• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Potensi Emisi Gas Metana dari Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah (Studi Kasus di TPA Namo Bintang, Medan, Sumatera Utara)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Potensi Emisi Gas Metana dari Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah (Studi Kasus di TPA Namo Bintang, Medan, Sumatera Utara)"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pemanasan Global

Pemanasan global disebabkan oleh peningkatan konsentrasi gas rumah kaca

(GRK) di atmosfer akibat berbagai aktifitas manusia,khususnya karbon dioksida,

metana, dan dinitro oksida dalam beberapa tahun terakhir, telah terjadi

peningkatan suhu sebesar antara 0,20 s/d 0,60 oC pada skala global. (Prasad et al.

2009). Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC, 2007)

selama 150 tahun terakhir suhu permukaan rata-rata global telah meningkat

0,76°C. Dalam skenario emisi tinggi yang dikembangkan oleh IPCC, kenaikan

suhu rata-rata global dari tingkat suhu antara tahun 1980 hingga tahun 1999

mencapai 4°C dengan kisaran suhu dari 2,4°C sampai 6,4°C, kondisi ini akan

menimbulkan konsekuensi yang serius bagi pertumbuhan dan pembangunan di

dunia (ADB,2009).

Penanganan perubahan iklim menjadi fokus dalam agenda kebijakan

Internasional dengan konsensus bahwa untuk mencegah pemanasan global agar

tidak mencapai tingkat yang berbahaya, untuk itu diperlukan tindakan-tindakan

mengendalikan emisi GRK dan menstabilkan konsentrasi GRK di atmosfir dalam

kisaran 450 – 550 ppm (IPCC , 2007).

Berdasarkan laporan IPCC (2007), perubahan iklim global sudah nyata

terjadi termasuk di Asia Tenggara. Kecenderungan meningkatnya suhu rata-rata di

(2)

peningkatan permukaan air laut (± 1–3 mm per tahun) serta meningkatnya

intensitas kejadian cuaca yang ekstrim antara lain, peningkatan yang signifikan

dalam jumlah curah hujan dan sekitar 20% dari peningkatan ini diperkirakan

terjadi di Indonesia, Filipina, Thailand, dan Vietnam. Hasil simulasi Integrated

Assessment Model pada keempat negara, Indonesia, Filipina, Thailand, dan

Viet-nam, suhu rata-rata tahunan di keempat negara ini diperkirakan akan meningkat

rata-rata sebanyak 4,8 °C hingga tahun 2100 dari angka pada tahun 1990 (ADB,

2009).

Dengan adanya kondisi tersebut sejak tahun 1995, dunia internasional

melakukan pertemuan rutin setiap tahunnya untuk membahas berbagai hal yang

berkaitan dengan perubahan iklim, termasuk solusi yang harus dilakukan.

Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa

(PBB) pada tahun 2000, sebanyak 189 negara anggota PBB sepakat untuk

mengadopsi Deklarasi Milenium. Deklarasi ini menghimpun komitmen para

pemimpin dunia untuk menangani isu perdamaian, keamanan, pembangunan, hak

asasi dan kebebasan fundamental. Komitmen tersebut kemudian diterjemahkan

menjadi Millennium Development Goals (MDGs) yang mempunyai delapan

tujuan. Salah satu tujuan dari MDGs adalah “menjamin kelestarian lingkungan

hidup dengan target memadukan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan

dengan kebijakan dan program nasional serta mengembalikan sumber daya

lingkungan yang hilang dengan menggunakan indikator yang berkaitan dengan

(3)

Pemerintah Indonesia telah mengusulkan untuk mengurangi emisi GRK

sampai menjadi 26% pada tahun 2020 (Kesepakatan Internasional Copenhagen,

2009) dan telah menjadi sebuah agenda nasional melalui program Rencana Aksi

Nasional penurunan Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). Diperlukan dukungan dari

Provinsi-provinsi untuk mencapai target pengurangan emisi tersebut. Pemerintah

Provinsi dan Kabupaten akan memainkan peran yang penting karena terdapat

aktivitas-aktivitas yang memproduksi emisi dan berlokasi di daerah atau dibawah

kewenangan daerah. Sejalan dengan itu, pemerintah provinsi dan kabupaten dapat

menghasilkan kebijakan atau rencana aksi daerah untuk mendukung proses

pengurangan emisi ini.

2.2. Perubahan Iklim

Perubahan iklim merupakan masalah global dan memerlukan solusi global

pula. Banyak diyakini bahwa perubahan iklim terutama disebabkan oleh emisi gas

rumah kaca dan jika tidak ada tindakan yang dilakukan, kemungkinan besar akan

meningkat dalam tahun-tahun mendatang. Dalam skenario emisi tinggi yang

dikembangkan oleh IPCC, kenaikan suhu rata-rata global dari tingkat suhu antara

tahun 1980 hingga tahun 1999 mencapai 4°C dengan kisaran suhu dari 2,4°C

sampai 6,4°C, kondisi ini akan menimbulkan konsekuensi yang serius bagi

pertumbuhan dan pembangunan di dunia (ADB,2009). Penanganan perubahan

iklim menjadi fokus dalam agenda kebijakan internasional dengan konsensus,

bahwa untuk mencegah pemanasan global agar tidak mencapai tingkat yang

(4)

dan menstabilkan konsentrasi GRK di atmosfir dalam kisaran 450– 550 ppm

(IPCC 2007).

Berdasarkan laporan IPCC (2007), Perubahan iklim global sudah nyata

terjadi termasuk di Asia Tenggara, kecenderungan meningkatnya suhu rata-rata di

Asia 0,1–0,3°C perdekade. Kawasan ini juga telah mengalami kecenderungan

peningkatan permukaan air laut (± 1–3 mm per tahun) serta meningkat intensitas

kejadian cuaca yang ekstrim antara lain peningkatan yang signifikan dalam

jumlah curah hujan dan sekitar 20% dari peningkatan ini diperkirakan terjadi di

Indonesia, Filipina, Thailand, dan Vietnam (ADB, 2009). Hasil simulasi

Integrated Assessment Model pada keempat negara, Indonesia, Filipina, Thailand,

dan Vietnam, suhu rata-rata tahunan di keempat negara ini diperkirakan akan

meningkat rata-rata sebanyak 4,8° C hingga tahun 2100 dari angka di tahun 1990.

Upaya-upaya mitigasi perubahan iklim global untuk menstabilkan

konsentrasi Gas Rumah Kaca di atmosfir pada tingkat 550 ppm akan menurunkan

kenaikan suhu rata-rata tahunan di empat negara tersebut menjadi 2,3°C, dan jika

stabil pada 450 ppm menjadi 1,8°C hingga tahun 2100 (ADB, 2009).

Berdasarkan simulasi tersebut Indonesia, Thailand, dan Vietnam diperkirakan

akan mengalami kondisi cuaca yang makin kering selama 2–3 dekade yang akan

datang, tinggi rata-rata permukaan laut global diperkirakan akan naik ±70 cm

dibandingkan dengan angka tahun 1990. Tetapi, jika GRK global stabil pada

tingkat antara 450 dan 550 ppm, peningkatan tinggi rata-rata permukaan laut

global diperkirakan sekitar 40 cm hingga tahun 2100 dibandingkan dengan angka

(5)

2.3. Gas Rumah Kaca (GRK)

Gas Rumah Kaca (GRK) adalah gas-gas yang diemisikan atau diserap

secara alami ataupun oleh aktivitas manusia (anthropogenic) yang keberadaannya

diatmosfeer menyerap dan memancarkan kembali radiasi inframerah yang secara

langsung atau tidak langsung ikut menentukan perubahan iklim global (PPRI

No.71 Tahun 2011). Perubahan tersebut yaitu fenomena berubahnya beberapa

variabel iklim khususnya tempratur dan curah hujan dalam kurun waktu yang

lama (Anon, KLH, 2011). Menurut Newby (2007) Gas Rumah Kaca yaitu

gas-gas di atmosfer yang memiliki potensi untuk menghambat radiasi sinar matahari

yang dipantulkan oleh bumi sehingga menyebabkan suhu di permukaan bumi

menjadi hangat.

Secara alamiah sebagian sinar matahari yang terpancar ke bumi diserap oleh

permukaan bumi, sementara sebagian lagi akan dipantulkan kembali keluar

angkasa melalui atmosfer. Dengan keberadaan lapisan gas rumah kaca yang

berada di atmosfer menyebabkan terhambatnya panas matahari yang akan

dipantulkan kembali ke luar angkasa. Peristiwa terperangkapnya panas matahari

di permukaan bumi ini oleh lapisan GRK dikenal dengan istilah efek rumah kaca

(ERK). Apabila konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer semakin meningkat,

mengakibatkan akumulasi panas atmosfer, sehingga terjadi efek rumah kaca

berlebihan yang disebut dengan ”Pemanasan Global” kemudian pada prosesnya

menyebabkan terjadinya perubahan iklim.

United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC)

(6)

rumah kaca yang utama yaitu: CO2, N2O, CH4, SF6, PFC, HFC. Gas-gas ini

memiliki potensi yang besar dalam pemanasan global yang “potensi” nya

diperhitungkan dalam CO2 atau dikenal sebagai Global Warming Potential

(GWP). GWP adalah besaran efek radiaktif GRK dibandingkan terhadap CO2,

dengan kata lain GWP ialah indikasi berapa ton emisi CO2 setara dengan satu ton

dari setiap GRK lainnya. Beberapa komponen dari gas rumah kaca dapat merusak,

seperti molekul metana (CH4) memiliki potensi GWP relatif terhadap CO2 adalah

21, nilai GWP ini tidak berubah untuk masa komitment tahun 2008 – 2014 (IPCC,

2006).

Tabel. 2.1. Nilai Potensi Pemanasan Global dan Enam Jenis Gas Rumah Kaca berdasarkan Protokol Kyoto

Jenis GRK Nilai GWP

1. Karbon dioksida (CO2) 1

2. Metana (CH4) 21

3. Dinitro oksida (N2O) 310

4. Hidrofluorokarbon (HFCs) 140 -11.700 5. Perfluorokarbon (PFCs) 6.500 – 9.200 6. Sulfur heksafluorida (SF6) 23.900 Sumber : IGES (2006)

2.4. Sumber-sumber emisi GRK

Sumber-sumber emisi GRK berasal dari berbagai kegiatan manusia,

utamanya dari sektor pertanian, kehutanan, industri serta sektor penggunaan

energi. Khusus disektor penggunaan energi yaitu kegiatan-kegiatan yang

menggunakan bahan bakar fosil, penggunaan kendaraan bermotor, pembakaran

bahan bakar minyak dan batubara di industri serta penanganan limbah cair dan

(7)

rumah tangga dan transportasi diperkirakan memberikan kontribusi terbesar pada

emisi CO2 (Annex A Protokol Kyoto).

Khusus dari sektor limbah padat (sampah), IPPC GL-2006 mengklasifikasi

sumber-sumber emisi GRK dari sektor limbah padat (sampah) sbb. :

 Penanganan dan pembuangan limbah padat ke TPA baik limbah padat

domestik maupun pembuangan limbah padat industri

 Pengelolaan limbah padat secara biologi seperti pengomposan,

 Insenerasi dan pembakaran limbah padat secara terbuka,

 Pengelolaan dan pembuangan limbah cair, baik limbah cair domestik

maupun limbah cair industri,

 Limbah lainnya seperti limbah clinical dan limbah agricultural.

2.5. Gas Metana (CH4)

Gas Metana denga4 merupakan salah satu komponen

GRK (16 % - 20 % dari total emisi GRK) yang tetap berada di atmosfer selama

± 9 -15 tahun. Metana adal

Sumber emisi metana berasal dari alam maupun aktivitas manusia (antropogenic).

Hampir 70% total emisi metana berasal dari sumber antropogenic dan sisanya

± 30% berasal dari sumber-sumber alami (Lapan, 2010 ) atau hanya 70 % dari gas

metana yang terbentuk di TPA yang diemisikan ke atmosfer, sedangkan 30% gas

metana yang terbentuk dioksidasi oleh bakteri anaerob ketika bergerak ke

(8)

Pada tabel 2.2. berikut dapat terlihat estimasi emisi gas metana secara global dari

kegiatan manusia yang berasal dari beberapa sumber

Tabel. 2.2. Estimasi Emisi metana secara global dari kegiatan manusia

No Sumber terbentuknya Metana (Methane Source)

Sumber : PROFESIONAL Vol.8 No.1, ISSN 1963-3745

Secara global metana yang diemisikan dari TPA kira-kira 66 % berasal

dari negara maju, 15 % dari negara- negara transisi secara ekonomi dan 20 % dari

negara berkembang. Metana berada di atmosfer dalam jangka waktu 7 – 10 tahun

dan dapat meningkatkan suhu permukaan bumi sekitar 1,3 oC, peningkatan

kosentrasi metana di atmosfer dikarenakan laju luluh metana lebih rendah

dibandingkan dengan laju yang diemisikan (Sudarman, 2010).

2.6. Dampak Gas Metana Terhadap Lingkungan

Kelompok gas rumah kaca termasuk metana dapat berpengaruh terhadap

terjadinya perubahan iklim dalam skala regional maupun global dan penipisan

lapisan Ozon di atmosfer. Kondisi ini akan berpengaruh di beberapa tempat atau

ekosistem/masyarakat akan sangat renta (vulnerable), mengahadapi perubahan

(9)

panas sinar matahari yang dipantulkan bumi sehingga mempengaruhi iklim.

Gas rumah kaca masing-masing memiliki kemampuan penyerapan panas/radiasi

sinar matahari yang berbeda. Gas rumah kaca yang dapat menyerap radiasi sinar

infra merah dengan sangat intensif dapat dengan sangat mudah meningkatkan

suhu dan berarti memiliki potensi yang sangat besar dalam pemanasan global,

metana memiliki potensi pemanasan global 21 kali lebih besar dari

karbondioksida, namun memiliki waktu tinggal lebih cepat yaitu 10 tahun

dibandingkan karbondioksida yaitu 50 – 200 tahun (Kendra, 1997 & Sudarman,

2010).

Meningkatnya jumlah emisi gas rumah kaca di atmosfer yang disebabkan

oleh kegiatan manusia dari berbagai sektor antara lain dari sektor sampah.

Manusia dalam setiap kegiatannya hampir selalu menghasilkan sampah. Sampah

memiliki pengaruh yang besar untuk emisi gas rumah kaca yaitu: gas me tana

(CH4). Diperkirakan 1 ton sampah padat dapat menghasilkan 50 kg gas metana.

Dengan jumlah penduduk yang terus meningkat, diperkirakan pada tahun 2020

sampah yang dihasilkan mencapai 500 kg/hari atau 190.000 ton/tahun. Hal ini

berarti pada tahun 2020 Indonesia akan mengemisikan gas metana sebanyak 9500

ton. Oleh karena itu, maka sampah tersebut perlu dikelola secara efektif agar laju

pembentukan CH4 dapat dibuat minimal sehingga sumbangannya terhadap

pemanasan global dapat dikendalikan.

Berdasarkan penelitian (IPCC, 2001) secara umum rata-rata konsentrasi

metana di atmosfer meningkat ± 150 % dari 700 ppbv (tahun 1750 ) sampai

(10)

(IPCC, 2006) menunjukkan bahwa metana di atmosfer telah berada di

keadaan stabil 1751 ppbv antara tahun 1999 dan 2002 seperti yang ditunjukkan

pada gambar 2.1.

Gambar.2.1. Kecenderungan kosentrasi gas metana di atmosfer antara tahun 1984 - 2007 (IPCC, 2006)

4) sebagai GRK merupakan insulator yang efektif, mampu

menangkap panas 21 kali lebih banyak bila dibandingkan karbondioksida.

Timbunan sampah organik dengan volume yang besar di Tempat Pemrosesan

Akhir (TPA) dengan sistem open dumping memiliki peluang untuk terjadinya

proses dekomposisi dan penguraian oleh bakteri dan berpotensi melepas gas

metana (CH4) dan dapat meningkatkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dan

memberikan kontribusi terhadap pemanasan global.

Produksi gas dari tumpukan sampah di TPA terjadi dalam empat fase.

Fase -1 (satu) adalah fase hidrolisis, fase di mana substrat organik terurai oleh

bakteri aerobik untuk menghasilkan karbon dioksida (CO2). Pada fase - 2 ( dua )

(11)

senyawa organik dan menghasilkan lebih banyak CO2 dan hidrogen. Fase - 3

(tiga) adalah metanogenesis dimana bakteri anaerob tumbuh dan memproduksi

banyak metana. Tahap - 4 (empat) adalah tahap pematangan dimana pada fase ini

produksi gas tetap stabil. Komposisi gas yang dihasilkan pada timbunan sampah

adalah 40% sampai 60% metana dan 40% sampai 60% karbon dioksida. Gas-gas

tersebut akan terus diproduksi selama 20 (dua puluh) tahun dan akan berakhir

pada saat tahap pematangan TPA (ATSDR, 2001).

Gambar.2.2. Phase Pembentukan Gas di area Land Fill/TPA (ATSDR, 2001).

Tabel. 2.3. Persentase Komponen Gas yang Terbentuk di Lokasi TPA

No Komponen Gas % Dry Volume

1 Metana 45 - 60

2 Carbon Dioksida 40 - 60

3 Nitrogen 2 – 5

4 Oksigen 0,1 – 1,0

5 Sulfida, Mercaptan 0 – 1,0

6 Amonia 0,1 – 1,0

7 Hidrogen 0 – 02

8 Carbon Monooksida 0 – 0,2

9 Trace (lain- lain) 0,01 – 0,6

Karakteristik

Tempratur oF 100 - 120

Sg 1,02 – 1,06

(12)

Gas yang dihasilkan oleh proses pembusukan bahan organik di TPA selain

berpotensi meningkatkan GRK juga bersifat mudah terbakar dan juga sumber bau

busuk. Namun disisi lain pengelolaan yang baik, gas metana yang terbentuk

merupakan sumber energi alternatif, sebagaimana diperlihatkan pada gambar

berikut :

Gambar.2.3. Ilustrasi Emisi GRK dari tumpukan sampah di TPA

Gas metan yang diambil dari TPA (proses landfill) dipompakan keluar

dengan terlebih dahulu mengalami perlakuan awal yaitu untuk menghilangkan

CO2 dan menghasilkan CH4. Selanjutnya di alirkan melalui blower ke unit

pengumpul (gas cleaning system) yang berfungsi untuk membakar produksi

metan yang berlebih, selanjutnya di alirkan ke generator untuk di proses menjadi

(13)

LAND FILL

CONDENSATE TANK

SUCTION SCRUBBER

COMPRESSOR

CHILLER REHEATER

FILTER

GENERATOR

ENERGI LISTRIK

BOILER

ENERGI UAP PANAS SEPARATOR

FLARE STATION

Gambar.2.4. Proses Produksi Landfill Gas (LFG)

2.7. Inventarisasi Gas Rumah Kaca

Inventarisasi gas rumah kaca adalah kegiatan untuk memperoleh data

inventory dan informasi mengenai tingkat, status dan kecendrungan perubahan

emisi gas rumah kaca secara berkala dari berbagai sumber emisi (source) dan

penyerapnya (sink) termasuk simpanan carbon (carbon stock) pada kurun waktu

tertentu (PPRI No.71/2011). Penyelenggaraan inventarisasi GRK Nasional

bertujuan untuk menyediakan informasi secara berkala mengenai tingkat, status

dan kecendrungan perubahan emisi dan serapan GRK termasuk simpanan karbon

(14)

Pelaksanaan Inventori emisi GRK mengacu pada standar internasional yang

telah disepakati (pasal 4 Perpres. No. 71/2011) yaitu berpedoman UNFCCC –

GHG emissions Inventoriy guidelines (IPCC) antara lain :

 IPCC guidliness (IPCC GL), 2006 untuk inventori GRK Nasional

 IPCC- GPGUM (Good Practice Guidance And Uncertainty Management),

2000 inventory GRK untuk anggota Annex I & Non-Annnex I

 WBCSD/WRI (World Business Council for Sustainable Development/World

Resource Institute) – GHG protocol for corporate dan standar Inventarisasi

GRK untuk organisasi.

IPCC 2006 GL merupakan panduan inventarisasi GRK tentang pengelolaan

data, perencanaan, metode pelaksanaan kuantifikasi, metode pelaporan dan

verifikasi inventarisasi emisi GRK (Retno GD et.al , ITB, 2011). Berdasarkan

IPCC 2006 GL terdapat 3 tingkat ketelitian dalam estmasi GRK di TPA atau

SWDS (Solid Waste Disposal Site) yaitu Tier-1, Tier-2 dn Tier-3.

Tier-1 : estimasi berdasarkan sebagian besar data aktivitas dan faktor emisi

default dari IPCC 2006.

Tier-2 : estimasi berdasarkan sebagian besar data aktivitas yang lebih akurat dan

faktor emisi default dari IPCC 2006 atau country specific/plant

Tier-3 : estimasi berdasarkan metode spesifik suatu negara dengan data aktivitas

yang lebih akurat (pengukuran langsung) dan faktor emisi country specific.

Penentuan tingkat emisi GRK (metana) di TPA dilakukan dengan

menggunakan metoda FOD versi Tier 1, berdasarkan metoda FOD versi Tier 1

total emisi gas metana pada tahun T adalah total gas CH4 generated pada tahun T

(15)

Emisi GRK gas Metana dapat dihitung dengan mengetahui komposisi

sampah yang ada di TPA. Estimasi potensi bangkitan Metana (CH4) yang timbul

di lokasi TPA dilakukan dengan menggunakan metode baku yang telah disepakati

secara Internasional yaitu dengan IPCC Waste Model Calculation.

Untuk menghitung potensi timbulan Metana dilakukan dengan persamaan (1) :

Lo = DDOCm x F x (16/12) ... (1)

sedangkan untuk menghitung DDOCm dapat digunakan persamaan (2)

DDOCm = W x DOC x DOCfx MCF ... (2) dimana

Lo : Potensi CH4 yang ditimbulkan saat komponen sampah

terdekomposisi (CH4 gT)

DDOCm : DOC tersimpan di TPA yang dapat terdekomposisi, (Gg)

F : Fraksi CH4 yang dihasilkan TPA (%-volume) (16/12) : rasio berat molekul CH4/C (rasio).

W : massa sampah yang tersimpan di TPA, (Gg)

DOC : Degradable Organic Carbon (karbon organik terdegradasi di tahun

penimbunan)

DOCf : fraksi DOC yang dapat terurai (fraksi)

MCF : faktor koreksi CH4 untuk dekomposisi aerob di tahun penimbunan (fraksi)

Untuk Indonesia dan negara-negara Non-Annex 1, inventarisasi GRK

menggunakan Tier-1 merupakan metode yang paling sederhana yaitu dengan

(16)

Tabel. 2.4. Rumus Umum Penghitungan Emisi CO2 dan CH4

Sumber Emisi dan Rumus Keterangan Sampah (pembakaran)

EmisiCO2 = JSB x FSi x EFCO2-i EmisiCH4 = JSB x EFCH4 x FSi

FSi = fraksi sampah jenis i (%) JSB = jumlah sampah dibakar (ton) EFCH4 = faktor emisi CH4 dari sampah

Tabel. 2.5. Faktor Emisi dari Sampah

Produk Faktor Emisi CO2 (Kg/Gg sampah)

Tabel. 2.6. Perkiraan Emisi CH4 (gigagram) dari Sampah di TPA menurut Provinsi, 2004 - 2008

No Provinsi 2004 2005 2006 2007 2008

(17)

No Provinsi 2004 2005 2006 2007 2008 Sumber : Diolah berdasarkan jumlah sampah di TPA dan faktor emisi CH4 yang ditentukan IPCC,

2.8. Kandungan Bahan Kering (Dry Matter Content)

Kandungan bahan kering adalah fraksi (persen) berat kering dari suatu

komponen sampah yang dihitung dari rasio berat kering terhadap berat sampah

basah. Kandungan bahan kering ini ditentukan untuk setiap sampah yang

dianggap memiliki kandungan air. Kandungan bahan kering sampah ditentukan

dengan pendekatan gravimetry, yaitu penimbangan berat sample sampah yang

(18)

2.9. Sampah dan Sumber Sampah

Sumber sampah merupakan asal mula sampah dihasilkan / ditimbulkan.

Sampah timbul dari sisa proses produksi dan sisa produk baik dari aktivitas

domestik, pasar, pertokoan, jalan dan taman ataupun industri yang disebut dengan

timbulan sampah yang dinyatakan dalam satuan berat ataupun volume. Karena

timbulan sampah umumnya berasal dari rumah tangga, maka untuk perhitungan

secara cepat satuan timbunan sampah dianggap sampah yang ditimbulkan setiap

orang dalam berbagai kegiatan, lokasi (Damanhuri, 2004).

2.9.1. Pengertian Sampah

Pengertian sampah menurut Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor : 18 Tahun 2008, sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia

dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Sedangkan menurut SNI

19-2454-1991, sampah adalah limbah yang bersifat padat terdiri atas zat organik dan zat

anorganik yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola agar tidak

membahayakan lingkungan dan melindungi investasi pembangunan. Sampah

umumnya dalam bentuk sisa makanan, daun-daunan, ranting pohon, kertas/karton,

plastik, kain bekas, kaleng-kaleng, debu sisa penyapuan dan sebagainya.

Sampah istilah umum yang sering digunakan untuk menyatakan limbah

padat berupa sisa-sisa bahan baik karena telah diambil bagian utamanya atau

karena pengolahan, atau sudah tidak ada manfaatnya yang ditinjau dari segi sosial

(19)

Dari segi lingkungan sampah dapat menyebabkan pencemaran atau

gangguan terhadap lingkungan hidup (Hadiwiyoto, 1983). Sampah padat adalah

semua barang sisa yang ditimbulkan dari aktivitas manusia dan binatang yang

secara normal padat dan dibuang ketika tak dikehendaki (Tchobanoglous, 1993).

Berdasarkan hasil penelitian ( Retno GD, et. Al, 2010), bahwa laju

pembentukan limbah padat /sampah diperkotaan di Indonesia terdiri dari

beberapa tipe antara lain :

 Kota metroplitan : 0,28 T/kapita/tahun dan

 Kota Besar : 0,22 T/kapita/tahun

Kota Medan yang memiliki luas wilayah 26.510 Ha, dengan jumlah penduduk

2.578.315 jiwa (Medan Dalam Angka, BPS 2012) dengan tingkat produksi

sampah = 0,60 kg/jiwa/hari (Dinas Kebersihan, 2011) maka estimasi timbulan

sampah Kota Medan sebanyak 1.546,9 Ton/hari dan hanya sekitar ± 80 % yang

dikirim dan tertampung di TPA.

2.9.2. Sumber Sampah

Berdasarkan sumbernya sampah pada umumnya diklasifikasikan dalam 6

(enam) kelompok yaitu (1) sampah pasar, (2) sampah pabrik atau industri, (3)

sampah perumahan dan perkantoran, (4) sampah kandang hewan dan pemotongan

hewan, (5) sampah jalan, lapangan dan pertamanan serta (6) sampah dari kegiatan

(20)

Sumber – sumber sampah dimaksud antara lain :

(1) Sampah pasar dan tempat-tempat komersil.

Terdiri dari berbagai macam dan jenis sampah seperti sisa sayuran, daun

bekas bungkus, sisa makanan dan sebagainya.

(2) Sampah pabrik atau industri.

Benda-benda sisa atau bekas dari proses industri, atau merupakan

ampas-ampas dari pengolahan bahan baku, misalnya pabrik gula tebu akan

membuang ampas tebu. Ciri-cirinya tidak banyak macam dan jenisnya,

menonjol jumlahnya pada beberapa jenis saja. Sampah ini berasal dari

keseluruhan kegiatan proses produksi (bahan-bahan kimia

serpihan/potongan bahan), perlakuan dan pengemasan produk (kertas, kayu,

plastik, kain/lap yang jenuh dengan pelarut untuk pembersihan). Sampah

industri berupa bahan kimia yang seringkali beracun memerlukan perlakuan

khusus sebelum dibuang.

(3) Sampah perumahan dan Perkantoran

Sampah rumah tinggal, kantor, institusi, gedung umum dan lainnya serta

pekarangan. Umumnya sampah rumah tangga berupa sisa pengolahan

makanan, perlengkapan rumah tangga bekas, kertas, kardus, gelas, kain,

sampah kebun/halaman dan lain-lain. Karakteristiknya hampir sama dengan

sampah dari pasar, kecuali ada sampah dari pengurasan septic tank.

(4) Sampah kandang hewan dan pemotongan hewan.

Terdiri dari sisa-sisa makanan hewan dan kotorannya, sisa-sisa daging dan

(21)

(5) Sampah jalan, lapangan dan pertamanan.

Sampah ini terdiri dari pengotoran oleh pelewat jalanan atau pemakai jalan,

pemakai lapangan dan pertamanan, pemotong rumput, reruntuhan bunga

dan buah.

(6) Sampah selokan, riol dan septic tank.

Terdiri dari endapan-endapan dan benda-benda yang hanyut sebagai

penyebab tersumbatnya selokan selokan riol. Isi septic tank merupakan

lumpur tinja yang biasanya diambil dan diangkut dengan mobil tangki tinja

yang dilengkapi dengan pompa hisap.

2.10. Jenis-jenis Sampah

Berdasarkan jenis, pada prinsipnya sampah dibagi dalam 2 bagian besar,

yaitu sampah Organik dan sampah Anorganik.

Sampah Organik : yaitu sampah yang mengandung senyawa-senyawa organik,

karena tersusun dari unsur-unsur C, H, O, N, dll.

Umumnya sampah organik dapat terurai secara alami oleh

mikroorganisme.

Sampah Anorganik : yaitu sampah yang bahan kandungan non organik,

umumnya sampah ini sangat sulit terurai oleh

mikroorganisme.

2.11. Komposisi Sampah

Komposisi sampah adalah komponen fisik sampah yang menunjukkan

fraksi dari berat basah atau berat kering komponen-komponen sampah yang

(22)

Merujuk pada SNI 19-39641994 dan IPCC 2006 GL komposisi dan

komponen sampah diklasifikasikan dalam 9 komponen, yaitu :

1. Sampah makanan

Komponen sampah makanan adalah material sampah yang terklasifikasi

sebagai sampah dapur meliputi: sisa makanan (nasi, mie, biskuit, roti, dll),

bungkus makanan dari daun, sampah sayuran/buah-buahan, kulit buah,

batang sayuran, dan lainnya.

2. Sampah kertas, karton dan nappies

Komponen sampah kertas, karton dan nappies meliputi : kertas koran, kertas

pembungkus, barang cetakan, buku tulis, karton, tampon, disposable diapers,

kertas tissue, dan sejenisnya.

3. Sampah kayu, kebun dan taman

Komponen sampah kayu, kebun dan taman meliputi : kayu bekas furniture,

kayu bangunan (pagar, kusen), daun, ranting/batang pohon dari perawatan

taman/halaman, dan lain-lain.

4. Sampah kain dan produk tekstil

Komponen sampah kain dan produk tekstil meliputi : pakaian bekas, selimut

bekas, majun, kain perca, lap, pel, tas/sepatu dari kain, kasur/bantal bekas dan

lain-lain.

5. Sampah karet dan kulit

Komponen sampah karet dan kulit meliput : sisa karet busa, ban bekas,

(23)

6. Sampah Plastik

Komponen sampah plastik meliputi: botol, kemasan, ember dari plastik,

kantong kresek, gantungan baju dan barang lainnya dari plastik.

7. Sampah Logam

Kornponen sampah logam meliputi: besi bekas perkakas, rangka furniture,

kawat, potongan logam, kaleng minuman dan lain-lain.

8. Sampah Gelas

Komponen sampah gelas meliputi: pecahan gelas, piring dan barang-barang

keramik, botol, lampu, dan barang-barang dari gelas/keramik .

9. Sampah lain-lain

Komponen sampah lain-lain meliputi komponen yang tidak termasuk dalam

klasifikasi di diantaranya: tanah, abu, batu, bongkahan bangunan,

barang-barang elektronik bekas.

2.12. Sistem Pengelolaan Sampah

Pengelolaan dan pengolahan sampah adalah suatu upaya untuk mengurangi

volume sampah atau merubah bentuk menjadi lebih bermanfaat, antara lain

dengan cara pembakaran, pengomposan, penghancuran, pengeringan dan daur

ulang sampah (SNI T-13-1990-F). Sistem pengelolaan sampah akan berpengaruh

pada hasil perhitungan gas metana yang terkandung pada tumpukan sampah

tersebut. Sistem pengelolaan sampah pada umumnya dikatagorikan dalam 3 (tiga)

sistem pengelolaan yaitu :

1) Unmanaged Waste Disposal Sites (Open Dumping)

(24)

3) Kategori diantara Unmanaged dan Managed waste disposal sites

Umumnya pengelolaan sampah kota-kota besar dan daerah di Indonesia

menerapkan sistem gabungan antara Unmanaged dan Managed waste disposal

sites dengan beberapa tahapan al :

a. Sistem Penampungan Sampah Sementara (TPS)

Penampungan sampah sementara di Indonesia umumnya menggunakan

kontainer besi atau bak beton ukuran 4m3 yang diletakkan pada

persimpangan jalan, pasar, area pertokoan, taman dan sebagainya. Namun

belum secara massal pemerintah menyediakan Tempat Penampungan

Sementara (TPS) yang dibedakan berdasarkan jenis sampah sehingga

penghasil sampah meletakkan segala jenis sampahnya dalam satu TPS yang

tersedia di satu lokasi.

Permasalahan yang ada adalah, secara umum pemilahan sampah belum

dipraktekkan dan menjadi budaya di masyarakat Indonesia. Sampah-sampah

masih digabung menjadi satu baik sampah organik, sampah anorganik,

bahkan sampah B3, kondisi ini akan menyulitkan dalam proses pengelolaan

sampah selanjutnya. Permasalahan lain adalah TPS yang tersedia tidak

mampu menampung sampah, akhirnya sampah akan tercecer. Hal ini

disebabkan karena kuantitas sampah yang ada melebihi kapasitas TPS

ataupun jadwal pengosongan dan pengambilan sampah di TPS yang tidak

(25)

b. Transportasi Sampah

Tranportasi merupakan faktor yang terpenting dalam pengelolaan sampah,

keterlambatan pengosongan TPS atau ketidakteraturan jadwal pemindahan

sampah dari TPS ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah akan

berpengaruh pada kondisi estetika lingkungan. Kinerja transportasi sampah

tersebut sangat tergantung pada pengaturan rute dan jumlah truk armada

pengangkutan sampah.

c. Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah

Bisa dikatakan secara umum TPA di Indonesia menggunakan lahan urug

yang dioperasikan secara open dumping, kondisi ini dapat terlihat pada 2

(dua) TPA yang ada di Medan yaitu TPA Namo Bintang dan TPA Terjun.

2.13. Kondisi pengelolaan persampahan di Indonesia

Tabel. 2.7. Kondisi pengelolaan persampahan tahun 2008 (kondisi baseline

business as usual)

Tahun 2008 Satuan Perkotaan Pedesaan

Timbulan sampah perkapita kg/org/hari 0,6 0,3

Kenaikan timbulan sampah per tahun % 2,5 1

Sampah diangkut secara kolektif (Dinas) % 50 20

Kenaikan sampah diangkut kolektif pertahun % 2 - 2,5 1

Sampah dikelola kolektif 2008

 Anorganik direcovery % 3 0,5

Sampah dikelola sendiri 2008:

 Anorganik direcovery % 3 5

 Organik dikomposkan % 1 40

 Dibakar % 5 20

 Timbun dimana saja % 40 10

Total % 50 80

(26)

Tabel. 2.8. Timbulan Sampah dan Sampah Terangkut (m3/tahun) di 170 Kota/Kabupaten menurut Provinsi

No Provinsi Jumlah

Total 170 45.436.846 32.480.427

Sumber : Asisten Deputi Urusan Limbah Domestik, Deputi II MENLH, Emisi GRK dalam Angka (MENLH RI,2009)

2.14. Sistem Pengelolaan Sampah Kota Medan

Pengelolaan sampah kota Medan ditangani oleh Dinas Kebersihan Kota

Medan. Seluruh sampah-sampah di kirim ke TPA milik Pemko Medan di kawasan

Namo Bintang, Pancur Batu seluas ± 17 hektare dan kawasan Terjun, Medan

(27)

Pelayanan sampah kota Medan dibagi dalam 3 (tiga) wilayah daerah

pelayanan. Pada setiap daerah pelayanan terdiri dari 7 Kecamatan. Sampah dari

daerah pelayanan Medan I dan Medan II dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir

(TPA) Sampah Namo Bintang, sedangkan daerah pelayanan Medan III dibuang ke

TPA Sampah Terjun, Marelan, 3 (tiga) wilayah pelayanan dimaksud seperti

pada tabel berikut :

Tabel. 2.9. Wilayah Kebersihan Medan – I

No Kecamatan Jumlah Sumber : Dinas Kebersihan Kota Medan, 2012

Tabel. 2.10. Wilayah Kebersihan Medan – II

No Kecamatan Jumlah

(28)

Tabel. 2.11. Wilayah Kebersihan Medan – III

Sumber : Dinas Kebersihan Kota Medan, 2012

Dari hasil pendataan Dinas Kebersihan Kota Medan, bahwa jumlah sampah

yang masuk ke TPA sebanyak 1.250-1.280 ton/hari. Pengangkutan sampah

dilakukan sebanyak tiga kali dalam sehari. Seluruh sampah ditumpuk di TPA dan

dibiarkan dipaparkan dipermukaan tanah atau dikelola secara Open Dumping .

Untuk saat ini Dinas Kebersihan kota Medan bekerjasama dengan pihak ketiga

untuk melakukan pengelolaan sampah dan gas metana yang dihasilkan, gas

metana yang timbul akan diubah menjadi sumber energi listrik seperti yang telah

diterapkan di TPA Banter Gebang Jakarta (Dinas Kebersihan Kota Medan).

Secara garis besar sistem pengelolaan dan penanganan sampah kota Medan

sebagai berikut :

a. Pengumpulan

Pengumpulan sampah dari sumbernya keTPS (Tempat Penampungan

Sementara) dilaksanakan oleh petugas pengumpul sampah dengan

menggunakan alat angkut gerobak sampah dan becak sampah. Proses

pengumpulan sampah dari rumah ke rumah (house to house collection)

(29)

sampah. Kemudian setelah terkumpul sampah tersebut di tempatkan di tempat

penampungan sementara dan wadah penampung sampah (bak container).

b. Pengangkutan

Pengangkutan sampah dilakukan oleh petugas sampah yang sudah terjadwal

sesuai wilayah operasional masing-masing. Pengangkutan sampah dengan

menggunakan dump truck dilakukan setiap hari dimulai pukul 06.30 Wib. Para

petugas pengakut sampah dengan menggunakan Dump Truk mulai bergerak

dari pool Kantor Dinas Kebersihan Kota Medan menuju daerah pelayanan

masing-masing kelurahan. Waktu pengangkutan diatur tiga kali dalam sehari

yaitu pagi hari pukul 06.30-08.00 WIB dengan menggunakan 157 unit truk

sampah, siang hari pukul 13.00-18.00 WIB menggunakan pickup yang

disebut ambulance sampah sebanyak 6 unit dan jadwal malam hari yang

dimulai dari pukul 19.00-selesai dengan menggunakan 8 unit truk sampah.

Pelayanan pengangkutan sampah yang dilakukan oleh petugas pengangkut

sampah dengan menggunakan Dump Truk/ Arm Rool Truck mendatangi setiap

TPS yang telah ditetapkan. Setiap TPS disediakan bak kontainer dengan

kapasitas atau jumlah volume yang berbeda.

Bak container yang sudah diangkat oleh kendaraan Arm Rool menuju ke

daerah TPA sesuai dengan wilayah operasional pelayanan. Sampah yang akan

dibuang ke lokasi TPA sebelumnya masuk melalui pintu timbang TPA guna

mengetahui berapa besar jumlah sampah yang akan dibuang ke lokasi TPA

tersebut untuk lokasi TPA Terjun, sedangkan di lokasi TPA Namo Bintang

(30)

c. Pemusnahan Sampah dan Pengelolaannya

Untuk pembuangan akhir sampah dari seluruh wilayah Kota Medan, Dinas

Kebersihan Kota Medan mengoperasionalkan 2 (dua) lokasi TPA yaitu TPA

Terjun dan TPA Namo Bintang.

TPA Terjun terletak di Kelurahan Terjun Kecamatan Medan Marelan dengan

luas 14 Ha dan dioperasikan mulai tahun 1993. TPA Namo Bintang seluas 17

Ha, beroperasi sejak tahun 1987, terletak di desa Namo Bintang Kecamatan

Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang.

Sistem pengelolaan sampah di dua lokasi TPA tersebut sampai saat ini

menerapkan sistem pembuangan terbuka (Open Dumping System), yaitu sampah

yang masuk ke lokasi TPA tanpa melalui proses tertentu dan langsung di

tumpahkan dari bak container, selanjutnya sampah yang sudah dibuang dari bak

container ditaburkan atau dipaparkan di lokasi TPA dengan mempergunakan

alat berat seperti Buldozer dan Bakchoe. Sampah yang sudah dilakukan

penyerakan selanjutnya dilakukan pemadatan dengan menggunakan alat berat

Loader. Namun pada saat cuaca panas terik, sampah di lokasi TPA menjadi

kering, pemusnahan sampah kering dilakukan dengan pembakaran di lokasi

TPA. Sedangkan sampah-sampah yang masih memiliki nilai ekonomis seperti

plastik, aluminium, tembaga yang dapat dimanfaatkan kembali diambil oleh para

pemulung yang setiap harinya menggantungkan hidupnya dari lokasi TPA

(31)

Sumber : Dinas Kebersihan Medan

(32)

2.15. TPA Namo Bintang

TPA Namo Bintang berlokasi di Desa Namo Bintang Kecamatan Pancur

Batu Kabupataen Deli Serdang dengan luas areal 176.392 M2. TPA Namo

Bintang beroperasi sejak tahun 1987 dengan sistem open dumping. Kapasitas

sampah terbuang ke TPA Namo Bintang setiap harinya 60% dari jumlah volume

timbulan sampah Kota Medan (Dinas Kebersihan Pemko Medan, 2010).

Topografi TPA Namo Bintang adalah lembah dengan kondisi tanah asal

tanah liat. Jarak lokasi TPA dengan pemukiman penduduk ± 500 M2, dengan

sungai Tuntungan ± 5 Km, dari pantai ± 25 Km dan Pusat Kota ± 15 Km.

Gambar

Tabel. 2.2. Estimasi Emisi metana secara global dari kegiatan manusia
Gambar.2.2. Phase Pembentukan Gas di area Land Fill/TPA (ATSDR, 2001).
Tabel. 2.6. Perkiraan Emisi CH4 (gigagram) dari Sampah di TPA menurut Provinsi, 2004 - 2008
Tabel. 2.7.
+4

Referensi

Dokumen terkait

Tanggung jawab pengelolaan sampah yang ada di TPA Bantargebang Bekasi secara penuh dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Kebersihan Provinsi DKI

Tanggung jawab pengelolaan sampah yang ada di TPA Bantargebang Bekasi secara penuh dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Kebersihan Provinsi

Fokus penelitian ini adalah: (1) Dampak implementasi pengelolaan dan pemanfaatan gas metana di TPA Supit Urang (2) Faktor pendukung dan penghambat yang mempengaruhi

Dalam memprediksikan besarnya potensi energi listrik yang dihasilkan dari aktifitas non domestik di Surabaya Selatan diperlukan data dari hasil perhitungan besarnya massa metana

Grafik 56 : Kandungan bahan kering sampah dari TPA Kwala Bingai hasil survey tanggal 12 Desember 2011 dengan pengeringan dalam oven pada temperatur 85 0 C selama tiga hari. Grafik

Dalam pelaksanaannya tata kelola sampah di TPA Wisata Edukasi Talangagung Kabupaten Malang yang melakukan pengolahan sampah menjadi sumber energi terbaharukan berupa

Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di sebuah TPA dibutuhkan serangkaian studi untuk menentukan apakah PLTSa layak dibangun di TPA tersebut, salah satunya

Karena TPA sampah Dinas Kebersihan Kota Prabumulih yang lama sudah tidak layak pakai lagi karena lahan yang dimiliki sekarang sudah tidak dapat lagi menampung