• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kritik Sastra dalam Sejarah Sastra

Dalam dokumen SEJARAH DAN TEORI SASTRA (Halaman 65-71)

Sastra dalam Sejarah

A. Kritik Sastra dalam Sejarah Sastra

tidak bersifat sastrawi, dan karya sastra hanyalah karya dimana kesastraan menjadi dominan (Scholes, 1982:19).

Dalam perkembangannya, pencarian terhadap suatu kesastraan ini telah berkembang dalam dua arah:

Arah pertama, adalah mengasumsikan ―perbedaan kualitatif‖ (Corti, 1978:19) antara sastra dan bahasa yang bukan sastra, yang bagi sebagian kalangan bahkan dapat dideskripsikan dengan tata bahasa yang bersifat otonom (Dijk 1972:200).

Arah kedua, dalam usaha menemukan kesastraan, telah menolak asumsi tata bahasa sastra sebagai buah pikiran yang keliru (Pratt, 1977), karena semua ciri yang telah dideskripsikan sebagai sangat sastrawi, juga harus ditemukan dalam berbagai tipe wacana lain. Greimas &

Courtes (1979:178) misalnya, lebih menganggap konsep kesastraan sebagai kekosongan makna, namun sebaliknya memberikan status konotasi sosial. Jalan keluar ini, menggerakkan kesastraan dari dimensi sintaksis dan semantik pada dimensi pragmatik.

Dari kedua arah perkembangan sastra di atas, arah perkembangan sastra selalu dimulai dari kontekstualisasi gaya bahasa sehari-hari dalam masing-masing komunitas kehidupan sosial. Sastra selalu dekat dengan kehidupan manusia, kapan saja dan dimana saja.

perkembangannya, selanjutnya muncullah kata kritikos (κρητικος) yang artinya adalah ―hakim karya sastra‖.

Ilmu sastra selalu meliputi: ilmu teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Ketiga disiplin ilmu ini saling terkait dalam pengkajian karya sastra.

Dalam perkembangan ilmu sastra, pernah muncul teori yang memisahkan antara ketiga disiplin ilmu ini.

Khususnya sejarah sastra, dikatakan bahwa pengkajian sejarah sastra bersifat objektif sedangkan kritik sastra bersifat subjektif. Di samping itu, pengkajian sejarah sastra menggunakan pendekatan kesewaktuan, sejarah sastra hanya dapat didekati dengan penilaian atau kriteria yang ada pada zaman itu. Bahkan, dikatakan bahwa tidak terdapat kesinambungan karya sastra suatu periode dengan periode berikutnya karena dia mewakili masa tertentu. Walaupun teori ini mendapat kritikan cukup kuat dari teoretikus sejarah sastra, namun pendekatan ini sempat berkembang dari Jerman ke Inggris dan Amerika.

Namun demikian, dalam praktiknya, pada waktu seseorang melakukan pengkajian karya sastra, antara ketiga disiplin ilmu: teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra, memang harus tetap saling terkait.

a) Hubungan Kritik Sastra & Sejarah Sastra Kritik sastra dan sejarah sastra memiliki hubungan yang sangat erat. Tidak ada satupun kritik sastra tanpa sejarah sastra. Akan tetapi, harus dipahami bahwa, kedua hal ini—kritik sastra dengan sejarah sastra—memiliki wilayah yang berbeda-beda (sendiri-sendiri) dalam dunia sastra. Sebab keduanya memiliki perbedaan.

Jadi dalam hal ini, sejarah sastra akan menjelaskan

"A" berasal dari "B", sementara kritik sastra menilai "A"

lebih baik dari "B" (Rene Wellek & Austin Warren, 2013).

Sejarah sastra akan dimulai dengan pembuktian data-data historis, sementara kritik sastra berdasarkan pada pendapat dan keyakinan seorang kritikus sastra.

Kaitan yang pasti antara sejarah sastra dan kritik sastra adalah: kritik sastra yang baik akan menganalisa suatu karya sastra dengan melibatkan pemikiran dan sikap orang-orang suatu zaman lahirnya karya sastra.

Tentu saja, hal pemikiran dan sikap ini sangat penting, karena pada setiap periode sastra, selalu memiliki konsep dan pemikiran yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya.

Tidak ada satupun sejarah sastra yang ditulis tanpa dasar penilaian dan seleksi yang menjadi ciri khas kritik sastra. Sejarah sastra berperan menghasilkan kritik sastra yang melampaui penilaian atas dasar suka atau tidak suka. Dan kritikus sastra yang sadar akan sejarah sastra mempunyai kemampuan untuk membedakan asli atau tidaknya sebuah karya sastra yang sedang dihadapi (lihat Rene Wellek & Austin Warren, 2013: 36-41).

b) Sejarah Kritik Sastra Awal

Kritik sastra pertama kali di dunia, dilakukan dua orang Yunani, yaitu Xenophanes dan Heraclitus sekitar tahun 500 SM. Pada waktu itu, kedua orang ini, yakni Xenophanes dan Heraclitus, mengecam keras salah seorang pujangga besar bernama Homerus yang sering bercerita tentang hal-hal tidak senonoh tentang

dewa-dewi, dimana dalam perkembangan selanjutnya, hal inilah yang kemudian mengawali pemikiran Plato tentang

"pertentangan purba antara puisi dan filsafat‖ (lihat Andre Hardjana, 1981: 1-6).

Selanjutnya di tahun 405 SM, Aristophanes muncul secara lebih terbuka lagi untuk mengkritik Euripides yang begitu menjunjung nilai seni tanpa memperhatikan nilai sosial, yang mengantarkan Aristoteles kemudian menulis buku mengenai ―kritik sastra‖ yang mulai menemukan bentuk yang berjudul ―Poetica‖. Selanjutnya pada masa ini pula, Plato kemudian memunculkan tiga poin penting tentang penilaian terhadap baiknya karya sastra, dimana sebuah karya sastra dikatakan baik, jika terdapat 3 unsur ini: (1) memberikan ajaran moral yang lebih tinggi; (2) memberikan kenikmatan; dan (3) memberikan ketepatan dalam bentuk pengungkapannya.

c) Sejarah Kritik Sastra Renaissance

Pada abad pertengahan, istilah kritik hilang sama sekali. Hingga selanjutnya Polizianus muncul pada tahun 1492, menggagas pemikirannya melalui dua istilah sekaligus, criticus dan grammaticus, dengan tanpa suatu pembedaan. Grammaticus artinya adalah ahli pikir, sama dengan philosophicus (Andre Hardjana, 1981). Pada titik ini, muncul pula persamaan arti antara istilah criticus dan grammaticus dengan istilah philosophicus yang ditujukan bagi orang-orang yang mempelajari sastra pustaka lama.

Seorang Kaspar Schopp (1576-1649) menyatakan bahwa tujuan para kritikus adalah untuk menganalisa kesalahan dan kecacatan demi perbaikan naskah-naskah

karya pujangga kuno baik dalam bahasa Yunani maupun Latin. Selanjutnya, muncul seorang Erasmus yang muncul dengan istilah seni kritiknya (ars critica). Juga buku yang dipandang menjadi sumber pengertian kritik modern adalah Criticus karya Julius Caesar Scaliger (1484-1558), dimana buku ini adalah jilid ke-6 dari rangkaian bukunya berjudul Poetica. Scaliger muncul dengan melakukan suatu kajian analisa dan perbandingan antara pujangga-pujangga Yunani dan Latin. Namun dengan munculnya teori-teori kritik modern disertai perkembangannya, para penyair mulai merasa terganggu karena kegiatan kreatif mereka terganggu.

d) Sejarah Kritik Sastra di Inggris

Sampai abad-15 pada zaman pemerintahan Ratu Elizabeth, istilah kritik sastra sama sekali tidak terkenal di negara Inggris. Namun munculnya Francis Bacon dengan bukunya berjudul "Advancement of Learning", kemudian menandai satu awal baru, dimana saat itu, orang mulai menggunakan istilah kritik dalam Sastra Inggris, yaitu pada tahun 1605.

Tahun 1607, Ben Johnson menggunakan ungkapan

"kritikus terpelajar dan berhati besar", yang tugasnya adalah secara jujur menentukan nilai karya sastra dan pengarangnya. Namun sampai tahun 1670-an, belum banyak muncul kritikus-kritikus di Inggris.

Pada abad yang ke-17, istilah ―critic‖ dipakai untuk dapat menunjuk kritikus sastra maupun kritik itu sendiri.

Selanjutnya, seorang Samuel Johnson menggunakan

istilah critick untuk kritikus dan critic untuk kritik sastra, yang selanjutnya menjadi criticism.

Hinggga memasuki dekade awal abad yang ke-18, mulailah meluas criticism atau kritik sastra ini. Dimana pada era ini, ditandai munculnya buku-buku penting seperti: "The Grounds of Criticm Poetry"; "Essay on Criticism"; "The Art of Criticism" (Andre Hardjana, 1981).

e) Sejarah Kritik Sastra di Indonesia

Kritik sastra, dari segi pengertian dan istilah, bukan merupakan tradisi asli masyarakat Indonesia. Istilah dan pengertian kritik sastra baru muncul ketika para sastrawan Indonesia mendapat pendidikan dengan sistem Eropa pada awal abad ke-20 (Andre Hardjana, 1981).

Sebelum nya, penilaian karya-karya sastra dalam bahasa daerah didasarkan pada kepercayaan, agama, dan mistik, serta mitos-mitos. Kapan pertama kali kritik sastra dipergunakan di Indonesia tidak dapat diketahui dengan pasti, tetapi, kritik sastra mulai mendapat perhatian di Indonesia, setelah diterbitkannya kumpulan karangan

"Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay", karya H.B. Jassin (Andre Hardjana, 1981).

Menurut penjelasan H. B Jassin (1981:30-31), ada tiga istilah kritik sastra yang muncul di Indonesia dalam perkembangannya. Ketiga istilah tersebut adalah: (1) kritik sastra impresionistis; (2) kritik sastra akademis;

dan (3) kritik sastra sekretaris.

Ketiga istilah tersebut, muncul sebelum perang hingga pada tahun 1950-an. Kritik sastra impresionistis tidaklah didasari pengetahuan ilmiah dan hadir sebagai

pengetahuan elementer untuk pengajaran di sekolah menengah. Barulah muncul kritik sastra akademis pada tahun 1950-an yang dimulai oleh para kritikus kompeten secara ilmiah dari Universitas Indonesia. Pada tahun 1960-an muncul aliran kritik baru yang dipelopori oleh kalangan seniman dan pengarang sendiri. Aliran ini menggunakan pendekatan bercirikan pandangan yang subjektif menurut kritik dari pengarang sendiri. Hal ini berbeda dengan aliran sebelumnya yang menggunakan pendekatan akademis yang kritis analitis maupun strukturalis. Aliran baru ini menggunakan pendekatan yang disebut Ganzeith-approach.

Seiring perkembangannya, maka ketiga aliran kritik ini menuai banyak perdebatan mengenai kelebihan dan kekurangan yang sulit menemukan penyelesaian. Setiap aliran mempunyai ciri masing-masing untuk melakukan pendekatan (H.B Jassin, 1981:30-31).

Dalam dokumen SEJARAH DAN TEORI SASTRA (Halaman 65-71)