• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Sastra Psikoanalisis

Dalam dokumen SEJARAH DAN TEORI SASTRA (Halaman 137-158)

Sastra dalam Teori

A. Teori Sastra Psikoanalisis

Masalah kebudayaan nasional, jati diri bangsa, dan sastra nasional, juga muncul di negara-negara bekas jajahan. Untuk memahami diri sendiri, seseorang perlu menengok ke luar dan membandingkan dirinya dengan keadaan di luar dirinya. Karena itu, maka tumbuhlah suatu sastra bandingan yang membandingkan karya-karya bekas jajahan dengan bekas penjajah dan juga antara sesama negara yang pernah di jajah.

2. Teori-Teori Sastra

Mengulas segala hal yang terkandung dalam sebuah karya sastra, pastinya akan turut pula membicarakan tentang teori sastra yang menjadi pendukung di dalamnya.

Sebagai tonggak utama berdirinya sebuah karya sastra, jelas kehadiran teori sastra menjadi bagian terpenting di dalamnya. Dalam karya sastra yang menggunakan bahasa Inggris, baik sastra Inggris maupun Amerika, masing-masing menganut teori yang sama dalam menjabarkan sebuah karya sastra.

Teori sastra sangatlah beragam. Beberapa diantara teori-teori besar dalam kesusastraan, akan dibahas pada bagian berikut ini. Diantaranya adalah: A) Teori Sastra Psikoanalisis; B) Teori Sastra Strukturalisme; C) Teori Sastra New Criticism; dan D) Teori Sosiologi Sastra.

baik itu tentang macam-macam gejalanya, prosesnya maupun latar belakangnya. Dengan singkat disebut ilmu jiwa. Berbicara tentang jiwa, terlebih dahulu kita harus dapat membedakan antara nyawa dan jiwa.

Nyawa merupakan daya jasmaniah yang tergantung pada hidup jasmani dan menimbulkan badaniah organik behavior, yaitu perbuatan yang ditimbulkan oleh proses belajar. Sedangkan jiwa adalah daya hidup rohaniah yang bersifat abstrak, dan menjadi penggerak serta pengatur perbuatan-perbuatan pribadi (personal behavior) dari hewan tingkat tinggi, yakni manusia.Sehingga pengertian psikologi dapat disimpulkan sebagai ilmu pengetahuan yang khusus mempelajari semua tingkah laku dan perbuatan individu yang tidak dapat dilepaskan dari lingkungannya.

Pada awalnya, psikoanalisis adalah sebuah metode psikoterapi yang dicetuskan oleh Sigmun Freud (1856-1939) untuk menyembuhkan penyakit-penyakit mental dan syaraf, dengan menggunakan teknik tafsir mimpi dan asosiasi bebas. Teori ini kemudian berkembang menjadi sebuah teori tentang kepribadian. Konsep-konsep yang terdapat dalam teori kepribadian versi psikoanalisis ini termasuk yang paling banyak dipakai di berbagai bidang hingga saat ini. Diantara berbagai aliran-aliran dalam psikologi, psikoanalisis adalah aliran yang paling akrab dengan kajian seni.

Sigmund Freud (pendiri psikoanalisis), merupakan orang yang menghargai kebudayaan, menyukai seni, dan gemar membaca sastra sejak muda. Tidak heran jika

kemudian ia membuat karya sastra sebagai sebuah medan penelitiannya, yang sekaligus ilustrasi demi untuk dapat membuktikan teori-teori yang dikembangkannya. Dalam karya-karya sastra besar, misalnya Oedipus (Sophokles), Hamlet (Shakespeare) dan karya The Brother Karamazov (Dostoyevsky), Freud banyak sekali menemukan tipe-tipe manusia yang sangat menyerupai pemikirannya.

Empat pemahaman mendasar terkait psikoanalisis dalam sastra adalah: Pemahaman pertama, adalah studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi.

Pemahaman kedua adalah studi proses yang kreatif.

Pemahaman ketiga adalah studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Pemahaman keempat yaitu mempelajari dampak sastra pada pembaca.

Namun, dari keempat pemahaman ini, yang digunakan dalam psikoanalisis adalah yang ketiga, karena sangat berkaitan dalam bidang sastra. Asal usul dan penciptaan karya sastra dijadikan pegangan dalam penilaian karya sastra itu sendiri. Jadi psikoanalisis sastra adalah studi tentang tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Menurut Ratna (2004:350), ―Psikologi Sastra adalah analisis teks dengan mempertimbangkan relevansi dan peranan studi psikologis‖. Artinya bahwa, psikologi turut berperan penting dalam menganalisis sebuah karya sastra dengan bekerja dari sudut kejiwaan karya sastra tersebut baik dari unsur pengarang, tokoh, maupun pembacanya.

Dengan dipusatkannya perhatian pada tokoh-tokoh, maka akan dapat dianalisis konflik batin yang terkandung

dalam karya sastra. Secara umum disimpulkan bahwa hubungan antara sastra dan psikologi sangat erat hingga melebur dan melahirkan ilmu baru yang disebut dengan

―Psikologi Sastra‖. Dalam pemahaman bahwa, dengan meneliti karya sastra melalui pendekatan Psikologi Sastra, maka secara tidak langsung kita telah membicarakan psikologi, karena dunia sastra tidak dapat dipisahkan dengan nilai kejiwaan yang tersirat dalam karya sastra.

Dengan demikian, definisi dari psikologis satra adalah kajian teori konsep psikologi yang diterapkan pada karya sastra, tentang pengarang dan penokohan. Namun dalam terapannya, psikologis sastra lebih memberikan pada unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang terkandung dalam karya sastra. Sehingga perlu dipahami bahwa, psikologis sastra tidak bermaksud memecahkan masalah psikologis praktis seperti kejiwaan manusia, tapi memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam karya sastra.

Walaupun lebih cenderung menyoroti pada tokoh fiksional dalam penerapannya—dimana dipengaruhi oleh analisis struktualisme yang beranggapan sudah terjadi penolakan terhadap objek manusia—maka unsur-unsur yang lebih berkaitan dengan pengarang dianggap sebagai kekeliruan biografis—menurut struktualisme, analisis karya sastra adalah analisis sastra secara otonom, karya sastra dianggap sebagai entitas yatim piatu.

Dengan ini, jelaslah bahwa, hubungan psikologi dan sastra sangat erat didalam menganalisis karya sastra.

Namun psikologi sastra lebih mengacu pada sastra bukan

pada psikologi praktis. Pada penerapannya sastra atau karya sastra-lah yang menentukan teori, bukan teori yang menentukan sastra. Teori psikoanalisis dapat dipandang sebagai teknik terapi dan aliran psikologi. Sebagai aliran psikologi, psikoanalisis berbicara mengenai kepribadian, khususnya dalam segi strukturnya, dinamikanya, dan perkembangannya. Dalam psikoanalisis dituntut untuk dapat mengungkapkan apakah teks sastra, hal-hal yang menyebabkan faktor kejiwaan dominan dalam teks sastra, tidak boleh terpaku pada kajian narasi dalam substansi karakter tokoh saja, melainkan mencermati apakah hal tersebut berhubungan dengan realitas atau tidak, serta sejauh mana pengarang mampu menghadirkan unsur-unsur di atas sebagai fenomena individual, atau sosial.

Sedangkan teori resepsi sastra, berbicara mengenai teks sastra dengan mempertimbangkan pembaca sebagai pemberi tanggapan. Teks sastra diteliti dalam kaitannya dengan pengaruh, yakni keberterimaan pembaca. Teori resepsi sastra merupakan suatu disiplin yang memandang penting peran pembaca dalam memberikan makna teks sastra. Berbicara tentang resepsi sastra atau cara seorang pembaca menerima dan memahami teks sastra, dapatlah merujuk teori Iser yang mengatakan bahwa teks sastra tidak dapat disamakan dengan objek-objek nyata yang mengandung makna tertentu. Hal ini disebabkan sifat karya sastra memiliki banyak tafsir.

a) Konsep Dasar Psikoanalisis Sastra

Menurut Freud (Alwisol, 2010:17), kehidupan jiwa memiliki tiga tingkat kesadaran, yaitu sadar (conscious),

prasadar (preconscious), dan tak sadar (unconscious).

Sampai dengan tahun 1920-an, teori tentang konflik kejiwaan hanya melibatkan ketiga unsur ini. Diantara ketiga lapisan ini, tak sadar adalah bagian terbesar yang sangat mempengaruhi setuap perilaku manusia. Freud menganalogikannya dengan fenomena gunung es di lautan. Bagian paling atas yang tampak di permukaan laut mewakili lapisan sadar. Sementara prasadar adalah bagian yang turun-naik di bawah dan di atas permukaan.

Sedangkan bagian terbesar justru yang berada di bawah laut, mewakili tak sadar.

Jadi, psikoanalisis memusatkan perhatiannya pada satu konsep yaitu ketidaksadaran. Freud mengatakan ketidaksadaran sebagai dimensi yang tidak bersuara, tersembunyi, atau merupakan realitas psikologis. Konsep ketidaksadaran ini selanjutnya dilanjutkan oleh Jacques Lacan dengan memtransformasikannya ke dalam bahasa, terutama dalam hal hasrat dan identitas.

Tiga Unsur Kepribadian

Selanjutnya pada tahun 1923, Freud mengenalkan tiga model struktural yang lain, yaitu id (es), ego (ich), dan superego (ueber Ich). Ketiga struktur baru ini tidak menggantikan struktur lama, tetapi hanya melengkapi gambaran mental saja, yang terutama dalam fungsi dan tujuannya. Freud menegaskan,..

“Psychoanalysis for literary studies were the enlarged conception of defense, the increased interest in early, pre-oedipal child development, and the structural hypothesis of id, ego, and superego.” (Norman N. Holland, 1999).

Freud berpendapat, teori kepribadian merupakan suatu sistem yang terdiri dari 3 unsur, yaitu: id, ego, dan super ego. Masing-masing dari ketiga unsur ini memiliki asal, aspek, fungsi, prinsip operasi, dan perlengkapannya sendiri-sendiri.

Id adalah aspek kepribadian yang dimiliki individu sejak lahir. Jadi id merupakan faktor pembawaan. Id merupakan aspek biologis dari kepribadian yang berupa dorongan-dorongan instintif yang fungsinya untuk mempertahankan keseimbangan. Misalnya rasa lapar dan haus mulai muncul jika tubuh membutuhkan makanan dan minuman. Dengan munculnya rasa lapar dan haus, individu akan mempertahankan keseimbangan hidupnya dengan berusaha memperoleh makanan dan minuman.

Id berfungsi atas prinsip kesenangan (pleasure principle), munculnya dorongan daripada manifestasi id, untuk membawa individu ke dalam keadaan seimbang. Jika ini terpenuhi, maka rasa puas atau senang akan diperoleh.

Perlengkapan yang dimiliki id, adalah berupa gerak-gerak refleks, yaitu gerakan yang bisa terjadi secara spontan, misalnya aktivitas bernafas untuk memperoleh oksigen dan kerdipan mata. Selain gerak refleks, id juga memiliki perlengkapan lainnya berupa proses primer, misalnya mengatasi lapar dengan membayangkan makanan.

Ego merupakan aspek kepribadian yang diperoleh sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungannya.

Menurut Freud, ego merupakan aspek psikologis dari kepribadian yang fungsinya mengarahkan individu pada realitas atas dasar prinsip realitas (reality principle).

Misalnya, ketika individu lapar secara realistis hanya dapat diatasi dengan makan. Dalam hal ini, ego muncul dengan mempertimbangkan bagaimana cara memperoleh makanan. Jika kemudian terdapat makanan, apakah makanan tersebut layak untuk dimakan atau tidak. Ego dalam berfungsinya melibatkan proses kejiwaan yang tidak simple dan untuk itu Freud menyebut perlengkapan untuk berfungsinya ego dengan proses sekunder.

Super Ego adalah merupakan aspek sosiologis dari kepribadian, yang isinya berupa nilai-nilai atau aturan-aturan yang sifatnya normatif. Super ego sederhana dapat diartikan sebagai representasi dari berbagai nilai dan hukum-hukum satu masyarakat dimana individu tersebut tinggal atau hidup. Super ego diperoleh seseorang melalui proses pendidikan, sosialisasi, perintah, dan larangan ataupun hukuman.

Naluri (instinct)

Selain ketiga konsep teori kepribadian di atas, Freud juga mengemukakan tentang naluri (instinct). Naluri diartikan sebagai manisfestasi dari ketegangan secara badaniah yang berusaha mencari peredam ketenganan.

Naluri merupakan sifat bawaan manusia.

Naluri dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu naluri ingin hidup (etos) atau naluri ingin mati (thantos).

Kekuatan sumber energi yang menggerakkan naluri adalah libido. Dalam hal ini, libido merupakan kekuatan yang mendorong manusia hidup. Freud menegaskan, energi libido dikembangkan dari tahapan psikobiologis

yang terpola secara genetik. Tahapan-tahapan ini sering disebut sebagai tahapan psikoseksual, antara lain:

Fase oral (0-1 tahun): Disini anak mendapatkan kenikmatan dan kepuasan dengan berorientasi pada mulut. Kontak sosial lebih bersifat fisik seperti menyusui.

Peran sosial dipegang oleh ibu.

Fase anal (1–3 tahun): Pada fase ini kenikmatan berpusat di daerah anus, seperti saat buang air besar.

Inilah saat untuk mengajarkan disiplin pada anak.

Fase falik (3–5 tahun): Pusat kepuasan fase ini adalah alat kelamin. Anak mulai tertarik pada perbedaan anatomis antara laki-laki dan perempuan, dan biasanya difigurkan oleh ayah dan ibu. Pada anak laki-laki terjadi Oedipus Kompleks atau gairah seksual.

Peride laten (5–12 tahun): Merupakan masa tenang dimana anak mulai mengembangkan kemampuan motorik dan kognitifnya. Anak mulai mencoba menekan rasa takut dan kecemasannya. Anak mulai mencari fugur ideal saat ia dewasa, homoseksual alami bisa terlihat pada masa ini.

Fase genital (> 12 tahun): Tahap kematangan pada alat reproduksi, pusat kepuasaan berada di daerah kelamin. Di sini libido mulai diarahkan untuk hubungan heteroseksual. Dan mulai merasakan cinta ke lawan jenis.

b) Hubungan Psikoanalisis dan Sastra

Hadirnya Freud dalam penelitian psikologi sastra tidak bisa dibantah lagi. Dia seakan menjadi pusat dari semua psikologi sastra, karena sampai saat ini, teori yang

paling banyak digunakan dalam pendekatan ataupun penelitian psikologi adalah teori psikolanalisisnya.

Pondasi teori Freud ini, hakekatnya terletak pada persoalan keinginan-keinginan yang tertunda atau dialihkan, sehingga menyebabkan sebuah kecemasan.

Keinginan-keinginan yang diungkapkan tersebut salah satu wujudnya adalah ―bahasa‖ yang dianggap sebagai bentuk ketidaksadaran dari sang pemiliknya.

Hubungan antara psikoanalisis dan sastra, dapatlah diletakkan pada 3 fokus yaitu: (1) Ketidaksadaran dalam teks yang menjadi wakil dari kepribadian penciptanya, bukan teks itu sendiri, dari sang pengarang, yang tidak hanya dihubungkan melalui teks; (2) Hubungan antara teks dan pembaca; (3) Hubungan antara pengarang dan keaktivitasnya yang dilambangkan sebagai pemimpin dari teksnya.

Dalam buku Freud yang berjudul Repression(1915), dikatakan bahwa pikiran yang tidak sadar mampu mengungkapkan dirinya dalam bentuk yang lain atau dalam satu tindakan-tindakan, kata-kata, fantasi-fantasi mental, dalam mana arti dari keadaan tersebut dapat diketahui melalui kesadaran ataupun penyaringan dari jiwa. Dimana dalam bukunya, Freud menuangkan semua bentuk mimpi, fantasi, mite sebagai bahan dasar dari ketidaksadaran dalam bentuk bahasa. Sehingga pada titik ini, psikoanalisis memiliki beberapa ragam pengertian, diantaranya sebuah praktik psikologi dan sebagai teori.

Itu sebabnya, psikoanalisis berdasarkan pemikiran pada

proses bawah sadar yang membentuk perilaku dan segala penyimpangan perilaku sebagai akibat proses tak sadar.

Jadi, teori ini lebih berhubungan dengan fungsi dan perkembangan mental manusia, seperti yang diutarakan Mario Klare sebagai berikut:

Psychoanalytic literary criticism, a movement which sometimes deals with the author, but primarily attempts to illuminate general psychological aspects in a text that do not necessarily relate to the author exclusively. Under the influence of Sigmund Freud (1856–1939), psychoanalytic literary criticism expanded the study of psychological features beyond the author to cover a variety of intrinsic textual aspects. For instance, characters in a text can be analyzed psychologically, as if they were real people (Mario Klarer, 2004:91).

Apa yang diuraikan oleh Klare di atas, membawa pemahaman bahwa, tujuan teori psikoanalisis adalah untuk bekerja menuju pemahaman tentang psikoanalisis melalui konsep pusat, alam bawah sadar, yang mengakui dan masuk akal dari ketidaksepakatan yang mengakar tentang apa prinsip-prinsip dasar yang berada. Kesadaran adalah bagian kecil dari kehidupan mental. Sedangkan bagian besarnya adalah ketaksadaran atau tak sadar.

Ketika seorang pengarang menciptakan tokoh, kadang ia

―bermimpi‖ seperti realitas. Semakin jauh lagi, pengarang sering ―gila‖, sehingga yang diekspresikannya tampak seakan-akan lahir bukan dari kesadarannya.

Psikologi sastra akan mengungkapkan psikoanalisa kepribadian yang dipandang meliputi tiga unsur kejiwaan, yaitu id, ego, dan super ego. Ketiga sistem kepribadian ini satu sama lain saling berkaitan serta membentuk totalitas,

dan tingkah laku manusia yang juga merupakan produk interaksi ketiganya.

Id (das es) adalah sistem kepribadian manusia yang paling mendasar. Id merupakan acuan penting untuk memahami mengapa seniman atau sastrawan menjadi kreatif. Melalui id pula, sastrawan mampu menciptakan simbol-simbol tertentu dalam karyanya. Jadi apa yang kemudian dinamakan novel psikologis misalnya, ternyata karya yang dikerjakan berdasarkan interpretasi psikologis yang sebelumnya telah menerima perkembangan watak untuk kepentingan struktur plot. Id adalah aspek-aspek kepribadian yang ―gelap‖ dalam bawah sadar manusia, yang berisikan insting dan nafsu-nafsu tak kenal nilai dan agaknya berupa ―energy buta‖.

Dalam perkembangan selanjutnya, tumbuh ego yang perilakunya lebih didasarkan atas prinsip kenyataan.

Sementara super ego berkembang mengontrol dorongan-dorongan ―buta‖ id tersebut. Hal ini berarti ego (das ich) merupakan sistem kepribadian yang bertindak sebagai pengarah individu pada dunia objek dari kenyataan, dan menjalan fungsinya berdasarkan prinsip kenyataan. Ego adalah kepribadian implementatif, berupa kontak dengan dunia luar.

Adapun super ego (das ueber ich) adalah sistem kepribadian yang berisikan nilai-nilai atau aturan yang bersifat evaluatif (menyangkut baik buruk).

Jadi, hubungan antara sastra dengan psikoanalisa di sini adalah sebagai berikut:

Pertama, ada kesamaan antara hasrat-hasrat yang tersembunyi manusia yang menyebabkan kehadiran karya sastra yang mampu menyentuh perasaan seseorang, karena karya sastra itu memberikan jalan keluar terhadap hasrat-hasrat rahasia tersebut.

Kedua, ada kesejajaran antara mimpi dan sastra, dalam hal ini seseorang dapat menghubungkan elaborasi karya sastra dengan proses elaborasi mimpi, yang oleh Freud disebut ―pekerjaan mimpi‖. Baginya, mimpi seperti tulisan, yaitu sistem tanda yang menunjuk pada sesuatu yang berbeda dengan tanda-tanda itu sendiri. Keadaan orang yang bermimpi adalah seperti penulis yang mampu menyembunyikan pikiran-pikirannya.

Proses kreativitas penulis menciptakan karyanya, sangat dipengaruhi oleh sistem sensor intern yang mendorongnya menyembunyikan atau memutarbalikkan hal-hal penting yang ingin dikatakan dan mendorongnya untuk mengatakan dalam bentuk tak langsung atau telah di ubah. Jadi karya sastra merupakan ungkapan kejiwaan pengarang, dalam gambaran emosi dan pemikirannya.

Psikologi (psikoanalisis) dapat saja mempengaruhi kejiwaan siapa pun termasuk para tokoh-tokoh sastra.

Psikoanalisis juga sering merangsang ―keadaan jiwa‖

pencipta sehingga muncul ide teks sastra. Bahkan istilah semacam ini dapat dikatakan sebagai ―genetik‖ kelahiran sastra (puisi). Untuk menulis puisi yang baik, penyair harus berada pada keadaan jiwa tertentu. Hal ini berarti memang benar pernyataan freud yang bahkan penyair kadang-kadang menjadi seorang ―pelamun‖ yang lari dari

kenyataan hidup. Baginya, kreativitas adalah sebuah pelarian (escapism). Keadaan serupa yang mengarah pada studi psikologi sastra terhadap proses kreatif pengarang.

Kepribadian seorang pengarang akan tampak juga dalam kejiwaan karyanya. Karya sastra menjadi ―objek‖

ekspresi kejiwaan seorang pengarang untuk meluapkan isi hatinya. Gerakan jiwa dapat menjadi pendorong lahirnya sebuah karya sastra dan memfokuskan diri pada berbagai hal menyangkut kejiwaan seorang pengarang sebagai seorang pribadi.

c) Kegunaan Psikologi Sastra

Psikologi sastra tidak menganalisis kebenaran psikologis, tapi lebih mempertimbangkan kerelevansian dan peran studi psikologi. Dengan memusatkan perhatian pada tokoh, maka dapat dianalisis konflik batin, yang bertentangan dengan teori psikologis. Dalam hal tersebut tentulah tidak begitu saja terlihat dengan kasat mata, namun dengan meneliti sastra beserta teori psikologis yang relevan.

Psikologi/psikoanalisis, dapat mengklasifikasikan pengarang berdasar tipe psikologi dan tipe fisiologisnya.

Psikoanalasisis dapat pula menguraikan kelainan jiwa bahkan alam bawah sadarnya. Bukti-bukti itu diambil dari dokumen di luar karya sastra atau dari karya sastra itu sendiri. Untuk menginteprestasikan karya sastra sebagai bukti psikologis, psikolog perlu mencocokannya dengan dokumen-dokumen diluar karya sastra.

Psikoanalisis dapat digunakan untuk menilai karya sastra karena psikologi dapat menjelaskan proses kreatif.

Misalnya, kebiasaan seorang pengarang merevisi dan menulis kembali karyanya. Yang lebih bermanfaat dalam psikoanalisis adalah studi mengenai perbaikan naskah, koreksi, dan seterusnya. Hal ini, berguna karena jika dipakai dengan tepat, dapat membantu melihat keretakan (fissure), ketidakteraturan, perubahan, dan distorsi yang sangat penting dalam suatu karya sastra.

d) Proses Kreatif Sastra dalam Psikoanalisis Psikoanalisis dapatlah menyimpulkan proses kreatif (proses terciptanya) karya sastra ke dalam dua cara, yaitu sebagai berikut:

Sublimasi

Konsep sublimasi berhubungan dengan konsep ketidaksadaran (tafsir mimpi). Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, bahwa dalam lapisan tak sadar manusia terdapat id yang selalu menginginkan pemuasan dan kesenangan. Seringkali keinginan id itu bertentangan dengan superego maupun norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Karenanya, keinginan tidak mungkin direalisasikan, kecuali orang tersebut mau dianggap tidak sopan, jahat, dsb. Tetapi dorongan-dorongan tersebut tetap harus dipuaskan.

Tetapi agar dapat diterima oleh norma masyarakat, dorongan-dorongan itu lalu dialihkan ke dalam bentuk lain yang berbeda sama sekali, misalnya dalam bentuk karya seni, ilmu, atau aktivitas olah raga. Proses pengalihan dorongan id ke dalam bentuk yang dapat diterima masyarakat inilah yang disebutkan sublimasi.

Jadi sublimasi dapat menjadi akar kebudayaan manusia.

Dalam sublimasi, juga terkandung kreativitas atau kemampuan menghasilkan suatu yang baru. Puisi, novel, lukisan, teori keilmuan, olah raga, pembuatan peralatan teknik, bahkan agama, sebenarnya merupakan bentuk lain dari dorongan-dorongan id yang telah dimodifikasi.

Asosiasi

Disamping teknik tafsir mimpi, teknik terapi yang juga dikembangkan Freud dalam psikoanalisisnya adalah asosiasi bebas (free association). Asosiasi bebas adalah pengungkapan atau pelaporan mengenai hal apapun yang masuk dalam ingatan seseorang yang tengah dianalisis, tanpa menghiraukan betapa hal ini akan menyakitkan hati atau memalukan. Dalam situasi terapi, biasanya pasien berada dalam posisi berbaring santai di atas ranjang, dan terapis duduk di sampingnya.

Terapis memerintahkan pasien untuk mengucapkan hal apapun yang terlintas dalam pikirannya. Jika pasien agak sulit mengatakan sesuatu, terapis bisa membantu merangsang asosiasi pada pikiran pasien dengan mengucapkan kata-kata tertentu. Asosiasi bebas, atau

―asosiasi‖ saja, sebenarnya merupakan suatu teknik yang lama dipraktikkan oleh para seniman dan pengarang untuk memeroleh ilham.

Ketika proses penulisan dimulai, pengarang yang menggunakan teknik asosiasi akan menuliskan apa saja yang masuk ke dalam pikirannya. Setelah ilhamnya habis, barulah ia kemudian memeriksa tulisannya dan mengedit, menambah atau mengurangi, dan menentukan sentuhan

akhir. Seringkali dalam melakukan asosiasi ini, pengarang mengingat-ingat segala kejadian yang pernah dialaminya, khususnya kejadian masa anak-anak, atau memunculkan kembali pikiran-pikiran dan imajinasinya yang paling liar.

Itulah dorongan id yang sedang dipanggil kembali.

Pada sebagian pengarang, asosiasi dapatlah dibantu pemunculannya dengan melakukan ―ritual‖ tertentu, atau memilih waktu-waktu dan tempat tertentu, yang khas bagi pengarang, sehingga ide atau ilhamnya dengan mudah mengalir. Dalam hal ini, Wellek & Warren (2013) memberikan contoh-contoh menarik dari kebiasaan aneh para pengarang: Schiller suka menaruh apel busuk di atas meja kerjanya. Balzac menulis sambil memakai baju biarawan. Marcel Proust dan Mark Twain menulis sambil berbaring di ranjang. Sementara pengarang di negeri kita, misalnya Emha Ainun Najib suka menulis dengan menggunakan kertas warna-warni. Sewaktu di Bloomington, Budi Darma senang berjalan-jalan tidak tentu arah tujuan, sekadar menikmati pemandangan yang ada di sekelilingnya. Ada pengarang yang lebih terinspirasi jika menulis di malam hari, ada juga yang lebih suka menulis di pagi hari atau senja hari. Ada yang hanya bisa menulis di tempat sepi, ada juga yang suka menulis di tempat ramai seperti di kafe. Semuanya bergantung kebiasaan pengarang yang bersangkutan.

Itulah diantaranya konsep-konsep psikoanalisis yang dapat dihubungkan dengan seni sastra. Berdasarkan teori Freud, sedikit dapat disimpulkan bahwa sumber ide karya seni adalah id yang berada dalam ketidaksadaran

Dalam dokumen SEJARAH DAN TEORI SASTRA (Halaman 137-158)