• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEJARAH DAN TEORI SASTRA

N/A
N/A
ABDY BUSTHAN

Academic year: 2023

Membagikan "SEJARAH DAN TEORI SASTRA"

Copied!
189
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Sejarah & Teori

SASTRA

(3)

Sanksi Pelanggaran Pasal 72

Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan

perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dan (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling sedikit satu bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 atau pidana paling lama tujuh tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp.

500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(4)

Abdy Busthan, S.Pd., M.Pd

Sejarah & Teori

SASTRA

Desna

Life

Ministry

(5)

Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT)

Sejarah dan Teori Sastra

Abdy Busthan, S.Pd., M.Pd

Copyright © 2016 pada penulis

ISBN: 978-602-6487-01-8

Editor & Penyunting:

Gloria Kasih Narwastu Calunggun Desain Sampul & Tata Letak:

Hosiana Gracia Inthe

Penerbit:

Desna

Life

Ministry

Jln. Bakti Karya 20 B, Kecamatan Oebobo, Kupang – NTT Telp. 081-333-343-222

Email: desnapenerbit@yahoo.com Website: desnapublishing.blogspot.co.id

Cetakan pertama, Oktober 2016 187 hlm; 14 x 21 cm

Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang memperbanyak isi buku ini dalam bentuk

dan dengan cara apapun, tanpa ijin tertulis dari penulis dan penerbit

(6)

Prakata Awal

Jika suatu ketika, kita bertemu dengan seseorang, lalu kita mencoba mengajukan sebuah pertanyaan pada orang tersebut dengan pertanyaan yang berbunyi: apakah Anda pernah membaca sebuah karya sastra? Jawabannya pasti hanya dua: ―sudah‖ atau ―belum‖. Dalam artian,

‗sudah‘ jika memang pernah membacanya, dan ‗belum‘

jika memang belum pernah membacanya. Atau, misalnya kita bertanya lagi pada seseorang dengan pertanyaan lain yang berbunyi: apakah Anda menyukai sastra? Maka sudah dapat dipastikan pula bahwa jawaban dari orang tersebut adalah: ―ya‖ atau ―tidak‖. Tentu kedua jawaban ini sesuai dengan pengalaman keseharian hidupnya yang bergaul dengan sastra.

Dari uraian diatas, secara sepintas mungkin kita bisa memberikan pemahaman sederhana mengenai istilah sastra ini. Mungkin saja, kita berasumsi bahwa sastra adalah sesuatu yang mudah dipahami dan selalu dekat dengan kehidupan setiap insan manusia. Sayang sekali, bahwa anggapan seperti ini sangat keliru! Sebab perlu dipahami bahwa, pemahaman karya sastra, tidak semuda- mudahnya seperti yang kita kira. Jika sebuah pertanyaan dilontarkan dengan bunyi, apakah Sastra itu? Maka, pertanyaan ini tidak mudah untuk dijawab. Mengapa?

(7)

Karena setiap jawaban yang nantinya akan diberikan, tidak akan bisa menimbulkan kepuasan bagi siapa saja yang bertanya. Tentunya hal ini menegaskan bahwa, secara konseptual, siapapun yang menjadi orang yang ditanya tentang pertanyaan itu, maka ia tidak mungkin dapat menjelaskan tentang ―apa itu sastra‖—meskipun dalam keseharian ia mengenal ―sastra‖ sebagai suatu objek yang sering dihadapinya.

Pada umumnya dalam alam realitas ini, sebagian orang memang getol terhadap sastra. Sebagai misalnya, dengan mendengar dan membaca kalimat-kalimat indah, kata-kata mutiara, juga ungkapan-ungkapan persuasif yang memiliki beragam keindahan bahasa dan sastra dalam melakukan komunikasi antar manusia—semua ini, bisa menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan orang untuk bersastra.

Namun, pemahaman akan setiap kenikmatan karya sastra ini, perlu di dalami sedalam-dalamnya berdasarkan teori-teori sastra yang ada. Teori sastra akan memberikan gambaran konsep sastra sebagai salah satu disiplin ilmu humaniora yang dapat membimbing ke arah dan aras pemahaman akan segala fenomena yang terkandung di dalamnya. Dengan mempelajari teori sastra, maka kita akan bisa memahami fenomena-fenomena kehidupan manusia yang tertuang di dalam teori sastra tersebut.

Sebaliknya, dengan memahami juga fenomena kehidupan manusia yang ada dalam teori sastra, maka otomatis kita akan memahami dan lebih mengerti teori-teori sastra.

Inilah urgensi pembelajaran sastra!

(8)

Tetapi sebelum memahami sastra dengan segala macam teori-teorinya, maka historisitas sastra, menjadi hal yang penting untuk diuraikan pula. Pemahaman akan syajarat atau sejarah sastra ini penting, mengingat ciri khas sastra dari setiap periode atau angkatan sastra, adalah merupakan cerminan dari masyarakatnya—sastra merupakan temuan dari masyarakat dalam periode peradaban kehidupan. Jika masyarakat menjadi berubah, maka sastranya pun akan berubah. Penggolongan setiap karya sastra ke dalam suatu periode tertentu, tentunya didasarkan oleh ciri-ciri tertentu. Itu sebabnya, setiap periode ataupun angkatan sastra, mempunyai ciri yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya.

Melalui buku ini, pemahaman mendalam tentang syajarat atau sejarah sastra beserta hakikat terdalam dari teori-teori sastra dan ruang lingkupnya, dapat dipelajari untuk membekali siapa saja yang berkepentingan dalam mempelajari apresiasi dan kajian sastra ini.

Akhirulkalam, salam kasih apa adanya, Wassalam, Hormat di bri. Tuhan Yesus memberkati. Amin

Pijar-pijar dalam rindu, Di sudut Sikumana, Kota Kupang

Oktober, 2016 Abdy Busthan, S.Pd., M.Pd

(9)
(10)

Tentang Penulis

Abdy Busthan, S.Pd., M.Pd, adalah Dosen, Teknolog Pembelajaran dan Aktivis Pendidikan. Dia dilahirkan di desa Seriti, Kecamatan Lamasi, Kabupaten Luwu Utara, tanggal 14 Maret. Ayahnya bernama Markus Busthan Calunggun, S. Pd (alm) adalah mantan guru dari kota Nabire, Papua Tengah, yang pernah mendapatkan penghargaan Presiden RI sebagai "guru teladan nasional"

di era tahun 80-an. Penulis lahir sebagai anak ke 3, dari 4 bersaudara, dari rahim seorang ibu bernama Esry Inthe.

Pada jenjang pendidikan S-1, penulis lulus dengan predikat ―lulusan terbaik‖ dan ―tercepat‖ (cumlaude) dengan menempuh pendidikan S-1 hanya 3 (tiga) tahun, di FKIP-IPTH Universitas Kristen Artha Wacana Kupang- NTT. Penulis menempuh pendidikan S-2 pada jurusan Magister Teknologi Pendidikan, dengan konsentrasi ilmu Teknologi Pembelajaran di UNIPA Surabaya.

Penulis aktif dalam kegiatan pendidikan, khususnya pada bidang belajar dan pembelajaran, yakni dengan memberikan pelatihan, seminar dan penyuluhan, kepada

(11)

guru-guru di hampir seluruh wilayah Nusa Tenggara Timur. Beberapa buku yang pernah ditulis penulis dan mendapatkan nomor ISBN dari Perpustakaan Nasional Indonesia, antara lain berjudul:

1. Judulnya Belum Berjudul (ISBN 978-602-74190-2-5) 2. Pendidikan Berbasis Goblok (ISBN: 978-602-74103-8-1) 3. Kristus versus tuhan-tuhan Postmo (ISBN: 978-602-74103-3-6) 4. Pedagogik Yahudi (ISBN: 978-602-74103-7-4)

5. Sekolah Tuhan (ISBN: 978-602-74103-4-3)

6. Perkembangan Peserta Didik (ISBN: 978-602-74103-1-2) 7. Pendidikan Kristen yang Membebaskan

(ISBN: 978-602-70664-4-1)

8. Teori Belajar & Pembelajaran (ISBN: 978-602-74103-2-9) 9. Model Pembelajaran Saskrim – 5 is (ISBN: 978-602-74103-9-8) 10. Dasar-Dasar Evaluasi Hasil Belajar (ISBN: 978-602-74103-0-5) 11. Teori Belajar Humanistik (ISBN: 978-602-74190-1-8)

12. Media & Multimedia dalam Teknologi Pembelajaran (ISBN 978-602-74190-3-2)

13. Perencanaan Pembelajaran (ISBN 978-602-74190-5-6) 14. Vygotsky versus Pavlov (ISBN 978-602-74190-0-1) 15. Pembelajaran Kognitif (ISBN 978-602-74103-5-0) 16. Analisis Kebijakan Pendidikan (ISBN 978-602-74190-4-9) 17. Profesi Kependidikan: Menyemai Integritas Guru dalam Kasih

(ISBN 978-602-74991-1-9)

18. Pengantar Pendidikan: Konsep & Dasar Pelaksanaan Pendidikan (ISBN 978-602-74991-3-3)

19. Menyimak: Suatu Esensialitas Berbahasa (ISBN 978-602-74991-7-1)

20. Pendidikan Logika: Konsep dasar Berlogika (ISBN 978-602-74991-2-6)

21. Analisis Wacana dalam Substansi (ISBN 978-602-74991-8-8)

(12)

Daftar Isi

Prakata Awal____(3) Tentang Penulis____(9) Daftar Isi____(11)

Bagian I:

Sastra dalam Pengertian____(13) 1. Hakikat Sastra____(13)

2. Pembagian Karya Sastra: Lisan & Tulis___(26) 3. Pembagian Genre Sastra____(37)

4. Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Sastra____(53) Bagian II

Sastra dalam Sejarah____(61)

1. Pengertian Sejarah Sastra____(61)

2. Sejarah Perkembangan Sastra Dunia____(74) 3. Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia____(95) Bagian III

Sastra dalam Teori____(125) 1. Hakikat Teori Sastra____(125) 2. Teori-Teori Sastra____(136)

A. Teori Sastra Psikoanalisis____(136) B. Teori Sastra Strukturalisme____(157) C. Teori Sastra New Criticism____(170) D. Teori Sosiologi Sastra____(178)

(13)
(14)

BAGIAN I:

Sastra dalam Pengertian

1. Hakikat Sastra

Sastra merupakan istilah yang akan selalu bersinggungan dengan pengalaman manusia yang lebih luas daripada yang bersifat estetik saja. Sastra melibatkan pikiran pada kehidupan sosial, moral, psikologi, agama, dll. Berbagai segi kehidupan dapat diungkapkan dalam sebuah karya sastra. Itulah sebabnya, sastra dianggap mampu untuk memberikan suatu kesenangan atau kenikmatan kepada pembacanya. Seringkali dengan membaca sebuah sastra, maka muncul ketegangan-ketegangan (suspense). Dalam ketegangan itulah diperoleh kenikmatan estetis yang aktif.

Adakalanya, dengan membaca sastra, seseorang akan terlibat secara total dengan apa yang dikisahkan.

Dalam keterlibatan tersebut, kemungkinan besar, akan muncul kenikmatan estetis. Namun penting dipahami bahwa, sastra bukan suatu seni bahasa semata, melainkan ia juga merupakan suatu kecakapan dalam menggunakan bahasa yang berbentuk dan bernilai sastra. Jelasnya, faktor yang sangat menentukan di sini adalah kenyataan bahwa sastra menggunakan bahasa sebagai medianya.

(15)

Menurut Luxemburg dkk (1989), sastra juga dapat bermanfaat secara rohaniah. Dengan membaca sastra, kita memperoleh wawasan yang dalam tentang masalah manusiawi, sosial, maupun intelektual dengan cara yang khusus. Dalam hal penggunaannya, makna dalam istilah sastra, kerapkali dipertentangkan dengan istilah sastrawi, sehingga keduanya menimbulkan makna ambigu. Sulit dibedakan. Padahal, segmentasi dari sastra cenderung mengacu pada definisinya sebagai sekedar sebuah ―teks‖.

Sedangkan istilah sastrawi, mengarah pada konsep sastra yang sangat kental dengan nuansa puitis atau abstraknya.

Istilah sastrawan misalnya, adalah salah satu contoh yang biasanya diartikan sebagai orang yang menggeluti sastrawi, bukan sastra. Disamping itu, terdapat perbedaan antara istilah sastrawan dan karya sastra—‗sastrawan‘

adalah seseorang yang mempelajari tentang sastra, sedangkan ‗karya sastra’ lebih menunjuk bentuk ataupun hasil dari sastra tersebut.

A. Pengertian Sastra

Sampai detik ini, tidak ada satu pun definisi tunggal tentang sastra, yang dapat menjadi kesepakatan bersama dan bisa diterima oleh semua kalangan. Pengertian sastra luas dan beragam, dimana para ahli pun mendefinisikan sastra dengan kalimat yang berbeda-beda.

Itulah sebabnya, Wiyatmi (2006:14) menegaskan bahwa sastra bisa diibaratkan seperti angin, berada dimana saja dan kapan saja. Oleh karenanya, maka upaya mendefinisikannya akan selalu saja gagal karena definisi

(16)

yang coba dirumuskan ternyata memiliki pengertian yang kurang sempurna dibanding yang didefinisikannya.

Dari pendapat Wiyatmi ini, mungkin lebih tepatnya sastra dapat diartikan sebagai samudra kata-kata dalam rangkaian gaya bahasa estetis yang terungkapkan melalui tulisan yang mempengaruhi kehidupan insan manusia.

Pada titik ini, sastra merupakan keindahan gaya bahasa yang mampu menggugah setiap ranah afektif (perasaan), psikomotorik (perbuatan) dan kognitif (pemikiran) dari setiap individu, agar dengan penggugahan atas 3 ranah ini, maka individu memaknai setiap aspek kehidupannya menjadi lebih baik lagi dari yang sebelumnya.

a) Pengertian Sastra Secara Etimologis

Secara etimologis, kata ‗sastra’ berasal dari sebuah kata dari bahasa Latin, yaitu kata ‗litteratura‘, yang merupakan terjemahan dari kata Yunani grammatika.

Kedua kata tersebut, yakni litteratura dan grammatika, masing-masing terbentuk dari kata dasar littera dan gramma yang berarti: huruf atau tulisan.

Dalam perkembangannya, kata ‗sastra‘ kemudian disebutkan dengan bebeberapa sebutan, dalam bahasa inggris, sastra disebutkan dengan literature, dan dalam bahasa Jerman adalah literatur, sementara dalam bahasa Perancis disebut dengan littérature (Prancis). Pemakaian kata sastra atau literature kerapkali mengacu pada segala sesuatu yang tertulis. Dalam konteks di Indonesia, istilah

―sastra‖ awalnya berasal dari kata śāstra (शास्त्र), yang merupakan sebuah kata serapan dari bahasa Sanskerta,

(17)

yang berarti ―teks yang mengandung instruksi‖ atau sebuah ―pedoman‖.

Kata śāstra ini berasal dari kata dasarnya śās, yang artinya ―instruksi‖ atau ―ajaran‖. Dalam bahasa Indonesia ini, kata śāstra sering digunakan dengan mengacu kepada kesusastraan atau tulisan yang mempunyai pengertian atau keindahan tertentu yang sifatnya mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi.

Dalam bahasa Sansekerta, kata berakhiran –tra, biasanya menunjukkan alat atau sarana. Sehingga dapat pula disimpulkan bahwa sastra merupakan alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran.

Sebagai contoh adalah silpasastra (buku arsitektur) juga kamasastra (buku petunjuk mengenai seni cinta), dll.

Meskipun sastra sering kali dianggap sebagai karya tulis, namun ia tidak saja selalu identik dengan bahasa tulis. Kesalahpahaman dan perbedaan persepsi sering ditemui ketika memahami suatu tulisan. Namun, berbeda halnya dengan sastra. Potensi makna ganda di dalam suatu karya tulis dapat dimanfaatkan untuk menciptakan suasana khas dari sastra. Keambiguan yang diciptakan dalam karya sastra disebabkan karena tidak adanya hubungan fisik antara pengarang dan pembacanya. Kata aku dalam sebuah puisi misalnya, bukan berarti hanya menyangkut tentang diri si pengarangnya. Keambiguan makna inilah yang kemudian disebut keindahan sastra.

Jika, penggunaan dari kata sastra ini berasal dari serapan bahasa sansekerta seperti yang sudah dijelaskan di atas, dimana kata serapan ini merupakan sastra yang

(18)

memiliki arti tulisan yang berarti pedoman ataupun perintah—pasalnya, kata sas memiliki arti perintah atau ajaran; sementara seni merupakan sebuah ungkapan perasaan manusia yang mempunyai unsur keindahan—

maka, jika digabung seni sastra ini, dapatlah ia diartikan sebagai ungkapan manusia berbentuk teks atau tulisan yang bernilai ekstetika sendiri.

b) Pengertian Sastra Pada konteks Mimemis Sebelum melihat pengertian sastra lebih dekat, hal pertama dan utama yang musti dipahami bahwa, sastra itu dibentuk oleh dan dari masyarakat. Dan dalam derajat tertentu, sastra memiliki keterkaitan timbal-balik dengan masyarakat. Sedangkan sosiologi sastra berupaya meneliti pertautan antara sastra dengan kenyataan masyarakat dalam berbagai dimensinya. Konsep dasar sosiologi sastra seperti ini yang oleh Plato dan Aristoteles, dikenal pula dengan istilah ‗mimesis‘—yang menyinggung hubungan antara sastra dan masyarakat sebagai ‗cermin‘.

Pengertian kata ‗mimesis‘ (Yunani: perwujudan atau peniruan) untuk pertama kali digunakan dalam teori-teori tentang seni yang digagas dan dikemukakan oleh Plato (428-348) dan Aristoteles (384-322), yang dari abad ke abad, memang sangat banyak mempengaruhi teori-teori mengenai seni dan sastra di Eropa.

Menurut kajian teori mimesis, penciptaan suatu karya sastra tidak sama dengan penulisan sejarah. Sejarah hanya menuliskan fakta-fakta dan menampilkan kejadian seadanya, dengan tujuan memberikan informasi kejadian yang terjadi di masa lalu kepada pembaca. Sebaliknya,

(19)

karya sastra diciptakan untuk memuaskan kebutuhan estetik dan rohani manusia. Para penyair misalnya, mereka tidak menulis berdasarkan kenyataan yang ada dan juga tidak menggambarkan suatu kejadian atau setiap dari peristiwa sebagaimana adanya. Ruang lingkup sastra lebih luas, sehingga para penyair atau pengarang sastra bisa dengan lebih leluasa mengungkapkan beberapa kemungkinan. Perbedaan penafsiran ini bergantung pada sudut pandang yang dimiliki oleh si pembaca.

c) Pengertian Sastra Menurut Para Ahli Masing-masing ahli mendefinisikan sastra sesuai dengan konteks dan tujuannya masing-masing. Berikut definisi sastra yang pernah dirumuskan beberapa ahli.

Menurut filsuf Aristoteles (384-322), sastra sebagai kegiatan lainnya melalui agama, ilmu pengetahuan dan filsafat. Sedangkan sastra menurut sang Plato (428-348), adalah hasil peniruan atau gambaran dari kenyataan (mimesis). Karenanya, maka sebuah karya sastra harus merupakan peneladanan alam semesta dan sekaligus merupakan model kenyataan. Itu sebabnya, nilai sastra semakin rendah dan jauh dari dunia ide.

Robert Scholes (1982) menegaskan bahwa, tentu saja sastra itu sebuah kata, bukan sebuah benda.

Sementara Wellek dan Werren (1993), sastra merupakan segala sesuatu yang tertulis atau tercetak.

Taum Y Yapi (2011), berpendapat bahwa sastra adalah karya cipta atau fiksi yang bersifat imajinatif atau

―sastra adalah penggunaan bahasa yang indah dan berguna yang menandakan hal-hal lain‖.

(20)

Menurut Mukarovsky, dkk (1978), sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan emosi yang spontan yang mampu mengungkapkan aspek estetik baik antara aspek kebahasaan maupun aspek makna.

Menurut Lefevere (1997) bahwa, sastra adalah suatu deskripsi pengalaman kemanusiaan yang memiliki dimensi personal dan sosial sekaligus, serta pengetahuan kemanusiaan yang sejajar dengan bentuk hidup.

Sastra berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), adalah karya tulis yang bila dibandingkan dengan tulisan lainnya, ciri-ciri keunggulan, seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya.

Karya sastra berarti karangan yang mengacu pada nilai- nilai kebaikan yang ditulis dengan bahasa yang indah.

Sastra memberikan wawasan yang umum tentang masalah manusiawi, masalah sosial, maupun masalah intelektual, dengan caranya yang khas. Pembaca sastra dimungkinkan untuk menginterpretasikan teks sastra sesuai dengan wawasannya sendiri.

Mursal Esten (1978:2) menyatakan bahwa, sastra atau kesusasteraan, adalah sebuah bentuk pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia, dan masyarakat melalui bahasa sebagai medium dan memiliki efek yang positif terhadap kehidupan manusia kemanusiaan.

Sastra menurut Semi Atar (1993), adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya

(21)

adalah manusia dan kehidupannya menggunakan bahasa sebagai mediumnya.

Eagleton Terry (2007) menyatakan, sastra adalah karya tulisan yang halus (belle letters) adalah karya yang mencatatkan bentuk bahasa harian dalam berbagai cara dengan bahasa yang dipadatkan, didalamkan, dibelitkan, dipanjangtipiskan dan diterbalikkan dan dijadikan ganjil.

Tentu saja, definisi sastra menurut para ahli masih sangat banyak dan luas. Karena itu, para ahli mengartikan

―sastra‖ hanyalah istilah yang digunakan untuk menandai sejumlah karya dengan alasan tertentu dan dalam ruang lingkup kebudayaan tertentu pula.

Hal ini mungkin karena para ahli merasa tidak mungkin dapat merumuskan sebuah definisi mengenai sastra secara universal, karena pada kenyataannya, perkembangan karyanya sendiri (sastra) berkembang tidak serentak dan dengan cara yang berbeda-beda.

Teks-teks sastra tersebut merupakan refleksi dari kebudayaan tempatnya dilahirkan, dan jika kebudayaan di suatu tempat berubah, maka refleksi teks-teks tersebut juga akan berubah. Dan sekali lagi, tentu saja kebudayaan adalah salah satu hal majemuk yang ada di dunia ini.

Maka tidak akan salah jika kita katakan, karya sastra juga bersifat majemuk.

Namun dari pendapat para ahli di atas, sastra bisa dipahami sebagai bentuk perwujudan ungkapan perasaan dalam pengalaman jiwa seseorang yang dituangkannya berbentuk tulisan. Jadi segala jenis tulisan yang mengandung unsur-unsur estetis atau keindahan, maka ia

(22)

adalah suatu ―karya seni sastra‖. Sastra juga merupakan suatu luapan emosi manusia yang diungkapkan melalui tulisan maupun lisan. Perbedaan penafsiran dari para pembaca adalah esensi dalam memahami karya sastra.

Setiap karya sastra pasti memiliki keunikan sendiri- sendiri, yang menggambarkan perasaan si pengarangnya.

Seperti yang diungkapkan oleh Boris Pasternak (1960) bahwa ―Literature is the art of discovering something extraordinary about ordinary people, and saying with ordinary words something extraordinary‖, yang artinya bahwa, sastra adalah seni menemukan sesuatu yang luar biasa tentang orang-orang biasa yang berkata dengan kata-kata biasa tentang sesuatu yang luar biasa.

B. Ciri, Fungsi dan Manfaat Sastra

Dari pembahasan sebelumnya, dapatlah dipahami bahwa sebuah karya sastra memiliki ciri dan fungsi yang menunjukkan setiap karya untuk dapat dikatakan sebagai sebuah karya sastra.

a. Ciri dan Karakteristik Sastra

Sastra memiliki ciri khas dan karakteristik yang dapat digolongkan atau dinamakan sebagai karya sastra.

Ciri dan karakterisik sastra ini, dapatlah dibedakan berdasarkan ciri secara umum dan secara khusus.

Secara umum, untuk mempelajari karya sastra secara baik, setidaknya terdapat 5 (lima) karakteristik sastra yang harus dipahami.

Pertama, pemahaman bahwa sastra harus memiliki tafsiran mimesis. Artinya, sastra yang diciptakan, harus

(23)

mencerminkan suatu kenyataan. Jika pun belum, karya sastra yang diciptakan, dituntut mendekati kenyataan.

Kedua, manfaat sastra. Mempelajari sastra, harus dapat mengetahui apa manfaat sastra untuk para penikmatnya. Dengan mengetahui manfaat yang ada, akan memberikan kesan bahwa sastra yang diciptakan berguna untuk kemaslahatan manusia.

Ketiga, dalam sastra setidaknya harus disepakati keberadaan unsur fiksionalitas. Unsur fiksionalitas adalah cerminan kenyataan yang merupakan unsur realitas yang tidak 'terkesan' dibuat-buat.

Keempat, pemahaman bahwa karya suatu sastra adalah merupakan sebuah karya seni. Dengan adanya karakteristik sebagai karya seni ini, pada akhirnya dapat dibedakan manakah karya sastra yang termasuk dalam sastra dan yang bukan sastra. Sebab sastra adalah seni.

Kelima, setelah empat dari karakteristik sastra di atas dipahami, maka pada akhirnya, haruslah bermuara pada kenyataan bahwa, sastra adalah merupakan bagian dari masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa sastra yang ditulis pada kurun waktu tertentu, memiliki tanda- tanda yang kurang lebih sama dengan norma, adat, atau segala kebiasaan yang muncul berbarengan dengan hadirnya sebuah karya sastra.

Secara khusus, terdapat pula empat ciri dan karakteristik satra yaitu sebagai berikut:

Pertama. Isinya menggambarkan manusia dengan berbagai persoalannya. Sedangkan bahasanya yang indah

(24)

atau tertata baik, serta gaya penyajiannya (kalimat) menarik yang berkesan di hati pembacanya.

Kedua. Sastra memberikan hiburan dalam lubuk hati manusia terpatri kecintaan dan keindahan. Manusia adalah makhluk yang suka keindahan. Karya sastra adalah apresiasi keindahan itu. Karena itu, karya sastra yang baik selalu menyenangkan pembaca.

Ketiga. Sastra menunjuk kebenaran hidup. Dalam karya sastra, terungkap pengalaman hidup manusia: yang baik, yang jahat, yang benar, maupun yang salah. Karena itu manusia lain dapat memetik pelajaran yang baik dari pelajaran yang baik dari karya sastra.

Keempat. Sastra mampu melampaui batas-batas sebuah bangsa dan zaman. Nilai-nilai kebenaran, ide, atau gagasan dalam karya sastra yang baik, bersifat universal, sehingga dapat dinikmati oleh bangsa manapun.

Adapun berdasarkan masanya, karya sastra dibagi menjadi dua, yakni karya sastra lama dan sastra baru.

Keduanya memiliki ciri–ciri yang sedikit berbeda. Berikut pembagian ciri dan karakteristiknya:

Ciri Karya Sastra Lama

 Bentuknya berupa puisi yang terikat seperti syair, pantun, hikayat, mite, legenda, dongeng.

 Dibuat dari, untuk, serta milik rakyat/masyarakat.

 Anonim atau dengan kata lain: tidak dicantumkan siapa nama pengarangnya.

 Istana sentris, yaitu ceritanya berpusat pada istana dengan menggambil tokoh raja.

(25)

 Lambat dalam mengikuti perkembangan dan selalu terpaku pada aturan yang ada disebut statis atau proses perkembangannya statis dan disampaikan lisan secara turun temurun.

 Pengarang taat kepada kelaziman.

 Karya sastra lisan umumnya dari mulut ke mulut.

 Bahasa yang digunakan masih kemelayu-melayuan dan bahasanya sering klise. Disamping itu, bahasa pada karya sastra lama menggunakan Bahasa Arab, dan Bahasa Daerah.

 Tokoh hitam-putih dan berupa mistis.

 Tema karangan bersifat fantastis (fantasi; tidak nyata; tidak masuk akal; sangat hebat dan luar biasa)

 Karangan berbentuk tradisional.

 Latar belakang penciptaannya terpengaruh pada kesastraan hindu, islam, budaya tradisional.

Ciri Karya Sastra Baru

 Bentuknya berupa puisi bebas dan kontemporer yaitu seperti cerpen, novel, dram Indonesia.

 Karya sastra tulisan disampaikan secara tertulis

 Tokohnya bebas dan kreatif.

 Nama pengarang dicantumkan, dan pengarangnya dikenal oleh masyarakat luas

 Latar belakang penciptaannya lebih terpengaruh kesusastraan barat, budaya industri modern, dan hak cipta pengarang individu.

(26)

 Masyarakat sentris, dimana tema yang diangkat adalah seputar kemanusiaan, kemasyarakatan, kehidupan modern, pergaulan remaja,dll

 Bersifat rasional modern dan tidak tradisional.

 Perkembangannya bersifat dinamis, melalui media cetak dan audiovisual.

 Ceritanya berpusat pada kehidupan sehari- hari.

 Karya sastra baru mengikuti perubahan sesuai perkembangan pribadi penciptanya.

 Bahasanya tidak klise (tidak bersifat meniru).

Menggunakan bahasa Indonesia dengan bahasa keseharian dan sering dimasuki bahasa asing kreatif, juga bahasa-bahasa gaul.

b. Fungsi dan Manfaat Sastra

Adapun dalam menciptakan sebuah karya sastra, tentunya setiap sastra dapatlah berfungsi sebagaimana adanya. Fungsi dan manfaat sastra juga bertujuan bagi para pembaca dan pendengarnya masing-masing.

Karena itu, beberapa dari fungsi karya sastra adalah sebagai berikut:

Fungsi rekreatif adalah memberikan kesangan atau hiburan bagi pembacanya

Fungsi didaktif adalah fungsi sastra memberikan wawasan pengetahuan tentang berbagai seluk-beluk kehidupan manusia bagi pembacanya

Fungsi estetis adalah sastra mampu memberikan keindahan pembacanya

(27)

Fungsi moralitas adalah memberikan pengetahuan bagi pembacanya mengenai moral yang baik dan buruk.

Fungsi religius adalah sastra menghadirkan karya yang didalamnya mengandung ajaran agama yang diteladani oleh pembacanya.

Sementara manfaat sastra dapat dikelompokkan berdasarkan tiga manfat berikut ini:

Pertama. Sebagai sarana penyampaian suatu pesan moral. Dengan karya sastra para sastrawan bisa menyampaikan pesan moral yang berhubungan dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan, serta memperjuangkan hak juga martabat manusia.

Kedua. Sebagai sebuah sarana penyampaian kritik.

Dengan melalui seni sastra, maka elemen masyarakat bisa mengemukakan masalah kritik dan juga saran.

Ketiga. Sebagai sarana untuk menumbuhkan rasa nasionalisme dan juga perhargaan terhadap kebudayaan daerah sebagai bagian dari kebudayaan nasional. Dimana, seni sastra Indonesia adalah sarana berekspresi budaya dalam rangka untuk ikut memupuk kesadaran sejarah serta semangat akan nasionalisme.

2. Pembagian Karya Sastra:

Lisan & Tulis

Sebuah sastra lebih merupakan ungkapan estetis dalam bentuk tulisan. Pertanyaanya adalah, apasajakah jenis dan bentuk-bentuk tulisan yang bisa dikatakan sebagai sebuah karya sastra? Dalam arti kesusastraan, karya

(28)

sastra bisa dibagi menjadi dua bagian, yaitu: 1) Karya sastra Lisan; dan 2) Karya sastra Tulis.

A. Karya Sastra Lisan

Sastra lisan merupakan karya sastra yang berbentuk abstrak dan disampaikan dengan bentuk ujaran (lisan) atau oral. Sastra lisan biasanya dikenal dengan sebutan sastra rakyat yang dapat membentuk komponen budaya yang lebih mendasar, dan memiliki sifat-sifat sastra pada umumnya. Masyarakat yang belum mengenal huruf tidak memiliki sastra tertulis, tetapi mereka memiliki tradisi- tradisi lisan yang kaya dan beragam—seperti epik, cerita rakyat, peribahasa, dan lagu rakyat—yang secara efektif membentuk ―sastra lisan‖. Sekalipun hal-hal ini semua nantinya akan disatukan dan kemudian dicetak oleh para ahli cerita rakyat dan paremiografer, namun hasilnya masih akan disebutkan dengan "sastra lisan".

Masyarakat yang mengenal huruf, kemungkinan masih akan melanjutkan tradisi-tradisi lisan ini, dan biasanya dalam suatu keluarga (seperti pengantar tidur) atau jenis struktur sosial informal. Misalnya penyampaian legenda urban (tentang cerita penemuan tempat, kota atau daerah tertentu) dapatlah dianggap sebagai sebuah contoh sastra lisan, sebagaimana lelucon dan puisi lisan yang termasuk lomba puisi yang biasanya ditayangkan di Def Poetry. Puisi pertunjukkan adalah genre puisi yang menggantikan bentuk tertulisnya.

Sastra lisan dapat juga dikenal dengan kesusastraan yang mencangkup berbagai ekspresi kesusastraan rakyat serta kebudayaan yang selalu disebarkan secara lisan

(29)

dengan turun-temurun dari mulut ke mulut. Sastra lisan sendiri memiliki nilai-nilai yang luhur dalam masyarakat, lebih-lebih pada kebudayaan yang ada dalam masyarakat.

Dalam Ensiklopedi Sastra Indonesia, sastra lisan adalah hasil sastra lama yang disampaikan secara lisan, yang pada umumnya disampaikan dengan dendang, baik dengan iringan musik (rebab, kecapi, dll) ataupun tidak dengan iringan musik.

Karenanya, ciri dan karakteristik sastra lisan antara lain adalah sebagai berikut:

 Sastra lisan lahir dari kaum menengah ke bawah.

Bentuk dari sastra lisan ini disampaikan oleh para tetuah-tetuah kampung dulu sebelum anak cucu mereka tertidur di malam hari dengan kata lain cara pendistribusian sastra lisan ini melalui media lisan atau oral.

 Asal-usul dari sastra lisan tidak diketahui dari mana dan oleh siapa yang pertama kali membawakannya.

Ketika seseorang mencoba mencari sumber mengenai siapa yang pertama kali mencetuskan sastra-sastra lisan tersebut (cerita) kepada nenek dan orang tua, maka mereka pasti hanya menjawab, begitulah yang mereka terima dari orang tua mereka dahulu dan tidak pernah mengetahui asal yang jelas.

 Versi tentang sastra lisan ini ada banyak. Contohnya cerita Abu Nawas yang memiliki banyak versi di setiap penceritanya. Selain itu terkadang judul ceritanya juga sama tetapi akan berbeda ketika disampaikan oleh orang yang berbeda.

(30)

 Menggunakan bahasa lisan setiap hari.

 Penyebarannya dapat dilakukan dari mulut ke mulut, sebagaimana ekspresi budaya yang disebarkan baik dari segi waktu maupun ruang melalui mulut.

 Berasal dari masyarakat yang masih bercorak desa, masyarakat di luar kota, atau masyarakat yang belum mengenal huruf.

 Menggambarkan karakteristik dan ciri khas budaya satu masyarakat. Sastra lisan adalah warisan budaya yang menggambarkan masa lampau, tetapi menyebut pula hal-hal baru (sesuai dengan persoalan sosial), karena itu sastra lisan disebut juga fosil hidup.

 Bercorak puitis dan terdiri dari berbagai fersi. Sastra lisan disampaikan dalam bentuk puisi seperti: jampi, mantera, pantun, peribahasa, bahasa berirama, dan teka-teki, dll.

 Tidak mementingkan fakta atau kebenaran, lebih menekankan pada aspek khayalan, fantasi yang tidak diterima oleh masyarakat modern, tetapi mempunyai fungsi di masyarakat (seperti mitos).

 Dalam konteks Indonesia, sastra lisan umumnya berbentuk prosa, yaitu dongeng-dongeng dan prosa liris, yang berasal dari daerah-daerah, seperti: sastra kaba (Minangkabau), sastra pantun (Sunda), sastra kentrung dan sastra jemblung (Jawa).

 Sastra lisan dilahirkan di kalangan rakyat yang tidak mengetahui tulisan. Oleh karena itu, sastra lisan disebut juga sastra rakyat. Sastra rakyat merupakan

(31)

sebagian budaya rakyat yang merangkumi semua aspek tentang kehidupan suatu masyarakat.

 Sastra ini hanya bertumpu pada hasil kesusastraan yang bercorak pertuturan yang terdapat dalam suatu suku bangsa.

Sastra lisan ini juga adalah perwujudan sastra yang memiliki kekhasan. Ciri khusus sastra lisan bahwa jenis sastra ini kehadirannya melekat dengan ―artis‖. Hal ini berbeda dengan sastra tulis yang setelah selesai di tulis, maka sastra tersebut akan menjadi sastra ―yatim piatu‖

dan sang pengarang dianggap tewas sudah (the death of the author)—(Barthes, 1987:8).

Menurut Sudardi (2002:2), dalam hal komunikasi sastra lisan, terdapat empat unsur penting yang dapat digunakan demi tercapainya suatu komunikasi. Keempat unsur komunikasi tersebut harus hadir secara serempat dalam penyajian sastra lisan. Keempat unsur itu ialah: (a) artist; (b) story; (c) performance; dan (d) audience.

Artist (artis/seniman) adalah penyaji sastra lisan atau orang yang menyajikan sastra lisan. Artis dapatlah disejajarkan dengan pemancar. Artis ini dapat tunggal, tetapi dapat juga berkelompok. Dalam menyajikan sastra, seorang artis bisa menggunakan sarana utama berbentuk lisan. Sarana dilengkapi dengan gerakan, iringan. Dengan demikian perbedaan antara sastra tulis dan sastra lisan dapat menjadi jelas. Dalam sastra lisan, kehadiran artis itu mutlak, sementara dalam sastra tulis kehadiran artis (pengarang) sudah tereliminir.

(32)

Story, identik dengan pesan yang disampaikan.

Pesan ini disampaikan dalam bentuk kode-kode bahasa yang secara naluriah sudah dipahami baik oleh artis maupun audience. Story berupa cerita yang sumbernya berasal dari berbagai macam. Sumber bisa berupa cerita turun-menurun, cerita yang berkembang di masyarakat, cerita karangan, dan lain sebagainya.

Performance, adalah sebuah wujud nyata dari sastra lisan. Tidak ada sastra lisan tanpa performance.

Dalam hal ini performance dapat berupa pertunjukkan yang sederhana sampai pada pementasan yang hingar- bingar seperti dalam pementasan wayang, ketoprak, dan teater modern. Misalnya seorang ibu yang sementara bercerita kepada anaknya dalam rangka menurunkan cerita sebenarnya, ibu bisa memakai performance. Dalam bercerita, si ibu menggunakan berbagai kemampuannya bercerita, yaitu seperti mengubah volume suara, membuat peragaan dengan tangannya, serta mengubah nada suara, membuat perumpamaan, dan sebagainya.

Audience adalah suatu unsur yang harus terpenuhi dalam menyajikan suatu sastra lisan. Audience ini adalah penonton atau pendengar.

Ada banyak contoh sastra lisan, salah satu contoh sastra tutur ini adalah kentrung, yaitu suatu jenis sastra lisan berupa penceritaan lisan yang dilakukan oleh dalang kentrung yang kadang-kadang dibantu oleh panjak atau pengiring dalang. Di dalam menyampaikan cerita, dalang kentrung sering mengiringinya dengan tabuhan rebana dan gendang. Kentrung ini memiliki penyebaran di Jawa

(33)

Tengah dan Jawa Timur, terutama di wilayah pesisir. Di dalam menyampaikan cerita, dalang kentrung tidak menggunakan peraga.Kentrung biasanya menyampaikan cerita-cerita tradisionil yang diselingi dengan puisi-puisi Jawa (pantun). Pantun tersebut mengandung pesan yang bermacam-macam dan sering tidak ada kaitannya dengan jalan cerita. Isi pantunnya dapat berupa sindiran, nasihat, ratapan, dan sebagainya.

Pengungkapan sastra lisan dalam masyarakat, selalu dilaksanakan dengan gairah dan kreativitas yang menakjubkan, yang tentu saja bersifat estetis, simbolis dan metaforis. Di daerah pedesaan, penguasaan sastra lisan dan tradisional masih dianggap sebagai sebuah tolok ukur atas kepandaian dan tingginya kedudukan sosial seseorang. Sebaliknya, di derah perkotaan, dikalangan para kaum terpelajar, mendengarkan sastra lisan dari daerahnya sendiri sudah dianggap ketinggalan zaman.

Hal ini berarti penguasaan cipta sastra atau menikmati karya sastra kini tidak lagi menjadi tolok ukur dalam menilai kedudukan seseorang di masyarakat.

Pengajaran sastra di sekolah-sekolah formal, juga hanya merupakan bagian kecil dari mata pelajaran Bahasa Indonesia saja. Pelajaran sastra hanya terbatas pada suatu uraian definisi teori sastra saja. Pada titik ini, maka dunia pendidikan kita niscaya mengalami “cultural inferiority complex”, yang menganggap bahwa kebudayaan nenek moyang sendiri merupakan sesuatu yang statis, kaku, beku, terbelakang, tak sesuai dengan zaman.

(34)

Kerugian yang dapat ditimbulkan jika tradisi lisan mengalami kematian adalah kita akan kehilangan sebuah ensiklopedia sebuah masyarakat. Seharusnya sastra lisan bisa diamankan turun-temurun melalui berbagai tuturan lisan (dongeng, mitologi, mitos dsb).

B. Karya Sastra Tulis

Salah satu batasan sastra adalah segala sesuatu yang tertulis. Hal ini menurut Teeuw (1988), sesuai dengan pengertian sastra (literature) dalam bahasa Barat yang umumnya berarti segala sesuatu yang tertulis, pemakaian bahasa dalam bentuk tertulis.

Sastra tulis (written literature), adalah sastra yang menggunakan media tulisan atau literal. Sastra tulis ini dianggap sebagai suatu ciri sastra modern, karena bahasa tulisan dianggap sebagai refleksi peradaban masyarakat yang lebih maju. Pada akhirnya, proses pergeseran dari tradisi sastra lisan menuju sastra tulisan memang tidak dapat dihindari lagi. Karena sadar atau tidak sadar, bagaimanapun proses pertumbuhan sastra, nantinya akan mengarah dan berusaha menemukan bentuk yang lebih maju dan lebih sempurna sebagaimana yang terjadi pada bidang yang lainnya.

Dalam konteks global (dunia), sejarah mengenai tulisan mencatat perkembangan bahasa ekspresi dengan huruf atau tanda-tanda lainnya. Sejarah mencatat bahwa, bahasa juga telah berkembang secara berbeda pada tiap peradaban manusia.

Awal mulanya tulisan diketahui pada masa proto dengan suatu sistem ideografik dan simbol mnemonik.

(35)

Penemuan tulisan ini ditemukan pada dua tempat yang berbeda, yaitu di daerah Mesopotamia (khususnya Sumer kuno) yang diperkirakan pada sekitar tahun 3200 SM;

dan pada daerah Mesoamerika sekitar 600 SM. Dua belas naskah kuno Mesoamerika diketahui berasal dari Zapotec, Meksiko. Sementara itu, tempat berkembangnya tulisan masih menjadi perdebatan antara di Mesir yaitu sekitar 3200 SM atau di China pada 1300 SM (Wikipedia, 2014).

Sejarah tulisan terbagi menjadi dua masa, yaitu: (1) tulisan masa Perunggu; dan (2) tulisan masa Modern.

Tulisan masa Perunggu. Pada masa ini, tulisan mulai berkembang dengan berbagai variasi yang beraneka ragam. Bangsa Sumeria menciptakan tulisan cuneiform, sementara Mesir juga menciptakan tulisan hieroglif. Jenis tulisan lain yang berkembang juga pada masa ini adalah logograf dari Cina dan Naskah Olmec yang diciptakan oleh Mesoamerika.

Tulisan masa Modern. Masa ini ditandai dengan perkembangan teknologi yang muncul dan mengubah cara orang menulis. Beberapa penemuan yang menandai munculnya masa modern adalah pena, komputer, mesin cetak, serta telepon genggam. Kesemuanya merupakan titik awal perkembangan teknologi yang mempengaruhi cara menulis pada masa modern ini. Penulisan mulai dilakukan dengan cara-cara modern seperti menekan tombol dan tidak lagi dengan menggerakkan tangan.

Sementara awal sejarah sastra tulis di Indonesia (Melayu), menurut Sulastrin (1985), dapatlah ditelusuri dari abad ke-7 M, yaitu berdasarkan penemuan prasasti

(36)

bertuliskan huruf Pallawa peninggalan kerajaan Sriwijawa di Kedukan Bukit (683), Talang Tuo (684), Kota Kapur (686) dan Karang Berahi (686). Walaupun tulisan pada prasasti-prasasti tersebut masih terbilang pendek-pendek, namun prasasti-prasasti tersebut lebih merupakan benda peninggalan sejarah yang dapat dijadikan suatu cikal bakal lahirnya tradisi menulis atau sebuah bahasa yang dituangkan dalam bentuk tulisan.

Sastra tulis memiliki beberapa ciri khas yang dapat membedakannya dari sastra lisan, beberapa diantaranya adalah:

Pertama, media penyampaian karya sastra jenis ini adalah media tulis. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa simbol-simbol yang tergambar di beberapa gua merupakan cikal bakal munculnya sastra tulis ini. Salah satunya di Gua Leang-leang Maros yang merupakan cikal bakal munculnya legenda perburuan di sana.

Kedua, sastra tulis diketahui siapa pengarangnya.

Berbeda dengan sastra lisan yang kita tidak ketahui asal- usul pengarangnya siapa dan dimana.

Ketiga, sastra tulis memiliki versi yang tunggal.

Jelas bahwa ketika sebuah karya sastra di tulis pasti akan memiliki keunikan tersendiri. Ketika karya sastra tersebut diberikan kepada orang lain, maka mereka pun akan membaca bentuk, format, dan cerita yang sama.

Sedangkan menurut Teeuw (1988), ciri khas bahasa tulis terdiri dari 7 (tujuh) ciri dan karakteristiknya, yakni:

 Dalam bahasa tulis antara penulis dan pembaca kehilangan sarana komunikasi supra segmental

(37)

 Dalam bahasa tulis tidak ada hubungan fisik antara penulis dan pembaca

 Dalam teks-teks tertulis, penulis tidak hadir dalam situasi komunikasi

 Teks-teks tertulis dapat lepas dari kerangka referensi aslinya

 Bagi pembaca, tulisan dapat dibaca ulang

 Teks-teks tertulis dapat diproduksi dalam berbagai bentuk dan jangkauan komunikasi yang lebih luas

 Komunikasi menembus jarak ruang, waktu, dan kebudayaan.

Genre untuk sastra tulis dapat dijabarkan ke dalam sub-sub genre yang terdiri atas puisi tulis, prosa tulis, dan drama tulis. Dewasa ini, bentuk karya sastra yang paling diminat adalah cerpen dan novel.

Beberapa ahli membagi karya fiksi menjadi roman, cerita pendek, dan novel. Termasuk dalam klasifikasi novel adalah novelet.

Novelet yaitu novel pendek yang lebih panjang dari cerita pendek, roman adalah jenis cerita rekaan yang paling dulu muncul, disusul oleh cerita pendek dan baru kemudian muncul novel dan novelet. Bentuk novel ataupun novelet dan cerita pendek pada akhirnya banyak memenuhi sastra di Indonesia.

C. Perbedaan Sastra Lisan & Sastra Tulis Dari uraian-uraian sebelumnya tentang sastra lisan dan sastra tulis, terdapat 3 perbedaan mendasar yang

(38)

dapat diperbandingkan dari kedua bentuk karya sastra ini, yaitu sebagai berikut:

Perbedaan bentuk penyampaian. Sastra lisan berupa penuturan dari mulut ke mulut dan isinya dapat diketahui melalui tuturan. Sedangkan sastra tulis berupa tulisan yang dapat dilihat secara kasat mata bentuk isinya.

Perbedaan versi cerita. Sastra lisan memiliki banyak versi cerita sesuai siapa yang menuturkannya, sedangkan sastra tulis hanya memiliki satu versi tunggal.

Ketika karya sastra tulis ditunjukkan kepada orang lain akan mengetahui langsung bentuk, format, dan cerita yang sama.

Cara mengetahui sumber aslinya. Sastra lisan sulit untuk diketahui siapa penutur aslinya atau asal usul pengarang pertamanya, karena ia berupa tuturan yang sewaktu-waktu pada proses penuturan mudah terjadi pergeseran nama atau mudah dihasut. Sedangkan sastra tulis sangat mudah diketahui siapa penulis dan dari mana asal-usul pengarang aslinya. Nama pengarang dapat dibuktikan secara langsung dan kasat mata pada media yang digunakan untuk menulis.

3. Pembagian Genre Sastra

Pembagian genre sastra merupakan jenis-jenis sastra yang di runut berdasarkan runutan atau turunan dari kedua bentuk karya sastra yang sudah dibahas di bagian sebelumnya (karya sastra lisan dan karya sastra tulis).

Ada banyak pembagian genre sastra ini. Tentu saja hal ini lumrah saja, mengingat apa yang pernah diungkapkan

(39)

Wellek & Warren (1990) bahwa, jenis sastra bukanlah sesuatu yang tetap. Sebab dengan penambahan beberapa karya baru, terutama yang merombak sistem dan konvensi sastra sebelumnya, maka otomatis kategori penjenisan sastra pun bergeser. Hal ini penting dipahami agar tidak terjadi klaim-klaim yang menyesatkan.

A. Sastra Berdasarkan Bentuk Umum

Secara universal, bentuk umum sastra dapat terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu a) berdasarkan bentuk kesusteraan letak geografis; b) berdasarkan bentuk sastra.

a) Sastra berdasarkan Bentuk kesusteraan Berdasarkan kesusastraan, sastra dibagi menurut daerah geografis atau bahasanya, dan yang dapat termasuk dalam kategori sastra: (1) Novel; (2) Cerpen (tertulis/lisan); (3) Syair; (4) Pantun; (5) Sandiwara; (6) Lukisan.

Novel

Novel adalah sebuah narasi fiksi panjang yang menceritakan pengalaman manusia secara lebih dekat.

Novel di era modern biasanya menggunakan gaya prosa sastra, dan pengembangan novel bentuk prosa saat ini didukung dengan inovasi dalam dunia percetakan dengan munculnya kertas murah pada abad ke-15.

Kata ―novel‖ secara etimologis, berasal dari bahasa Italia ‗novella‘ yang artinya "baru", "berita", atau "cerita pendek mengenai sesuatu hal yang baru", dimana kata novella ini berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata: novella, dalam bentuk jamaknya dari novellus, yang disingkat novus, artinya "baru".

(40)

Novel saat ini adalah genre terpanjang dari fiksi prosa naratif, diikuti oleh novella, cerita pendek, dan fiksi kilat. Tapi, kritikus di abad ke-17 melihat panjang epos roman dan novel bersaing ketat. Tidak dapat ditetapkan definisi yang tepat mengenai perbedaan panjang antara kedua jenis fiksi tersebut. Syarat panjang novel secara tradisional berhubungan dengan pendapat bahwa sebuah novel harus mencakup "keseluruhan hidup." (Lukács György, 1971). Hingga saat ini, panjang sebuah novel masih terus menjadi bahan pembahasan penting, karena kebanyakan penghargaan sastra cenderung menggunakan panjang sebagai kriteria dalam sistem penilaian sebuah novel(Merriam Webster Inc., ed., 1995).

Cerpen (tertulis/lisan)

Cerita pendek yang juga sering sekali di singkat menjadi cerpen, adalah suatu bentuk prosa naratif fiktif.

Cerita pendek cenderung lebih padat dan langsung pada tujuannya, dibandingkan karya-karya fiksi lainnya yang lebih panjang, seperti novella (dalam pengertian modern) dan novel. Ceritanya bisa dalam berbagai jenis, namun terkesan kurang kompleks dibandingkan dengan novel.

Cerita pendek biasanya memusatkan perhatian pada satu kejadian, mempunyai satu plot, setting yang tunggal, jumlah tokoh yang terbatas, mencakup jangka waktu yang relatif singkat.

Karena saking singkatnya, maka bentuk cerita-cerita pendek juga sukses mengandalkan teknik-teknik sastra seperti tokoh, plot, tema, bahasa dan insight secara lebih luas jika dibandingkan dengan fiksi yang lebih panjang.

(41)

Cerita pendek berasal dari anekdot, sebuah situasi yang digambarkan singkat yang dengan cepat tiba pada tujuannya, dengan paralel pada tradisi penceritaan lisan.

Cerita pendek umumnya adalah suatu bentuk karangan fiksi. Cerpen yang biasanya paling banyak diterbitkan adalah fiksi, seperti fiksi ilmiah, fiksi horor, fiksi detektif, dll. Cerita pendek atau Cerpen, kini sudah mencakup juga bentuk nonfiksi seperti catatan perjalanan, prosa lirik dan varian-varian pasca modern serta non-fiksi seperti fikto- kritis atau jurnalisme baru.

Memang menjadi suatu problematik jika harus menetapkan apa yang memisahkan Cerpen dari format fiksi lainnya yang lebih panjang. Sebuah definisi klasik dari cerita pendek ialah bahwa ia harus dapat dibaca dalam waktu sekali duduk (terutama diajukan dalam esai Edgar Allan Poe "The Philosophy of Composition" yaitu pada tahun 1846)—(dalam Wikipedia, 2016).

Definisi-definisi lainnya juga menyebutkan batas panjang fiksi dari jumlah kata-katanya, yaitu 7.500 kata.

Dalam penggunaan kontemporer, istilah cerita pendek umumnya merujuk kepada karya fiksi yang panjangnya tidak lebih dari 20.000 kata dan tidak kurang dari 1.000 kata. Cerita yang pendeknya kurang dari 1.000 kata tergolong pada genre fiksi kilat (flash fiction). Sedangkan fiksi yang melampuai batas maksimum parameter cerita pendek, digolongkan ke dalam novelette, novella, atau novel. Dengan munculnya bentuk novel yang realistis, maka cerita pendek berkembang sebagai sebuah miniatur,

(42)

seperti contoh-contoh dalam cerita-cerita karya E.T.A.

Hoffmann dan Anton Chekhov.

Syair

Syair adalah salah satu jenis puisi lama yang tiap- tiap baitnya terdiri dari empat larik (baris) dan berakhir dengan bunyi yang sama. Kata "syair" secara etimologis, berasal dari bahasa Arab syu’ur yang berarti "perasaan", yang selanjutnya kata syu’ur ini mulai mengalami perkembangan menjadi kata syi’ru, yang berarti "puisi"

dalam pengertian umum.

Dalam kesusastraan Melayu, syair lebih merujuk pada pengertian puisi secara umum. Akan tetapi, dalam perkembangannya, syair tersebut mengalami perubahan dan modifikasi sehingga syair di desain sesuai dengan keadaan dan situasi yang terjadi. Di daerah Asia Tenggara, syair berkembang dan mengalami perubahan dan modifikasi, sehingga menjadi khas Melayu, dan tidak lagi mengacu pada tradisi sastra syair dari negeri Arab.

Penyair yang berperan besar dalam membentuk syair khas Melayu ini adalah Hamzah Fansuri dengan beberapa karyanya yaitu: Syair Perahu, Syair Burung Pingai, Syair Dagang, dan Syair Sidang Fakir.

Pantun

Pantun adalah salah satu dari jenis puisi lama yang sangat luas dikenal dalam bahasa-bahasa Nusantara.

Secara etimologis, istilah pantun ini berasal dari sebuah kata, yaitu ―patuntun‖, dalam bahasa Minangkabau yang berarti "petuntun". Dalam bahasa Jawa misalnya, dikenal sebagai parikan, sedangkan dalam bahasa Sunda dikenal

(43)

sebagai paparikan, bahasa Batak dikenal sebagai umpasa (baca:uppasa). Lazimnya pantun terdiri atas empat larik (atau empat baris bila dituliskan), setiap baris terdiri dari 8-12 suku kata, bersajak akhir dengan pola a-b-a-bdan a- a-a-a (tidak boleh a-a-b-b, atau a-b-b-a).

Pantun pada mulanya merupakan sebuah sastra lisan, namun sekarang dijumpai juga pantun yang tertulis.

Ciri lain dari sebuah pantun adalah pantun tidak terdapat nama penulis. Hal ini dikarenakan penyebaran pantun dilakukan secara lisan. Semua ragam bentuk dari pantun, terdiri atas dua bagian: sampiran dan isi. Sampiran merupakan dua baris pertama, dan kerap kali berkaitan dengan alam (mencirikan budaya agraris masyarakat pendukungnya), dan biasanya tidak memiliki hubungan dengan bagian kedua yang menyampaikan maksud selain untuk mengantarkan rima atau sajak.

Dua baris terakhir, merupakan isi yang adalah tujuan dari pantun tersebut. Karmina dan talibun adalah merupakan dua contoh dari bentuk kembangan pantun, yang dalam artian memiliki bagian sampiran dan isi.

Karmina merupakan pantun "versi pendek" (hanya dua baris), sedangkan talibun adalah "versi panjang" (enam baris atau lebih).

Sandiwara

Secara umum, istilah "sandiwara" dalam bahasa Indonesia diartikan sama dengan drama. Akan tetapi secara khusus, istilah sandiwara ini lebih mengacu kepada kesenian pertunjukan teater drama dalam bentuk-bentuk tradisional rakyat Indonesia, khususnya di daerah Jawa

(44)

Barat. Kelompok Sandiwara Sunda atau Sandiwara Indramayu dapat ditemukan di Jawa Barat (terutama sekitar Cirebon dan Indramayu) dan juga daerah Jakarta, salah satunya yang terkenal adalah kelompok Sandiwara Sunda Miss Tjitjih di daerah di Cempaka Baru Timur, Jakarta Pusat. Kisah sandiwara dapat bersifat percintaan, komedi, horor, tragedi, atau kisah roman sejarah.

Sandiwara atau sering disebut juga Lakon (Bahasa Jawa), atau pertunjukan drama, adalah suatu jenis cerita, bisa dalam bentuk tertulis ataupun tak tertulis, yang lebih ditujukan untuk dipentaskan daripada dibaca.

Lakon dalam bentuk tertulis, merupakan suatu jenis karya sastra yang terdiri dari dialog antar para pelakon dan latar belakang kejadian. Lakon tidak tertulis biasanya diambil dari cerita yang umum diketahui dan hanya dapat menjabarkan secara umum jalan cerita dan karakter- karakter dalam cerita tersebut.

Contoh karya lakon tertulis yang paling terkenal di dunia adalah Romeo and Juliet dari William Shakespeare.

Sebuah sandiwara bisa dilakukan dengan berdasarkan pada naskah (skenario) ataupun tidak. Apabila tidak, maka semuanya akan dipentaskan secara spontan dengan banyak improvisasi.

Lukisan

Manusia diperkirakan telah melukis selama 6 kali lebih lama dibandingkan denga penggunaan tulisan.

Sebagai contohnya, lukisan-lukisan yang berada di gua- gua tempat tinggal manusia prasejarah.

(45)

Lukisan merupakan sebuah karya seni yang proses pembuatannya dilakukan dengan memulaskan cat dengan alat kuas lukis, pisau palet atau peralatan lain pada suatu tempat (kertas, kayu, daun dll). Caranya yaitu dengan memulaskan berbagai warna dan nuansa gradasi warna, dengan kedalaman warna tertentu, juga komposisi warna tertentu, dari bahan warna pigmen warna dalam pelarut (atau medium) dan gen pengikat (lem) untuk pengencer air, gen pengikat berupa minyak linen untuk cat minyak yaitu dengan pengencer terpenthin, pada permukaan (penyangga) seperti kertas, kanvas, atau dinding.

Lukisan dilakukan oleh pelukis dengan kedalaman warna dan cita rasa pelukis, definisi ini digunakan terutama jika ia merupakan pencipta suatu karya lukisan.

Lukisan-lukisan tertua terdapat pada daerah di Chauvet Grotte di Perancis, yang di klaim beberapa sejarawan dari sekitar 32.000 tahun yang lalu. Lukisan itu diukir dan dicat menggunakan oker merah dan pigmen hitam dan menampakkan binatang seperti: kuda, badak, singa, kerbau, raksasa, desain abstrak dan sejenis sosok manusia parsial. Namun bukti paling awal penciptaan lukisan telah ditemukan di dua tempat penampungan batu di Arnhem Land, di Australia utara. Pada lapisan terendah material pada situsnya, tidak ada sama sekali digunakan potongan oker, yang diperkirakan 60.000 tahun. Para arkeolog juga menemukan sebuah fragmen dari lukisan batu yang diawetkan dalam batu kapur batu-tempat penampungan di wilayah Kimberley Utara-Australia Barat, yaitu pada 40 000 tahun silam.

(46)

Penemuan fotografi pada tahun 1829, dimana foto pertama diproduksi, memiliki dampak besar pada lukisan.

Dari pertengahan hingga akhir abad 19, proses fotografi ditingkatkan dan setelah tampak lebih luas, lukisan kehilangan banyak tujuan historisnya untuk memberikan catatan yang akurat dari dunia yang dapat diamati.

b) Sastra berdasarkan bentuk sastra

Sastra berdasarkan bentuk sastra, hanya terdiri dari 4 (empat) bagian penting, yaitu: prosa, puisi, prosa liris dan drama. Keempatnya dapat dijelaskan sebagai berikut:

Prosa, merupakan bentuk sastra yang diuraikan menggunakan bahasa bebas dan panjang, serta tidak terikat oleh aturan-aturan seperti dalam puisi. Karya sastra ini juga ditulis dengan menggunakan kalimat- kalimat yang disusun secara susul menyusul. Kalimat yang disusun membentuk kesatuan pikiran menjadi paragraf, dan paragraf membentuk bab atau bagian- bagian, dan seterusnya.

Puisi, adalah bentuk sastra yang diuraikan dengan menggunakan bahasa yang singkat dan padat serta indah.

Puisi merupakan karya sastra yang ditulis dengan bentuk larik-larik dan bait-bait. Untuk memahami makna sebuah puisi harus melalui proses perenungan dan pemikiran mendalam, karena yang dipakai pada puisi adalah makna konotasi. Puisi dapat dibagi menjadi dua periode yaitu puisi lama yang bentuknya sangat terikat dengan aturan- aturan persajakan, dan puisi baru yang bentuknya lebih bebas. Puisi lama terikat dengan kaidah-kaidah atau aturan tertentu, yaitu: 1) Jumlah baris tiap-tiap baitnya;

(47)

2) Jumlah suku kata atau kata dalam tiap-tiap kalimat barisnya; 3) Irama, 4) Persamaan bunyi kata. Bentuk sastra yang menyampaikan pesannya melalui penulisan bahasa yang singkat, padat, dan mengisi unsur estetiknya (indah).

Prosa liris, adalah bentuk sastra yang disajikan seperti bentuk puisi, namun menggunakan bahasa yang bebas terurai seperti pada prosa.

Drama, adalah bentuk sastra yang dilukiskan dengan menggunakan bahasa yang bebas dan panjang, serta disajikan menggunakan dialog atau monolog.

Perbedaan drama dengan puisi dan prosa adalah terletak pada tujuan dari penulisan naskahnya. Naskah drama di tulis dengan tujuan utama untuk dipentaskan, bukan untuk dibaca dan dihayati seperti pada prosa dan puisi.

B. Sastra Berdasarkan Bentuk Penyajian Jenis-jenis sastra berdasarkan bentuk penyajiannya, dapatlah dikelompokkan menjadi dua kelompok, yakni a) sastra imajinatif dan b) sastra non imajinatif.

a) Sastra Imajinatif

Sastra imajinatif berasal dari istilah ―imajinasi‖

yaitu dari kata imagination yang artinya angan-angan (khayalan). Karya sastra imajinatif merupakan karya sastra yang dituliskan dengan cara menggunakan daya khayal penulisnya, sehingga cerita dalam karya sastra imajinatif bukanlah suatu kejadian yang sebenarnya.

Karya sastra imajinatif, yaitu prosa, puisi, dan drama serta prosa liris.

(48)

b) Sastra non imajinatif

Sastra non imajinatif merupakan karya sastra yang ditulis tanpa menggunakan sifat khayalnya pengarang, sehingga cerita sastra non imajinatif merupakan cerita yang ditulis berdasarkan cerita nyata atau sebenarnya.

Sastra non-imajinatif adalah merupakan sastra yang lebih menonjolkan unsur kefaktualan daripada daya khayalnya dan ditopang dengan penggunaan bahasa yang cenderung denotatif (lugas dan objektif).

Dalam praktiknya, jenis sastra non-imajinatif ini terdiri atas karya-karya yang berbentuk esai, kritik, biografi, autobiografi, memoar, catatan harian, dan surat- surat. Sastra non-imajinatif memiliki beberapa ciri yang membedakannya dengan sastra imajinatif. Setidaknya terdapat dua ciri yang berkenaan dengan sastra tersebut.

Pertama, dalam karya sastra tersebut unsur faktualnya lebih menonjol daripada khayalinya. Kedua, bahasa yang digunakan cenderung denotatif dan kalaupun muncul konotatif, kekonotatifan tersebut amat bergantung pada gaya penulisan yang dimiliki pengarang. Persamaannya dengan sastra imajinatif, bahwa keduanya sama-sama memenuhi estetika seni, yaitu:

unity= keutuhan;

balance=keseimbangan;

harmony= keselarasan;

right emphasis = pusat penekanan suatu unsur.

C. Sastra Berdasarkan Tujuan Penulis

Sastra juga dikelompokkan menjadi dua kelompok sesuai dengan maksud atau tujuan penulis, yakni a) sastra

(49)

anak dan b) sastra dewasa. Maksudnya, terdapat penulis yang membuat karya sastra untuk orang dewasa, dan ada yang menulis karya sastra khusus untuk anak-anak.

a) Sastra anak

Sastra anak adalah sastra yang mengacu kepada dunia anak, yaitu tentang kehidupan anak, alur cerita anak, dan menggunakan bahasa anak. Secara emosional psikologis, sastra anak dapatlah ditanggapi dan dipahami oleh anak, dan pada umumnya berangkat dari fakta yang konkret dan mudah diimajinasikan.

Sastra anak ini dilakukan dengan bimbingan orang dewasa, misalnya dibaca anak dengan bimbingan dan pengarahan dari orang dewasa dalam keluarga maupun masyarakat. Penulisnya dilakukan oleh orang dewasa, ataupun juga oleh anak-anak yang sudah terlatih.

Jadi, sastra anak adalah sastra yang berisikan dunia anak dengan menggunakan bahasa mapun isi yang sederhana sehingga mudah dipahami dan diimajinasikan anak. Sastra anak terdiri dari rentang usia bayi sampai remaja, juga termasuk buku-buku ―berkualitas‖ baik, melalui prosa dan puisi, fiksi dan nonfiksi yang khusus berupa bacaan anak-anak.

Menurut Rebbeca Lukens (dalam Nurgiantoro, 2005:15-28), cerita anak ini terbagi menjadi enam jenis.

Jenis cerita anak tersebut adalah:

Jenis realisme. Dalam jenis realisme terbagi lagi ke dalam cerita realisme, realisme binatang, realisme historis, dan realisme olahraga.

(50)

Fiksi formula. Untuk fiksi formula terbagi atas cerita misteri dan detektif, cerita romantik, dan novel serial

Fantasi. Ada pula fantasi dapat dibedakan dari dua bentuk cerita fantasi, cerita fantasi tinggi, dan fiksi sains

Sastra tradisional. Jenis sastra tradisional yang terdiri dari fabel, mitos, dongeng rakyat (folklore), legenda, dan epos

 Puisi. Semua bentuk puisi di sini adalah puisi atau sajak yang berkaitan dengan dunia anak-anak.

Nonfiksi. Jenis nonfiksi dapat berupa buku informasi dan biografi para tokoh.

Semua jenis cerita anak yang telah disebutkan di atas adalah salah satu upaya mengenalkan berbagai hal kepada anak. Selain itu, dengan memberikan cerita anak, orang tua juga akan dengan mudah mengembangkan wawasan anak. Hal ini harus didukung penuh oleh orang tua atau orang yang lebih dewasa, karena anak usia dini menyerap berbagai hal dengan cepat.

Sastra anak dan sastra dewasa memiliki perbedaan dalam berbagai hal. Mulai dari bahasa yang digunakan, alur cerita, konflik yang diberikan, dan jenis cerita. Hal tersebut disesuaikan pula dengan sasaran dari para pembaca, sehingga tidak terjadi ketimpangan pemikiran.

b) Sastra Dewasa

Sastra dewasa adalah sastra yang berisi kehidupan manusia yang serba rumit dengan menggunakan bahasa maupun isi yang kompleks. Pada umunya, sastra dewasa

(51)

menceritakan tentang percintaan, kesenjangan sosial, ataupun masalah lainnya. Misalnya, Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Toer. Karya ini tidak bisa ditujukan pada anak-anak karena anak-anak masih memiliki pemikiran sederhana. Dalam hal ini terlihat bahwa sastra dewasa dan sastra anak mempunyai perbedaan sasaran pembaca. Sastra anak dibuat untuk menjadi bahan bacaan anak-anak, sedangkan sastra dewasa dibuat untuk dapat menjadi bahan bacaan orang dewasa.

D. Sastra Berdasarkan Isinya

Jika sastra dibedakan dari genre berdasarkan isi dari sebuah sastra, maka di lihat dari isinya, sastra terdiri atas 4 macam, yaitu : epik, lirik, didaktif, dan dramatik

Epik, adalah karangan yang melukiskan sesuatu secara obyektif tanpa mengikutkan pikiran dan perasaan pribadi pengarang.

Lirik, adalah karangan yang berisi curahan perasaan pengarang secara subyektif.

Didaktif, adalah karya sastra yang isinya mendidik penikmat/pembaca tentang masalah moral, tatakrama, masalah agama, dll.

Dramatik, adalah suatu karya sastra yang isinya melukiskan sesuatu kejadian(baik atau buruk) denan pelukisan yang berlebih-lebihan.

E. Sastra Berdasarkan Genre Sejarah

Jika sastra dilihat dari genre sejarahnya, maka sastra ini dapatlah dikelompokkan berdasarkan 3 (tiga) periodenya, yaitu sebagai berikut

(52)

Kesusastraan Lama, dimana kesusastraan lama adalah kesusastraan yang hidup dan berkembang pada masyarakat lama dalam sejarah bangsa Indonesia. Jadi kesusteraan lama adalah kesusastraan yang berkembang dalam masyarakat lama (purba) dalam sejarah bangsa Indonesia. Ada beberapa ciri dari sastra lama, yaitu pengarangnya yang tidak pernah diketahui identitasnya, Istana sentris (terpusat dan terikat pada kehidupan kerajaan), tema yang diangkat bukanlah hal yang nyata, karangannya berbentuk tradisi, perkembangan karnyanya statis, dan bahasa yang digunakan adalah kata-kata klise yang agak susah dimengerti maknanya. Kesusastraan Lama Indonesia dibagi menjadi :

 Kesusastraan zaman purba,

 Kesusastraan zaman Hindu Budha,

 Kesusastraan zaman Islam, dan

 Kesusastraan zaman Arab – Melayu.

Kesusastraan Peralihan, adalah kesusasteraan yang hidup di zaman Abdullah bin Abdulkadir Munsyi.

Karya-karya Abdullah bin Abdulkadir Munsyi ialah:

 Hikayat Abdullah

 Syair Singapura Dimakan Api

 Kisah Pelayaran Abdullah ke Negeri Jeddah

 Syair Abdul Muluk, dll.

Kesusastraan Baru, yaitu periode kesusastraan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat yang baru Indonesia (modern). Ciri-ciri dari kesusastraan modern antara lain pengarang sebuah karya dikenal oleh masyarakat luas, bahasa yang digunakan baru dan tidak

Referensi

Dokumen terkait

teori dan kritik sastra dengan sejarah, tetapi dari orang yang membuat kritik dengan menyerang pandangan orang lain, bahwa mereka gagal. dalam rnembuat hubungan dengan

Mata kuliah ini bertujuan memberikan kemampuan mahasiswa untuk memahami, menjelaskan, dan menganalisis pengertian sastra, teori sastra, sejarah sastra, kritik sastra,

Mata kuliah ini bertujuan memberikan kemampuan mahasiswa untuk memahami, menjelaskan, dan menganalisis pengertian sastra, teori sastra, sejarah sastra, kritik

Mata kuliah ini membahas tentang pengertian sejarah sastra, teori penyusunan sejarah sastra, sejarah sastra Jawa Kuna, Jawa Tengahan, Jawa Antara/Islam, Jawa Baru, Jawa

Sedangkan wilayah studi sastra (Teori sastra, sejarah sastra, dan sastra bandingan) secara tidak langsung berhubungan dengan penikmat, pembaca, atau masyarakat sastra melalui

Inilah ciri struktur estetik dari karya sastra puisi dan prosa Angkatan 45, yang membuat karya sastra Angkatan 45 menjadi karya sastra yang fenomenal dalam sejarah sastra

Hasil produk yang dikembangkan adalah bahan ajar teori dan sejarah sastra bagi peserta didik Bahasa Indonesia tingkat/semester awal. Produk diberi judul “Teosesa”

Robert J. Clements melihat sastra bandingan sebagai disiplin akademis yang memiliki pendekatan yang mencakup aspek (1) tema, (2) jenis/bentuk, (3) gerakan/trend, (4) keterhubungan sastra dengan disiplin dan media seni lain, dan (5) sejarah teori sastra. Obyek (1), (2), (3) dan (5) sebenarnya merupakan wilayah sastra. Teori-teori sastra dapat dimanfaatkan, terutama teori struktural, formalisme, semiotik, untuk membandingkan beberapa karya sastra. Yang diharapkan, kelak dapat menyusun pula sejarah sastra, kritik sastra, dan teori baru tentang sastra. Adapun obyek (4) merupakan analisis yang terkait dengan interdisipliner sastra. Bangunan teoritik yang dikehendaki merupakan studi sastra dalam multidisiplin. Sastra bandingan adalah studi sastra yang memiliki perbedaan bahasa dan asal negara dengan suatu tujuan untuk mengetahui dan menganalisis hubungan dan pengaruhnya antara karya yang satu terhadap karya yang lain, serta ciri-ciri yang dimilikinya (dalam Endraswara, 2011: 192). Pendapat ini lebih menekankan bahwa penelitian sastra bandingan harus berasal dari negara yang berbeda sehingga mempunyai bahasa yang berbeda pula. 3. Sapardi Djoko Damono Menurut Damono (2009:1) sastra bandingan adalah pendekatan dalam ilmu sastra yang tidak menghasilkan teori tersendiri. Boleh dikatakan teori apapun bisa dimanfaatkan dalam penelitian sastra bandingan juga disebut sebagai studi dan kajian. Dalam langkah-langkah yang dilakukannya, metode perbandinganlah yang utama. Lanjut Damono (2009:1) perbandingan yang sebenarnya merupakan salah satu metode juga selalu dilaksanakan dalam penelitian seperti halnya memberikan dan menguraikan, tetapi dalam sastra bandingan metode itu merupakan langkah utama. Jadi menurut Damono, sastra bandingan bukan hanya sekedar mempertentangkan dua sastra dari dua negara atau bangsa. Sastra bandingan juga tidak terpatok pada karya-karya besar walaupun kajian sastra bandingan sering kali berkenaan dengan penulis-penulis ternama yang mewakili suatu zaman. Kajian penulis baru yang belum mendapat pengakuan dunia pun dapat digolongkan dalam sastra bandingan. Batasan sastra bandingan tersebut menunjukkan bahwa perbandingan tidak hanya terbatas pada sastra antarbangsa, tetapi juga sesama bangsa sendiri, misalnya antarpengarang, antargenetik, antarzaman, antarbentuk, dan