III. METODE PENELITIAN
3.1. Metode Penentuan Lokasi
Lokasi penelitian merupakan tempat dimana penelitian akan dilaksanakan, pada penelitian ini lokasi penelitian dilaksanakan di 5 (lima) kecamatan yang ada
di Kabupaten Langkat. 5 (lima) kecamataan tersebut adalah: Kecamatan Secanggang, Kecamatan Sei Bingai, Kecamatan Selesai, Kecamatan Tanjung
Pura, dan Kecamatan Wampu. Metode penentuan lokasi tersebut dilakukan dengan metode purposive atau sengaja berdasarkan atas pertimbangan-pertimbangan tertentu.
Siswapedia (2013), menyatakan bahwa usulan lokasi penelitian perlu mengungkapkan alasan-alasan yang tepat sesuai permasalahan dan tujuan
penelitian dalam pemilihan suatu daerah sebagai lokasi penelitian. Untuk bisa memberikan alasan-alasan yang lebih tepat dan jelas, hendaknya peneliti mengenali dengan baik lokasi yang nantinya dijadikan lokasi penelitian. Dalam
menentukan lokasi penelitian, cara terbaik ditempuh dengan jalan mempertimbangkan teori subtantif dan menjajaki lapangan untuk mencari
kesesuaiandengan kenyataan yang ada di lapangan sementara itu keterbatasangeografi dan praktis seperti waktu, biaya, tenaga perlu juga dijadikan pertimbangan dalam penentuan lokasi penelitian.
Pemilihan lokasi tersebut didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan: (1) Kecamatan-kecamatan tersebut merupakan 5 kecamatan dengan jumlah penyuluh
Data sebaran jumlah penyuluh di Kabupaten Langkat dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2. Data sebaran jumlah penyuluh di Kabupaten Langkat
No. Kecamatan BPP Sumber: Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kabupaten Langkat, 2016
3.2. Populasi dan Sampel
Populasi adalah jumlah semua penyuluh di lokasi penelitian yaitu semua
penyuluh yang ada di 5 (lima) kecamatan yang berjumlah 49 orang penyuluh. Adapun rinciannya sebagai berikut:
3. Kecamatan Selesai : 9 orang
4. Kecamatan Tanjung Pura : 9 orang 5. Kecamatan Wampu : 8 orang
Sampel adalah obyek penelitian sebagai perwakilan dari populasi. Dalam penelitian ini, pengambilan sampel dilakukan dengan cara sensus terhadap semua
populasi, dimana semua populasi dijadikan sebagai sampel. Artinya, semua penyuluh yang ada di 5 (lima) kecamatan tadi dijadikan sebagai sampel penelitian yaitu berjumlah 49 sampel.
3.3. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan sumber primer maupun sekunder. Sumber primer merupakan sumber data yang diperoleh
langsung dari lapangan, sedangkan sumber sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber-sumber lain yang relevan, misalnya instansi-instansi pemerintah. Data yang diperoleh dari sumber primer disebut data primer, sedangkan data yang
diperoleh dari sumber sekunder disebut data sekunder (Tavi Supriana, 2016). Dalam penelitian ini, data primer diperoleh dari penyuluh (Penyuluh PNS
dan THL-TBPP di 5 lokasi penelitian), sedangkan data sekunder diperoleh dari Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kabupaten Langkat, BPP 5 lokasi penelitian dan instansi-instansi terkait lainnya. Jenis data dan metode
Tabel 3. Data dan metode pengumpulan data
No. Jenis Data Sumber Data Metode Pengumpulan Data 1. Data primer Penyuluh - Wawancara (berdasarkan
daftar kuisioner yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu), - Observasi (melihat
langsung di lapangan) 2. Data sekunder Dinas Pertanian dan
Tanaman Pangan,
Dalam pengumpulan data primer, wawancara yang dilakukan mengacu pada daftar kuisioner yang sudah disiapkan yaitu sebanyak 2 buah kuesioner.
Kuisioner I; berisi pertanyaan-pertanyaan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja penyuluh (variabel-variabel penelitian) yaitu: umur
(tahun), pendidikan formal (tahun), pengalaman kerja (tahun), jarak wilayah kerja (kilometer), jumlah desa binaan (buah), dan kinerja penyuluh (yang tertuang ke dalam 16 pertanyaan mengenai indikator-indikator dalam mengukur kinerja
penyuluh).
Adapun cara menentukan kinerja penyuluh ditentukan oleh hasil evaluasi
kinerja dengan melihat standar Nilai Prestasi Kerja (NPK), dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Indikator pengukuran terdiri dari 3 indikator dengan jumlah pengukuran/
parameter sebanyak 16 pertanyaan, setiap pertanyaan terdiri dari 5 jawaban dan dinilai dengan mengggunakan skala 1 sampai dengan 5. Skala 1
2. Jumlah nilai seluruh pengukuran/ parameter yaitu paling rendah 16 (jumlah
pengukuran/ parameter = 16 X 1) dan paling tinggi 80 (jumlah pengukuran/ parameter = 16 X 5). Jumlah nilai pengukuran/ parameter yang diperoleh
penyuluh disebut Nilai Evaluasi Mandiri (NEM) merupakan ukuran prestasi kerja.
3. Standar NPK penyuluh dinyatakan dalam angka dan sebutan seperti tertera pada Tabel 4.
Tabel 4. Standar nilai prestasi kerja
No. Nilai NPK (Kinerja) Prestasi Kerja
1. 91 ke atas Sangat Baik
2. 76-90 Baik
3. 61-75 Cukup
4. 51-60 Kurang
5. 50 ke bawah Buruk
Sumber: Permentan Nomor 91 Tahun 2013 4. Tata cara perhitungan:
NPK = ����� �
80 x 100
Contoh: Seorang penyuluh dengan total NEM = 60, maka
NPK =
60
80 x 100 = 75
Jadi, kinerja penyuluh tersebut dimasukkan ke dalam kategori “cukup”.
Kuesioner II; berisi tentang pertanyaan-pertanyaan mengenai seluruh faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja berupa faktor internal dan faktor eksternal dimana nantinya akan dapat menentukan dan mengklasifikasikan antara
3.4. Metode Analisis Data
3.4.1. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja penyuluh
Metode analisis data yang digunakan dalam analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja penyuluh adalah metode analisis regresi linier berganda
(multiple regression), dimana metode ini digunakan untuk mengetahui pengaruh antara beberapa variabel bebas terhadap variabel terikat. Variabel bebasnya terdiri
dari umur, pendidikan formal, pengalaman kerja, jarak wilayah kerja, dan jumlah desa binaan. Sedangkan variabel terikatnya adalah kinerja penyuluh. Adapun spesifikasi modelnya adalah:
�= β0 + β1�� + β
2�2+ β3�� + β4�4 + β5�� + Ʃ
dimana :
β0 = konstanta
β1,…, β5= nilai masing-masing variabel
Y = nilai kinerja (total NPK)
X
1= umur (tahun)
X
2= pendidikan formal (tahun)
X
3= pengalaman kerja (tahun)
X4= jarak wilayah kerja (kilometer)
X5 = jumlah desa binaan (buah)
Adapun analisis data yang dilakukan adalah:
1. Uji koefisien determinasi (R Square)
Koefisien determinasi (RSquare) digunakan untuk mengukur seberapa
besar kemampuan variabel bebas dalam menerangkan variasi variabel terikat. Misal, nilai R Square sebesar 0,946 berarti 94,6% variasi variabel terikat (Y)
mampu dijelaskan oleh variasi variabel bebas (X1, X2, X3, X4, X5), sedangkan sisanya sebesar 5,4% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan ke dalam model.
2. Uji serempak (Uji F)
Uji F digunakan untuk melihat apakah secara serempak variabel bebas
(X1, X2, X3, X4, X5) berpengaruh terhadap variabel terikat (Y). Hipotesis:
- H0 : Secara serempak X1, X2, X3, X4, X5 tidak berpengaruh signifikan
terhadap Y
- H1 : Secara serempak X1, X2, X3, X4, X5 berpengaruh signifikan
terhadap Y
Kriteria Uji:
- Bila nilai F-hitung > nilai F-tabel atau nilai sig < α (0,05) maka hipotesis
alternatif (H1) diterima. Artinya ”Secara serempak X1, X2, X3, X4, X5 berpengaruh signifikan terhadap Y”
- Bila nilai F-hitung < nilai F-tabel atau nilai sig > α (0,05) maka hipotesis
alternatif (H1) ditolak. Artinya ”Secara serempak X1, X2, X3, X4, X5
3. Uji parsial (Uji t)
Uji t digunakan untuk menunjukkan apakah secara parsial (individu) variabel bebas (X) berpengaruh terhadap variabel terikat (Y).
Hipotesis:
- H0 : bi = 0 atau variabel X tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel
bebas Y
- H1 : bi ≠ 0 atau variabel X berpengaruh signifikan terhadap variabel bebas
Y
Kriteria Uji:
- Bila nilai t-hitung > nilai t-tabel atau nilai sig < α (0,05) maka hipotesis
alternatif (H1) diterima. Artinya ”Secara parsial X1 berpengaruh signifikan
terhadap Y”
- Bila nilai t-hitung < nilai t-tabel atau nilai sig > α (0,05) maka hipotesis
alternatif (H1) ditolak. Artinya ”Secara parsial X1 tidak berpengaruh
signifikan terhadap Y”
4. Uji koefisien regresi
Koefisien regresi menunjukkan besarnya pengaruh variabel bebas (X) terhadap variabel terikat (Y). nilai koefisien regresi dimasukkan ke dalam
spesifikasi model. Contoh, jika nilai koefisien regresi sebesar 5,485, berarti bahwa setiap adanya peningkatan nilai variabel bebas (X) sebesar 1 satuan, maka akan meningkatkan nilai variabel terikat (Y) sebesar 5,485 satuan.
- Koefisien regresi bertanda negatif (-) berarti peningkatan nilai variabel
bebas akan menurunkan nilai variabel terikat, demikian sebaliknya.
Model regresi linier berganda (multiple regression) dapat disebut sebagai
model yang baik jika model tersebut memenuhi beberapa asumsi yang disebut dengan asumsi klasik. Uji asumsi klasik dilakukan untuk mendapatkan model regresi yang BLUE (Best Linear Unbiased Predicted) sehingga persamaan regresi
yang dihasilkan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Uji asumsi klasik yang digunakan pada penelitian ini adalah:
1. Uji Normalitas
Uji normalitas atau kenormalan digunakan untuk mendeteksi apakah distribusi variabel-variabel bebas dan variabel terikat adalah normal. Menurut
Yusuf (2003) normalitas dapat dideteksi dengan melihat sebaran data (titik) pada sumbu diagonal dari grafik Normal P-Plot of Regression Standarized
Residual. Suatu model dikatakan memenuhi asumsi normalitas apabila data menyebar disekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal.
Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah variabel pengganggu
atau residual memiliki distribusi normal. Sebagai dasar bahwa uji t dan uji F mengasumsikan bahwa nilai residual mengikuti distribusi normal. Jika asumsi
Ada dua cara yang digunakan untuk menguji normalitas:
a. Analisis grafik (normal P-P plot)
- Jika grafik histogram memberikan pola distribusi yang menceng
(skewness) ke kiri atau ke kanan, maka model regresi tidak memenuhi asumsi normalitas
- Jika data menyebar disekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal atau grafik histrogramnya menunjukkan pola distribusi normal model regresi memiliki normalitas
- Jika data menyebar jauh dari diagonal dan atau tidak mengikuti pola distribusi normal, maka model regresi tidak memenuhi normalitas
b. Uji one sample Kolmogorov-Smirnov
Uji ini membandingkan fungsi distribusi kumulatif dari pengamatan dengan fungsi distribusi kumulatif teoritis.
Hipotesis yang diajukan adalah:
- H0 = Tidak ada perbedaan disribusi ui (residual) dengan distribusi
normal atau residual berdistribusi normal
- H1 = Ada perbedaan disribusi ui (residual) dengan distribusi normal
atau residual tidak berdistribusi normal
Krietria pengambilan keputusan:
- Jika signifikansi > α0,05 maka H0 diterima → residual berdistribusi
normal
- Jika signifikansi < α0,05 maka H1 diterima → residual tidak
2. Uji multikolinieritas
Uji multikolinieritas bertujuan untuk menguji apakah pada model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (variabel independen). Dalam
model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi di antara variabel bebas, karena jika hal tersebut terjadi maka hasil estimasi akan bias. Gejala
multikolinieritas dapat dilihat dari apabila secara serempak variabel berpengaruh nyata tetapi secara parsial lebih banyak variabel yang tidak nyata.
Untuk mengetahui ada tidaknya multikolinearitas antar variabel bebas
dengan melihat nilai Variance Inflation Factor (VIF) dan Tolerance dari masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikat. Yang baik adalah tidak
terjadi korelasi yang biasa disebut non multikolinearitas. Pedoman untuk menyatakan tidak terjadi korelasi atau tidak terjadi multikolinieritas adalah:
- Nilai toleransi > 0,1
- Nilai VIF (Variance Inflation Factor) < 10 3. Uji autokorelasi
Uji autokorelasi bertujuan menguji apakah model regresi linier ada
korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode sebelumnya (t-1). Jika terjadi korelasi maka
dinamakan ada problem autokorelasi. Cara untuk mendeteksi gejala autokorelasi yaitu uji Durbin Watson (DW test).
Uji Watson dilakukan dengan membandingkan nilai
Watson dari hasil perhitungan dengan nilai Watson tabel. Nilai Durbin-Watson tabel diperoleh dengan melihat pada K variabel dalam persamaan dan
Kriteria pengujian:
- Bila d < dL → tolak H0. Berarti ada autokorelasi yang positif atau kecenderungannya ρ = 1
- Bila dL ≤ d ≤ dU → kita tidak dapat mengambil kesimpulan apa-apa - Bila dU ≤ d ≤ 4 - dU → terima H0. Artinya tidak ada autokorelasi positif
maupun negatif
- Bila 4 - dU ≤ d ≤ 4 – dL → kita tidak dapat mengambil kesimpulan apa -apa
- Bila d > 4 - dL → tolak H0. Berarti ada autokorelasi yang negatif atau
kecenderungannya ρ = -1
4. Uji heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas terjadi bila variansnya tidak konstan, sehingga seakan-akan ada beberapa kelompok data yang mempunyai besaran eror yang
berbeda-beda sehingga bila diplotkan dengan nilai Ŷi akan membentuk suatu pola.
Heteroskedastisitas dapat dilihat dengan metode grafik yaitu memplotkan
ui2 dan Ŷi. Heteroskedastisitas akan terdeteksi bila plot menunjukkan pola yang sistematis.
Uji heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan verians dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika varians tetap maka disebut homoskedastisitas dan jika berbeda
Ada beberapa cara untuk mendeteksi ada tidaknya heteroskedastisitas
yaitu melihat scatter plot (nilai prediksi dependen ZPRED dengan residual SRESID), uji Gletjer, uji Park, dan uji White.
3.4.2. Analisis strategi peningkatan kinerja penyuluh
Anonim (2012), dalam penyusunan strategi harus melalui riset Analisis SWOT. Analisis SWOT pada dasarnya ditujukan untuk mengembangkan „road
map‟ untuk memandu menuju masa depan yang lebih baik. SWOT itu sendiri
merupakan analisis atas keadaan internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman).
Erwin Suryatama (2014), menjelaskan bahwa SWOT adalah singkatan dari Strengths (S), Weaknesses (W), Opportunities (O), dan Threats (T). Analisis
SWOT sendiri memiliki tujuan untuk memisahkan masalah pokok dan memudahkan pendekatan strategis dalam suatu bisnis atau organisasi.
Rangkuti (2009), menerangkan bahwa analisis SWOT membandingkan
antara faktor internal kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses) dengan faktor eksternal peluang (opportunities) dan ancaman (threats).
Analisis SWOT mencakup:
1. Identifikasi atas berbagai kekuatan (potensi) signifikan daerah (ekonomi, sosial dan sebagainnya) yang dapat mendorong pencapaian tujuan-tujuan.
Kekuatan lazimnya adalah yang sudah dilakukan dengan baik oleh daerah
yang perlu dipelihara, ditingkatkan untuk menghasilkan „competitive
advantage‟.
Kelemahan adalah sesuatu yang tidak dapat dilakukan dengan baik dan
memerlukan upaya untuk mengatasinya, untuk meminimalkan dampak negatifnya sehingga tidak akan mengurangi „competitive disadvantage‟.
3. Identifikasi berbagai peluang-peluang signifikan utama daerah-dampak perkembangan eksternal yang dapat mendorong pencapaian tujuan-tujuan.
Peluang adalah potensi situasi yang menguntungkan yang perlu dioptimasikan dan diprioritaskan untuk mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya.
4. Identifikasi berbagai ancaman signifikan terhadap pengembangan daerah,
dampak perkembangan eksternal yang dapat menghambat pencapaian tujuan-tujuan. Ancaman adalah potensi situasi yang kurang menguntungkan yang
dapat mempengaruhi pertumbuhan dan kesejahteraan. Ancaman perlu diatasi agar dapat menjamin kelangsungan perkembangan daerah.
Beberapa tips dalam melakukan SWOT:
1. Ada dokumentasi informasi keadaan internal dan external 2. Gunakan kerangka berfikir, checklist
3. Ada masukan dari stakeholders
4. Pastikan bahwa SWOT mencerminkan keadaan/situasi sekarang
5. Individu terlibat dalam analisis SWOT mengetahui posisi dan peranan
masing-masing
Langkah-langkah analisis SWOT:
1. Identifikasi faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal yang
mempengaruhi kinerja penyuluh.
2. Penentuan faktor S, W, O dan T berdasarkan skor. Setelah faktor-faktor
ditanyakan kepada responden untuk memperoleh penilaian setiap faktor. Nilai
skor berkisar antara 1 sampai 4, dari penilaian terendah sampai tertinggi dengan kriteria skor yang telah ditetapkan. Setelah diperoleh skor tiap faktor
dari setiap responden, kemudian dicari nilai rata-rata skor dari seluruh responden untuk masing-masing faktor. Pada faktor internal, nilai rata-rata
skor 1 dan 2 menunjukkan Kelemahan (Weakness), dan nilai rata-rata skor 3 dan 4 menunjukkan Kekuatan (Strength). Sedangkan pada faktor eksternal, nilai rata-rata skor 1 dan 2 menunjukkan Ancaman (Threat), dan nilai rata-rata
skor 3 dan 4 menunjukkan Peluang (Opportunity).
3. Membuat matrik IFAS (Internal Factors Analysis Strategic), dengan tahapan
sebagai berikut:
a. Kolom 1: tentukan faktor-faktor yang menjadi kekuatan dan kelemahan b. Kolom 2: beri bobot masing-masing faktor tersebut dengan skala 0,00
(tidak penting) sampai 1,00 (paling penting), berdasarkan pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap posisi strategis (semua bobot dari kekuatan dan kelemahan tersebut jumlahnya tidak boleh melebihi bobot total 1,00)
c. Kolom 3: masukkan nilai rata-rata skor dari masing-masing faktor
d. Kolom 4: skor tertimbang perkalian antara bobot dengan skor (kolom 2 x
4. Membuat matrik EFAS (Eksternal Factors Analysis Strategic), dengan
tahapan sebagai berikut:
a. Kolom 1: tentukan faktor-faktor yang menjadi peluang dan ancaman
b. Kolom 2: beri bobot masing-masing faktor tersebut dengan skala 0,00 (tidak penting) sampai 1,00 (paling penting), berdasarkan pengaruh
faktor-faktor tersebut terhadap posisi strategis (semua bobot dari peluang dan ancaman tersebut jumlahnya tidak boleh melebihi bobot total 1,00)
c. Kolom 3: masukkan nilai rata-rata skor dari masing-masing factor
d. Kolom 4: skor tertimbang perkalian antara bobot dengan skor (kolom 2 x kolom 3). Skor tertimbang dijumlahkan untuk mendapatkan total skor
masing-masing peluang dan ancaman 5. Penentuan matrik posisi dalam SWOT
Dari matrik IFAS dan EFAS, maka akan diperoleh selisih faktor strategis
internal (kekuatan – kelemahan) dan selisih faktor strategis eksternal (peluang
– ancaman). Dan akan menghasilkan matrik posisi dalam SWOT seperti
Gambar 2. Matrik posisi dalam SWOT Keterangan:
Kuadran 1: Merupakan situasi yang sangat menguntungkan, perusahaan
tersebut memiliki kekuatan dan peluang sehingga dengan kekuatan yang dimiliki dapat memanfaatkan peluang yang ada.
Strategi yang harus diterapkan dalam kondisi ini adalah strategi agresif.
Kuadran 2 : Meskipun menghadapi berbagai ancaman, perusahaan masih
memiliki kekuatan dari segi internal. Strategi yang harus diterapkan adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan
peluang jangka panjang dengan cara strategi diversifikasi.
Kuadran 3: Perusahaan menghadapi peluang yang sangat besar, tetapi dilain pihak harus mengahadapi beberapa kendala/ kelemahan internal.
Peluang (O)
Ancaman (T)
Kekuatan (S) Kelemahan (W)
Kuadran 1
Kuadran 2 Kuadran 4
Fokus strategi perusahaan adalah meminimalkan
masalah-masalah internal perusahaan dengan cara strategi turn around.
Kuadran 4: Merupakan situasi yang sangat tidak menguntungkan, perusahaan
menghadapai berbagai ancaman dan kelemahan internal. Strategi yang diterapkan adalah strategi defensif.
6. Penyusunan strategi dengan menggunakan matrik SWOT
Alat yang dipakai untuk menyusun faktor-faktor strategi adalah matrik SWOT. Matrik ini dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan
ancaman eksternal yang dihadapi penyuluh dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan internal yang dimiliki penyuluh. Matrik ini dapat menghasilkan 4
IFAS
3.5. Definisi dan Batasan Operasional Variabel
Untuk menghindari kesalahpahaman, dalam penelitian ini dibuat beberapa
definisi operasional variabel dan batasan operasional variabel, yaitu:
3.5.1. Defenisi operasional variabel
3.5.1.1. Variabel-variabel analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja penyuluh
a. Kinerja penyuluh adalah hasil evaluasi kinerja yang mengacu kepada nilai prestasi kerja (NPK)
b. Umur adalah usia penyuluh, diukur dalam satuan tahun
c. Pendidikan formal adalah lamanya proses pendidikan formal yang dilakukan
oleh penyuluh, diukur dalam satuan tahun
e. Jarak wilayah kerja adalah jarak tempuh perjalanan penyuluh dari rumah
menuju tempat kerja (BPP), diukur dalam satuan kilometer
f. Jumlah desa binaan adalah banyaknya WKPP yang dibina oleh penyuluh,
diukur dalam satuan buah
3.5.1.2. Variabel-variabel analisis strategi peningkatan kinerja penyuluh a. Pendidikan formal adalah tingkat pendidikan formal penyuluh
b. Pelatihan adalah pendidikan kompetensi penyuluh di luar pendidikan formal c. Umur adalah usia penyuluh
d. Motivasi adalah alasan menjadi seorang penyuluh
e. Pemanfaatan media penyuluhan adalah penggunaan media dalam kegiatan penyuluhan
f. Masa kerja/ pengalaman kerja adalah lamanya pengalaman penyuluh dalam menjalankan pekerjaannya sebagai penyuluh
g. Ketersediaan sarana dan prasarana adalah fasilitas atau sarana prasarana yang
diterima baik bersifat individu maupun fasilitas umum di lingkup kantor h. Sistem penghargaan adalah upaya reward and punishment dari organisasi
penyuluhan
i. Jarak wilayah kerja adalah jarak tempuh perjalanan penyuluh dari rumah menuju tempat kerja (BPP)
j. Jumlah desa binaan adalah banyaknya WKPP yang dibina oleh penyuluh k. Jumlah kelompok tani binaan adalah banyaknya kelompok tani yang dibina
oleh penyuluh
m. Tingkat partisipasi aktif petani adalah respon petani dalam kegiatan
penyuluhan
n. Hubungan dalam organisasi adalah hubungan seorang penyuluh dengan
penyuluh lainnya, penyuluh dengan atasan, dan penyuluh dengan organisasi penyuluhan
o. Dukungan pembinaan dan supervisi adalah kegiatan pembinaan dan supervisi yang dilakukan oleh organisasi penyuluhan ditingkat kabupaten
3.5.2. Batasan operasional variabel
a. Lokasi penelitian adalah 5 (lima) kecamatan di Kabupaten Langkat, yaitu:
Kecamatan Secanggang, Kecamatan Sei Bingai, Kecamatan Selesai, Kecamatan Tanjung Pura, dan Kecamatan Wampu
b. Sampel penelitian adalah penyuluh PNS dan THL-TBPP yang ada di lokasi penelitian
c. Waktu penelitian adalah bulan Maret s.d April 2017
d. Jumlah populasi adalah 49 orang penyuluh
IV. DESKRIPSI WILAYAH DAN VARIABEL PENELITIAN
4.1. Deskripsi Wilayah Penelitian
4.1.1. Letak geografis
Wilayah Kabupaten Langkat terletak pada koordinat 3°14‟ - 4°13‟ LU dan
97°52‟ - 98°45‟ BT dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:
- Sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka dan Propinsi Aceh - Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Karo
- Sebelah barat berbatasan dengan Propinsi Aceh dan Tanah Alas
- Sebeleh timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang dan Kota Binjai
4.1.2. Topografi
Topografi wilayah Kabupaten Langkat dapat digolongkan atas tiga bagian, yaitu:
a. Wilayah pesisir pantai dengan ketinggian 0 – 4 m di atas permukaan laut
b. Wilayah dataran rendah dengan ketinggian 4 – 30 m di atas permukaan laut c. Wilayah dataran tinggi dengan ketinggian 30 – 1.200 m di atas permukaan
laut
Keadaan kelerengan di daerah ini didominasi kelerengan 0 – 2% sebesar 59,40% dari luas Kabupaten Langkat. Kelerengan terkecil adalah kelerengan 15 –
40% sebesar 6,8% dari luas lahan.
Daerah ini dialiri oleh 26 sungai besar dan kecil, melalui kecamatan dan
sungai-4.1.3. Luas wilayah
Luas keseluruhan Kabupaten Langkat adalah 6.263,29 km² atau 626.329 Ha. Rincian luas wilayah di tiap Kecamatan dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Luas wilayah menurut kecamatan dan penggunaannya
No. Kecamatan
Luas Kabupaten Langkat Menurut Kecamatan dan Penggunaannya (Hektar)
4.1.4. Iklim
Iklim di wilayah Kabupaten Langkat termasuk tropis dengan indikator iklim sebagai berikut:
- Musim Kemarau: Februari s/d Agustus - Musim Hujan: September s/d Januari
- Curah hujan rata-rata 2000 - 3500 mm/tahun. Rata-rata curah hujan per bulan adalah 142,59 mm/bulan dengan rata-rata hari hujan 10 hari per bulan
- Suhu rata-rata 28,0 – 30,0°C
4.1.5. Jenis tanah
Berbagai jenis tanah yang terdapat di Kabupaten Langkat yaitu:
- Sepanjang pantai terdiri dari jenis tanah alluvial, yang sesuai untuk jenis
tanaman pertanian pangan
- Dataran rendah dengan jenis tanah glei humus rendah, hydromofil kelabu dan plarosal
- Dataran tinggi jenis tanah podsolid berwarna merah kuning
4.1.6. Penggunaan lahan
Wilayah Kabupaten Langkat digunakan untuk:
a. Kawasan Hutan Lindung seluas ± 266.232 Ha (42,51%) Kawasan Hutan Lindung terdiri dari:
- Kawasan Pelestarian Alam Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL)
seluas ± 213.985 Ha
- Kawasan Timur Laut seluas ± 9.520 Ha
- Kawasan Hutan Bakau seluas ± 20.200 Ha
- Kawasan lainnya ±14.927 Ha
b. Kawasan Lahan Budidaya seluas ± 360.097 Ha (57,49%)
4.1.7. Penduduk
Jumlah penduduk di Kabupaten Langkat sekitar 1 juta jiwa lebih. Jumlah penduduk paling besar adalah di Kecamatan Stabat. Penduduk asli Kabupaten
Langkat adalah Suku Melayu sedangkan suku pendatang ialah Jawa, Karo, Batak (Toba dan Simalungun), Mandailing, Minang, Aceh, Tionghoa, Tamil dan lain-lain. Walaupun merupakan suku pendatang, Suku Jawa merupakan suku
mayoritas di Kabupaten Langkat. Rincian kependudukan di Kabupaten Langkat dapat dilihat pada Tabel 6 dan Tabel 7.
Tabel 6. Jumlah penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin
Kelompok Umur (Tahun)
Tahun 2015
Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin (Jiwa)
Laki-Laki Perempuan Jumlah
0 - 4 54.697 52.781 107.478
Total 510.288 503.097 1.013.385
Sumber: BPS Kabupaten Langkat, 2015
Rincian jumlah penduduk menurut kecamatan dan jenis kelamin tertera
Tabel 7. Jumlah penduduk menurut kecamatan dan jenis kelamin
No. Kecamatan
2015
Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin (Jiwa)
Laki-Laki Perempuan Jumlah
1. Bohorok 20.908 20.812 41.720
Total 510.288 503.097 1.013.385
4.1.8. Jumlah desa dan kelurahan
Jumlah desa dan kelurahan di Kabupaten langkat berjumlah 277 desa/ kelurahan. Rincian jumlah desa dan kelurahan dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Jumlah desa dan kelurahan
No. Kecamatan Jumlah Desa dan Kelurahan
Desa Kelurahan Jumlah
1. Bohorok 18 1 19
4.2. Deskripsi Variabel Penelitian
Variabel penelitian dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu variabel bebas/ independent (variabel yang mempengaruhi) dan variabel terikat/ dependent
(variabel yang dipengaruhi). Dalam penelitian ini, yang menjadi variabel bebas adalah umur, pendidikan formal, pengalaman kerja, jarak wilayah kerja, dan
jumlah desa binaan. Sedangkan variabel terikat adalah kinerja penyuluh. Deskripsi variabel-variabel dari semua sampel penelitian dapat dilihat pada Lampiran 3. Berikut diterangkan klasifikasi sampel berdasarkan variabel penelitian:
4.2.1. Umur
Klasifikasi sampel berdasarkan umur tertera pada Tabel 9. Tabel 9. Klasifikasi sampel berdasarkan umur
No. Umur (Tahun) Jumlah (Orang) Persentase (%)
1. 18 – 28 2 4,08
2. 29 – 43 19 38,78
3. 44 – 58 26 53,06
4. > 58 2 4,08
Jumlah 49 100,00
Sumber: Data diolah terlampir, 2017
Dari Tabel 9, dapat dilihat bahwa umur sampel terbanyak adalah kisaran antara 44 – 58 tahun, yaitu berjumlah 26 sampel dari 49 sampel atau sebanyak
4.2.2. Pendidikan formal
Klasifikasi sampel berdasarkan pendidikan formal tertera pada Tabel 10. Tabel 10. Klasifikasi sampel berdasarkan pendidikan formal
No. Pendidikan Formal Jumlah (Orang) Persentase (%)
1. SLTA 22 44,90
2. Diploma 3 3 6,12
3. Diploma 4/ Strata 1 24 48,98
Jumlah 49 100,00
Sumber: Data diolah terlampir, 2017
Dari Tabel 10, dapat dilihat bahwa pendidikan formal sampel terbanyak
adalah Diploma 4/ Strata 1, yaitu berjumlah 24 sampel dari 49 sampel atau sebanyak 48,98%. Nilai rata-rata pendidikan formal seluruh sampel adalah 14,14
(≈ 14 tahun), artinya rata-rata pendidikan formal sampel sudah cukup tinggi.
4.2.3. Pengalaman kerja
Klasifikasi sampel berdasarkan pengalaman kerja tertera pada Tabel 11.
Tabel 11. Klasifikasi sampel berdasarkan pengalaman kerja
No. Pengalaman Kerja (Tahun) Jumlah (Orang) Persentase (%)
1. 0 – 3 - -
2. 4 – 7 - -
3. 8 – 11 31 63,27
4. > 11 18 36,73
Jumlah 49 100,00
Sumber: Data diolah terlampir, 2017
Dari Tabel 11, dapat dilihat bahwa pengalaman kerja sampel terbanyak
adalah berkisar antara 8 – 11 tahun, yaitu berjumlah 31 sampel dari 49 sampel atau sebanyak 63,27%. Nilai rata-rata pengalaman kerja seluruh sampel adalah
15,18 (≈ 15 tahun), artinya rata-rata pengalaman kerja sampel sudah cukup
4.2.4. Jarak wilayah kerja
Klasifikasi sampel berdasarkan jarak wilayah kerja tertera pada Tabel 12. Tabel 12. Klasifikasi sampel berdasarkan jarak wilayah kerja
No. Jarak Wilayah Kerja (KM) Jumlah (Orang) Persentase (%)
1. ≤ 5 18 36,73
2. 6 – 10 26 53,06
3. 11 – 19 3 6,13
4. ≥ 20 2 4,08
Jumlah 49 100,00
Sumber: Data diolah terlampir, 2017
Dari Tabel 12, dapat dilihat bahwa jarak wilayah kerja sampel terbanyak adalah kisaran antara 6 – 10 kilometer, yaitu berjumlah 26 sampel dari 49 sampel
atau sebanyak 53,06%. Nilai rata-rata jarak wilayah kerja seluruh sampel adalah
7,20 (≈ 7 kilometer), artinya rata-rata jarak wilayah kerja sampel tidak terlalu jauh
dan tidak sampai luar kota.
4.2.5. Jumlah desa binaan
Klasifikasi sampel berdasarkan jumlah desa binaan tertera pada Tabel 13.
Tabel 13. Klasifikasi sampel berdasarkan jumlah desa binaan
No. Jumlah Desa Binaan (Buah) Jumlah (Orang) Persentase (%)
1. 1 21 42,86
2. 2 25 51,02
3. 3 3 6,12
4. ≥ 4 - -
Jumlah 49 100,00
Sumber: Data diolah terlampir, 2017
Dari Tabel 13, dapat dilihat bahwa jumlah desa binaan sampel terbanyak
4.2.6. Kinerja penyuluh
Berdasarkan hasil evaluasi kinerja terhadap sampel penelitian yaitu penyuluh, maka didapat hasil seperti tertera pada Tabel 14.
Tabel 14. Klasifikasi sampel berdasarkan hasil evaluasi kinerja
No. NPK (Kinerja) Jumlah (Orang) Persentase (%)
1. ≥ 91 5 10,20
2. 76 – 90 28 57,14
3. 61 – 75 16 32,66
4. 51 – 60 - -
5. ≤ 50 - -
Jumlah 49 100,00
Sumber: Data diolah terlampir, 2017
Dari Tabel 14, dapat dilihat bahwa nilai kinerja sampel terbanyak adalah kisaran antara 76 - 90, yaitu 28 sampel dari 49 sampel atau sebanyak 57,14%.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Penyuluh
Sebelum melakukan analisis sudah dipastikan bahwa data-data mengenai
variabel-variabel penelitian sudah didapatkan. Setelah itu barulah dilakukan analisis data. Metode analisis data yang digunakan adalah metode analisis regresi
linier berganda (multiple regression) dengan menggunakan program SPSS Statistics, dimana metode ini digunakan untuk mengetahui pengaruh antara beberapa variabel bebas terhadap variabel terikat.
Berikut hasil analisis data yang dilakukan: 1. Uji koefisien determinasi (R Square)
Koefisien determinasi (RSquare) digunakan untuk mengukur seberapa besar kemampuan variabel bebas dalam menerangkan variasi variabel terikat. Dari hasil olah data, diperoleh hasil seperti pada Tabel 15.
Tabel 15. Uji koefisien determinasi (R Square)
Model R Square
1 Regression 0,729
Sumber: Data diolah terlampir, 2017
Dari Tabel 15, diperoleh nilai R Square adalah 0,729. Artinya, sebesar 72,9% kinerja penyuluh mampu dijelaskan oleh variabel umur, pendidikan formal, pengalaman kerja, jarak wilayah kerja, dan jumlah desa binaan.
Sedangkan sisanya sebesar 27,1% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan ke dalam model.
2. Uji serempak (Uji F)
Uji F digunakan untuk melihat apakah secara serempak variabel bebas berpengaruh terhadap variabel terikat. Dari hasil olah data, diperoleh hasil
Tabel 16. Uji F
Model F-hitung F-tabel Signifikansi (α)
1 Regression 23,164 2,43 0,000 0,05
Sumber: Data diolah terlampir, 2017
Dari Tabel 16, diperoleh bahwa nilai F-hitung > nilai F-tabel (23,164 >
2,43) atau nilai Signifikansi < α (0,000 < 0,05), artinya hipotesis yang diperoleh adalah H1 diterima, dimana secara serempak variabel umur,
pendidikan formal, pengalaman kerja, jarak wilayah kerja, dan jumlah desa binaan berpengaruh signifikan terhadap kinerja penyuluh.
3. Uji parsial (Uji t)
Uji t digunakan untuk menunjukkan apakah secara parsial (individu) variabel bebas berpengaruh terhadap variabel terikat. Dari hasil olah data,
diperoleh hasil seperti pada Tabel 17. Tabel 17. Uji t Sumber: Data diolah terlampir, 2017
Dari Tabel 17, maka dapat dijelaskan dari masing-masing variabel sebagai berikut:
- Variabel umur: nilai t-hitung < nilai t-tabel (1,371 < 1,681) atau nilai
Signifikansi > α (0,177 > 0,05), artinya hipotesis yang diperoleh adalah H0
diterima, dimana secara parsial variabel umur tidak berpengaruh signifikan
- Variabel pendidikan formal: t-hitung > nilai t-tabel (4,046 > 1,681) atau nilai
Signifikansi < α (0,000 < 0,05), artinya hipotesis yang diperoleh adalah H1
diterima, dimana secara parsial variabel pendidikan formal berpengaruh
signifikan terhadap kinerja penyuluh
- Variabel pengalaman kerja: t-hitung > nilai t-tabel (5,221 > 1,681) atau nilai
Signifikansi < α (0,000 < 0,05), artinya hipotesis yang diperoleh adalah H1
diterima, dimana secara parsial variabel pengalaman kerja berpengaruh signifikan terhadap kinerja penyuluh
- Variabel jarak wilayah kerja: t-hitung > nilai t-tabel (2,879 > 1,681) atau nilai
Signifikansi < α (0,006 < 0,05), artinya hipotesis yang diperoleh adalah H1
diterima, dimana secara parsial variabel jarak wilayah kerja berpengaruh signifikan terhadap kinerja penyuluh
- Variabel jumlah desa binaan: nilai t-hitung < nilai t-tabel (1,402 < 1,681) atau
nilai Signifikansi > α (0,168 > 0,05), artinya hipotesis yang diperoleh adalah H0 diterima, dimana secara parsial variabel jumlah desa binaan
tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja penyuluh
4. Uji koefisien regresi
Koefisien regresi menunjukkan besarnya pengaruh variabel bebas
terhadap variabel terikat. nilai koefisien regresi dimasukkan ke dalam spesifikasi model.
Dari Tabel 17, dapat dirumuskan spesifikasi model sebagai berikut: �= β0 + β1�� + β2�2+ β3�� +
β4�4 + β5��+Ʃ
� = 64,345– 0,151 ��+ 1,348 �
Kinerja penyuluh = 64,345– 0,151 umur+ 1,348 pendidikan formal + 0,492
pengalaman kerja– 0,415 jarak wilayah kerja– 1,414 jumlah desa binaan
+ Ʃ
Dari spesifikasi model tersebut maka dapat disimpulkan bahwa:
- Pengaruh umur terhadap kinerja penyuluh adalah: setiap adanya peningkatan umur penyuluh sebesar 1 tahun, maka akan menurunkan nilai
kinerja penyuluh sebesar 0,151
- Pengaruh pendidikan formal terhadap kinerja penyuluh adalah: setiap adanya peningkatan pendidikan formal penyuluh sebesar 1 tahun, maka
akan meningkatkan nilai kinerja penyuluh sebesar 1,348
- Pengaruh pengalaman kerja terhadap kinerja penyuluh adalah: setiap
adanya peningkatan pengalaman kerja penyuluh sebesar 1 tahun, maka akan meningkatkan nilai kinerja penyuluh sebesar 0,492
- Pengaruh jarak wilayah kerja terhadap kinerja penyuluh adalah: setiap
adanya peningkatan jarak wilayah kerja penyuluh sebesar 1 kilometer, maka akan menurunkan nilai kinerja penyuluh sebesar 0,415.
- Pengaruh jumlah desa binaan terhadap kinerja penyuluh adalah: setiap adanya peningkatan jumlah desa binaan penyuluh sebesar 1 buah, maka
Model regresi linier berganda (multiple regression) dapat disebut sebagai
model yang baik jika model tersebut memenuhi beberapa asumsi yang disebut dengan asumsi klasik. Uji asumsi klasik dilakukan untuk mendapatkan model
regresi yang BLUE (Best Linear Unbiased Predicted) sehingga persamaan regresi yang dihasilkan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Uji asumsi klasik
yang digunakan pada penelitian ini adalah: 1. Uji Normalitas
Uji normalitas atau kenormalan digunakan untuk mendeteksi apakah
distribusi variabel-variabel bebas dan variabel terikat adalah normal. Suatu model dikatakan memenuhi asumsi normalitas apabila data menyebar disekitar
garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal.
Ada dua cara yang digunakan untuk menguji normalitas: a. Analisis grafik (normal P-P plot)
Dari hasil olah data diperoleh hasil seperti pada Gambar 4 dan Gambar 5.
Dari Gambar 4, dapat dilihat bahwa data menyebar disekitar garis diagonal
dan mengikuti arah garis diagonal, artinya model regresi tersebut memiliki normalitas.
Gambar 5. Grafik Histogram
Dari Gambar 5, dapat dilihat bahwa grafik histogram menunjukkan pola distribusi normal, artinya model regresi tersebut memiliki normalitas.
b. Uji one sample Kolmogorov-Smirnov
Dari hasil olah data diperoleh hasil seperti pada Tabel 18.
Tabel 18. Uji one sample Kolmogorov-Smirnov
Unstandardized Residual
Asymp. Sig. (2-tailed) 0,941
Sumber: Data diolah terlampir, 2017
2. Uji multikolinieritas
Uji multikolinieritas bertujuan untuk menguji apakah pada model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (variabel independen). Dalam
model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi di antara variabel bebas, karena jika hal tersebut terjadi maka hasil estimasi akan bias. Gejala
multikolinieritas dapat dilihat dari apabila secara serempak variabel berpengaruh nyata tetapi secara parsial lebih banyak variabel yang tidak nyata.
Untuk mengetahui ada tidaknya multikolinearitas antar variabel bebas
dengan melihat nilai Variance Inflation Factor (VIF) dan Tolerance dari masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikat. Yang baik adalah tidak
terjadi korelasi yang biasa disebut non multikolinearitas. Pedoman untuk menyatakan tidak terjadi korelasi atau tidak terjadi multikolinieritas adalah :
- Nilai toleransi > 0,1
- Nilai VIF (Variance Inflation Factor) < 10
Dari hasil olah data diperoleh hasil seperti pada Tabel 19.
Tabel 19. Uji multikolinieritas
Model Collinearity Statistics
Tolerance VIF
Umur 0,359 2,782
Pendidikan formal 0,750 1,334
Pengalaman kerja 0,358 2,794
Jarak wilayah kerja 0,965 1,036
Jumlah desa binaan 0,875 1,142
Sumber: Data diolah terlampir, 2017
Dari Tabel 19, dapat disimpulkan bahwa nilai toleransi dari masing-masing semua variabel bebas memiliki nilai toleransi > 0,1 dan nilai VIF < 10,
3. Uji autokorelasi
Cara untuk mendeteksi gejala autokorelasi yaitu uji Durbin Watson (DW test). Uji Watson dilakukan dengan membandingkan nilai
Durbin-Watson dari hasil perhitungan dengan nilai Durbin-Durbin-Watson tabel. Dari hasil olah data diperoleh hasil seperti pada Tabel 20.
Tabel 20. Uji autokorelasi
Model Durbin-Watson-hitung Durbin-Watson-tabel
1 Regression d = 1,505 dL = 1,3258
dU = 1,7716 Sumber: Data diolah terlampir, 2017
Dari Tabel 20, diperoleh nilai Durbin-Watson-hitung d = 1,505. Nilai
Durbin-Watson-tabel diperoleh hasil dL = 1,3258; dan dU = 1,7716. Dari hasil
tersebut sesuai dengan kriteria rumus sebagai berikut:
≈ dU ≤ d ≤ 4 - dU
≈ 1,7716≤ 1,505 ≤ 4 – (1,7716)
≈ 1,7716 ≤ 1,505 ≤ 2,2284 → H0 diterima, artinya tidak ada autokorelasi
positif maupun negatif (tidak terjadi autokorelasi). 5. Uji heteroskedastisitas
Model regresi yang baik yaitu homoskesdatisitas atau tidak terjadi heteroskedastisitas. Salah satu cara untuk mendeteksi ada tidaknya heteroskedastisitas yaitu melihat scatter plot. Dari hasil olah data diperoleh
Gambar 6. Scatterplot
Dari hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja penyuluh di
atas, dapat disimpulkan bahwa secara garis besar terdapat kesamaan antara hasil analisis dengan hipotesis yang dibuat (bersumber dari teori), dimana hipotesis
menyatakan bahwa umur, jarak wilayah kerja, dan jumlah desa binaan berpengaruh signifikan secara negatif terhadap kinerja penyuluh, sedangkan
pendidikan formal dan pengalaman kerja berpengaruh signifikan secara positif terhadap kinerja penyuluh. Hasil analisis juga menyatakan hal demikian, hanya saja variabel umur dan jumlah desa binaan tidak berpengaruh signifikan terhadap
kinerja penyuluh, akan tetapi kedua variabel tersebut sama-sama berpengaruh secara negatif terhadap kinerja penyuluh sama seperti hipotesis yang dibuat.
Variabel umur, tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja penyuluh disebabkan karena sebagian besar umur penyuluh berada pada kisaran 44 – 58 tahun (53,06%), dengan kata lain umur penyuluh bisa dikatakan sudah cukup tua.
Dalam kondisi seperti itu, umur yang cukup tinggi akan dibarengi oleh pengalaman kerja yang juga tinggi sehingga pengalaman kerja akan menutupi faktor umur tersebut dalam hal pencapaian kinerja.
Variabel jumlah desa binaan, tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja penyuluh disebabkan karena sebagian besar jumlah desa binaan
masing-masing penyuluh adalah 2 buah desa (51,02%). Dalam kondisi keterbatasan jumlah penyuluh sampai pada saat ini, penyuluh yang memiliki jumlah desa binaan lebih dari 1, sudah menjadi hal yang biasa dan sudah cukup lama dialami
Pada review penelitian terdahulu yaitu penelitian Rafiqah Amanda Lubis
(2014) yang berjudul “Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja penyuluh
pertanian di Kabupaten Mandailing natal” diperoleh hasil bahwa faktor-faktor
karakteristik penyuluh yang berpengaruh secara signifikan dengan keberhasilan kinerja penyuluh yaitu tingkat pendidikan, sedangkan faktor-faktor karakteristik
penyuluh yang tidak berpengaruh secara signifikan terhadap keberhasilan kinerja penyuluh yaitu gaji, umur, masa kerja, dan jumlah petani binaan. Melihat dari hasil penelitian tersebut terdapat beberapa kesamaan hasil penelitian, yaitu
variabel pendidikan formal sama-sama berpengaruh signifikan terhadap kinerja penyuluh, sedangkan variabel umur sama-sama tidak berpengaruh signifikan
terhadap kinerja penyuluh. Akan tetapi terdapat juga perbedaan dimana pada penelitian Rafiqah Amanda Lubis bahwa variabel masa kerja tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja penyuluh sedangkan pada penelitian ini didapat bahwa
masa kerja/ pengalaman kerja berpengaruh signifikan terhadap kinerja penyuluh.
Pada penelitian Kusmiyati, et al (2010) yang berjudul “Kinerja penyuluh
pertanian PNS dalam melaksanakan Tupoksi di Kabupaten Bogor” diperoleh hasil
bahwa faktor internal yang mendukung kinerja dalam melaksanakan tupoksi adalah tingkat pendidikan formal, faktor eksternal yang mendukung kinerja dalam
melaksanakan tupoksi adalah kebijakan pemerintah. Melihat dari hasil penelitian tersebut terdapat beberapa kesamaan hasil penelitian, yaitu variabel pendidikan formal sama-sama berpengaruh signifikan terhadap kinerja penyuluh, sedangkan
5.2. Analisis Strategi Peningkatan Kinerja Penyuluh
Analisis yang dilakukan untuk menetukan strategi peningkatan kinerja penyuluh adalah menggunakan analisis SWOT. Adapun langkah-langkah analisis
SWOT yang dilakukan adalah:
1. Identifikasi faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal yang
mempengaruhi kinerja penyuluh.
Berdasarkan landasan teori yang dibuat, maka dapat diklasifikasikan faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi kinerja
penyuluh seperti yang dapat dilihat pada Tabel 21.
Tabel 21. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja penyuluh
Faktor Internal Faktor Eksternal
- Pendidikan formal - Ketersediaan sarana dan prasarana
- Pelatihan - Sistem penghargaan
- Umur - Jarak wilayah kerja
- Motivasi - Jumlah desa binaan
- Pemanfaatan media penyuluhan - Jumlah kelompok tani binaan - Masa kerja/ pengalaman kerja - Teknologi informasi
- Tingkat partisipasi aktif petani - Hubungan dalam organisasi - Dukungan pembinaan dan
supervisi
Dari Tabel 21, dapat dijelaskan bahwa yang menjadi faktor internal dalam faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja penyuluh adalah: pendidikan formal,
pelatihan, umur, motivasi, pemanfaatan media penyuluhan, dan masa kerja/ pengalaman kerja, sedangkan faktor eksternal dalam faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja penyuluh adalah: ketersediaan sarana dan prasarana,
sistem penghargaan, jarak wilayah kerja, jumlah desa binaan, jumlah kelompok tani binaan, teknologi informasi, tingkat partisipasi aktif petani,
2. Penentuan faktor S, W, O dan T.
Faktor S, W, O dan T diperoleh setelah didapat nilai rata-rata masing-masing variabel hasil wawancara kuesioner yang dilakukan. Hasil rekapan
wawancara terhadap sampel dapat dilihat pada Lampiran 5. Faktor internal akan menghasilkan kekuatan (S) dan kelemahan (W), sedangkan faktor
eksternal akan menghasilkan peluang (O) dan ancaman (T). Rincian penentuan faktor S, W, O dan T dapat dilihat pada Tabel 22 dan Tabel 23.
Penentuan faktor S dan W dari faktor internal seperti tertera pada Tabel
22.
Tabel 22. Penentuan faktor S dan W
Faktor Internal Kekuatan (S) Kelemahan (W)
- Pendidikan formal √
- Pelatihan √
- Umur √
- Motivasi √
- Pemanfaatan media penyuluhan √
- Masa kerja/ pengalaman kerja √ Sumber: Data diolah terlampir, 2017
Dari Tabel 22, dapat ditentukan bahwa yang menjadi kekuatan (S) dalam strategi peningkatan kinerja penyuluh adalah: pendidikan formal, pelatihan,
motivasi, dan masa kerja/ pengalaman kerja, sedangkan yang menjadi kelemahan (W) dalam strategi peningkatan kinerja penyuluh adalah umur dan pemanfaatan media penyuluhan.
Tabel 23. Penentuan faktor O dan T
Faktor Eksternal Peluang (O) Ancaman (T)
- Ketersediaan sarana dan prasarana √
- Sistem penghargaan √
- Jarak wilayah kerja √
- Jumlah desa binaan √
- Jumlah kelompok tani binaan √
- Teknologi informasi √
- Tingkat partisipasi aktif petani √
- Hubungan dalam organisasi √
- Dukungan pembinaan dan supervisi √ Sumber: Data diolah terlampir, 2017
Dari Tabel 23, dapat ditentukan bahwa yang menjadi peluang (O) dalam
strategi peningkatan kinerja penyuluh adalah: jarak wilayah kerja, jumlah desa binaan, tingkat partisipasi aktif petani, hubungan dalam organisasi, dan dukungan pembinaan dan supervisi, sedangkan yang menjadi ancaman (T)
dalam strategi peningkatan kinerja penyuluh adalah ketersediaan sarana dan prasarana, sistem penghargaan, jumlah kelompok tani binaan, dan teknologi
informasi.
3. Membuat matrik IFAS (Internal Factors Analysis Strategic).
Matrik IFAS digunakan untuk memperoleh suatu titik ordinat pada matrik
posisi antara kekuatan dan kelemahan yaitu selisih skor tertimbang antara kekuatan dan kelemahan. Matrik IFAS strategi peningkatan kinerja penyuluh
Tabel 24. Matrik IFAS strategi peningkatan kinerja penyuluh
Faktor Strategis Internal Bobot Skor Skor Tertimbang (Bobot x Skor) Kekuatan
- Pendidikan formal 0,20 3,06 0,61
- Pelatihan 0,30 4,00 1,20
- Motivasi 0,15 3,76 0,56
- Masa kerja/ pengalaman kerja 0,15 3,37 0,51
Jumlah skor kekuatan 0,80 2,88
Kelemahan
- Umur 0,10 2,39 0,24
- Pemanfaatan media penyuluhan 0,10 2,00 0,20
Jumlah skor kelemahan 0,20 0,44
Selisih (kekuatan – kelemahan) 2,44
Sumber: Data diolah terlampir, 2017
Dari Tabel 24, didapat bahwa selisih skor tertimbang antara kekuatan dan
kelemahan adalah 2,44; artinya titik ordinat pada matrik posisi kekuatan dan kelemahan adalah 2,44.
4. Membuat matrik EFAS (Eksternal Factors Analysis Strategic).
Matrik EFAS digunakan untuk memperoleh suatu titik ordinat pada matrik posisi antara peluang dan ancaman yaitu selisih skor tertimbang antara
Tabel 25. Matrik EFAS strategi peningkatan kinerja penyuluh
Faktor Strategis Eksternal Bobot Skor Skor Tertimbang (Bobot x Skor) Peluang
- Jarak wilayah kerja 0,10 3,22 0,32
- Jumlah desa binaan 0,10 3,37 0,34
- Tingkat partisipasi aktif petani 0,15 3,00 0,45 - Hubungan dalam organisasi 0,15 3,00 0,45 - Dukungan pembinaan dan supervisi 0,10 4,00 0,40
Jumlah skor peluang 0,60 1,96
Ancaman
- Ketersediaan sarana dan prasarana 0,10 2,00 0,20
- Sistem penghargaan 0,05 2,02 0,10
- Jumlah kelompok tani binaan 0,10 1,00 0,10
- Teknologi informasi 0,15 2,00 0,30
Jumlah skor ancaman 0,40 0,70
Selisih (peluang – ancaman) 1,26
Sumber: Data diolah terlampir, 2017
Dari Tabel 25, didapat bahwa selisih skor tertimbang antara peluang dan
ancaman adalah 1,26; artinya titik ordinat pada matrik posisi peluang dan ancaman adalah 1,26.
5. Penentuan matrik posisi dalam SWOT
Dari matrik IFAS dan EFAS, diperoleh dua titik ordinat hasil dari matrik posisi kekuatan dan kelemahan dan matrik posisi peluang dan ancaman, yaitu:
- Titik ordinat pertama : selisih (kekuatan – kelemahan) = 2,44 - Titik ordinat kedua : selisih (peluang – ancaman) = 1,26
Gambar 7. Matrik posisi strategi peningkatan kinerja penyuluh
Dari Gambar 7, terlihat bahwa posisi strategi berada pada posisi Kuadran 1; yaitu merupakan situasi yang sangat menguntungkan, dimana penyuluh
memiliki kekuatan dan peluang, sehingga dengan kekuatan yang dimiliki dapat memanfaatkan peluang yang ada. Strategi yang harus diterapkan adalah strategi agresif.
6. Penyusunan strategi dengan menggunakan matrik SWOT
Dari semua langkah-langkah analisis SWOT di atas, maka dapat
dirumuskan beberapa strategi dengan menggunakan matrik SWOT seperti yang terlihat dalam Gambar 8.
2,44 Peluang (O)
Ancaman (T)
Kekuatan (S) Kelemahan
(W)
Kuadran 1
Kuadran 2 Kuadran 4
Kuadran 3
IFAS
Gambar 8. Matrik SWOT strategi peningkatan kinerja penyuluh
Dari Gambar 8, dapat dirincikan strategi peningkatan kinerja penyuluh
1. Strategi SO
Strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja penyuluh pertanian di Kabupaten Langkat dengan melihat kekuatan dan
peluang yang dimiliki adalah sebagai berikut:
a. Memberikan informasi, teknologi, dan inovasi-inovasi terbaru (dengan
memanfaatkan tingkat pendidikan penyuluh yang cukup tinggi, pelatihan-pelatihan, pengalaman kerja, dan tingkat partisipasi aktif petani yang tinggi)
b. Peningkatan intensitas kegiatan penyuluhan (dengan memanfaatkan motivasi penyuluh yang tinggi, jarak wilayah kerja yang cukup dekat,
jumlah desa binaan yang tidak terlalu banyak, serta tingginya tingkat partisipasi aktif petani)
c. Peningkatan kompetensi fungsional penyuluh (dengan memanfaatkan
pelatihan-pelatihan serta dukungan pembinaan dan supervisi)
d. Peningkatan jenjang karir dan kesejahteraan penyuluh (dengan memanfaatkan tingkat pendidikan, masa kerja, hubungan dalam
organisasi, dan dukungan pembinaan dan supervisi)
e. Peningkatan peran organisasi penyuluhan (dengan memanfaatkan
2. Strategi WO
Strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja penyuluh pertanian di Kabupaten Langkat dengan melihat kelemahan dan
peluang yang dimiliki adalah sebagai berikut:
a. Pengkaderan penyuluh, dalam artian Kabupaten Langkat perlu
melakukan pembinaan, pengawasan mutasi dan perekrutan pegawai baru dalam jabatan fungsional penyuluhan (dengan melihat sebagian besar umur penyuluh sudah mendekati masa pensiun, dan dukungan
pembinaan dan supervisi)
b. Penempatan WKPP yang dekat dengan tempat tinggal penyuluh
(dengan mempertimbangkan rata-rata umur penyuluh yang sudah cukup tua, jarak wilayah kerja yang tidak terlalu jauh, rata-rata jumlah desa binaan lebih dari 1 desa, dan tingkat partisipasi aktif petani yang
cukup tinggi)
c. Dukungan penyediaan fasilitas media penyuluhan (dengan mempertimbangkan pemanfaatan media penyuluhan yang rendah
dikarenakan kurangnya fasilitas media penyuluhan dan didukung oleh hubungan dalam organisasi yang baik serta dukungan pembinaan dan
supervisi)
d. Peningkatan pemanfaatan media penyuluhan dalam kegiatan penyuluhan (dengan mempertimbangkan tingkat partisipasi aktif
petani yang cukup tinggi, maka peningkatan pemanfaatan media penyuluhan dalam kegiatan penyuluhan perlu ditingkatkan agar
3. Strategi ST
Strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja penyuluh pertanian di Kabupaten Langkat dengan melihat kekuatan dan
ancaman yang dimiliki adalah sebagai berikut:
a. Peningkatan sarana prasarana penyuluhan baik di lembaga penyuluhan
(BPP) maupun penyuluh itu sendiri berupa akses jalan ke BPP yang memadai, perlengkapan perkantoran, komputer, laptop, proyektor, sepeda motor, dan lain sebagainya (dengan mempertimbangkan
motivasi penyuluh yang tinggi dan ketersediaan sarana prasarana yang kurang memadai)
b. Pemberian reward and punishment terhadap lembaga penyuluhan (BPP) maupun individu penyuluh itu sendiri seperti BPP teladan dan penyuluh berprestasi (dengan mempertimbangkan motivasi dan
pengalaman kerja penyuluh yang cukup tinggi dengan sistem penghargaan yang dirasa pada saat ini masih kurang)
c. Peningkatan intensitas kunjungan ke kelompok tani (dengan
memanfaatkan motivasi dan pengalaman kerja yang tinggi dalam membina dan melayani kelompok tani binaan yang jumlahnya cukup
banyak)
d. Peningkatan teknologi informasi berbasis online/ jaringan internet (dengan melihat tingkat pendidikan yang cukup tinggi,
4. Strategi WT
Strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja penyuluh pertanian di Kabupaten Langkat dengan melihat kelemahan dan
ancaman yang dimiliki adalah sebagai berikut:
a. Memberikan penghargaan terhadap penyuluh-penyuluh senior yang
sudah mendekati masa pension (melihat umur penyuluh yang sudah cukup tua dan sistem penghargaan yang selama ini dirasa masih kurang)
b. Melibatkan petani dalam hal pemanfaatan media penyuluhan dengan cara membuat inovasi media yang tradisional, murah dan mudah
dimengerti petani (mengingat keterbatasan dalam penggunaan media penyuluhan dan ketersediaan sarana prasarana yang masih kurang) c. Penempatan WKPP yang dekat dengan tempat tinggal penyuluh
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
1. Umur, jarak wilayah kerja dan jumlah desa binaan berpengaruh negatif terhadap kinerja penyuluh; sedangkan pendidikan formal dan pengalaman
kerja berpengaruh positif terhadap kinerja penyuluh. Umur dan jumlah desa binaan tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja penyuluh; sedangkan
pendidikan formal, pengalaman kerja, dan jarak wilayah kerja berpengaruh signifikan terhadap kinerja penyuluh
2. Strategi peningkatan kinerja penyuluh pertanian di Kabupaten Langkat adalah
dengan menerapkan strategi agresif, yaitu: 1) memberikan informasi, teknologi, dan inovasi-inovasi terbaru; 2) peningkatan intensitas kegiatan
penyuluhan; 3) peningkatan kompetensi fungsional penyuluh; 4) peningkatan jenjang karir dan kesejahteraan penyuluh; dan 5) peningkatan peran organisasi penyuluhan
6.2. Saran
1. Diperlukan upaya dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk melakukan perekrutan penyuluh pertanian yang baru (baik penyuluh PNS,
penyuluh honorer, penyuluh kontrak, ataupun penyuluh swadaya) guna mengantisipasi kekurangan penyuluh akibat banyaknya penyuluh yang sudah mendekati masa pensiun/ purnabakti dan untuk memenuhi amanat
2. Diperlukan kerjasama antara penyuluh, petani, organisasi penyuluhan, dan
pemerintah setempat agar dapat mengaplikasikan strategi agresif dalam peningkatan kinerja penyuluh di Kabupaten Langkat guna dapat meningkatkan