• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek Hukum Pelanggaran Kontrak Secara Material Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aspek Hukum Pelanggaran Kontrak Secara Material Chapter III V"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

WANPRESTASI DALAM HUKUM PERJANJIAN DI INDONESIA

A. Pengertian dan Bentuk-Bentuk Wanprestasi

Dasar perjanjian adalah kesepakatan para pihak yang akan menimbulkan prestasi, apabila salah satu pihak tidak memenuhi prestasi dalam perjanjian, maka akan timbul suatu kondisi yang dinamakan wanprestasi (ingkar janji). Kata wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti keadaan buruk atau suatu keadaan yang menunjukkan debitur tidak berprestasi (tidak melaksanakan kewajibannya) dan dia dapat dipersalahkan.173

Mengenai pengertian wanprestasi sendiri, masih belum mendapat keseragaman atau masih terdapat bermacam-macam istilah maupun pengertian yang digunakan untuk menggambarkan wanprestasi. Menurut Sophar Maru Hutagalung, wanprestasi atau cidera janji adalah tidak terlaksananya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap para pihak. Tindakan wanprestasi ini akan membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi agar melakukan ganti rugi.174

Menurut Salim HS, wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang

173

Handri Raharjo, op. cit., hlm. 79.

174

(2)

dibuat antara kreditur dengan debitur.175 Sementara menurut Prof. Subekti, wanprestasi adalah suatu tindakan dimana si berutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikannya dalam perjanjian atau melanggar perjanjian dengan melakukan apa yang tidak boleh dilakukannya atau bisa dikatakan bahwa si debitur alpa, lalai, atau ingkar janji.176

Pengertian-pengertian diatas sejalan dengan pengertian wanprestasi yang diatur dalam pasal 7.1.1 dari The Principles of International Commercial Contracts, yang menyatakan sebagai berikut:177

Non performance is failure by a party to perform any of its obligations under the contract, including defective performance or late performance. Menurut Prof. Subekti, wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitur dapat digolongkan menjadi 4 (empat) macam, yaitu:178

1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;

2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya;

3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;

4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Sementara bila dilihat dari Restatement of The Law of Contracts (Amerika Serikat), wanprestasi atau breach of contracts hanya dikelompokkan menjadi 2 (dua) bentuk, yaitu:179

Ricardo Simanjuntak, Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, (Jakarta: PT Gramedia, 2006), hlm. 183-184.

(3)

1. Total breach, yaitu keadaan dimana pelaksanaan kontrak tidak mungkin dilaksanakan.

2. Partial breach, yaitu keadaan dimana pelaksanaan perjanjian masih mungkin untuk dilaksanakan.

Tidak terpenuhinya kewajiban melaksanakan prestasi (wanprestasi) dapat disebabkan oleh 2 (dua) kemungkinan yakni:180

1. Karena kesalahan debitur sendiri baik dengan sengaja maupun karena kelalaian

Wanprestasi yang disebabkan adanya kesalahan debitur itu sendiri, dimaksudkan debitur tidak melaksanakan kewajiban bukan dikarenakan oleh hal-hal yang diluar kemampuannya, melainkan karena perbuatan yang disengaja atau karena kelalaian. Debitur dianggap lalai ketika ia tidak memenuhi prestasi, maka untuk menyatakan seorang debitur melakukan wanprestasi, diperlukan surat peringatan tertulis dari kreditur yang diberikan kepada debitur. Surat perintah tersebut disebut dengan somasi. Surat somasi tersebut dapat dijadikan sebagai bukti bahwa debitur telah wanprestasi, yang diatur dalam pasal 1238 KUH Perdata.

179

Salim HS, op. cit., hlm. 98-99.

180

(4)

2. Karena keadaan memaksa/force majeure yang terjadi diluar kemampuan debitur

Wanprestasi yang terjadi karena keadaan memaksa (overmacht)/force

majeure, yang mana debitur tidak dapat memenuhi prestasinya kepada kreditur, yang disebabkan oleh keadaan yang berada diluar kemampuan debitur itu sendiri dan keadaan yang timbul itu juga berupa suatu keadaan yang tidak dapat diketahui pada waktu perjanjian dibuat. Atau dengan kata lain force majeure terjadi bukan atas kehendak debitur.

B. Menentukan Saat Terjadinya Wanprestasi

Dalam sebuah perjanjian, fakta telah terjadinya wanprestasi oleh mitra berkontrak merupakan ukuran yang sangat penting bagi pihak yang dirugikan untuk terlebih dahulu membuktikan terjadinya wanprestasi tersebut, karena tanpa adanya pembuktian akan adanya wanprestasi maka tidak ada alasan bagi pihak yang dirugikan untuk meminta ganti kerugian yang telah di deritanya. Hal ini secara tegas dikatakan dalam pasal 1243 KUH Perdata yang berbunyi:181

“penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu

perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau

dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.”

181

(5)

Untuk membuktikan bahwa telah terjadi wanprestasi, terdapat 2 (dua) cara yang bisa digunakan untuk membuktikannya, seperti yang tercantum dalam pasal 1238 KUH Perdata, yaitu wanprestasi yang akan ditentukan secara hukum dan wanprestasi yang ditentukan berdasarkan perjanjian. Dalam hal ini, pasal 1238 KUH Perdata memberikan keleluasaan bagi para pihak yang mengikatkan dirinya dalam kontrak untuk menyepakati tata cara penentuan wanprestasi yang mana yang akan diterapkan. Meskipun mendapat kebebasan, tetapi penentuan wanprestasi yang dilakukan secara hukum berlaku sebagai lex generalis terhadap penentuan wanprestasi yang dengan tegas disepakati dalam kontrak sebagai suatu hukum yang bersifat lex specialis.182

Penentuan telah terjadinya wanprestasi secara hukum, umumnya dilakukan apabila para pihak yang berkontrak pada akhirnya tidak menyepakati tata cara penentuan wanprestasi dalam kontrak yang telah mereka sepakati. Dan dalam penentuan wanprestasi secara hukum, kreditur diwajibkan untuk membangun dasar telah terjadinya wanprestasi dengan terlebih dahulu memberikan peneguran dalam bentuk surat peneguran (somasi/sommatie) kepada debitur. Dan apabila hal tersebut telah dilakukan oleh si kreditur, maka alasan itu akan memberikan hak baginya untuk menuntut debitur di pengadilan untuk memaksanya melakukan prestasi yang belum diselesaikannya serta mengganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur.183

Selanjutnya, apabila seorang debitur telah diperingatkan atau sudah dengan tegas ditagih janjinya, tetapi ia tetap tidak melakukan prestasinya, makasi

182

Ricardo Simanjuntak, op. cit., hlm. 185.

183

(6)

debitur berada dalam keadaan lalai atau alpa dan terhadap debitur dapat diperlakukan sanksi-sanksi sebagaimana sanksi yang dapat diterapkan kepada pihak yang telah melakukan wanprestasi.184 Atau dengan kata lain debitur baru dikatakan wanprestasi apabila ia telah diberikan somasi oleh kreditur atau juru sita dan pemberian somasi minimal telah dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali oleh kreditur atau juru sita. Dan apabila prosedur seperti diatas telah dilakukan dan kreditur tetap tidak mengindahkannya, maka kreditur berhak membawa persoalan itu ke pengadilan dan pengadilan akan memutuskan apakah debitur wanprestasi atau tidak.185

Penerapan somasi dalam hukum perjanjian dapat diterapkan pada semua jenis perjanjian. Namun, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa terdapat pengecualian untuk penerapan somasi yang terdapat pada pasal 1238 KUH Perdata, yakni apabila para pihak yang mengikatkan dirinya dalam kontrak telah menyepakati secara bersama-sama saat kapan sebuah perbuatan dapat dikatakan sebagai sebuah pelanggaran kontrak. Selain itu, apabila tidak ada diatur lebih khusus mengenai tata cara penentuan wanprestasi dalam kontrak, maka pemberlakuan somasi seperti yang diatur dalam pasal 1243 KUH Perdata harus diberlakukan.

184

Subekti, op. cit., hlm. 47.

185

(7)

C. Akibat Hukum Terjadinya Wanprestasi

Secara singkat dapat dijelaskan dari KUH Perdata yang juga mengatur mengenai akibat hukum yang terjadi apabila tidak terpenuhinya kewajiban atau dengan kata lain telah terjadi wanprestasi dalam sebuah perjanjian, akibat hukum yang dapat dirumuskan dalam KUH Perdata dapat dilihat dalam pasal berikut:186

1. Pasal 1243 KUH Perdata yang berisi, “penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak terpenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.”

2. Pasal 1237 KUH Perdata yang berisi, “dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu, kebendaan itu semenjak

perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si berpiutang.”

3. Pasal 1266 KUH Perdata yang berisi, “syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik,

manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.”

Akibat yang sangat penting dari tidak dipenuhinya perjanjian ialah bahwa kreditur dapat meminta ganti rugi atas ongkos, rugi dan bunga yang di deritanya. Untuk adanya kewajiban ganti rugi bagi debitur maka undang-undang menentukan bahwa debitur harus terlebih dahulu dinyatakan berada dalam keadaan lalai (ingerbrekestelling). Pernyataan lalai ini adalah merupakan upaya

186

(8)

hukum untuk sampai kepada suatu fase, dimana debitur dinyatakan ingkar janji (wanprestasi).187

Setelah si debitur dapat dengan pasti dinyatakan telah melakukan kelalaian atau wanprestasi, maka pada dasarnya ada 4 (empat) akibat yang akan muncul setelah terjadinya wanprestasi, yaitu:188

1. Penuntutan pelaksanaan prestasi oleh kreditur;

2. Pembayaran ganti rugi oleh debitur kepada kreditur (pasal 1243 KUH Perdata);

3. Beban risiko beralih untuk kerugian rebitur, apabila halangan tersebut timbul setelah debitur wanprestasi, kecuali bila ada kesengajaan atau kesalahan besar dari pihak kreditur. Oleh karena itu, debitur tidak dibenarkan untuk berpegang pada keadaan memaksa;

4. Kreditur dapat membebaskan diri dari kewajiban memberikan kontra prestasi dalam perjanjian timbal balik dengan dasar pasal 1266 KUH Perdata.

Apabila dijabarkan, akibat-akibat yang akan timbul setelah terjadinya wanprestasi bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak adalah:189

1. Bagi debitur

Bagi debitur, hal yang akan muncul sebagai akibat dari terjadinya peristiwa wanprestasi adalah si debitur akan dipaksa mengganti

187

Mariam Darus Badrulzaman (2), KUH Perdata Buku III: Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 24.

188

Firman Floranta Adonara, op. cit.

189

(9)

kerugian karena telah melakukan wanprestasi dan objek perjanjian tetap akan menjadi tanggungjawab si debitur, dengan kata lain debitur akan tetap dituntut untuk menyelesaikan prestasinya. Lain hal apabila terdapat klausula pembatalan kontrak apabila terjadi wanprestasi.

2. Bagi kreditur

Sementara bagi kreditur, berdasarkan pasal 1267 KUH Perdata, kreditur yang merasa dirugikan karena terjadinya peristiwa wanprestasi dapat menuntut pemenuhan perikatan kepada debitur, ganti kerugian oleh debitur kepada kreditur dan pembayaran bunga yang mana adalah keuntungan yang diharapkan namun tidak diperoleh kreditur karena terjadinya wanprestasi oleh debitur. Di sisi lain, kreditur juga dapat menuntut pembatalan perikatan, pemenuhan perikatan dan ganti kerugian, pembatalan perikatan dan ganti kerugian, peralihan risiko dan pembayaran biaya-biaya perkara kepada debitur apabila penyelesaian perkara sampai ke pengadilan.

(10)

hak menuntut pemenuhan perikatan dengan ganti rugi, dan hak untuk menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan dengan ganti rugi.190

Sementara menurut Ahmadi Miru, akibat dari adanya wanprestasi pada dasarnya hanya terdapat dua bentuk saja, yaitu pembatalan kontrak (disertai atau tidak disertai dengan ganti rugi) dan pemenuhan kontrak (disertai atau tidak disertai dengan ganti rugi). Namun, apabila kedua kemungkinan pokok tersebut dijabarkan, bentuk akibat dari terjadinya wanprestasi dapat menjadi 4 (empat) bentuk, yaitu:191

1. Pembatalan kontrak

2. Pembatalan kontrak disertai tuntutan ganti rugi

3. Pemenuhan kontrak

4. Pemenuhan kontrak disertai tuntutan ganti rugi

Akibat yang ditimbulkan dari terjadinya wanprestasi hampir keseluruhannya melibatkan ganti rugi terhadap pihak kreditur oleh debitur akibat wanprestasi yang dilakukannya. Namun, terdapat beberapa hal penting dalam persoalan ganti rugi, yaitu:192

1. Komponen ganti rugi terdiri dari biaya-biaya yang telah dikeluarkan, kerugian yang nyata dan bunga;

2. Ganti rugi tidak dapat diminta jika wanprestasi terjadi karena force majeure dan debitur tidak dalam keadaan beritikad baik;

190

Mariam Darus Badrulzaman (2), op. cit., hlm. 26

191

Ahmadi Miru (2), op. cit., hlm. 75.

192

(11)

3. Kerugian yang wajib dibayar dapat berupa kerugian yang benar-benar telah diderita dan kehilangan keuntungan yang sedianya harus dapat dinikmati kreditur;

4. Ganti rugi yang dapat diminta oleh kreditur sebatas pada kerugian dan kehilangan keuntungan yang merupakan akibat langsung dari wanprestasi tersebut;

5. Apabila di dalam kontrak ada provisi yang menentukan jumlah ganti rugi yang harus dibayar oleh pihak debitur jika debitur wanprestasi, maka pembayaran ganti rugi tersebut hanya sejumlah yang ditetapkand alam kontrak, tidak boleh lebih tidak boleh kurang;

6. Terhadap perikatan pembayaran sejumlah uang, maka ganti rugi hanya terdiri dari bunga yang ditetapkan oleh undang-undang (KUH Perdata), kecuali ada undang-undang yang mengatur secara khusus.

D. Penyelesaian Perselisihan Karena Wanprestasi

(12)

melalui penyelesaian di luar pengadilan (out court of settlement), walaupun tidak sedikit yang harus diselesaikan melalui pengadilan (litigation process).193

Salah satu contoh permasalahan yang tidak dapat diperhitungkan adalah wanprestasi. Meskipun pada dasarnya setiap perjanjian dibuat dengan itikad baik, namun adanya kemungkinan terjadi wanprestasi dalam perjanjian tidak dapat dihindarkan. Wanprestasi dapat terjadi karena kesengajaan debitur maupun karena kelalaian debitur untuk melaksanakan prestasinya.194 Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan prestasinya, maka timbullah kerugian bagi pihak lainnya. Kerugian tersebut haruslah diganti oleh pihak yang melakukan wanprestasi sebagai konsekuensi dari tindakannya yang tidak mau mengikuti perjanjian. Pergantian inilah yang dalam hukum dikenal dengan istilah ganti rugi.195

Komponen-komponen yang terdapat dalam ganti rugi adalah sebagai berikut:196

1. Biaya

Yang dimaksudkan dalam komponen biaya adalah segala biaya (cost) yang sudah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan dalam hubungan dengan perjanjian tersebut. Misalnya adalah biaya notaris, biaya akomodasi dan perjalanan, dan sebagainya.

193

Ricardo Simanjuntak, op. cit., hlm. 222.

194

Firman Floranta Adonara, op. cit., hlm. 64.

195

Abdul Rasyid Saliman, op. cit., hlm. 52.

196

(13)

2. Rugi

Dalam komponen rugi atau kerugian, yang dimaksudkan adalah berkurangnya nilai kekayaan dari pihak yang dirugikan karena adanya wanprestasi dari pihak lainnya itu.

3. Bunga

Sedangkan dalam komponen bunga, yang dimaksudkan adalah sebagai kekurangan yang seharusnya diperoleh, tetapi tidak jadi diperoleh oleh pihak kreditur karena adanya tindakan wanprestasi dari pihak debitur. Pengertian bunga disini lebih luas dan tidak hanya sekedar bunga uang atau bunga bank dalam pengertian sehari-hari.

Menurut Munir Fuady, terdapat model-model ganti rugi yang timbul akibat wanprestasi dalam suatu perjanjian, yaitu dijabarkan sebagai berikut:197

1. Ganti rugi dalam kontrak

Dalam hal ini jenis dan besarnya ganti rugi disebutkan dengan tegas dalam kontrak yang bersangkutan. Jika ini terjadi, maka pada prinsipnya ganti rugi tersebut hanya dapat dimintakan seperti tertulis dalam kontrak tersebut, tidak boleh dilebihi atau dikurangi. Kadang-kadang dalam praktek, model ganti rugi dalam kontrak ini muncul dalam bentuk denda keterlambatan.

197

(14)

2. Ganti Rugi Ekspektasi

Ganti rugi dalam bentuk ekspektasi ini adalah cara menghitung ganti rugi dengan membayangkan seolah-olah perjanjian tidak jadi dilaksanakan. Jadi, yang merupakan ganti rugi dalam hal ini pada prinsipnya adalah perbedaan antara nilai seandainya perjanjian tersebut dilaksanakan dengan penuh dengan nilai yang terjadi karena adanya wanprestasi. Oleh karena itu, dalam hal ini ikut dihitung juga keuntungan yang seyogianya diperoleh seandainya perjanjian tersebut jadi dilaksanakan. Dengan demikian, kehilangan keuntungan yang diharapkan merupakan inti dari model ganti rugi ekspektasi ini.

3. Pergantian Biaya

Ganti rugi berupa pergantian biaya atau yang disebut dengan ganti rugi out of pocket atau reliance damages merupakan bentuk ganti rugi dimana ganti rugi dibayar sejumlah biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan dalam hubungan dengan perjanjian tersebut. biasanya biaya yang dikeluarkan tersebut ditunjukkan dengan adanya kuitansi-kuitansi, sehingga ganti rugi ini dapat disebut juga dengan ganti rugi kuitansi.

Dengan model ganti rugi penggantian biaya ini, para pihak dalam perjanjian tersebut ditempatkan pada posisi status quo ante. Artinya, para pihak ditempatkan pada tempat seolah-olah perjanjian tidak pernah terjadi.

(15)

Yang dimaksud dengan restitusi adalah suatu nilai tambah atau manfaat yang telah diterima oleh pihak yang melakukan wanprestasi, dimana nilai tambah tersebut terjadi akibat pelaksanaan prestasi dari pihak lainnya. Maka nilai tambah tersebut harus dikembalikan kepada pihak yang telah dirugikan karenanya. Jika nilai tambah ini tidak dikembalikan, maka pihak yang melakukan wanprestasi disebut dalam ilmu hukum sebagai telah memperkaya diri tanpa hak (unjust enrichment), dan hal ini tidak dibenarkan. Misalnya, jika dengan kontrak tersebut salah satu pihak telah menerima manfaat atau mendapatkan brang tertentu dari pihak lainnya, maka jika pihak lain tersebut wanprestasi, manfaat atau barang tersebut mesti dikembalikan secara utuh.

5. Quantum Meruit

Quantum meruit memiliki kesamaan dengan ganti rugi dalam bentu restitusi. Bedanya adalah jika dalam ganti rugi bentuk restitusi yang dikembalikan adalah manfaat atau barang tertentu, maka dalam

(16)

pemberi kerja, maka pihak pekerja berhak untuk dinilai sedara wajar dan dibayar atas hasil kerjanya yang 2/3 (dua pertiga) tersebut.

6. Pelaksanaan Kontrak

Dalam hal-hal tertentu justru yang paling adil jika oleh pihak yang dirugikan karena pihak lain telah melakukan wanprestasi dapat memintakan agar perjanjian tersebut dilaksanakan secara utuh, dengan atau tanpa gantu rugi dalam bentuk lainnya. Dalam hal ini pihak yang melakukan wanprestasi oleh hukum dipaksakan untuk tetap melakukan prestasinya. Pelaksanaan perjanjian akibat dari wanprestasi ini sering disebut dengan istilah specific performance, equitable performance, atau equitable relieve. Dalam perjanjian jual beli, maka apabila yang dipaksakan adalah penyerahan barang objek jual beli, ini disebut dengan istilah replevin sementara jika yang dipaksakan adalah penyerahan harga jual beli, maka hal seperti ini disebut dengan istilah

(17)

tetap membuat luikisan tersebut seperti yang sudah pernah dijanjikannya, dan menyerahkan kepada pihak yang memesannya.

E. Wanprestasi Dalam Sistem Hukum Common Law

Dalam dunia hukum, terdapat beberapa sistem hukum. Keberagaman sistem hukum itu bisa terbentuk karena sistem hukum terbentuk di suatu wilayah hukum tertentu yang terdiri dari berbagai tata hukum yang saling terpaut namun berlatar belakang budaya hukum yang serumpun atau menjalankan gaya hukum yang sama, contohnya adalah sistem hukum common law dan civil law. Secara umum, terdapat beberapa perbedaan antara sistem hukum common law dan

common law, yakni:198

1. Sumber

Dalam civil law, hukum merupakan produk dari badan legislasi, sedangkan dalam common law hukum berasal dari keputusan-keputusan badan peradilan yang mengakui, mengukuhkan dan menerapkan kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat.

2. Struktur

Mengenai struktur hukumnya, pada sistem hukum civil law hanya duakui hukum statuter dan tidak mengenal lembaga equity law. Dan pada penerapan civil law juga dibangun pembedaan antara hukum publik dan hukum perdata sebagai akibat dari doktrin Ulpianus. Tetapi

198

(18)

dalam common law tidak mengenal pembedaan antara hukum publik dan hukum perdata tetapi mengenal penggunaan lembaga equity law.

3. Sistematik

Kaidah-kaidah common law terhimpun dalam himpunan (compendium) keputusan-keputusan hakim, sedangkan kaidah-kaidah civil law

tersusun secara sistematis dalam codices tertentu, seperti KUH Perdata, KUH Dagang, KUH Pidana, dan sebagainya.

4. Proses peradilan

Common law biasanya menerapkan sistem adversarial (perlawanan), dimana dua pihak yang bermasalah mengajukan kasusnya kepada hakim yang netral. Sebaliknya, dalam sistem civil law biasa digunakan sistem inquisitorial (interogasi) yang dilakukan oleh magistrat (jaksa) untuk menjalankan peran membangun pembuktian dan argumentasi bagi pihak yang satu dan kemudian untuk pihak yang lain pada tahap penyelidikan.

Sedangkan dalam hal yang lebih khusus, yaitu dalam pengaturan mengenai hukum perjanjian, terdapat juga beberapa perbedaan antara sistem civil law dan

common law.Dalam hukum common law, unsur dalam perjanjian dibagi menjadi 4, yakni adanya proses tawar-menawar (bargain), adanya kesamaan kehendak (agreement), kontrak bersifat mengikat dan kapasistas (capacity) para pihak yang berkontrak.199

199

(19)

Di dalam hukum common law, jika terjadi wanprestasi (breach of contract), maka kreditur dapat menggugat debitur untuk membayar ganti rugi (damages), dan bukan menuntut pemenuhan prestasi (performance). Akan tetapi dalam perkembangannya, muncul juga kebutuhan akan gugatan pemenuhan prestasi yang lebih umum.200 Sementara seperti yang dijelaskan sebelumnya, dalam sistem hukum civil law, apabila telah terjadi wanprestasi masih terdapat beberapa kemungkinan yang bisa dilalui guna menyelesaikan perselisihan yang muncul diantara para pihak sebagai akibat dari wanprestasi tersebut.201

Selain itu, terdapat juga perbedaan antara sistem hukum common law dan

civil law dalam bentuk tanggungjawab pihak yang lalai setelah terjadinya wanprestasi. Dalam hal ini, civil law masih terlihat lunak untuk menanggapi adanya wanprestasi, terutama terhadap wanprestasi. Sementara dalam sistem hukum common law, para pengacara lebih dominan untuk mempertanyakan siapa yang harus menanggung risiko, ketimbang harus mempertanyakan apakah pihak yang menimbulkan kondisi tersebut harus dipersalahkan. Hal tersebut dikarenakan para pihak yang mengikatkan dirinya dalam perjanjian di dalam sistem hukum

common law, memiliki kewajiban absolut untuk melaksanakan kontrak mereka dengan cermat.202

Dalam berkontrak, umumnya setiap pihak yang mengikatkan dirinya dalam kontrak memiliki harapan mengenai keuntungan yang akan diperolehnya setelah mengikatkan dirinya dalam kontrak apabila kontrak tersebut berjalan dengan lancar. Namun, apabila dalam perjalanannya kontrak tidak berjalan

(20)

dengan baik (wanprestasi), maka dalam kondisi tersebut akan muncul sebuah situasi yang pada negara common law disebut dengan damages. Damages adalah kompensasi yang diberikan oleh pengadilan kepada pihak yang tidak melanggar kontrak yang telah dirugikan akibat tidak berjalannya kontrak dengan baik, dan kompensasi tersebut dibebankan oleh pengadilan kepada pihak yang melanggar kontrak.203

Disini juga terletak perbedaan antara perjanjian dalam sistem hukum

common law dan perjanjian dalam sistem hukum civil law, yaitu ketika pihak yang menjadi korban dari tidak dilaksanakannya atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan suatu kontrak menghendaki agar hak-haknya dipulihkan berdasarkan kontrak yang telah dibuatnya. Dalam negara penganut sistem hukum civil law, biasanya bentuk pemulihan hak itu telah disepakati dalam kontrak dengan penggantian berupa ganti rugi, biaya, bunga dan sebagainya. Tapi sebelum menuntut pemulihan hak tersebut, biasanya pihak yang dirugikan akan memberikan peringatan lalai, untuk memberi waktu bagi pihak lawan untuk melaksanakan prestasinya yang tertunda atau bahkan mengadakan amandemen kontrak untuk membuat sebuah keadaan seimbang (doktrin rebus sic stantibus) seperti yang dilakukan di Norwegia. Namun dalam negara common law tidak seperti itu. Pada negara common law, apabila terjadi wanprestasi, para pihak yang dirugikan akan menuntut ganti rugi kepada pihak yang melakukan wanprestasi, karena pada negara common law, ganti rugi dianggap sebagai pemulihan utama ketika terjadi pelanggaran kontrak. Mengenai tata cara penuntutan pemulihan hak, pada negara common law, pihak yang dirugikan dapat langsung menuntut ganti

203

(21)

rugi kepada pihak yang melakukan wanprestasi apabila sebelumnya sudah dilakukan pengujian untuk membuktikan apakah kerugian yang timbul adalah sebagai akibat langsung dari wanprestasi, walaupun belum ada keputusan yang menentukan apakah pihak yang melakukan wanprestasi berada dalam posisi salah atau tidak.204

Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan dalam bab ini, dapat disimpulkan bahwa ketentuan hukum Indonesia mengatur wanprestasi sebagai sebuah perbuatan ingkar janji terhadap perjanjian yang telah disepakati sebelumnya oleh salah satu pihak yang terikat didalam kontrak, terlepas dari apakah wanprestasi itu terjadi karena adanya unsur kesengajaan dari debitur atau karena adanya keadaan memaksa yang terjadi diluar kemampuan debitur.

Dalam hukum Indonesia diatur juga mengenai tata cara penuntutan yang akan dilakukan oleh debitur sebagai akibat dari terjadinya wanprestasi. Penuntutan akan hak-haknya dapat dilakukan oleh kreditur apabila sebelumnya kreditur telah memberikan surat somasi sebagai bentuk peringatan telah terjadi wanprestasi dalam hubungan hukum yang terjadi diantara keduanya. Apabila surat somasi tersebut telah diberikan tapi tak terlihat itikad baik dari debitur, maka kreditur dapat menuntut hak-haknya di muka pengadilan.

Tidak hanya sampai disitu, hukum Indonesia juga mengatur mengenai akibat yang timbul dari adanya wanprestasi dalam kontrak. Pada umumnya akibat yang akan timbul adalah ganti kerugian, pembatalan kontrak, pemenuhan kontrak, atau kombinasi antara ganti kerugian dengan pembatalan kontrak dan kombinasi antara ganti kerugian dan pemenuhan kontrak.

204

(22)

BAB IV

PELANGGARAN KONTRAK SECARA MATERIAL (MATERIAL

BREACH OF CONTRACT) DAN AKIBAT HUKUMNYA

A. Pengertian dan Unsur-Unsur Pelanggaran Kontrak Secara Material

Dalam sebuah perjanjian, ada berbagai model atau bentuk wanprestasi. Salah satu jenisnya adalah wanprestasi berupa tidak sempurna memenuhi prestasi. Dalam hal wanprestasi model tersebut, dalam ilmu hukum kontrak ada dikenal suatu doktrin yang hidup di negara penganut sistem hukum common law, yaitu

doktrin “pemenuhan prestasi substansial” (substantial performance). Doktrin ini

pada intinya mengajarkan bahwa meskipun satu pihak tidak melaksanakan prestasinya secara sempurna, tetapi jika dia telah melaksanakan prestasinya tersebut secara substansial, maka pihak lain harus juga melaksanakan prestasinya secara sempurna. Apabila suatu pihak tidak melaksanakan prestasinya secara substansial, maka pihak tersebut dapat dikatakan tidak melaksanakan kontrak

secara “material” (material breach).205

Dalam sebuah kontrak pada umumnya melekat sebuah doktrin, yaitu doktrin exception non adimpleti contractus, yakni sebuah doktrin yang mengajarkan bahwa apabila satu pihak tidak melaksanakan prestasinya, maka pihak lain dapat tidak melaksanakan prestasinya juga. Namun dalam beberapa situasi, penggunaan doktrin ini dapat dikecualikan. Doktrin exception non

205

(23)

adimpleti contractus tidak dapat diterapkan dalam sebuah kontrak apabila dalam kontrak tersebut telah menerapkan doktrin substantial performance.206

Akan tetapi penerapan doktrin substantial performance tidak dapat dilakukan terhadap semua kontrak. Terhadap kontrak jual beli atau kontrak yang berhubungan dengan tanah misalnya, doktrin substantial performance tidak dapat diterapkan. Dalam sebuah kontrak, penerapan doktrin substantial performance

tidak diberlakukan, doktrin yang berlaku dalam kontrak tersebut adalah doktrin pelaksanaan prestasi secara penuh, atau yang sering disebut dengan istilah-istilah seperti strict performance rule, full performance rule, atau perfect tender rule.207

Pelanggaran kontrak secara material pada umumnya berkaitan erat dengan doktrin substantial performance, atau bisa dikatakan bahwa adanya pelanggaran kontrak secara material adalah sebagai bentuk pengaplikasian dari doktrin

substantial performance dalam dunia hukum kontrak. Sampai saat ini, tidak ada sebuah definisi hukum umum dari pelanggaran kontrak secara material. Namun, beberapa pengadilan di negara common law telah memberikan batasan-batasan mengenai pelanggaran kontrak secara material. Sebuah kontrak dapat dikatakan telah dilanggar secara material dilihat dari apakah hal yang dilanggar dalam kontrak tersebut memiliki manfaat yang serius, atau apabila dengan tidak adanya sebuah hal tersebut, manfaat dari sebuah pekerjaan itu tidak dapat ternilai sama sekali.208

206

Ibid.

207

Ibid., hlm. 72.

208 Herrington and Carmichael Solicitors, “Commercial: Material Breach of Contract”,

(24)

Pelanggaran material juga bisa didefinisikan sebagai bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh salah satu pihak yang mengikatkan dirinya didalam kontrak, yang mana pelanggaran yang dibuatnya adalah sebuah pelanggaran yang material atau penting, sehingga menyebabkan pihak lain yang merugi dapat dibenarkan dan dapat menuntut pemulihan akan hak-haknya.209

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pelanggaran kontrak secara material (material breach) memiliki unsur-unsur sebagai berikut:

1. Adanya sebuah pelanggaran yang serius

Dalam hal menentukan apakah salah satu pihak telah melakukan wanprestasi dalam sebuah kontrak, tentu saja sebelumnya harus dapat ditentukan pelanggaran apa yang telah dilakukan oleh pihak tersebut. Namun dalam hal pelanggaran kontrak secara material, tidak cukup hanya itu saja. Dalam pelanggaran kontrak secara material, harus dapat ditentukan apakah pelanggaran yang dilakukan oleh pihak tersebut merupakan sebuah pelanggaran yang serius. Makna dari pelanggaran yang serius adalah bahwa dengan adanya pelanggaran tersebut maka berdampak besar bagi tujuan diadakannya kontrak itu.

2. Hilangnya makna dari sebuah prestasi

Dalam melakukan pelanggaran kontrak secara material, unsur kedua yang harus terpenuhi adalah hilangnya makna dari sebuah prestasi. Maksudnya adalah dengan tidak dikerjakannya salah satu komponen

209 Jack A. Walters, “Material Breach and Repudiation”, (Jurnal: Annual Construction

(25)

penting dari sebuah prestasi maka nilai atau guna dari prestasi itu secara keseluruhan tidak terlihat.

3. Tidak diperoleh manfaat oleh pihak yang dilanggar

Untuk dapat memenuhi pelanggaran kontrak secara material, maka akibat dari pelanggaran tersebut harus terlihat dengan jelas. Atau dengan kata lain, apabila salah satu pihak telah melakukan sebagian dari prestasinya tetapi tidak sempurna dan pihak lainnya tidak dapat merasakan manfaat dari prestasi tidak sempurna yang dilakukan oleh pihak yang melanggar, maka dapat dikatakan pelanggaran yang dilakukan oleh salah satu pihak itu adalah pelanggaran kontrak secara material.

B. Menentukan Terjadinya Pelanggaran Kontrak Secara Material

Dalam pemberlakuan doktrin substantial performance, perlu diketahui sebelumnya apakah pelanggaran kontrak yang telah dilakukan adalah pelanggaran material atau tidak. Dalam menentukan apakah suatu pelanggaran dapat dikategorikan sebagai pelanggaran yang material ternyata sering kali menemui kesulitan dan bahkan sangat bergantung kepada kebijaksanaan hakim yang menangani perkara tersebut, sehingga diperlukan beberapa kriteria dasar untuk menentukan pelanggaran kontrak tersebut apakah pelanggaran material atau tidak. Kriteria-kriteria tersebut oleh Ahmadi Miru dijabarkan sebagai berikut:210

210

(26)

1. Kelayakan kompensasi

Dalam hal ini, harus dapat dilihat apakah tersedia kompensasi yang cukup memuaskan bagi pihak yang dirugikan karena adanya wanprestasi. Apabila sulit untuk menghitung kompensasi atau ganti rugi yang layak bagi pihak yang dirugikan, maka dapat dikatakan bahwa pihak yang melakukan wanprestasi belum melaksanakan prestasinya secara substansial, atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa telah terjadi pelanggaran kontrak yang material.

2. Hilangnya keuntungan yang diharapkan

Berdasarkan kriteria ini, dapat dikatakan telah terjadi pelanggaran kontrak secara material apabila dapat dipastikan bahwa keuntungan yang hilang akibat dari adanya pelanggaran kontrak tersebut adalah dalam jumlah yang besar.

3. Bagian kontrak yang dilaksanakan

Untuk dapat dikatakan bahwa satu pihak telah melaksanakan prestasinya secara substansial, dapat dilihat dari seberapa banyak prestasi yang telah dilakukan oleh pihak tersebut. Semakin sedikit prestasi yang telah diperbuatnya, maka semakin besar juga kemungkinan telah terjadinya pelanggaran kontrak secara material.

4. Kesengajaan untuk tidak melaksanakan kontrak

(27)

dengan adanya unsur kesengajaan (bukan karena kelalaian atau sebab-sebab lain yang mengandung unsur itikad baik). Bentuk dari unsur kesengajaan ini beragam, contohnya adalah apabila dengan sengaja mengabaikan kewajibannya yang telah ditetapkan oleh kontrak atau dengan sengaja memasang material yang tidak memenuhi standart atau yang bukan disepakati didalam kontrak.

5. Kesediaan untuk memperbaiki prestasi

Jika pihak yang melakukan wanprestasi dapat memperbaiki dan mempunyai itikad baik untuk menebus kesalahannya, maka dapat dikatakan bahwa pelanggaran kontrak yang terjadi bukanlah pelanggaran kontrak material.

6. Keterlambatan melaksanakan prestasi

Keterlambatan dalam melaksanakan prestasi pada umumnya tidak menyebabkan sebuah pelanggaran kontrak disebut sebagai pelanggaran kontrak secara material. Namun, apabila akibat yang ditimbulkan dari keterlambatan tersebut memberikan kerugian yang besar, maka dapat dikatakan telah terjadi pelanggaran kontrak material.

Sementara dalam menentukan bahwa telah terjadinya pelanggaran kontrak secara material dalam proses kontrak, menurut Jack A. Walters terdapat 5 (lima) kriteria yang dapat menentukan terjadinya pelanggaran kontrak secara material, yakni:211

211

(28)

1. Sejauh mana pelanggaran kontrak yang telah dilakukan salah satu pihak tersebut menyebabkan kerugian bagi pihak lainnya dalam kontrak;

2. Sejauh mana kerugian yang diderita oleh salah satu pihak akibat dari adanya pelanggaran dalam kontrak dapat menghitung kompensasi yang pantas bagi dirinya untuk mengganti kerugian yang telah didapatnya;

3. Sejauh mana pihak yang telah melakukan pelanggaran akan menerima akibat dari tindakannya yang melanggar kontrak;

4. Adanya kemungkinan dari pihak yang melakukan pelanggaran terhadap kontrak akan menebus kesalahannya dengan melakukan perhitungan terhadap setiap aspek keadaan, termasuk adanya jaminan yang masuk akal dari pihak yang melanggar; dan

5. Ada atau tidaknya perilaku baik sebagai wujud dari itikad baik dan upaya untuk mencapai keadilan dalam berkontrak dari pihak yang melanggar kontrak.

C. Akibat Hukum Pelanggaran Kontrak Secara Material

1. Pengakhiran Secara Sepihak

(29)

kontrak yang terjadi adalah sebuah pelanggaran yang serius, maka pihak yang dirugikan berhak untuk membatalkan kontrak tersebut.212

Pelanggaran kontrak dapat memberikan hak bagi pihak yang menderita kerugian untuk mengakhiri perjajian, namun cidera janji yang memberikan hak bagi seseorang untuk membatalkan perjanjian hanyalah cidera janji yang sebenarnya, karena dalam pelanggaran kontrak jenis ini dapat dikatakan bahwa pihak yang merugi hampir tidak dapat memperoleh semua manfaat dari adanya kontrak tersebut, atau dengan kata lain telah terjadi pelanggaran kontrak secara material.213

Menurut Ahmadi Miru, mekanisme yang dapat digunakan untuk menentukan sejauh mana pelanggaran yang telah dilakukan terhadap suatu kontrak adalah sebagai berikut:214

a. Melihat apakah ada ketentuan dalam kontrak yang menegaskan tidak dilaksanakannya kewajiban yang mana saja yang dianggap pelanggaran terhadap kontrak tersebut;

b. Jika tidak ada ketentuan dalam kontrak, hakim dapat menentukan apakah tidak dilaksanakannya sebuah kewajiban tersebut adalah cukup serius untuk dinyatakan sebagai pelanggaran terhadap suatu kontrak.

Menurut Jack A. Walters juga mengenai hak pihak yang dirugikan untuk membatalkan kontrak tersebut secara sepihak diperlukan beberapa kriteria untuk

212

Ahmadi Miru (2), op. cit., hlm. 78.

213

Sophar Maru Hutagalung, op. cit., hlm. 107-108.

214

(30)

menjadi tolak ukur apakah kontrak tersebut dapat dibatalkan secara sepihak atau tidak. Kriteria tersebut diuraikan sebagai berikut:215

a. Harus dilihat apakah pihak yang melakukan pelanggaran dapat melakukan ganti rugi atau tidak, apabila pihak yang melakukan pelanggaran tidak bisa melakukan ganti rugi yang masuk akal, maka kontrak tersebut dapat dibatalkan secara sepihak;

b. Harus dilihat sejauh mana ketegasan dalam kontrak tersebut mengatur mengenai pelanggaran kontrak, apabila sudah diatur dengan sangat tegas tetapi pihak yang dengan sukarela mengikatkan dirinya ke dalam kontrak tetap melanggarnya, maka bisa dipastikan bahwa kurang terlihat itikad baik dari pihak tersebut dan pihak lainnya dapat mengakhiri kontrak dengan sepihak.

2. Ganti Kerugian

Sebelumnya telah jelas bahwa maksud dari masing-masing pihak untuk mengikatkan dirinya dalam sebuah kontrak adalah untuk mencapai tujuan dalam bantuk keuntungan yang telah direncanakan. Ketika suatu kontrak yang telah disepakati tidak berjalan dengan semestinya, tentu saja ini akan memberikan potensi kerugian pada pihak yang terkena wanprestasi tersebut. Sebab, dengan adanya pelanggaran kontrak pasti akan membuyarkan seluruh rencananya untuk mendapatkan keuntungan dari pelaksanaan kontrak, baik di masa sekarang ataupun di masa yang akan datang.216

215

Jack A. Walters, op. cit., hlm. 3.

216

(31)

Setelah terjadi pelanggaran kontrak tersebut, atau apabila pelanggaran mengakibatkan satu pihak tidak dapat memperoleh hampir semua manfaat dari perjanjian, maka pihak yang menderita kerugian dapat memilih untuk mengakhiri perjanjian. Namun terdapat pilihan lain, yaitu ganti kerugian atas apa yang diderita sebagai akibat langsung dari adanya pelanggaran kontrak. Ganti rugi secara kontraktual akan diberikan kepada pihak yang menderita kerugian dalam bentuk uang sebagai pengganti kerugian uang yang timbul sebagai akibat dari pelanggaran kontrak. 217

Dalam sebuah kontrak biasanya telah disepakati sebelumnya oleh para pihak besaran dari kompensasi atau ganti rugi. Apabila jumlah uang yang telah disepakati merupakan pra-estimasi kerugian murni yang mungkin akan diderita akibat pelanggaran, maka pengadilan akan menetapkan jumlah uang kompensasi tersebutlah yang harus dibayar sebagai ganti rugi yang ditentukan sebelumnya/liquidated damages. Namun, apabila suatu jumlah uang dimaksudkan sebagai denda untuk menghukum pihak yang melakukan pelanggaran, maka pengadilan akan menetapkan besaran ganti rugi yang tidak ditentukan sebelumnya sebagai kompensasi terhadap pihak yang telah dirugikan sebelumnya.218

Menurut Sophar Maru Hutagalung, ada tiga cara dalam menghitung jumlah kerugian yang diderita salah satu pihak dalam kontrak apabila terjadi pelanggaran:219

a. Pengadilan sendiri yang akan menghitung jumlah uang yang harus dibayarkan kepada pihak yang dilanggar. Dalam hal ini, pengadilan

217

Sophar Maru Hutagalung, op. cit., hlm. 128.

218

Budiono Kusumohamidjojo, op. cit., hlm. 82.

219

(32)

akan melakukan penghitungan dengan cara menghitung besaran jumlah keuntungan yang akan diperoleh oleh pihak yang dilanggar apabila tidak terjadi pelanggaran dalam kontrak tersebut, dan jumlah itulah yang akan diwajibkan kepada pihak yang melanggar untuk dibayarkan sebagai bentuk ganti rugi kepada pihak yang dilanggar.

b. Penghitungan dengan melihat apabila pihak yang menderita kerugian sudah atau akan mengeluarkan biaya tambahan melebihi apa yang telah diperkirakan didalam perjanjian karena harus membayar pengganti pasokan barang atau jasa setelah pihak yang melanggar telah gagal melaksanakan kewajibannya. Maka biaya tambahan tersebut dapat diperoleh kembali oleh pihak yang dilanggar sebagai bentuk kompensasi dari adanya pelanggaran kontrak.

c. Pihak yang mengalami kerugian dapat menghitung sendiri rugi yang telah dideritanya atas dasar biaya kewajiban kontraktualnya, bukan atas dasar harapan atau bayangan akan adanya sebuah keuntungan di masa depan apabila kontrak tersebut berjalan dengan lancar.

D. Analisis Kasus Pelanggaran Kontrak Secara Material

(33)

pihak bersepakat untuk menerapkannya dalam kontrak mereka maka doktrin tersebut bisa diterapkan selama tidak melawan hukum yang hidup di Indonesia, dan secara tidak langsung asas kebebasan berkontrak yang menjadi penyebab bisa diterapkannya doktrin dari negara common law tersebut di Indonesia. Untuk dapat memahami bagaimana cara penerapannya, maka perlu diketahui dari analisis kasus pelanggaran kontrak secara material yang pernah terjadi di negara common law.

1. Jacob and Youngs, Inc. vs Kent

Putusan 230 NY 239 adalah putusan mengenai perkara perdata yang putusannya dijatuhkan pada tanggal 25 Januari 1921. Dalam perkara ini terdapat 2 (dua) pihak, yaitu antara Jacob & Young, Incorporated sebagai Penggugat melawan George E. Kent sebagai Tergugat yang keduanya berkedudukan di New York, Amerika.

George E. Kent awalnya membuat sebuah perjanjian dengan Jacob & Young, Corp. yang adalah kontraktor untuk membuat sebuah rumah. Dalam perjanjian tersebut juga dijabarkan mengenai jenis material bangunan yang ingin digunakan, termasuk pipa yang akan digunakan sebagai komponen dari bangunan rumah.

(34)

bangunan, George E. Kent meminta Jacob & Young, Corp. untuk mengulang pekerjaan terhadap pipa saluran air yang telah terpasang dan menggantinya, sementara pengerjaan rumah sudah selesai dan hanya menunggu pengerjaan saluran pipa air. Dan apabila akan dilakukan pengulangan terhadap pipa saluran air, maka akan dilakukan beberapa pembongkaran dan akan menambah biaya lagi. Hingga akhirnya penyelesaian pekerjaan tersebut terhenti karena masalah itu, dan ketika Jacob & Young, Corp. meminta sisa pembayaran yang belum diselesaikan, George E. Kent menolak melakukannya.

Berdasarkan hal tersebut akhirnya Jacob & Young, Corp. menggugat George E. Kent di muka pengadilan untuk menuntut pelunasan pembayaran. Pada saat itu, hakim Benjamin N. Cardozo yang mengadili perkara itu mengeluarkan putusan yang pada intinya mengatakan George E. Kent harus melakukan pelunasan pembayaran seperti apa yang diperjanjikan didalam perjanjian antara Jacob & Young, Corp. dengan George E. Kent.

(35)

substansial dan tidak melakukan pelanggaran material apapun dalam menjalankan kewajibannya.

Apabila ditinjau dari doktrin yang hidup dalam hukum perjanjian negara

common law, yaitu doktrin substantial performance. Memang pada dasarnya Jacob & Young, Corp. telah melakukan kewajibannya secara substansial, yaitu dengan melakukan pembangunan rumah hingga pada akhirnya pihak Jacob & Young, Corp. dikatakan telah melakukan pelanggaran kontrak karena tidak menggunakan pipa yang sesuai dengan spesifikasi dalam kontrak. Kembali kepada perbedaan pipa tersebut, dikatakan bahwa pipa Reading dan pipa Cohoes tidak memiliki perbedaan kualitas sama sekali, bahkan dari segi harga perbedaan keduanya dikatakan adalah sebesar US$ 0 (tidak ada selisih harga).

Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa putusan yang dijatuhkan oleh hakim Benjamin N. Cardozo telah tepat dengan menjatuhkan hukuman kepada pihak George E. Kent untuk melakukan pelunasan pembayaran karena pada dasarnya pihak Jacob & Young, Corp. telah melakukan kewajiban (prestasi) secara substansial dan tidak melakukan pelanggaran yang material dalam kontrak tersebut. Apa yang dilakukan oleh Jacob & Young, Corp. memang telah melanggar ketentuan kontrak dengan tidak menggunakan pipa Reading seperti yang disepakati, namun apabila dilihat dari doktrin substansial performance, kesalahan yang dilakukan oleh Jacob & Young, Corp. bukanlah bentuk pelanggaran kontrak secara material.

(36)

Putusan 284 F.3D 693 adalah sebuah putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan dalam upaya menangani perkara perdata antara Edith Arnhold sebagai tergugat melawan Ocean Atlantic Woodland Corp. sebagai penggugat. Duduk perkara ini dimulai pada saat Ocean Atlantic Woodland Corp. sebagai developer ingin membeli tanah milik Edith Arnhold dan John Argoudelis yang sehari-harinya bekerja sebagai petani dimana tanah tersebut memiliki luas sebesar 280 hektar seharga US$ 7.560.000.

Dalam perjanjian tersebut, kedua pihak sepakat agar pembayaran dilakukan selambat-lambatnya 3 tahun setelah perjanjian tersebut dibuat, yang dimana jatuh tempo dari pembayaran itu jatuh pada tanggal 15 November 1997. Namun setelah berjalan, pihak Ocean Atlantic Woodland Corp. menyadari bahwa mereka belum sanggup untuk melakukan pelunasan dan meminta kelonggaran waktu, dan pihak Edith Arnhold memberikan kelonggaran sampai dengan tanggal 15 Januari 1999.

(37)

Menjelang tanggal 30 November 1999, ternyata pihak Ocean Atlantic Woodland Corp. masih belum bisa mengumpulkan dana untuk melakukan pembayaran kepada Edith Arnhold. Dan setelah melalui proses peradilan dan negosiasi, akhirnya kedua belah pihak kembali menyepakati untuk dilakukannya pengunduran tanggal pembayaran untuk yang ketiga kalinya, yang jatuh di tanggal 24 Januari 2001.

Namun, pada tanggal 18 Januari 2001 pihak Ocean Atlantic Woodland Corp. masih merasa belum sanggup mengumpulkan dana untuk melakukan pembayaran dan meminta untuk kembali dilakukan pengunduran tanggal jatuh tempo menjadi tanggal 1 Mei 2001 dengan ketentuan bahwa pihak Ocean Atlantic Woodland Corp. akan menambahkan biaya pembelian senilai US$ 680.000. Pihak Edith Arnhold menolak untuk kembali melakukan pengunduran dan menegaskan bahwa pelunasan harus tetap dilakukan pada tanggal 24 Januari 2001.

Pada tanggal 24 Januari 2001, pihak Ocean Atlantic Woodland Corp. telah melengkapi semua dokumen pembelian lahan, akan tetapi mengenai pembayarannya tidak dapat dilaksanakan pada hari itu juga dan baru bisa dilakukan pada tanggal 25 Januari 2001. Karena merasa tidak ada itikad baik dari pihak Ocean Atlantic Woodland Corp., pihak Edith Arnhold melalui pengacaranya mengirimkan surat kepada Ocean Atlantic Woodland Corp. yang pada intinya untuk memutuskan hubungan antara kedua belah pihak yang terikat dengan kontrak.

(38)

membatalkan pengakhiran kontrak tersebut. Setelah melalui proses peradilan, pengadilan melalui hakim Coffey mengeluarkan putusan bahwa pembatalan atas pengakhiran kontrak tersebut tidak dapat dilakukan, dengan alasan dari hakim Coffey bahwa selama berjalannya kontrak tersebut pun pihak Ocean Atlantic Woodland tidak melakukan prestasi yang bersifat substansial berdasarkan doktrin

substantial performance.

Hakim Coffey menggunakan doktrin substantial performance sebagai dasar dirinya mengeluarkan putusan bagi pihak Ocean Atlantic Woodland Corp., tetapi seperti yang sudah dibahas sebelumnya, bahwa doktrin substantial performance pada dasarnya tidak dapat digunakan pada kontrak yang berisikan mengenai transaksi jual-beli ataupun kontrak yang berhubungan dengan tanah. Hal tersebut sebenarnya dikarenakan dalam kontrak jual beli dan kontrak yang berhubungan dengan tanah, doktrin yang diterapkan adalah doktrin pelaksanaan prestasi secara penuh. Karena hal yang dilakukan dalam kontrak dalam bentuk itu adalah prestasi yang tidak terdiri dari elemen-elemen yang terpisah, melainkan elemen yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, yakni pembayaran.

(39)

apabila salah satu pihak tidak melaksanakan prestasinya, maka pihak lain dapat juga untuk tidak melaksanakan prestasinya.

Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan pada bab ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa mengenai pelanggaran kontrak secara material pada dasarnya tidak ada diatur dalam sistem hukum Indonesia. Penerapan pendekatan pelanggaran kontrak secara material ini merupakan bentuk pengaplikasian dari doktrin substantial performance yang berkembang dalam praktek di negara-negara penganut sistem hukum common law.

Namun ketiadaan ketentuan hokum yang mengatur bukan berarti doktrin pelanggaran kontrak secara material tidak dapat diterapkan dalam perjanjian yang dibuat atau melibatkan Warga Negara Indonesia didalamnya. Doktrin substantial performance dapat diterapkan dalam kontrak yang dibuat atau dilaksanakan di Indonesia berdasarkan kesepakatan para pihak yang berlandaskan kepada asas kebebasan berkontrak.

(40)

kebebasan yang diberikan oleh asas kebebasan berkontrak, para pihak yang terlibat dalam kontrak tidak boleh melanggar peraturan perundang-undangan dan ketertiban umum.

Dalam penerapan doktrin substantial performance yang berasal dari

common law untuk kontrak-kontrak yang dibuat atau dilaksanakan di Indonesia tetap harus menghormati hukum yang hidup di Indonesia. Dengan kata lain, bahwa dalam penerapannya, para pihak yang mengikatkan dirinya dalam kontrak tidak boleh melanggar ketentuan apapun yang ada di Indonesia. Dan untuk penerapannya juga, karena tidak ada ketentuan di Indonesia yang mengaturnya secara terperinci, maka setiap tata cara yang digunakan dalam penerapan doktrin

substantial performance mengikuti penerapannya dalam negara-negara common law darimana doktrin tersebut berasal.

Penerapan doktrin substantial performance dalam hukum kontrak menyebabkan adanya variasi yang timbul dalam hal penentuan terjadinya peristiwa wanprestasi (pelanggaran kontrak). Doktrin substantial performance

(41)

Berdasarkan penelitian yang telah dipaparkan mengenai aspek hukum pelanggaran kontrak secara material (material breach), maka dapat diambil kesimpulan dan saran sebagai berikut:

A. Kesimpulan

(42)

dalam menyelesaikan sebuah permasalahan dalam hubungan perikatan tersebut.

Buku III KUH Perdata berbicara mengenai perikatan yang memiliki sifat terbuka, artinya isinya dapat ditentukan oleh para pihak dengan beberapa syarat yang salah satunya adalah tidak bertentangan dengan hukum. Hal tersebut mengandung makna bahwa Buku III KUH Perdata dapat diikuti oleh para pihak atau dapat juga para pihak menentukan lain dengan memenuhi syarat tidak melawan hukum. Namun hal yang dapat ditentukan lain oleh para pihak hanyalah hal-hal yang bersifat pelengkap saja karena dalam ketentuan umum ada yang bersifat pelengkap dan pemaksa dalam hal membuat sebuah perjanjian.

(43)

3. Suatu wanprestasi dapat dikategorikan sebagai pelanggaran kontrak secara material (material breach of contract) apabila dalam pelanggarannya tersebut pihak yang melanggar dinilai telah melakukan pelanggaran terhadap hal yang material dalam kontrak tersebut, yang mana dengan telah dilanggarnya kontrak tersebut, tujuan utama dari pembentukan kontrak tersebut tidak akan ternilai. Akibat hukum yang ditimbulkan dari adanya pelanggaran kontrak secara material, yakni adanya kemungkinan bagi pihak yang dirugikan untuk dapat melakukan pembatalan kontrak secara sepihak atau dengan adanya penuntutan akan ganti rugi yang muncul akibat dari adanya pelanggaran kontrak tersebut.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang disampaikan, maka dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut:

1. Perlunya sebuah peraturan yang bersifat lex specialis dibandingkan dengan KUH Perdata guna mengatur beberapa ketentuan tambahan mengenai perjanjian di Indonesia, khususnya mengenai doktrin-doktrin yang hidup di negara diluar Indonesia dan penerapannya dalam perjanjian yang dibuat dan melibatkan Warga Negara Indonesia sebagai salah satu pihak yang mengikatkan dirinya dalam perjanjian.

(44)

Referensi

Dokumen terkait

Selain juga ahli dalam bermain musik Melayu khususnya alat musik marwas, beliau juga aktif dalam tarian Melayu bahkan orang Melayu kala itu menyebutnya sebagai “Rajanya tari

Berdasarkan analisa hasil penulisan yang telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh brand image yang terdiri dari variabel corporate image (citra pembuat), user

Menyatakan bahwa karya ilmiah pada Projek Akhir Arsitektur periode Semester Gasal, 2015/2016 Program Studi Arsitektur, Fakultas Arsitektur dan Desain,

Sesi ini dimaksudkan untuk memperkenalkan para murid dengan burung-burung yang hidup di Taman Nasional Meru Betiri, agar mereka dapat mengenali burung-burung itu jika menemuinya

Telah dilakukan penelitian mengenai pengaruh viskositas kitosan dari berbagai berat molekul terhadap pembuatan kitosan nanopartikel dengan menggunakan ultrasonic bath..

Dalam hal ini digunakan teknik yang dapat menentukan calon peserta raimuna nasional pada Gerakan Pramuka Kwartir Cabang Deli Serdang dengan menggunakan Sistem

Pemakaian obat siklus haid, dalam konteks pelaksanaan ibadah haji indonesia bisa dibenarkan, karena sudah sesuai dengan syariat yang didasarkan pada kaidah

Penulis telah mewawancari Dadang Kahmad (66 tahun), yang merupakan tokoh Muhammadiyah Jawa Barat. Beliau menjabat ketua umum Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Barat periode