BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Tanaman
Bayam merah merupakan tumbuhan dari keluarga Amaranthacea. Nama saintifiknya Althernanthera strigosa Hask dan nama Inggrisnya Red Spinach. Di
Jawa, tanaman ini dinamai bayam abrit, bayam lemag atau bayam sekul (Suwita, 2016).
2.1.1 Sistematika Tanaman
Sistematika tanaman daun bayam merah sebagai berikut : Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatohyta Kelas : Monocotyledoneae
Ordo : Caryophyllales Famili : Amaranthaceae Genus : Altherhanthera
Spesies : Althernanthera strigosa Hask . Nama Lokal : Bayam Merah
2.1.2 Morfologi Tanaman
Herba setahun, tegak atau agak condong, tinggi 0,4 – 1 , dan bercabang.
Batang lemah dan berair. Daun bertangkai, berbentuk bulat telur, lemas, panjang 5 – 8 cm, ujung tumpul, pangkal rucing, serta warnanya merah keunguan. Bunga
dalam tukal yang rapat, bagian bawah duduk di ketiak, bagian atas berkumpul
2.1.3 Kandungan Kimia Tanaman
Daun bayam merah memiliki kandungan zat aktif, diantaranya flavonoid dan tanin. Di samping itu akar bayam merah juga mengandung alkaloid,
karbohidrat, flavonoid, glikosida, tanin, senyawa fenolik, protein, saponin dan asam amino (Pradana, dkk., 2016).
2.1.4 Kegunaan Tanaman
Kegunaan daun bayam merah sebagai obat diare, antitukak lambung, penambah darah (Suswita, dkk., 2016). Kegunaan lain dari bayam merah itu ialah
pengaruhnya terhadap gigi dan gusi, yaitu mencegah penyakit gusi. Bayam merupakan makanan penting untuk alat pencernaan, baik bagian saluran cerna dari tubuh (Nainggolan, 1989).
2.2 Ekstrak
Ekstrak adalah tiap bahan mentah obat berisis sejumlah unsur yang dapat larut dalam pelarut tertentu dan hasil dari ekstraksi (Ansel, 2005).
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan zat aktif dengan menggunakan pelarut
yang sesuai. Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dibagi kedalam dua cara yaitu:
1. Cara dingin, yaitu:
1. Maserasi, adalah proses pengekstaraksian simplisia dengan
berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan
penyarian maserat pertama, dan seterusnya.
2. Perkolasi, adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai
sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan kamar). Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi
sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) (Depkes RI, 2000).
2. Cara panas, yaitu:
1. Refluks, adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperature titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang
relative konstan dengan adanya pendingin balik.
2. Sokletasi, adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru
yang umumnya dilakukan dengan alat soklet sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relative konstan dengan adanya pendingin balik.
3. Digesti, adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar),
yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40º - 50ºC.
4. Infundasi, adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur
penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96º-98ºC) selama waktu (15-20 menit).
5. Dekoktasi, adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut air
2.3 Golongan Senyawa Daun Bayam Merah
Daun bayam merah memiliki kandungan zat aktif, diantaranya saponin, flavonoida dan tanin (Pradana, dkk.,2016). Di dalam bayam terdapat potassium,
sodium, kalsium, iodin, magnesium, fosfor, belerang dan zat besi. Bayam juga mengandung banyak vitamin A, B, C, E dan G (Nainggolan, 1989).
2.3.1 Saponin
Saponin mula – mula diberi nama demikian karena sifatnya yang menyerupai sabun ( bahasa latin sapo berarti sabun). Saponin adalah senyawa
aktif permukaan yang kuat yang menimbulkan busa jika dikocok dalam air pada konsentrasi yang rendah sering menyebabkan hemolisis sel darah merah. Dalam larutan yang sangat encer saponin sangat beracun untuk ikan, dan tumbuhan yang
mengandung saponin telah digunakan sebagai racun ikan selama beratus – ratus tahun. Beberapa saponin sebagai antimikroba juga (Robinson, 1995).
2.3.3 Flavonoid
Golongan flavonoid dapat digambarkan sebagai deretan senyawa C6–C3–
C6. Artinya kerangka karbonnya terdiri atas gugus C6 (cincin benzene tersubsitusi) disambungkan oleh rantai alifatik tiga karbon. Flavonoid mencakup
banyak pigmen yang paling umum dan terdapat pada seluruh dunia tumbuhan mulai dari fungus sampai angiospermae. Pada tumbuhan tinggi, flavanoid terdapat
pengaturan tubuh, pengaturan fotosintesis, kerja antimikroba dan antivirus
(Robinson, 1995).
Mekanisme kerja dari flavonoid dalam menghentikan diare yaitu dengan
mengahambat motilitas usus yang menyebabkan berkurangnya sekresi cairan dan elektrolit (Di Carlo ,et al., 1993).
2.3.4 Tanin
Tanin terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh, dalam angiospermae terdapat khusus dalam jaringankayu (Harbone, 1987). Kadar tanin yang tinggi
mempunyai arti pertahanan bagi tumbuhan, membantu mengusir hewan pemangsa tumbuhan. Selain itu kadar tanin yang tinggi dianggap mempunyai pengaruh yang merugikan terhadap nilai gizi tumbuhan makanan ternak. Beberapa tanin terbukti
mempunyai aktivitas antioksidan, menghambat pertumbuhan tumor dan ada yang dapat meracuni hati (Robinson, 1995).
Beberapa senyawa turunan tanin dan flavonoid memiliki aktivitas sebagai antimotilitas, antisekretori dan antibakteri (Otshudi, et al., 2000). Senyawa tanin mempunyai sifat adstringent yang diperlukan untuk mengatasi disentri dan diare,
sifat adstringent ini mengerutkan selaput lender usus sehingga mengurangi pengeluaran cairan diare dan disentri serta menghambat sekresi elektrolit (Tjay
2.4 Diare
Diare adalah defekasi encer lebih dari tiga kali sehari dengan / tanpa darah dan / atau lendir dalam tinja. Diare akut adalah diare yang terjadi secara
mendadak dan berlangsung kurang dari 7 hari. Penyebab diare bermacam – macam, antara lain adanya infeksi virus (Rotavirus, Adenovirus), infeksi bakteri (Shigella, Salmonella, E.coli), malabsorbsi karbohidrat (intoleransi laktosa),
makanan basi, beracun atau alergi terhadap makanan (Puspitaningrum, dkk., 2014). Dalam definisi lain diare adalah keadaan buang air dengan banyak cairan
(mencret) dan merupakan gejala dari penyakit – penyakit tertentu atau gejala – gejala lainnnya (Tan dan Rahardja, 2007).
2.4.1 Klasifikasi Diare
a. Berdasarkan lamanya diare, dibagi atas:
1. Diare akut, adalah diare yang umumnya memiliki durasi < 14 hari,
2. Diare persisten, adalah diare yang lebih dari 14 hari,
3. Diare kronik, adalah diare yang durasinya lebih dar 30 hari (Spruill dan Wade, 2008).
b. berdasarkan penyebabnya diare dapat dibedakan sebagai berikut :
1. Diare akibat virus, misalnya influenza perut dan travelers diarrhea yang
disebabkan antara lain oleh rotavirus dan adenovirus. Virus melekat pada sel – sel mukosa usus yang menjadi rusak sehingga kapasitas resorpsi
2. Diare bakterial invasif, kuman pada keadaan tertentu menjadi invasif dan
menyerbu ke dalam mukosa dimana terjadi perbanyakan diri dan membentuk toksin.
3. Diare Parasiter, akibat protozoa seperti Entamoeba histolytica dan Giardia lamblia, yang terutama terjadi dia daerah subtropics dan tropis. Diare biasanya bertahan lama lebih dari satu minggu.
4. Akibat penyakit, misalnya colititis ulcerosa, Irritable Bowel Sydrome (IBS), kanker kolon dan infeksi-HIV. Juga seperti gangguan – gangguan
seperti alergi terhadap makan/minuman, protein susu sapi serta intoleransi laktosa karena defisiensi enzim laktase.
5. Akibat obat, yaitu digoksin, kinidin, garam-MG dan antibiotika
berspektrum luas (ampisilin, amoksilin, sefalosporin, klindamisin, tetrasiklin).
6. Akibat keracunan makanan, penyebabnya adalah tidak memadainya kebersihan saat pengolahan, penyimpanan dan distribusi dari makanan/ minuman (Tan dan Rahardja, 2007).
2.4.2 Penyebab Diare
Diare disebabkan oleh meningkatnya peristaltik usus, sehingga perlintasan chymus dipercepat dan masih banyak mengandung air pada saat meninggalkan
tubuh sebagai tinja. Selain itu, diare disebabkan karena bertumpuknya cairan di usus akibat terganggunya keseimbangan absorpsi dan sekresi. Terjadinya ganggungan keseimbangan ini, sering terjadi pada keadaan radang lambung- usus
2.4.3 Mekanisme Patofisiologis Diare
Terdapat 4 mekanisme patofisiologis diare yang mengganggu keseimbangan air dan elektrolit yang mengakibatkan diare, yaitu:
a. Perubahan transport ion aktif akibat penurunan absorbsi sodium dan peningkatan sekresi klorida, timbulnya penurunan dalam absorpsi dan peningkatan sekresi mengakibatkan cairan berlebihan melebihi kapasitas
kolon dalam mengabsorpsi. Gangguan pada sistem pencernaan berupa defisiensi enzim disakaridase dan enterokinase serta kerusakan pada ion
transport (Na+/H+/Cl-/HCO3-) juga menimbulkan gangguan absorpsi b. Perubahan motilitas usus, dapat terjadi sebahai akibat adanya radang usus,
sehingga usus (terutama usus besar) tidak mampu menahan laju isis usus
dan terjadi diare.
c. Peningkatan osmolitas, pengisian usus yang melebihi kapasitas pencernaan
dan absorpsinya akan menimbulkan kenaikkan daya tekan osmotik intra lumen dan menimbulkan gangguan absorbsi air.
d. Peningkatan tekanan hidrostatik jaringan, terjadi pada ekspansi air dari
jaringan ke lumen usus. Hal ini terjadi pada peninggian tekanan vena mesenterial, obstruksi sistem limfatik, iskemia usus, bahkan proses
peradangan (Spruill dan Wade, 2008).
2.4.4 Pengobatan Diare
kerja melibatkan rilis acetylcholine melalui reseptor – reseptor opioid
prasinaptik di system saraf usus. Loperamide tidak bisa menyebrangi swar-darah otak karena itu menyebabkan kurang efek sedasi dan kurang efek ketergantungan
daripada diphenoxylate. Adsorben seperti kaolin dan pectin juga secara luas dipakai (Katzung, 2004).
Kelompok obat yang sering digunakan pada keadaan diare, yaitu:
a. Kemoterapeutik, untuk terapi kausan yaitu memberantas bakteri penyebab diare seperti antibiotika, sulfonamide, kinolon, dan futazolidon.
b. obstipansia, untuk terapi simtomatis, yang dapat menghentikan diare dengan beberapa cara, yaitu:
i. zat-zat penekan peristaltik, sehingga memberikan lebih banyak waktu
untuk absorpsi air dan elektrolit oleh mukosa usus. Derivat-derivat petidin (difenoksilat dan loperamid) dan antikolenergika (atropine dan
ekstrakbelladonna).
ii. Astrigensia, yaitu menciutkan selaput lendir usus, misalnya asam samak (tanin) dan tannalbumin, garam-garam bismuth dan alumunium.
iii. Adsorbensia, misalnya carbo adsorbens yang pada permukaanya dapat menyerap adsorpsi zat – zat beracun atau toksin yang dihasilkan oleh
bakteri atau yangberasal dari makanan.
c. Spasmolitika, yaituzat – zat yang dapat meredakan kejang – kejang otot yang
2.5 Loperamid Hidrokloridum
Loperamidi Hydrochloridium atau Loperamida Hidroklorida (4 (p -klorofenil) - 4 - hidroksi - N, N - dimeti l- α, α - difenil - 1 - piperidina butiramida
monohodroklorida mempunyai rumus kimia C29H33CIN2O2HCL dan berat molekul 513,51. Pemerian serbuk putih sampai agak kuning, melebur pada suhu lebih kurang 225º disertai peruaraian. Mudah larut dalam methanol, dalam
isopropil alkohol dan dalam kloroform, dan sukar larut dalam air dan dalam asam encer (Ditjen POM RI, 1995).
Derivat difenoksilat dengan khasiat obstipansia yang 2- 3 kali lebih kuat tetapi tanpa khasiat terhadap susunan syaraf pusat, sehingga tidak mengakibatkan ketergantungan. Zat ini Mampu menormalkan kembali keseimbangan absorpsi
dan sekresi dari sel-sel mukosa, yaitu memulihkan sel – sel yang berada dalam keadaan hipersekresi keadaan absorpsi normal. Mulai kerjanya lebih cepat, juga
bertahan lebih lama. Efek samping berupa rasa mengantuk, pusing dan mulut kering. Efek samping sangat jarang terjadi (Tan dan Rahardja, 2007).
Loperamid memperlambat motilitas saluran cerna dengan mempengaruhi
otot sirkuler dan longitudinal usus. Obat ini berikatan dengan reseptor opioid sehingga efek konstipasinya diakibatkan oleh ikatan loperamid dengan reseptor
tersebut, obat ini efektif untuk pengobatan diare kronik (Dewoto, 2007).
2.6 Oleum Ricini
enzim protein, risin, alkaloid, enzim proteolitik, enzim lipolitik, dan asam
risinoleat. Kegunaan daunnya untuk mengurangi rasa nyeri, kegunaan biji sebagai peluruh air seni, mempermudah persalinan, dan juga sebagai pencahar (Depkes
RI, 1985). Minyak castor dihidrolisis dalam usus kecil bagian atas dan menjadi ricinoleic acid, suatu iritan lokal yang meningkatkan motilitas usus. Awal
kerjanya cepat dan berlanjut hingga senyawa tersebut disekresikan melalui kolon
(Katzung, 2004). Oleum ricini mengandung dua bahan berbahaya yaitu suatu protein yang sangat toksik, risin, dan kaya akan kandungan trigliserida, asam
risinoleat. Trigliserida dalam minyak jarak di usus halus akan dihidrolisis oleh lipase menjadi gliserol dan zat aktifnya yakni asam risinoleat bekerja di usus halus untuk menstimulasi sekresi cairan dan elektrolit serta mempercepat transit di usus