• Tidak ada hasil yang ditemukan

profil lembaga negara rumpun legislatif

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "profil lembaga negara rumpun legislatif"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)

DAFTAR ISI

hal Pengantar Deputi Menteri Sekretaris Negara Bidang Hubungan Kelembagaan dan Kemasyarakatan ………

TEORI-TEORI LEMBAGA PERWAKILAN ……….. 5 1. Varian Pemikiran Tentang Perwakilan Politik ……….

a. Thomas Hobbes (1588-1679) Dalam Bukunya “Leviathan”… b. John Locke (1632-1704) Dalam Bukunya ’’Two Treatise On

Government’’……….. c. Montesquieu (1689-1755) Dalam Bukunya “Del L’esprit Des

Lois’’……… d. Jean Jacques Rousseau (1712-1778) Dalam Bukunya “The Social

Contract”……….

(5)

g. Direct committee government (Pendelegasian Komisi) ……….. h. The Legislative veto ……….

13

13

3. Tinjauan Sistem Bikameral ……….. 4. Perwakilan Politik Di Indonesia ..………

13

16

BAB II

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT ……….. 21 1. Sejarah Singkat ………...

2. Dasar Hukum ……….... 3. Susunan dan Kedudukan ………. 4. Tugas dan Kewenangan ………

5. Keanggotaan ………..

a. Mekanisme Perubahan UUD NRI Tahun 1945 ...

b. Mekanisme impeachment/pemberhentian Presiden ……….. c. Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Hasil Pemilihan

Umum……….………..

d. Pelantikan Wakil Presiden Menjadi Presiden ………... e. Pemilihan dan Pelantikan Wakil Presiden ………. f. Pemilihan dan Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden ………...

(6)

8. Hak-Hak Anggota MPR ………... 9. Persidangan dan Pengambilan Keputusan ………. 10.Kesekretariatan Jenderal MPR ………...

37

38

40

BAB IV

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT ……… 41

1. Sejarah Singkat ………..

2. Dasar Hukum ………

3. Kedudukan dan Susunan ………. 4. Fungsi dan Kewenangan Lembaga ………..

5. Keanggotaan ……….

(7)

o. Badan Legislasi DPR RI ………... p. Badan Anggaran ………... q. Badan Urusan Rumah Tangga ………... r. Badan Kerja Sama Antar Parlemen ...

s. Badan Kehormatan DPR RI ...

t. Badan Akuntabilitas Keuangan Negara ...

u. Panitia Khusus DPR RI ……… 7. Mekanisme Penyusunan Peraturan Perundang-undangan ... 8. Mekanisme Penetapan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara ………... 9. Mekanisme Pengawasan DPR RI ……… 10.Hak-Hak DPR RI ……… 11.Persidangan dan Pengambilan Keputusan ... 12.Kesekretariatan Jenderal ...

DEWAN PERWAKILAN DAERAH ……… 89

1. Sejarah Singkat ……….

2. Dasar Hukum ………

3. Susunan dan Kedudukan ……… 4. Tugas, Fungsi dan Kewenangan Lembaga ………

5. Keanggotaan ………..

6. Alat Kelengkapan ……….

a. Pimpinan ……….

b. Panitia Musyawarah (Panmus) ………

c. Komite-komite ………

d. Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) ... e. Panitia Urusan Rumah Tangga (PURT) ...

(8)

f. Panitia Khusus (Pansus) ... g. Badan Kehormatan (BK) ... h. Panitia Akuntabilitas Publik (PAP) ... i. Panitia Hubungan Antar-Lembaga (PHAL) ... j. Pimpinan Kelompok DPD di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) ... 7. Ruang Lingkup Lembaga ... 8. Hak-Hak Anggota ... 9. Persidangan dan Pengambilan Keputusan ... 10.Kesekretariatan Jenderal ...

104

105

106

107

108

108

112

114

123

BAB VI

(9)

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Derasnya dorongan demokratisasi yang melanda Indonesia di penghujung milenium ke-2 tahun masehi, ternyata telah mampu menghadirkan perubahan yang signifikan di segala bidang. Tidak lepas dari itu, sejarah juga mencatat bahwa sistem ketatanegaraan kita telah mengalami perubahan secara fundamental, hal ini terpantul dari hasil amandemen UUD Negara RI Tahun 1945 yang telah dilakukan sebanyak 4 kali. Amandemen tersebut, menegaskan setidaknya pada tiga hal, pertama, adanya dukungan yang kuat terhadap cita-cita negara hukum dan demokrasi; kedua, adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia yang dinyatakan secara eksplisit dan rinci; dan ketiga, adanya perubahan struktur ketatanegaraan yang terlihat pada lembaga-lembaga pelaksana cabang kekuasaan negara, sehingga cenderung berdiri di atas kepentingan rakyat dan betul-betul mencerminkan kedaulatannya (Zoelva, 2007). Dengan demikian, nilai-nilai kedaulatan rakyat -yang juga sebagai nilai demokrasi- dapat lebih dibumikan dan dilaksanakan secara nyata.

Seiring dengan itu, adanya perubahan lembaga-lembaga perwakilan rakyat sebagai cermin pelaksanaan kedaulatan rakyat, merupakan keniscayaan yang kemudian hadir. Tidak seperti masa sebelumnya, dalam hal kelembagaan negara ini, setidaknya terdapat beberapa perubahan mendasar pada rumpun kelembagaan legislatif yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat RI (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat RI (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah RI (DPD).

(10)

Proses dan mekanisme pembuatan undang-undang antara DPR dan Presiden yang diatur dalam pasal 20 ayat 2, 3, 4 dan 5, menyatakan setiap rancangan undang-undang harus dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama (ayat 2), jika rancangan itu tidak mendapat persetujuan bersama, maka rancangan undang-undang itu tidak dapat diajukan lagi pada masa persidangan itu (ayat 3). Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama, (ayat 4) dan apabila Presiden dalam waktu tiga puluh hari setelah rancangan undang itu disetujui bersama, undang itu sah menjadi undang-undang dan wajib diundang-undangkan. Disamping perubahan tersebut, terdapat pula beberapa penguatan lain yang dilakukan untuk mempertegas tiga fungsi DPR, yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.

Konstruksi UUD Negara RI Tahun 1945 pasca amandemen IV, juga mengamanatkan lembaga baru dalam rumpun legislatif, yaitu DPD RI. Kehadiran DPD mengandung makna bahwa sekarang ada lembaga yang mewakili kepentingan lintas golongan atau komunitas yang sarat dengan pemahaman akan budaya dan karakteristik daerah. Para wakil daerah bukanlah wakil dari suatu komunitas atau sekat komunitas di daerah (antara lain yang berbasis ideologi atau parpol), melainkan figur-figur yang bisa mewakili seluruh elemen yang ada di daerah. Dengan sendirinya, para wakil daerah baru bisa dikatakan “sungguh-sungguh berada di atas kepentingan golongan” apabila yang bersangkutan benar-benar memahami apa yang menjadi muatan daerah yang diwakilinya (komunitas berikut budaya dan ruhnya, geografisnya, kandungan buminya, dan sebagainya), dan sekaligus harus terbebas dari semua sekat ideologis.

DPD memiliki kekhasan karena anggotanya merupakan wakil-wakil daerah dari setiap provinsi. Tidak ada pengelompokan anggota (semacam fraksi di DPR), anggota DPD merupakan orang-orang independen yang bukan berasal dari partai politik atau politisi profesional tetapi berasal dari berbagai latar belakang misalnya sebagai pengacara, guru, ulama, pengusaha, tokoh Ormas atau LSM, serta ada beberapa anggota DPD yang mantan menteri, gubernur, bupati/walikota, dan lain-lain.

(11)

menunjukan bahwa MPR dipandang sebagai lembaga perwakilan rakyat karena keanggotaannya dipilih dalam pemilihan umum. Unsur anggota DPR untuk mencerminkan prinsip demokrasi politik sedangkan unsur anggota DPD untuk mencerminkan prinsip keterwakilan daerah agar kepentingan daerah tidak terabaikan. MPR memang tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi, karena prinsip kedaulatan rakyat tidak lagi diwujudkan dalam kelembagaan MPR tapi oleh UUD Negara RI Tahun 1945 [Pasal 1 ayat (2)]. Namun demikian adanya perubahan posisi MPR dari lembaga tertinggi menjadi lembaga tinggi ini membuat semua lembaga negara sama kedudukannya, fungsi dan kewenangannya sudah jelas seperti dalam UUD. Kerangka yang dibangun antarlembaga adalah checks and balances.

Berdasarkan hal-hal tersebutlah, maka tulisan ini akan melihat lebih jauh kelembagaan negara dalam rumpun legislatif, baik dari sisi normatif maupun praktek yang telah dijalankan dalam penyelenggaraan kewenangannya.

2. Tujuan Penulisan

Penulisan buku ini dilakukan untuk mencapai hal-hal sebagai berikut:

1. Memberikan gambaran teori-teori lembaga perwakilan.

2. Mendiskripsikan tentang sejarah singkat lembaga-lembaga negara rumpun legislatif.

3. Memberikan gambaran tentang keberadaan lembaga-lembaga negara 4. Menjelaskan tentang fungsi dan kewenangan yang menonjol dari

(12)
(13)

BAB II

TEORI-TEORI LEMBAGA PERWAKILAN

Sejarah direct democracy (perwakilan langsung) telah mulai di perbincangkan dalam kehidupan non-politik sejak Yunani kuno, namum pembahasan dalam bentuk konsep telah dimulai pada awal abad ke 14. Thomas Hobbes pada tahun 1965 menerbitkan Leviathan untuk membahas masalah perwakilan politik secara filisofis dan pada abad ke 18 studi yang berpengaruh sampai dewasa ini diantaranya antara lain karena teori kemandirian wakil yang di kemukan oleh Edmun Burke tahun 1779. Karya Burke (dimana wakil bebas bertindak dan menentukan sikapnya terhadap wakil) dianggap sebagai permulaan studi kasik terhadap perwakilan politik, disusul oleh sejumlah peneliti mulai dari John Stuart Mill (1861) sampai dengan Karl Loewenstein (1922). Studi yang lebih mendalam dilakukan oleh Alfred de Grazia (1968) dan Pitkin (1957) sudah lebih mendalam tentang perwakilan politik. (Sanit, 1985).

Perwakilan politik sebagai sebuah praktek telah lama berlangsung dalam kehidupan bernegara jauh sebelum teori-teori perwakilan itu lahir, perwakilan politik telah lahir dan di laksanakan oleh beberapa negara dan bangsa sejak zaman dahulu mulai dari zaman Yunani kuno, Romawi dan juga pada Zaman Islam ketika Nabi Muhammad Masih hidup. Pada zaman Yunani kuno masyarakat hidup dalam suatu negara yang di sebut dengan polis, dimana konsep perwakilan pada saat itu dilaksanakan secara langsung, karena jumlah masyarakat yang relatif sedikit dan wilayah yang tidak terlalu luas. Begitu juga pada zaman romawi kuno.

(14)

saat ini. Sementara dalam konteks perwakilan pada zaman rasulullah hanya membicarakan hal-hal yang sifatnya sangat dalam konteks duniawi seperti peperangan, perekonomian negara yang kesemua itu dilaksanakan dan diputuskan jika ketentuannya tidak ada dalam Al Qur’an dan Sunnah Rosul.

Indirect Democracy (Perwakilan Tidak Langsung). Pandangan Rousseau yang berkeinginan untuk berlangsung demokrasi langsung sebagaimana pelaksanaannya pada zaman Yunani kuno. Kenyataanya sulit untuk dipertahankan lagi. Faktor-Faktor seperti luasnya suatu wilayah negara, populasi penduduk yang sangat cepat, makin sulit dan rumitnya masalah politik dan kenegaraan, serta kemajuan ilmu dan teknologi merupakan persoalan yang menjadi kendala untuk melaksanakan demokrasi langsung pada era globalisasi sekarang.

Sebagai ganti dari gagasan Rousseau maka lahirlah demokrasi tidak langsung (indirect democracy), yang disalurkan melalui lembaga perwakilan atau yang dikenal dengan parlemen. Kelahiran parlemen ini pada dasarnya bukan karena gagasan dan cita-cita demokrasi tapi karena kelicikan sistem feodal.

Pada abad pertengahan yang berkuasa di Inggris adalah raja-raja/bangsawan yang sangat feodalistis (monarchi feudal). Dalam kerajaan yang berbentuk feodal, kekuatan berada pada kaum feodal yang berprofesi sebagai tuan tanah yang kaya (pengusaha). Mereka tidak hanya kaya, mempunyai tanah yang luas tapi mereka juga menguasai orang-orang yang ada dalam lingkaran kekuasaan (kerajaan). Apabila pada suatu saat menginginkan raja mengingkan penambahan tentara dan pajak maka para raja akan mengirimkan utusan untuk menyampaikan keinginannya dan maksud pada tuan tanah (Lord). Lama kelamaan praktek semacam ini menurut raja tidak layak sehingga timbul pemikiran untuk memanggil mereka ke pusat pemerintahan sehingga kalau raja menginginkan sesuatu makan raja tinggal memanggil mereka. Sebagai konsekwensinya raja harus membentuk suatu badan/lembaga yang terdiri dari pada lord, dan kemudian ditambah dengan para pendeta. Tempat ini menjadi tempat meminta nasehat raja dalam rangka masalah-malasalah kenegaraan terutama yang berhubungan dengan pajak. Secara pelan tapi pasti lembaga ini menjadi permanen yang kemudian disebut “Curia Regis” dan kemudian menjadi House of Lords seperti sekarang (Boboy, 1994).

(15)

mempunyai kekuasaan yang sangat besar, maka raja berkehendak untuk mengurangi kekuasaan dan hak-hak mereka, akibatnya timbul pertikaian antara raja dan kaum ningrat (lords), dengan bantuan rakyat dan kaum borjuis kepada kaum ningrat maka raja mengalah, akibatnya hak-hak raja dibatasi. Karena rakyat dan kaum menengah yang menjadi korban manakala raja bikin kebijakan (penaikan pajak) maka rakyat minta agar rakyat mempunyai wakil dan diminta pendapat dan keterangannya sebelum sebuah kebijakan dibuat. Karena yang pada awalnya kalangan yang duduk dalam House of Lord didukung oleh para rakyat dan kaum menengah yang akhirnya kaum ningrat mendapatkan kemenagan, maka sejak saat itu pula kedudukan rakyat dan kaum menengah menjadi kuat. Sebagai bagian dari perwujudan agar terbentuk perwakilan rakyat maka lahirlah apa yang disebut Magnum Consilium, yang terdiri dari para wakil rakyat yang akhirnya disebut House of Commons sampai sekarang. (Boboy,1994)

Perkembangan selajutnya adalah bahwa House of Commons mempunyai kekuatan yang semakin bertambah. Mereka dapat membebaskan para menteri (perdana menteri) yang mereka tidak sukai walaupun tidak berbuat kejahatan untuk turun dari kekuasaan, kekuasaan yang demikian dilakukan dengan mengajukan “mosi tidak percaya” yang dapat mengakibatkan jatuh dan mundurnya sebuat kabinet dan itu berlangsung sampai sekarang. Dalam konstitusi Inggris yang labih berkuasa adalah House of Lord yang dipilih melalui pemilihan umum sedangkan House of Lord adalah kumpulan para lord yang terdiri dari para orang-orang yang ditunjuk dan turun-temurun.

Ruang Lingkup Studi Perwakilan Politik Studi perwakilan politik terpusat kepada lima pokok masalah perwakilan politik yaitu: konsepsi, idiologi, pemilihan umum dan lembaga perwakilan (Sanit,1985).

1. Varian Pemikiran Tentang Perwakilan Politik

a. Thomas Hobbes (1588-1679) Dalam Bukunya “Leviathan”

(16)

majelis (dewan perwakilan) juga merupakan bentuk sejati dari penyerahan hak dan kekuasaan manusia untuk memerintah dirinya sendiri dalam sebuah komunitas bersama (politik).

Namun demikian, majelis pun harus dikenakan syarat yaitu ia harus menyerakan hak kekuasaannya pada manusia-manusia yang telah memandatkannya, apabila terjaadi perusakan moral majelis. Kekuasaan majelis bersifat “absolut” karena keterikatan (perjanjian) sosial yang dibangun didasarkan atas penyerahan hak yang dominan dari manusia-manusia kepada majelis dan bukan sebaliknya. Karenanya, majelis (dan juga penguasa politik yang dimandatkan oleh perjanjian) dapat menggunakan segala cara, termasuk kekerasan untuk menjaga ketenteraman dan ketertiban. Penguasa harus menjadi “leviathan” (binatang buas).

Idealnya, kekuasaan oleh satu majelis lebih baik dijalankan oleh satu orang (center of power), karena jalan satu-satunya untuk mendirikan kekuasaan ialah dengan menyerahkan kekuasaan dan kekusaan seluruhnya kepada satu orang. Sejatinya dewan rakyat/majelis (perwakilan) dipegang oleh penguasa negara, sehingga aspirasi kepentingan rakyat akan cepat terselesaikan daripada menunggu kerja majelis yang penuh dengan perbantahan.fokusnya majelsis berada dalam “heredity power.”

b. John Locke (1632-1704) Dalam Bukunya ’’Two Treatise On Government’’.

Manusia-manusia pastilah memiliki berbagai macam kepentingan dan aspirasi kehidupan yang perlu untuk disampaikan, termasuk untuk melindungi dirinya sendiri. Dalam jumlah yang besar, maka tidak akan mungkin menyampaikan aspirasi tersebut secara satu persatu. Manusia-manusia membentuk “masyarakat’’ (society) yang dibentuk berdasarkan perjanjian bersama. Kekuasaan “masyarakat” adalah supreme of power.

(17)

pada rakyat secara keseluruhan, karenanya dibuatlah undang-undang/hukum untuk megawasi tugas “masyarakat.”

“Masyarakat” terikat oleh ketentuan-ketentuan yang melarannya berbuat sewenang-wengan dan tidak boleh menyerahkan hak legislatif yang diperolehnya dari rakyat keseluruhan kepada pihak lain. Kekuasaan politik yang diwakilkan rakyat kepada suprame of power (masyrakat) adalah berdasarkan kepada keprcayaan (trust), basisutamanya adalah kepercayaan rakyat terhadap penguasa untuk melindungi rakyat.Kemungkinan munculnya absolutisme akan dapat dihindari apabila ’’masyarakat’’ dan konstitusi membuat batasan kewenangan yang dimiliki oleh penguasan politik, karena pada hakekatnya kekuasaan adalah suatu perjanjian sosial.

c. Montesquieu (1689-1755) Dalam Bukunya “Del L’esprit Des Lois’’ Kekuasaan yang menampung,membicarakan dan memperjuangkan keterwakilan kepentingan rakyat banyak serta merumuskan peraturan adalah “legislatif’. Mutlak perlu dibentuk legislatif sebagai perwakilan rakyat agar pembicaraan yang menyangkut kepentingan masyarakat banyak akan bisa dipenuhi, tanpa perwakilan, maka yang terjadi adalah suara minoritas (minority sounds) hal yang mudah ditaklukkan oleh mayoritas kekuasaan.

Dewan rakyat (legislatif) merupakan mediator antara rakyat dan penguasa, menjadi komunikator dan agregator aspirasi dan kepentingan rakyat banyak. Realitanya, masyarakat terdiri atas kelas utama yaitu rakyat pada umumnya dan kaum bangsawan. Karenanya dalam lembaga perwakilan harus dibagi dalam dua kamar (two chambers) yaitu rakyat umum dan kaum bangsawan. Masing-masing mempunyai hak veto yang dibuat tiap kamar.

(18)

d. Jean Jacques Rousseau (1712-1778) Dalam Bukunya “The Social Contract”

Pada dasarnya, manusia tidak dapat hidup sendiri secara perseorangan, ia tidak mampu untuk mengatur hidupnya sendiri di tengah komunitasnya,maka diperlukan legislator. Legislator adalah tokoh masyarakat yang diamanatkan oleh rakyat perorangan untuk membuat perlindungan politik terhadapnya. Negara merupakan produk dari perjanjian sosial (kontrak sosial) antara rakyat dan penguasa/dewan rakyat. Rakyat bisa menarik mandatnya, apabila dirasakan penguasa/dewan rakyat telah menyimpang dari kewenangannya.

Legislator ini bertindak sebagai penyampai aspirasi/kepentingan dari rakyat kepada sang penguasa. Begitu beratnya tugas legislator, maka ia adalah sesorang yang “mahatahu” dan pembentuk dasar hukum untuk negara yang bersangkutan. Kekuasaan legislatif (lembaganya para legislator) harus senantiasa berada ditangan rakyat secara keseluruhan. Legislatif terbentuk atas dasar dua prinsip, yaitu moral dan semangat kolektif. Lembaga perwakilan ini menjadi satu-satunya yang paling handal dalam mewakili aspirasi kepentingan politik rakyat bukannya eksekutif. Eksekutif hanyalah sekedar pegawai-pegawai biasa saja yang melayani kepentingan rakyat.

2. Fungsi Lembaga Perwakilan

Konsep perwakilan politik tidak dapat terpisahkan dengan konsep badan perwakilan rakyat. Lembaga ini dibangun oleh para wakil rakyat dengan fungsi utama merealisasikan kekuasaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Terdapat dua peran utama dari Dewan Perwakilan Rakyat, yaitu:

(19)

b. Badan legislatif adalah merupakan badan perwakilan rakyat (a representative assembly), yang dipilih untuk membantu menghubungkan antara konstituen dan pemerintahan nasional.

Dua peran ganda tersebut melekat dalam masing-masing anggota Dewan. Oleh karenannya setiap anggota dewan dituntut untuk mampu menyeimbangkan antara fungsi legislatif (perundang-undangan) dan fungsi perwakilan. Artinya disatu sisi dia harus meujudkan tujuan nasional sementara pada sisi yang lain dituntut untuk mewakili konstituennya dari daerah pemilihan dia. Dua fungsi ini sama-sama berat dan pentingnya. Hanya anggota DPR yang memliki integritas dan kemampuan yang baik yang mampu melaksanaakan keduanya.

Napitupulu (2005) mengutif pendapat Burns (1989) menyebutkan, secara teori bahwa Lembaga Perwakilan Rakyat setidaknya memiliki 6 (enam) fungsi:

a. Representasi (Perwakilan)

b. Lawmaking (Pembuatan UU)

c. Consensus building (Membangun consensus)

d. Overseeing (Pengawasan)

e. Policy Clarification (Klarifikasi kebijakan)

f. Legitimizing (Memberikan legitimasi)

Teoritisi lain, Calvin Mackenzie (1986) menyebutkan bahwa lembaga perwakilan rakyat memiliki tiga fungsi seperti:

a. Legislation (Pembuatan UU)

b. Representasion (Perwakilan)

c. Administrative oversight (Pengawasan)

Theodore J. Lowi dan Benjamin Ginsberg (1990) membagi beberapa fungsi Lembaga Perwakilan Rakyat sebagai:

a. Representatives as agents (Perwakilan Politik)

(20)

konstituennya dalam berbagai permasalahan yg dihadapi. Oleh karenanya ia harus siap mendengar dan menampung keluh kesah konstituennya.

b. Direct patronage (Pelindungan langsung)

Dalam hal ini anggota dewan dapat memberikan perlindungan yang dirasakan langsung oleh konstituennya. Artinya anggota dewan dapat bertindak mengintervensi pemerintah atas nama konstituennya apabila dihadapkan pada kepentingan masyarakat, atau adanya kebijakan pemerintah yang dirasakan merugikan masyarakat konstituennya.

c. Statutes (The making of laws/Pembuatan UU)

Lembaga perwakilan rakyat memiliki fungsi merumuskan dan membuat UU, baik atas usul pemerintah maupun atas inisiatif dari lembaga perwakilan sendiri.

d. Oversight (Pengawasan)

Menjalankan fungsi pengawasan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang dijalankan agar tidak bertentangan dengan garis-garis poltik yang telah ditetapkan oleh DPR. Dalam menjalankan fungsi pengawasan ini, anggota dean diberikan hak untuk bertanya, melakukan penyeleidikan atau investigasi atas kebiajakan pemerintah yg dianggap terjadi penyimpangan. Fungsi pengawasan ini dilakuan dengan cara kuestioner atau melalui bertanya langsung kepada konstituennya atas kebijakan pemerintah tersebut.

e. Advice and consent: special power of legislators

(21)

f. Debate (Dialog/argumentasi)

Dalam hal ini Lembaga Perwakilan Rakyat memiliki fungsi untuk bertanya secara detail dan menguji keseriusan eksekutif adalam hal poses legislasi (merumuskan/menetapkan UU atau kebijakan) yang diajukan oleh pihak eksekutif.

g. Direct committee government (Pendelegasian Komisi)

Fungsi ini mengacu kepada praktek pendelegasian kekuasaan legislatif tertentu dari Lembaga Perwakilan Rakyat kepada salah satu dari komisi-komisinya. Misalnya, setiap anggota fraksi dalam komisi, ia dapat menyetujui atau tidak menyetujui atas sebuah proyek yang dilaksanakan oleh pemerintah, karena ia telah ditugaskan dalam komisi tersebut. Pelaksanaan fungsi ini dilaksanakan tidak harus kembali bertanya kepada Lembaga Perwakilan Rakyat (pimpinan lembaga) untuk otorisasi (Kewenangan) maupun apropriasi (persetujuan).

h. The Legislative veto

Fungsi ini merupakan salah satu cara dari legislatif dalam membuat UU secara tidak langsung. Dalam hal ini legislatif memberikan kepada presiden kekuasaan untuk mereorganisasi badan atau departemen pemerintah. Badan legislatif dapat memveto (memutuskan) usulan presiden untuk dijadikan UU (peraturan) manakala dewan beranggapan bahwa usulan presiden tersebut penting dan menyangkut kepentingan rakyat.

Berdasarkan keseluruhan uraian di atas nampak bahwa banyak sekali fungsi yang dimiliki oleh lembaga perwakilan rakyat. Tentunya keberlakuan fungsi lembaga perwakilan rakyat ini akan berbeda antara negara satu dengan yang lainnya, dan ini sangat dipengaruhi oleh sistem politik yang dipergunakan.

3. Tinjauan Sistem Bikameral

(22)

dikenal juga sebagai House of Representatives. Majelis yang anggotanya dipilih atau diangkat dengan dasar lain (bukan jumlah penduduk), disebut sebagai majelis kedua atau majelis tinggi dan di sebagian besar negara disebut sebagai Senate. Kecuali dalam periode yang pendek pada masa RIS di tahun 1950, Indonesia selalu menganut sistem unikameral, maka posisi dan konsep keberadaan majelis kedua dalam sistem perwakilan tidak mudah dapat dicerna dan dipahami oleh masyarakat termasuk banyak para elit politik dan kaum intelektual di Indonesia.

Seperti pemilihan presiden langsung, juga Pilkada langsung, yang pada awalnya banyak yang menentang dan meragukan apakah cocok untuk diterapkan di Indonesia, demikian juga dengan DPD. Banyak yang mempertanyakan apakah lembaga perwakilan seperti DPD cocok untuk negara kesatuan seperti Indonesia, bukankah sistem seperti itu hanya cocok untuk negara federal? Ada juga yang merasa khawatir bahwa proses pembuatan undang-undang bisa menjadi terhambat kalau harus melibatkan dua lembaga perwakilan. Karena selama ini Indonesia tidak menganut sistem bikameral tentu jawabannya tidak bisa diperoleh dari pengalaman sendiri. Jawaban yang paling mendekati dan obyektif adalah dengan mempelajari bagaimana selama ini sistem itu diterapkan di negara-negara lain.

Sebagai referensi, dapat melihat hasil studi yang dirangkum oleh IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance). Diindikasikan bahwa dari 54 Negara yang dianggap sebagai negara demokrasi, sebanyak 32 negara memilih bikameral, sedangkan 22 negara memilih unikameral. Berarti di sebagian besar negara yang menganut paham demokrasi, sistem bikameral dianggap lebih cocok. Dari 32 negara yang memiliki sistem bikameral tersebut, 20 diantaranya adalah negara kesatuan. Maka berarti bahwa sistem bikameral tidak hanya berlaku di negara yang menganut paham federal. Negara demokrasi dengan jumlah penduduk besar umumnya memiliki dua majelis (kecuali Bangladesh). Semua negara demokrasi yang memiliki wilayah luas juga memiliki dua majelis (kecuali Mozambique).

(23)

tersebut, 5 negara menerapkan sistem parlemen bikameral, yaitu masing-masing Malaysia, Philipina, Kamboja, Thailand (sebelum kudeta militer), dan terakhir Indonesia. Sistem bikameralisme Indonesia memang mengalami perdebatan panjang selama proses sidang-sidang MPR lalu, namun fakta menunjukkan bahwa telah lahir lembaga legislatif kamar kedua di Indonesia yaitu DPD yang mengindikasikan bahwa Indonesia merupakan satu diantara lima negara dengan sistem bikameral tersebut.

Dalam “manajemen politik” seperti juga dalam bidang administrasi publik maupun bisnis, ada faktor rentang kendali yang perlu dipertimbangkan (span of control). Demikian pula dengan negara sebagai suatu unit manajemen negara, maka Indonesia sebagai negara demokrasi baru, yang besar penduduknya dan besar wilayahnya adalah yang terakhir memilih sistem bikameral.

Di sebagian besar negara para anggota mewakili negara bagian, provinsi atau wilayah perwakilan dengan jumlah yang sama. Di sebagian negara lagi jumlahnya proporsional terhadap jumlah penduduk, sedangkan di sebagian lainnya merupakan kombinasi dari kedua kriteria tersebut. Namun ada pula yang dipilih secara nasional (tidak mewakili daerah), atau diangkat atas dasar pertimbangan lain. Keanggotaan majelis tinggi dibatasi dalam periode tertentu, ada yang sama dengan periode DPR namun banyak pula yang berbeda.

Sistem bikameral juga mencerminkan prinsip checks and balances bukan hanya antar cabang-cabang kekuasaan negara (legislatif, eksekutif, yudikatif) tapi juga di dalam cabang legislatif itu sendiri. Dengan demikian maka sistem bikameral dapat lebih mencegah terjadinya tirani mayoritas maupun tirani minoritas (Patterson and Mughan: 1999).

(24)

Pada umumnya, legitimasi dari majelis tinggi menentukan kuat lemahnya sistem bikameral di suatu negara. Legitimasi ditentukan oleh keterlibatan warga negara dalam pemilihan anggota majelis. Majelis yang langsung dipilih oleh rakyat mempunyai legitimasi yang tertinggi, makin tidak langsung, makin kurang legitimasinya. Ada hubungan sistemik antara tingkat legitimasi dengan kewenangan formal yang diberikan kepada majelis tinggi. Makin tinggi legitimasinya, makin kuat kewenangannya, contohnya seperti Amerika Serikat, Swiss, Italia, Filipina (Mastias dan Grange:1987). Dengan konsep tersebut, maka Indonesia merupakan sebuah “anomali” karena dengan definisi legitimasi di atas, lembaga DPD mempunyai legitimasi yang sangat tinggi, yang seharusnya memiliki kewenangan formal yang tinggi pula, tetapi dalam kenyataan kewenangan formalnya sangat rendah. Dengan demikian bisa dilihat bahwa Indonesia merupakan satu-satunya negara dengan sistem bikameral yang anggota-anggotanya dipilih langsung, dan karenanya memiliki legitimasi tinggi, tetapi kewenangannya amat rendah.

Masalah yang seringkali ditampilkan sebagai penolakan terhadap sistem bikameral adalah efisiensi dalam proses legislasi; karena harus melalui dua kamar, maka banyak anggapan bahwa sistem bikameral akan mengganggu atau menghambat kelancaran pembuatan undang-undang. Sejak awal memang banyak yang sudah mempersoalkan manfaat yang dapat diperoleh dari adanya dua sistem seperti tersebut di atas dibanding dengan “ongkos yang harus dibayar” dalam bentuk kecepatan proses pembuatan undang-undang. Untuk itu negara-negara yang menganut sistem bikameral dengan caranya masing-masing telah berupaya untuk mengatasi masalah tersebut antara lain dengan membentuk conference committee untuk menyelesaikan perbedaan yang ada antara dua majelis tersebut, sehingga dewasa ini masalah tersebut tidak lagi menjadi faktor penghambat

4. Perwakilan Politik Di Indonesia

(25)

untuk menyalurkan aspirasi rakyat dalam pemerintahan melalui pemilihan umum (pemilu).

Keterlibatan rakyat dalam perumusan kebijakan dapat direalisasikan melalui wakil-wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk di tingkat Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Oleh karenanya, lembaga legislative (DPR dan DPRD) merupakan perangkat kekuasaan pemerintah yang sangat berperan dalam memenuhi berbagai tuntutan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Peran penting dari lembaga legislative ini ditunjukkan dari tugas yang dipunyainya, antara lain menetapkan kebijakan publik. Bentuk kebijakan yang ditetapkan oleh DPR adalah Undang-undang dan oleh DPRD adalah Peraturan Daerah (Perda) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Setiap UU atau Peraturan daerah yang ditetapkan harus mencerminkan kehendak rakyat. Kepentingan rakyat yang diwakilinya dapat direalisasikan dengan baik bila setiap anggota legislatif mengetahui aspirasi rakyat yang diwakilinya. Aspirasi rakyat yang masuk ditampung untuk kemudian dirumuskan dalam kebijakan yang dibuatnya. Dalam merumuskan kebijakan tersebut perlu adanya aktivitas dan kreativitas yang tinggi dari setiap anggota komponen di dalam DPR atau DPRD. Dengan kata lain, partisipasi dari setiap anggota diperlukan dalam perumusan kebijakan daerah.

Dalam hal fungsi legislatif yang dimiliki oleh DPR dan DPRD, menunjukkan bahwa dirinya sebagai badan perwakilan rakyat dituntut untuk senantiasa mampu menampung aspirasi dan kepentingan masyarakat yang diwakilinya dengan cara memasukannya ke dalam UU, Peraturan Daerah dan APBD yang dihasilkannya. Memuaskan kehendak masyarakat atau kemauan umum adalah esensi dari fungsi anggota serta badan legislatif selaku wakil rakyat. Anggota DPR atau DPRD perlu pula mempertimbangkan berbagai kehendak atau opini yang ada, baik yang datang dari perorangan, maupun dari berbagai kesatuan individu seperti kekuatan politik, kelompok kepentingan, eksekutif dan sebagainya. Dengan demikian, para wakil rakyat dituntut untuk menyelaraskan berbagai kehendak atau opini tersebut dalam proses perumusan dan pemutusan kebijakan.

(26)

mengajukan pernyataan pendapat, hak prakarsa, dan hak penyelidikan. Melihat pada beratnya tugas dalam melaksanakan fungsi legislatif, DPR dan DPRD harus benar-benar mampu berperan dalam menggunakan hak-haknya secara tepat, melaksanakan tugas dan kewajibannya secara efektif dan menempatkan kedudukannya secara proporsional. Hal tersebut hanya dapat terlaksana dengan baik apabila setiap anggota badan legislatif ini bukan saja piawai dalam berpolitik, melainkan juga menguasai pengetahuan yang cukup dalam hal konsepsi dan teknis penyelenggaraan pemerintahan, mekanisme kerja kelegislatifan, kebijakan publik, teknis pengawasan, penyusunan anggaran dan sebagainya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa seorang anggota lembaga legislatif harus memenuhi kemampuan ideal agar dapat melaksanakan peran dan fungsinya dengan baik.

Selain DPR, dalam sistem perwakilan di Indonesia, juga mengenal adanya Dewan Perwakilan Daerah. secara teoritis keberadaan DPD untuk membangun mekanisme kontrol dan keseimbangan (checks and balances) dalam lembaga legislatif itu sendiri, disamping antar cabang kekuasaan negara (legislatif, eksekutif, yudikatif). Disamping itu juga untuk menjamin dan menampung perwakilan daerah-daerah yang memadai untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah dalam lembaga legislatif. Secara politis, sesuai dengan konsensus politik bangsa Indonesia, maka keberadaan DPD akan memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah NKRI; semakin meneguhkan persatuan kebangsaan seluruh daerah-daerah; akan meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daerah dalam perumusan kebijakan nasional serta mendorong percepatan demokrasi, pembangunan, dan kemajuan daerah secara berkeadilan dan berkesinambungan.

(27)

Keanggotaan DPD untuk pertama kalinya dipilih pada pemilu tahun 2004 yang lalu yaitu berjumlah 128 orang yang terdiri atas 4 orang dari 32 provinsi. Sulawesi Barat sebagai provinsi termuda belum terwakili. DPD dipimpin oleh seorang ketua dan dua orang wakil ketua yang mencerminkan wilayah barat, tengah, dan timur Indonesia. Pada pemilu 2009 lalu, keanggotaan DPD telah diwakili oleh 33 Provinsi dengan empat orang anggota di setiap provinsi sehingga jumlah anggota DPD akan berjumlah 132 orang pada masa keanggotaan 2009-2014.

DPD memiliki kekhasan karena anggotanya merupakan wakil-wakil daerah dari setiap provinsi. Tidak ada pengelompokan anggota (semacam fraksi di DPR), anggota DPD merupakan orang-orang independen yang bukan berasal dari partai politik atau politisi profesional tetapi berasal dari berbagai latar belakang misalnya sebagai pengacara, guru, ulama, pengusaha, tokoh Ormas atau LSM, serta ada beberapa anggota DPD yang mantan menteri, gubernur, bupati/walikota, dan lain-lain.

(28)

legislasi, pertimbangan, dan pengawasan. Seluruh anggota, kecuali Pimpinan DPD, wajib bergabung ke dalam salah satu Panitia Ad Hoc.

Kelahiran DPD telah membangkitkan harapan masyarakat daerah dimana kepentingan daerah dan masalah-masalah yang dihadapi daerah dapat diangkat dan diperjuangkan di tingkat nasional. Disamping itu kebijakan-kebijakan publik baik di tingkat nasional maupun daerah tidak akan merugikan dan akan dapat senantiasa sejalan dengan kepentingan daerah dan kepentingan rakyat di seluruh tanah air. Kepentingan daerah merupakan bagian yang serasi dari kepentingan nasional, dan kepentingan nasional secara serasi merangkum kepentingan daerah. Kepentingan daerah dan kepentingan nasional tidak bertentangan dan tidak dipertentangkan.

(29)

BAB III

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT

1. Sejarah Singkat

Tepat pada ulang tahun Kaisar Hirohito, 29 April 1945, Pemerintah Kolonial Jepang di Indonesia membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Badan yang dalam Bahasa Jepang-nya Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai itu merupakan sebuah badan yang dibentuk untuk merealisasikan janji Jepang memberi kemerdekaan kepada Indonesia. Namun karena BPUPKI terlalu cepat ingin merealisasikan kemerdekaan Indonesia maka badan itu dibubarkan oleh saudara tua itu dan kemudian membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dalam Bahasa Jepang-nya Dokuritzu Zyunbi Iinkai, pada 7 Agustus 1945.

Di tengah kontroversi jadi tidaknya realisasi Jepang untuk memberi kemerdekaan Indonesia, yang perlu dicatat dari peran PPKI ini adalah pada tanggal 18 Agustus 1945 badan itu mampu mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945. Karena dibuat dalam waktu yang sangat sempit dan tergesa-gesa maka Presiden Soekarno mengatakan UUD 1945 yang disahkan sehari setelah Indonesia merdeka itu bukan sebagai undang-undang dasar yang sifatnya permanen. Sebagai mantan Ketua PPKI tentu Soekarno mengetahui dan menyebut UUD 1945 itu adalah undang-undang dasar sementara, yang dibuat secara kilat. Untuk itu ia mengatakan bila keadaannya sudah memungkinkan, maka akan dibentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat yang bertugas menyusun undang-undang dasar yang lebih lengkap dan sempurna.

(30)

Sebagaimana diketahui bersama bahwa pada tanggal 29 Agustus 1945 sesaat setelah proklamasi kemerdekaan, dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Sesuai ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, KNIP bertugas membantu Presiden dalam menjalankan kekuasaan negara, sebelum terbentuknya lembaga-lembaga negara, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar.

Dalam perkembangan sejarahnya, pada pertengahan Oktober 1945, KNIP kemudian berubah menjadi semacam parlemen, tempat Perdana Menteri dan anggota kabinet bertanggung jawab. Hal ini, sejalan dengan perubahan sistem pemerintahan dari sistem Presidensial ke sistem Parlementer. Sejarah mencatat, bahwa KNIP adalah cikal bakal (embrio) dari badan perwakilan di Indonesia, yang oleh Undang-Undang Dasar 1945 diwujudkan ke dalam Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Keberadaan badan-badan perwakilan, DPR dan MPR ketika itu, tidak terlepas dari keinginan para pendiri negara bahwa negara yang didirikan adalah negara yang demokratis. MPR yang anggota-anggotanya terdiri atas anggota DPR, di tambah dengan utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, dianggap sebagai penjelmaan seluruh rakyat. Atas dasar itulah MPR melaksanakan kedaulatan rakyat.

Mengingat fungsi dan kewenangan MPR yang tinggi seperti mengubah Undang-Undang Dasar, mengangkat dan memberhentikan Presiden/Wakil Presiden, maka para Ahli Hukum Tata Negara menyebut MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Pandangan ini kemudian dikukuhkan dalam Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/1973 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan atau Lembaga-lembaga Tinggi Negara. Meskipun demikian, sejarah menunjukkan bahwa negara Indonesia baru membentuk MPR yang bersifat sementara setelah Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, sedangkan MPR yang dibentuk berdasarkan hasil Pemilihan Umum baru terlaksana pada tahun 1971.

(31)

sebagai Lembaga Tertinggi Negara, sebagai pelaksana sepenuh-nya kedaulatan rakyat.

Bergulirnya reformasi yang menghasilkan reformasi konstitusi telah mendorong para pengambil keputusan untuk tidak menempatkan MPR dalam posisi sebagai lembaga tertinggi. Setelah reformasi, MPR menjadi lembaga negara yang sejajar kedudukannya dengan lembaga-lembaga negara lainnya, bukan lagi penjelmaan seluruh rakyat Indonesia yang melaksanakan kedaulatan rakyat. Perubahan Undang-Undang Dasar telah mendorong penataan ulang posisi lembaga-lembaga negara terutama mengubah kedudukan, fungsi dan kewenangan MPR yang dianggap tidak selaras dengan pelaksanaan prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat sehingga sistem ketatanegaraan dapat berjalan optimal.

Pasal 1 ayat (2) yang semula berbunyi: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Setelah perubahan Undang-Undang Dasar diubah menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Dengan demikian pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak lagi dijalankan sepenuhnya oleh sebuah lembaga negara, yaitu MPR, tetapi melalui cara-cara dan oleh berbagai lembaga negara yang ditentukan oleh UUD 1945.

Tugas, dan wewenang MPR secara konstitusional diatur dalam Pasal 3 UUD 1945, yang sebelum maupun setelah perubahan salah satunya mempunyai tugas mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar sebagai hukum dasar negara yang mengatur hal-hal penting dan mendasar. Oleh karena itu dalam perkembangan sejarahnya MPR dan konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar mempunyai keterkaitan yang erat seiring dengan perkembangan ketatanegaraan Indonesia.

2. Dasar Hukum

(32)

Pasal 2 UUD 1945 berbunyi:

(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.

(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara.

(3) Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara yang terbanyak.

Sedangkan Pasal 3-nya menyatakan:

(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan undang-undang dasar.

(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden. (3) Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden

dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut undang-undang dasar.

Pengaturan lebih lanjut mengenai kedudukan MPR dilakukan dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 66 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.

3. Susunan dan Kedudukan

Dalam UUD 1945 setelah Perubahan Keempat, organ MPR juga tidak dapat lagi dipahami sebagai lembaga yang lebih tinggi kedudukannya daripada lembaga negara yang lain atau yang biasa dikenal dengan sebutan lembaga tertinggi negara. MPR sebagai lembaga negara sederajat levelnya dengan lembaga-lembaga negara yang lain seperti DPR, DPD, presiden/wakil presiden, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan Badan Pemeriksa Keuangan.

Pada Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, dinyatakan bahwa susunan dan kedudukan adalah:

(33)

b. MPR merupakan lembaga permusyawaratan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara.

4. Tugas dan Kewenangan

Salah satu perubahan penting setelah dilakukannya perubahan terhadap UUD NRI Tahun 1945 adalah perubahan terhadap Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 sebelum perubahan menyatakan bahwa, “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.

Hal ini membawa implikasi terhadap kedudukan, tugas, dan wewenang MPR yang sering menghadirkan kesalahpahaman terhadap MPR dan Pimpinan MPR yang dahulu berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat, kini MPR berkedudukan sebagai lembaga negara yang setara dengan lembaga negara lainnya, yaitu: Lembaga Kepresidenan, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi.

Berubahnya kedudukan MPR juga berimplikasi kepada tugas dan wewenang MPR. MPR tidak lagi mempunyai tugas dan wewenang untuk memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden, kecuali jika Presiden dan/atau Wakil Presiden berhalangan tetap sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Selain itu, MPR juga tidak mempunyai tugas dan wewenang untuk menetapkan garis-garis besar daripada haluan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UUD NRI Tahun 1945 sebelum diubah.

Berubahnya kedudukan, tugas, dan wewenang MPR tersebut memang tidak berarti menghilangkan peran penting MPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009, MPR memiliki tugas dan wewenag untuk:

a. Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

(34)

c. Memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden;

d. Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya;

e. Memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan oleh Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya; dan

f. Memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, dari 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.

5. Keanggotaan

Keberadaan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai institusi negara secara eksplisit telah tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah”

Dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009, dinyatakan bahwa, ayat (1) keanggotaan MPR diresmikan dengan keputusan Presiden, dan ayat (2) masa jabatan anggota MPR adalah 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat anggota MPR yang baru mengucapkan sumpah/janji.

(35)

a. Fraksi

Fraksi adalah pengelompokan anggota MPR yang mencerminkan konfigurasi partai politik. Fraksi dapat dibentuk oleh partai politik yang memenuhi ambang batas perolehan suara dalam penentuan perolehan kursi DPR. Setiap anggota MPR yang berasal dari anggota DPR harus menjadi anggota salah satu fraksi. Fraksi dibentuk untuk mengoptimalkan kinerja MPR dan anggota dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil rakyat.

b. Kelompok Anggota

Kelompok Anggota adalah pengelompokan anggota MPR yang berasal dari seluruh anggota DPD. Kelompok Anggota dibentuk untuk meningkatkan optimalisasi dan efektivitas kinerja MPR dan anggota dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil daerah.

6. Alat Kelengkapan

Dalam rangka pelaksanaan tugasnya, MPR mempunyai Alat-alat Kelengkapan yang disusun menurut pengelompokan kegiatan, yaitu Pimpinan Majelis dan Panitia ad hoc Majelis. Hal ini diatur dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal 22 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.

a. Pimpinan Majelis

Pimpinan MPR merupakan satu kesatuan Pimpinan yang bersifat kolektif, terdiri atas 1 (satu) orang ketua yang berasal dari anggota DPR dan 4 (empat) orang wakil ketua yang terdiri atas 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPR dan 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPD, yang ditetapkan dalam sidang paripurna MPR.

Pimpinan MPR yang berasal dari DPR sebagaimana dimaksud dipilih secara musyawarah untuk mufakat dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.

(36)

Pimpinan MPR yang berasal dari DPD dipilih secara musyawarah untuk mufakat dan ditetapkan dalam sidang paripurna DPD. Dalam hal musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, pimpinan MPR yang berasal dari DPD dipilih dari dan oleh anggota DPD serta ditetapkan dalam sidang paripurna DPD. Pimpinan MPR ditetapkan dengan keputusan MPR.

Pimpinan MPR bertugas:

1). Memimpin sidang MPR dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan;

2). Menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja antara ketua dan wakil ketua;

3). Menjadi juru bicara MPR;

4). Melaksanakan putusan MPR;

5). Mengoordinasikan anggota MPR untuk memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

6). Mewakili MPR di pengadilan;

7). Menetapkan arah dan kebijakan umum anggaran MPR; dan

8). Menyampaikan laporan kinerja pimpinan dalam siding paripurna MPR pada akhir masa jabatan.

b. Panitia ad hoc Majelis.

Panitia ad hoc MPR dapat dibentuk oleh Majelis untuk melakukan tugas-tugas tertentu. Panitia ad hoc terdiri atas pimpinan MPR dan paling sedikit 5% (lima persen) dari jumlah anggota dan paling banyak 10% (sepuluh persen) dari jumlah anggota yang susunannya mencerminkan unsur DPR dan unsur DPD secara proporsional dari setiap fraksi dan Kelompok Anggota MPR. Anggota dimaksud diusulkan oleh unsur DPR dan unsur DPD dari setiap fraksi dan Kelompok Anggota MPR.

Panitia ad hoc MPR bertugas:

1). Mempersiapkan bahan sidang MPR; dan

(37)

Panitia ad hoc MPR melaporkan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam sidang paripurna MPR. Panitia ad hoc MPR dibubarkan setelah tugasnya selesai.

7. Ruang Lingkup dan Mekanisme Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Berikut ini adalah mekanisme pelaksanaaan tugas dan wewenang MPR sesuai dengan ketentuan UUD NRI Tahun 1945.

a. Mekanisme Perubahan UUD NRI Tahun 1945

1). Usul perubahan diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR [Pasal 37 (1)];

2). diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya [Pasal 37 (2)];

3). sidang MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR [Pasal 37 (3)];

4). Putusan dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50% + 1 anggota dari seluruh anggota MPR [Pasal 37 (4)];

5). Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan [Pasal 37 (5)].

b. Mekanisme impeachment/pemberhentian Presiden

Perubahan Ketiga UUD 1945 memuat ketentuan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya yang semata-mata didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat yuridis dan hanya mengacu pada ketentuan normatif-limitatif yang disebutkan di dalam konstitusi. Berikut diuraikan mengenai ketentuan pemberhentian Presiden.

(38)

penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden [(Pasal 7B ayat (1)].

2). Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat [(Pasal 7B ayat (2)].

3). Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat[(Pasal 7B ayat (3)].

4). Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi [(Pasal 7B ayat (4)].

5). Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat [(Pasal 7B ayat (5)].

(39)

7). Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat [(Pasal 7B ayat (7)].

8). Dari mekanisme ini terlihat bahwa proses impeachment pasca perubahan UUD NRI tahun 1945 tidaklah mudah. Presiden harus dinyatakan melanggar hukum.

9). Proses usulan pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden tidak lagi sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme politik tetapi dengan mengingat dasar usulan pemberhentiannya yaitu masalah pelanggaran hukum melalui Mahkamah Konstitusi.

c. Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Hasil Pemilihan Umum Pelaksanaan tugas MPR yang terkait dengan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Hasil Pemilihan Umum, diatur dalam Pasal 32 sampai dengan Pasal 34 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.

Dalam Pasal 32 dinyatakan bahwa MPR melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum dalam sidang paripurna MPR. Dengan prosesi sebagai berikut:

1). Pimpinan MPR mengundang anggota MPR untuk menghadiri sidang paripurna MPR dalam rangka pelantikan Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum.

2). Pimpinan MPR mengundang pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih untuk dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden dalam sidang paripurna MPR.

(40)

4). Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan dengan bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan sidang paripurna MPR.

5). Dalam hal MPR tidak dapat menyelenggarakan sidang, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan rapat paripurna DPR.

6). Dalam hal DPR tidak dapat menyelenggarakan rapat, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.

7). Berita Acara Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden ditandatangani oleh Presiden dan Wakil Presiden serta pimpinan MPR.

8). Setelah mengucapkan sumpah/janji Presiden dan Wakil Presiden, Presiden menyampaikan pidato awal masa jabatan.

d. Pelantikan Wakil Presiden Menjadi Presiden

Dalam Pasal 40 sampai dengan Pasal 44 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD dinyatakan tentang mekanisme pelantikan Wakil Presiden menjadi Presiden.

Pasal 40 Undang-undang tersebut menyatakan, jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai berakhir masa jabatannya.

Mekanisme pelantikan Wakil Presiden menjadi Presiden adalah sebagai berikut:

1). Jika terjadi kekosongan jabatan Presiden, MPR segera menyelenggarakan sidang paripurna MPR untuk melantik Wakil Presiden menjadi Presiden.

(41)

3). Dalam hal DPR tidak dapat mengadakan rapat, Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.

4). Presiden sebagaimana dimaksud ditetapkan dengan ketetapan MPR.

5). Setelah mengucapkan sumpah/janji, Presiden menyampaikan pidato pelantikan

e. Pemilihan dan Pelantikan Wakil Presiden

Pemilihan dan pelantikan Wakil Presiden yang berhalangan tetap diatur dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 48 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.

Mekanisme pemilihan dan pelantikan Wakil Presiden adalah sebagai berikut:

1). Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, MPR menyelenggarakan sidang paripurna dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari untuk memilih Wakil Presiden.

2). Presiden mengusulkan 2 (dua) calon wakil presiden beserta kelengkapan persyaratan kepada pimpinan MPR paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum penyelenggaraan sidang paripurna MPR.

3). Dalam sidang paripurna sebagaimana dimaksud, MPR memilih satu di antara 2 (dua) calon wakil presiden yang diusulkan oleh Presiden.

4). Dua calon wakil presiden yang diusulkan sebagaimana dimaksud wajib menyampaikan pernyataan kesiapan pencalonan dalam sidang paripurna MPR sebelum dilakukan pemilihan.

5). Calon wakil presiden yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan di sidang paripurna MPR ditetapkan sebagai Wakil Presiden.

6). Dalam hal suara yang diperoleh tiap-tiap calon sama banyak, pemilihan diulang 1 (satu) kali lagi.

(42)

Prosesi pelantikan Wakil Presiden adalah sebagai berikut:

1). MPR melantik Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam sidang paripurna MPR dengan bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan sidang paripurna MPR.

2). Dalam hal MPR tidak dapat mengadakan sidang paripurna, Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan rapat paripurna DPR.

3). Dalam hal DPR tidak dapat mengadakan rapat paripurna, Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.

4). Wakil Presiden terpilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ditetapkan dengan ketetapan MPR.

f. Pemilihan dan Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden

Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang berhalangan tetap diatur dalam Pasal 49 sampai dengan Pasal 55 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.

Pada Pasal 49 Undang-undang tersebut, dinyatakan bahwa dalam hal Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama.

Mekanisme yang akan dilakukan dalam hal Presiden dan Wakil Presiden berhalangan tetap tersebut adalah sebagai berikut:

(43)

2). Paling lama 3 (tiga) kali 24 (dua puluh empat) jam sejak Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan sebagaimana dimaksud, pimpinan MPR memberitahukan kepada partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon presiden dan wakil presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

3). Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya surat pemberitahuan dari pimpinan MPR, partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana dimaksud menyampaikan calon presiden dan wakil presidennya kepada pimpinan MPR.

4). Pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya tersebut, menyampaikan kesediaannya secara tertulis yang tidak dapat ditarik kembali.

5). Calon presiden dan wakil presiden yang diajukan harus memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai pemilihan umum presiden dan wakil presiden.

6). Ketentuan mengenai tata cara verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen administrasi pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diajukan diatur dengan peraturan MPR tentang tata tertib.

Mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden adalah sebagai berikut:

1). Pemilihan 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam sidang paripurna MPR sebagaimana dimaksud dilakukan dengan pemungutan suara.

(44)

3). Dalam hal suara yang diperoleh setiap pasangan calon presiden dan wakil presiden sama banyak, pemungutan suara diulangi 1 (satu) kali lagi.

4). Dalam hal hasil pemungutan suara ulang tersebut tetap sama, MPR memutuskan untuk mengembalikan kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden kepada partai politik atau gabungan partai politik pengusul untuk dilakukan pemilihan ulang oleh MPR.

5). Dalam hal MPR memutuskan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.

Prosesi Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih adalah sebagai berikut:

1). MPR melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih dalam sidang paripurna MPR dengan bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan sidang paripurna MPR.

2). Dalam hal MPR tidak dapat mengadakan sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan rapat paripurna DPR.

3). Dalam hal DPR tidak dapat mengadakan rapat, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.

4). Presiden dan Wakil Presiden terpilih ditetapkan dengan ketetapan MPR.

(45)

8. Hak-Hak Anggota MPR

Dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 59 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD dan Keputusan MPR RI Nomor 1/MPR/2010 tentang Peraturan Tata Tertib MPR RI, dinyatakan bahwa Anggota MPR memiliki hak-hak sebagai berikut:

a. Mengajukan usul pengubahan pasal Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945.

Setiap Anggota MPR dapat mengajukan usul pengubahan pasal di dalam Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945, sesuai dengan mekanisme yang telah ditentukan.

b. Menentukan sikap dan pilihan dalam pengambilan putusan

Setiap Anggota MPR berhak untuk menentukan sikap dan pilihan dengan bebas tanpa paksaan dan ancaman.

c. Memilih dan dipilih

Setiap Anggota MPR memiliki hak untuk memilih dan dipilih.

d. Hak Imunitas

1). Anggota MPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakan-nya, baik secara lisan maupun tertulis di dalam ataupun di luar sidang atau rapat MPR yang berkaitan denga tugas dan wewenang MPR.

2). Anggota MPR tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam sidang atau rapat MPR maupun di luar sidang atau rapat MPR yang berkaitan dengan tugas dan wewenang MPR.

(46)

e. Hak Protokoler

Setiap Anggota MPR memiliki Hak Protokoler dalam setiap acara kenegaraan dan acara resmi yang meliputi Tata tempat, Tata Upacara, dan Tata Penghormatan.

f. Hak Keuangan dan administratif.

Anggota MPR memiliki Hak Keuangan dan Administratif yang diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

9. Persidangan dan Pengambilan Keputusan

Secara rutin MPR melaksanakan sidang dalam rangka melaksanakan tugas dan kewenangannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 60 sampai dengan Pasal 64 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentag MPR, DPR, DPD dan DPRD.

Pada Pasal 60 Undang-undang tersebut, menyatakan bahwa MPR bersidang sedikitnya sekali dalam 5 (lima) tahun di ibu kota negara. Persidangan MPR diselenggarakan untuk melaksanakan tugas dan wewenang MPR.

Berbagai Sidang/Rapat yang dapat diselenggarakan oleh MPR sebagaimana diatur dalam Pasal 42 Peraturan Tata Tertib MPR adalah sebagai berikut:

a. Sidang Paripurna MPR;

b. Rapat Gabungan Pimpinan MPR, Pimpinan fraksi-fraksi dan Pimpinan Kelompok Anggota;

c. Rapat Pimpinan MPR;

d. Rapat Konsultasi dan koordinasi Pimpinan MPR dengan Presiden dan/atau pimpinan lembaga negara lainnya;

e. Rapat Panitia Ad Hoc MPR;

f. Rapat Alat Kelengkapan MPR lainnya; dan

(47)

Selain itu, MPR juga mengadakan Sidang Paripurna Akhir Masa Jabatan untuk mendengarkan laporan pelaksanaan tugas dan wewenang serta kinerja Pimpinan MPR.

Sidang Paripurna MPR diadakan berdasarkan putusan Pimpinan MPR dan dapat mendengarkan saran atau pertimbangan Pimpinan fraksi-fraksi atau Pimpinan Kelompok Anggota bila dipandang perlu.

Dalam Pasal 62 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 diatur tentang mekanisme pengambilan keputusan dalam Sidang MPR adalah sebagai berikut:

a. Dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota MPR dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) ditambah 1 (satu) anggota dari seluruh anggota MPR untuk mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota MPR dan disetujui oleh sekurangkurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota MPR yang hadir untuk memutuskan usul DPR tentang pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden;

c. Dihadiri sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah anggota MPR ditambah 1 (satu) anggota MPR dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah anggota ditambah 1 (satu) anggota MPR yang hadir untuk sidang pemberhentian presiden.

d. Pengambilan keputusan dalam sidang terlebih dahulu diupayakan dengan cara musyawarah untuk mufakat.

e. Dalam hal cara pengambilan keputusan tidak tercapai, keputusan diambil melalui pemungutan suara.

(48)

g. Dalam hal pemungutan suara ulang hasilnya masih belum memenuhi, maka akan berlaku ketentuan:

1). Pengambilan keputusan ditangguhkan sampai sidang berikutnya; atau

2). Usul yang bersangkutan ditolak.

10.Kesekretariatan Jenderal MPR.

Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenang MPR, dibentuk Sekretariat Jenderal MPR, yang susunan organisasi dan tata kerjanya diatur dengan peraturan Presiden atas usul Pimpinan MPR.

Sekretariat Jenderal MPR dipimpinan oleh Seorang Jenderal MPR yang bertanggung jawab kepada Pimpinan MPR. Sekretaris Jenderal MPR secara administratif diangkat oleh Presiden dan diproses sesuai dengan peraturan kepegawaian atas usul Pimpinan MPR.

(49)

BAB IV

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

1. Sejarah Singkat

Pada masa penjajahan Belanda berdasarkan Pasal 53 sampai dengan Pasal 80 bagian kedua Indische Staatsregeling, wet op de Staatsinrichting van Nederlandsh-Indie (Indische Staatsrgeling), yang ditetapkan pada tanggal 16 Desember 1916, serta diumumkan dalam Staatsblat Hindia Nomor 114 Tahun 1916, dan berlaku pada tangal 1 Agustus 1917 memuat hal-hal yang berkenaan dengan kekuasaan legislatif, yaitu Volksraad (Dewan Rakyat).

Berdasarkan konstitusi Indische Staatsrgeling buatan Belanda itulah, pada tanggal 18 Mei 1918 Gubernur Jenderal Graaf Van Limburg Stirum atas nama pemerintah penjajah Belanda membentuk dan melantik Volksraad (Dewan Rakyat). Adapun keanggotaan Volksraad pada Tahun 1918 terdiri atas 1 orang Ketua (diangkat oleh Raja) dan 38 orang Anggota (20 orang dari golongan Bumi Putra), untuk Tahun 1927 terdiri atas 1 orang Ketua (diangkat oleh Raja) dan 55 orang Anggota (25 orang dari golongan Bumi Putra), sedangkan untuk Tahun 1930 terdiri atas 1 orang Ketua (diangkat oleh Raja) dan 60 orang Anggota (30 orang dari golongan Bumi Putra)

Volksraad mempunyai hak yang tidak sama dengan parlemen, karena volksraad tidak mempunyai Hak Angket dan Hak menentukan Anggaran Belanja Negara. Dalam perjalanannya kaum nasionalis moderat antara lain Hohammad Husni Thamrin dan lain-lain, menggunakan volksraad sebagai jalan untuk mencapai cita-cita Indonesia Merdeka memalui jalan Parlemen.

Referensi

Dokumen terkait