• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEEFEKTIFAN MEDIA MODEL “BOLA PECAHAN” TERHADAP KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP PECAHAN PADA SISWA TUNANETRA KELAS III DI SEKOLAH LUAR BIASA-A YAKETUNIS YOGYAKARTA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KEEFEKTIFAN MEDIA MODEL “BOLA PECAHAN” TERHADAP KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP PECAHAN PADA SISWA TUNANETRA KELAS III DI SEKOLAH LUAR BIASA-A YAKETUNIS YOGYAKARTA."

Copied!
261
0
0

Teks penuh

(1)

i

KEEFEKTIFAN MEDIA MODEL “BOLA PECAHAN” TERHADAP KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP PECAHAN

PADA SISWA TUNANETRA KELAS III DI SEKOLAH LUAR BIASA-A YAKETUNIS

YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Hesvia Nurfadillah NIM 11103241059

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN LUAR BIASA JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

v MOTTO

“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (terjemahan Q.S. Al-Insyiroh: 6)

“Sejauh hukum matematika mengacu pada realitas, maka mereka tidak akan yakin, jika mereka yakin maka mereka tidak akan mengacu pada realitas.”

(6)

vi

PERSEMBAHAN

Karya ini kupersembahkan untuk:

1. Kedua orang tua dan kedua kakakku 2. Almamaterku

(7)

vii

KEEFEKTIFAN MEDIA MODEL “BOLA PECAHAN” TERHADAP KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP PECAHAN

PADA SISWA TUNANETRA KELAS III DI SEKOLAH LUAR BIASA-A YAKETUNIS

YOGYAKARTA

Oleh

Hesvia Nurfadillah NIM 11103241059

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan media model “bola pecahan” terhadap kemampuan pemahaman konsep pecahan pada siswa tunanetra kelas III di SLB-A Yaketunis Yogyakarta.

Jenis penelitian ini yaitu kuasi eksperimen dengan menggunakan one group pre-test post-pre-test design. Subjek penelitian terdiri dari tiga orang siswa tunanetra kelas III di SLB-A Yaketunis. Pengumpulan data dilaksanakan dengan tes hasil belajar dan observasi. Analisis data tes hasil belajar dilakukan dengan uji statistik non-paramertik tes wilcoxon serta analisis statistik deskriptif untuk data observasi.

Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa Thitung 0 = Ttabel 0. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa media model “bola pecahan” yang dilengkapi dengan tulisan Braille efektif terhadap kemampuan pemahaman konsep pecahan pada siswa tunanetra kelas III SLB-A Yaketunis Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga telah memahami konsep pecahan setelah diberikan perlakuan yang ditunjukkan dengan mampu menyebutkan nilai pecahan, membandingkan pecahan berpenyebut sama, serta melakukan penjumlahan dan pengurangan pecahan berpenyebut sama dengan menggunakan media model “bola pecahan”. Penggunaan media model “bola pecahan” dilakukan dengan cara siswa meraba tulisan Braille dan irisan “bola pecahan” sambil mendengarkan penjelasan dari guru mengenai materi konsep pecahan.

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrahiim.

Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat

Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Keefektifan Media Model ‘Bola Pecahan’ terhadap Kemampuan Pemahaman Konsep Pecahan pada Siswa Tunanetra Kelas III di Sekolah Luar Biasa-A Yaketunis Yogyakarta” dengan lancar. Penulisan dan penelitian skripsi ini dilaksanakan guna melengkapi sebagian persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana pendidikan di Fakutas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa keberhasilan ini tidak lepas dari bantuan dan dorongan berbagai pihak, baik secara materil maupun non-materil. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta atas izin dan arahannya.

2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan izin penelitian dan arahannya.

3. Ketua Jurusan Pendidikan Luar Biasa Fakultas Ilmu Pendidikan atas arahan dan bimbingannya.

4. Ibu Dr. Ishartiwi, M. Pd selaku dosen pembimbing tugas akhir skripsi yang telah banyak membantu dalam menyediakan waktu bimbingan serta memberi saran pada penyusunan Tugas Akhir Skripsi.

(9)

ix

6. Seluruh bapak dan ibu staff pengajar di Jurusan Pendidikan Luar Biasa FIP UNY yang telah membimbing dalam memperoleh keterampilan serta pengetahuan mengenai anak berkebutuhan khusus.

7. Karyawan dan karyawati di lingkungan Fakultas Ilmu Pendidikan yang telah memfasilitasi dan mempermudah segala proses administrasi.

8. Ibu Ambarsih, S. Pd selaku Kepala SLB-A Yaketunis Yogyakarta yang telah memberikan izin penelitian.

9. Ibu Sri Wahyuni E., S. Pd selaku Guru Matematika Kelas III di SLB-A Yaketunis Yogyakarta atas bantuan dan kerjasama serta kesediaannya memberikan informasi.

10.Kedua orangtuaku (mamah dan bapa), teh novi dan keluarga, teh devi dan keluarga, serta dua keponakanku (defa dan de’al) terima kasih atas dukungan, semangat, kerja keras, nasihat, kesabaran, serta kasih sayang yang selalu diberikan.

11.Kerabat terdekat terima kasih atas dukungan, kesabaran dan kasih sayang yang telah diberikan.

12.Teman-teman seperjuangan di Pendidikan Luar Biasa 2011, terutama PLB-B 2011 dan teman-teman kelas Tunanetra 2011 yang telah berbagi cerita dan berjuang bersama dari awal semester.

13.Teman-teman relawan di LAB PLB dan HIMA PLB terimakasih atas pengalaman dan semangatnya.

(10)
(11)

xi DAFTAR ISI

hal

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN SURAT PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

B. Identifikasi Masalah ... 12

C. Batasan Masalah ... 13

D. Rumusan Masalah ... 13

E. Tujuan Penelitian ... 13

F. Manfaat Penelitian ... 14

G. Definisi Operasional ... 15

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian tentang Anak Tunanetra ... 20

1. Pengertian Anak Tunanetra ... 20

2. Karakteristik Anak Tunanetra... 23

3. Keterbatasan Anak Tunanetra... 28

B. Kajian tentang Pembelajaran Konsep Pecahan ... 32

1. Kajian Konsep Pecahan dalam Matematika ... 32

(12)

xii

C. Kajian Tentang Pemahaman Konsep Pecahan pada siswa Tunanetra ... 39

1. Pengertian Pemahaman Konsep Pecahan ... 39

2. Prinsip Pembelajaran Pemahaman Konsep Pecahan pada Siswa Tunanetra ... 42

3. Evaluasi Hasil Belajar Pemahaman Konsep Pecahan Siswa Tunanetra 49 D. Kajian Tentang Media Model “Bola Pecahan” ... 57

1. Kajian tentang Konsep Media Pembelajaran ... 57

2. Kajian tentang Media Model “Bola Pecahan” ... 61

3. Kelebihan dan Kekurangan Media Model “Bola Pecahan” ... 63

4. Alat, Bahan, dan Langkah Pembuatan Media Model “Bola Pecahan”.. 64

5. Penerapan Media Model “Bola Pecahan” untuk Siswa Tunanetra ... 66

E. Hasil Penelitian Relevan ... 69

J. Kriteria Keefektifan Penggunaan Media Model “Bola Pecahan” ... 103

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.Deskripsi Lokasi Penelitian ... 104

B.Deskripsi Subjek Penelitian ... 107

(13)

xiii

1. Deskripsi Data Kemampuan Awal Pemahaman Konsep Pecahan

pada Siswa Tunanetra Kelas III berdasarkan Pre-Test ... 111

2. Deskripsi Data Pelaksanaan Perlakuan dalam Pembelajaran Konsep Pecahan pada Siswa Tunanetra Kelas III dengan Penggunaan Media Model “Bola Pecahan” ... 118

3. Deskripsi Data Hasil Observasi selama Perlakuan pada Siswa Tunanetra Kelas III ... 134

4. Deskripsi Data Kemampuan Akhir Pemahaman Konsep Pecahan pada Siswa Tunanetra Kelas III berdasarkan Post-Test ... 147

5. Perbandingan Data Kemampuan Pemahaman Konsep Pecahan pada Siswa Tunanetra Kelas III berdasarkan Pre-Test dan Post-Test ... 153

D.Uji Hipotesis Penelitian ... 156

E. Pembahasan Hasil Penelitian ... 159

F. Keterbatasan Penelitian ... 164

BAB V KESIMPULAN DAN DAN SARAN A.Kesimpulan ... 165

B.Saran ... 167

DAFTAR PUSTAKA ... 168

(14)

xiv

DAFTAR TABEL

hal Tabel 1. Standar Isi Konsep Pecahan untuk SDLB khusus Tunanetra

(Bagian A) Kelas III ... 35 Tabel 2. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Tes Hasil Belajar

Konsep Pecahan Siswa Tunanetra Kelas III ... 53 Tabel 3. Jadwal Pelaksanaan Penelitian ... 83 Tabel 4. Karakteristik Subjek Penelitian ... 84 Tabel 5. Kisi-kisi instrumen Tes Hasil Belajar Konsep Pecahan untuk

Siswa Kelas III ... 89 Tabel 6. Rubrik Skor Penilaian Tes Hasil Belajar Konsep Pecahan ... 89 Tabel 7. Kisi-kisi Instrumen Observasi Pembelajaran Konsep Pecahan

untuk Siswa Tunanetra Kelas III di SLB-A Yaketunis Yogyakarta 91 Tabel 8. Penskoran Instrumen Observasi Pembelajaran Konsep Pecahan

Siswa Tunanetra Kelas III di SLB-A Yaketunis Yogyakarta ... 92 Tabel 9. Kategori Skor Hasil Observasi Kemampuan Pemahaman Konsep

Pecahan Siswa Tunanetra Kelas III SLB-A Yaketunis Yogyakarta .. 93 Tabel 10. Hasil Uji Validitas Instrumen Tes Hasil Belajar Konsep Pecahan

untuk Siswa Tunanetra Kelas III di SLB-A Yaketunis Yogyakarta .. 96 Tabel 11. Hasil Uji Validitas Instrumen Observasi Pembelajaran Konsep

Pecahan untuk Siswa Tunanetra Kelas III di SLB-A Yaketunis

Yogyakarta ... 97 Tabel 12. Hasil Uji Validitas Instrumen Media Model “Bola Pecahan” ... 98 Tabel 13. Kemampuan Awal Konsep Pecahan pada Siswa Tunanetra

Kelas III di SLB-A Yaketunis Yogyakarta ... 112 Tabel 14. Hasil Observasi Pembelajaran Konsep Pecahan Siswa Tunanetra

Kelas III di SLB-A Yaketunis Yogyakarta ... 134 Tabel 15. Kemampuan Akhir Konsep Pecahan pada Siswa Tunanetra

Kelas III di SLB-A Yaketunis Yogyakarta ... 147 Tabel 16. Perbandingan Data Kemampuan Pemahaman Konsep Pecahan

Pre-Test dengan Post-Test pada Siswa Tunanetra Kelas III

di SLB-A Yaketunis Yogyakarta ... 153 Tabel 17. Data Pre-Test dan Post-Test Hasil Belajar Kemampuan Pemahaman

Konsep Pecahan pada Siswa Tunanetra Kelas III di SLB-A

Yaketunis Yogyakarta ... 156 Tabel 18. Kemampuan Pemahaman Konsep Pecahan pada Siswa Tunanetra

(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

hal

Gambar 1. Media Model “Bola Pecahan” ... 18

Gambar 2. Nilai Pecahan ... 36

Gambar 3. Pecahan Senilai ... 37

Gambar 4. Perbandingan Pecahan Senilai ... 38

Gambar 5. Penjumlahan Pecahan Senilai ... 38

Gambar 6. Pengurangan Pecahan Senilai ... 39

Gambar 7. Alur Kerangka Pikir Keefektifan Media Model “Bola Pecahan terhadap Kemampuan Pemahaman Konsep Pecahan pada Siswa Tunanetra Kelas III di SLB-A Yaketunis Yogyakarta ... 75

Gambar 8. Kemampuan Awal Konsep Pecahan pada Siswa Tunanetra Kelas III di SLB-A Yaketunis Yogyakarta ... 117

Gambar 9. Hasil Observasi Perilaku dan Kemampuan Pemahaman Konsep Pecahan Subjek 1 (FR) ... 138

Gambar 10. Hasil Observasi Perilaku dan Kemampuan Pemahaman Konsep Pecahan Subjek 2 (DW) ... 142

Gambar 11. Hasil Observasi Perilaku dan Kemampuan Pemahaman Konsep Pecahan Subjek 3 (GN) ... 146

Gambar 12. Kemampuan Akhir Konsep Pecahan pada Siswa Tunanetra Kelas III di SLB-A Yaketunis Yogyakarta ... 152

(16)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak tunanetra dapat diartikan sebagai individu yang mengalami gangguan pada penglihatan walaupun sudah dilakukan koreksi dan berpengaruh terhadap kemampuan pembelajaran, interaksi dengan kelompok, serta kemandirian (Smith & Tyler, 2010: 368). Anak tunanetra diklasifikasikan menjadi 2 macam, yakni anak tunanetra buta total dan anak tunanetra kurang lihat. Anak tunanetra buta total diartikan sebagai anak yang memiliki ketajaman penglihatan 20/200 atau kurang setelah dikoreksi maupun memiliki rentang pandang tidak lebih dari 20 derajat. Anak tunanetra kurang lihat diartikan sebagai anak yang masih memiliki sisa penglihatan dengan ketajaman mata antara 20/70 dan 20/200 serta lebih baik setelah dikoreksi (Ysseldyke & Algozzine, 1984: 15-18).

(17)

2

penyesuaian dalam memperoleh dan mengolah informasi, memaknai suatu konsep tertentu, serta upaya dalam mengatasi keterbatasannya.

Keterbatasan-keterbatasan yang dialami oleh anak tunanetra (Lowenfeld, 1974: 34) meliputi: keterbatasan di dalam lingkup jenis dan variasi pengalaman, keterbatasan dalam berpindah tempat (mobilitas), serta keterbatasan dalam berinteraksi dengan lingkungan. Keterbatasan anak tunanetra di dalam lingkup jenis dan variasi pengalaman disebabkan karena perolehan pengalaman yang tidak utuh. Pengalaman anak tunanetra hanya diperoleh melalui indera yang masih berfungsi, yakni indera pendengaran, perabaan, penciuman, dan perasa. Indera-indera tersebut juga memiliki keterbatasan dalam menerima informasi, terutama informasi yang hanya bisa diperoleh oleh indera penglihatan. Menurut Irham Hosni (1995: 29) keterbatasan indera di luar penglihatan dalam menerima informasi berakibat pada miskinnya konsep-konsep tentang diri, objek, dan lingkungan anak tunanetra.

(18)

3

Penggunaan kurikulum pada pembelajaran anak tunanetra dilaksanakan sesuai dengan kebijakan sekolah serta materi yang disesuaikan dengan kemampuan masing-masing siswa, baik secara individual maupun klasikal. Pembelajaran konsep pecahan anak tunanetra kelas III tingkat Sekolah Dasar (SD) di Sekolah Luar Biasa (SLB)-A Yaketunis Yogyakarta tahun ajaran 2014-2015 berpedoman pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006. Penggunaan KTSP mengacu pada Standar Isi Kurikulum SDLB khusus Tunanetra (Bagian A) yang terdapat di Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Dalam KTSP (2006, 347), materi konsep pecahan termasuk ke dalam mata pelajaran matematika dan mulai diberikan di kelas III semester 2. Standar kompetensi yang perlu dimiliki oleh anak tunanetra yakni memahami pecahan sederhana dan penggunaannya dalam pemecahan masalah. Adapun kompetensi dasar yang harus dikuasi oleh anak tunanetra yakni mengenal pecahan sederhana, membandingkan pecahan sederhana, serta memecahkan masalah yang berkaitan dengan pecahan sederhana.

(19)

4

Tujuan dari suatu pembelajaran yaitu pengembangan diri dalam tiga aspek kompetensi. Aspek kompetensi tersebut berupa kompetensi kognitif, afektif, dan psikomotor (E. Mulyasa, 2007: 139). Tujuan pembelajaran konsep pecahan bagi siswa tunanetra yaitu agar siswa tunanetra memiliki pengembangan diri dalam kompetensi kognitif, afektif, dan psikomotor. Pertama, pengembangan diri dalam aspek kognitif, yakni siswa tunanetra diikutsertakan untuk memahami konsep-konsep pecahan serta operasi hitung pecahan. Kedua, pengembangan diri dalam aspek afektif, yakni siswa tunanetra mampu memiliki sikap menghargai dan adil setelah memahami konsep pecahan. Ketiga, pengembangan diri dalam aspek psikomotor, yakni siswa tunanetra mampu bekerjasama dalam memecahkan masalah terkait penggunaan konsep pecahan dalam kehidupan sehari-hari. Konsep pecahan dapat menjadi dasar kemampuan siswa tunanetra untuk mengikuti pembelajaran selanjutnya dan dapat menjadi pemahaman siswa tunanetra kaitannya dengan kehidupan sehari-hari.

(20)

5

hitung akan menjadi prasyarat dalam melakukan penjumlahan dan pengurangan sederhana pecahan berpenyebut sama.

Siswa tunanetra membutuhkan suatu layanan dan program khusus dalam pelaksanaan pembelajaran. Suasana pelaksanaan pembelajaran konsep pecahan hendaknya dirancang menyenangkan dan memperhatikan kemampuan serta kebutuhan individu (Anastasia Widdjajantin dan Imanuel Hitipeuw, 1996: 152). Hal ini berdasarkan pada perkembangan kognitif siswa tunanetra yang berbeda dengan siswa pada umumnya serta siswa tunanetra tertinggal dalam pemahaman tugas-tugas konseptual (Piaget dalam Tin Suharmini, 2009: 33). Layanan dan program khusus tersebut dapat berupa penyampaian materi dengan diselingi oleh kegiatan permainan, modifikasi materi ajar, maupun penggunaan metode dan media yang relevan dengan materi dan kebutuhan. Salah satu contohnya yaitu penggunaan media pembelajaran yang berbasis taktual dan auditoris.

(21)

6

Pertama, siswa tunanetra masih memiliki kemampuan pemahaman yang rendah dalam konsep pecahan. Diungkapkan guru bahwa siswa tunanetra masih mengalami kesulitan dalam memahami konsep pecahan. Skor hasil belajar siswa tunanetra kelas III masih berada di bawah Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM) sebesar 70%. Siswa tunanetra memiliki skor rata-rata hasil belajar konsep pecahan sebesar 50% sampai 60%. Siswa tunanetra masih mengalami kesulitan dalam membedakan bagian-bagian pecahan yakni bagian pembilang dan penyebut. Siswa telah memahami bahwa satu dibagi dengan dua yaitu ଵ, tetapi masih mengalami kesulitan dalam memaknai nilai dari ଵ dan mengaplikasikannya ke dalam bentuk pecahan. Menurut pendapat guru, kesulitan siswa tunanetra dalam memahami makna nilai suatu pecahan berdampak pada kesulitan membandingkan nilai pecahan dengan nilai pecahan lainnya serta aplikasinya dalam suatu operasi hitung pecahan sederhana. Hal ini disebabkan oleh kesulitan siswa dalam membentuk dan memaknai materi yang bersifat abstrak serta kurangnya pengalaman konkret pada saat pembelajaran.

(22)

7

konsep pecahan sulit untuk dipahami. Hal ini disebabkan oleh anggapan siswa bahwa konsep pecahan sulit, sehingga mengurangi semangat siswa tunanetra pada saat pembelajaran konsep pecahan. Rentang usia yang beragam, faktor kesehatan, serta kemampuan masing-masing individu yang berbeda juga memberikan pengaruh yang besar terhadap pelaksanaan proses pembelajaran di kelas. Salah satu buktinya yaitu seorang siswa yang lebih unggul dalam bidang seni dari pada akademik serta terdapat siswa yang sering tidak masuk sekolah karena faktor kesehatan.

(23)

8

dari guru maupun sekolah dalam menyediakan serta menggunakan media pembelajaran relevan dengan materi yang hendak diajarkan. Keterbatasan juga dapat disebabkan oleh konsentrasi dan minat siswa tunanetra yang kurang dalam menggunakan media pembelajaran.

Keempat, metode pembelajaran yang diterapkan dalam pembelajaran konsep pecahan pada siswa tunanetra belum efektif. Diungkapkan guru bahwa selama ini pembelajaran konsep pecahan baru menggunakan metode ceramah dan pemberian tugas. Metode tersebut diakui guru belum efektif dalam meningkatkan kemampuan pemahaman siswa tunanetra tentang konsep pecahan. Siswa lebih pasif karena hanya fokus mendengarkan ceramah dari guru serta mengerjakan soal-soal latihan yang belum dipahami. Kurang efektifnya metode pembelajaran disebabkan oleh kurangnya kesempatan yang diberikan kepada siswa untuk belajar sambil melakukan (learning by doing) melalui pengalaman nyata. Proses pembelajaran pada siswa tunanetra baru dilakukan sebatas pada pemaparan secara verbal dan latihan-latihan.

(24)

9

untuk mencari penyelesaian masalah dengan caranya sendiri; serta pemakaian media belajar yang mempermudah pemahaman siswa (Pitadjeng, 2006: 49-58). Menurut Anastasia Widdjajantin dan Imanuel Hitipeuw (1996: 152) bahwa bagi siswa tunanetra dalam mempelajari konsep matematika harus melalui pendekatan khusus. Salah satu faktor yang dapat membantu dalam kelancaran belajar matematika yaitu alat bantu atau media. Media dapat dibuat oleh guru dengan menggunakan barang-barang bekas maupun benda-benda yang ada di lingkungan sekitar anak. Media juga dapat dibuat dengan memanipulasi benda konkret menjadi benda model atau benda tiruan yang dapat membantu siswa tunanetra dalam memahami konsep pecahan.

(25)

10

Salah satu klasifikasi media pembelajaran menurut Smaldino, et al., (2012: 8) yaitu perekayasa, seperti: model atau benda nyata. Hal ini sependapat dengan Briggs (dalam Arief S. Sadiman, dkk., 2006: 23) yang menyatakan salah satu macam media pembelajaran yaitu media model. Media model merupakan media representasi tiga dimensi dari objek riil dan memungkinkan untuk lebih detail atau sederhana dari tujuan pembelajaran (Newby, et al., 2000: 107). Media model memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihan media model diantarnya: menggambarkan konsep realisme dan tiga dimensi, menimbulkan minat yang bersifat multisensorik, serta memacu kerjasama dan belajar kooperatif. Kekurangan media model diantaranya: biaya pembuatan yang mahal, penyimpanan yang sulit, serta mudah rusak (Smaldino, et al., 2012: 286-287).

Menurut Cica Anwar (2012: 69) bahwa penggunaan media model memberikan perubahan kemampuan pemahaman konsep pecahan pada siswa. Hal ini dibuktikan dengan perolehan hasil belajar siswa sebelum diberikan perlakuan dengan menggunakan media model yaitu kurang dari 85% dan hasil belajar setelah diberikan perlakuan yaitu lebih dari 85%. Media model membantu siswa memahami materi pecahan melalui benda yang lebih konkret. Media model juga menciptakan suasana pembelajaran menjadi lebih menyenangkan. Media model yang digunakan dalam pembelajaran konsep pecahan disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik siswa tunanetra. Adapun media model yang digunakan dalam penelitian ini yaitu media model

(26)

11

Media model “bola pecahan” merupakan suatu media pembelajaran tiga dimensi sebagai model atau tiruan dari konsep pecahan. Media model

“bola pecahan” merupakan modifikasi dari media model pecahan yang berbentuk tabung berukuran tipis yang dibagi menjadi beberapa irisan. Media

model “bola pecahan” dimodifikasi sehingga berbentuk bola yang dibagi menjadi beberapa irisan yang berukuran sama besar. Irisan “bola pecahan”

menjadi representasi dari suatu bagian terhadap keseluruhan bentuk bola.

Pemodifikasian media model “bola pecahan” dilakukan berdasarkan pada

kondisi dan karakteristik siswa tunanetra. Media model berbentuk tabung tipis memungkinkan siswa tunanetra mengalami kesulitan dalam memahami bentuk yang utuh. Media model berbentuk tabung tipis dapat memberikan berbagai variasi bentuk dari penggabungan masing-masing irisan sehingga tidak selalu

berbentuk tabung utuh. Penggabungan dari irisan media model “bola pecahan”

akan selalu berbentuk bola utuh, sehingga media tersebut lebih memberikan kemudahan kepada siswa tunanetra dalam memahami irisan dan bagian yang dari suatu konsep pecahan.

(27)

12

dalam beberapa kali pertemuan dan bersifat portable, sehingga memudahkan dalam penggunannya. Media model “bola pecahan” juga tidak membutuhkan biaya perawatan dan penyimpanan yang besar.

Media model “bola pecahan” dapat membantu dalam mengubah konsep pecahan yang abstrak ke dalam pemahaman yang lebih konkret dengan menekankan pada indera taktual. Media model “bola pecahan” membantu guru untuk mengurangi verbalisme dalam menjelaskan materi konsep pecahan kepada siswa tunanetra. Oleh karena itu, penelitian ini memiliki tujuan untuk menguji keefektifan media model “bola pecahan” terhadap kemampuan pemahaman konsep pecahan siswa tunanetra kelas III di SLB-A Yaketunis Yogyakarta.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan pada latar belakang, dapat diidentifikasi beberapa masalah dalam pelaksanaan pembelajaran konsep pecahan kelas III di SLB-A Yaketunis Yogyakarta. Adapun permasalahan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kemampuan pemahaman siswa tunanetra kelas III di SLB-A Yaketunis Yogyakarta dalam konsep pecahan masih rendah. Siswa tunanetra memiliki skor rata-rata hasil belajar konsep pecahan sebesar 50% sampai 60%, sehingga masih berada di bawah KKM sebesar 70%.

(28)

13

3. Kurang efektifnya media yang digunakan dalam pembelajaran konsep tunanetra untuk siswa tunanetra kelas III di SLB-A Yaketunis Yogyakarta. Media potongan kertas dan makanan belum efektif digunakan dalam pembelajaran konsep pecahan pada siswa tunanetra.

4. Metode pembelajaran yang diterapkan dalam pembelajaran konsep pecahan yaitu ceramah dan pemberian tugas belum efektif diterapkan dalam pembelajaran konsep pecahan pada siswa tunanetra.

C. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah, permasalahan yang terjadi pada proses pembelajaran konsep pecahan di kelas III SLB-A Yaketunis Yogyakarta sangat kompleks. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dibatasi pada masalah point 3. Batasan masalah pada penelitian ini adalah kurang efektifnya media yang digunakan dalam pembelajaran konsep pecahan untuk siswa tunanetra kelas III di SLB-A Yaketunis Yogyakarta.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah diatas, maka rumusan masalah dari

penelitian ini adalah “Bagaimana keefektifan media model ‘bola pecahan’

terhadap kemampuan pemahaman konsep pecahan pada siswa tunanetra kelas III di SLB-A Yaketunis Yogyakarta?”.

E. Tujuan Penelitian

(29)

14 F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini memiliki manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan di bidang pendidikan anak berkebutuhan khusus (ABK) mengenai penggunaan media model terhadap kemampuan pemahaman materi konsep pecahan untuk siswa tunanetra.

2. Manfaat Praktis

a. Manfaat bagi siswa

Hasil penelitian ini dapat membantu meningkatkan kemampuan siswa dalam pemahaman konsep pecahan serta meningkatkan minat siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran meteri konsep pecahan. Pembelajaran dapat dilaksanakan dengan lebih menyenangkan dan mengurangi kesan sulit terhadap materi pecahan.

b. Manfaat bagi guru

Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu model pemanfaatan media dalam pembelajaran materi konsep pecahan bagi siswa tunanetra serta membantu guru dalam memberikan alternatif penyampaian materi yang bersifat abstrak menjadi lebih konkret serta menyenangkan bagi siswa tunanetra.

c. Manfat bagi sekolah

(30)

15

dengan pemanfaatan media model “bola pecahan”. Peningkatan pada kemampuan siswa dan kualitas pembelajaran dapat mendorong peningkatan terhadap mutu sekolah.

G. Definisi Operasional

1. Siswa tunanetra adalah siswa yang memiliki hambatan penglihatan sehingga membutuhkan suatu layanan pendidikan khusus. Siswa tunanetra dalam penelitian ini berjumlah dua orang siswa tunanetra buta total (blind) dan satu orang siswa tunanetra kurang lihat (low vision) yang hanya mampu mengidentifikasi cahaya. Siswa tersebut duduk di kelas III SLB-A Yaketunis Yogyakarta. Ketiga orang siswa tunanetra mengalami kesulitan dalam pemahaman konsep pecahan, menggunakan tulisan Braille dalam pelaksanaan pembelajaran, serta telah mengenal konsep angka, konsep operasi hitung penjumlahan dan pengurangan sederhana.

2. Kemampuan pemahaman konsep pecahan merupakan kemampuan siswa tunanetra untuk mengerti konsep pecahan sehingga mampu menjelaskan nilai pecahan, membandingkan pecahan, serta melakukan operasi hitung sederhana pecahan. Indikator dari kemampuan tersebut yaitu siswa mampu mengidentifikasi dan membedakan nilai-nilai pecahan sederhana, membandingkan pecahan berpenyebut sama, serta melakukan operasi hitung penjumlahan dan pengurangan sederhana pecahan berpenyebut sama sampai ଵ

(31)

16

belajar. Tes hasil belajar konsep pecahan diberikan dalam bentuk isian tes objektif. Data kemampuan pemahaman konsep pecahan juga dilakukan dengan cara pengamatan terhadap kemampuan pemahaman konsep pecahan serta keaktifan dan partisipasi siswa pada saat mengikuti pembelajaran konsep pecahan.

3. Media model “bola pecahan” merupakan media tiga dimensi sebagai manipulasi dari konsep pecahan. Media model “bola pecahan” berbentuk irisan berukuran sama besar yang dapat dibuka pasang. Media model “bola pecahan” dibuat oleh peneliti dari bahan kayu yang dilengkapi dengan nilai pecahan dalam tulisan Braille. Media model “bola pecahan” di uji validasi

isi oleh ahli media yaitu tenaga pengajar Prodi Teknologi Pendidikan FIP UNY. Penggunaan media model “bola pecahan” mengacu pada prinsip

penggunaan media untuk siswa tunanetra total. Hal ini berdasarkan kondisi dan karaketristik siswa tunanetra kelas III. Siswa tunanetra menggunakan media tersebut secara taktual dengan meraba tulisan Braille serta ukuran yang berbeda pada masing-masing irisan maupun secara keseluruhan “bola pecahan”. Penggunaan media model “bola pecahan” terbagi menjadi enam tahap yakni:

a. Guru menyiapkan materi dan media pembelajaran yang akan digunakan. b. Siswa diberikan penjelasan mengenai sifat-sifat media model “bola

pecahan”.

c. Siswa diberikan kesempatan unutk meraba media model “bola pecahan”

(32)

17

tulisan Braille yang tercantum pada permukaan “bola pecahan”, serta

membelah bola pecahan sehingga menjadi irisan-irisan “bola pecahan”. d. Siswa diberikan penjelasan mengenai cara pemanfaatan media model

“bola pecahan” dan pelaksanaan penanaman konsep pecahan melalui

media model “bola pecahan” dengan cara sebagai berikut: 1) Siswa diminta mengidentifikasi dan menyebutkan bagian-bagian pecahan dengan cara membedakan posisi penulisan pembilang dan penyebut serta

memaknainya dengan menggunakan irisan “bola pecahan”. 2) Siswa

diminta berlatih membaca, membilang, dan menulis nilai pecahan dengan bimbingan guru secara taktual dan verbal. 3) Siswa diminta menentukan pecahan senilai dengan bimbingan guru secara bergantian dengan bimbingan guru. Siswa mengalikan suatu pecahan dengan pecahan yang memiliki pembilang dan penyebut sama, kemudian membuktikan dengan

menggunakan irisan “bola pecahan”. 4) Siswa diminta meraba dua buah

irisan “bola pecahan” yang memiliki penyebut sama secara bergantian dengan bimbingan guru. Siswa membandingkan nilai pecahan dengan

menggunakan dua buah irisan “bola pecahan”, kemudian siswa diminta

menentukan tanda perbandingan (>, <, atau =) yang tepat. 5) Siswa melakukan operasi hitung penjumlahan dan pengurangan sederhana pecahan berpenyebut sama dengan cara menjumlahkan atau mengurangkan nilai pembilang. Siswa juga dapat menggunakan media

model “bola pecahan” dengan cara menjumlahkan atau mengurangkan

(33)

18

e. Siswa diberikan latihan dan bersama guru menyimpulkan materi pelajaran konsep pecahan.

f. Siswa diberikan penjelasan cara menyimpan media model “bola pecahan”. Adapun gambaran media model “bola pecahan” adalah sebagai berikut:

Gambar 1. Media Model “Bola Pecahan”

4. Keefektifan diartikan sebagai tingkat keberhasilan yang dapat dicapai dari suatu cara atau usaha tertentu dengan tujuan yang akan dicapai. Keefektifan media model “bola pecahan” merupakan tingkat pencapaian penggunaan

media model “bola pecahan” terhadap kemampuan pemahaman konsep

pecahan siswa tunanetra kelas III. Keefektifan media model “bola pecahan”

dapat diindikasikan dengan kesesuaian penggunaan media terhadap tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Keefektifan ini dapat dilihat dari perubahan kemampuan siswa dalam mengidentifikasi dan membedakan nilai pecahan sederhana, membandingkan pecahan berpenyebut sama, serta melakukan operasi hitung penjumlahan dan pengurangan sederhana pecahan berpenyebut sama. Kemampuan pemahaman siswa diukur melalui evaluasi hasil belajar berupa pengamatan terhadap pembelajaran konsep pecahan serta tes hasil belajar konsep pecahan. Hasil pengamatan selanjutnya Irisan yang dapat di buka pasang

sebagai representasi dari pembilang Bagian keseluruhan bola sebagai

representasi dari penyebut Magnet

(34)

19

(35)

20 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian tentang Anak Tunanetra 1. Pengertian Anak Tunanetra

Menurut Gargiulo (2006: 482) “visual impairment is a term that

describes people who cannot see will even with correction”. Pendapat

tersebut dapat diartikan bahwa hambatan penglihatan atau tunanetra merupakan istilah yang menggambarkan orang-orang yang tidak bisa melihat dengan baik walaupun dengan koreksi. Pengertian lain

mengemukakan bahwa “visual impairment including blindness means as

impairment in vision that, even with correction, adversely affects a child’s

educational performance” (U.S Departement of Education dalam Smith &

Tyler, 2010: 372). Pendapat tersebut berarti bahwa gangguan penglihatan termasuk kebutaan didefinisikan sebagai adanya penurunan fungsi penglihatan walaupun setelah dilakukan koreksi dan berpengaruh terhadap kinerja pembelajaran anak.

Menurut Sari Rudiyati (2002: 25) bahwa “anak tunanetra adalah

anak yang karena sesuatu hal dria penglihatannya mengalami luka atau kerusakan, baik struktur dan atau fungsional sehingga penglihatannya

mengalami kondisi tidak berfungsi sebagaimana mestinya”. Menurut

Ashcroft (dalam Blackhurst & Berdine, 1981: 216) mengemukakan bahwa

(36)

21

educational aids to achieve their full potensial”. Pendapat tersebut dapat diartikan bahwa anak tunanetra didefinisikan sebagai anak-anak yang berbeda dari anak normal lainnya yang dapat melihat dan membutuhkan guru khusus, rancangan khusus atau kurikulum adaptif, serta layanan pendidikan khusus untuk mengoptimalkan potensinya.

Pengertian lain dikemukakan oleh beberapa ahli yang membagi tunanetra ke dalam dua klasifikasi, yakni tunanetra total dan tunanetra kurang lihat. Menurut Ysseldyke & Algozzine (1984: 15-18) bahwa tunanetra buta total merupakan seseorang yang memiliki ketajaman penglihatan sebesar 2/200 atau kurang pada mata yang lebih baik meskipun telah dikoreksi atau memiliki ketajaman visual lebih dari 20/200 tetapi memiliki sudut pandang tidak lebih dari 20 derajat. Anak tunanetra kurang lihat merupakan seseorang yang masih memiliki sisa penglihatan dengan ketajaman mata antara 20/70 dan 20/200 pada mata yang lebih baik setelah dikoreksi.

(37)

22

auditoris seperti penggunaan audiotape dan perekam dalam pembelajaran, sedangkan tunanetra kurang lihat merupakan seseorang yang dapat membaca tulisan cetak dengan alat pembesar atau buku cetak yang diperbesar.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat ditegaskan bahwa tunanetra merupakan sesorang yang mengalami penurunan fungsi penglihatan serta tidak bisa melihat dengan baik walaupun setelah dilakukan koreksi. Penurunan fungsi penglihatan berpengaruh terhadap kinerja pembelajaran, sehingga membutuhkan layanan pendidikan khusus. Tunanetra terbagi menjadi dua yakni tunanetra buta total dan tunanetra kurang lihat. Pelaksanaan pembelajaran tunanetra buta total menggunakan tulisan Braille serta metode auditoris, sedangkan tunanetra kurang lihat menggunakan tulisan cetak dengan alat pembesar atau buku cetak yang diperbesar.

(38)

23 2. Karakteristik Anak Tunanetra

Menurut Anastasia Widdjajantin dan Imanuel Hitipeuw (1996: 11) bahwa hambatan penglihatan, baik disadari atau tidak disadari akan berdampak pada perilaku dan kegiatan anak tunanetra. Perilaku dan kegiatan tersebut akan menjadi karakteristik atau ciri khas dari anak tunanetra. Karakterstik dari anak tunanetra dipengaruhi oleh usia terjadi ketunanetraan, tingkat gangguan penglihatan, penerimaan lingkungan, maupun perolehan pengalaman yang dimiliki anak tunanetra.

Menurut Hallahan, et al. (2009: 388-391), anak tunanetra memiliki karakteristik sebagai berikut:

a. Perkembangan bahasa

Ketunanetraan tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap kemampuan untuk memahami dan menggunakan bahasa. Hal ini karena persepsi auditori lebih baik dari pada persepsi visual sebagai modalitas untuk belajar berbahasa. Anak tunanetra biasanya tidak mengalami gangguan bahasa dan memungkinkan memiliki kemampuan berbahasa yang lebih baik dari pada anak normal.

b. Kemampuan intelektual

(39)

24

peranan sangat besar. Anak tunanetra membutuhkan usaha yang lebih besar dari pada anak melihat dalam memproleh suatu pengertian.

c. Orientasi dan mobilitas

Anak tunanetra memproses informasi ruang secara sekuen serta melalui peta kognitif. Seorang tunanetra mempunyai kemampuan mendeteksi objek dan bahaya dengan cara mengingat perubahan dari berbagai ciri khas suatu objek. Anak tunanetra juga memiliki kepekaan yang tinggi dan memiliki kemampuan penginderaan yang lebih baik pada salah satu inderanya atau beberapa indera lainnya.

d. Prestasi akademik

Anak tunanetra biasanya memiliki prestasi akademik yang lebih rendah dibandingkan dengan teman sebayanya yang dapat melihat. Hal ini bisa disebabkan oleh rendahnya harapan atau kurangnya paparan dalam bentuk tulisan Braille untuk anak tunanetra.

e. Penyesuaian sosial

Anak tunanetra memiliki masalah penyesuaian sosial yang lebih besar dari pada anak melihat pada umumnya. Anak tunanetra menggunakan tongkat untuk berinteraksi. Tongkat akan menjadi identitas anak sehingga orang lain akan mengetahui kondisinya. Anak tunanetra juga memiliki beberapa karakteristik seperti gelisah, perilaku adatan, perilaku stereotif, menekan atau menggosok bola mata.

(40)

25 a. Perkembangan kognitif

Anak tunanetra memiliki perkembangan kognitif dan konseptual yang cenderung lebih lambat dibandingkan dengan anak normal pada umumnya. Hal ini disebabkan oleh pengertian dan pengenalan terhadap dunia luar hanya diperoleh melalui indera di luar visual, sehingga informasi yang diperoleh anak tunanetra tidak lengkap dan utuh. Anak tunanetra mungkin lebih superior dibandingkan dengan anak awas dalam hal ketajaman sensoris, ingatan maupun kreativitas dengan proses latihan secara rutin dan intensif. Umumnya anak tunanetra memiliki nilai yang lebih rendah dalam bidang matematika dibandingkan dengan anak awas. b. Perkembangan motorik

Anak tunanetra cenderung memiliki perkembangan motorik yang lebih lambat dari anak pada umumnya. Hal ini disebakan oleh kurangnya koordinasi fungsional dengan fungsi psikis, serta kesempatan yang diberikan kepada tunanetra untuk melakukan aktivias gerak motorik. Anak tunanetra kurang memahami batas wilayah ruang gerak, bahaya yang mungkin muncul, serta sulit untuk belajar menirukan orang lain pada saat melakukan suatu aktivitas gerak motor. Hambatan penglihatan juga mempengaruhi perkembangan gerakan motorik terutama pada koordinasi tangan, koordinasi badan, serta cara berjalan. c. Perkembangan emosi

(41)

26

memiliki keterbatasan menyampaikan perasaan kepada orang lain melalui ekspresi dan reaksi wajah atau tubuh. Anak tunanetra cenderung menyatakan emosinya secara verbal. Masalah emosi yang sering dihadapi oleh anak tunanetra adalah gejala emosi yang tidak seimbang, pola negatif, dan pola berlebihan seperti: takut, malu, khawatir, cemas, mudah marah, iri hati, serta kesedihan yang berlebihan.

d. Perkembangan sosial

Anak tunanetra cenderung lebih banyak menghadapi masalah perkembangan sosial dibandingkan dengan anak normal. Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya motivasi, ketakutan menghadapi lingkungan sosial yang lebih luas dan baru, perasaan rendah diri, malu, serta penolakan dari lingkungan. Anak tunanetra mengalami hambatan dalam belajar sosial melalui proses identifikasi dan imitasi, serta mengikuti bentuk permainan sebagai wahana penyerapan norma atau aturan dalam sosialisasi. Perkembangan sosial anak tunanetra dipengaruhi oleh perlakuan dan penerimaan lingkungan terhadap keberadaan anak tunanetra.

e. Perkembangan kepribadian

(42)

27

Menurut Sari Rudiyati (2002: 34-38), bahwa anak tunanetra memiliki karakteristik berupa: cenderung memiliki rasa curiga, mudah tersinggung, verbalisme, perasaan rendah diri, adatan atau blindsm/mannerism, suka berfantasi, berpikir kritis, serta pemberani.

Berdasarkan beberapa pendapat diatas, maka dapat ditegaskan kerateristik anak tunanetra yang berkaitan dengan subjek penelitian ini yaitu sebagai berikut:

a. Perkembangan fisik

Anak tunanetra kelas III memiliki perkembangan yang hampir sama dengan anak umumnya. Anak tunanetra memiliki beberapa hambatan terutama dalam koordinasi tangan, koordinasi badan, serta cara berjalan. Anak tunanetra mengembangkan fungsi auditoris dan taktual. Anak tunanetra kelas III juga memiliki kemampuan motorik halus yang baik sesuai dengan kondisi ketunanetraannya.

b. Perkembangan akademik

(43)

28 c. Perkembangan sosial-emosional

Anak tunanetra kelas III memiliki perkembangan sosial-emosional seperti gelisah, blindsm, perilaku stereotif, suka berfantasi, dan mengembangkan verbalisme. Anak tunanetra memiliki perkembangan sosial yang baik ditandai oleh penerimaan dan interaksi dengan orang lain. Perkembangan sosial-emosional anak tunanetra berpengaruh pada pembelajaran, sehingga pembelajaran harus mempertimbangkan karakteristik masing-masing anak tunanetra.

Karakteristik anak tunanetra kelas III di SLB-A Yaketunis Yogyakarta tersebut menjadi bahan pertimbangan dalam pelaksanaan pembelajaran. Pelaksanaan pembelajaran pada penelitian ini memanfaatkan media pembelajaran berupa media model. Penggunaan media model “bola

pecahan” dilaksanakan dengan pertimbangan kebutuhan dan karakteristik belajar anak tunanetra yang menekankan pada indera pendengaran dan taktual.

3. Keterbatasan Anak Tunanetra

(44)

29

a. Keterbatasan di dalam lingkup jenis dan variasi pengalaman

Anak tunanetra mengalami hambatan dalam memperoleh pengalaman baru yang beragam. Anak tunanetra memperoleh informasi melalui indera di luar penglihatan. Indera yang masih berfungsi tidak dapat menerima informasi yang hanya dapat ditangkap oleh indera penglihatan. Akibatnya, anak tunanetra tidak memperoleh informasi secara keseluruhan dan terbatas pada informasi yang diperoleh melalui indera yang masih berfungsi.

b. Keterbatasan dalam berpindah tempat (mobilitas)

Hambatan penglihatan mengakibatkan anak tunanetra mengalami kesulitan dalam melakukan berbagai aktivitas. Anak tunanetra tidak dapat mengeksplorasi lingkungannya secara luas serta tidak bebas dalam melakukan kontak dengan lingkungannya. Keterbatasan dalam berpindah tempat berakibat pada rendahnya pengalaman anak tunanetra serta kurangnya interaksi tunanetra dengan lingkungannya.

c. Keterbatasan dalam berinteraksi dengan lingkungan

(45)

30

Keterbatasan pada anak tunanetra akan berdampak pada berbagai aspek. Menurut Juang Sunanto (2005: 48) dampak kehilangan penglihatan berpengaruh terhadap beberapa aspek sebagai berikut:

a. Dampak terhadap kognisi yang mengakibatkan anak tunanetra mengembangkan konsepnya melalui taktual dan pendengaran. Anak tunanetra kurang mampu mengintegrasikan semua jenis fakta yang sudah dipelajari ke dalam satu kesatuan.

b. Dampak terhadap sosial-emosi yang menyebabkan anak tunanetra membutuhkan keterampilan khusus dalam membaca, menafsirkan dan merepon sinyal sosial dari orang lain. Lingkungan sosial anak tunanetra biasanya lebih sempit dari pada anak umumnya.

c. Dampak terhadap bahasa tidak berpengaruh signifikan. Anak tunanetra memiliki perkembangan bahasa yang hampir sama dengan anak lainnya. d. Dampak terhadap orientasi dan mobilitas yang menyebabkan anak

tunanetra mengalami kesulitan dalam bergerak secara leluasa di dalam lingkungannya serta hubungan suatu objek dengan lingkungannya.

Pendapat lain dikemukakan oleh Purwaka Hadi (2005: 53-58) bahwa keterbatasan yang dimiliki anak tunanetra sebagai akibat dari hambatan penglihatan akan berdampak beberapa aspek sebagai berikut: a. Dampak personal atau individu tunanetra berupa tidak dapat melihat

(46)

31

b. Dampak pada perkembangan sosial-emosional dipengaruhi oleh penerimaan lingkungan terhadap anak tunanetra. Pandangan negatif akan berdampak pada perilaku anak tunanetra yang kurang baik. Anak tunanetra sulit biasanya untuk menunjukkan ekspresi wajah yang tepat serta sulit untuk menghilangkan adatan/blindsm.

c. Dampak pada perkembangan bahasa dan komunikasi yang berupa rendahnya inisiatif dari anak tunanetra untuk melakukan dialog lisan bersama.

d. Dampak pada perkembangan kognitif berupa kurangnya informasi yang diperoleh oleh anak tunanetra. Hal ini menyebabkan anak tunanetra lemah dalam kemampuan konseptual serta pengertian yang diperoleh tidak dapat diproses menjadi informasi yang efisien.

e. Dampak pada perkembangan gerak serta orientasi dan mobilitas menyebabkan anak tunanetra kurang memiliki kesempatan untuk belajar keterampilan bergerak dan memperoleh pengalaman yang beragam.

(47)

32

taktual dan pendengaran untuk mengembangkan kemampuan konseptual. Anak tunanetra kurang mampu mengintegrasikan materi yang diperoleh menjadi suatu pemahaman. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi keterbatasan anak tunanetra kelas III yaitu pengoptimalan proses pembelajaran. Pengoptimalan proses pembelajaran dilakukan dengan

penggunaan media model “bola pecahan” terhadap kemampuan pemahaman

konsep pecahan siswa tunanetra.

B. Kajian tentang Pembelajaran Konsep Pecahan

1. Kajian Konsep Pecahan dalam Matematika

Pecahan merupakan bagian dari mata pelajaran matematika. Matematika diartikan sebagai “ilmu yang membahas angka-angka dan perhitungannya, membahas masalah-masalah numerik, mengenai kuantitas dan besaran, mempelajari hubungan pola, bentuk dan struktur, sarana

berpikir, kumpulan sistem, struktur dan alat” (Ismail, dkk., dalam H.M. Ali

Hamzah dan Muhlisrarini, 2014: 48). Pembelajaran matematika menekankan pada upaya guru untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematika, sehingga siswa memiliki standar kompetensi tentang pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang terefleksi pada pembelajaran matematika (Titin Faridatun Nisa, 2011: 36).

(48)

33

berupa bilangan pecahan. Bilangan pecahan dapat diartikan sebagai pembagian suatu benda atau himpunan atas beberapa bagian yang sama (Lisnawaty Simanjuntak, dkk., 1993: 153). Menurut Sri Subarinah (2006: 79-80) pecahan digunakan untuk menyatakan beberapa bagian dari sejumlah bagian yang sama. Jumlah dari seluruh bagian yang sama membentuk suatu satuan (unit), sehingga bagian tersebut merupakan bagian-bagian yang sama dari keseluruhan.

Pendapat yang sama dikemukakan oleh Heruman (2008: 43) yang menyatakan bahwa pecahan dapat diartikan sebagai bagian dari sesuatu yang utuh. Pecahan terdiri dari dua bagian yakni pembilang dan penyebut. Pada sebuah ilustrasi gambar, pembilang biasanya ditandai sebagai bagian yang diarsir. Bagian lainnya berupa penyebut yang merupakan bagian utuh yang dianggap sebagai satuan. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat ditegaskan bahwa pecahan merupakan bagian-bagian dari sesuatu yang utuh. Bagian tersebut memiliki jumlah yang sama dan membentuk keseluruhan. Bilangan pecahan terdiri dari dua bagian yakni bagian pembilang dan bagian penyebut.

(49)

34

pecahan yang membagi satu unit atas beberapa bagian yang sama atau pecahan sebagai skala. Pecahan kuosien dapat dilambangkan dengan contoh 2 : 3. Pecahan rasio merupakan bilangan pecahan yang membandingkan suatu objek dengan objek lain. Pecahan rasio dapat dilambangkan dengan contoh 5 : 2.

Penerapannya dalam penelitian ini, yaitu memahami konsep pecahan sederhana untuk siswa tunanetra kelas III dengan menggunakan jenis pecahan bagian-keseluruhan serta dijelaskan dengan pengalaman konkret. Pengenalan konsep pecahan dengan jenis bagian-keseluruhan dalam bentuk tulisan Braille dilambangkan dengan contoh

#a/b

untuk

pecahan ଵ. Pengenalan pecahan juga dijelaskan melalui pengalaman konkret

dengan penggunaan media model “bola pecahan”. Pembelajaran dengan

pengalaman konkret akan lebih membantu siswa tunanetra kelas III dalam memahami materi pembelajaran secara optimal.

2. Kurikulum Matematika tentang Materi Pecahan untuk Siswa Tunanetra

(50)

35

tunanetra termasuk ke dalam ruang lingkup aspek bilangan. Menurut Departemen Pendidikan Nasional (dalam BNSP, 2006: 344) tujuan pembelajaran matematika termasuk konsep pecahan adalah agar siswa tunanetra memiliki kemampuan diantaranya sebagai berikut:

a. Siswa tunanetra memiliki kemampuan dalam memahami konsep pecahan.

b. Siswa tunanetra mampu menjelaskan keterkaitan antar konsep pecahan. c. Siswa tunanetra mampu mengaplikasikan konsep pecahan dalam

pemecahan masalah.

d. Siswa tunanetra memiliki sikap menghargai kegunaan konsep pecahan dalam kehidupan sehari-hari seperti: rasa ingin tahu, perhatian, minat dalam mempelajari konsep pecahan, ulet, serta percaya diri dalam pemecahan masalah.

Adapun standar isi konsep pecahan di kelas III pada satuan pendidikan SDLB khusus tunanetra (bagian A) yaitu sebagai berikut:

Tabel 1. Standar Isi Konsep Pecahan untuk SDLB khusus Tunanetra (Bagian A) Kelas III

Standar Kompetensi Kompetensi Dasar 3. Memahami pecahan 3.3 Memecahkan masalah yang berkaitan

dengan pecahan sederhana Sumber: BSNP untuk SDLB khusus tunanetra (2006: 347)

(51)

36

pecahan, serta melakukan pemecahan masalah yang berkaitan dengan konsep pecahan. Modifikasi materi yang dilaksanakan pada penelitian ini yaitu membatasi materi hanya pada mengenal nilai pecahan, membandingkan pecahan berpenyebut sama, serta operasi hitung pecahan berpenyebut sama. Modifikasi ini dilaksanakan berdasarkan kesesuaian media yang diuji dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai.

Materi konsep pecahan yang akan disampaikan pada penelitian ini mengacu pada sumber belajar yang berasal dari Nur Fajariyah dan Defi Triratnawati (2008: 136-148) serta Suharyanto dan C. Jacob (2009: 86-97). Materi konsep pecahan yang dipelajari untuk siswa kelas III di SLB-A Yaketunis Yogyakarta pada penelitian ini dibatasi pada materi nilai pecahan, bagian-bagian pecahan, pecahan senilai, perbandingan pecahan berpenyebut sama, serta operasi hitung penjumlahan dan pengurangan sederhana pecahan berpenyebut sama sampai nilai pecahan ଵ. Penjelasan materi tentang konsep pecahan yaitu sebagai berikut:

a. Nilai pecahan

Nilai pecahan merupakan perbandingan dua bilangan cacah yang terdiri dari penyebut dan pembilang. Adapun contoh dari nilai pecahan yaitu sebagai berikut:

Gambar 2. Nilai Pecahan

(52)

37

Dari gambar diatas dapat dijabarkan bahwa satu bagian utuh di bagi menjadi dua bagian sama besar. Lambang bilangannya adalah ଵ,

dapat dibaca satu perdua, seperdua, maupun setengah. Pada bilangan ଵ,

nilai 1 disebut sebagai pembilang dan nilai 2 disebut penyebut. b. Pecahan senilai

Nilai pecahan senilai merupakan nilai pecahan yang memiliki nilai penyebut sama walaupun dengan nominal angka berbeda. Mencari pecahan senilai dapat diketahui dengan cara mengalikan pecahan dengan suatu pecahan lain yang memiliki pembilang dan penyebut sama.

Gambar 3. Pecahan Senilai c. Perbandingan pecahan berpenyebut sama

Perbandingan pecahan berpenyebut sama merupakan upaya membandingan dua nilai pecahan yang memiliki nilai penyebut sama. Dua bilangan dapat dibandingkan dengan menggunakan tanda:

(53)

38

3) Sama dengan (=), misalnya a = b, artinya kedua bilangan (a dan b), nilainya sama besar.

Adapun contoh membandingkan pecahan berpenyebut sama sebagai berikut:

Gambar 4. Perbandingan Pecahan Berpenyebut Sama d. Operasi hitung pecahan berpenyebut sama

Operasi hitung pecahan terdiri dari operasi hitung penjumlahan dan pengurangan sederhana pecahan berpenyebut sama. Prinsip pengerjaan operasi hitung penjumlahan atau pengurangan pecahan berpenyebut sama adalah menjumlah atau mengurangi nilai pembilang dan tidak menjumlahkan atau mengurangi nilai penyebut. Adapun contoh operasi hitung penjumlahan dan pengurangan pecahan berpenyebut sama yaitu sebagai berikut:

1)Operasi hitung penjumlahan pecahan berpenyebut sama

Gambar 5. Penjumlahan Pecahan Berpenyebut Sama

(54)

39

2)Operasi hitung pengurangan pecahan berpenyebut sama

Gambar 6. Pengurangan Pecahan Berpenyebut Sama

Hal yang perlu diperhatikan dalam operasi hitung penjumlahan dan pengurangan pecahan berpenyebut sama adalah penulisan penyebut yang sama. Dua penyebut yang sama harus ditulis menjadi satu penyebut. Tujuannya adalah agar terbentuk pemikiran dari siswa bahwa nilai penyebut harus sama dan tidak bisa dijumlahkan atau dikurangi.

C. Kajian tentang Pemahaman Konsep Pecahan pada Siswa Tunanetra

1. Pengertian Pemahaman Konsep Pecahan

Menurut Gulo (2002: 8) belajar adalah suatu proses yang berlangsung di dalam diri seseorang yang mengubah tingkah lakunya, baik tingkah laku dalam berpikir, bersikap, dan berbuat. Salah satu perubahan tingkah laku dalam berpikir adalah pemahaman. Menurut Anas Sudijono (2012: 50) bahwa:

“pemahaman merupakan kemampuan seseorang untuk mengerti atau memahami sesuatu setelah sesuatu itu diketahui dan diingat. Seseorang dikatakan paham apabila mampu memberikan penjelasan atau memberi uraian yang lebih terperinci tentang hal

itu dengan kata katanya sendiri.”

ʹ Ͷ

ͳ Ͷ

(55)

40

Pendapat lain dikemukakan oleh Sudaryono (2012: 44) bahwa pemahaman adalah kemampuan seseorang untuk mengerti atau memahami sesuatu yang telah diingat. Pemahaman mencangkup kemampuan untuk menangkap makna atau arti dari bahan yang dipelajari. Pemahaman dapat dinyatakan dengan menguraikan isi pokok dari suatu bacaan atau mengubah data yang disajikan dari bentuk tertentu ke bentuk lainya.

Menurut Daryanto (2012: 106) pemahaman merupakan kemampuan untuk mengerti sesuatu yang telah diajarkan, mengetahui sesuatu yang dikomunikasikan, dan dapat memanfaatkan isinya tanpa keharusan menghubungkan dengan hal-hal lain. Pemahaman terdiri dari kemampuan menerjemahkan, menginterpretasi, dan mengekstrapolasi.

Beberapa pengertian di atas dapat ditegaskan bahwa pemahaman merupakan kemampuan seseorang untuk mengerti, memahami, dan mengetahui sesuatu yang telah diingat. Pemahaman terdiri dari kemampuan menerjemahkan, menginterpretasi, dan mengekstrapolasi. Seseorang dikatakan paham apabila mampu mengungkapkan kembali secara detail sesuatu yang telah diingat serta mengubah isi ke dalam bentuk yang lainnya. Pemahaman dimaksud pada penelitian ini yaitu suatu kemampuan siswa tunanetra kelas III di SLB-A Yaketunis Yogyakarta untuk mengerti, memahami, dan mengetahui materi tentang konsep pecahan.

Pemahaman dapat menjadi kemampuan seseorang dalam mengerti, memahami, dan mengetahui suatu konsep tertentu. Gagne & Briggs (1979:

(56)

41

for an individual to identify a stimulus as a member of a class having some characteristic in common, even though such stimuli may otherwise differ from each other markedly”. Pendapat tersebut dapat diartikan bahwa konsep adalah kemampuan yang memungkinkan bagi seorang individu untuk mengidentifikasi stimulus sebagai anggota suatu kelas yang memiliki beberapa karakteristik yang sama, walaupun rangsangan tersebut berbeda satu sama lain.

Pendapat lain dikemukakan oleh Rosser (dalam Ratna Wilis Dahar, 2011: 63) bahwa “konsep merupakan suatu abstraksi yang mewakili suatu kelas objek, kejadian, kegiatan, atau hubungan yang mempunyai atribut yang sama”. Menurut Ratna Wilis Dahar (2011: 64) bahwa “konsep merupakan suatu abstraksi mental yang mewakili satu kelas stimulus”.

Beberapa pendapat di atas, maka dapat ditegaskan bahwa konsep merupakan suatu abstraksi stimulus sebagai anggota suatu kelas yang memiliki beberapa karakteristik yang sama. Konsep tersebut dapat berupa objek, kejadian, kegiatan, atau suatu hubungan. Pemahaman konsep yang dimaksud pada penelitian ini yaitu kemampuan siswa tunanetra kelas III di SLB-A Yaketunis Yogyakarta untuk mengerti, memahami, dan mengetahui tentang nilai pecahan, membandingkan pecahan berpenyebut sama, serta melakukan operasi hitung sederhana pecahan berpenyebut sama.

(57)

42

kesulitan soal diberikan sesuai dengan kemampuan siswa dan menyangkut kegiatan sehari-hari, memberi kebebasan kepada siswa untuk mencari penyelesaian masalah dengan caranya sendiri, serta pemakaian media belajar yang mempermudah pemahaman siswa, seperti media konkret. Salah satu upaya yang dilakukan pada penelitian yaitu penggunaan media model

“bola pecahan” dalam pembelajaran konsep pecahan untuk siswa tunanetra

kelas III di SLB-A Yaketunis Yogyakarta.

2. Prinsip Pembelajaran Pemahaman Konsep Pecahan pada Siswa Tunanetra

Siswa tunanetra memiliki karakteristik dan kemampuan belajar yang berbeda-beda. Guru dituntut untuk memperhatikan adanya perbedaan individu dalam pembelajaran siswa tunanetra (Ahmad Nawawi dalam Asep AS. Hidayat dan Ate Suwadi, 2013: 29-30). Perbedaan individu pada siswa tunanetra mengharuskan guru untuk merancang pembelajaran sesuai dengan kebutuhan anak. Menurut Lowenfeld (1974: 41-44) prinsip pengajaran untuk anak tunanetra terdiri dari a) need for concrete experiences, b) need for unifying experiences, and c) need for learning by doing. Penjabaran lebih lanjut yaitu sebagai berikut:

a. Pengalaman konkret

(58)

43

mengobservasi objek atau situasi dirinya, menyediakan model dari suatu objek, maupun diskusi terkait karakteristik model tersebut.

b. Penyatuan antar konsep

Anak tunanetra membutuhkan pembelajaran dan perolehan pengalaman secara utuh dari keseluruhan integrasi pengalaman. Prinsip penyatuan konsep menekankan pada pengenalan suatu konsep dengan bagian demi bagian kemudian pengenalan secara keseluruhan. Anak tunanetra tidak hanya membutuhkan pembelajaran fakta dari topik yang diberikan, tetapi membutuhkan cara mengenali perbedaan dari gabungan keseluruhan objek, situasi, dan topik.

c. Belajar sambil melakukan

Prinsip belajar sambil melakukan merupakan prinsip belajar yang menekankan agar anak memperoleh pengetahuan melalui pengalaman secara langsung. Hal ini bertujuan agar pengetahuan yang diperoleh dapat dipahami secara konkret dan sesuai dengan kebutuhannya.

(59)

44 a. Lingkungan visual

Lingkungan visual yang harus diperhatikan agar kegiatan belajar mengajar dapat terlaksana dengan lancar adalah pencahayaan dan dekor ruangan. Pengaturan pencahayan harus disesuaikan dengan kondisi anak tunanetra. Hal ini dikarenakan setiap anak memiliki hambatan dan tingkat penglihatan yang berbeda.

b. Lingkungan suara

Anak tunanetra menggunakan indera pendengaran lebih besar untuk memperoleh informasi dibandingkan anak awas. Lingkungan suara yang kondusif dan tenang akan membantu tunanetra untuk mengidentifikasi suatu objek dan orientasi objek tertentu. Pengaturan lingkungan suara yang interes memberikan pengaruh terhadap optimalnya pelaksanaan pembelajaran.

c. Lingkungan perabaan

Lingkungan perabaan menjadi indera penting untuk tunanetra selain lingkungan suara. Hal ini disebabkan anak tunanetra lebih mengoptimalkan penggunaan indera pendengaran dan taktual dalam memperoleh suatu informasi. Pengaturan lingkungan perabaan yang baik untuk tunanetra yaitu kemudahan dalam melakukan mobilitas serta bebasnya lingkungan sekitar dari rintangan.

(60)

45

sesuai kebutuhan dan kondisi siswa. Penerapan pengalaman konkret dilaksanakan dengan menyediakan suatu media pembelajaran berupa media

model “bola pecahan”. Media tersebut dapat digunakan untuk menjelaskan

konsep pecahan pada siswa tunanetra. Pembelajaran dilaksanakan dengan

meraba media model “bola pecahan” per bagian atau irisan dan keseluruhan

sehingga terbentuk suatu konsep yang utuh. Pengelolaan lingkungan dilakukan dengan mengoptimakan lingkungan suara dan perabaan yang menjadi modal utama anak tunanetra kelas III dalam memperoleh informasi.

Pembelajaran konsep pecahan untuk siswa tunanetra harus memperhatikan berbagai strategi pembelajaran yang akan diterapkan. Pembelajaran harus mendorong siswa untuk aktif dan mampu mengembangkan kemampuannya. Pelaksanaan pembelajaran harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan pendapat dan pertanyaan, sehingga dapat mengembangkan dan mendorong rasa ingin tahu siswa (Lisnawaty Simanjuntak, dkk., 1993: 82). Guru juga sebaiknya memberikan pujian sebagai salah satu bentuk penguatan positif kepada siswa, sehingga dapat meningkatkan kemampuan dan memperbaiki perilaku siswa (Polloway dan Patton dalam Parwoto, 2007: 84).

Penyelenggaraan pembelajaran konsep pecahan harus memiliki relevansi antara kemampuan dan kebutuhan siswa tunanetra. Rekomendasi pembelajaran konsep pecahan yang relevan untuk siswa tunanetra (Polloway dan Patton dalam Parwoto, 2007: 181-182), yaitu:

(61)

46

b. Pembelajaran konsep pecahan harus mencangkup keterampilan hitungan. c. Keterampilan berhitung harus dilaksanakan secara bertahap.

d. Keberhasilan pembelajaran harus dilaksanakan melalui evaluasi belajar. e. Pembelajaran lebih banyak melibatkan siswa, penggunaan kurikulum

yang luwes serta mengakomodasi berbagai kebutuhan belajar siswa. Berdasarkan pendapat di atas, maka pelaksanaan pembelajaran konsep pecahan untuk siswa tunanetra kelas III harus dirancang dengan berorientasi pada kebutuhan anak. Pembelajaran menekankan pada penggunaan problem solving untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan penggunaan konsep hitungan. Pembelajaran juga harus memberikan perubahan tingkah laku pada siswa tunanetra dengan pemberian penguatan positif serta melibatkan siswa untuk aktif mengikuti pembelajaran. Perubahan perilaku dapat diketahui dengan pelaksanaan evaluasi non-tes hasil belajar konsep pecahan pada siswa tunanetra.

Menurut Heruman (2008: 2-3), pembelajaran konsep pecahan terbagi dalam tiga kelompok pembelajaran konsep sebagai berikut:

a. Penanaman konsep dasar (penanaman konsep), yaitu pembelajaran suatu konsep baru ketika siswa belum pernah mempelajari konsep tersebut. Pada kelompok ini, kemampuan pola pikir siswa dapat dibantu dengan penggunaan media atau alat peraga.

(62)

47

c. Pembinaan keterampilan, yaitu pembelajaran lanjutan dari penanaman konsep dan pemahaman konsep yang bertujuan agar siswa lebih terampil dalam menggunakan konsep pecahan.

Pelaksanaan pembelajaran konsep pecahan pada penelitian ini dilakukan dengan melibatkan ketiga kelompok pembelajaran tersebut. Penerapan ketiga kelompok belajar termuat dalam langkah-langkah pembelajaran konsep pecahan, baik pada kegiatan awal, kegiatan inti, maupun kegiatan penutup. Proses pembelajaran dilaksanakan dengan menggunakan model “bola pecahan” untuk membantu siswa memahami

konsep pecahan. Penerapan ketiga kelompok pembelajaran konsep pecahan untuk siswa tunanetra kelas III yaitu sebagai berikut:

a. Nilai pecahan

Pembelajaran konsep nilai pecahan dapat dilaksanakan melalui langkah pembelajaran sebagai berikut:

1) Penanaman konsep dilaksanakan dengan menggunakan media model

“bola pecahan”. Guru memberikan permasalahan dalam kehidupan

sehari-hari yang berkaitan dengan konsep pecahan, misalnya ଵ. Siswa kemudian diberikan serangkaian pertanyaan misalnya berapa bagian yang dibagi (dibelah)?

(63)

48

3) Pembinaan keterampilan dilaksanakan dengan membedakan pecahan yang bernilai ଵ, ଵ, ଵ, ଵ, atau ଵ. Siswa mampu membedakan media

model “bola pecahan” yang memiliki nilai pecahan berbeda.

b. Pecahan senilai

Pembelajaran konsep pecahan senilai dapat dilaksanakan melalui langkah pembelajaran sebagai berikut:

1) Penanaman konsep dilaksanakan dengan menunjukkan pecahan ଵ

melalui media model “bola pecahan”, kemudian membagi dua

pecahan ଵ menjadi pecahan ଶ. Siswa kemudian diberikan pertanyaan. 2) Pemahaman konsep dilaksanakan dengan berdiskusi untuk mencari

pecahan senilai tanpa menggunakan media, yaitu dengan cara mengalikan pecahan tersebut dengan suatu pecahan lain yang pembilang dan penyebutnya sama. Contohnya adalah seperti berikut: ଵ

3) Pembinaan keterampilan dilaksanakan dengan memberikan latihan soal terkait berbagai nilai dari pecahan senilai.

c. Perbandingan pecahan berpenyebut sama

Pembelajaran konsep perbandingan pecahan berpenyebut sama dapat dilaksanakan melalui langkah pembelajaran sebagai berikut:

(64)

49

model “bola pecahan”. Siswa kemudian membandingkan besar dua

pecahan tersebut dan menentukan nilai perbandingan >, <, atau =. 2) Pemahaman konsep dilaksanakan dengan memberikan latihan soal

yang berupa soal dengan jawaban benar salah.

3) Pembinaan keterampilan dilaksanakan dengan pemberian latihan soal. d. Operasi hitung sederhana pecahan berpenyebut sama

Pembelajaran konsep operasi hitung sederhana pecahan berpenyebut sama dapat dilaksanakan melalui langkah pembelajaran sebagai berikut:

1) Penanaman konsep dilaksanakan dengan menyediakan dua buah pecahan yang memiliki nilai penyebut sama melalui penggunaan

media model “bola pecahan”. Siswa kemudian menjumlahkan atau

mengurangi kedua pecahan tersebut.

2) Pemahaman konsep dilaksanakan dengan memberikan latihan soal yang berupa soal dengan jawaban benar salah.

3) Pembinaan keterampilan dilaksanakan dengan pemberian latihan soal. 3. Evaluasi Hasil Belajar Pemahaman Konsep Pecahan Siswa Tunanetra

Menurut Sudaryono (2012: 38) bahwa “evaluasi adalah

serangkaian kegiatan yang dirancang untuk mengukur efektivitas sistem

pembelajaran secara keseluruhan”. Pendapat lain diungkapkan oleh Oemar

Hamalik (2010: 210) bahwa “evaluasi adalah suatu proses berkelanjutan

tentang pengumpulan dan penafsiran informasi untuk menilai

(65)

50

Menurut H.M Ali Hamzah (2014: 15) bahwa “evaluasi adalah sarana untuk mendapatkan informasi yang diperoleh dari pengumpulan dan pengolahaan data”. Menurut Gronlund (dalam M. Ngalim Purwanta, 2013:

3) bahwa “evaluasi hasil belajar adalah suatu proses yang sistematis untuk

menentukan atau membuat keputusan sampai sejauh mana tujuan-tujuan pengajaran telah dicapai oleh siswa”.

Beberapa pendapat di atas dapat ditegaskan bahwa evaluasi adalah suatu proses pengumpulan, pengolahan, dan penafsiran informasi untuk mengukur efektivitas dan menilai keputusan pembelajaran.

Menurut Daryanto (2012: 14-15) evaluasi memiliki fungsi berikut: a. Fungsi selekif yaitu evaluasi untuk mengadakan seleksi terhadap siswa. b. Fungsi diagnostik yaitu evaluasi untuk mengetahui kelebihan dan

kelemahan siswa, sehingga dapat mendiagnosis kebutuhan siswa dan pemenuhan kebutuhannya.

c. Fungsi penempatan, yaitu evaluasi untuk menempatkan siswa sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.

d. Fungsi pengukur keberhasilan, yaitu evaluasi untuk mengetahui keberhasilan suatu program.

Gambar

Tabel 1. Standar Isi Konsep Pecahan untuk SDLB khusus Tunanetra
Gambar 3. Pecahan Senilai
Gambar 5. Penjumlahan Pecahan Berpenyebut Sama
Gambar 6. Pengurangan Pecahan Berpenyebut Sama
+7

Referensi

Dokumen terkait

mengelompokkan bangun datar berdasarkan bentuknya masih sulit ... Subjek mampu menjawab 10 soal benar dan 10 soal salah. Perbaikan terlihat pada subjek mampu menjawab beberapa

PENGARUH PEMBELAJARAN BERBANTUAN MEDIA CENTURY SQUARE TERHADAP KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP DAN BERPIKIR KREATIF MATEMATIS DALAM PENJUMLAHAN PECAHAN BERBEDA PENYEBUT..

nomor 1 sampai soal nomor 4 dalam operasi pengurangan pecahan penyebut tidak sama secara keseluruhan hasil tes pemahaman konsep siswa termasuk dalam kategori

Penelitian ini membahas mengenai Pembelajaran pemahaman konsep dalam mengerjakan soal cerita matematika materi pecahan. yang didasarkan pada teori Newman yang terdiri dari 5

Hasil penelitian ini adalah (1) kemampuan yang dimiliki mahasiswa dalam mengerjakan soal materi konsep pecahan yaitu soal langsung dan soal cerita, (2) kesulitan

Soal-soal tersebut mengases pemahaman serta kemampuan multirepresentasi siswa pada materi usaha energi khususnya konsep perkalian dot product gaya terhadap

Tabel 1 Tingkat Kemampuan Pemahaman Konsep IPA Siswa Kategori Frekuensi Persentase Tinggi 32 57.1 Sedang 0 0 Rendah 24 42.9 Analisis Kemampuan Pemahaman Konsep IPA

Indikator Kemampuan PEmahaman Konsep Matematis No Soal Indikator Persentase 1 Menyatakan ulang sebuah konsep yang telah dipelajari 78,22% 2 Mengklasifikasikan objek-objek