• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA A. Kajian tentang Anak Tunanetra

1. Pengertian Anak Tunanetra

Menurut Gargiulo (2006: 482) “visual impairment is a term that describes people who cannot see will even with correction”. Pendapat tersebut dapat diartikan bahwa hambatan penglihatan atau tunanetra merupakan istilah yang menggambarkan orang-orang yang tidak bisa melihat dengan baik walaupun dengan koreksi. Pengertian lain mengemukakan bahwa “visual impairment including blindness means as impairment in vision that, even with correction, adversely affects a child’s educational performance” (U.S Departement of Education dalam Smith & Tyler, 2010: 372). Pendapat tersebut berarti bahwa gangguan penglihatan termasuk kebutaan didefinisikan sebagai adanya penurunan fungsi penglihatan walaupun setelah dilakukan koreksi dan berpengaruh terhadap kinerja pembelajaran anak.

Menurut Sari Rudiyati (2002: 25) bahwa “anak tunanetra adalah anak yang karena sesuatu hal dria penglihatannya mengalami luka atau kerusakan, baik struktur dan atau fungsional sehingga penglihatannya mengalami kondisi tidak berfungsi sebagaimana mestinya”. Menurut Ashcroft (dalam Blackhurst & Berdine, 1981: 216) mengemukakan bahwa “visual impaired children are defined as those who differ from normally seing children to such a degree that they need specially trained teachers, specially designed or adapted curricular materials, and specially designed

21

educational aids to achieve their full potensial”. Pendapat tersebut dapat diartikan bahwa anak tunanetra didefinisikan sebagai anak-anak yang berbeda dari anak normal lainnya yang dapat melihat dan membutuhkan guru khusus, rancangan khusus atau kurikulum adaptif, serta layanan pendidikan khusus untuk mengoptimalkan potensinya.

Pengertian lain dikemukakan oleh beberapa ahli yang membagi tunanetra ke dalam dua klasifikasi, yakni tunanetra total dan tunanetra kurang lihat. Menurut Ysseldyke & Algozzine (1984: 15-18) bahwa tunanetra buta total merupakan seseorang yang memiliki ketajaman penglihatan sebesar 2/200 atau kurang pada mata yang lebih baik meskipun telah dikoreksi atau memiliki ketajaman visual lebih dari 20/200 tetapi memiliki sudut pandang tidak lebih dari 20 derajat. Anak tunanetra kurang lihat merupakan seseorang yang masih memiliki sisa penglihatan dengan ketajaman mata antara 20/70 dan 20/200 pada mata yang lebih baik setelah dikoreksi.

Menurut Kneedler, et al., (1984: 213) bahwa untuk tujuan pendidikan ketunanetraan terbagi kedalam dua, yakni tunanetra buta total dan tunanetra kurang lihat. “The blind person is one whose sight is so severely impaired that he or she must be taught to read by Braille or by aural methods (audiotapes and record) and the partially sighted person can read print even though magnifying devices or large-print book may be needed. Pendapat tersebut dapat diartikan bahwa tunanetra buta total merupakan seseorang yang menggunakan tulisan Braille serta metode

22

auditoris seperti penggunaan audiotape dan perekam dalam pembelajaran, sedangkan tunanetra kurang lihat merupakan seseorang yang dapat membaca tulisan cetak dengan alat pembesar atau buku cetak yang diperbesar.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat ditegaskan bahwa tunanetra merupakan sesorang yang mengalami penurunan fungsi penglihatan serta tidak bisa melihat dengan baik walaupun setelah dilakukan koreksi. Penurunan fungsi penglihatan berpengaruh terhadap kinerja pembelajaran, sehingga membutuhkan layanan pendidikan khusus. Tunanetra terbagi menjadi dua yakni tunanetra buta total dan tunanetra kurang lihat. Pelaksanaan pembelajaran tunanetra buta total menggunakan tulisan Braille serta metode auditoris, sedangkan tunanetra kurang lihat menggunakan tulisan cetak dengan alat pembesar atau buku cetak yang diperbesar.

Anak tunanetra yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu tiga orang siswa tunanetra kelas III di SLB-A Yaketunis Yogyakarta. Siswa tunanetra tersebut mengalami kesulitan dalam pemahaman konsep pecahan dan membutuhkan layanan pendidikan khusus. Pelaksanaan pembelajaran siswa tunanetra kelas III di SLB-A Yaketunis Yogyakarta lebih mengoptimalkan fungsi pendengaran dan fungsi perabaan. Siswa tunanetra kelas III membutuhkan layanan pendidikan khusus sesuai dengan anak tunanetra buta total yaitu penggunaan tulisan Braille dan metode auditoris pada saat pembelajaran.

23 2. Karakteristik Anak Tunanetra

Menurut Anastasia Widdjajantin dan Imanuel Hitipeuw (1996: 11) bahwa hambatan penglihatan, baik disadari atau tidak disadari akan berdampak pada perilaku dan kegiatan anak tunanetra. Perilaku dan kegiatan tersebut akan menjadi karakteristik atau ciri khas dari anak tunanetra. Karakterstik dari anak tunanetra dipengaruhi oleh usia terjadi ketunanetraan, tingkat gangguan penglihatan, penerimaan lingkungan, maupun perolehan pengalaman yang dimiliki anak tunanetra.

Menurut Hallahan, et al. (2009: 388-391), anak tunanetra memiliki karakteristik sebagai berikut:

a. Perkembangan bahasa

Ketunanetraan tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap kemampuan untuk memahami dan menggunakan bahasa. Hal ini karena persepsi auditori lebih baik dari pada persepsi visual sebagai modalitas untuk belajar berbahasa. Anak tunanetra biasanya tidak mengalami gangguan bahasa dan memungkinkan memiliki kemampuan berbahasa yang lebih baik dari pada anak normal.

b. Kemampuan intelektual

Anak tunanetra yang masih bayi dan anak-anak biasanya memiliki keterlambatan kemampuan konseptual dibandingkan dengan anak pada umumnya. Hal ini dikarenakan anak tunanetra banyak mengandalkan perabaan dibandingan dengan penglihatan yang memiliki

24

peranan sangat besar. Anak tunanetra membutuhkan usaha yang lebih besar dari pada anak melihat dalam memproleh suatu pengertian.

c. Orientasi dan mobilitas

Anak tunanetra memproses informasi ruang secara sekuen serta melalui peta kognitif. Seorang tunanetra mempunyai kemampuan mendeteksi objek dan bahaya dengan cara mengingat perubahan dari berbagai ciri khas suatu objek. Anak tunanetra juga memiliki kepekaan yang tinggi dan memiliki kemampuan penginderaan yang lebih baik pada salah satu inderanya atau beberapa indera lainnya.

d. Prestasi akademik

Anak tunanetra biasanya memiliki prestasi akademik yang lebih rendah dibandingkan dengan teman sebayanya yang dapat melihat. Hal ini bisa disebabkan oleh rendahnya harapan atau kurangnya paparan dalam bentuk tulisan Braille untuk anak tunanetra.

e. Penyesuaian sosial

Anak tunanetra memiliki masalah penyesuaian sosial yang lebih besar dari pada anak melihat pada umumnya. Anak tunanetra menggunakan tongkat untuk berinteraksi. Tongkat akan menjadi identitas anak sehingga orang lain akan mengetahui kondisinya. Anak tunanetra juga memiliki beberapa karakteristik seperti gelisah, perilaku adatan, perilaku stereotif, menekan atau menggosok bola mata.

Pendapat lain dikemukakan oleh T. Sutjihati Somantri (2006: 67- 87) bahwa anak tunanetra memiliki karakteristik sebagai berikut:

25 a. Perkembangan kognitif

Anak tunanetra memiliki perkembangan kognitif dan konseptual yang cenderung lebih lambat dibandingkan dengan anak normal pada umumnya. Hal ini disebabkan oleh pengertian dan pengenalan terhadap dunia luar hanya diperoleh melalui indera di luar visual, sehingga informasi yang diperoleh anak tunanetra tidak lengkap dan utuh. Anak tunanetra mungkin lebih superior dibandingkan dengan anak awas dalam hal ketajaman sensoris, ingatan maupun kreativitas dengan proses latihan secara rutin dan intensif. Umumnya anak tunanetra memiliki nilai yang lebih rendah dalam bidang matematika dibandingkan dengan anak awas. b. Perkembangan motorik

Anak tunanetra cenderung memiliki perkembangan motorik yang lebih lambat dari anak pada umumnya. Hal ini disebakan oleh kurangnya koordinasi fungsional dengan fungsi psikis, serta kesempatan yang diberikan kepada tunanetra untuk melakukan aktivias gerak motorik. Anak tunanetra kurang memahami batas wilayah ruang gerak, bahaya yang mungkin muncul, serta sulit untuk belajar menirukan orang lain pada saat melakukan suatu aktivitas gerak motor. Hambatan penglihatan juga mempengaruhi perkembangan gerakan motorik terutama pada koordinasi tangan, koordinasi badan, serta cara berjalan. c. Perkembangan emosi

Anak tunanetra mengalami hambatan dalam perkembangan emosi dibandingkan dengan anak awas pada umumnya. Anak tunanetra

26

memiliki keterbatasan menyampaikan perasaan kepada orang lain melalui ekspresi dan reaksi wajah atau tubuh. Anak tunanetra cenderung menyatakan emosinya secara verbal. Masalah emosi yang sering dihadapi oleh anak tunanetra adalah gejala emosi yang tidak seimbang, pola negatif, dan pola berlebihan seperti: takut, malu, khawatir, cemas, mudah marah, iri hati, serta kesedihan yang berlebihan.

d. Perkembangan sosial

Anak tunanetra cenderung lebih banyak menghadapi masalah perkembangan sosial dibandingkan dengan anak normal. Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya motivasi, ketakutan menghadapi lingkungan sosial yang lebih luas dan baru, perasaan rendah diri, malu, serta penolakan dari lingkungan. Anak tunanetra mengalami hambatan dalam belajar sosial melalui proses identifikasi dan imitasi, serta mengikuti bentuk permainan sebagai wahana penyerapan norma atau aturan dalam sosialisasi. Perkembangan sosial anak tunanetra dipengaruhi oleh perlakuan dan penerimaan lingkungan terhadap keberadaan anak tunanetra.

e. Perkembangan kepribadian

Anak tunanetra memiliki kecenderungan untuk mengalami gangguan kepribadian seperti introvert, neurotik, frustasi, dan rigiditas (kekakuan) mental dibandingkan dengan anak pada umumnya. Anak tunanetra cenderung bertahan dengan ide dan pendapatnya yang belum tentu benar menurut penilaian umum.

27

Menurut Sari Rudiyati (2002: 34-38), bahwa anak tunanetra memiliki karakteristik berupa: cenderung memiliki rasa curiga, mudah tersinggung, verbalisme, perasaan rendah diri, adatan atau blindsm/mannerism, suka berfantasi, berpikir kritis, serta pemberani.

Berdasarkan beberapa pendapat diatas, maka dapat ditegaskan kerateristik anak tunanetra yang berkaitan dengan subjek penelitian ini yaitu sebagai berikut:

a. Perkembangan fisik

Anak tunanetra kelas III memiliki perkembangan yang hampir sama dengan anak umumnya. Anak tunanetra memiliki beberapa hambatan terutama dalam koordinasi tangan, koordinasi badan, serta cara berjalan. Anak tunanetra mengembangkan fungsi auditoris dan taktual. Anak tunanetra kelas III juga memiliki kemampuan motorik halus yang baik sesuai dengan kondisi ketunanetraannya.

b. Perkembangan akademik

Anak tunanetra kelas III mengandalkan fungsi pendengaran dan perabaan dalam memperoleh informasi. Anak tunanetra menggunakan tulisan Braille pada saat pembelajaran. Anak tunanetra mengalami hambatan dalam perkembangan konseptual, tetapi memiliki daya ingat yang lebih kuat dibandingkan anak pada umumnya. Anak tunanetra kelas III memiliki prestasi akademik yang lebih rendah terutama di bidang matematika, sehingga membutuhkan layanan pendidikan khusus dalam pelaksanaan proses pembelajaran.

28 c. Perkembangan sosial-emosional

Anak tunanetra kelas III memiliki perkembangan sosial-emosional seperti gelisah, blindsm, perilaku stereotif, suka berfantasi, dan mengembangkan verbalisme. Anak tunanetra memiliki perkembangan sosial yang baik ditandai oleh penerimaan dan interaksi dengan orang lain. Perkembangan sosial-emosional anak tunanetra berpengaruh pada pembelajaran, sehingga pembelajaran harus mempertimbangkan karakteristik masing-masing anak tunanetra.

Karakteristik anak tunanetra kelas III di SLB-A Yaketunis Yogyakarta tersebut menjadi bahan pertimbangan dalam pelaksanaan pembelajaran. Pelaksanaan pembelajaran pada penelitian ini memanfaatkan media pembelajaran berupa media model. Penggunaan media model “bola pecahan” dilaksanakan dengan pertimbangan kebutuhan dan karakteristik belajar anak tunanetra yang menekankan pada indera pendengaran dan taktual.