ISLAM DAN MORAL POLITIK
Ryan Putra Lannggeng Asmoro
Mahasiswa Aqidah dan Filsafat IAIN Surakarta
A. Islam dan Moralitas
Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi moralitas menunjukkan hal
itu dalam kehidupan utusannya yaitu Nabi Muhammad saw. Misalnya pernah ada
jenazah non-Muslim diantar lewat depan Nabi Muhammad saw, maka ia pun
bangun dari duduknya sebagi bentuk penghormatan. Praksis seperti ini yang
menjukkan bahwa Islam sangat menjunjung moralitas.1
Muhammad juga mendirikan sebuah negara disebuah kota yang bernama
Yatsrib dengan nama Madinah berasal dari kata tamaddun yang berarti peradaban.
Konsep negaranya tertuang dalam Piagam Madinah yang berisi tentang nilai
universalitas, yaitu keadilan, kebebasan, persamaan hak dan kewajiban, serta
perlakuan yang sama dimata hukum. Karena konsep yang dikembangkan adalah konsep “ukhuwah madaniyah” atau komitmen hidup dalam negara yang beradab.2 Terlebih lagi Nabi Muhammad saw dalam hadits berkata aku diutus untuk
menyempurnakan akhlak.3
B. Moral Politik
Kata “moral” pada dasarnya melihat manusia sebagai manusia bukan sebagai profesi, sehingga kewajiban moral dibedakan dengan kewajiban lainnya,
karena yang dibahas adalah kewajiban manusia sebagai manusia, dan norma moral
adalah norma untuk mengukur benar-salahnya tindakan manusia sebagai manusia.4
Etika meupakan cabang filsafat yang mempertanyakan praksis manusia, yaitu
tanggung jawab dan kewajiban manusia, etika ada dua yaitu umum dan khusus,
1 Said Aqil Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedapankan Islam Sebagai Insprirasi Bukan Aspirasi, (Bandung : Mizan, 2006), hlm. 28
2 Said Aqil Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedapankan Islam Sebagai Insprirasi Bukan Aspirasi, (Bandung : Mizan, 2006), hlm. 29
3
Said Aqil Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedapankan Islam Sebagai Insprirasi Bukan Aspirasi, (Bandung : Mizan, 2006), hlm. 25
etika umum mempertanyakan prinsip dasar tindakan semua manusia, sedang etika
khusus mempertanyakan prinsip yang terkait dengan kewajajiban manusia dalam
berbagai lingkup kehidupannya.5 Setiap manusia harus bermoral tapi tidak harus
beretika, karena etika adalah pemikiran sistmatis tentang moralitas.6 Etika adalah
ilmu sedang moral adalah ajaran.7
Pada faktanya negara merupakan lembaga yang memiliki kewenangan
mengatur kehidupan masyarakat di wilayahnya. Meskipun secara faktanya bisa
mengatur segalanya tapi secara moral negara tidak bisa mengatur segalanya. Negara
wajib mempertanggungjawabkan apa yang terjadi di wilayahnya, sehingga disini
muncul tuntutan legitimasi moral. Terlebih lagi di zaman sekarang tuntutan
legitimasi menjadi unsur pokok kesadaran masyarakat.8 Legitimasi ini diperlukan
untuk mengatur dan mengiri undang atau aturan negara, sehingga
undang-undang bukan menjadi alat penguasa atau politikus mengambil keuntungan,
melainkan sebagai alat untuk menjaga HAM dan keadaban manusia.
C. Islam dan Moral Politik
Menurut al-Ghozali moral dan politik adalah sesuatu yang tidak boleh
dipisahkan. Moral diperlukan oleh masyarakat untuk menentukan nilai baik dan
buruk tindakan serta keinginan orang didalam masyarakat dan politik diperlukan
sebagai pengatur masyarakat supaya sesuai dengan aturan-aturan moral yang
diterima masyarakat. Sehingga dalam pembahasannya bukan moral dan politik
tetapi moral politik, yang tentu saja moral politik yang dimaksud adalah moral yang
didasarkan kepada agama Islam.9
Disini dipahami bahwa moralitas dalam berpolitik adalah hal wajib
sehingga para politikus sebagai pemain politik atau pengurus negara sebagai
5 Franz Magnis Suseno, Etika Politik : Prinsip-prinsip Moral Dasar Moder, Cet. 8 (revisi), (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2016), hlm. 8
6 Franz Magnis Suseno, Etika Dasar : Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogyakarta : Kanisius, 1978), hlm. 15
7 Franz Magnis Suseno, Etika Dasar : Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogyakarta : Kanisius, 1978), hlm. 14
8 Franz Magnis Suseno, Etika Politik : Prinsip-prinsip Moral Dasar Moder, Cet. 8 (revisi), (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2016), hlm. 225-226
lembaga yang mengatur masyarakat tidak berbuat semaunya. Karena secara etika
dan moral semua perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban. Etika atau moral
politik tidak langsung mencampuri urusan politik praktis. Tapi setidaknya dengan
adanya moralitas politik, maka jalannya politik makan lebih kondusif dan
terkontrol.
Ketika moralitas politik ditinggalkan maka akan menjadi kerugian bagi
masyarakat, salah satu contoh akibat moralitas ditinggalkannya moralitas politik
adalah adanya korupsi. Sebagai contoh kasus adalah yang terjadi di Indoneisa
dimana banyak korupsi terjadi. Bisa dilihat pada berbagai media tentang berita
korupsi, misalnya di laman https://www.liputan6.com/tag/kasus-korupsi. Akibat
dari beberapa korupsi disampaikan pula dalam laman
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/18/02/19/p4e90f382-icw-kerugian-negara-akibat-korupsi-meningkat .
Moralitas dalam berpolitik atau singkatnya moral politik merupakan pembahasan yang sudah ada sejak lama bahkan sejak zaman “Plato”10 yang mengatakan pemimpin harus filsuf. Sebagai penerus Plato dalam pemikiran politik
al-Farabi lebih terang-terangan dan jelas dalam menyampaikan syarat seorang
pemimpin. Menurut al-Farabi pemimpin yang layak hanya ada dua nabi dan filsuf
yang memenuhi dua belas kriteria menurut al-Farabi disamping memiliki sifat arif
lagi bijaksana, dari dua belas itu ada enam yang termuat nilai moralitas, yaitu : (1)
tidak terikat dengan uang atau materi; (2) tidak rakus dan menjauhi kelezatan
jasmani; (3) cinta kejujuran dan benci kebohongan; (4) berjiwa besar dan berbudi
luhur; (5) cinta keadilan dan benci kezaliman; (6) kuat pendirian.11
Dalam pembahasan al-Farabi memang disebut pemimpin karena mereka
hidup di wilayah dimana aturan dibuat oleh satu orang yaitu raja atau kepala daerah,
akan tetapi bila diaplikasikan di Indonesia maka pemimpin yang dimaksud bisa
diartikan sebagi pembuat aturan atau yang duduk dalam parlemen seperti presiden
10 Menurut Plato, kesengsaraan dunia tidak akan berakhir sebelum filsuf menjadi raja atau raja menjadi filsuf. Baca Muhammad Hatta dalam Muhammad Iqbal, Pemikiran Politik Islam, Cet. 4, (Jakarta : Balebat Dedikasi Prima, 2017), hlm. 13
dan DPR. Karena al-Farabi berpendapat apabila dua belas sifat tersebut tidak
dimiliki oleh satu orang tetapi beberapa orang maka kepemimpinan harus
diserahkan kepada beberapa orang tersebut.12
Negara yang baik menurut al-Farabi pernah terbentuk meski tidak lama,
yaitu Madinah selama masa kepemimpinan Muhammad. Kala itu Madinah
merupakan negara dengan nmayarakat madani dalam arti yang sebenanrnya.
Madinah bila dibandingkan dengan negara besar sebelum Madinah seperti Yunani,
Romawi, Persia, dan lainnya merupakan negara paling bagus terlebih dalam tatanan
moralnya. Bila membicarakan Yunani memang negara demokrasi akan tetapi
hak-hak warga negaranya banyak yang tidak terpenuhi. Romawi yang saat itu juga ada
ajaran moral yang berekembang, meski disayangkan karena ajaran Yesus ataupun
setelahnya yaitu gereja tidak menjadikan agama sebagi moral politik. Begitu juga
Persia yang pada akhirnya menciptakan suatu masyarkat foedal.13
Terkait antara Islam dan moralitas politik, Islam sangat menuntut politikus
atau penguasa yang bermoral. Meskipun Islam melekat kuat dalam moralitas politik
sebagaimana disampaikan oleh pemikir politik islam tapi ada juga yang tidak
berfikiran mendirikan negara Islam atau negera dengan corak teokrasi Islam. Hal
ini secara tegas disampaikan oleh M. Qurays Shihab yang tidak sejutu dengan
hibungan integral agama dan negara, juga tidak setuju dengan sekularisasi, tapi bagi
Quarays Shihab agama cukup menjadi nilai spiritualitas suatu negara dalam
berpolitik, atau spiritualisasi kekuasaan politik.14 Qurays Shihab termasuk yang
menjujung moralitas dalam politik karena menurutnya politik adalah saran untuk
mencapai kemaslahatan umat sehingga perlu adanya moralitas politik, terlebih lagi
ia mengingat pesan Rasulullah saw bahwa diutus sebagi penyempurna akhlak
manusia.15
12 Muhammad Iqbal, Pemikiran Politik Islam, Cet. 4, (Jakarta : Balebat Dedikasi Prima, 2017), hlm. 14
13Sumihara, “Etika Politik Dalam Sejarah Umata Islam”, Jurnal Rihlah, Vol. 3, No. 1, (2015), hlm. 5-6
14 Muhammad Iqbal, Pemikiran Politik Islam, Cet. 4, (Jakarta : Balebat Dedikasi Prima, 2017), hlm. 254-255
DAFTAR PUSTAKA
https://www.liputan6.com/tag/kasus-korupsi.
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/18/02/19/p4e90f382-icw-kerugian-negara-akibat-korupsi-meningkat
Iqbal, Muhammad. Pemikiran Politik Islam. Cet. 4. (Jakarta : Balebat Dedikasi Prima,
2017)
Komariyah, Siti. “Konsep Kekuasaan Dalam Islam: Kajian Atas Pemikiran Politik
Al-Ghozali”. 2007.
Siroj, Said Aqil. Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedapankan Islam Sebagai
Insprirasi Bukan Aspirasi. (Bandung : Mizan, 2006)
Sumihara, “Etika Politik Dalam Sejarah Umata Islam”, Jurnal Rihlah, Vol. 3, No. 1, (2015) Suseno, Franz Magnis. Etika Politik : Prinsip-prinsip Moral Dasar Moder. Cet. 8 (revisi).
(Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2016)
... . Etika Dasar : Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. (Yogyakarta :