• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEORI DAN KRITIK SASTRA TEMPATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TEORI DAN KRITIK SASTRA TEMPATAN"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

TEORI DAN KRITIK SASTRA TEMPATAN

Puji Santosa

Apakah yang dimaksud dengan teori dan kritik sastra tempatan? Sebuah pertanyaan mendasar bilamana seseorang pada umumnya ingin mengetahui hakikat dasar sebuah ilmu pengetahuan, khususnnya tentang teori dan kritik sastra tempatan yang dibicarakan dalam buku ini. Ketika hal itu ditanyakan kepada Prof. Dr. Henricus Supriyanto, M.Hum., pakar ilmu sastra dari Universitas PGRI Adi Buana, Surabaya (wawancara 30 April 2014 di Padepokan Seni Tan Tular, Malang, Jawa Timur), beliau menjawab bahwa istilah sastra tempatan baru beliau dengar sekarang ini. Jadi, beliau kurang memahami maknanya. Istilah ini belum “ngetren” pada teori dan kritik sastra yang beliau miliki. Istilah yang populer bagi beliau adalah:

(a) sastra daerah, acuan geografis terkait dengan pengarang adalah putra daerah, karya tulis dalam bahasa daerah, dan pembaca karya sastra juga orang-orang atau penduduk daerah, misalnya masyarakat Jawa Timur;

(b) sastra etnik, mengacu ke studi etnologi, dalam ruang lingkup studi budaya etnik, misalnya bahasa Using, masyarakat Using di Banyuwangi, Jawa Timur; dan

(c) sastra lokal, mengacu ke acuan makna “locus” geografis, budaya lokal dan bahasa daerah di tingkat lokal.

(2)

Eropa dan Amerika. Estetika yang dikaji didasarkan pada kekuatan (ekspresi estetik) yang ada pada karya sastra lokal atau serumpun Indonesia dan Malaysia. Sebagai sebuah teori, teori dan kritik sastra tempatan harus terikat pada epistemologi (cara kerja keilmuan

etnosains). Teori harus membangun pola yang berulang, dan memiliki teknik analisis yang spesifik.”

Sejalan dengan pendapat Prof. Dr. Setya Yuwana Sudikan, M.A. tersebut, Dr. Sunu Catur Budiono, M.A. (wawancara 29 April 2014 di kampus Universitas PGRI Adi Buana, Surabaya, Jawa Timur) pun berpendapat bahwa “Teori dan kritik sastra tempatan merupakan teori dan kritik sastra yang di dasarkan dan dikembangan pada fenomena dan khasanah sastra tempatan yang tumbuh dan berkembang dalam lingkup budaya tertentu. Oleh karena itu, teori dan kritik sastra tempatan memiliki karakteristik dan keterikatan yang kuat dengan fenomena sastra, estetika, nilai, filsafat, dan budaya tertentu dengan segala keunikannya. Pemahaman terhadap teori dan kritik sastra tempatan harus di dasarkan pada pemahaman terhadap nilai, estetika, fisafat, dan budaya yang melahirkannya. Dengan kata lain, teori dan kritik sastra tempatan sangat konstekstual dengan situasi etnik tertentu.”

Oleh karena bersifat sangat konstekstual dengan situasi etnik tertentu, materi sastra Indonesia dan sastra daerah yang dapat dijadikan sebagai sarana penggalian teori dan kritik sastra tempatan meliputi: (a) Sastra tulis, yang ada dan tersebar di berbagai daerah di

Indonesia baik lama (berupa naskah) maupun modern (cetakan) yang ditulis, berkembang, dan didukung oleh warga budaya tertentu. Walaupun jumlah etnik di Indonesia yang memiliki tradisi tulis sangat terbatas, akan tetapi sebagai dokumen budaya yang berupa karya sastra akan menjadi sangat penting untuk melihat estetika, nilai, etika, maupun filsafat (worldview) dalam konteks budaya tertentu.; dan

(3)

budaya tertentu juga mengadung estetika, filsafat, nilai, etika, maupun worldview masyarakat pendukungnya. Dalam batas tertentu, antara sastra lisan dan sastra tulis saling mengisi antara satu dengan lainnya. Sastra lisan bisa menjadi sumber sastra tulis. Sebaliknya sastra tulis dapat menjadi sumber sastra lisan. Walaupun harus diakui bahwa perubahan dari lisan ke tulis maupun sebaliknya, senantiasa mengalami transformasi, baik bentuk maupun isi. Sebagai contoh kasus, yakni cerita Roro Mendut dan Serat Damarwulan.

Prof. Dr. Setya Yuwana Sudikan, M.A. menekan bahwa pada hakikatnya sastra Indonesia dan daerah, genre sastra, estetika sastra, konsep-konsep dalam teori sastra tempatan, teknik analisis sastra dapat dijadikan sarana penggalian teori dan kritik sastra tempatan. Oleh karena itu, Prof. Dr. Henricus Supriyanto, M.Hum. menambahkan bahwa materi riset sastra nasional berupa semua terbitan karya sastra tulis, genre novel, cerpen, puisi, dan naskah seni drama dapat dijadikan sarana penggalian teori dan kritik sastra tempatan. Waktu pada kurun tertentu, misalnya sastra yang terbit tahun 2000—2015 atau dua kurun waktu yang berbeda, misalnya sastra yang terbit tahun 1990—2000 dapat dibandingkan dengan sastra yang terbit tahun 2001—2010; serta materi riset susastra daerah dalam batasan pengertian pengarang putra daerah (misalnya Jawa Timur), pengarang arek Jawa Timur, media pers majalah berbahasa Jawa (Penyebar Semangat dan Jaya Baya) atau novel, kumpulan cerita pendek (crita cekak), puisi dan naskah drama berbahasa daerah. Sumber lain ialah buku novel berbahasa Jawa, puisi-geguritan berbahasa Jawa, dan naskah drama yang terbit dalam bentuk buku. Itu semuanya dapat dijadikan bahan penelitian teori dan kritik sastra tempatan.

Objek kajian teori dan kritik sastra tempatan meliputi semua genre sastra daerah/lokal, Melayu, nasional/Indonesia dapat dijadikan objkek bahan kajian atau sarana penggalian teori dan kritik sastra tempatan, misalnya:

(a) sastra lama: gurindam, syair, pantun;

(4)

(c) sastra lisan: legenda, mite, fabel, nyanyian rakyat, ungkapan tradisional, bahasa rakyat, drama rakyat;

(d) sastra kraton, sastra pesisiran; dan (e) sastra pedalaman.

Selain itu, dapat juga berupa genre karya sastra berbahasa Jawa yang dapat difungsikan untuk menggali teori dan kritik sastra lokal. Genre sastra novel, kumpulan cerpen, dan puisi-geguritan berbahasa Jawa. Aspek waktu dapat dipilah berdasarkan periodisasi susastra Jawa di Jawa Timur, misalnya zaman Penjajah Belanda, Zaman Jepang, Zaman Kemerdekaan, pada Zaman Orde Baru, dan pasca Orde Baru (periode reformasi).

Dr. Sunu Catur Budiono, M.A. menyarankan objek kajian penelitian teori dan kritik sastra tempatan meliputi: Tembang macapat dan kidung. Serat Centini sebagai karya tulis terpanjang di dunia ditulis dalam bentuk tembang macapat. Contoh karya yang ditulis dalam tembang macapat:

(a) Serat tambang Raras, Serat Wedhatama, Serat Wulang Reh, Serat Sana Sunu, dan Serat Damarwulan.

(b) Babad Diponegoro, Babat Mentawis, Babad Sultan Agung, Babad Giri, dan Babad Pekalongan

(c) Selain itu juga sastra tulis dalam bentuk gancaran (prosa). (d) Kidung Sri Tanjung

Sastra Lisan, misalnya, La Galigo yang merupakan karya sastra lisan terpanjang di dunia (A Teeuw), Bujang Tan Domang, Kentrung, Ludruk, Kethoprak, Mamanda, Wayang Wong, Janger Banyuwangi, Syair-Syair gandrung.

Pantun, yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Perkembangan pantun baik melalui seni pertunjukan maupun masyarakat luas. Sampai saat ini pantun masih berkembang dengan subur, juga di kalangan anak muda. Pantun memiliki kekhasannya sendiri, walaupun tidak seunik dan serumit wangsalan.

(5)

Dalam konteks nasional (Indonesia), sebaiknya dicermati karya sastra yang ditulis berdasarkan hasil transformasi dari sastra lokal. Contohnya Roro Mendut, Damar Wulan, Jaya Prana Layung Sari, dan Sang Kuriang. Karena karya-karya tersebut masih mengandung nilai, filsafat, etika, maupun estetika dari budaya yang melahirkannya.

Genre sastra Melayu klasik, seperti gurindam, syair, pantun, dan hikayat, pada hakikatnya dapat dijadikan sarana penggalian teori dan kritik sastra tempatan. Data penelitian yang berupa apa pun, termasuk gurindam, syair, dan pantun; dapat dijadikan pijakan kelahiran sastra Melayu klasik. Ciri-ciri yang melekat pada genre sastra tersebut tidak ditemukan pada sastra Eropa dan Amerika.

Genre sastra Melayu klasik seperti gurindam, syair, pantun dan hikayat dapat difungsikan untuk penggalian teori dan kritik sastra lokal pada zamannya. Teori riset dapat digunakan untuk membangun teori sastra lokal, atau sastra etnik pada zamannya.Artinya berdasarkan periodisasi sastra tersebut.Hasil riset ini amat berguna untuk kritik sastra bandingan.

Genre tersebut dapat dipakai sebagai bahan kajian teori dan kritik sastra tempatan, tetapi tidak memadai, dalam arti bahwa sastra tempatan sangat terikat pada tradisi sastra dan budaya tertentu. Selain itu, setiap gugus budaya dan etnik memiliki tradisi sastranya masing-masing dengan kekhasan, estetika, falsafah, dan nilai yang berbeda-beda. Baik yang terdapat dalam sastra lisan maupun sastra tulis. Dengan demikian, fenomena sastra Melayu akan melahirkan gagasan teori maupun kritik sesuai dengan kekhasan budaya, estetika, dan falsafah Melayu. Hal ini belum tentu cocok bahkan mungkin bertentangan dengan kekhasan budaya, estetika, dan falsafah dari etnik yang lain.

Sementara itu, genre sastra lokal/daerah yang sekiranya tepat untuk dapat dijadikan sarana penggalian teori dan kritik sastra tempatan adalah:

(a) Sastra Melayu Klasik,

(6)

(c) Sastra Sunda;

(d) Sastra Minangkabau; (e) Sastra Bali;

(f) Sastra Riau;

(g) Sastra Bugis (Lagaligo); (h) Sastra Lombok.

Genre sastra lokal yang dapat dijadikan sarana penggalian teori dan kritik sastra tempatan ialah:

(a) langkah awal memahami konsep filosofis yang dianut sastrawan lokal, pembaca masyarakat lokal, dan genre sastra yang dipilih;

(b) genre sastra tulis novel, cerita bersambung, cerpen dan geguritan berbahasa Jawa. Susastra tulis dengan mudah dapat dibaca pada majalah (kalawari bahasa Jawi) Penyebar Semangat dan Jaya Baya; dan

(c) sastra lokal yang terlengkap adalah susastra lisan yang terekspresikan dalam bahasa sub etnik di Jawa Timur. Bahasa yang dimaksudkan bahasa Jawa Mataraman, bahasa Jawa Budaya Arek, bahasa Jawa Tengger, bahasa Using (Banyuwangi), bahasa daerah Pesisiran (Jawa berdampingan dengan bahasa Madura Pendalungan) dan ragam bahasa Jawa Ponorogan. Genre sastra yang dominan bahasa lisan sekunder pada seni pertunjukan Wayang Kulit Jawa Timuran, Kethoprak, Ludruk, Seni pertunjukan Damar Wulan (Janger-Banyuwangi), dan nyanyian rakyat pada seni Gandrung Banyuwangi, kidung-tembang pada seni Tayub.

Beberapa etnik di Indonesia yang memiliki tradisi tulis sekaligus lisan dapat digunakan sebagai fokus penggalian teori dan kritik sastra tempatan. Etnik-etnik tersebut antara lain:

(7)

(g) Sastra Batak,

(h) Sastra Lampung, dan (i) Sastra Banjar.

Genre sastra lokal tersebut menjadi penting peranannya untuk penggalian teori dan kritik sastra tempatan karena etnik/daerah tersebut memiliki tradisi sastra tulis maupun lisan. Dengan demikian, terdapat naskah sebagai dokumen budaya tertulis maupun tradisi lisan yang berkembang. Karena itu kedua jenis (sastra tulis maupun lisan) dapat saling melengkapi dalam upaya menggali estetika, filsafat, dan nilai yang dianggap agung dan bermanfaat bagi mareka.

Di kalangan sebagian pemerhati, kritikus, dan peneliti sastra di Brunei Darussalam, Indonesia, dan Malaysia muncul kegelisahan tentang dominasi teori dan kritik sastra yang berasal dari Barat. Terkait dengan penerapan dan penggunaan teori dan kritik sastra, selama ini terkesan bahwa Timur hanya menjadi “makmum” dan Barat menjadi “imam”. Kegelisahan tersebut kemudian mendapat tanggapan serius dalam Musyawarah MASTERA yang dilaksanakan di Kualalumpur, Malaysia, pada bulan April 2012. Para negara anggota MASTERA berpendapat tentang perlunya inventarisasi teori dan kritik sastra lahir di Timur, terutama di negara-negara yang menjadi anggota MASTERA. Munculnya pendapat bahwa karya-karya sastra yang lahir di suatu tempat tertentu lebih utama ditelaah, dianalisis, dan didekati melalui teori dan kritik sastra yang berparadigma tempatan, yakni teori dan kritik sastra yang juga lahir di tempat tersebut, sehingga penerapannya diharapkan tidak terpisah dari dunia batin masyarakat yang diusung dalam karya-karya bersangkutan diterima secara bulat. Penerapan teori dan kritik sastra yang tepat diharapkan akan menghasilkan laporan hasil penelitian dan penelaahan sastra yang lebih sahih.

(8)

peserta musyawarah menyetujui perlunya inventarisasi dan pengembangan teori dan kritik sastra tempatan, yakni teori dan kritik sastra yang lahir di negara-negara anggota MASTERA.

Tujuan diadakan pengkajian teori dan kritik sastra tempatan adalah menginventarisasi dan mengembangkan teori dan kritik sastra tempatan dengan berusaha: .

(a)Mengetahui situasi dan kuantitas teori dan kritik sastra tempatan serta melihat seberapa jauh teori dan kritik sastra tempatan tersebut telah berkembang dan diterima oleh masyarakat sastra, terutama masyarakat sastra di negara-negara anggota MASTERA.

(b)Memberi apresiasi yang layak kepada para penemu teori dan kritik sastra tempatan setelah dilakukan pembahasan dan diskusi mendalam terhadap teori dan kritik sastra tempatan tersebut.

(c) Mendiseminasikan teori dan kritik sastra tempatan ke wilayah yang lebih luas untuk memberi informasi terhadap masyarakat sastra dunia bahwa teori dan kritik sastra bukan hanya tumbuh dan berkembang di Barat, melainkan juga di Timur.

(9)

Inventarisasi dan diseminasi teori dan kritik sastra tempatan diharapkan bukan hanya akan meramaikan perkembangan teori dan kritik sastra dunia, melainkan juga akan mengangkat dan memperkenalkan pakar-pakar sastra tempatan di mata dunia. Dengan demikian, munculnya citra bahwa selama ini Timur hanya menjadi “makmum” dan Barat menjadi “imam” dapat diubah. Di samping itu penerapan dan penggunaan teori dan kritrik sastra tempatan juga diharapkan dapat memberi hasil penelitian dan kritik sastra yang lebih sahih dan bisa dipertanggungjawabkan. Telaah dan kritik sastra yang tidak terpisah dari dunia batin masyarakat pemiliknya diharapkan dapat membuahkan apresiasi dan pemahaman terhadap karya sastra secara lebih jernih.

Metode atau cara yang baik dan tepat dalam usaha penggalian teori dan kritik sastra tempatan, menurut Prof, Dr. Setya Yuwana Sudikan, M.A. adalah:

(a) menginventarisasi semua karya sastra Indonesia dan daerah dari sastra klasik sampai ke sastra modern;

(b) membuat kategori-kategori tertentu;

(c) menyeleksi berdasarkan tujuan penelitian (misalnya penyusunan teori dan kritik sastra tempatan);

(d) memaparkan data sesuai dengan tujuan penelitian; (e) menyimpulkan.

Sementara itu, menurut Prof. Dr. Henricus Supriyanto, M.Hum., metodologi atau cara yang baik meneliti sastra lokal adalah:

(a) buku yang dijadikan data riset dihimpun lengkap,

(b) data nama pengarang susastra daerah/lokal terhimpun lengkap, dan (c) acuan teori riset ke Filsafat Timur, Sejarah Nasional Indonesia di

tingkat lokal, ungkapan dan tradisi lokal, misalnya budaya khas Jawa Timur dengan subkulturnya (Mataraman, Budaya Arek, Using, Tengger, Madura, Pesisiran, dan Ponorogoan).

(10)

(a) Pendokumentasian atau inventarisasi, transliterasi dan transkripsi naskah, penerjemahan teks sastra, penyuntingan dan penerbitan teks sastra tersimpan diberbagai perpustakaan di Indonesia. Hal ini merupakan jalan pertama yang harus dilakukan agar sastra tempatan dikenal dan memiliki daya tarik bagi masyarakat maupun secara akademik.

(b) Penelitian dan pengajian secara mendalam, komprehensif, dan menyeluruh dalam semua jenis sastra tempatan (lisan maupun tulis). Kajian-kajian tersebut harus diseminasikan dalam forum ilmiah dan akademik. HISKI harus ditingkatkan perenannya dalam hal ini.

Penelitian teori sastra tempatan ini menggunakan metode kualitatif. Metode penelitian kualitatif diartikan sebagai penelitian yang tidak mengadakan perhitungan, tetapi lebih memprioritaskan pada mutu, kualitas, isi, ataupun bobot data dan bukti penelitian. Menurut Bogdan dan Taylor (1975:5), dalam bukunya Qualitative Research for Education, metode penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku data yang dapat diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu secara holistik (utuh). Sementara itu, Kirk dan Miller (1986:9) dalam bukunya Reliability and Validity in Qualita-tive Research, menyatakan bahwa metode penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial atau humaniora yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasa dan peristilahannya.

(11)
(12)

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Lukman. (editor). 1978. Tentang Kritik Sastra: Sebuah Diskusi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Budiman, Arief. 1985. “Mencari Sastra yang Berpijak di Bumi: Sastra Kontekstual” dalam Ariel Heryanto 1985. Perdebatan Sastra Kontekstual. Jakarta: CV Rajawali.

Damono, Sapardi Djoko. 1993. Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

--- 2000. Priyayi Abangan: Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an. Yog-yakarta: Bentang Budaya.

Dananjaya, James. 1984. Folklore Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng dan Lain-lain. Jakarta: Grafiti Press.

Darma, Budi. 2004. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.

Esten, Mursal. (editor). 1989. Menjelang Teori dan Kritik Susastra Indonesia yang Relevan. Bandung: Angkasa.

Fang, Liaw Yock. 1991. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta: Erlangga.

Hasan, Mohammad Mokhtar. 2003. “Asar Belum Berakhir: Aplikasinya Terhadap Teori Takmilah” dalam Pangsura Bilangan 16 Jilid 9 Edisi Januari–Juni 2003: 3–18.

Heryanto, Ariel (editor). 1985. Perdebatan Sastra Kontekstual. Jakarta: CV Rajawali.

Imam S., Suwarno. 2003. “Konsep Mistik Pangestu: Analisis dari Perspektif Islam”. Disertasi gelar doktor dalam bidang Ilmu Agama Islam, Bidang Konsentrasi Pengkajian Islam. Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Laginem, et al., 1996. Macapat Tradisional dalam Bahasa Jawa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Mangunwijaya, Y.B. 1982. “Mitologi Sebagai Legitimasi Para Dewa” dan “Mitologi, Epos, dan Roman” dalam Sastra dan Religiositas. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.

(13)

Nasir, Mohammad. 1988. Metode Penelitian. Cetakan Ke-3. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Nugrogo, Yusro Edy. 2001. Serat Wedhatama: Sebuah Masterpiece Jawa dalam Respons Pembaca. Semarang: Mimbar dan The Ford Foundation.

Pradopo, Rachmat Djoko. 1994. Prinsi-Prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Rakhmat, Jalaluddin. 1984. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Remaja Karya.

Santosa, Puji. 1993. “Kidung Rumeksa Ing Wengi” dalam Jaya Basa Nomor 20B23 Tahun ke-47, tanggal 17, 24, 31 Januari dan 7 Februari 1993: 18.

Santosa, Puji. 1993. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Bandung: Angkasa.

Santosa, Puji., dkk. 1993. Citra Manusia dalam Drama Indonesia Modern 1920--1960. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Santosa, Puji., & Djamari. 1995. Analisis Sajak-Sajak J.E. Tatengkeng. Ja-karta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Santosa, Puji., & Djamari. 1996. Soneta Indonesia: Analisis Struktur dan Tematik. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Santosa, Puji. 1996. Pengetahuan dan Apresiasi Kesusastraan. Ende-Flores: Nusa Indah.

Santosa, Puji., dkk. 1997. Citra Manusia dalam Drama Indonesia Modern 1960–1980. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Santosa, Puji. 1998. “Analisis Struktur Sajak ‘Pembicaraan’ Karya Subagio Sastrowardojo” dalam Pangsura Bilangan 6/Jilid 4, Januari–Juni 1998, hlm. 3–15.

Santosa, Puji., dkk. 1998a. Struktur Sajak-Sajak Abdul Hadi W.M. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Santosa, Puji., dkk. 1998b. Unsur Erotisme dalam Cerita Pendek Tahun 1950-an. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

(14)

Santosa, Puji. 1999b. “Kajian Asmaradana dalam Sastra Bandingan” dalam Bahasa dan Sastra Nomor 3 Tahun XVII, 1999, hlm. 30–50.

Santosa, Puji. 2000. “Estetika Puisi sebagai Pasemon” dalam Kakilangit Nomor 39, hal. 15–17, sisipan majalah sastra Horison Nomor 4 Tahun XXXIV, edisi bulan April 2000.

Santosa, Puji. 2003d. Bahtera Kandas di Bukit: Kajian Semiotika Sajak-Sajak Nuh. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.

Santosa, Puji., dkk. 2003. Drama Indonesia Modern dalam Majalah Indonesia, Siasat, dan Zaman Baru (1945–1965): Analisis Tema dan Amanat Disertai Ringkasan dan Ulasan. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.

Santosa, Puji., dkk. 2004. Sastra Keagamaan dalam Perkembangan Sastra Indonesia Modern: Puisi 1946—1965. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.

Santosa, Puji. 2006. Pandangan Dunia Darmanto Jatman. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.

Santosa, Puji., & Agus Sri Danardana. 2008. Pandangan Dunia Motinggo Busye. Bandarlampung: Kantor Bahasa Provinsi Lampung.

Santosa, Puji. 2009. “Dua Kidung dalam Perbandingan” dalam Pangsura: Jurnal Pengkajian dan Penelitian Sastera Asia Tenggara. Bilangan 28. Jilid 15. Januari—Juni 2009: 39—55.

Santosa, Puji., & Suroso. 2009. Estetika: Sastra, Sastrawan, dan Negara. Yogyakarta: Pararaton.

Santosa, Puji., Suroso, & Pardi Suratno. 2009. Kritik Sastra: Teori, Metodologi, dan Aplikasi. Yogyakarta: Elmatera Publishing.

Santosa, Puji. 2010. Kekuasaan Zaman Edan: Derajat Negara Tampak Sunya Ruri. Yogyakarta: Pararaton.

Santosa, Puji., & Imam Budi Utono. 2010. Struktur dan Nilai Mitologi Melayu dalam Puisi Indonesia Modern. Yogyakarta: Elmatera Publishing.

(15)

Santosa, Puji., & Maini Trisna Jayawati. 2011. Dunia Kesusastraan Nasjah Djamin dalam Novel Malam Kuala Lumpur. Yogyakarta: Elmatera Publishing.

Santosa, Puji., Djamari, & Sri Sayekti. 2011. Manusia, Puisi, dan Kesadaran Lingkungan. Yogyakarta: Elmatera Publishing.

Santosa, Puji., & Djamari. 2012a. Merajut Kearifan Budaya: Analisis Kepenyairan Darmanto Jatman. Yogyakarta: Elmatera Publishing.

Santosa, Puji., & Djamari. 2012b. Struktur Tematik Puisi-Puisi Mimbar Indonesia. Yogyakarta: Elmatera Publishing.

Santosa, Puji.., dkk. 2013. Puisi Promosi Kepariwisataan. Yogyakarta: Elmatera Publishing,

Santosa, Puji., & Djamari. 2013a. Dunia Kepenyairan Sapardi Djoko Damono. Yogyakarta: Elmatera Publishing.

Santosa, Puji., & Djamari. 2013b. Peran Horison Sebagai Majalah Sastra. Yogyakarta: Elmatera Publishing.

Santosa, Puji. 2014. Sang Paramartha: Kumpulan Puisi. Yogyakarta: Azzagrafika.

Santosa, Puji., & Djamari. 2014a. Kriik Sastra Tempatan. Yogyakarta: Elmatera Publishing.

Santosa, Puji., & Djamari. 2014b. Apresiasi Sastra Disertai Ulasan Karya, Proses Kreatif, dan Riwayat Sastrawan. Yogyakarta: Elmatera Publishing.

Santosa, Puji. 2015. Metodologi Penelitian Sastra: Paradigma, Proposal, Pelaporan, dan Penerapan. Yogyakarta: Azzagrafika.

Santosa, Puji., & Djamari. 2015a. Mengukur Kesesuaian Sastra Pada Siswa Sekolah Menengah. Yogyakarta: Elmatera Publishing.

Santosa, Puji., & Djamari. 2015b. Strategi Pembelajaran Sastra Pada Era Globalisasi. Yogyakarta: Azzagrafika.

Saputra, Karsono H., 1992. Pengantar Sekar Macapat. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Simuh. 2002. Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa. Yogyakarta: Bentang Budaya.

(16)

Soehadha, M. 2008. Orang Jawa Memaknai Agama. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Soemanto, Bakdi. 1999. Angan-Angan Budaya Jawa: Analisis Semiotik Pengakuan Pariyem. Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia.

Subalidinata, R.S. 1994. Kawruh Kasusastran Jawa. Yogyakarta: Pustaka Nusatama.

Sudaryanto, et al., 2001. Kamus Pepak Basa Jawa. Yogyakarta: Badan Pekerja Kongres Bahasa Jawa dan Yayasan Kantil.

Sudjiman, Panuti. 1995. Filologi Melayu. Jakarta: Pustaka Jaya.

Sulaiman, Tasirun. 2009. Wisdom of Gontor. Bandung: Mizania.

Supadjar, Damarjati. 1993. Nawangsari. Yogyakarta: Media Widya Mandala.

Suryadi A.G., Linus. 1981. Pengakuan Pariyem. Jakarta: Sinar Harapan.

Suwondo, Tirto. 1994. Nilai-Nilai Budaya Susastra Jawa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sweeney, Amin et al. 2007. Keindonesiaan dan Kemelayuan dalam Sastra. Jakarta: Desentara dan HISKI.

Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional dan Balai Pustaka.

Triyono, Adi. 1989. “Memahami Ajaran Keprajuritan dalam Tripama dan Wirawiyata”. Dalam Widyaparwa Nomor 32, Oktober 1989.

Utomo, Imam Budi. 1997. "Penafsiran Simbol Konsepsi Mistik Serat Centini" dalam Pangsura. Bilangan 4 Jilid 3, Januari--Juni 1997.

Utorowati, Sri. 2002. “Sisi Keteladanan Tokoh Wayang dalam Serat Tripama”. Dalam Sujarwanto dan Jabrohim (editor). Bahasa dan Sastra Indonesia Menuju Peran Transformasi Sosial Budaya Abad XXI. Yogyakarta: Panitia PIBSI XXIII Universitas Ahmad Dahlan dan Gama Media.

Waluyo, Herman J. 1991. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.

(17)

Wiryamartana, I. Kuntara. 1990. Arjunawiwâha. Yogyakarta: Dutawacana dan ILDEP.

Referensi

Dokumen terkait

Terbilang : Tiga puluh satu jiita sembilan ratus sembilan puluh ribu

[r]

 Untuk mengatasi masalah penyimpanan lembar mind mapping, guru mitra meminta peserta didik untuk mengumpulkan mind mapping yang. telah dibuat dan disimpan di

pendekatan efektif mendukung Penerapan Penyuluhan Pertanian Partisipatif Dalam Upaya Pembangunan Pertanian.PT Bumi Aksara.. Ekstensia Majalah

Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik

Teknik supervisi kunjungan kelas tidak selalu membutuhkan pertemuan balikan dengan guru yang disupervisi, sebab ada kalanya supervisor memperbaiki kelemahan guru

Grafik 4.2 Grafik Pengaruh Pemberian Larutan Kulit Bawang Merah Terhadap Panjang Akar Stek Batang Tanaman Sirih Merah Umur 50 hst. Dari hasil analisis variansi

difference on writing ability between the students who taught using peer tutoring and those who taught by direct method at seventh grade SMPN 3 SAMPIT was accepted and