• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan pola asuh orang tua dengan pril

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hubungan pola asuh orang tua dengan pril"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan teori – teori yang berkaitan dengan pola asuh orang tua, autismme, kerangka teori, kerangka konsep, dan hipotesis

1. Pola asuh orangtua

1.1 Definisi pola asuh orangtua

(2)

Istilah pola asuh orangtua untuk menggambarkan interaksi orangtua dan anak-anak yang didalamnya orangtua mengekspresikan sikapsikap atau perilaku, nilai-nilai, minat dan harapan-harapanya dalam mengasuh dan memenuhi kebutuhan anak-anaknya (Maccoby, 2005). Pola asuh merupakan prilaku yang ditampilkan orang tua saat berhubungan dengan anak mereka Perilaku – perilaku tersebut antara lain seperti cara orang tua menunjukan kekuasaannya dengan memberikan aturan dan hukuman, serta cara – cara orang tua memberikan perhatian seperti menunjukan kasih sayang, dukungan dan juga pujian untuk anak (Kohn, 2010). Pola asuh orangtua adalah proses interaksi orangtua dengan anak dimana orangtua mencerminkan sikap dan perilakunya dalam menuntun dan mengarahkan perkembangan anak serta menjadi teladan dalam menanamkan perilaku (Jannah, 2012).

Dari definisi –definisi yang telah disebutkan di atas maka dapat disimpulkan bahwa pola asuh orang tua merupakan cara orang tua membentuk kepribadian dan mengkontrol prilaku anak yang ditunjukan melalui sikap-sikap yang diberikan oleh anak.

1.2 Jenis-jenis Pola Asuh Orangtua

Menurut Baumrind (Papila, Olds & Feldman, 2009) terdapat 3 jenis pola asuh orang tua yaitu: otoritarian, permisif dan otoritatif.

(3)

dari pola asuh otoritarian ini adalah anak akan membangun perasaan takut, cemas, tidak bahagia, inisiatif tidak terbentuk dan juga kurang dapat membangun komunikasi dengan baik.

b. Pola asuh permisif merupakan jenis pola asuh dimana orang tua memberikan segala sesuatu yang diminta oleh anak. Orang tua juga kurang memberikan batasan dan kendali yang jelas pada anak.Anak dengan pola asuh permisif akan lebih kreatif dan percaya diri, namun disamping itu anak dengan pola asuh ini cenderung kurang memiliki kontrol diri yang baik, mendominasi, kurang dapat menghormati dan tidak dapat menjalin hubungan yang baik dengan temannya.

c. Pola asuh otoritatif, memberikan batasan dan juga kontrol terhadap anak, namun masih memberikan kesempatan bagi anak untuk dapat mandiri dan juga memiliki tanggung jawab pribadi. Orang tua dengan pola asuh otoritatif sangat menghargai minat dan pendapat dari anak dan juga anak merasakan kasih sayang yang diberikan orang tuanya kepada mereka. Anak dengan pola asuh otoritatif lebih percaya diri, memiliki pengendalian diri yang baik, mampu mengelola stress dan dapat bekerja sama dengan teman sebaya maupun orang – orang yang lebih tua (Siregar, 2011).

Cara mendidik anak menurut Syamsu Yusuf LN. terdapat tiga pola asuh (gaya perlakuan) orang tua yaitu:

a. Authoritarian : (sikap “aceptance” , suka menghukum, memaksa, kaku/keras dan bersikap menolak)

(4)

c. Permisive : (sikap “aceptance” nya tinggi, kontrolnya rendah memberi kebebasan anak untuk menyatakan dorongan atau keinginannya.

Chabib Thoha mengemukakan ada tiga pola asuh orang tua yaitu: demokratis, otoriter, dan permissive

a. Demokratis

Pola asuh demokratis ditandai dengan adanya pengakuan orangtua terhadap kemampuan anak, anak diberi kesempatan untuk tidak selalu tergantung kepada orang tua. Orang tua sedikit memberi kebebasan kepada anak untuk memilih apa yang terbaik bagi dirinya anak didengar pendapatnya, dilibatkan dalam pembicaraan terutama yang menyangkut dengan kehidupan anak itu sendiri. Anak diberi kesempatan untuk mengembangkan kontrol internalnya sehingga sedikit demi sedikit berlatih untuk bertanggung jawab kepada diri sendiri. Anak dilibatkan dan diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam mengatur hidupnya.

Pola asuh demokratis menyebabkan anak memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. Bersikap bersahabat b. Memiliki percaya diri

c. Mampu mengendalikan (self control) d. Sikap sopan

e. Mau bekerjasama

f. Memiliki rasa ingin tahunya tinggi g. Mempunyai tujuan atau arah yang jelas h. Berorientasi terhadap prestasi

(5)

b. Pola Asuh Otoriter

Pola asuh otoriter ditandai dengan cara mengasuh anak dengan aturan aturan yang ketat seringkali memaksa anak untuk berperilaku seperti dirinya (orang tua), kebebasan untuk bertindak atas nama dirinya sendiri dibatasi. Anak jarang diajak berkomunikasi dan bertukar pikiran dengan orang tua. Orang tua menganggap bahwa semua sikapnya sudah benar sehingga tidak perlu dipertimbangkan dengan anak.

Ciri-ciri pola asuh otoriter sebagai berikut :

1. Sikap “Aceptance” rendah namun kontrolnya tinggi 2. Suka menghukum secara fisik

3. bersikap mengomando (mengharuskan anak untuk melakukan sesuatu tanpa kompromi).

4. Bersikap kaku (keras)

5. Cenderung emosional dan bersikap menolak

6. Harus mematuhi peraturan-peraturan orang tua dan tidak boleh membantah

Akibat dari pola asuh yang otoriter anak akan cenderung memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

a. Mudah tersinggung b. Penakut

c. Pemurung tidak bahagia

d. Mudah terpengaruh dan mudah stres

e. Tidak mempunyai arah masa depan yang jelas f. Tidak bersahabat

(6)

c. Pola Asuh Permissive

Pola asuh permissive ditandai dengan orang tua mendidik anak secara bebas, anak dianggap sebagai orang dewasa (muda), ia diberi kelonggaran seluas-luasnya untuk melakukan apa saja yang dikehendaki. Kontrol orang tua terhadap anak sangat lemah, juga tidak memberikan bimbingan yang cukup berarti bagi anaknya, semua yang telah dilakukan anak adalah benar dan tidak perlu mendapatkan teguran, arahan (bimbingan). Kekurangan-kekurangan dalam pola asuh ini anak cenderung melakukan segala sesuatunya sesuai kehendaknya, tidak atau kurang memperhatikan akibat dari perbuatannya baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain dan orang tua hampir tidak pernah campur tangan baik dalam memilih tempat sekolah mengatur waktu ibadah teman bergaul dan sebagainya.

Kondisi permissive ini cenderung mengakibatkan anak memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

a. Bersikap impulsif dan ogresif b. Suka bersikap memberontak c. Kurang memiliki rasa percaya diri d. Suka mendominasi

e. Tidak jelas arahnya f. Prestasinya rendah

(7)

Hal ini sesuai dengan yang disampaikan Baumrind bahwa pola asuh otoritatif merupakan pola asuh yang efektif karena memiliki kesimbangan 2 dimensi yang tinggi, artinya pola asuh ini memungkinkan orangtua bersikap hangat tapi tetap menjunjung tinggi kemandirian dan menuntut sikap tanggungjawab anak, menghadapi anak dengan sikap rasional dan terarah, menawarkan diskusi dengan anak , menjelaskan masalah disiplin dan membantu anak mencari penyelesaian masalah. Hal tersebut didukung oleh para peneliti saat ini diantaranya seperti pendapat Kartner, Slicker dan Gunnoe dan mereka mengembangkan ide awal tadi dalam fokus yang bervariasi (Rahayu Fitri, Hernawaty, & Rakhmawati, 2008).

2. Autisme

2.1 Pengertian Anak autis

(8)

2.2 Penyebab Autisme

Sampai sekarang, autisme masih merupakan grey area di bidang kedokteran yang terus berkembang dan belum diketahui penyebabnya secara pasti (Marijani,2003) Autisme disebabkan faktor bawaan tertentu atau pengalaman yang kurang mendukung. Misalnya dibesarkan oleh ibu yang tidak responsif atau pernah mengalami trauma dengan lingkungan sosialnya (Supraktiknya, 1995). Autisme juga disebabkan oleh abnormalitas kromosom terutama fragile X. Ada pengaruh kondisi fisik pada saat hamil dan melahirkan yang mencakup rubella, sifilis, fenilketonuria, tuberus, dan sklerosis.

Faktor prenatal mencakup infeksi kongenital seperti Cytomegalovirus dan rubella. Faktor pasca natal yang berperan mencakup infantile spasm, epilepsi mioklonik, fenilketonuria, meningitis dan encefalis (Lumbantobing, 2001)

Ada berbagai sudut pandang menegenai autisme berdasarkan penelitian dan teori-teori yang ada.

1. Penelitian awal

(9)

anak yang menunjukkan kesulitan dalam interaksi sosial dan hanya memperlihatkan ekspresi wajah yang terbatas. Ternyata deskripsinya ini mirip dengan yang dikemukakan oleh Kanner dan keduanya juga menggunakan istilah autistic untuk menekankan pada masalah utama anak-anak tersebut, yaitu kecenderungan menarik diri dari lingkungan sosial, kesulitan dalam reaksi afektif, minat yang sempit, dan keterbatasan penggunaan bahasa secara sosial (Ginanjar, 2007).

2. Autisme sebagai Gejala Psikologis

a. Teori Berpandangan Psikoanalitik

Teori awal yang menjelaskan autisme dari sudut pandang psikologis adalah teori Refrigerator Mother. Teori ini dikembangkan oleh Bruno Bettelheim, yang berpendapat bahwa autisme disebabkan oleh pengasuhan ibu yang tidak hangat, sehingga anak-anak autistik cenderung menarik diri dan bersibuk diri dengan dunianya (Happe, 1994; Buten, 2004; Stacey,2003). Tokoh lain yang meneliti anak-anak autistik adalah Margareth Mahler. Menurutnya, anak-anak autistik mengalami kerusakan yang parah pada egonya karena sejak lahir tidak mampu dan tidak tertarik menjadikan ibu atau orang-orang lain sebagai patner dalam melakukan eksplorasi terhadap dunia luar dan dunia dalamnya. Mereka juga mengalami regresi ke arah tahap kehidupan yang paling primitif serta menutup diri dari kehidupan yang menuntut respon-respon emosional dan sosial.

b. Teori Berpandangan Kognitif

(10)

Leslie, dan Uta Frith (Jordan, 1999; Frith, 2003). Berdasarkan pengamatan terhadap anak-anak autistik, mereka menetapkan hipotesis bahwa tiga kelompok gangguan tingkah laku yang tampak pada mereka (interaksi sosial, komunikasi, dan imajinasi) disebabkan oleh kerusakan pada kemampuan dasar manusia untuk “membaca pikiran”. Pada anak-anak normal, sejak usia empat tahun umumnya mereka sudah mengerti bahwa semua orang memiliki pikiran dan perasaan yang akan mengarahkan tingkah laku. Sebaliknya, anak-anak autistik memiliki kesulitan untuk mengetahui pikiran dan perasaan orang lain yang berakibat mereka tidak mampu memprediksi tingkah laku orang tersebut. Kondisi ini oleh Baron-Cohen disebut “mindblindness”, sementara Frith menjelaskannya dengan istilah “mentalizing” (Frith,2003).

c. Teori Berpandangan Neurologis

(11)

3. Autisme sebagai Gejala Neurologis

Pada tahun 1964 Bernard Rimland, menerbitkan buku tentang gangguan susunan saraf pusat pada anak autistik yang mengubah arah penelitian tentang penyebab autisme, yaitu dari penyebab psikologis menjadi penyebab neurologis. Sejak saat itu mulai dilakukan penelitian-penelitian pada otak individu autistik. Berbagai penelitian neurologis yang terdahulu ternyata tidak memberikan hasil yang konsisten. Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Hass dkk. (dalam Huebner & Lane, 2001) dan Courchesne (dalam Nash, 2002) menemukan suatu kesamaan yaitu adanya penurunan jumlah sel Purkinje pada hemisfer serebelum dan vermis. Penelitian lanjutan oleh Courchesne dkk. (Courchesne, Redcay, Morgan, & Kennedy, 2005) menghasilkan hipotesis baru. Para peneliti berpendapat bahwa pada saat lahir bayi autistik memiliki ukuran otak yang normal. Namun setelah mencapai usia dua atau tiga tahun, ukuran otak mereka membesar melebihi normal, terutama pada lobus frontalis dan otak kecil, yang disebabkan oleh pertumbuhan white matter dan gray matter yang berlebihan. Sementara sel saraf yang ada lebih sedikit dibandingkan pada otak normal dan kekuatannya juga lebih lemah. Kondisi inilah yang tampaknya berkaitan dengan gangguan pada perkembangan kognitif, bahasa, emosi dan interaksi sosial.

4. Autisme sebagai Sindrom

(12)

pada tahun 1970 (Happe, 1994). Tujuan survei ini adalah untuk menemukan ciri-ciri autisme yang selalu hadir secara bersamaan, dan bukan hanya merupakan kebetulan. Hasilnya, Wing memperkenalkan istilah “spektrum autistik” dengan triad impairments, yaitu sosialisasi, komunikasi, dan imajinasi (Frith, 2003; Sacks, 1995). Wing juga menekankan pada adanya kontinum autisme yang berkisar antara mereka yang berfungsi tinggi sampai dengan yang terbelakang.

5. Autisme sebagai Gejala Sensorik

(13)

Pada tahun 2004, sekelompok ahli yang dipimpin oleh Miller memodifikasi teori Integrasi Sensorik dan mengklasifikasikan gangguan pengolahan sensorik menjadi tiga kategori utama:

1. Gangguan Modulasi Sensorik (Sensory ModulationDisorder) 2. Gangguan Diskriminasi Sensorik (Sensory Discrimination

Disorder)

3. Gangguan Motorik Berbasis Sensorik (Sensory Based Motor Disorder)

Proses IS terjadi secara otomatis dan tidak disadari. Pada individu dengan integrasi sensorik yang baik, otak memiliki kemampuan untuk mengorganisasi dan memproses input sensorik serta menggunakan input tersebut untuk berespon secara tepat pada situasi khusus. Sebaliknya, pada individu dengan disfungsi sensorik, terjadi gangguan pada pencatatan dan interpretasi sensorik sehingga mengakibatkan masalah pada proses belajar, perkembangan, atau tingkah laku (Kranowitz, 2005).

2.3 Tipe-Tipe Autisme

1. Berdasarkan perilaku

Tipe-tipe autisme berdasarkan perilakunya dibedakan menjadi: a. Aloof adalah anak autis yang berusaha menarik diri dari kontak

sosial dengan orang lain dan lebihsuka menyendiri

b. Passive adalah anak autis yang hanya menerima kontak sosial tapi tidak berudaha untuk menanggapinya

(14)

2. Berdasarkan tingkat kecerdasan

Tipe-tipe autisme berdasarkan tingkat kecerdasannya dibedakan menjadi :

1. Low functioning (IQ rendah)

Anak autis tipe low functioning tidak dapat mengenal huruf dan membaca. Tuntutan yang paling penting adalah kemandirian yang bersifat basic life skills, misalnya cara menggunakan sabun, menggosok gigi dan sebagainya.

2. High functioning (IQ tinggi)

Anak autis tipe high functioning memiliki komunikasi yang baik, pintar, sangat senang dan berminat pada satu bidang, tetapi kurang berinteraksi sosial (tidak bisa bersosialisasi).

3. Berdasarkan munculnya gangguan

Tipe-tipe autisme berdasarkan munculnya gangguan dibedakan menjadi:

a. Autisme klasik adalah autisme yang disebabkan kerusakan saraf sejak lahir. Kerusakan saraf disebabkan oleh virus rubella (dalam kandungan) atau terkena logam berat (merkuri dan timbal).

(15)

2.4 Kriteria Diagnostik Autisme

APA (American Psychiatric Assosiation) telah menetapkan Kriteria diagnostik gangguan autism dalam DSM-IV, Mulyadi ( 2011) sebagai berikut:

A. Harus ada sedikitnya gejala dari (1), (2), dan (3):

1. Gangguan dalam interaksi sosial yang terwujud dalam minimal dua dari kriteria berikut:

a. Tampak jelas dalam penggunaan perilaku nonverbal seperti kontak mata, ekspresi wajah, bahasa tubuh.

b. Kelemahan dalam perkembangan hubungan dengan anak-anak sebaya sesuai dengan tahap perkembangan.

c. Kurang melakukan hal-hal atau aktivitas bersama orang lain secara spontan.

d. Kurangnya timbal balik sosial atau emosional.

2. Gangguan dalam komunikasi seperti terwujud dalam mengenal satu dari kriteria berikut:

a. Keterlambatan atau sangat kurangnya bahasa bicara tanpa upaya untuk menggantinya dengan geraka non verbal.

b. Pada mereka yang cukup mampu berbicara, hendaya yang tampak jelas dalam kemampuan untuk mengawali atau mempertahankan percakapan dengan orang lain.

c. Bahasa yang diulang-ulang atau idiosinkratik.

(16)

3. Perilaku atau minat yang diulang-ulang atau stereotip, terwujud dalam minimal satu dari kriteria berikut ini:

a. Preokupasi yang tidak normal pada objek atau aktifitas tertentu.

b. Keterikatan yang kaku pada ritual tertentu

c. Tingkah laku stereotip

d. Preokupasi yang tidak normal pada bagian tertentu dari suatu objek.

B. Keterlambatan atau keberfungsian abnormal dalam minimal satu dari bidang berikut, berawal sebelum usia 3 tahun: interaksi sosial, bahasa untuk berkomunikasi dengan orang lain, atau permainan imajinatif.

C. Gangguan yang tidak dapat dijelaskan sebagai gangguan Rett atau gangguan disintegratif dimasa kanak-kanak. Ciri-ciri gangguan autisme masa kanak-kanak :

1. Tidak mampu menjalin interaksi sosial yang memadai, seperti kontak mata sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, dan gerak-geriknya kurang tertuju.

2. Tidak dapat bermain dengan teman sebaya.

3. Tidak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain.

4. Kurangnya hubungan sosial dan emosional yang timbal-balik.

5. Bicara terlambat atau sama sekali tidak berkembang (tidak ada usaha untuk mengimbangi komunikasi dengan cara lain selain bicara).

6. Jika bisa bicara, bicaranya tidak dipakai untuk komunikasi.

7. Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang.

(17)

9. Mempertahankan satu permintaan atau lebih, dengan cara yang khas dan berlebihan.

10. Terpaku pada satu kegiatan rutin yang tidak ada gunanya.

11. Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan diulang-ulang.

12. Seringkali sangat terpukau pada benda.

13. Adanya keterlambatan atau gangguan dalam interaksi sosial, bicara dan berbahasa, dan cara bermain yang kurang variatif sebelum umur tiga tahun.

14. Tidak disebabkan oleh sindrom Rett atau gangguan disintegratif masa kanak-kanak. (Prasetyono, 2008)

2.5 Jenis-Jenis Terapi Autisme

Terapi perlu diberikan untuk membangun kondisi yang lebih baik. Terapi juga harus rutin dilakukan agar apa yang menjadi kekurangan anak dapat terpenuhi secara bertahap. Terapi perlu diberikan sedini mungkin sebelum anak berusia 5 tahun. Sebab, perkembangan pesat otak anak umumnya terjadi pada usia sebelum 5 tahun, puncaknya pada usia 2-3 tahun. Beberapa terapi yang ditawarkan oleh para ahli adalah sebagai berikut :

a. Applied Behavioral Analysis (ABA)

(18)

b. Terapi Wicara

Hampir semua anak dengan autisme mempunyai kesulitan dalam bicara dan berbahasa. Kadang-kadang bicaranya cukup berkembang , namun mereka tidak mampu untuk memakai bicaranya untuk berkomunikasi/berinteraksi dengan orang lain.

c. Terapi Okupasi

Hampir semua anak autistik mempunyai keterlambatan dalam perkembangan motorik halus. Gerak-geriknya kaku dan kasar, mereka kesulitan untuk memegang pinsil dengan cara yang benar, kesulitan untuk memegang sendok dan menyuap makanan kemulutnya, dan lain sebagainya. Terapi okupasi ini sangat penting untuk melatih mempergunakan otot-otot halus anak dengan benar. Pada terapi okupasi terapis menyediakan waktu dan tempat secara khusus kepada anak untuk belajar bagaimana cara yang benar memegang benda

d. Terapi Fisik

Autisme adalah suatu gangguan perkembangan pervasif. Banyak diantara individu autistik mempunyai gangguan perkembangan dalam motorik kasarnya. Kadang-kadang tonus ototnya lembek sehingga jalannya kurang kuat. Keseimbangan tubuhnya kurang bagus. Fisioterapi dan terapi integrasi sensoris akan sangat banyak menolong untuk menguatkan otot-ototnya dan memperbaiki keseimbangan tubuhnya.

e. Terapi Sosial

(19)

pada mereka untuk bergaul dengan teman-teman sebaya dan mengajari cara-caranya.

f. Terapi Integrasi Sensori

Anak autis memiliki kekurangan dalam kemampuan mengolah, mengartikan seluruh rangsangan sensoris yang diterima oleh tubuh maupun lingkungan dan menghasilkan respon yang terarah. Terapi integrasi sosial ini berfungsi meningkatkan kematangan susunana saraf pusat. Aktivitas terapi ini merangsang koneksi sinaptik yang lebih kompleks sehingga dapat meningkatkan kapasitas untuk belajar.

g. Terapi Bermain

International Association for Play Therapy (APT), sebuah asosiasi terapi bermain yang berpusat di Amerika, mendefinisikan terapi bermain sebagai penggunaan secara sistematik dari model teoritis untuk memantapkan proses interpersonal. Terapi bermain ini merupakan pemanfaatan pola permainan sebagai media yang efektif melalui kebebasan eksplorasi dan ekspresi diri. Bermain merupakan bagian masa kanak-kanak yang merupakan media untuk memfasilitasi ekspresi bahasa, ketrampilan komunikasi, perkembangan emosi, keterampilan sosial, keterampilan pengambilan keputusan dan perkembangan kognitif pada anak-anak. Bermain pada anak-anak seperti berbicara pada orang dewasa.

h. Terapi Perilaku

(20)

diberikan. Tetapi bila anak memberikan respon negatif atau tidak merespon sama sekali maka anak tersebut tidak mendapatkan reinforcement postif yang disukai. Tujuan terapi ini adalah untuk meningkatkan pemahaman dan kepatuhan anak terhadap aturan.

i. Terapi Perkembangan

Beberapa terapi perkembangan adalah Floortime, Son-rise dan RDI (Relationship Developmental Intervention)

1. Floortime dilakukan oleh orangtua untuk membantu melakukan interaksi dan kemampuan bicara

2. RDI mencoba membantu anak autis menjalin interaksi positif dengan orang lain meskipun tanpa menggunakan bahasa. 3. Son-rise merupakan terapi untuk mempelajari minat anak,

kekuatannya dan tingkat perkembangannya, kemudian ditingkatkan kemampuan sosial, emosional dan Intelektualnya.

j. Terapi Visual

Individu autistik lebih mudah belajar dengan melihat (visual learners/visual thinkers). Hal inilah yang kemudian dipakai untuk mengembangkan metode belajar komunikasi melalui gambar-gambar, misalnya dengan PECS (Picture Exchange Communication System). Beberapa video games bisa juga dipakai untuk mengembangkanketerampilan komunikasi.

k. Terapi Biomedik

(21)

pemeriksaan, darah, urin, feses, dan rambut. Semua hal abnormal yang ditemukan dibereskan, sehingga otak menjadi bersih dari gangguan. Ternyata lebih banyak anak mengalami kemajuan bila mendapatkan terapi yang komprehensif, yaitu terapi dari luar dan dari dalam tubuh sendiri (biomedis).

l. Terapi Musik

Terapi musik adalah terapi menggunakan musik untuk membantu seseorang dalam fungsi kognitif, psikologis, fisik, perilaku dan sosial yang mengalami hambatan maupun kecacatan.terapi musik memiliki manfaat sebagai berikut :

1. Memperbaiki self-awareness

2. Meningkatkan hubungan sosial, penyesuaian diri, lebih mandiri dan peduli dengan orang lain

3. Mangakomodasi dan membangun gaya komunikasi 4. Membangun identifikasi dan ekspresi emosi yang sesuai

m. Terapi Medikamentosa

(22)

n. Terapi Melalui Makanan

Terapi melalui makanan (diet therapy) diberikan pada anak-anak dengan masalah alergi makanan tertentu. Terapi ini memberikan solusi tepat bagi orangtua untuk menyiasati menu yang cocok dan sesuai bagi anaknya sesuai dengan petunjuk ahli mengenai gizi makanan. Diet yang sering dilakukan pada anak autis adalah GFCF (Glutein Free Casein Free). Penderita autisme memang tidak disarankan untuk mengasup makanan dengan kadar gula tinggi. Hal ini berpengaruh pada sifat hiperaktif sebagian besar dari mereka.

o. Terapi Air (Hydrotherapy)

Berenang adalah latihan yang terbaik untuk penyandang autisme dan disfungsi integrasi sensori. Anak-anak pada umumnya menyukai aktivitas yang dilakukan di dalam air dan dapat meningkatkan hubungan sosial yang normal. Integrasi sensori membuat penderita merasa tertantang untuk mempelajari aktivitas yang pada mulanya di luar kemampuan mereka.

p. Terapi Kasih Sayang

(23)

3. Kerangka teori

Gambar 1. Kerangka teori

4. Kerangka konsep

Varaibel Independen Variabel Dependen

Gambar 2. Kerangka Konsep Kriteria diagnostik Faktor

penyebab

Autisme

Terapi

Komunikasi anak autis

Otoritatif Otoriter

Permisive Pola asuh

Orangtua

Pola asuh orangtua Komunikasi anak autis

(24)

5. Hipotesis

(25)

Gambar

Gambar 1. Kerangka teori

Referensi

Dokumen terkait

Penderajatan utk NSCLC ditentukan menurut International Staging System For Lung Cancer berdasarkan sistem TNM. Pengertian T tumor yg dikatagorikan atas

Fungsi dari aplikasi ini adalah untuk memasukan data barang masuk dan data barang keluar , pada aplikasi ini proses penginputan data barang dilakukan dengan cara memasukan

Ibnu Khaldun (1332-1406 M) melihat peradaban sebagai organisasi sosial manusia, kelanjutan dari proses tamaddun (semacam urbanisasi), lewat ashabiyah (group feeling),

pada penelitian ini berdasarkan tabel 9 terdapat data yang tidak sesuai dengan teori dimana pada perilaku pencegahan kategori kurang ada 1 responden (1.3%)

Di dalam sistem ini, pemain dapat melihat hasil kerjanya dalam permainan ini yang berupa Trophy yang diperoleh dari pencapaiannya di Story Mode dan juga High Score yang

(1) Kepala Bidang Pendapatan Asli Daerah melaksanakan tugas membantu Kepala Dinas dalam menyusun dan melaksanakan kebijakan pemungutan pendapatan daerah dari pajak dan

Bahwa Perawatan Metode Kanguru (PMK) adalah salah satu intervensi yang dapat dilakukan dalam mengurangi kematian neonatal pada bayi dengan Berat Badan

Topik yang diangkat dalam peelitian ini adalah pengaruh iklim komunikasi organisasi dan kepuasan kerja karyawan terhadap motivasi kerja karyawan di PT PLN (PERSERO) WILAYAH