• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Sastra Berdasarkan Urutan waktu Secara urutan waktu, maka sejarah sastra Indonesia

Dalam dokumen SEJARAH DAN TEORI SASTRA (Halaman 108-126)

Sastra dalam Sejarah

B. Sejarah Sastra Berdasarkan Urutan waktu Secara urutan waktu, maka sejarah sastra Indonesia

Jawa, Bali, Sumatra Selatan, dan Jawa Barat. Tradisi wayang berbentuk teater boneka dengan menggunakan layar (kelir), gamelan, dan 400-an wayang. Hidup tidaknya pertunjukan ini ditentukan oleh dalang, karena dialah yang menguasai pertunjukan.

b) Sejarah Perkembangan Sastra Tulisan Sejarah sastra tulisan di Indonesia, berdasarkan periodisasinya, dapat digolongkan menjadi:

(1) Pujangga Lama (2) Sastra Melayu Lama (3) Angkatan Balai Pustaka (4) Pujangga Baru

(5) Angkatan ‘45 (6) Angkatan 66-70-an (7) Angkatan 80-an (8) Angkatan 2000-an

Untuk penjelasan ke-delapan poin di atas, dapatlah di lihat pada bagian berikut ini

B. Sejarah Sastra Berdasarkan Urutan waktu

Syair adalah puisi atau karangan dalam bentuk terikat yang mementingkan irama sajak. Biasanya terdiri atas 4 baris, berirama aaaa, keempat baris tersebut mengandung arti atau maksud penyair (pada pantun, 2 baris terakhir yang mengandung maksud).

Pantun merupakan sejenis puisi yang terdiri atas 4 baris bersajak ab-ab atau aa-aa. Dua baris pertama merupakan sampiran, yang umumnya tentang alam (flora dan fauna). Dua baris terakhir merupakan isi, yang merupakan tujuan dari pantun tersebut.

Gurindam adalah satu bentuk puisi Melayu lama yang terdiri dari dua baris kalimat, dengan irama akhir yang sama, yang merupakan satu kesatuan yang utuh.

Baris pertama berisikan semacam soal atau masalah dan perjanjian. Baris kedua berisikan jawabannya atau akibat dari masalah atau perjanjian pada baris pertama tadi.

Misalnya: baik-baik memilih kawan, salah-salah bisa jadi lawan.

Hikayat adalah salah satu bentuk sastra prosa, terutama dalam Bahasa Melayu yang berisikan tentang kisah, cerita, dongeng, maupun sejarah. Umumnya mengisahkan tentang kehebatan maupun kepahlawanan seseorang lengkap dengan keanehan, kesaktian serta mukjizat tokoh utama. Beberapa karya sastra pada masa pujangga lama diantaranya Hikayat Abdullah, Hikayat Andaken Penurat, dan Hikayat Bayan Budiman.

Pada masa ini, di Indonesia, budaya Melayu klasik dengan pengaruh Islam yang kuat meliputi sebagian besar daerah pantai Sumatera dan Semenanjung Malaya. Di

Sumatera utara, muncul karya-karya penting berbahasa Melayu, terutama beberapa karya keagamaan. Hamzah Fansuri adalah yang pertama di antara penulis-penulis utama angkatan Pujangga Lama. Dari istana Kesultanan Aceh abad XVII muncul karya-karya klasik selanjutnya, yang paling terkemuka adalah karya-karya Syamsuddin Pasai dan Abdurrauf Singkil, serta Nuruddin ar-Raniri.

Pembagian Karya Sastra Pujangga Lama terdiri dari beberapa karya sebagai berikut:

Sejarah Melayu: Sulalatu'l-Salatin.

Artinya adalah Penurunan segala raja-raja, yang merupakan karya sastra dalam Bahasa Melayu dengan banyak menggunakan Abjad Jawi. Karya tulis ini memiliki sekurang-kurangnya 29 versi dan manuskrip yang banyak tersebar di Inggris (10 di London, 1 di Manchester), di Belanda (11 di Leiden, 1 di Amsterdam), dan Indonesia (5 diJakarta), dan 1 di Rusia (Leningrad). Sulalatu'l-Salatin bergaya penulisan seperti babad, di sana-sini terdapat penggambaran hiperbolik untuk membesarkan raja dan keluarganya. Naskah ini dianggap penting karena ia menggambarkan adat-istiadat kerajaan, silsilah raja dan sejarah Kerajaan Melayu dan boleh dikatakan menyerupai konsep Sejarah Sahih (Veritable History) Cina, yang mencatat sejarah dinasti sebelumnya.

Tuhfat al-Nafis (Bingkisan Berharga)

Tuhfat al-Nafis merupakan sejarah karangan Raja Ali Haji, yang adalah seorang sastrawan dari Riau dan pangeran Kesultanan Riau-Lingga keturunan Bugis. Buku

ini ditulis pada tahun 1885 dalam huruf Jawi. Dalam buku ini dicatat kejadian-kejadian yang berlangsung pada abad ke-18 dan 19 di berbagai negeri Melayu. Ada 4 (empat) manuskrip Tuhfat al-Nafis yang diketahui. Naskah yang disalin pada tahun 1890, selanjutnya diterbitkan pada tahun 1923, untuk Journal of the Malayan Branch Royal Asiatic Society, London.

Hikayat

Beberapa hikayat pada masa angkatan pujangga lama adalah: Hikayat Abdullah; Hikayat Aceh; Hikayat Amir Hamzah; Hikayat Andaken Penurat; Hikayat Bayan Budiman; Hikayat Djahidin; Hikayat Hang Tuah; Hikayat Iskandar Zulkarnain; Hikayat Kadirun; Hikayat Kalila dan Damina; Hikayat Masydulhak; Hikayat Pandawa Jaya;

Hikayat Pandja Tanderan; Hikayat Putri Djohar Manikam; Hikayat Sri Rama; Hikayat Tjendera Hasan;

Tsahibul Hikayat

Syair

Beberapa syair pada masa angkatan pujangga lama, adalah sebagai berikut: Syair Bidasari; Syair Hukum Nikah karya Raja Ali Haji; Syair Ken Tambuhan; Syair Siti Shianah karya Raja Ali Haji; Syair Sultan Abdul Muluk karya Raja Ali Haji; Syair Suluh Pegawai karya Raja Ali Haji; Syair Raja Mambang Jauhari; Syair Raja Siak.

Gurindam

Gurindam yang paling populer pada masa angkatan pujangga lama, adalah Dua Belas karya Raja Ali Haji.

Kitab agama

Beberapa kitab agama masa angkatan pujangga lama, diantaranya adalah: Syarab al-'Asyiqin yang artinya: minuman para pecinta, adalah karya Hamzah Fansuri; Asrar al-'Arifin yang artinya adalah rahasia-rahasia para Gnostik, karya Hamzah Fansuri; dan Nur ad-Daqa'iq yang artinya cahaya pada kehalusan-kehalusan, karya Syamsuddin Pasai; serta Bustan as-Salatin, yang artinya taman raja-raja, adalah karya Nuruddin ar-Raniri.

(2) Angkatan Sastra Melayu Lama

Sastra melayu lama merupakan suatu karya sastra Indonesia yang dihasilkan antara tahun 1870–1942, yang berkembang di lingkungan masyarakat Sumatra seperti Langkat, Tapanuli, Padang dan daerah Sumatra lainnya, Cina dan masyarakat Indo-Eropa.

Karya sastra pertama yang terbit sekitar tahun 1870 masih dalam bentuk syair, hikayat dan terjemahan novel barat. Beberapa contoh karya sastra Melayu lama yaitu Nyai Dasima oleh G. Francis (Indo), Bunga Rampai oleh A.F van Dewall, Kisah Perjalanan Nakhoda Bontekoe, Kisah Pelayaran ke Pulau Kalimantan, Kisah Pelayaran ke Makassar, Syair Java Bank Dirampok, Lo Fen Kui oleh Gouw Peng Liang, Cerita Oey See oleh Thio Tjin Boen, Tambahsia, Busono oleh R.M.Tirto Adhi Soerjo, Nyai Permana, Hikayat Siti Mariah oleh Hadji Moekti (indo).

(3) Angkatan Balai Pustaka

Karya sastra angkatan Balai Pustaka muncul di Indonesia sejak tahun 1920–1950, yang dipelopori oleh

penerbit Balai Pustaka. Prosa (roman, novel, cerita pendek dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat dalam khazanah sastra di Indonesia pada masa ini. Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak dan bahasa Madura. Contoh karya sastra angkatan Balai Pustaka: Azab dan Sengsara, Seorang Gadis oleh Merari Siregar, Sengsara Membawa Nikmat oleh Tulis Sutan Sati, dan Siti Nurbaya oleh Marah Rusli.

Nur Sutan Iskandar dapat disebut sebagai "Raja Angkatan Balai Pustaka" karena banyak karya tulisnya pada masa ini. Apabila dilihat daerah asal kelahiran para pengarang, dapat dikatakan bahwa novel-novel Indonesia yang terbit pada angkatan ini adalah "novel Sumatera"

dengan Minangkabau sebagai titik pusatnya. Pada masa ini, kedua novel yang berjudul Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, menjadi karya yang cukup penting. Keduanya menampilkan kritik tajam terhadap adat-istiadat, juga terhadap beberapa tradisi kolot yang membelenggu kehidupan. Dalam perkembangannya, tema-tema inilah yang banyak diikuti oleh penulis-penulis lainnya pada masa itu. Berikut penulis dan hasil karya angkatan ini.

Tabel 2.1. Penulis & Karya Angkatan Balai Pustaka

Penulis Karya Sastra Balai Pustaka Merari Siregar Azab dan Sengsara (1920)

Binasa kerna Gadis Priangan (1931) Cinta dan Hawa Nafsu

Marah Roesli Siti Nurbaya (1922) La Hami (1924)

Anak dan Kemenakan (1956) Muhamad Yamin Tanah Air (1922)

Indonesia, Tumpah Darahku (1928) Kalau Dewi Tara Sudah Berkata Ken Arok dan Ken Dedes (1934)

Nur Sutan Iskandar Apa Dayaku karena Aku Seorang Perempuan (1923) Cinta yang Membawa Maut (1926)

Salah Pilih (1928) Karena Mentua (1932)

Tuba Dibalas dengan Susu (1933) Hulubalang Raja (1934)

Katak Hendak Menjadi Lembu (1935) Tulis Sutan Sati Tak Disangka (1923)

Sengsara Membawa Nikmat (1928) Tak Membalas Guna (1932) Memutuskan Pertalian (1932) Djamaluddin

Adinegoro Darah Muda (1927) Asmara Jaya (1928) Abas Sutan

Pamuntjak Nan Sati Pertemuan (1927) Abdul Muis Salah Asuhan (1928)

Pertemuan Djodoh (1933) Aman Datuk

Madjoindo Menebus Dosa (1932)

Si Cebol Rindukan Bulan (1934) Sampaikan Salamku Kepadanya (1935)

(4) Angkatan Pujangga Baru

Pujangga Baru, lahir sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan.

Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, juga nasionalistik, serta elitis, dan menjadi ―bapak‖ bagi sastra

modern Indonesia. Pada masa ini, terbit pula majalah

―Poedjangga Baroe‖ yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah dan Armijn Pane.

Karya sastra Indonesia setelah zaman Balai Pustaka (1930–1942), dipelopori oleh Sutan Takdir Alisyahbana.

Karya sastra Pujangga Baru diantaranya berjudul: Layar Terkembang oleh Sutan Takdir Alisjahbana dan Belenggu oleh Armijn Pane. Makna Pujangga atau Bujangga adalah pemimpin agama atau ‗pendeta‘. Tetapi, makna pujangga dalam pujangga baru adalah ‖pencipta‖.

Sastra berjudul Layar Terkembang, menjadi salah satu novel yang sering di ulas oleh para kritikus sastra Indonesia. Selain itu, pada periode ini, novel berjudul Tenggelamnya Kapal van der Wijck dan juga novel Kalau Tak Untung, menjadi sebuah karya sastra penting sebelum perang.

Pada masa ini, terdapat pula dua kelompok besar sastrawan pujangga baru, yaitu: (1) Kelompok "Seni untuk Seni" yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah; (2) Kelompok "Seni untuk Pembangunan Masyarakat", dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane dan Rustam Effendi.

(5) Angkatan 1945

Pengalaman hidup dan gejolak sosial-politik-budaya telah mewarnai karya sastrawan Angkatan ‘45. Karya sastra angkatan ini lebih realistik dibandingkan karya Angkatan Pujangga baru yang romantik-idealistik.

Misalnya, karya Surat Cinta oleh Enday Rasidin,

Simphoni oleh Subagio Sastrowardojo, dan karya Balada Orang-orang Tercinta oleh W.S. Rendra.

Karya-karya sastra pada angkatan ini banyak bercerita tentang perjuangan merebut kemerdekaan seperti halnya puisi-puisi dari Chairil Anwar. Sastrawan angkatan '45 memiliki konsep seni yang berjudul "Surat Kepercayaan Gelanggang". Konsep ini menggambarkan bahwa para sastrawan angkatan '45 ingin bebas berkarya sesuai alam kemerdekaan dan hati nurani.

Selain cerpen berjudul: Tiga Manguak Takdir, pada periode ini, cerpen berjudul Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma dan Atheis, juga dianggap sebagai karya pembaharuan prosa Indonesia. Beberapa penulis dan karya sastra Angkatan 1945, adalah sebagai berikut:

a) Chairil Anwar

Kerikil Tajam (1949)

Deru Campur Debu (1949)

b) Asrul Sani, Rivai Apin dan Chairil Anwar

Tiga Menguak Takdir (1950) c) Idrus

Dari Ave Maria ke Djalan Lain ke Roma (1948)

Aki (1949)

Perempuan dan Kebangsaan

d) Achdiat K. Mihardja dengan karya: Atheis (1949) e) Trisno Sumardjo dengan karyanya berjudul: Kata

hati dan Perbuatan (1952) f) Utuy Tatang Sontani

Suling (drama) (1948)

Tambera (1949)

Awal dan Mira - drama satu babak (1962) g) Suman Hs.

Kasih Ta' Terlarai (1961)

Mentjari Pentjuri Anak Perawan (1957)

Pertjobaan Setia (1940) (6) Angkatan 1950 - 1960-an

Angkatan 50-an ditandai dengan terbitnya majalah sastra Kisah asuhan H.B. Jassin. Ciri angkatan ini adalah karya sastra yang didominasi dengan cerita pendek dan kumpulan puisi. Majalah tersebut bertahan sampai tahun 1956, diteruskan dengan majalah sastra lainnya, Sastra.

Dalam angkatan ini, muncul pula gerakan komunis dikalangan para sastrawan sendiri, yaitu yang bergabung dalam Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) dengan konsep mereka adalah sastra realisme-sosialis. Akhirnya, terjadi perpecahan dan polemik yang berkepanjangan diantara kalangan sastrawan Indonesia tepatnya awal tahun 1960, dan menyebabkan perkembangan dari sastra Indonesia mulai tersendat dan terjerumus dalam berbagai politik praktis yang berakhir pada tahun 1965 dengan pecahnya G30S di Indonesia. Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1950 - 1960-an adalah sebagai berikut ini:

Pramoedya Ananta Toer

Kranji dan Bekasi Jatuh (1947)

Bukan Pasar Malam (1951)

Di Tepi Kali Bekasi (1951)

Keluarga Gerilya (1951)

Mereka yang Dilumpuhkan (1951)

Perburuan (1950)

Cerita dari Blora (1952)

Gadis Pantai (1962-65)

Toto Sudarto Bachtiar

Etsa sajak-sajak (1956)

Suara - kumpulan sajak 1950-1955 (1958) Ramadhan K.H

Priangan si Jelita (1956) W.S. Rendra

Balada Orang-orang Tercinta (1957)

Nh. Dini

Dua Dunia (1950)

Hati jang Damai (1960) Sitor Situmorang

Dalam Sadjak (1950)

Djalan Mutiara: kumpulan tiga sandiwara (1954)

Pertempuran dan Saldju di Paris (1956)

Surat Kertas Hidjau: kumpulan sadjak (1953)

Wadjah Tak Bernama: kumpulan sadjak (1955)

Mochtar Lubis

Tak Ada Esok (1950)

Jalan Tak Ada Ujung (1952)

Tanah Gersang (1964)

Si Djamal (1964) Marius Ramis Dayoh

Putra Budiman (1951)

Pahlawan Minahasa (1957) Ajip Rosidi

Tahun-tahun Kematian (1955)

Ditengah Keluarga (1956)

Sebuah Rumah Buat Hari Tua (1957)

Cari Muatan (1959)

Pertemuan Kembali (1961) Ali Akbar Navis

Robohnya Surau Kami - 8 cerita pendek pilihan (1955)

Bianglala - kumpulan cerita pendek (1963)

Hujan Panas (1964)

Kemarau (1967)

Empat Kumpulan Sajak (1961)

Ia Sudah Bertualang (1963) Subagio Sastrowardojo

Simphoni (1957) Nugroho Notosusanto

HujanKepagian (1958)

Rasa Sajangé (1961)

Tiga Kota (1959) Trisnojuwono

Angin Laut (1958)

Dimedan Perang (1962)

Laki-laki dan Mesiu (1951) Toha Mochtar

Pulang (1958)

Gugurnya Komandan Gerilya (1962)

Daerah Tak Bertuan (1963) Purnawan Tjondronagaro

Mendarat Kembali (1962) Bokor Hutasuhut

Datang Malam (1963)

(7) Angkatan 1966 - 1970-an

Angkatan ini ditandai dengan terbitnya majalah sastra Horison. Banyak karya sastra pada angkatan ini yang sangat beragam dalam aliran sastranya. Sastrawan pada akhir angkatan sebelumnya termasuk juga dalam kelompok ini adalah seperti Motinggo Busye, Purnawan

Tjondronegoro, Djamil Suherman, Bur Rasuanto, Gunawan Mohammad, Sapardi Djoko Damono dan Satyagraha Hurip, Sutardji Calzoum Bachri dan termasuk Paus Sastra Indonesia yaitu H. B. Jassin.

Seorang sastrawan pada angkatan 50–60-an yang juga mendapat tempat pada angkatan ini adalah Iwan Simatupang. Pada masanya, karya sastranya berbentuk novel, cerpen dan drama kurang mendapat perhatian.

Satrawan yang termasuk angkatan ini antara lain:

Umar Kayam, Ikranegara, Leon Agusta, Arifin C Noer, Akhudiat, Darmanto Jatman, Arief Budiman, Gunawan Mohammad, Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Putu Widjaya, Wisran Hadi, Wing Kardjo, Taufik Ismail dan lainnya. Karya Sastra Angkatan ‗66 diantaranya Amuk, Kapak, Laut Belum Pasang, Meditasi, Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur, Tergantung Pada Angin, Dukamu Abadi, Aquarium, Mata Pisau dan Perahu Kertas.

(8) Angkatan 1980 - 1990-an

Karya sastra Indonesia pada kurun waktu setelah tahun 1980, lebih ditandai dengan banyaknya roman percintaan, dengan sastrawan wanita yang menonjol pada masa ini antara lain bernama Marga T. Disamping itu, karya sastra Indonesia pada masa angkatan ini tersebar sangat luas, khususnya lagi di berbagai majalah dan penerbitan umum.

Beberapa dari sastrawan yang terkenal dan dapat mewakili angkatan dekade 1980-an ini antara lain adalah: Remy Sylado, Yudistira Ardinugraha, Noorca

Mahendra, Seno Gumira Ajidarma, Pipiet Senja, Kurniawan Junaidi, Ahmad Fahrawie, Micky Hidayat, Arifin Noor Hasby, Tarman Effendi Tarsyad, Noor Aini Cahya Khairani, dan Tajuddin Noor Ganie.

Karya sastra angkatan dasawarsa 80 antara lain Badai Pasti Berlalu, Cintaku di Kampus Biru, Sajak Sikat Gigi, Arjuna Mencari Cinta, Manusia Kamar dan Karmila. Mira W dan Marga T adalah dua dari sastrawan wanita Indonesia yang menonjol dengan fiksi romantis yang menjadi ciri-ciri novel mereka. Pada umumnya, tokoh utama dalam novel mereka adalah wanita. Bertolak belakang dengan novel-novel Balai Pustaka yang masih dipengaruhi oleh sastra Eropa abad ke-19 dimana tokoh utama selalu saja dimatikan untuk menonjolkan rasa romantisme dan idealisme, karya-karya pada era 80-an biasanya selalu mengalahkan peran antagonisnya.

Hal yang tak boleh dilupakan, pada era 80-an ini juga tumbuh sastra yang beraliran pop (tetapi tetap sah disebut sastra, jika sastra dianggap sebagai salah satu alat komunikasi), yaitu lahirnya sejumlah novel populer yang dipelopori oleh Hilman dengan Serial Lupus-nya. Justru dari kemasan yang ngepop inilah, maka diyakini tumbuh generasi gemar baca yang kemudian tertarik membaca karya-karya yang lebih ―berat‖.

Ada juga beberapa nama terkenal yang muncul dari komunitas Wanita Penulis Indonesia yang dipimpin oleh Titie Said, mereka adalah: La Rose, Lastri Fardhani, Diah Hadaning, Yvonne de Fretes, dan Oka Rusmini.

Budaya barat dan konflik-konfliknya sebagai tema utama suatu cerita, terus mempengaruhi sastra Indonesia sampai tahun 2000. Nurhayati Dini adalah sastrawan wanita Indonesia lain yang juga menonjol pada dekade 1980-an, yaitu dengan beberapa karyanya seperti: Pada Sebuah Kapal, Namaku Hiroko, La Barka, Pertemuan Dua Hati, dan Hati Yang Damai. Salah satu ciri khas pada novel-novel yang ditulisnya adalah kuatnya pengaruh dari budaya barat, dimana tokoh utama biasanya mempunyai konflik dengan pemikiran timur.

(9) Angkatan Reformasi

Pada masa ini terjadi pergeseran kekuasaan politik dari Presiden Soeharto ke Habibie, lalu dilanjutkan KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan wakilnya Megawati Sukarno Putri, sehingga muncullah berbagai macam jenis wacana yang melatarbelakangi munculnya "Sastrawan Angkatan Reformasi".

Jadi, lahirnya angkatan reformasi, ditandai dengan maraknya berbagai karya-karya sastra, puisi, cerpen, maupun novel, yang lebih bertema sosial-politik, yang khususnya bertemakan seputar reformasi. Di rubrik sastra harian Republika misalnya, selama berbulan-bulan di buka rubrik sajak-sajak peduli bangsa atau sajak-sajak reformasi. Sehingga hal ini mulai membawa minat sastrawan-sastrawan untuk membuat karya bertemakan tentang reformasi.

Berbagai pentas pembacaan sajak dan penerbitan buku antologi puisi juga didominasi sajak-sajak bertema sosial-politik. Sastrawan pada angkatan reformasi juga

banyak merefleksikan keadaan sosial dan politik yang terjadi pada akhir tahun 1990-an, seiring dengan jatuhnya masa Orde Baru (Orba).

Proses reformasi politik yang dimulai pada tahun 1998, banyak juga melatarbelakangi kelahiran berbagai karya sastra—puisi, cerpen, dan novel—pada masa ini.

Bahkan, nama-nama para penyair yang semula jauh dari tema tentang sosial politik, seperti: Sutardji Calzoum Bachri, Ahmadun Yosi Herfanda, serta Acep Zamzam Noer dan Hartono Benny Hidayat dengan media online:

duniasastra(dot)com-nya, juga ikut meramaikan suasana dengan sajak-sajak sosial-politik mereka.

Pada masa ini, ada seorang sastrawan Angkatan Reformasi yang cukup terkenal, dia adalah Widji Thukul, yang merupakan sastrawan sekaligus aktivis hak asasi manusia ini adalah salah satu tokoh yang ikut melawan penindasan rezim Orde Baru. Sejak 1998 sampai sekarang dia tidak diketahui rimbanya (dinyatakan hilang).

(10) Angkatan 2000-an

Sastrawan angkatan 2000 mulai merefleksikan keadaan sosial dan politik yang terjadi pada akhir tahun 90-an, seiring dengan jatuhnya Orde Baru. Proses reformasi politik yang dimulai pada tahun 1998 banyak sekali melatarbelakangi kisah novel fiksi.

Ayu Utami menjadi terkenal pada periode ini, dengan karyanya yang fenomenal berjudul ‗Saman‘, yaitu sebuah fragmen dari cerita Laila Tak Mampir di New York. Karya ini menandai awal bangkitnya kembali sastra Indonesia setelah hampir 20 tahun tenggelam. Gaya

penulisan Ayu Utami yang lebih terbuka, bahkan vulgar, itulah yang membuatnya menjadi semakin menonjol dari pengarang-pengarang yang lain pada masa ini. Novel lain yang ditulisnya adalah ―Larung‖.

Referensi

Andre Hardjana (1981). Kritik Sastra, Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia. p. 1-6

Corti Maria. (1978). An Introduction to Literary Semiotics. Bloongmington: Indiana University Press.

Dijk Teun A van, dkk. (1972; 1974). Zur Bestimmung narrativer Strukturen auf der Grundlage von Textgrammatiken. Hamburg: Buske

Greimas & Courtes (1979). Semiotics and Language.

Bloongmington: Indiana University Press.

Jassin H.B. (1983). Sastra Indonesia sebagai Warga Sastra Dunia. Jakarta: Gramedia.

Kochhar. (2008). Teaching of History. Terjemahan: H Purwanta dan Yovita Hardiwati. Jakarta: Penerbit PT Grasindo

Merriam Webster Inc., ed. (1995). Novel. Merriam-Webster's Encyclopedia of Literature (dalam bahasa Inggris). Springfield, Massachusetts:

Merriam-Webster. Diakses tanggal 14-07-2016.

Nio, Joe-lan (1966). Sastra Tiongkok Sepintas Lalu.

Jakarta: Gunung Agung.

Notosusanto Nugroho.(1984). Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer.Inti Indayu. Jakarta Pratt Mary Lousei. (1977). Toward a Speech Act

Theory of Literary Discourse. Bloongmington:

Indiana University Press.

Rene Wellek dan Austin Warren (1993; 2013). Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Scholes R. (1982). Semiotics and Interpretation.

New Haven: Yale University Press

Simorangkir B & Simanjuntak.(1951;1952). Kesusteraan Indonesia 1-2. Jakarta:Pembangunan

Todorov, Tzvetan. (1985). Tata Sastra.

Jakarta:Penerbit Jembatan

Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. (2016).

Bahasa Yunani. https://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Yunani/

diakses pada tanggal 2 September 2016, pada pukul 21.19 Wita

Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. (2016).

Sastra Jepang. https://id.wikipedia.org/wiki/Sastra_Jepang

diakses pada tanggal 3 September 2016, pada pukul 11.11 Wita

Winfried Noth. (2006). Semiotik. Terjemahan: Abdul Syukur Ibrahim. Surabaya: Airlangga University Press.

BAGIAN III:

Dalam dokumen SEJARAH DAN TEORI SASTRA (Halaman 108-126)