• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sastra Berdasarkan Bentuk Umum

Dalam dokumen SEJARAH DAN TEORI SASTRA (Halaman 39-47)

Lisan & Tulis

A. Sastra Berdasarkan Bentuk Umum

Secara universal, bentuk umum sastra dapat terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu a) berdasarkan bentuk kesusteraan letak geografis; b) berdasarkan bentuk sastra.

a) Sastra berdasarkan Bentuk kesusteraan Berdasarkan kesusastraan, sastra dibagi menurut daerah geografis atau bahasanya, dan yang dapat termasuk dalam kategori sastra: (1) Novel; (2) Cerpen (tertulis/lisan); (3) Syair; (4) Pantun; (5) Sandiwara; (6) Lukisan.

Novel

Novel adalah sebuah narasi fiksi panjang yang menceritakan pengalaman manusia secara lebih dekat.

Novel di era modern biasanya menggunakan gaya prosa sastra, dan pengembangan novel bentuk prosa saat ini didukung dengan inovasi dalam dunia percetakan dengan munculnya kertas murah pada abad ke-15.

Kata ―novel‖ secara etimologis, berasal dari bahasa Italia ‗novella‘ yang artinya "baru", "berita", atau "cerita pendek mengenai sesuatu hal yang baru", dimana kata novella ini berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata: novella, dalam bentuk jamaknya dari novellus, yang disingkat novus, artinya "baru".

Novel saat ini adalah genre terpanjang dari fiksi prosa naratif, diikuti oleh novella, cerita pendek, dan fiksi kilat. Tapi, kritikus di abad ke-17 melihat panjang epos roman dan novel bersaing ketat. Tidak dapat ditetapkan definisi yang tepat mengenai perbedaan panjang antara kedua jenis fiksi tersebut. Syarat panjang novel secara tradisional berhubungan dengan pendapat bahwa sebuah novel harus mencakup "keseluruhan hidup." (Lukács György, 1971). Hingga saat ini, panjang sebuah novel masih terus menjadi bahan pembahasan penting, karena kebanyakan penghargaan sastra cenderung menggunakan panjang sebagai kriteria dalam sistem penilaian sebuah novel(Merriam Webster Inc., ed., 1995).

Cerpen (tertulis/lisan)

Cerita pendek yang juga sering sekali di singkat menjadi cerpen, adalah suatu bentuk prosa naratif fiktif.

Cerita pendek cenderung lebih padat dan langsung pada tujuannya, dibandingkan karya-karya fiksi lainnya yang lebih panjang, seperti novella (dalam pengertian modern) dan novel. Ceritanya bisa dalam berbagai jenis, namun terkesan kurang kompleks dibandingkan dengan novel.

Cerita pendek biasanya memusatkan perhatian pada satu kejadian, mempunyai satu plot, setting yang tunggal, jumlah tokoh yang terbatas, mencakup jangka waktu yang relatif singkat.

Karena saking singkatnya, maka bentuk cerita-cerita pendek juga sukses mengandalkan teknik-teknik sastra seperti tokoh, plot, tema, bahasa dan insight secara lebih luas jika dibandingkan dengan fiksi yang lebih panjang.

Cerita pendek berasal dari anekdot, sebuah situasi yang digambarkan singkat yang dengan cepat tiba pada tujuannya, dengan paralel pada tradisi penceritaan lisan.

Cerita pendek umumnya adalah suatu bentuk karangan fiksi. Cerpen yang biasanya paling banyak diterbitkan adalah fiksi, seperti fiksi ilmiah, fiksi horor, fiksi detektif, dll. Cerita pendek atau Cerpen, kini sudah mencakup juga bentuk nonfiksi seperti catatan perjalanan, prosa lirik dan varian-varian pasca modern serta non-fiksi seperti fikto-kritis atau jurnalisme baru.

Memang menjadi suatu problematik jika harus menetapkan apa yang memisahkan Cerpen dari format fiksi lainnya yang lebih panjang. Sebuah definisi klasik dari cerita pendek ialah bahwa ia harus dapat dibaca dalam waktu sekali duduk (terutama diajukan dalam esai Edgar Allan Poe "The Philosophy of Composition" yaitu pada tahun 1846)—(dalam Wikipedia, 2016).

Definisi-definisi lainnya juga menyebutkan batas panjang fiksi dari jumlah kata-katanya, yaitu 7.500 kata.

Dalam penggunaan kontemporer, istilah cerita pendek umumnya merujuk kepada karya fiksi yang panjangnya tidak lebih dari 20.000 kata dan tidak kurang dari 1.000 kata. Cerita yang pendeknya kurang dari 1.000 kata tergolong pada genre fiksi kilat (flash fiction). Sedangkan fiksi yang melampuai batas maksimum parameter cerita pendek, digolongkan ke dalam novelette, novella, atau novel. Dengan munculnya bentuk novel yang realistis, maka cerita pendek berkembang sebagai sebuah miniatur,

seperti contoh-contoh dalam cerita-cerita karya E.T.A.

Hoffmann dan Anton Chekhov.

Syair

Syair adalah salah satu jenis puisi lama yang tiap-tiap baitnya terdiri dari empat larik (baris) dan berakhir dengan bunyi yang sama. Kata "syair" secara etimologis, berasal dari bahasa Arab syu’ur yang berarti "perasaan", yang selanjutnya kata syu’ur ini mulai mengalami perkembangan menjadi kata syi’ru, yang berarti "puisi"

dalam pengertian umum.

Dalam kesusastraan Melayu, syair lebih merujuk pada pengertian puisi secara umum. Akan tetapi, dalam perkembangannya, syair tersebut mengalami perubahan dan modifikasi sehingga syair di desain sesuai dengan keadaan dan situasi yang terjadi. Di daerah Asia Tenggara, syair berkembang dan mengalami perubahan dan modifikasi, sehingga menjadi khas Melayu, dan tidak lagi mengacu pada tradisi sastra syair dari negeri Arab.

Penyair yang berperan besar dalam membentuk syair khas Melayu ini adalah Hamzah Fansuri dengan beberapa karyanya yaitu: Syair Perahu, Syair Burung Pingai, Syair Dagang, dan Syair Sidang Fakir.

Pantun

Pantun adalah salah satu dari jenis puisi lama yang sangat luas dikenal dalam bahasa-bahasa Nusantara.

Secara etimologis, istilah pantun ini berasal dari sebuah kata, yaitu ―patuntun‖, dalam bahasa Minangkabau yang berarti "petuntun". Dalam bahasa Jawa misalnya, dikenal sebagai parikan, sedangkan dalam bahasa Sunda dikenal

sebagai paparikan, bahasa Batak dikenal sebagai umpasa (baca:uppasa). Lazimnya pantun terdiri atas empat larik (atau empat baris bila dituliskan), setiap baris terdiri dari 8-12 suku kata, bersajak akhir dengan pola a-b-a-bdan a-a-a-a (tidak boleh a-a-b-b, atau a-b-b-a).

Pantun pada mulanya merupakan sebuah sastra lisan, namun sekarang dijumpai juga pantun yang tertulis.

Ciri lain dari sebuah pantun adalah pantun tidak terdapat nama penulis. Hal ini dikarenakan penyebaran pantun dilakukan secara lisan. Semua ragam bentuk dari pantun, terdiri atas dua bagian: sampiran dan isi. Sampiran merupakan dua baris pertama, dan kerap kali berkaitan dengan alam (mencirikan budaya agraris masyarakat pendukungnya), dan biasanya tidak memiliki hubungan dengan bagian kedua yang menyampaikan maksud selain untuk mengantarkan rima atau sajak.

Dua baris terakhir, merupakan isi yang adalah tujuan dari pantun tersebut. Karmina dan talibun adalah merupakan dua contoh dari bentuk kembangan pantun, yang dalam artian memiliki bagian sampiran dan isi.

Karmina merupakan pantun "versi pendek" (hanya dua baris), sedangkan talibun adalah "versi panjang" (enam baris atau lebih).

Sandiwara

Secara umum, istilah "sandiwara" dalam bahasa Indonesia diartikan sama dengan drama. Akan tetapi secara khusus, istilah sandiwara ini lebih mengacu kepada kesenian pertunjukan teater drama dalam bentuk-bentuk tradisional rakyat Indonesia, khususnya di daerah Jawa

Barat. Kelompok Sandiwara Sunda atau Sandiwara Indramayu dapat ditemukan di Jawa Barat (terutama sekitar Cirebon dan Indramayu) dan juga daerah Jakarta, salah satunya yang terkenal adalah kelompok Sandiwara Sunda Miss Tjitjih di daerah di Cempaka Baru Timur, Jakarta Pusat. Kisah sandiwara dapat bersifat percintaan, komedi, horor, tragedi, atau kisah roman sejarah.

Sandiwara atau sering disebut juga Lakon (Bahasa Jawa), atau pertunjukan drama, adalah suatu jenis cerita, bisa dalam bentuk tertulis ataupun tak tertulis, yang lebih ditujukan untuk dipentaskan daripada dibaca.

Lakon dalam bentuk tertulis, merupakan suatu jenis karya sastra yang terdiri dari dialog antar para pelakon dan latar belakang kejadian. Lakon tidak tertulis biasanya diambil dari cerita yang umum diketahui dan hanya dapat menjabarkan secara umum jalan cerita dan karakter-karakter dalam cerita tersebut.

Contoh karya lakon tertulis yang paling terkenal di dunia adalah Romeo and Juliet dari William Shakespeare.

Sebuah sandiwara bisa dilakukan dengan berdasarkan pada naskah (skenario) ataupun tidak. Apabila tidak, maka semuanya akan dipentaskan secara spontan dengan banyak improvisasi.

Lukisan

Manusia diperkirakan telah melukis selama 6 kali lebih lama dibandingkan denga penggunaan tulisan.

Sebagai contohnya, lukisan-lukisan yang berada di gua-gua tempat tinggal manusia prasejarah.

Lukisan merupakan sebuah karya seni yang proses pembuatannya dilakukan dengan memulaskan cat dengan alat kuas lukis, pisau palet atau peralatan lain pada suatu tempat (kertas, kayu, daun dll). Caranya yaitu dengan memulaskan berbagai warna dan nuansa gradasi warna, dengan kedalaman warna tertentu, juga komposisi warna tertentu, dari bahan warna pigmen warna dalam pelarut (atau medium) dan gen pengikat (lem) untuk pengencer air, gen pengikat berupa minyak linen untuk cat minyak yaitu dengan pengencer terpenthin, pada permukaan (penyangga) seperti kertas, kanvas, atau dinding.

Lukisan dilakukan oleh pelukis dengan kedalaman warna dan cita rasa pelukis, definisi ini digunakan terutama jika ia merupakan pencipta suatu karya lukisan.

Lukisan-lukisan tertua terdapat pada daerah di Chauvet Grotte di Perancis, yang di klaim beberapa sejarawan dari sekitar 32.000 tahun yang lalu. Lukisan itu diukir dan dicat menggunakan oker merah dan pigmen hitam dan menampakkan binatang seperti: kuda, badak, singa, kerbau, raksasa, desain abstrak dan sejenis sosok manusia parsial. Namun bukti paling awal penciptaan lukisan telah ditemukan di dua tempat penampungan batu di Arnhem Land, di Australia utara. Pada lapisan terendah material pada situsnya, tidak ada sama sekali digunakan potongan oker, yang diperkirakan 60.000 tahun. Para arkeolog juga menemukan sebuah fragmen dari lukisan batu yang diawetkan dalam batu kapur batu-tempat penampungan di wilayah Kimberley Utara-Australia Barat, yaitu pada 40 000 tahun silam.

Penemuan fotografi pada tahun 1829, dimana foto pertama diproduksi, memiliki dampak besar pada lukisan.

Dari pertengahan hingga akhir abad 19, proses fotografi ditingkatkan dan setelah tampak lebih luas, lukisan kehilangan banyak tujuan historisnya untuk memberikan catatan yang akurat dari dunia yang dapat diamati.

b) Sastra berdasarkan bentuk sastra

Sastra berdasarkan bentuk sastra, hanya terdiri dari 4 (empat) bagian penting, yaitu: prosa, puisi, prosa liris dan drama. Keempatnya dapat dijelaskan sebagai berikut:

Prosa, merupakan bentuk sastra yang diuraikan menggunakan bahasa bebas dan panjang, serta tidak terikat oleh aturan-aturan seperti dalam puisi. Karya sastra ini juga ditulis dengan menggunakan kalimat-kalimat yang disusun secara susul menyusul. Kalimat yang disusun membentuk kesatuan pikiran menjadi paragraf, dan paragraf membentuk bab atau bagian-bagian, dan seterusnya.

Puisi, adalah bentuk sastra yang diuraikan dengan menggunakan bahasa yang singkat dan padat serta indah.

Puisi merupakan karya sastra yang ditulis dengan bentuk larik-larik dan bait-bait. Untuk memahami makna sebuah puisi harus melalui proses perenungan dan pemikiran mendalam, karena yang dipakai pada puisi adalah makna konotasi. Puisi dapat dibagi menjadi dua periode yaitu puisi lama yang bentuknya sangat terikat dengan aturan-aturan persajakan, dan puisi baru yang bentuknya lebih bebas. Puisi lama terikat dengan kaidah-kaidah atau aturan tertentu, yaitu: 1) Jumlah baris tiap-tiap baitnya;

2) Jumlah suku kata atau kata dalam tiap-tiap kalimat barisnya; 3) Irama, 4) Persamaan bunyi kata. Bentuk sastra yang menyampaikan pesannya melalui penulisan bahasa yang singkat, padat, dan mengisi unsur estetiknya (indah).

Prosa liris, adalah bentuk sastra yang disajikan seperti bentuk puisi, namun menggunakan bahasa yang bebas terurai seperti pada prosa.

Drama, adalah bentuk sastra yang dilukiskan dengan menggunakan bahasa yang bebas dan panjang, serta disajikan menggunakan dialog atau monolog.

Perbedaan drama dengan puisi dan prosa adalah terletak pada tujuan dari penulisan naskahnya. Naskah drama di tulis dengan tujuan utama untuk dipentaskan, bukan untuk dibaca dan dihayati seperti pada prosa dan puisi.

B. Sastra Berdasarkan Bentuk Penyajian

Dalam dokumen SEJARAH DAN TEORI SASTRA (Halaman 39-47)