• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA A. Kajian tentang Anak Tunanetra

3. Keterbatasan Anak Tunanetra

Hambatan penglihatan berdampak pada kondisi dan kebutuhan anak tunanetra. Hambatan penglihatan menyebabkan anak tunanetra memiliki berbagai keterbatasan. Menurut Lowenfeld (1974: 34) anak tunanetra memiliki keterbatasan dalam 3 lingkup yang meliputi: a) in the range and variety of this experiences, b) in his ability to get about, and c) 3. in his interaction with the environment. Dari pendapat tersebut dapat dijabarkan bahwa keterbatasan yang dimiliki oleh tunanetra sebagai berikut:

29

a. Keterbatasan di dalam lingkup jenis dan variasi pengalaman

Anak tunanetra mengalami hambatan dalam memperoleh pengalaman baru yang beragam. Anak tunanetra memperoleh informasi melalui indera di luar penglihatan. Indera yang masih berfungsi tidak dapat menerima informasi yang hanya dapat ditangkap oleh indera penglihatan. Akibatnya, anak tunanetra tidak memperoleh informasi secara keseluruhan dan terbatas pada informasi yang diperoleh melalui indera yang masih berfungsi.

b. Keterbatasan dalam berpindah tempat (mobilitas)

Hambatan penglihatan mengakibatkan anak tunanetra mengalami kesulitan dalam melakukan berbagai aktivitas. Anak tunanetra tidak dapat mengeksplorasi lingkungannya secara luas serta tidak bebas dalam melakukan kontak dengan lingkungannya. Keterbatasan dalam berpindah tempat berakibat pada rendahnya pengalaman anak tunanetra serta kurangnya interaksi tunanetra dengan lingkungannya.

c. Keterbatasan dalam berinteraksi dengan lingkungan

Hambatan penglihatan mengakibatkan anak tunanetra mengalami keterpisahan dengan lingkungan fisik dan lingkungan sosialnya. Anak tunanetra kehilangan kemampuan untuk meniru berbagai aktivitas dan tingkah laku orang lain di lingkungannya. Hal ini mengakibatkan anak tunanetra menarik diri dari lingkungannya serta terjadinya kepasifan dalam berinteraksi dan kesulitan memasuki lingkungan sosial.

30

Keterbatasan pada anak tunanetra akan berdampak pada berbagai aspek. Menurut Juang Sunanto (2005: 48) dampak kehilangan penglihatan berpengaruh terhadap beberapa aspek sebagai berikut:

a. Dampak terhadap kognisi yang mengakibatkan anak tunanetra mengembangkan konsepnya melalui taktual dan pendengaran. Anak tunanetra kurang mampu mengintegrasikan semua jenis fakta yang sudah dipelajari ke dalam satu kesatuan.

b. Dampak terhadap sosial-emosi yang menyebabkan anak tunanetra membutuhkan keterampilan khusus dalam membaca, menafsirkan dan merepon sinyal sosial dari orang lain. Lingkungan sosial anak tunanetra biasanya lebih sempit dari pada anak umumnya.

c. Dampak terhadap bahasa tidak berpengaruh signifikan. Anak tunanetra memiliki perkembangan bahasa yang hampir sama dengan anak lainnya. d. Dampak terhadap orientasi dan mobilitas yang menyebabkan anak

tunanetra mengalami kesulitan dalam bergerak secara leluasa di dalam lingkungannya serta hubungan suatu objek dengan lingkungannya.

Pendapat lain dikemukakan oleh Purwaka Hadi (2005: 53-58) bahwa keterbatasan yang dimiliki anak tunanetra sebagai akibat dari hambatan penglihatan akan berdampak beberapa aspek sebagai berikut: a. Dampak personal atau individu tunanetra berupa tidak dapat melihat

dengan baik, muncul hambatan dalam hidupnya, kesulitan mengatasi hambatan, emosi tidak terkendali, dan frustasi yang berlebihan.

31

b. Dampak pada perkembangan sosial-emosional dipengaruhi oleh penerimaan lingkungan terhadap anak tunanetra. Pandangan negatif akan berdampak pada perilaku anak tunanetra yang kurang baik. Anak tunanetra sulit biasanya untuk menunjukkan ekspresi wajah yang tepat serta sulit untuk menghilangkan adatan/blindsm.

c. Dampak pada perkembangan bahasa dan komunikasi yang berupa rendahnya inisiatif dari anak tunanetra untuk melakukan dialog lisan bersama.

d. Dampak pada perkembangan kognitif berupa kurangnya informasi yang diperoleh oleh anak tunanetra. Hal ini menyebabkan anak tunanetra lemah dalam kemampuan konseptual serta pengertian yang diperoleh tidak dapat diproses menjadi informasi yang efisien.

e. Dampak pada perkembangan gerak serta orientasi dan mobilitas menyebabkan anak tunanetra kurang memiliki kesempatan untuk belajar keterampilan bergerak dan memperoleh pengalaman yang beragam.

Keterbatasan-keterbatasan tersebut dapat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kemampuan pemahaman konsep pecahan pada anak tunanetra kelas III di SLB-A Yaketunis Yogyakarta. Keterbatasan dalam lingkup jenis dan variasi pengalaman berdampak pada kurangnya informasi yang diperoleh oleh anak tunanetra kelas III. Anak tunanetra memperoleh informasi hanya melalui indera yang masih berfungsi, sehingga kemampuan konseptual dan pengertian yang diperoleh tidak dapat diproses menjadi informasi yang efisien. Anak tunanetra juga lebih mengoptimalkan fungsi

32

taktual dan pendengaran untuk mengembangkan kemampuan konseptual. Anak tunanetra kurang mampu mengintegrasikan materi yang diperoleh menjadi suatu pemahaman. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi keterbatasan anak tunanetra kelas III yaitu pengoptimalan proses pembelajaran. Pengoptimalan proses pembelajaran dilakukan dengan penggunaan media model “bola pecahan” terhadap kemampuan pemahaman konsep pecahan siswa tunanetra.

B. Kajian tentang Pembelajaran Konsep Pecahan 1. Kajian Konsep Pecahan dalam Matematika

Pecahan merupakan bagian dari mata pelajaran matematika. Matematika diartikan sebagai “ilmu yang membahas angka-angka dan perhitungannya, membahas masalah-masalah numerik, mengenai kuantitas dan besaran, mempelajari hubungan pola, bentuk dan struktur, sarana berpikir, kumpulan sistem, struktur dan alat” (Ismail, dkk., dalam H.M. Ali Hamzah dan Muhlisrarini, 2014: 48). Pembelajaran matematika menekankan pada upaya guru untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematika, sehingga siswa memiliki standar kompetensi tentang pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang terefleksi pada pembelajaran matematika (Titin Faridatun Nisa, 2011: 36).

Pecahan sebagai bagian dari matematika muncul karena adanya kebutuhan untuk mencari pernyataan benar dari kalimat 2 x a = 3 maupun pernyataan 20 : 6 = b. Sulitnya untuk menggunakan bilangan cacah maupun bulat untuk menggantikan a dan b menyebabkan pembentukan definisi baru

33

berupa bilangan pecahan. Bilangan pecahan dapat diartikan sebagai pembagian suatu benda atau himpunan atas beberapa bagian yang sama (Lisnawaty Simanjuntak, dkk., 1993: 153). Menurut Sri Subarinah (2006: 79-80) pecahan digunakan untuk menyatakan beberapa bagian dari sejumlah bagian yang sama. Jumlah dari seluruh bagian yang sama membentuk suatu satuan (unit), sehingga bagian tersebut merupakan bagian-bagian yang sama dari keseluruhan.

Pendapat yang sama dikemukakan oleh Heruman (2008: 43) yang menyatakan bahwa pecahan dapat diartikan sebagai bagian dari sesuatu yang utuh. Pecahan terdiri dari dua bagian yakni pembilang dan penyebut. Pada sebuah ilustrasi gambar, pembilang biasanya ditandai sebagai bagian yang diarsir. Bagian lainnya berupa penyebut yang merupakan bagian utuh yang dianggap sebagai satuan. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat ditegaskan bahwa pecahan merupakan bagian-bagian dari sesuatu yang utuh. Bagian tersebut memiliki jumlah yang sama dan membentuk keseluruhan. Bilangan pecahan terdiri dari dua bagian yakni bagian pembilang dan bagian penyebut.

Menurut Reys, dkk., (dalam J. Tombokan Runtukahu dan Selpius Kandou, 2014: 125) bahwa pecahan terdiri dari 3 jenis, yakni bilangan pecahan keseluruhan, kuosien, serta rasio. Pecahan bagian-keseluruhan merupakan bilangan pecahan yang terdiri dari satu unit dan bagian dari satu kelompok. Jenis pecahan bagian-keseluruhan dapat dilambangkan dengan contoh . Pecahan kuosien merupakan bilangan

34

pecahan yang membagi satu unit atas beberapa bagian yang sama atau pecahan sebagai skala. Pecahan kuosien dapat dilambangkan dengan contoh 2 : 3. Pecahan rasio merupakan bilangan pecahan yang membandingkan suatu objek dengan objek lain. Pecahan rasio dapat dilambangkan dengan contoh 5 : 2.

Penerapannya dalam penelitian ini, yaitu memahami konsep pecahan sederhana untuk siswa tunanetra kelas III dengan menggunakan jenis pecahan bagian-keseluruhan serta dijelaskan dengan pengalaman konkret. Pengenalan konsep pecahan dengan jenis bagian-keseluruhan dalam bentuk tulisan Braille dilambangkan dengan contoh

#a/b

untuk pecahan . Pengenalan pecahan juga dijelaskan melalui pengalaman konkret dengan penggunaan media model “bola pecahan”. Pembelajaran dengan pengalaman konkret akan lebih membantu siswa tunanetra kelas III dalam memahami materi pembelajaran secara optimal.

2. Kurikulum Matematika tentang Materi Pecahan untuk Siswa