Adolescents (2rd). London : Brown Higher Education.
Gate, I., dan Gersild, A. (1983). “Meaning of Adjustment. In: RN Sarona (Ed)”.
Abnormal Psychological. New Delhi: Anand Publisher, 23-24.
Haber, A.,dan Runyon, R. P. (1984).Psychology of adjustment. Illinois:The Dorsey Press.
Hall, C., dan Lindzey, G. (1985). Introduction to Theories of Personality. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Heppner, P.P., dan Lee, D.G. (2002). “Problem Solving Appraisal and Psychological Adjustment”. Handbook of Positive Psychology. NC : Oxford University Press.
Heppner, P.P., Witty, T.E., dan Dixon, W.A. (2004). “Problem Solving Appraisal and Human Adjustment : A review of 20 years of research using the problem
solving inventory”. The Counseling Psychologist, 32, 344-428.
Heppner, P.P., dan Krauskopf, C.J. (1987). “An Information-Processing Approach to
Personal Problem Solving”. The Counseling Psychologist, 15, 371-447
Hurlock, E.B. (1980). Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga
Ihsan, H. (2009). Metode Skala Psikologi. Bandung: Tidak Diterbitkan
Kinanthi, M.R. (2011). “Problem Solving Appraisal: The Contribution of Family
Protective Factors”. The International Conference on Psychology of
Resilience, 175-178. Depok: Universitas Indonesia.
Latipun. (2010). Psikologi Eksperimen. Malang: UMM Press
Lazarus. (1976). Pattern of Adjustment (Third Edition). New York: McGraw-Hill.
Listyawati, R. (2011). Napi Anak Banyak, Salah Kepolisian. Waspada [Online]. Tersedia:
http://waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=20733 5:-napi-anak-banyak-salah-kepolisian&catid=14:medan&Itemid=27. [14 Desember 2011].
Makitan, A., dan Mustika, G. (2012). LBH: Hampir Semua Tahanan Anak Disiksa.
Tempo [Online]. Tersedia:
http://www.tempo.co/read/news/2012/04/12/173396497/LBH-Hampir-Semua-Tahanan-Anak-Disiksa. [21 Desember 2013]
MYS. (2012). Empat Perkara yang Paling Banyak Menyeret Anak. Hukumonline
[Online]. Tersedia:
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f3a36c521913/empat-perkara-yang-paling-banyak-menyeret-anak. [21 Desember 2013]
Purmiati., Supatimi, S.M., dan Tinduk, N.M.M. (2002). Analisis Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Jakarta: UNICEF Indonesia.
Sanderson, C.A. (2004). Health Psychology. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Santrock, J.W. (1983). Life Span Development Jilid II. Jakarta : Erlangga.
Schneider, A.A. (1964). Personal Adjustment and Mental Health. New York : Holt, Rinehart, Winston.
Silawaty, I., dan Ramdhan, M. (2007). Peran Agama Terhadap Penyesuaian Diri Narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Jurnal Ilmiah Universitas Indonesia, 13, No.3, 225-234.
Snyder, C.R., dan Lopez, S.J. (2002). Handbook of Positive Psychology. New York: Oxford University Press.
Soebijoto, H. (2011, 20 Januari). Angka Kejahatan di Indonesia Turun. Kompas
[Online]. Tersedia:
http://tekno.kompas.com/read/2011/01/20/10434465/angka.kejahatan.di.indon esia.turun. [16 Desember 2011].
Soetodjo, W. (2006). Hukum Pidana Anak. Bandung: Refika Aditama.
Steinberg, L. (1993). Adolescence. New York : McGraw-Hill, Inc.
Suryanto. (2011, 25 Februari). Penghuni Lapas di Indonesia 135 ribu Orang. Antara
News [Online]. Tersedia :
http://www.antaranews.com/berita/1298649268/penghuni-lapas-di-indonesia-135-ribu-orang. [16 Desember 2011].
Tanpa Nama. (2011). Pidana. [online]. Tersedia:
http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_pidana. [16 Desember 2011].
Tongeren, D.R.V., dan Klebe, K.J. (2009). “Reconceptualizing Prison Adjustment: A Multidimensional Approach Exploring Female Offenders Adjustment to
Prison Life”. The Prison Journal, 90 (1), 48-68.
Tanpa Nama. (2011). Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) [online]. Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Lembaga_Pemasyarakatan. [18 Desember 2011].
Randan, P. (2012, 4 Januari). Indonesia dalam Bingkai Kriminalitas. Analisa Daily
[Online]. Tersedia di :
http://www.analisadaily.com/news/read/2011/11/15/21724/indonesia_dalam_ bingkai_kriminalitas/ [19 Januari 2012].
Yusuf, S. (2009). Mental Hygene : Nutrisi Psikospiritual untuk Hidup Sehat Berkualitas. Bandung: Maestro.
Vembriarto, S.T. 1993. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: BPK Gunung Agung.
Wulan, W.S.A (2010). 80 Persen Anak Alami Kekerasan di Lapas. Kompas [Online]. Tersedia:
http://nasional.kompas.com/read/2010/03/22/14044936/80.Persen.Anak.Alam i.Kekerasan.di.Lapas. [14 Desember 2011].