• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Sosiologi Sastra

Dalam dokumen SEJARAH DAN TEORI SASTRA (Halaman 179-189)

Sastra dalam Teori

D. Teori Sosiologi Sastra

film dan apa yang diketahui oleh pembaca atau penonton.

Dengan kata lain, pembaca atau penonton tahu, namun tokoh dalam karya sastra, drama, atau film itu tidak tahu.

Sebagai misal, penjahat dalam film menuju utara dengan membawa senapan karena dia yakin polisi ada di utara sana, tetapi penonton tahu bahwa sebetulnya polisi berada di selatan, di belakang dia, tidak jauh dari dia. (3) Ironi situasi: lawan atau kebalikan antara harapan atau persangkaan dan hasil dari harapan atau prasangka itu.

Seorang mahasiswa, misalnya, merasa senang karena dalam ujian dia sanggup menjawab semua pertanyaan dengan sangat mudah. Dia memiliki keyakinan besar bahwa dia akan lulus. Keyakinan bahwa dia akan lulus merupakan harapan. Namun, jika ketika pengumuman hasil ujian tersebut keluar, ternyata dinyatakan bahwa dia tidak lulus—kenyataan yang benar-benar berlawanan dengan harapannya.

untuk meneliti pertautan antara sastra dengan kenyataan masyarakat dalam berbagai dimensinya (Soemanto 1993).

a) Teori Mimemis Plato & Aristoteles

Konsep dasar sosiologi sastra dikembangkan Plato dan Aristoteles dengan mengajukan istilah mimesis, yang menyinggung hubungan antara sastra dan masyarakat sebagai cerminnya. Pengertian mimesis pertama kali dipergunakan di dalam teori-teori tentang seni, seperti dikemukakan Olato dan Aristoteles, dan dari abad ke abad sangatlah mempengaruhi teori-teori mengenai seni dan sastra di Eropa (Van Luxemburg,1986:15).

Menurut Plato, pada setiap benda yang berwujud, mencerminkan suatu ide asli (semacam gambar induk).

Jika seseorang tukang membuat sebuah kursi, maka ia hanya menjiplak kursi yang terdapat dalam dunia ide-ide.

Jiplakan atau kopian itu selalu tidak memadai seperti aslinya, kenyataan yang diamati dengan pancaindra, selalu kalah dari dunia ide.

Seni pada umumnya hanya menyajikan suatu ilusi tentang kenyataan (yang juga hanya tiruan dari kenyataan yang sebenarnya) sehingga tetap jauh dari kebenaran.

Oleh karena itu, maka lebih berhargalah seorang tukang daripada seniman, karena seniman menjiplak jiplakan, membuat kopi dari kopian. Aristoteles mengambil teori mimesis Plato, yakni seni menggambarkan kenyataan, tetapi dia berpendapat bahwa mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan saja, melainkan juga menciptakan sesuatu yang baru karena kenyataan itu tergantung pada sikap kreatif orang dalam memandang kenyataan.

Jadi, sastra bukan lagi sebagai jiplakan atas jiplakan (kenyataan), melainkan ia sebagai suatu ungkapan atau perwujudan tentang universalia (konsep-konsep umum).

Dari kenyataan yang wujudnya kacau, penyair memilih beberapa unsur lalu menyusun suatu gambaran yang dapat dipahami, karena menampilkan kodrat manusia dan kebenaran universal yang berlaku pada segala jaman.

Levin (1973: 56-60) mengungkapkan bahwa konsep mimesis itu mulai dihidupkan kembali pada zaman Renaissance dan nasionalisme Romantik. Humanisme Renaissance sudah berupaya menghilangkan perdebatan prinsipal antara sastra modern dan sastra kuno dengan menggariskan paham bahwa masing-masing kesusastraan itu merupakan ciptaan unik yang memiliki pembayangan historis dalam jamannya. Dasar pembayangan historis ini telah dikembangkan pula dalam jaman Romantik, yang secara khusus meneliti dan menghidupkan kembali tradisi-tradisi asli dari yang berasal dari berbagai negara dengan suatu perbandingan geografis. Kedua pandangan tersebut kemudian diwariskan kepada jaman berikutnya, yakni positivisme ilmiah.

b) Teori Hippolyte Taine

Pada jaman positivisme ilmiah, muncul tokoh sosiologi sastra terpenting Hippolyte Taine (1766-1817).

Dia adalah seorang sejarawan kritikus naturalis Perancis, yang juga sering dipandang sebagai peletak dasar bagi sosiologi sastra modern. Taine merumuskan pendekatan sosiologi sastra yang sepenuhnya ilmiah dengan lebih menggunakan metode-metode seperti yang digunakan

dalam ilmu alam dan ilmu pasti. Dalam bukunya History of English Literature (1863), dia menegaskan, bahwa sebuah karya sastra dapat dijelaskan menurut tiga faktor, yakni ras, lingkungan, dan momen. Maka dengan itu maka seseorang bisa memahami iklim rohani sebuah kebudayaan yang melahirkan seorang pengarang beserta karyanya. Menurutnya, faktor-faktor inilah yang nantinya dapat menghasilkan struktur mental (pengarang) yang selanjutnya diwujudkan dalam sastra dan seni. Adapun ras itu adalah apa yang diwarisi manusia dalam jiwa dan raganya. Momen ialah situasi sosial politik dalam periode tertentu. Lingkungan meliputi keadaan alam, iklim, dan sosial. Konsep Taine tentang lingkungan ini, selanjutnya menjadi sebuah mata rantai yang menghubungkan kritik sastra dengan ilmu-ilmu sosial. Pandangan Taine yang dituangkan dalam bukunya, oleh pembaca kontemporer asal Swis, Amiel, dianggap mampu membuka cakrawala pemahaman baru yang memang berbeda dari cakrawala anatomis kaku (strukturalisme) yang berkembang waktu itu. Bagi Amiel, buku Taine membawa aroma baru yang segar untuk model kesusastraan Amerika di masa depan.

Sambutan hangat juga datang dari Flaubert (1864), yang menyatakan, bahwa Taine secara khusus telah menyerang anggapan yang berlaku pada masa itu dimana karya sastra seolah-olah merupakan meteor yang jatuh dari langit. Menurut Flaubert, sekalipun segi-segi sosial tidak diperlukan dalam pencerapan estetik, namun sukar mengingkari keberadaannya. Faktor lingkungan historis ini sering kali mendapat kritik dari golongan yang percaya

misteri (ilham). Menurut Taine, bahwa hal-hal yang dianggap misteri, banyak memiliki kelemahan-kelemahan tertentu, khususnya penjelasan yang positivistik. Namun justru hal ini banyak memicu perkembangan pemikiran intelektual dikemudian harinya, dalam hal merumuskan disiplin sosiologi sastra.

b) Teori Sastra Marxis

Marxisme adalah pendekatan sosiologis sastra yang paling pertama dalam ilmu sastra. Kebanyakan kritikus-kritikus Marxis lebih mengusung teorinya dengan dasar doktrin manifesto komunis yang diberikan oleh Karl marx dan Friedrich Engels, khususnya pernyataan bahwa, perkembangan evolusi historis manusia dan institusi-institusinya ditentukan oleh perubahan mendasar dalam produksi ekonomi, dimana perubahan ini mengakibatkan perombakan dalam struktur kelas-kelas ekonomi, yang dalam setiap jaman selalu bersaing demi kedudukan sosial ekonomi dan status politik.

Kehidupan agama, intelektual dan kebudayaan dari setiap jaman, termasuk seni dan sastra, adalah ideologi-ideologi dan suprastruktur-suprastruktur yang berkaitan secara dialektikal, dan dibentuk atau merupakan akibat dari struktur dan perjuangan kelas dalam jamannya (Abrams, 1981:178). Sejarah dipandang sebagai suatu perkembangan yang terus menerus. Daya kekuatan di dalam kenyataan secara progresif selalu tumbuh untuk menuju kepada suatu masyarakat yang ideal tanpa kelas.

Evolusi ini tidak berjalan dengan mulus melainkan banyak hambatan-hambatan. Dalam hal ini, hubungan

ekonomi menimbulkan berbagai kelas sosial yang saling bermusuhan. Pertentangan kelas yang terjadi, akhirnya dimenangkan oleh kelas tertentu. Hubungan produksi yang baru, perlu untuk melawan kelas yang berkuasa agar tercapai suatu tahap masyarakat ideal tanpa kelas, yang dikuasai oleh kaum proletar. Bagi Marx, sastra dan semua gejala kebudayaan lainnya mencerminkan pola hubungan ekonomi karena sastra terikat akan kelas-kelas dalam masyarakatnya. Oleh karena itu, karya sastra hanya dapat dimengerti jika dikaitkan dengan hubungan-hubungan tersebut (Van Luxemburg, 1986: 24-25).

Lenin adalah seorang tokoh yang dipandang sebagai peletak dasar kritik sastra Marxis, dimana ia berpendapat bahwa, sastra dan seni, pada umumnya merupakan suatu sarana penting dan strategis dalam perjuangan proletariat melawan kapitalisme.

c) Georg Lukacs: Sastra Sebagai Cermin Kritikus Marxis yang pertama adalah Georg Lukacs yang berasal dari Hungaria dan menulis dalam bahasa Jerman (Damono, 1977), dimana ia menggunakan istilah cermin sebagai ciri khas dalam keseluruhan karyanya.

Istilah ―mencerminkan‖ menurutnya, berarti menyusun sebuah struktur mental. Sebuah novel tidak hanya mencerminkan realitas tetapi lebih dari itu memberikan kepada kita sebuah refleksi realitas yang lebih besar, lebih lengkap, lebih hidup, dan lebih dinamik yang mungkin melampaui pemahaman umum.

Sebuah karya sastra, tidak hanya mencerminkan fenomena individual secara tertutup saja, melainkan lebih

merupakan suatu proses yang hidup. Sastra tidak mencerminkan realitas sebagai semacam suatu fotografi, melainkan lebih sebagai suatu bentuk khusus yang mencerminkan realitas. Dengan demikian, sastra dapat mencerminkan realitas secara jujur dan objektif dan dapat mencerminkan kesan realitas subjektif (Selden, 1991:27). Lukacs menegaskan pandangan tentang karya realisme yang sungguh-sungguh sebagai karya yang memberikan perasaan artistik yang bersumber dari imajinasi yang diberikannya. Imajinasi memiliki totalitas intensif yang sesuai totalitas ekstensif dunia. Penulis tidak memberikan gambaran dunia abstrak, tapi kekayaan imajinasi dan kompleksitas kehidupan untuk dihayati sehinggga membentuk sebuah tatanan masyarakat yang ideal. Jadi sasarannya adalah pemecahan kontradiksi melalui dialektika sejarah.

d) Bertold Brecht: Efek Alienasi

Bertold Brecht adalah seorang dramawan Jerman yang terpengaruh ketika membaca buku Marx di tahun 1926. Drama-dramanya bersifat radikal, anarkistik, dan anti borjuis. Sebagai seorang yang anti terhadap paham-paham realisme sosialis, ia terkenal sebagai penentang aliran Aristoteles. Dimana filsuf Aristoteles menekankan universalitas dan kesatuan aksi tragik dan identifikasi penonton terhadap pahlawan-pahlawan positif untuk menghasilkan katarsis (pelepasan beban) perasaan.

Menurut Brecht, dramawan harus menghindari alur yang dihubungkan secara lancar dengan makna dan nilai-nilai universal yang pasti. Fakta-fakta ketidakadilan dan

ketidakwajaran perlu dihadirkan untuk mengejutkan dan mengagetkan penonton. Penonton janganlah ditidurkan dengan nilai-nilai yang palsu. Para pelaku tidak harus menghilangkan personalitas dirinya untuk mendorong identifikasi penonton atas tokoh-tokoh pahlawannya.

Mereka harus mampu menimbulkan macam efek alienasi (keterasingan). Pemain dalam hal ini tidak berfungsi untuk menunjukkan, tapi mengungkapkan dengan cara spontan individualitasnya (Selden, 1991:30-32).

e) Aliran Frankurt

Aliran Frankurt adalah sebuah aliran filsafat sosial yang dirintis oleh Horkheimer dan Th. W. Adorono, yang berusaha menggabungkan teori ekonomi sosial Marx dengan psikoanalisis Freud dalam mengkritik teori sosial kapitalis (Hartoko, 1986:29-30).

Dalam kajian bidang sastra, estetika Marxis aliran Frankurt mengembangkan apa yang disebut Teori Kritik.

Teori kritik ini merupakan sebuah bentuk analisis kemasyarakatan yang juga meliputi unsur-unsur aliran Marx dan aliran Freud. Tokoh-tokoh utama dalam filsafat dan estetika adalah Max Horkheimer, Theodor Adomo, Herbert Marcuse, dan J. Habermas (Selden, 1993:32-37).

Seni dan sastra mendapat perhatian istimewa dalam teori sosiologi Frankurt, karena hal inilah satu-satunya wilayah dimana dominasi totaliter bisa ditentang, seperti Adorno mengkritik pandangan Lukacs, bahwa, sastra berbeda dari pemikiran, tidak mempunyai hubungan yang langsung dengan realitas. Keterpisahan itu, menurut Adorno, justru akan memberi kekuatan kepada seni untuk

mampu mengkritik dan menegasi realitas, seperti yang ditunjukkan seni avant garde. Seni-seni populer dalam hal ini sudah bersekongkol dengan sistem ekonomi yang membentuknya, sehingga tidak mampu lagi mengambil jarak dengan realitas yang sudah dimanipulasi oleh sistem sosial. Mereka memandang sistem sosial sebagai totalitas yang dalamnya semua aspek mencerminkan esensi sama.

Adorno juga menolak teori-teori tradisional tentang kesatuan dan pentingnya individualitas atau mengenai bahasa yang penuh dengan pengertian, karena hanya membenarkan suatu sistem sosial yang ada. Menurut Adorno, drama dapatlah menghadirkan pelaku-pelaku tanpa individualitas dan klise-klise bahasa yang terpecah-pecah, juga diskontinuitas wacana yang absurd, serta penolakan-penolakan yang membosankan, dan juga suatu ketiadaan alur. Semua ini menimbulkan efek estetik yang menjauhkan realitas yang dihadirkan dalam drama. Dan inilah pengetahuan tentang eksistensi dunia modern, yang sekaligus pemberontakan terhadap tipe masyarakat satu dimensi.

Referensi

Abrams M.H. (1981) A Glossary of Literary Terms.

New York: Holt, Rinehart and Winston

Alwisol. (2010). Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press.

Baker Mona. (1992). In Other Word: A Coursebook on Translation. London and New York: Routledge.

Bartens Kees. (1985). Filsafat Barat Abad XX jilid II, Perancis. Jakarta: Gramedia

Damono Sapardi Djoko. (1977). Sosiologi Sastra.

Jakarta: Dikti Depdikbud.

Hartoko Dick. (1982). Pencerapan Estetik dalam Sastra Indonesia dalam Basis XXXV 1 Januari. Yogyakarta: Andi Offset.

Hartoko Dick. (1986). Kamus Populer Filsafat.

Jakarta: CV Rajawali.

Holland Norman. (1999). Psychoanalytic Psychology and Literature and Psychology. Toronto: Oxford University Press.

Holland, Norman. (1968). The Dynamics od Literary Response. New York: State University Press.

Iser, Wolfgang. (1978). The Act of Reading: a Theoru of Aesthetic Response. Balitmore and Londong:

The John Hopkins University Press.

Levine, R. A., Solomon, M. A., Hellstern, G. M, et al.

(1973). Evaluation research and practice:

Comparative and international perspectives.

Beverly Hills: Sage Publications.

Mario Klarer. (2004). An Introduction to Literary Studies Second Edition. London: Routledge.

Nyoman Kutha Ratna (2004). Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rene Wellek dan Austin Warren (1993; 2013). Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Selden Rahman. (1991). Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Diterjemahkan oleh Rachmat D. Pradopo. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Soemanto Wasty. (1993; 2003). Psikologi Pendidikan.

Jakarta: Rineka Cipta.

Van Luxemburg, Jan, dkk. (1986). Pengantar Ilmu Sastra. Terjemahan oleh Dick Hartono. Jakarta:

Gramedia.

Dalam dokumen SEJARAH DAN TEORI SASTRA (Halaman 179-189)