• Tidak ada hasil yang ditemukan

Siswa tunanetra memiliki karakteristik dan kemampuan belajar yang berbeda-beda. Guru dituntut untuk memperhatikan adanya perbedaan individu dalam pembelajaran siswa tunanetra (Ahmad Nawawi dalam Asep AS. Hidayat dan Ate Suwadi, 2013: 29-30). Perbedaan individu pada siswa tunanetra mengharuskan guru untuk merancang pembelajaran sesuai dengan kebutuhan anak. Menurut Lowenfeld (1974: 41-44) prinsip pengajaran untuk anak tunanetra terdiri dari a) need for concrete experiences, b) need for unifying experiences, and c) need for learning by doing. Penjabaran lebih lanjut yaitu sebagai berikut:

a. Pengalaman konkret

Guru harus memberikan berbagai variasi pengalaman konkret untuk memfasilitasi kekurangan pengalaman anak tunanetra. Pengalaman konkret dapat berasal dari lingkungan sekitar anak tunanetra. Pembelajaran konkret dalam dilakukan dengan mengajak anak untuk

43

mengobservasi objek atau situasi dirinya, menyediakan model dari suatu objek, maupun diskusi terkait karakteristik model tersebut.

b. Penyatuan antar konsep

Anak tunanetra membutuhkan pembelajaran dan perolehan pengalaman secara utuh dari keseluruhan integrasi pengalaman. Prinsip penyatuan konsep menekankan pada pengenalan suatu konsep dengan bagian demi bagian kemudian pengenalan secara keseluruhan. Anak tunanetra tidak hanya membutuhkan pembelajaran fakta dari topik yang diberikan, tetapi membutuhkan cara mengenali perbedaan dari gabungan keseluruhan objek, situasi, dan topik.

c. Belajar sambil melakukan

Prinsip belajar sambil melakukan merupakan prinsip belajar yang menekankan agar anak memperoleh pengetahuan melalui pengalaman secara langsung. Hal ini bertujuan agar pengetahuan yang diperoleh dapat dipahami secara konkret dan sesuai dengan kebutuhannya.

Prinsip pembelajaran memiliki tujuan agar pembelajaran yang dilaksanakan lebih optimal. Penyelenggaran pembelajaran yang optimal juga didukung oleh lingkungan pembelajaran yang kondusif untuk anak tunanetra. Menurut Juang Sunanto (2005: 201-205) bahwa lingkungan belajar yang harus diperhatikan dalam pembelajaran siswa tunanetra yaitu sebagai berikut:

44 a. Lingkungan visual

Lingkungan visual yang harus diperhatikan agar kegiatan belajar mengajar dapat terlaksana dengan lancar adalah pencahayaan dan dekor ruangan. Pengaturan pencahayan harus disesuaikan dengan kondisi anak tunanetra. Hal ini dikarenakan setiap anak memiliki hambatan dan tingkat penglihatan yang berbeda.

b. Lingkungan suara

Anak tunanetra menggunakan indera pendengaran lebih besar untuk memperoleh informasi dibandingkan anak awas. Lingkungan suara yang kondusif dan tenang akan membantu tunanetra untuk mengidentifikasi suatu objek dan orientasi objek tertentu. Pengaturan lingkungan suara yang interes memberikan pengaruh terhadap optimalnya pelaksanaan pembelajaran.

c. Lingkungan perabaan

Lingkungan perabaan menjadi indera penting untuk tunanetra selain lingkungan suara. Hal ini disebabkan anak tunanetra lebih mengoptimalkan penggunaan indera pendengaran dan taktual dalam memperoleh suatu informasi. Pengaturan lingkungan perabaan yang baik untuk tunanetra yaitu kemudahan dalam melakukan mobilitas serta bebasnya lingkungan sekitar dari rintangan.

Penerapan prinsip pembelajaran dan pengelolaan lingkungan kelas pada penelitian ini bertujuan agar pembelajaran konsep pecahan pada siswa tunanetra kelas III di SLB-A Yaketunis Yogyakarta dapat dilaksanakan

45

sesuai kebutuhan dan kondisi siswa. Penerapan pengalaman konkret dilaksanakan dengan menyediakan suatu media pembelajaran berupa media model “bola pecahan”. Media tersebut dapat digunakan untuk menjelaskan konsep pecahan pada siswa tunanetra. Pembelajaran dilaksanakan dengan meraba media model “bola pecahan” per bagian atau irisan dan keseluruhan sehingga terbentuk suatu konsep yang utuh. Pengelolaan lingkungan dilakukan dengan mengoptimakan lingkungan suara dan perabaan yang menjadi modal utama anak tunanetra kelas III dalam memperoleh informasi.

Pembelajaran konsep pecahan untuk siswa tunanetra harus memperhatikan berbagai strategi pembelajaran yang akan diterapkan. Pembelajaran harus mendorong siswa untuk aktif dan mampu mengembangkan kemampuannya. Pelaksanaan pembelajaran harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan pendapat dan pertanyaan, sehingga dapat mengembangkan dan mendorong rasa ingin tahu siswa (Lisnawaty Simanjuntak, dkk., 1993: 82). Guru juga sebaiknya memberikan pujian sebagai salah satu bentuk penguatan positif kepada siswa, sehingga dapat meningkatkan kemampuan dan memperbaiki perilaku siswa (Polloway dan Patton dalam Parwoto, 2007: 84).

Penyelenggaraan pembelajaran konsep pecahan harus memiliki relevansi antara kemampuan dan kebutuhan siswa tunanetra. Rekomendasi pembelajaran konsep pecahan yang relevan untuk siswa tunanetra (Polloway dan Patton dalam Parwoto, 2007: 181-182), yaitu:

46

b. Pembelajaran konsep pecahan harus mencangkup keterampilan hitungan. c. Keterampilan berhitung harus dilaksanakan secara bertahap.

d. Keberhasilan pembelajaran harus dilaksanakan melalui evaluasi belajar. e. Pembelajaran lebih banyak melibatkan siswa, penggunaan kurikulum

yang luwes serta mengakomodasi berbagai kebutuhan belajar siswa. Berdasarkan pendapat di atas, maka pelaksanaan pembelajaran konsep pecahan untuk siswa tunanetra kelas III harus dirancang dengan berorientasi pada kebutuhan anak. Pembelajaran menekankan pada penggunaan problem solving untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan penggunaan konsep hitungan. Pembelajaran juga harus memberikan perubahan tingkah laku pada siswa tunanetra dengan pemberian penguatan positif serta melibatkan siswa untuk aktif mengikuti pembelajaran. Perubahan perilaku dapat diketahui dengan pelaksanaan evaluasi non-tes hasil belajar konsep pecahan pada siswa tunanetra.

Menurut Heruman (2008: 2-3), pembelajaran konsep pecahan terbagi dalam tiga kelompok pembelajaran konsep sebagai berikut:

a. Penanaman konsep dasar (penanaman konsep), yaitu pembelajaran suatu konsep baru ketika siswa belum pernah mempelajari konsep tersebut. Pada kelompok ini, kemampuan pola pikir siswa dapat dibantu dengan penggunaan media atau alat peraga.

b. Pemahaman konsep, yaitu pembelajaran lanjutan dari pemahaman konsep yang bertujuan agar siswa lebih memahami konsep pecahan.

47

c. Pembinaan keterampilan, yaitu pembelajaran lanjutan dari penanaman konsep dan pemahaman konsep yang bertujuan agar siswa lebih terampil dalam menggunakan konsep pecahan.

Pelaksanaan pembelajaran konsep pecahan pada penelitian ini dilakukan dengan melibatkan ketiga kelompok pembelajaran tersebut. Penerapan ketiga kelompok belajar termuat dalam langkah-langkah pembelajaran konsep pecahan, baik pada kegiatan awal, kegiatan inti, maupun kegiatan penutup. Proses pembelajaran dilaksanakan dengan menggunakan model “bola pecahan” untuk membantu siswa memahami konsep pecahan. Penerapan ketiga kelompok pembelajaran konsep pecahan untuk siswa tunanetra kelas III yaitu sebagai berikut:

a. Nilai pecahan

Pembelajaran konsep nilai pecahan dapat dilaksanakan melalui langkah pembelajaran sebagai berikut:

1) Penanaman konsep dilaksanakan dengan menggunakan media model “bola pecahan”. Guru memberikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan konsep pecahan, misalnya . Siswa kemudian diberikan serangkaian pertanyaan misalnya berapa bagian yang dibagi (dibelah)?

2) Pemahaman konsep dilaksanakan dengan menunjukkan nilai-nilai pecahan melalui media model “bola pecahan”. Siswa mampu mengidentifikasi nilai pecahan , , , , atau .

48

3) Pembinaan keterampilan dilaksanakan dengan membedakan pecahan yang bernilai , , , , atau . Siswa mampu membedakan media model “bola pecahan” yang memiliki nilai pecahan berbeda.

b. Pecahan senilai

Pembelajaran konsep pecahan senilai dapat dilaksanakan melalui langkah pembelajaran sebagai berikut:

1) Penanaman konsep dilaksanakan dengan menunjukkan pecahan melalui media model “bola pecahan”, kemudian membagi dua pecahan menjadi pecahan . Siswa kemudian diberikan pertanyaan. 2) Pemahaman konsep dilaksanakan dengan berdiskusi untuk mencari

pecahan senilai tanpa menggunakan media, yaitu dengan cara mengalikan pecahan tersebut dengan suatu pecahan lain yang pembilang dan penyebutnya sama. Contohnya adalah seperti berikut:

= ...

x

=

maka,

=

.

3) Pembinaan keterampilan dilaksanakan dengan memberikan latihan soal terkait berbagai nilai dari pecahan senilai.

c. Perbandingan pecahan berpenyebut sama

Pembelajaran konsep perbandingan pecahan berpenyebut sama dapat dilaksanakan melalui langkah pembelajaran sebagai berikut:

1) Penanaman konsep dilaksanakan dengan menunjukkan dua buah pecahan berpenyebut sama yang berbeda dengan menggunakan media

49

model “bola pecahan”. Siswa kemudian membandingkan besar dua pecahan tersebut dan menentukan nilai perbandingan >, <, atau =. 2) Pemahaman konsep dilaksanakan dengan memberikan latihan soal

yang berupa soal dengan jawaban benar salah.

3) Pembinaan keterampilan dilaksanakan dengan pemberian latihan soal. d. Operasi hitung sederhana pecahan berpenyebut sama

Pembelajaran konsep operasi hitung sederhana pecahan berpenyebut sama dapat dilaksanakan melalui langkah pembelajaran sebagai berikut:

1) Penanaman konsep dilaksanakan dengan menyediakan dua buah pecahan yang memiliki nilai penyebut sama melalui penggunaan media model “bola pecahan”. Siswa kemudian menjumlahkan atau mengurangi kedua pecahan tersebut.

2) Pemahaman konsep dilaksanakan dengan memberikan latihan soal yang berupa soal dengan jawaban benar salah.

3) Pembinaan keterampilan dilaksanakan dengan pemberian latihan soal. 3. Evaluasi Hasil Belajar Pemahaman Konsep Pecahan Siswa Tunanetra

Menurut Sudaryono (2012: 38) bahwa “evaluasi adalah serangkaian kegiatan yang dirancang untuk mengukur efektivitas sistem pembelajaran secara keseluruhan”. Pendapat lain diungkapkan oleh Oemar Hamalik (2010: 210) bahwa “evaluasi adalah suatu proses berkelanjutan tentang pengumpulan dan penafsiran informasi untuk menilai keputusan-keputusan yang dibuat dalam merancang susatu sistem pengajaran”.

50

Menurut H.M Ali Hamzah (2014: 15) bahwa “evaluasi adalah sarana untuk mendapatkan informasi yang diperoleh dari pengumpulan dan pengolahaan data”. Menurut Gronlund (dalam M. Ngalim Purwanta, 2013: 3) bahwa “evaluasi hasil belajar adalah suatu proses yang sistematis untuk menentukan atau membuat keputusan sampai sejauh mana tujuan-tujuan pengajaran telah dicapai oleh siswa”.

Beberapa pendapat di atas dapat ditegaskan bahwa evaluasi adalah suatu proses pengumpulan, pengolahan, dan penafsiran informasi untuk mengukur efektivitas dan menilai keputusan pembelajaran.

Menurut Daryanto (2012: 14-15) evaluasi memiliki fungsi berikut: a. Fungsi selekif yaitu evaluasi untuk mengadakan seleksi terhadap siswa. b. Fungsi diagnostik yaitu evaluasi untuk mengetahui kelebihan dan

kelemahan siswa, sehingga dapat mendiagnosis kebutuhan siswa dan pemenuhan kebutuhannya.

c. Fungsi penempatan, yaitu evaluasi untuk menempatkan siswa sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.

d. Fungsi pengukur keberhasilan, yaitu evaluasi untuk mengetahui keberhasilan suatu program.

Evaluasi yang dimaksud pada penelitian ini yaitu suatu proses pengumpulan, pengolahan, dan penafsiran informasi mengenai pemahaman konsep pecahan siswa tunanetra kelas III, sehingga dapat mengukur efektivitas suatu media pembelajaran terhadap kemampuan pemahaman siswa tunanetra kelas III. Evaluasi berfungsi untuk mengukur keberhasilan

51

atau keefektifan media model “bola pecahan” terhadap kemampuan pemahaman konsep pecahan siswa tunanetra kelas III di SLB-A Yaketunis Yogyakarta.

Menurut H.M Ali Hamzah (2014: 152) kegiatan evaluasi dilakukan pada tiga ranah pengukuran, yakni ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotor. Ranah kognitif berhubungan dengan kemampuan intelektual, seperti: pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan berpikir. Ranah afektif berhubungan dengan sikap, minat, perhatian, apresiasi, dan cara menyesuaikan diri. Ranah psikomotor berhubungan dengan gerak laku, seperti: menulis cepat maupun menggunakan alat dan media pembelajaran. Dalam melakukan evaluasi terhadap tiga ranah tersebut terdapat dua teknik evaluasi yang dapat digunakan. Menurut Suharsimi Arikunto (2012: 40) teknik evaluasi terdiri dari teknik tes dan teknik non-tes. Teknik tes terdiri dari tes subjektif dan tes objektif. Teknik non-tes terdiri dari skala bertingkat, kuesioner, check list, wawancara, pengamatan, dan riwayat hidup.

Teknik evaluasi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teknik tes berupa tes objektif serta teknik non-tes berupa pengamatan. Hal ini bertujuan agar evaluasi yang dilakukan dapat mengungkap informasi tentang pelaksanaan pembelajaran dan perolehan pemahaman konsep pecahan pada siswa tunanetra kelas III.

Teknik tes objektif menurut M. Ngalim Purwanto (2013: 119-123) merupakan pengukuran yang berdasarkan pada penilaian atas kemampuan

52

siswa dengan soal jelaskan jawaban yang benar atau yang salah dengan bobot nilai yang tetap. Tes objektif terdiri dari tes benar-salah, tes pilihan ganda, tes menjodohkan, tes isian, dan tes uraian. Menurut Suharsimi Arikunto (2008: 165) tes objektif memiliki kelebihan, seperti: mengandung banyak segi positif, lebih mudah dan cepat cara pemeriksaanya serta tidak ada unsur subjektif. Kelemahan dari tes objektif, seperti: persiapan dalam menyusun tes lebih sulit, soal cenderung mengungkapkan ingatan dan pengenalan, adanya peluang keuntungan, serta kesempatan melakukan kecurangan lebih besar.

Membuat tes harus melalui beberapa langkah-langkah penyusunan. Menurut Suharsimi Arikunto (2012, 167-177) langkah-langkah dalam penyusunan tes adalah sebagai berikut:

a. Menentukan tujuan mengadakan tes.

b. Mengadakan pembatasan terhadap bahan yang akan dijadikan tes.

c. Menderetkan semua indikator dalam tabel persiapan yang memuat aspek tingkah laku yang terkandung dalam indikator.

d. Menyusun tabel spesifikasi yang memuat pokok materi, aspek berpikir yang akan diukur beserta imbangan antara kedua hal tersebut.

e. Menuliskan butir soal berdasarkan pada indikator-indikator yang sudah dituliskan pada tabel indikator dan aspek tingkah laku.

Tes objektif yang digunakan digunakan pada penelitian ini bertujuan untuk mengukur pelaksanaan pembelajaran ranah kognitif. Tes objektif yang diterapkan dalam mengukur kemampuan pemahaman konsep

53

pecahan siswa tunanetra yaitu tes isian. Tes hasil belajar konsep pecahan dibuat oleh peneliti sendiri dengan validasi isi oleh uji ahli yaitu guru mata pelajaran matematika kelas III. Hal ini dilaksanakan atas pertimbangan kesesuaian materi dan tujuan pembelajaran yang akan dicapai dalam kemampuan pemahaman konsep pecahan anak tunanetra serta pengungkapan kemampuan pemahaman yang dibatasi pada konsep nilai pecahan, pecahan senilai, membandingkan pecahan berpenyebut sama, dan operasi hitung sederhana pecahan berpenyebut sama.

Evaluasi tes hasil belajar konsep pecahan juga disusun dengan berpedoman pada standar komptensi dan kompetensi dasar (SK-KD). Hal ini agar adanya kesesuaian antara informasi yang diungkap dan tujuan pembelajaran. Adapun SK-KD sebagai acuan dalam penyusuan tes hasil belajar konsep pecahan pada penelitian ini yaitu sebagai berikut:

Tabel 2. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Tes Hasil Belajar Konsep Pecahan Siswa Tunanetra Kelas III

Standar Kompetensi Kompetensi Dasar 3. Memahami pecahan

sederhana dan

penggunaannya dalam pemecahan masalah

3.1 Mengenal pecahan sederhana 3.2 Membandingkan pecahan sederhana 3.3 Memecahkan masalah yang berkaitan

dengan pecahan sederhana

Tes objektif digunakan untuk mengungkap kemampuan siswa dalam menyelesaikan latihan soal mengenai konsep pecahan. Materi yang diberikan dalam tes objektif meliputi: konsep nilai pecahan, perbandingan pecahan berpenyebut sama, serta operasi hitung penjumlahan dan pengurangan sederhana pecahan berpenyebut sama. Jumlah soal yang

54

diberikan adalah 10 buah dengan bentuk soal isian. Adapun penskoran yang digunakan dalam tes menurut M. Ngalim Purwanta (2013: 102-103), yaitu:

Keterangan:

NP = nilai persen yang dicari atau diharapkan R = skor mentah yang diperoleh siswa

SM = skor maksimum ideal dari tes yang bersangkutan 100 = bilangan tetap

Hasil persentase dikategorikan ke dalam tingkat keberhasilan belajar menurut Syaiful Bahri Djamarah dan Zain Aswan (1997: 121), yaitu: a. Istimewa : Apabila seluruh bahan pelajaran yang diajarkan dapat

dikuasi oleh siswa.

b. Baik sekali : Apabila bahan pelajaran yang diajarkan dapat dikuasi oleh siswa sebesar 76% sampai 99%.

c. Baik : Apabila bahan pelajaran yang diajarkan dapat dikuasi oleh siswa sebesar 60% sampai 75%.

d. Kurang : apabila bahan pelajaran yang diajarkan dapat dikuasi oleh siswa kurang dari 60%.

Kemampuan pemahaman konsep pecahan untuk siswa tunanetra kelas III diharapkan dapat memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimun (KKM). Persentase pencapaian KKM yang telah ditetapkan dalam pembelajaran konsep pecahan yaitu skor sebesar 70% yang termasuk dalam kategori baik.

55

Menurut H. M. Ali Hamzah (2014: 169) teknik non-tes pengamatan atau observasi adalah teknik yang digunakan oleh pendidik dengan tujuan untuk mengetahui pelaksanaan pembelajaran ranah afektif dan psikomotor. Observasi dilaksanakan dengan menggunakan pedoman observasi untuk mengamati sikap ketelitian, ketekunan, minat, partisipasi keaktifan, serta kecepatan siswa dalam mengerjakan soal atau problem solving. Observasi yang dilakukan meliputi pengamatan proses dan pengamatan perilaku. Pengamatan proses pada penelitian ini meliputi pengamatan terhadap kemampuan siswa tunanetra kelas III dalam memahami dan mengidentifikasi materi pecahan dengan menggunakan media model “bola pecahan”. Pengamatan perilaku meliputi pengamatan terhadap keaktifan dan partisipasi siswa tunanetra kelas III dalam mengikuti pembelajaran konsep pecahan.

Menurut M. Ngalim Purwanto (2002: 153-154) kelebihan teknik observasi sebagai evaluasi pembelajaran, berupa: a) perolehan data secara langsung sehingga lebih objektif dan lebih menggambarkan aspek kepribadian siswa; b) siswa menunjukkan kebiasaan, minat, serta sifat dalam merespon secara spontasn tanpa tekanan; serta c) data yang diperoleh mencakup berbagai aspek kepribadian siswa. Kekurangan teknik observasi sebagai evaluasi pembelajaran, berupa: a) pengamat atau guru membutuhkan kekerampilan khusus dalam menangkap informasi yang ditunjukkan oleh siswa, b) kepribadian pengamat mempengaruhi pencatatan perilaku siswa, c) tingkah laku yang sama tidak selalu dipersepsikan sama

56

oleh pengamat yang berbeda; serta d) data yang diperoleh tidak memberikan gambaran yang sama tentang struktur kepribadian siswa.

Menurut H. M. Ali Hamzah (2014: 173) tahapan yang harus dilakukan dalam pelaksanaan observasi yaitu sebagai berikut:

a. Merencanakan kisi-kisi.

b. Menulis butir-butir pertanyaan.

c. Menyempurnakan/review berdasarkan pertimbangan pakar. d. Mengujicobakan ke lapangan.

e. Mengolah hasil hasil uji coba.

f. Menyempurnakan butir-butir alat ukur yang belum baik berdasarkan hasil uji coba.

Pedoman observasi pada penelitian ini dibuat oleh peneliti sendiri dengan validasi konstruk oleh uji ahli yaitu guru mata pelajaran matematika kelas III. Hal ini dilaksanakan atas pertimbangan kesesuaian tujuan pembelajaran yang akan dicapai dengan pengungkapan pelaksanaan pembelajaran dan kemampuan pemahaman konsep pecahan siswa tunanetra kelas III. Data hasil obeservasi kemudian diinterpretasikan dengan cara menghitung dan menjumlah skor hasil observasi siswa, mempersentasekan skor akhir, serta menyimpulkan sesuai dengan kategori yang telah disusun. Alasan dilaksanakan evaluasi ranah aspek afektif dan psikomotor melalui teknik observasi yaitu untuk mengetahui kemampuan afektif dan psikomotor siswa tunanetra kelas III terhadap mata pelajaran matematika, sehingga diharapkan berpengaruh terhadap perbaikan penguasaan kompetensi konsep pecahan.

Penyusunan teknik evaluasi hasil belajar pemahaman konsep pecahan siswa tunanetra dilaksanakan dengan mempertimbangkan

57

kemampuan dan kondisi siswa tunanetra kelas III. Kedua teknik evaluasi tes dan non-tes tersebut diharapkan dapat mengungkap proses pembelajaran konsep pecahan yang menggunakan media model “bola pecahan” serta mengungkap kemampuan pemahaman konsep pecahan siswa tunanetra kelas III di SLB-A Yaketunis Yogyakarta.