• Tidak ada hasil yang ditemukan

KERENTANAN NELAYAN DAN PERUBAHAN IKLIM (3)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KERENTANAN NELAYAN DAN PERUBAHAN IKLIM (3)"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

KERENTANAN NELAYAN DAN PERUBAHAN IKLIM

A. Pendahuluan

Perubahan iklim merupakan isu global yang mulai menjadi topik perbincangan dunia sejak diadakannya Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, tahun 1992. United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) merupakan salah satu konvensi yang tercantum dalam Agenda 21 dan telah disahkan pada konferensi tersebut. Maksud dan tujuan utama dari konvensi tersebut adalah untuk menjaga kestabilan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer sehingga terjamin ketersediaan pangan dan pembangunan berkelanjutan (Meiviana et al. 2004). Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut melalui Undang-undang No. 6 tahun 1994. Pada perkembangan selanjutnya, perubahan iklim menjadi isu penting dalam kebijakan-kebijakan penting internasional setelah tahun 1995 ketika laporan penilaian kedua dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyebutkan bahwa―human activities were having a ‘discernible‘ impact on climate” (IPCC 2001). Menurut Glantz (1990), jauh sebelum maraknya konsensus umum tentang realitas bahwa perubahan iklim adalah disebabkan oleh manusia sesungguhnya tingkat keparahan dari dampak perubahan tersebut sudah lebih dulu terjadi.

(2)

total bencana dan sisanya 30% diakibatkan oleh kekeringan, longsor, kebakaran hutan, gelombang panas, dan lain-lain.

Wilayah pesisir adalah wilayah yang paling rentan terkena dampak buruk pemanasan global sebagai akumulasi pengaruh daratan dan lautan. IPCC (2007) menyebutkan bahwa setidaknya terdapat dua faktor penyebab kerentanan wilayah ini. Pertama, pemanasan global ditengarai meningkatkan frekuensi badai di wilayah pesisir. Setiap tahun, sekitar 120 juta penduduk dunia di wilayah pesisir menghadapi bencana alam tersebut, dan 250 ribu jiwa menjadi korban hanya dalam kurun 20 tahun terakhir (tahun 1980-2000). Pada periode 1905-1930 di wilayah pantai Teluk Atlantik terjadi rata-rata enam badai tropis per tahun. Rata-rata tahunan itu melonjak hampir dua kali lipat (10 kali badai tropis per tahun) pada periode tahun 1931-1994 dan hampir tiga kali lipat (15 kali badai tropis) mulai tahun 1995 hingga 2005. Pada tahun 2006 yang dikenal sebagai “tahun tenang” saja masih terjadi 10 badai tropis di wilayah pesisir ini. Juga dilaporkan pola peningkatan kejadian badai tropis ini tetap akan berlangsung sepanjang pemanasan global masih terjadi (IPCC 2007). Kedua, pemanasan global diperkirakan akan meningkatkan suhu air laut berkisar antara 1-30C . Dari sisi biologis, kenaikan suhu air laut ini berakibat pada meningkatnya potensi kematian dan pemutihan terumbu karang di perairan tropis. Dampak ini diperkirakan mengulang dampak peristiwa El Nino Southern Oscillation (ENSO) di tahun 1997 - 1998.

(3)

dampak perubahan iklim yang ditandai meningkatnya frekuensi badai dan gelombang tinggi, rob, dan perubahan antara musim barat dan musim timur yang tidak menentu (Hidayati dan Aldrian, 2012). Waktu yang tepat untuk melaut pun sulit diprediksi dan berimbas pada penghasilan mereka.

Kerentanan nelayan erat kaitannya dengan tingkat kemiskinan dan rendahnya kemampuan adaptasi. Hasil penelitian di Afrika menunjukkan bahwa tingkat kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim berbeda dari satu daerah ke daerah lain meski dalam satu negara (Liverman, 2008). Tingkat kerentanan tersebut dipengaruhi oleh kondisi dan keterpaparan iklim (climate exposure), sensitivitas masyarakat dan kemampuan mereka untuk beradaptasi (Metzge et al, 2006; IPCC, 2007). Diskusi di atas menginformasikan bahwa perubahan iklim memiliki beragam dampak yang spontan dan kadangkala berdampak masif. Oleh sebab itu, kajian komprehensif dampak perubahan iklim pada masyarakat nelayan sangat menarik dan bijak untuk dilakukan. Salah satu isu penting akhir–akhir ini terkait dengan perubahan iklim (Climate Change) adalah kerentanan dari suatu negara, daerah, masyarakat, individu atau rumah tangga sebagai dampak dari perubahan iklim. Meskipun demikian, banyak peneliti yang belum sepakat tentang konsep kerentanan itu sendiri. Artinya, konsep kerentanan belum terdefinisikan secara jelas. Menurut Adger, et al. (2003) dan Briguglio (1995), kerentanan bukanlah konsep yang sederhana dan berbeda dengan kemiskinan. Kerentanan adalah potensi kerugian atau kerusakan dari guncangan eksogen baik yang berasal dari internal maupun eksternal. Dari latar belakang tersebut, maka tujuan dari makalah ini adalah:

1. Menjelaskan persepsi nelayan mengenai perubahan iklim

2. Mendeskripsikan dampak perubahan iklim yang terjadi di sektor perikanan Indonesia

3. Menjelaskan kerentanan nelayan terkait dampak perubahan iklim

(4)

Menurut Baron dan Byrne (2004) persepsi adalah suatu proses memilih, mengorganisir, dan menginterpretasi informasi dikumpulkan oleh pengertian seseorang dengan maksud untuk memahami dunia sekitar. Sementara menurut Mulyana (2010) dalam Purnamasari (2012) persepsi manusia terbagi menjadi dua, yaitu persepsi terhadap objek (lingkungan fisik) dan persepsi terhadap manusia. Persepsi dilakukan berdasarkan pengalaman masa lalu yang berkaitan dengan objek dan orang.

Sebagaimana telah diketahui bahwa masyarakat Indonesia baik masyarakat pedalaman maupun pesisir memiliki sistem pengetahuan lokal (local knowledge) yang berkaitan dengan lingkungan termasuk pula iklim. Sistem pengetahuan masyarakat atau sistem budaya masyarakat tersebut telah berlangsung secara turun temurun. Demikian pula sistem pengetahuan lokal berkaitan dengan iklim yang digunakan dalam pemanfaatan, pelestarian dan pengelolaan sumberdaya laut oleh masyarakat pesisir di Indonesia. Indrawasih (2012) dalam jurnalnya yang berjudul “ Gejala perubahan iklim, dampak dan strategi adaptasinya pada wilayah dan komunitas nelayan di kecamatan Bluto kabupaten Sumenep”, mengemukakan bahwa gejala perubahan iklim yang diketahui oleh masyarakat pesisir adalah sebagai berikut:

1. Pengetahuan berkaitan dengan angin, pada musim barat (namberek) secara umum mereka alami pada bulan Januari sampai dengan Agustus, musim timur (nimur) bulan September sampai dengan Desember. Akan tetapi pada musim barat terdapat perbedaan tiupan anginnya, yaitu musim barat dengan tiupan angin timur terjadi pada bulan Juni sampai dengan Oktober, sedangkan dengan tiupan angina barat terjadi pada bulan November sampai dengan Agustus.

2. Berkaitan dengan hujan, yaitu musim hujan biasanya mereka alami pada bulan Oktober sampai dengan April, sedangkan musim kemarau bulan Mei sampai dengan September.

(5)

adalah merupakan selat, yaitu Selat Madura maka kondisi gelombang cenderung relatif stabil, tidak ada perubahan tinggi gelombang secara significant.

4. Berkaitan dengan arus dan angin pada musim barat arus lebih kuat dan angin bertiup lebih kencang dari pada musim timur.

Berkenaan dengan adanya perubahan iklim, yang dipahami dan dirasakan oleh nelayan Indonesia adalah adanya perubahan musim hujan dan musim kemarau. Biasanya musim hujan mulai pada bulan September sampai dengan April, tetapi belakangan mundur menjadi bulan November sampai dengan Mei, dan pada tahun terakhir ini, bulan Desember baru mulai hujan dan sampai dengan bulan juni. Selain musim hujan yang tidak kunjung berhenti, juga kondisi angin cenderung lebih kencang dari biasanya. Dengan kencangnya tiupan angin tersebut, kondisi laut mengalami perubahan arus, yang menurut pengakuan informan sudah dua tahun terakhir ini juga keadaan arus laut lebih kencang dari tahun-tahun sebelumnya, demikian pula keadaan gelombang/ombak.

Penelitian Nurlaili (2012) yang berjudul “Strategi adaptasi nelayan Bajo menghadapi perubahan iklim: studi nelayan Bajo di kabupaten Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur”, juga mengemukakan bahwa perubahan iklim yang sangat dirasakan nelayan Bajo di Wuring yaitu terjadinya perubahan atau pergeseran pola musim. Pergeseran pola musim ini berpengaruh pada kesulitan nelayan memprediksi tingginya gelombang dan angin. Dalam waktu selang satu tahun menurut mereka terdapat perbedaan datangnya Musim Barat dan Musim timur. Musim yang ada digolongkan berdasarkan arah angin. Gambaran musim yang digambarkan nelayan untuk masa sekarang yaitu gambaran musim yang terjadi pada tahun 2011, sedangkan kategori dulu yaitu gambaran musim yang terjadi sebelum tahun 1990 an.

(6)

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki kekuatan di bidang maritim dan memiliki sumber daya perikanan laut yang cukup besar (Fahmi, 2011). Hasil laporan United of Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (UNOCHA) menjelaskan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang rentan terhadap bencana perubahan iklim (UNOCHA, 2008). Kerentanan penduduk nelayan yang tinggal di daerah pesisir tentunya menjadi hal yang sangat penting bagi Indonesia. Perubahan iklim mengakibatkan perubahan fisik lingkungan di wilayah pesisir berupa instrusi air laut ke darat, gelombang pasang, banjir, genangan di lahan rendah dan kekeringan (Diposaptono dkk., 2009). Perubahan kondisi alam yang drastis menambah kepanikan terhadap kejutan alam yang siap melenyapkan hasil tangkapan mereka (Wibowo dan Satria, 2015). Kondisi perubahan iklim telah memperburuk kehidupan ekonomi para nelayan karena menggantungkan kehidupan pada penangkapan ikan laut (Romadhon, 2014). Terganggunya penangkapan ikan laut diakibatkan karena perubahan distribusi ikan, waktu berlayar, dan tipe perahu. Perubahan iklim yang terjadi di pesisir laut mempengaruhi kehidupan organisme sehingga berpotensi mengakibatkan efek negatif terhadap produksi ikan dan kehidupan nelayan (Desmawan, 2010). Hal tersebut yang membuat nelayan memiliki ketidakpastian dalam matapencaharian dan aspek penghidupan nelayan.

(7)

Dampak perubahan iklim di Indonesia telah dirasakan, baik secara langsung (fisik) maupun tak langsung (nonfisik).

Dampak Fisik

Secara fisik, dampak perubahan iklim di Indonesia telah dirasakan oleh berbagai lapisan masyarakat. Anomali iklim dan musim pada tahun 2010 adalah salah satu contohnya. Sepanjang tahun tersebut, hujan terus mengguyur seluruh wilayah Indonesia sekalipun daerah tersebut mengalami musim kemarau. Dampak perubahan iklim telah menyebabkan terjadinya anomali dan iklim di Indonesia.

 Perubahan siklus air dan Perluasan wilayah tropis

Kondisi permukaan bumi yang semakin panas menyebabkan terjadinya perubahan siklus air, baik di laut maupun atmosfer. Memanasnya permukaan laut di daerah tropis menyebabkan evaporasi meningkat. Bersamaan dengan itu, juga terjadi peningkatan volume air dalam pembentukan awan. Akibatnya terjadi curah hujan dengan intensitas yang lebih tinggi. Di sisi lain, semakin kuat penguapan, sirkulasi arus laut juga meningkat. Beberapa dampak dari proses ini adalah lapisan troposfer di daerah tropis akan meningkat, termasuk daerah dengan suhu di atas 0oC naik menjadi lebih tinggi. Peningkatan penguapan yang tinggi akan menyebabkan daerah tropis menjadi jenuh. Akibatnya, wilayah tropis semakin meluas dan menciptakan wilayah tropis baru di daerah subtropics.

Konsekuensi logisnya, terjadi perubahan ketahanan dari berbagai komoditas pertanian khas tropis. Selain itu, hama dan penyakit tanaman yang selama ini hanya menyerang di daerah tropis akan menyebar ke daerah tropis yang baru terbentu tersebut (subtropics). Dampak lain dari percepatan dan peningkatan intensitas siklus air adalah adanya penguatan sumber fenomena cuaca. Artinya, daerah yang memiliki potensi basah akan ssemakin lebih basah. Sebaliknya, wilayah yang berpotensi kering akan menjadi lebih kering. Penguatan sumber fenomena cuaca ini berkaitan dengan meningkatnya besaran energi di atmosfer.

(8)

Dalam kondisi normal, Indonesia memiliki dua musim: hujan dan kemarau. Namun, sepanjang tahun 2010 hampir seluruh kawasan Indonesia hanya mengalami musim hujan. Hal ini menyebabkan berbagai macam dampak, baik pada produksi pertanian, perkebunan, perikanan, transportasi, maupun gangguan pada beberapa jenis (spesies) hewan dan tumbuhan tertentu.

 Perubahan frekuensi El Nino dan La Nina (ENSO)

El Nino diartikan sebagai fenomena di wilayah Samudera Pasifik ekuatorial yang ditandai dengan adanya perbedaan positif antara suhu permukaan laut (sea surface temperature/SST) yang teramati di wilayah Nino 3,4 dibandingkan periode normal. El Nino disebabkan oleh pindahnya kolam hangat (warm pool) dari utara Irian ke Pasifik Tengah akibat suhu di lapisan thermocline sudah melewati nilai kritis. Perpindahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari tingginya perbedaan suhu di daerah warm pool dengan di Pasifik Tengah. Pemanasan global dapat memperkuat intensitas El Nino akibat kekuatan pemanasan dari massa air laut yang menumpuk di daerah kolam hangat. Menurut penelitian Aldrian dan Susanto (2003), dampak El Nino tidaklah sama untuk seluruh wilayah Indonesia, tergantung pola curah hujan suatu daerah tertentu.

 Kebakaran hutan

Meningkatnya kekeringan memicu kasus kebakaran hutan meskipun hampir seluruh kasus kebakaran hutan lebih disebabkan oleh faktor manusia. Kebakaran hutan meningkat tajam apabila terjadi hari tanpa hujan di atas seminggu. Pada tahun-tahun terjadinya El Nino, kasus kebakaran lahan dan hutan juga meningkat tajam. Sebaliknya, pada tahun-tahun La Nina atau kemarau basah, kebakaran hutan menurun. Jumlah titik api (hot spot) di Pulau Sumatra dan Kalimantan berkorelasi kuat dengan tingkat intensitas El Nino di Samudera Pasifik yang diwakili oleh suhu muka laut di wilayah Nino. Besaran korelasi meningkat pada paruh setengah tahun kedua antara bulan Juli dan Desember.

(9)

Pemanasan global akan meningkatkan temperatur permukaan sehingga menimbulkan kenaikan perbedaan tekanan udara antara satu daerah dengan daerah lainnya. Kondisi ini dapat memicu kenaikan frekuensi kejadian angina putting beliung. Seperti diketahui, angina merupakan salah satu unsur iklim yang dikendalikan oleh radiasi Matahari, perbedaan topografi, dan perbedaan tekanan udara.

 Rob dan gelombang tinggi di laut

Rob merupakan gejala naiknya permukaan air laut di daerah pesisir akibat pasang laut. Peristiwa ini lebih disebabkan oleh perubahan struktur fisik permukaan tanah di wilayah pesisir yang menyebabkan intrusi air laut ke daerah pesisir. Peristiwa rob terjadi di banyak kota besar yang berada di wilayah pesisir seperti Jakarta dan Semarang. Dengan naiknya permukaan air laut akibat pemanasan global maka ancaman kejadian rob akan semakin meningkat. Selain rob, juga terjadi gelombang tinggi di laut akibat cuaca ekstrem yang meningkat. Gelombang tinggi berkorelasi dengan kuatnya tiupan angina kencang akibat peristiwa pembentukan awan hujan yang kuat. Gelombang tinggi yang sering terjadi pada musim pancaroba dan puncak musim hujan ini seringkali menimbulkan kecelakaan pada transportasi laut. Selain itu, nelayan juga tidak berani melaut dan menangkap ikan ketika terjadi gelombang tinggi.

Tabel 1. Kejadian Bencana Hidrometeorologi tahun 2002 – 2010 Jenis

Banjir 51 159 285 248 328 339 495 478 1.0

16

119

Kekeringan - 66 327 222 184 152 198 101 43 0

(10)

lahan

Total 134 389 758 588 714 799 1.0

55 1.238 1.921 460 Sumber: Badan Nasional Penanggulangan Bencana

Dampak Non-fisik

Dampak perubahan iklim secara non-fisik terjadi akibat hubungan tidak langsung yang pada akhirnya mengganggu aktivitas kehidupan manusia. Meskipun dampak ini tidak terlihat pada parameter perubahan iklim, namun dapat mengakibatkan terjadinya perubahan fisik seperti pada struktur bangunan dan fasilitas pendukung lainnya. Dampak nonfisik yang terjadi pada sektor kelautan dan perikanan adalah sebagai berikut:

 Pergeseran musim dapat menyebabkan terjadinya perubahan waktu dan jenis tangkapan ikan

 Perubahan suhu permukaan laut dapat menyebabkan perubahan lokasi tangkapan, perpindahan lokasi ikan, serta pengurangan jenis dan jumlah ikan.

 Perubahan pola angina dan gelombang tinggi dapat menyebabkan nelayan gagal melaut. Selain itu, perubahan tersebut juga dapat mengakibatkan terjadinya pengadukan di waduk, tambak dan keramba jaring apung sehingga turbiditas meningkat.

 Perubahan pola hujan, fenomena banjir, dan kekeringan dapat mempengaruhi pola budidaya petani tambak.

 Perubahan frekuensi El Nino dapat menyebabkan peningkatan hasil tangkapan (tuna) dan peningkatan produksi garam. Sebaliknya, pada saat La Nina dan kemarau basah dapat menyebabkan produksi garam turun dan hasil penangkapan tuna jauh berkurang.

(11)

 Peningkatan tinggi permukaan laut dapat menyebabkan peningkatan terjadinya rob, erosi tebing pantai, serta tenggelamnya pulau dan tambak.

Dampak Sosial-Ekonomi Perubahan Iklim pada Wilayah Pesisir Berbagai kerusakan ekosistem pesisir terjadi akibat perubahan iklim seperti yang telah dipaparkan sebelumnya menyebabkan terganggunya aktivitas masyarakat pesisir yang menggantungkan kehidupannya terhadap berbagai sumberdaya pesisir, baik secara ekonomi maupun secara spasial. Dampak sosial-ekonomi yang ditimbulkan oleh perubahan iklim antara lain:

1. Pada kesehatan lingkungan dan pemukiman masyarakat, perubahan iklim menyebabkan:

 Terancamnya persediaan air bersih penduduk akibat intrusi air laut ke daratan dan perubahan curah hujan (IPCC, 2007; Diposaptono, 2009: Tauli-Corpuz, 2009).

 Meningkatnya penyebaran berbagai penyakit yang dibawa oleh vector dan air seperti kolera, hepatitis, malaria dan demam berdarah (IPCC, 2007; Diposaptono, 2009).

 Terancamnya pemukiman yang berada di wilayah pesisir akibat banjir (rob), gelombang ekstrim dan badai (IPCC, 2007; Diposaptono, 2009). Dampak yang lebih buruk akan dialami oleh masyarakat di pulau- pulau kecil.

2. Pada perikanan, perubahan iklim berdampak kepada:

a. Kerugian yang terjadi pada perikanan budidaya sebagai akibat dari:

 Hilang/berkurangnya ikan-ikan di tambak karena tersapu banjir ataupun tergenangnya lahan budidaya, baik karena curah hujan yang tinggi ataupun akibat gelombang pasang (Diposaptono, 2009).

(12)

 Kerusakan infrastruktur budidaya perikanan akibat kenaikan permukaan air laut, erosi, banjir (rob), dan gelombang ekstrim (Diposaptono, 2009). Sebagai gambaran, saat ini Indonesia memiliki sekitar 400 ribu ha lahan budidaya tambak dan berbagai infrastruktur perikanan yang menjadi tumpuan ekonomi masyarakat pesisir.

b. Menurunnya produksi perikanan tangkap, sebagai akibat dari:

 Sulitnya menentukan musim penangkapan ikan karena perubahan pola migrasi ikan akibat perubahan suhu permukaan laut, stratifikasi kolom air yang menyebabkan perubahan proses upwelling (Diposaptono, 2009; Chen, 2008; Satria, 2009).

 Sulitnya menentukan wilayah tangkapan ikan sebagai dampak dari perubahan pola migrasi ikan serta kerusakan terumbu karang (Diposaptono, 2009; Chen, 2008; Satria, 2009).

 Berkurangnya stok ikan-ikan karang akibat kerusakan terumbu karang yang kemudian akan juga akan mempengaruhi kondisi ekonomi sekitar 30 juta nelayan di dunia yang bergantung pada ketersediaan ikan-ikan karang (Satria, 2009).

 Berkurangnya ketersedian stok ikan akibat peningkatan suhu dan perubahan sirkulasi laut seperti yang diungkapkan dalam IPCC report (2007) dimana tangkapan ikan tuna di Asia Timur dan Asia Tenggara yang memenuhi hampir seperempat total produksi tuna di dunia telah mengalami penurunan akibat dua hal tersebut.

(13)

bernilai ekonomi yang kehidupannya bergantung pada terumbu karang, yaitu penyu, udang barong, octopus, conches, kerang, oyster, rumput laut, kima dan teripang.

 Resiko melaut yang semakin tinggi akibat ancaman meningkatnya badai dan gelombang ekstrim akibat perubahan iklim (Diposaptono, 2009).

Perubahan iklim juga turut memengaruhi distribusi dan penyebaran ikan di laut, sementara kenaikan harga bahan bakar akan memengaruhi kesempatan nelayan untuk menangkap ikan seiring dengan pergeseran penyebaran ikan yang terus berubah akibat perubahan iklim. Hasil analisa tren dengan menggunakan data altimeter, terlihat kenaikan tinggi muka laut (TML) yang bervariasi dari 0,5 cm/tahun sampai 0,6 cm/tahun di pantai barat Sumatera. Proyeksi kenaikan TML pada tahun 2030 diperkirakan mencapai 24cm ± 16cm relatif terhadap TML di tahun 2000. Selanjutnya TML akan bergerak naik seiring dengan peningkatan suhu permukaan laut (SPL). TML akan naik sebesar 40 cm ± 20 cm dan 56 cm ± 32 cm, masing-masing pada tahun 2050 dan 2080. Pada akhirnya TML akan naik sebesar 80 cm ± 40 cm di tahun 2100. Sebagai tambahan, kenaikan TML ini berkaitan erat dengan kenaikan SPL, dengan asumsi kenaikan setiap 1°C suhu permukaan laut meningkatkan TML sebesar 20 cm sampai 40 cm, maka kenaikan TML akan mencapai 45 cm sampai 90 cm berdasarkan tingkat kenaikan SPL sebesar 2.2°C pada tahun 2100 (Sofian, 2010). Kenaikan TML ini akan meningkatkan risiko banjir, abrasi dan erosi yang pada akhirnya dapat mempengaruhi produksi perikanan budidaya di sepanjang pantai barat Sumatera.

(14)

tertinggi terjadi pada bulan Pebruari. Tinggi gelombang signifikan di pantai barat Bengkulu bervariasi dari 1.5m sampai 2.5m. Meskipun tinggi gelombang signifikan maksimum dapat mencapai 4m sampai 6m (Widiono, 2009).

Setidaknya terdapat empat hal yang dapat terjadi pada perikanan tangkap terkait dampak-dampak perubahan iklim di wilayah laut, berdasarkan pendapat (Diposaptono et al., 2009). Pertama, terjadi perubahan pola migrasi ikan akibat perubahan suhu permukaan laut. Kedua, terjadi stratifikasi kolom air yang mempengaruhi proses upwelling yang berkorelasi positif dengan gerombolan ikan (fish schooling), dan dengan sendirinya mengakibatkan nelayan sulit menangkap ikan. Ketiga, terjadi perubahan kawasan penangkapan ikan (fishing ground). Keempat, semakin terpuruknya nasib nelayan akibat dibutuhkannya waktu dan biaya yang lebih besar untuk melaut karena migrasi maupun rusaknya habitat perikanan dan fishing ground.

D. Kerentanan Nelayan terkait Dampak Perubahan Iklim

Kerentanan ialah kecenderungan sistem kompleks adaptif mengalami pengaruh buruk dari keterbukaannya terhadap tekanan eksternal dan kejutan (Kasperson 2001, Turner et al, 2003). Kerentanan adalah manifestasi dari struktur sosial, ekonomi dan politik, dan pengaturan lingkungan. Kerentanan dapat dilihat dari dua unsur yaitu paparan terhadap risiko dan kemampuan adaptasi. Manusia yang lebih memiliki kemampuan untuk mengatasi kejadian ekstrem sedikit lebih rentan terhadap risiko (UNEP, 2009). Semakin rentan sebuah sistem, maka semakin rendah kemampuan kelembagaan dan masyarakat untuk beradaptasi dan membentuk perubahan (Adger et al., 2001).

(15)

dan Iingkungan yang dapat meningkatkan resiko terhadap dampak bahaya (Herawaty & Santoso, 2007). Secara garis besar kerentanan merupakan kondisi dimana sistem tidak dapat menyesuaikan dengan dampak dari suatu perubahan (Olmos 2001; Fussel 2007). Kerentanan berbeda secara temporal dan spasial (Olmos 2001; IPCC 2007). Kerentanan dalam konteks sosial merupakan fungsi dari paparan (exposure), daya adaptasi (adaptive capability) dan sensivitas (Herawaty & Santoso, 2007). Konsep penilaian kerentanan ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Konsep Penelitian Kerentanan (Kasperson, et al. 2001)

(16)

Kerentanan terkait perubahan iklim sangat ditentukan oleh faktor ketergantungan terhadap sumberdaya. Konsep ketergantungan (dependency) berasal dari perspektif sosiologi pedesaan pada masyarakat dan interaksi mereka dengan sumber daya yang berisiko, terutama pada konteks Amerika Utara, tetapi juga semakin berkembang dalam konteks masyarakat pesisir (misalnya Peluso et al. 1994, Bailey dan Pomeroy 1996). Di bawah konsep dependency, promosi spesialisasi dalam kegiatan ekonomi memiliki konsekuensi negatif dalam hal risiko bagi individu dalam masyarakat dan untuk masyarakat sendiri. Oleh karena itu resiliensi sosial diamati dengan memeriksa aspek-aspek positif dan negatif dari pengucilan sosial (social exclusion), marginalisasi (marginalization) dan modal sosial (social capital).

(17)

Gambar 2. Skema Analisis Kerentanan Perubahan Iklim

Analisis kerentanan pada penelitian ini merujuk pada penilaian kerentanan berdasarkan IPCC (2007) mengkaji tiga komponen: paparan (exposure), kepekaan (sensitivity), dan kemampuan adaptasi (adaptive capacity). Komponen kajian kerentanan dan metode yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Komponen dan Metode Analisis Kerentanan Nelayan No. Komponen Kajian

Kerentanan Metode yang Digunakan

1. Paparan Kalender musiman, sejarah waktu, Pengalaman iklim, dampak fisik

2. Kepekaan Pemetaan bahaya, analisis kecenderungan bahaya, peringkat jenis/tingkatan bahaya, peringkat risiko bahaya, model mental,

pengembangan skenario secara partisipatif untuk potensi risiko

3. Kemampuan

Adaptasi Pemetaan sumberdaya masyarakat, kajiankerentanan sumberdaya terkait kesejahteraan, matriks kerentanan dan kemampuan, matriks kajian strategi mengatasi dan beradaptasi terhadap perubahan, strategi efektifitas daptasi

Sumber: IPCC, 2007

(18)

adalah sisa potensi dampak (dampak terpendam) yang tidak bisa diatasi oleh kemampuan adaptasi. Dalam aspek ini, kerentanan menunjukkan besarnya selang toleransi (coping range) sistem terhadap perubahan iklim. Semakin sempit selang toleransi, maka semakin rentan sistem tersebut terhadap dampak perubahan iklim. Lebar selang tolerasi berubah dengan waktu sejalan dengan berubahnya faktor yang menentukan selang tolerasi. Kerentanan adalah apabila perubahan iklim melewati batas kritis (critical threshold), yang berarti kondisi iklim saat itu melewati batas kemampuan nelayan untuk mengatasinya dan sebagai dampaknya nelayan akan mengalami kerugian.

Analisis Potensi Risiko

Tahap pertama analisis kerentanan adalah menilai potensi risiko (potencial impact) dengan melihat tingkat paparan dan kepekaan. Potensi risiko adalah risiko ancaman dampak perubahan iklim yang merupakan gabungan dari paparan (exposure) dan kepekaan (sensitivity), menggambarkan keseluruhan kerugian yang mungkin terjadi bila kondisi iklim berubah. Risiko adalah dampak terpendam yang merupakan gabungan dari paparan dan kepekaan. Dampak risiko menggambarkan keseluruhan kerugian yang mungkin terjadi bila kondisi iklim berubah. Pengertian ‘potensi dampak’ menggambarkan gabungan luasan, intensitas dan frekuensi dampak perubahan kondisi iklim pada suatu wilayah. IPCC (2007) mendefinisikan paparan adalah sejauh mana perubahan iklim bersinggungan dengan pola kehidupan dan penghidupan masyarakat maupun ekosistem. Faktor penentu paparan adalah kecenderungan iklim saat ini (musim), kejadian yang diakibatkan iklim, perkiraan iklim, serta data masyarakat dan ilmuwan. Paparan keragaman iklim pada dasarnya adalah fungsi ruang (wilayah). Masyarakat pesisir dan dataran tinggi akan mengalami paparan yang berbeda terhadap perubahan kondisi iklim tertentu. Masyarakat dataran tinggi tidak terpapar kenaikan muka laut.

(19)

khususnya yang berhubungan dengan penghidupan (mata pencaharian utama, sumberdaya alam dan sarana infrastruktur) dan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, perlu diuraikan terlebih dahulu komponen perubahan kondisi iklim yang menjadi permasalahan. Misalkan, paparan kenaikan permukaan laut yang mungkin akan dialami berbeda oleh anggota masyarakat pada suatu desa. Sementara pada paparan iklim yang dialami merata oleh tiap anggota masyarakat sama (atas pola musim atau curah hujan), perbedaan terletak pada pengaruhnya atas sumber penghidupan yang berbeda.

IPCC (2007) mendefinisikan kepekaan sebagai dampak dari perubahan iklim, meliputi dampak dari perubahan pola musim jangka panjang, kejadian cuaca buruk jangka pendek/singkat, dan bencana terkait perubahan iklim. Lapisan masyarakat tertentu memiliki kepekaan yang berbeda, diantaranya berdasarkan sumber penghidupan. Masyarakat yang bergantung pada lebih dari satu sumberdaya memiliki kepekaan yang rendah terhadap dampak perubahan iklim dibandingkan hanya pada satu sumberdaya saja. Petambak ikan di pesisir memiliki kepekaan tinggi terhadap kenaikan permukaan laut dibandingkan pembudidaya rumput laut pada lokasi yang sama. Dengan pengertian ini, kepekaan merupakan sebuah asumsi dampak berdasarkan pengalaman maupun pengetahuan yang dimiliki.

Analisis kepekaan ditujukan untuk mengetahui dampak dari kondisi pola iklim (pola musim) yang berubah dan cuaca buruk terhadap sumberdaya (sumberdaya alam, harta milik, dan infrastruktur) serta terhadap masyarakat (pada kesehatan, dan kehidupan sosial lainnya).

Analisis Kemampuan Adaptasi

(20)

Karakteristik tersebut meliputi (1) karakteristik institusi (aturan formal dan informal; norma dan keyakinan) yang memungkinkan masyarakat (individu, organisasi dan jaringan) untukmengatasi perubahan iklim, dan, (2) tingkat dimana lembaga-lembaga tersebut memungkinkan dan mendorong aktor mengubah lembaga-lembaga untuk mengatasi perubahan iklim.

Penilaian kemampuan adalah mengkaji keberadaan sumberdaya yang dimiliki oleh masyarakat yang menunjukkan kemampuan adaptasi yang meliputi kondisi pada aspek sosial ekonomi, penghidupan dan kelembagaan yang memungkinkan masyarakat untuk menghadapi dan mengatasi ancaman perubahan iklim. Sedangkan adaptasi adalah kemampuan masyarakat untuk mampu menghadapi dan mengatasi perubahan iklim pada saat ini dan di masa datang. Penilaian kemampuan adaptasi ini penting untuk mengurangi risiko akibat perubahan iklim. Tujuan analisis kemampuan adaptasi ialah untuk menilai tingkatan kemampuan (kemampuan) masyarakat saat ini dalam menghadapi dan mengatasi masalah iklim yang berubah atau cuaca buruk.

(21)

E. KESIMPULAN

1. Perubahan iklim, yang dipahami dan dirasakan oleh nelayan Indonesia adalah adanya perubahan musim hujan dan musim kemarau.

2. Dampak perubahan iklim pada sektor perikanan tangkap Indonesia yaitu terjadi perubahan pola migrasi ikan akibat perubahan suhu permukaan laut, terjadi stratifikasi kolom air yang mempengaruhi proses upwelling yang berkorelasi positif dengan gerombolan ikan (fish schooling) sehingga nelayan sulit untuk menangkap ikan, terjadi perubahan kawasan penangkapan ikan (fishing ground), dan semakin terpuruknya nasib nelayan akibat dibutuhkannya waktu dan biaya yang lebih besar untuk melaut karena migrasi maupun rusaknya habitat perikanan dan fishing ground.

3. Kerentanan terkait perubahan iklim sangat ditentukan oleh faktor ketergantungan terhadap sumberdaya. Kerentanan nelayan Indonesia terkait dampak perubahan iklim tergolong tinggi dan diperlukan strategi adaptasi untuk mengatasi kerentanan yang dirasakan oleh nelayan.

DAFTAR PUSTAKA

Adger et al. 2001. Advancing a Political Ecology of Global Enviromental Discourse. Development and Change Vol. 32. Institute of Social Studies. Blackwell Publisher.

Adger, W.N, Hug,S., Brown,K.,Conway,D., dan Hume M. 2003. Adaptation to Climate Change In Developing World. Progress In Development Studies, 3 (3), 179- 195.

Bailey C and Pomeroy C. 1996. Resource dependency and development options in coastal south east Asia. Society and Natural Resources 9: 191-99.

Baron, R. A. & Byrne, D. 2004. Psikologi Sosial (edisi 10). Jakarta : Penerbit Erlangga

(22)

Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Chen CTA. 2008. =Effects of Climate Change on Marine Ecosystem‘, Fisheries for Global Welfare and Environment: 5th World Fisheries Congress. Tokyo: TERRAPUB.

Desmawan, B. T. 2010. “Adaptasi Masyarakat Kawasan pesisir terhadap Banjir dan Rob di Kecamatan Sayung Kabupaten Demak, Jawa Tengah”. Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Diposaptono, S, Budiman, Firdaus A. 2009. Menyiasati Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Bogor: PT. Sarana Komunikasi Utama.

Fahmi, Irfan. 2011. Manajemen Resiko, Teori, Kasus dan Solusi. Bandung: Alfabeta

Fussel HM. 2007. Vulnerability: a generally applicable conceptual framework for climate change research. Glob Environ Change.

Glantz MH. 1990. On the interactions between climate and society. Population and Development Review 16 (supp.): 179-200.

Herawaty H dan Santoso H. 2007. Pengarus-utamaan adaptasi perubahan iklim ke dalam agenda pembangunan: tantangan kebijakan dan pembangunan. Adaptasi terhadap bahaya gerakan tanah di masa yang akan datang akibat pengaruh perubahan iklim. Laporan pertemuan dialog pertama gerakan tanah dan perubahan iklim. Bogor, tanggal 7-8 Desember 2006. Cifor. Bogor, Indonesia.

Hidayati, D dan Aldrian E (ed.). 2012. Perubahan Iklim: Upaya Peningkatan Pengetahuan dan Adaptasi Petani dan Nelayan Melalui Radio. Bogor: PT Sarana Komunikasi Utama bekerja sama dengan LIPI, BMKG, dan ICCTF.

Indrawasih, Ratna. 2012. Gejala Perubahan Iklim, Dampak dan Strategi Adaptasinya pada Wilayah dan Komunitas Nelayan di Kecamatan Bluto, Kabupaten Sumenep. Jurnal Masyarakat dan Budaya. Volume 14 No 3 Tahun 2012.

International Panel on Climate Change. 2001. Climate Change 2001: Impacts, Adaptation and Vulnerability, Contribution of Working Group II to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change, J.J. McCarthy, O. F. Canziani, N. A. Leary, D. J. Dokken, K. S. White (eds.). Cambridge University Press: Cambridge.

(23)

the Fourth Assessment Report of the IPCC. Cambridge. Cambridge University Press.

Jones, R., R. Boer, L. Mearns, and S. Magezi. 2004. “Assessing Current Climate Risks”. In Bo Lim, Erika Spanger-Siegfried, Ian Burton, Eizabeth Malone and Saleemul Huq (eds.). Adaptation Policy Frameworks for Climate Change: Developing Strategies, Policies and Measures (pp: 91-117). Cambridge University Press. Available on line at http://www.undp.org/gef/05/kmanagement/pub_practitioner.html

Kasperson RE, Kasperson JX. 2001. Climate Change, Vulnerability, and Social Justice. Stockholm: Stockholm Environment Institute.

Kates R. 2000. Cautionary tales: Adaptation and the global poor, Climatic Change 45: 5– 17.

Kusnadi. 2007. Jaminan Sosial Nelayan. Yogyakarta: LkiS.

Liverman D. 2008. Assessing impacts, adaptation and vulnerability: Reflections on the Working Group II Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Global Environmental Change 18: 4-7.

McCarthy JJ. 2001. Climate Change 2001: Impacts, adaptation, and vulnerability: Contribution of working group II to the Third assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge University Press.

Meiviana A. et al. 2004. Bumi Makin Panas: Ancaman Perubahan Iklim di Indonesia. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup, JICA dan Pelangi.

Mendelsohn R, Basist A, Kurukulasuriya P dan Dinar A. 2007. Climate and rural income. Climatic Change 81(1): 101 -18.

Metzger MJ, Rounsevell MDA, Acosta-Michlik L, Leemans L, & Schröter L. 2006. The vulnerability of ecosystem servoces to land use change.

Agriculture, Ecosystems and Environment 114, 69-85.

Nurlaili. 2012. Strategi Adaptasi Nelayan Bajo menghadapi Perubahan Iklim: Studi Nelayan Bajo di Kabupaten Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur. Jurnal Masyarakat dan Budaya. Volume 14 No 3 Tahun 2012

Olmos S. 2001. Vulnerability and Adaptation to Climate Change: Concepts, Issues, Assessment Methods, Climate Change Knowledge at: http://www.cckn.net.

(24)

Romadhon, A. 2014. "Analisis Kerentanan dan Adaptasi Masyarakat Pulau Gili Labak Terhadap Perubahan Iklim Berbasis Ekosistem Terumbu Karang”. Konferensi dan Seminar Nasional Pusat Studi Lingkungan Hidup Indonesia XXII, Surabaya, hal 156-166.

Satria A. 2002. Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta: Pustaka Cidesindo.

Smith B, Burton I, Klein RJT dan Wandel J. 2000. An anatomy of adaptation to climate change and variability. Climatic Change, 45: 223–251. Stern, Nicholas, 2007. Review on the Economic of Climate Change.

Tauli-Corpuz V, Baldo-Soriano E, Magata H, Golocan C, Bugtong MV, de Chaves R, Enkiwe-Abayao L, Cariño J. 2008. Panduan Tentang Perubahan Iklim dan Masyarakat Adat. Philippines: Tebtebba Foundation

Turner BL, Roger E, Kasperson, Matsone PA, McCarthy JJ, Corell RW, Christensen L, Eckley N, Kasperson JX, Luers A, Martello ML, Polsky C, Pulsipher A dan Schiller A. 2003. A framework for vulnerability analysis in sustainability science. Proc. Natl. Acad. Sci. U.S.A. 100: 8074–8079.

UNEP. 2009. Climate Change Science Compendium. Catherine P.

McMullen. Jason Jabbour, Eds.

http://www.unep.org/pdf/ccScienceCompendium2009/

cc_ScienceCompendium2009_full_en.pdf.

Wibowo, A. dan Satria A. 2015. "Strategi Adaptasi Nelayan di Pulau-Pulau Kecil terhadap Dampak Perubahan Iklim (Kasus: Desa Pulau Panjang, Kecamatan Subi, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau)." Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan, 3 (2), hal 107-124.

Gambar

Tabel 1.  Kejadian Bencana Hidrometeorologi tahun 2002 – 2010
Gambar 1. Gambar 1. Konsep Penelitian Kerentanan (Kasperson, et al. 2001)
Gambar 2. Skema Analisis Kerentanan Perubahan Iklim

Referensi

Dokumen terkait

Knowledge dan R&D akan memberikan perbaikan (peningkatan) kualitas dari teknologi (A), modal (K) dan tenaga kerja (L) yang pada gilirannya akan meningkatkan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pasien memiliki persepsi kualitas pelayanan cukup baik, persepsi harga obat yang bersaing, dan sebagian besar

Rumusan masalah yang disusun adalah membangun sebuah aplikasi yang dapat melaporkan informasi akademik yakni berupa nilai siswa,absensi,pelanggaran siswa, data

Dan juga mendukung penelitian Sumodiningkrat, (2000) bahwa keterlibatan fasilitator sebagai pelaku pemberdayaan dalam mengawal proses pemberdayaan merupakan sumber

PENGARUH IKLIM ORGANISASI TERHADAP KINERJA PADA KARYAWAN CV SEJAHTERA AUTO

Terima Kasih Yang sebesar-besarnya saya ucapkan kepada Prof.. Fauzie Sahil, SpOG(K) dan

Pengertian dari Sistem akuntansi keuangan daerah adalah proses pengidentifikasian, pengukuran, pencatatan, dan pelaporan transaksi ekonomi (keuangan) dari entitas